makalah ramdani
TRANSCRIPT
Pengendalian Nyamuk Aedes Aegypti
dengan Thermal Fogging menggunakan Insektisida
OLEH :
RAMDANIK11111301
DASAR KESEHATAN LINGKUNGAN KELAS A
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2012
PRAKATA
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah,
rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pengendalian Nyamuk Aedes Aegypti dengan Thermal
Fogging menggunakan Insektisida” tepat pada waktunya. Penulis
menyadari perlu adanya pengetahuan tentang formulasi baru, guna
memenuhi kebutuhan di daerah dalam penyediaan insektisida alternatif
sebagai salah satu pengendalian vector dengan cara kimiawi yang
sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai salah satu program kerja
kesehatan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam karya tulis ini,
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa penulis
harapkan guna memacu kreativitas dalam menciptakan karya-karya yang
lebih baik lagi
Makassar, 18
September 2012
Penulis
DAFTAR ISI
2
Halaman Judul...................................................................................... 1Prakata ................................................................................................ 2Daftar Isi............................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUANA. Latar belakang........................................................................ 4B. Rumusan Msalah.................................................................... 6C. Tujuan
Penelitian................................................................................. 6D. Manfaat Penelitian.................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Pengertian Demam Berdarah Dangue.................................... 8B. Penyebab Demam Berdarah Dangue.....................................C. Cara Penularan Demam Berdarah Dangue............................D. Cara Memberantas Nyamuk penular DBD.............................. 9E. Prinsip Pengendalian Vector Terpadu (PVT).......................... 12F. Insektisida............................................................................... 13
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Hasil Penelitian....................................................................... 16B. Pembahasan........................................................................... 19
BAB IV PENUTUPA. Simpulan................................................................................. 25B. Saran....................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 26
BAB I
PENDAHULUAN
3
A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk aedes aegypti dan Aedes albopitus. Faktor – faktor yang
mempengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue sangat
kompleks, antara lain iklim dan pergantian musim, kepadatan
penduduk, mobilitas penduduk dan transportasi. Berdasarkan
kejadian dilapangan dapat diidentifikasikan factor utama adalah
kurangnya perhatian sebagian masyarakat terhadap kebersihan
lingkungan tempat tinggal. Sehingga terjadi genangan air yang
menyebabkan berkembangnya nyamuk. Insiden dan prevalensi
penyakit Demam Berdarah Dengue menimbulkan kerugian pada
individu, keluarga dan masyarakat. Kerugian ini berbentuk
kematian, penderitaan, kesakitan, dan hilangnya waktu produktif.
Penyakit demam berdarah dengue menjadi momok tiap
tahun. Insiden di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000
penduduk (1989-1995) dan pernah meningkat tajam saat Kejadian
Luar Biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
hingga tahun 2005 masih ada daerah berstatus Kejadian Luar
Biasa, sampai mei tahun 2005 di seluruh Indonesia tercatat 28.224
kasus dengan jumlah kematian 348 orang, hingga awal oktober
2005 kasus demam berdarah dengue di 33 propinsi tercatat 50.196
4
kasus dengan 701 diantaranya meninggal. Dari data di atas
menunjukkan peningkatan hampir 2 kali lipat dari mei hingga awal
oktober 2005.
Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang bisa
mewabah. Usaha untuk mengatasi masalah penyakit tersebut di
Indonesia telah puluhan tahun dilakukan, berbagai upaya
pemberantasan vector, tetapi hasilnya belum optimal. Secara
teoritis ada empat cara untuk memutuskan rantai penularan demam
berdarah dengue, yaitu melenyapkan virus, isolasi penderita,
mencegah gigitan nyamuk dan pengendalian vector. Untuk
pengendalian vector dilakukan dengan tujuh cara yaitu dengan cara
kimiawi, mekanis, fisik, biologis, biofisikal, secara undang-undang
dan integrasi. Namun angka penderita dan kematian demam
berdarah selalu meningkat. Penulis menyadari perlu adanya
pengetahuan tentang formulasi baru, guna memenuhi kebutuhan di
daerah dalam penyediaan insektisida alternatif sebagai salah satu
pengendalian vector dengan cara kimiawi yang sewaktu-waktu
dapat digunakan sebagai salah satu program kerja kesehatan.
B. Rumusan Masalah
5
1. Bagaimana dosis efektif dari thermal fogging menggunakan
insektisida LADEN 500EC (b.a Malathion 500 g/l) dalam
pengendalian vector demam berdarah dengue ?
2. Apakah dampak kesehatan dari thermal fogging menggunakan
insektisida LADEN 500EC (b.a Malathion 500 g/l) sebagai bentuk
pengendalian vector demam berdarah dengue ?
3. Apabila memiliki dampak negative bagi kesehatan,
bagaimanakah solusi yang tepat untuk meminimalisir dampak
dari thermal fogging menggunakan insektisida LADEN 500EC
(b.a Malathion 500 g/l)?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dosis efektif dari thermal fogging menggunakan
insektisida LADEN 500EC (b.a Malathion 500 g/l) dalam
pengendalian aedes aegypti sebagai vector demam berdarah
dengue.
2. Mengetahui dampak kesehatan dari thermal fogging
menggunakan insektisida LADEN 500EC (b.a Malathion 500
g/l) sebagai bentuk pengendalian vector demam berdarah
dengue.
6
3. Mengetahui solusi yang tepat untuk meminimalisir dampak
dari thermal fogging menggunakan insektisida LADEN 500EC
(b.a Malathion 500 g/l) jika memiliki dampak negative.
D. Manfaat Penulisan
1. Diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
pengetahuan tentang pengendalian vektor demam berdarah
dengue secara kimia.
2. Diharapkan dapat dijadikan sebagai pemenuhan tugas mata
kuliah Dasar-dasar Kesehatan Lingkungan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Demam Berdarah Dengue
Menurut WHO 1999 Demam berdarah dengue adalah
penyakit Febris-virus akut, sering kali disertai dengan akibat sakit
kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leucopenia
sebagai gejalanya. Demam berdarah dengue ditandai dengan
empat manifestasi klinis utama; demam tinggi, fenomena
hemoragik, sering dengan hepatomegali dan kegagalan sirkulasi
yang ditularkan oleh virus dengue ke tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk aedes terhinpeksi, terutama aedes aegpti.
B. Penyebab Demam Berdarah Dengue
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari famili
flaviviridae dan genus flaviviridae. Virus ini mempunyai empat
serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
serotipe yang menyebabkan infeksi paling berat di Indonesia, yaitu
DEN-3. virus dengue berukuran 35-45 nm.
C. Cara Penularan Demam Berdarah
Penyakit DBD ditularkan orang yang didalam darahnya
terdapat virus dengue. Orang ini bisa menunjukan gejala sakit,
tetapi juga bisa tidak sakit, yaitu juka mempunyai kekebalan yang
cukup terhadap virus dengue. Jika orang digigit nyamuk aedes
aegypti maka virus dengue masuk bersama darah yang diisapnya.
8
Didalam tubuh nyamuk itu, virus dengue akan berkembang biak
dengan cara membelah diri dan menyebar diseluruh bagian tubuh
nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam kelenjar liur
nyamuk. Dalam tempo 1 minggu jumlahnya dapat mencapai atau
puluhan bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk
ditularkan/dipindahkan pada orang lain, maka setelah alat tusuk
(probosis) menemukan kapiler darah sebelum darah orang itu
dihisap, terlebih dulu dikeluarkan air liur dari kelenjar liurnya agar
darah yang diisap tidak membeku. Bersama dengan liur nyamuk
inilah, virus dengue dipindahkan kepada orang lain.
D. Cara Memberantas Nyamuk Penular DBD
a. Pemberantasan Nyamuk (Dewasa)
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan
dengan cara penyemprotan/pengasapan (fogging) dengan
insektisida. Hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang
hinggap pada benda-benda tergantung, karena itu tidak
dilakukan penyemprotan di dinding rumah. Insektisida yang
dapat digunakan ialah insektisida golongan :
1. Organophospate, misalnya malathion, fenitrothion.
2. Pyretroid sintetic, misalnya lamda sihalotrin, permetrin.
3. Carbamat.
Alat yang digunakan untuk menyemprot ialah mesin Fog
atau ULV. Penyemprotan dilakukan dengan cara pengasapan
9
sehingga tidak mempunyai efek residu. Penyemprotan
insektisida ini dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu untuk
membatasi penularan virus dengue. Pada penyemprotan siklus
I, semuanyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk
infektif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan
segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang diantaranya akan
menghisap darah penderita viremia yang masih ada setelah
penyemprotan siklus I, yang selanjutnya dapat menimbulkan
penularan virus dengue lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan
penyemprotan siklus ke II. Dengan penyemprotan yang ke II
satu minggu setelah penyemprotan yang I, nyamuk baru yang
infektif ini akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada
orang lain. Penyemprotan insektisida ini dalam waktu singkat
dapat membatasi penularan, akan tetapi tindakan ini perlu diikuti
dengan pemberantasan jentiknya agar populasi nyamuk penular
dapat ditekan serendah-rendahnya. Sehingga apabila ada
penderita DBD atau orang dengan viremia tidak dapat menular
kepada orang lain.
b. Pemberantasan Jentik
Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang
dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
dilakukan dengan cara :
10
1. Kimia : Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan
menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida) ini
dikenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa
digunakan adalah temephos. Formulasi temephos yang
digunakan ialah granules (sand granules). Dosis yang
digunakan 1 ppm atau 10 gram (+ 1 sendok makan rata)
untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temephos ini
mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat digunakan
pula Bacillus thuringiensis varisraeliensis (Bti) atau golongan
insect growth regulator.
2. Biologi : Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan
kepala timah, ikan gupi).
3. Fisik : Cara ini dikenal dengan kegiatan 3 M (Menguras,
Menutup, Mengubur) yaitu menguras bak mandi atau WC,
menutup tempat-penampungan air rumah tangga
(tempayan, drum dan lain-lain), serta mengubur atau
memusnahkan barang-barang bekas (seperti : kaleng, ban
dan lain-lain). Pengurasan tempat-tempat penampungan air
(TPA) perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya
seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak
di tempat itu.
E. Prinsip Pengendalian Vector Terpadu (PVT)
11
Prinsip dasar PVT adalah surveilan epidemiologi dan
entomologis, manajemen lingkungan sehat, kajian bioteknologi
serangga vector, sosialisasi dan program aksi kesehatan lintas
instansi, partisipasi aktif masyarakat. Prinsip dasar itu
dikembangkan dari tetra hedron hubungan vector dan inang,
lingkungan dan manusia sebagai factor utama yang patut
menyadari posisinya dalam pengelolaan terpadu vector penyakit
tersebut. Terkait dengan vector tersebut, perlu diketahui
spesiesnya, sifat bioekologisnya dan sifat penularan virusnya.
Berkaitan dengan inang perlu juga diketahui kepadatan,
karakteristik social budayanya. Factor lingkungan seperti diuraikan
sebelumnya mencakup lingkunagn biotic. Dan abiotik yang erat
hubungannya dengan dinamika populasi vector.
Pada tahun 1980 WHO telah memberikan model
pengelolaan lingkungan untuk tujuan pengendalian vector DBD
melalui modifikasi dan manipulasi lingkungan serta mengubah
kebiasaan dan perilaku manusianya untuk pengurangan kontak
vector inang pathogen. Keberhasilan dalam mengelola vector
tergantung dari pemahaman manusia terhadap eksistensi dan
esensi vector sebagai penularan penyakit DBD yang kehidupannya
sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan inang. Keberadaan
manusia dalam system tetrahedron itu dimaksudkan untuk melihat
tanggung jawab dan komitmennya dalam pengelolaan lingkungan
12
untuk tujuan memotong siklus hidup vector dan penyakit sehingga
inang penyakit baik manusia maupun hewan peliharaannya dapat
dicegah dan dikurangi kasus sakitnya.
Secara sosiologis individu manusia dan kelompok
masyarakat merupakan modal manusia dan modal social yang
perlu mendapatkan penekanan dalam system pengelolaan terpadu.
Untuk itu partisipasi masyarakat sanagt penting dalam system PVT
baik secara individu maupun kelompok. Selain itu kearifan local
yang dimiliki oleh individu atau masyarakat perlu dipelajari sebagai
modal budaya dalam penanggulangan DBD. Penggunaan model
social tersebut pernah sukses untuk program KB dan system
banjarnya. Modal social dan budaya tersebut sangat
memungkinkan untuk mengefektifkan gerakan serentak
pengendalian jentik nyamuk baik berkaitan dengan PSN atau
aplikasi program 3M plusnya atau manajemen lingkungan untuk
mewujudkan kondisi bebas jentik di masing-masing rumah sebagai
mana diterapkan Malaysia dan Singapura.
F. Insektisida
Penggunaan suatu jenis pestisida ditujukan untuk
mematikan suatu kelompok atau spesies hama dan patogen
tertentu, tetapi pada hakekatnya bersifat racun terhadap semua
organisme. Oleh karena itu penggunaan yang tidak terkontrol dan
tidak selektif ditambah dengan masukan dari lingkungan budidaya,
13
dapat berdampak negatif terhadap lingkungan maupun biota
budidaya.
Malathion adalah insektisida organofosphat non-sistemik
yang memiliki spektrum yang luas, dan mempunyai sifat yang
sangat khas, yaitu dapat menghambat kerja kolinesterase terhadap
asetilkolin (Asetilcholinesterase Inhibitor) di dalam tubuh. Malathion
juga mempunyai sifat racun sangat tinggi (LC50-96 jam) pada ikan
Rainbow trout 4,1 ppb dan 263 ppb pada Yellow perch (Martinez et
al. 2004). Insektisida malathion membunuh insekta dengan cara
meracun lambung, kontak langsung dan dengan pernapasan/uap.
Dipergunakan untuk mengontrol banyak tipe insekta. Malathion
juga mempunyai sifat toksis pada insekta yang cukup tinggi,
sedangkan toksisitas pada mamalia relatif rendah, sehingga
banyak digunakan. Penggunaan malathion secara luas untuk
membasmi serangga dalam bidang kesehatan, pertanian,
peternakan dan rumah tangga. Insektisida mengalami proses
biotransformasi di dalam darah, hati, sedangkan tempat
penimbunan utama di dalam jaringan lemak.
Malathion juga dapat menyebabkan perubahan bentuk,
ukuran dan pecahnya sel limfosit. Selain itu malathion dapat
menyebabkan degeneratif dan nekrose sel epitel tubulus ginjal
pada tikus. Penelelitian yanga sama juga dilaporkan McCarthy dan
14
Fuiman (2008) bahwa malathion dosis 0,1-1,0 μgl/l) mengganggu
sintesis protein dan pertumbuhan larva ikan Red drum.
Insektisida malathion masuk ke lingkungan perairan dapat
terjadi melalui berbagai jalur, antara lain pemakaian langsung yang
residunya berada di udara dan tanah, limpasan dari persawahan.
Pada saat hujan akan masuk ke kolam, tambak, daerah muara
melalui saluran air.
Perairan pantai dan muara yang dangkal pada umumnya
merupakan daerah yang sering terkena pencemar, yang mana ikan
merupakan ikan yang hidup di pantai-pantai dan di muara sungai
yang memiliki sifat euryhaline (perairan dengan variasi salinitasi)
serta terhadap goncangan salinitas yang tinggi dalam waktu yang
relatif singkat. Ikan bandeng berpotensi untuk terkontaminasi oleh
insektisida malathion karena hidupnya di daerah pantai yang
merupakan tempat bermuaranya polutan termasuk insektisida
malathion. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai toksisitas
akut, biokonsentrasi dan bioeliminasi insektisida malathion
terhadap juvenil ikan bandeng.
15
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Kelurahan Kutowinangun,
Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah pada bulan Juli
2007. Hasil pengamatan tentang knocdown time (KT50 & KT95 dan
kematian nyamuk uji Ae. aegypti) setelah terpapar insektisida
LADEN 500EC dosis 250, 500, 750 dan 1000 ml/ha, dengan
pembanding insektisida RIDER 500EC (dosis 1000 ml/ha) dengan
aplikasi pengasapan (thermal fogging) dengan pelarut solar,
pengamatan di dalam dan di luar rumah. Disajikan pada tabel 1 dan
2.
Tabel 1. Kematian (%), KT50 dan KT95 nyamuk Ae. aegypti
setelah aplikasi pengasapan (thermal fogging) Insektisida LADEN
500EC (pelarut solar) di dalam dan di luar rumah
Dosis insektisida LADEN 500 EC (ml/ha)
Dalam Rumah Luar Rumah
KT50
KT95
Kematian (%)
KT50
KT95
Kematian (%)
( menit) ( menit)
250 23,59 80,36 88,8 45,02 158,86 77,2
500 21,32 76,29 96,0 38,01 149,95 83,2
750 11,91 28,90 100 18,95 37,45 100
1000 8,10 16,65 100 14,32 24,76 100
16
Pembanding
Rider 500 EC
dosis 1000
9,30 17,08 100 14,72 28,26 100
Keterangan :
1) Uji probit waktu kelumpuhan nyamuk selama 60 menit pengamatan pasca pengasapan
2) LDN : LADEN 500 EC; RDR : RIDER 500EC
Tabel 2. Kematian (%), KT50 dan KT95 nyamuk Ae. aegypti
setelah aplikasi pengasapan (thermal fogging) Insektisida LADEN
500EC (pelarut air) di dalam dan di luar rumah
Dosis insektisida LADEN 500 EC (ml/ha)
Dalam Rumah Luar Rumah
KT50
KT95
Kematian (%)
KT50
KT95
Kematian (%)
( menit) ( menit)
250 23,89 82,98 88,0 45,75 163,39 76,4
500 24,13 73,58 95,2 39,74 139,72 82,4
750 18,14 45,20 100 25,21 65,93 100
1000 12,00 27,63 100 17,96 39,67 100
1000 (RDR) 14,82 38,84 100 21,45 48,77 100
250 23,89 82,98 88,0 45,75 163,39 76,4
Keterangan :
1) Uji probit waktu kelumpuhan nyamuk selama 60 menit pengamatan pasca pengasapan
2) LDN : LADEN 500 EC; RDR : RIDER 500EC
Berdasarkan perhitungan probit, waktu kelumpuhan = KT50
insektisida LADEN 500EC dosis (500, 750 dan 1000 ml/ha) pelarut
17
solar, terhadap Ae. aegypti di dalam rumah, masing-masing adalah
21,32; 11,91 dan 8,10 menit, sedangkan RIDER 500EC dosis 1000
ml/ha sebagai pembanding adalah 9,30 menit. Tetapi kematian
nyamuk Ae. aegypti di dalam rumah setelah pengasapan
insektisida LADEN 500EC dosis 750 dan 1000 ml/ha, serta
pembanding RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha adalah 100%. Waktu
kelumpuhan KT50, insektisida LADEN 500EC dosis (500, 750 dan
1000 ml/ha) pelarut solar, terhadap Ae. aegypti di luar rumah,
masing-masing adalah 38,01; 18,95 dan 14,32 menit, sedangkan
RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha sebagai pembanding adalah 14,72
menit. Kematian nyamuk Ae. aegypti di luar rumah setelah
pengasapan LADEN 500EC dosis 750 dan 1000 ml/ha, maupun
pembanding RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha adalah 100%.
Perlakuan insektisida LADEN 500EC (pelarut solar)
terhadap nyamuk Ae. aegypti, pada analisis probit (waktu
kelumpuhan KT50), insektisida LADEN 500EC dosis (500, 750 dan
1000 ml/ha) pelarut air, terhadap nyamuk uji Ae. aegypti di dalam
rumah, masing-masing adalah 24,13; 18,14 dan 12,00 menit,
sedangkan RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha sebagai pembanding
(pelarut air) adalah 14,82 menit. Kematian nyamuk uji Ae. aegypti
di dalam rumah aplikasi pengasapan LADEN 500EC dosis 750 dan
1000 ml/ha (pelarut air) adalah 100% sebanding dengan RIDER
18
500EC (pelarut air) dosis 1000 ml/ha. Perhitungan probit,
insektisida LADEN 500EC dosis (500, 750 dan 1000 ml/ha) pelarut
air, waktu kelumpuhan KT50 terhadap Ae. aegypti di luar rumah,
masing-masing adalah 39,74; 25,21 dan 17,96 menit, sedangkan
RIDER 500EC (pelarut air) dosis 1000 ml/ha sebagai pembanding
adalah lebih lambat daripada LADEN 500EC dosis 1000 ml/ha
21,45 menit. Kematian nyamuk uji Ae. aegypti di luar rumah setelah
pengasapan insektisida LADEN 500EC dosis 750 dan 1000 ml/ha,
adalah 100%, sama dengan pembanding RIDER 500EC dosis
1000 ml/ha.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak ada kematian
jentik nyamuk Ae. aegypti setelah aplikasi pengasapan insektisida
LADEN 500EC (dosis 250, 500, 750 dan 1000 ml/ha) dan
insektisida RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha (pelarut solar maupun
air) baik di dalam maupun di luar rumah. Pada analisis statistik
dengan uji X2, terbukti ada perbedaan kematian yang bermakna
pada tiap-tiap dosis yang diuji (P<0,05) tetapi pada dosis yang
efektif yaitu Insektisida LADEN 500EC (b.a Malathion 500 g/l),
dosis 750 dan 1000 ml/ha (dilarutkan dalam solar maupun air) tidak
ada perbedaan yang bermakna (p>0,05), artinya dosis tersebut
mempunyai kemampuan yang sama untuk membunuh nyamuk
nyamuk Ae. Aegypti.
19
B. Pembahasan
1. Dosis Efektif dari Thermal Fogging menggunakan Insektisida
LADEN 500EC (b.a Malathion 500 g/l) dalam Pengendalian
Vector Demam Berdarah Dengue
Thermal fogging terbukti efektif dalam pengendalian
vector demam berdarah dengue karena menggunakan bahan
kimia berupa insektisida laden (b.a Malathion 500 g/l), dosis 750
dan 1000 ml/ha (dilarutkan dalam solar maupun air). Malathion
adalah insektisida organofosphat non-sistemik yang memiliki
spektrum yang luas, dan mempunyai sifat yang sangat khas,
yaitu dapat menghambat kerja kolinesterase terhadap asetilkolin
(Asetilcholinesterase Inhibitor) di dalam tubuh. Malathion juga
mempunyai sifat racun sangat tinggi (LC50-96 jam) pada ikan
Rainbow trout 4,1 ppb dan 263 ppb pada Yellow perch
(Martinez et al. 2004). Insektisida malathion membunuh insekta
dengan cara meracun lambung, kontak langsung dan dengan
pernapasan/uap. Dipergunakan untuk mengontrol banyak tipe
insekta. Malathion juga mempunyai sifat toksis pada insekta
yang cukup tinggi, sedangkan toksisitas pada mamalia relatif
rendah, sehingga banyak digunakan.. Penggunaan malathion
secara luas untuk membasmi serangga dalam bidang
kesehatan, pertanian, peternakan dan rumah tangga.
20
Insektisida mengalami proses biotransformasi di dalam darah,
hati, sedangkan tempat penimbunan utama di dalam jaringan
lemak.
Pelaksanaan thermal fogging memiliki banyak dampak
negative. Dampak negative yang dapat ditimbulkan thermal
foging yaitu sebagai polutan yang mencemari makanan, air
minum dan lingkungan rumah setelah pelaksanaan fogging
dapat mengganggu kesehatan warga baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada saat akan
dilakukan fogging warga dihimbau untuk menutup rapat-rapat
makanan, air minum, air mandi, piring, gelas, sendok dsb.
Dalam hal ini belum semua warga melaksanakannya, bahkan
pada saat fogging masih banyak warga yang tidak mau keluar
rumah, ada anak-anak yang mengikuti penyemprot dan ada
warga memasuki rumah sebelum asap fogging di dalam rumah
habis. Selain itu Fogging memerlukan biaya cukup besar (± Rp.
1.900.000 untuk fogging radius 200 meter) dan tenaga yang
cukup banyak dan terlatih (tidak efisien). Sedangkan daya
bunuhnya hanya 1 – 2 hari, setelah itu nyamuk akan menjadi
banyak lagi dan akan mudah menularkan demam berdarah
dengue.
21
2. Dampak Kesehatan dari Thermal Fogging menggunakan
Insektisida LADEN 500EC (b.a Malathion 500 g/l) sebagai Bentuk
Pengendalian Vector Demam Berdarah Dengue
Pelaksanaan fogging pada umumnya memberikan
kepuasan semu pada warga, sehingga merasa aman dan tidak
melakukan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) lagi. Meski
begitu terdapat beberapa dampak dari thermal fogging menurur
Inten yaitu :
a. Kandungan mala-thion pada asap fogging dapat
menyebabkan kelainan saluran cerna (gastrointestinal) dan
bagi wanita hamil yang ter-papar malathion risiko kelai-nan
gastrointestinal pada anaknya 2,5 kali lebih besar.
b. Paparan malation ini juga mengakibatkan Leukemia pada
anak-anak, Aplastik anemia, gagal ginjal, dan defek pada
bayi baru lahir. Bahkan juga berperan dalam kerusakan gen
dan kromosom, kerusakan paru serta penurunan sistem
kekebalan tubuh.
c. Penelitian juga menyimpulkan malation mempunyai peran
terhadap 28 gangguan pada manusia, mulai dari gangguan
gerakan sperma hingga kejadian hiperaktif pada anak.
22
3. Solusi yang Tepat untuk Meminimalisir Dampak dari Thermal
Fogging menggunakan Insektisida LADEN 500EC (b.a
Malathion 500 g/l)
Melihat banyaknya dampak negative dari thermal fogging
maka harus dilakukan pembatasan dalam penggunaannya.
Pembatasan tersebut dapat berupa pengendalian vector secara
kimiawi yang beriringan dengan pengendalian vector demam
berdarah dengue lainnya seperti :
a. Pengendalian fisik/mekanis yaitu segala upaya pengendalian
DBD menggunakan fisik seperti mengenakan pakaian yang
serba tertutup guna menghindari gigitan nyamuk dewasa.
Sedangkan untuk pengendalian fisik aquatic yaitu
melaksanakan prisip 3M minimal sekali seminggu.
b. Pengendalian biologis ditujukan untuk mengurangi
pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida yang
berasal dari bahan-bahan beracun. Contoh pendekatan ini
adalah pemeliharaan ikan untuk pengendalian vector DBD
aquatic.
c. Pengendalian biofisik yaitu merupakan gabungan dari
pengendalian biologis dan pengendalian fisik.
d. Pengendalian secara undang-undang yaitu dengan berbagai
usaha atau program pemerintah guna mengendalikan vector
23
DBD. Namun bukan berarti ada peraturan dan sanksi yang
diperoleh jika tidak melakukan program tersebut.
e. Penegndalian terpadu/terintegrasi.
24
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan
sebagai berikut :
1. Dosis efektif dari thermal fogging dalam pengendalian vector
demam berdarah dengue yaitu insektisida LADEN 500EC (b.a
Malathion 500 g/l) dosis 750 dan 1000 ml/ha baik dilarutkan dalam
solar maupun air.
2. Dampak kesehatan dari thermal fogging yaitu merupakan polutan
dan mnyebabkan berbagai kelainan dalam tubuh manusia.
3. Karena thermal fogging memiliki dampak terhadap kesehatan maka
sudah seaharusnya pengendalian demam berdarah dengue
menggunakan thermal fogging diminimalisir dan dilakukan
beriringan dengan pengendalian mekanis, fisik, biologis, biofisikal,
secara undang-undang dan integrasi.
B. Saran
Berdasarkan simpulan, direkomendasikan agar thermal fogging
dilakukan hanya pada lokasi yang sedang terjadi penularan demam
berdarah dengue dan harus didahuli dan diikuti gerakan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) serentak.
25
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Choirul. 2008. Fogging Bukan Solusi Terbaik lakukan 3M. http://mediainfokota.jogjakota.go.id/detail.php?berita_id=126. (7 September 2012)
Boesri, Hasan dan Damar tri Boewono. 2007. Jurnal Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus denagn Penyemprotan Sistem Pengasapan (thermal fogging) menggunakan Insektisida Laden 500EC. (9 September 2012)
Chandra, Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. (8 September 2012)
Daun Anwar. 2005. Dasar-dasar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Hasanuddin University Press. Makassar. (7 September 2012)
Intan. 2010. Dampak Fogging. http://bungajepun.blogspot.com/2010_03_01_archive.html. (7 September 2012)
Permai, Indah. 2010. Demam Berdarah Dengue. http://wadung.wordpress.com/2010/03/22/makalah-demam-berdarah-dengue/. (9 September 2012)
Yuiana, Mareta. 2008. Satuan Penyuluhan Penyakit DBD. http://ners-blog.blogspot.com/2011/10/satuan-penyuluhan-penyakit-dbd.html (9 September 2012)
26