makalah legal etik

42
UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN SEBAGAI PAYUNG HUKUM PROFESI KEPERAWATAN DI INDONESIA Dosen: Ns. M. Fathoni, S.Kep., MNS Disusun Oleh: Kelompok 1 Abdurahman Wahid NIM. 116070300111009 Bintari Ratih K.. NIM. 116070300111013 Elfi Quyumi R. NIM. 116070300111022 Filia Icha S. NIM. 116070300111021 Latifiyan N. Aminoto NIM. 116070300111024 Marsaid NIM. 116070300111001 Mizam Ari K. NIM. 116070300111030 Novita Ana A. NIM. 116070300111007 Nurma Afiani NIM. 116070300111029 Peni Perdani J. NIM. 116070300111011 Sulastyawati NIM. 116070300111006 Sri Haryuni NIM. 116070300111017 PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV. BRAWIJAYA MALANG 2011 KATA PENGANTAR Alhamdullillah puji syukur kehadirat Allah SWT, tugas etika dan hukum keperawatan yang diberikan kepada kelompok kami dapat diselesaikan dengan baik. Makalah yang kami sajikan

Upload: wahidub02

Post on 13-Dec-2014

440 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

makalah legal etik kelompok 1 UU perawat sebagai payung hukum.docx

TRANSCRIPT

Page 1: makalah legal etik

UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN SEBAGAI PAYUNG HUKUM PROFESI KEPERAWATAN DI INDONESIA

Dosen: Ns. M. Fathoni, S.Kep., MNS

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Abdurahman Wahid NIM. 116070300111009

Bintari Ratih K.. NIM. 116070300111013

Elfi Quyumi R. NIM. 116070300111022

Filia Icha S. NIM. 116070300111021

Latifiyan N. Aminoto NIM. 116070300111024

Marsaid NIM. 116070300111001

Mizam Ari K. NIM. 116070300111030

Novita Ana A. NIM. 116070300111007

Nurma Afiani NIM. 116070300111029

Peni Perdani J. NIM. 116070300111011

Sulastyawati NIM. 116070300111006

Sri Haryuni NIM. 116070300111017

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV. BRAWIJAYA

MALANG2011

KATA PENGANTAR

Alhamdullillah puji syukur kehadirat Allah SWT, tugas etika dan hukum

keperawatan yang diberikan kepada kelompok kami dapat diselesaikan dengan baik. Makalah

yang kami sajikan ini memuat mengenai pentingnya undang-undang keperawatan sebagai

payung hukum profesi keperawatan di Indonesia.

Page 2: makalah legal etik

Pengesahan RUU keperawatan menjadi penting karena tujuan dibentuknya undang-

undang keperawatan adalah untuk memberikan landasan hukum terhadap praktik

keperawatan untuk melindungi baik  masyarakat maupun perawat.

Dalam makalah ini kelompok kami akan membahas urgensi disahkannya undang-

undang keperawatan di Indonesia beserta beberapa kasus yang diakibatkan oleh tidak adanya

payung hukum bagi profesi keperawatan di Indonesia. Semoga makalah yang kami sajikan

dapat memberi informasi mengenai undang-undang keperawatan sebagai payung hukum

profesi keperawatan di Indonesia.

Malang, Desember 2011

Penulis

DAFTAR ISI

J

udul

i

K

ata

peng

anta

r

ii

D

aftar

isi

iii

1

1

Page 3: makalah legal etik

B

ab 1.

Pend

ahul

uan

1

.1

Latar

Bela

kang

1

.2

Rum

usan

Masa

lah

1

.3

Tuju

an

B

ab

II.

Tinj

auan

Pust

aka

2

.1

Profe

si

Kepe

rawat

an

2

.2

Perta

4

5

6

6

7

9

10

13

23

28

33

35

Page 4: makalah legal etik

nggu

ngja

waba

n

Huku

m

Pera

wat

2

.3

Penti

ngny

a

Unda

ng-

Unda

ng

Kepe

rawat

an

2

.4

Tuju

an

Dibe

ntuk

nya

UU

Kepe

rawat

an

B

ab

III.

Kasu

s

dan

Page 5: makalah legal etik

Pem

baha

san

3

.1

Kasu

s 1

3

.2

Kasu

s 2

3

.3

Kasu

s 3

B

ab

IV.

Penu

tup

D

aftar

Pust

aka

1

2

2

BAB I

PENDAHULUAN

Page 6: makalah legal etik

1.1. Latar Belakang

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36

tahun 2009 disebutkan bahwa perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan

kesehatan di Indonesia. Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tenaga perawat

merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar dan merupakan salah satu profesi yang selalu

berhubungan dan berinteraksi langsung dengan klien, baik itu klien sebagai individu,

keluarga, maupun masyarakat. Sehingga dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat

dituntut untuk memahami dan berperilaku sesuai dengan etik keperawatan. Agar seorang

perawat dapat bertanggungjawab dan bertanggung gugat maka seorang perawat harus

memegang teguh nilai-nilai yang mendasari praktik keperawatan itu sendiri, yaitu : perawat

membantu klien untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimum, perawat membantu

meningkatkan autonomi klien dalam mengekspresikan kebutuhanya, perawat mendukung

martabat kemanusiaan dan berlaku sebagai advokat bagi klienya, perawat menjaga

kerahasiaan klien, berorientasi pada akuntabilitas perawat dan perawat bekerja dalam

lingkungan yang kompeten, etik dan aman (Harif Fadillah, 2011).

Namun, di dalam menjalankan tugasnya tak jarang perawat bersinggungan dengan

masalah hukum. Sehingga untuk menjalankan tugas dan fungsinya perawat membutuhkan

perangkat hukum untuk memberikan kepastian dan perlindungan agar dikemudian hari tidak

menimbulkan kerugian bagi perawat. Hal ini membuat RUU Keperawatan Indonesia perlu

untuk segera disahkan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Keperawatan sebetulnya telah

diusulkan sejak tahun 1989. Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi profesi perawat di

Indonesia mulai memperjuangkan terbetuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting

terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU

Kesehatan yang di dalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi (UU

Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa

keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP No.32,

1966). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi Rancangan Undang-uandang

Page 7: makalah legal etik

( RUU) Keperawatan pada tahun 2004. Namun hingga kini, belum ada kejelasan tentang

pengesahan undang-undang ini (Harif fadillah, 2011).

Perawat memiliki rasa tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi

masyarakat, di lain pihak rasa tanggung jawab ini tidak didukung oleh peraturan yang ada.

RUU tidak hanya digunakan sebagai landasan hukum namun juga dapat melindungi perawat

terutama yang berada di puskesmas daerah terpencil. Menurut Depkes 2005 menyatakan hasil

evaluasi peran dan fungsi perawat puskesmas di daerah terpencil terkait dengan tindakan

medik meliputi: menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%),

melakukan tindakan pengobatan di dalam maupun di luar gedung puskesmas (97,1%),

melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%) dan melakukan pertolongan persalinan (57,7%)

(Depkes, 2005). Jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, maka hanya Indonesia dan

Myanmar aja yang belum memiliki Undang-undang Keperawatan (Harif Fadillah, 2011).

Pelayanan gawat darurat baik di Rumah Sakit, puskesmas maupun klinik-klinik di

Indonesia menempatkan perawat sebagai ujung tombak pemberi layanan kesehatan.

Puskesmas yang saat ini memberikan pelayanan unit gawat darurat selama 24 jam juga

menempatkan perawat sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, terkadang bahkan tanpa

adanya dokter jaga. Padahal kasus emergensi di puskesmas tidak semuanya boleh ditangani

oleh seorang perawat secara mandiri. Salah satunya adalah kasus Misran, seorang perawat di

Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang dipidana 3 bulan karena dianggap

telah melanggar UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, oleh karena memberikan obat

daftar G (obat keras) pada pasien gawat. Kejadian tersebut sangat merugikan perawat,

sehingga di Indonesia penting sekali untuk segera disahkannya undang-undang. Menurut

Fadillah (2011) bahwa UU Keperawatan dapat menjamin kepastian dan jaminan hukum bagi

tenaga perawat dalam melaksanakan pelayanan keperawatan, serta dapat menjamin kepastian

dan jaminan hukum bagi masyarakat yang akan memanfaatkan pelayanan keperawatan.

Dengan adanya UU Keperawatan juga diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas,

keterjangkauan, dan mutu pelayanan keperawatan, serta mempercepat keberhasilan upaya

peningkatan derajat kesehatan masyarakat (harif Fadillah, 2011).

Page 8: makalah legal etik

Perawat dituntut untuk bertanggungjawab dalam setiap tindakannya selama

melaksanakan tugas baik di rumah sakit, puskesmas, klinik, panti atau masyarakat. Peran

penting perawat adalah memberikan pelayanan perawatan (care) atau memberikan perawatan

(caring) bukan untuk mengobati (cure). Namun, masalah yang dihadapi di Indonesia adalah

terbatasnya tenaga kesehatan dokter atau farmasi terutama didaerah terpencil. Terbatasnya

tenaga kesehatan menyebabkan terbatasnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, di sisi

lain peran perawat untuk menjamin kesehatan masyarakat harus dilaksanakan secara optimal.

Adanya undang-undang akan memberikan batasan jelas pada hak dan kewajiban profesi

perawat, sekaligus dapat meningkatkan profesionalisme para perawat karena akan mengatur

pula urusan mengenai keseragaman kompetensi dan sertifikasi. Undang-Undang juga dapat

digunakan sebagai pedoman hukum bagi dunia keperawatan dalam memberikan dan

menjalankan tugas perawat diberbagai pelosok di negeri ini sehingga kasus yang menimpa

perawat Misran tidak terjadi lagi kepada perawat-perawat lain (Harif Fadillah, 2011).

Sering kali kita mendengar perawat masih diperlakukan kurang adil di mata hukum

Indonesia baik di daerah-daerah terpencil ataupun di kota-kota besar. Perawat masih

dipandang sebelah mata saja, hal ini terjadi karena di Indonesia belum mempunyai Undang-

Undang Praktek keperawatan. Dengan latar belakang diatas maka kami ingin membahas

pentingnya undang-undang keperawatan di Indonesia dalam melindungi tugas-tugas perawat.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana Undang-undang keperawatan sebagai payung hukum profesi

keperawatan?

1.3. Tujuan

a. Mengetahui aspek legal hukum profesi keperawatan di Indonesia

b. Mengetahui tentang legal hukum profesi perawat gawat darurat

c. Mengetahui rancangan undang-undang keperawatan

d. Mengetahui pentingnya undang-undang keperawatan

Page 9: makalah legal etik

e. Menganalisis pentingnya undang-undang dalam praktek professional keperawatan

baik di DN dan LN

f. Tujuan di segera bentuknya Undang-Undang Praktek Keperawatan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Profesi Keperawatan

Page 10: makalah legal etik

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian

integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan

kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang

mencakup seluruh proses kehidupan manusia.(Kozier, 2009). Praktek keperawatan adalah

tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan system klien dan tenaga kesehatan lain

dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya

pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok.

(Kozier, 2009)

Emergency Nursing (Perawat Gawat Darurat) adalah sebuah area khusus/ spesial dari

keperawatan profesional yang melibatkan integrasi dari praktek, penelitian dan pendidikan

profesional. Perawat gawat darurat mempunyai fokus untuk memberikan pelayanan secara

episodik kepada pasien-pasien yang mencari terapi baik yang mengancam kehidupan, non

critical illness atau cedera (Putra, 2010).

Pada Keperawatan Gawat Darurat diperlukan asuhan keperawatan yang merupakan

suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung diberikan

kepada pasien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Asuhan keperawatan dilaksanakan

menggunakan metodologi pemecahan masalah melalui pendekatan proses keperawatan,

berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan dalam lingkup

wewenang serta tanggung jawabnya. Dalam hal ini aspek legal etik sangat diperlukan dalam

penerapan praktek keperawatan dimana tindakan mandiri perawat professional melalui

kerjasama dengan pasien baik individu, keluarga, kelompok atau komunitas dan

berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan

sesuai lingkup dan tanggung jawabnya (Putra, 2010; Harif Fadillah, 2011).

2.2 Pertanggungjawaban Hukum Perawat

Tanggung jawab perawat harus dilihat dari peran perawat. Dalam peran perawatan dan

koordinatif, perawat mempunyai tanggung jawab yang mandiri. Dalam peran terapeutik maka

berlaku verlengle arm van de arts/prolonge arm/extended role doctrine (doktrin perpanjangan

Page 11: makalah legal etik

tangan dokter). Tanpa delegasi atau pelimpahan, perawat tidak diperbolehkan mengambil

inisiatif sendiri. Akantetapi dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya

perubahan status yuridis dari “perpanjangan tangan” menjadi “kemitraan” atau

“kemandirian”, seorang perawat juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk

malpraktik keperawatan yang dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam

hal ini dibedakan tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni

dalam bentuk malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik keperawatan

(Budhiartie, 2011).

Wewenang dalam melaksanakan praktik keperawatan diatur dalam Permenkes No.148

Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan dan Undang-Undang

kesehatan nomor 39 tahun 2009 tentang praktik kesehatan. Praktik keperawatan dilaksanakan

melalui kegiatan pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif,

pemulihan dan pemberdayaan masyarakat, dan pelaksanaan tindakan keperawatan

komplementer. Pertanggungjawaban perawat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan

dapat dilihat berdasarkan tiga bentuk pembidangan hukum yakni pertanggungjawaban secara

hukum keperdataan, hukum pidana dan hukum administrasi (Budhiartie, 2011).

Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan

melanggar hukum  (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata

dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239

KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam

KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berkut: (a).

Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365 BW

dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang

melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang mengakibatkan

kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya secara mandiri.(b).

Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let's the

master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal

1367 BW.  Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi

dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk

Page 12: makalah legal etik

pertanggungjawaban di atas.  Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah

perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggung gugat kepada

kerugian yang menimpa pasien. (c). Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming

berdasarkan Pasal 1354 BW. Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi

seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus melakukan pertolongan darurat

dimana tidak ada orang lain yang berkompeten untuk itu. Perlindungan hukum dalam

tindakan zaarwarneming perawat tersebut tertuang dalam Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun

2010 (Budhiartie, 2011).

2.3. Pentingnya Undang-Undang Keperawatan

Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam

peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan

mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil

dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan

pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga

memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian

yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika

profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas,

kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah

dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas,

efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian

interprofesional (WHO, 2002; ICN, 2010).

Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang

kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Demikian Juga UU Nomor 36 tahun 2009, Pasal 63, ayat 3 secara eksplisit menyebutkan

bahwa pengendalian, pengobatan, dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu

kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggung jawabkan

kemanfaatannya dan keamanannya. Sedang pasal 63 ayat 4, menyebutkan bahwa pelaksanaan

pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau keperawatan hanya dapat

Page 13: makalah legal etik

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Disisi

lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat serta Undang-

Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009.

Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan

khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran

paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan

pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik

yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan

(Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang

mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari

pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan

penyelenggaraan pelayanan keperawatan (Fadillah, 2011).

2.4. Tujuan Dibentuknya Undang-Undang Keperawatan

Tujuan utama

Memberikan landasan hukum terhadap praktik keperawatan untuk melindungi baik

masyarakat maupun perawat (Kozier, 2009).

Tujuan Khusus

Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan kesehatan yang

diberikan oleh perawat.

Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan perawat.

Menetapkan standar pelayanan keperawatan

Menapis ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan

Menilai boleh tidaknya perawat untuk menjalankan praktik keperawatan

Menilai ada tidaknya kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan perawat dalam

memberi pelayanan.

Page 14: makalah legal etik

Dilihat dari sudut Hukum, rancangan UU keperawatan dapat menjadi payung hukum

perawat Indonesia dalam menjalankan praktik profesinya. Namun sampai sejauh ini,

rancangan UU keperawatan tersebut belum menjadi agenda yang harus disahkan oleh

Anggota DPR RI. RUU tentang Praktik Perawat telah menjadi Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2005-2009. Hal ini berdasarkan

Keputusan DPR-RI No. 01/DPR-RI/III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Program

Legislasi Nasional Tahun 2005-2009. Dalam Prolegnas 2005-2009 tersebut, telah ditetapkan

284 (duaratus delapan puluh empat) prioritas RUU untuk digarap selama lima tahun.

Masuknya RUU Praktik Perawat dalam Prolegnas 2005-2009 melalui proses yang amat

panjang. Proses penyusunan Prolegnas diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun

2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional

(Pakiringan, 2009).

Perawat Indonesia (lebih dari 500.000) merupakan 60 % dari total tenaga Kesehatan

telah memberikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia dengan memberi pelayanan di daerah

terpencil, perbatasan, desa-desa tertinggal, pulau-pulau terluar dan seluruh tatanan pelayanan

kesehatan yang ada di Indonesia. Masyarakat perlu mendapatkan pelayanan kesehatan yang

memadai oleh tenaga perawat yang berkualitas dengan dasar regulasi yang memadai.

Disamping itu bagi perawat juga terlindungi dari berbagai resiko kerja dan tuntutan hukum

(Pakiringan, 2009).

Selain dihadapkan pada masalah di atas dengan telah di tanda tanganinya Mutual

Recognition Agreement (MRA) di 10 negara ASEAN terutama bidang keperawatan yang

akan di berlakukan tahun 2010. Dimana diantara 10 negara Asean tersebut hanya 3 negara

yang belum memiliki Undang-Undang Keperawatan yaitu; Indonesia, Laos dan Vietnam.

Maka dapat dibayangkan bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi sasaran empuk tenaga-

tenaga kesehatan asing, tenaga perawat dalam negeri terpinggirkan, pengakuan rendah dan

gaji yang tidak memadai (Pakiringan, 2009).

Page 15: makalah legal etik

BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1. KASUS 1

Rabu, 18 Maret 2009 , 09:58:00 (www. kaltimpos.co.id )

Misran, Korban Penerapan Undang-Undang Kesehatan, Ingin Bantu Warga, Malah

Diciduk Polisi

Misran (40) tak pernah menyangka, kalau niat untuk membantu masyarakat justru

harus berakhir perih. Betapa tidak, dia harus mendekam di balik jeruji besi karena terbukti

membuka praktik pengobatan yang melanggar pasal 82 ayat (1) Undang Undang Republik

Indonesia (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan pasal 78 UU Nomor 29 tahun

2004 tentang praktik kedokteran.

Pria kelahiran Balikpapan 28 Oktober 1969 ini tak kuasa menahan airmata ketika

menceritakan kasus yang menimpanya di hadapan ribuan peserta seminar ilmiah kesehatan

yang dirangkai dengan peluncuran buku Andi Sofyan Hasdam berjudul “Etika Kedokteran

dan Hukum Kesehatan”, di Swiss-belhotel Borneo, Samarinda, Sabtu (14/3) lalu.

“Maaf saya tidak bercerita, tapi saya sedang mengungkapkan isi hati dan penderitaan

saya akibat penerapan undang-undang kesehatan,” ucapnya, lirih. Memasuki sesi kedua pada

seminar kemarin, panitia sengaja mengundang perwakilan dari Kapolda Kaltim untuk

membahas materi tentang “Proses Hukum Malapraktik Terhadap Tenaga Kesehatan”. 

Kesempatan itu pun dimanfaatkan Misran untuk bertanya tentang kasus yang menimpahnya.

Awalnya, sempat ragu untuk bertanya, masalahnya, dia khawatir bila ia bertanya justru

kasusnya akan semaikin dipersulit. Apalagi, lanjutnya, ia sering mendengar bahwa Kapolda

itu “seram”. “Saya betul-betul tidak mengerti tentang undang-undang. Saya jelas-jelas

membantu orang, malah saya ditangkap. Sementara saat itu, jika tidak membantu masyarakat

bisa-bisa dihakimi orang sekampung,” tutur ayah 3 anak ini. Sebenarnya, penangkapan

dirinya tidak terlalu menyedihkan baginya. Maklum, ia ditangkap karena memang melanggar

Page 16: makalah legal etik

penyalagunaan wewenang. Meski, berkali-kali ia mencoba meyakinkan aparat kepolisian

bahwa apa yang dilakukan murni untuk membantu masyarakat karena di Samboja, Kutai

Kartanegara belum ada praktik kedokteran dan apotek. “Kalau ditangkap saya bisa terima,

tapi cara polisi memperlakukan saya sangat tidak rasional. Seumur hidup saya tidak bisa

terima. Apalagi, saya bukan preman, pencuri atau pengedar narkotika,” ketusnya.

Di hadapan ribuan peserta, dia menceritakan kronologi kejadian yang menimpanya. 

Dia mengakui Selasa (4/3) lalu sudah memberikan obat daftar G kepada seorang pasien. Sore

harinya, datang seorang polisi yang menyamar sebagai pembeli dan menanyakan obat

“amoksilin”. Setelah tidak mendapatkan obat amoksilin, datang 4 lelaki memperkenalkan diri

sebagau polisi yang ditugaskan untuk memeriksa dan menahannya. ”Saya ini kepala

puskesmas pemabantu. Karena masyarakat memerlukan, maka saya buka praktik. Kami juga

sudah ada izin dari Dinas Kesehatan tingkat 1 (Kaltim, Red.). Di sini juga tidak ada praktik

dokter dan apotek. Apa yang kami lakukan karena tuntutan masyarakat,” ujarnya menirukan

kalimat yang disampaikan kepada petugas polisi yang menangkapnya, yakni Kompol I Made

Subadi, AIPTU Mikael Hasugian, Bripka Deni Wahyudi, dan Brigpal I Made Patika.

Seluruh alasan dan penjelasannya tak digubris polisi. “Maaf pak Misran, kami hanya

menjalankan tugas. Untuk itu, pak Misran harus nurut untuk kami geledah dan kami tahan,”

tuturnya meniru perkataan polisi. Pukul 18.00 Wita, dia dan obat-obatan yang ia jual ikut

diangkut untuk dijadikan barang bukti. Juga nota pembelian dri apotek dan obat kaplingan

bidan seperti depo, amoksilin dan obat label hijau (astasid dan flucadek sirup/obat flu).

Begitu sampai di Polda Kaltim Balikpapan, ia pun harus menunggu, karena sedang mati

lampu, jadi pemeriksaan ditunda. Akhirnya, lampu menyala pukul 01.00 Wita. Saat itu, saya

mulai diperiksa hingga pukul 04.30 subuh. Di antara rasa kantuk, capek dan lelah ia terus

mendapat tekanan yang sangat menyulitkan dan sulit untuk membela diri. ”Saya harus

mengakui kesalahan bahwa perawat tidak berwenang dalam melakukan pemeriksaan dan

memberikan obat kepada pasien,” ujarnya, sembari menahan isak tangisnya.

Apapun alasannya, Misran sudah melakukan pelanggaran ketentuan undang-undang.

Misran yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya pasrah menerima hukuman dan siap

untuk dipenjara. Saat di penjara, Misran lagi-lagi harus merasakan kepahitan. Maklum, ia di

Page 17: makalah legal etik

penjara bersama 24 tahanan narkotika. Ukuran sel kurang lebih 4x6 meter persegi. “Ya Allah,

ini bukan penjara. Masa saya di penjara dan di tempatkan bersama dengan tahanan

narkotika,” katanya lagi. Misran menjabat sebagai pimpinan Puskesma Pembantu Kuala

Samboja sejak 3 November 1994. Sebelumnya, ia hanya perawat sejak 1991 dan saat itu di

Puskesmas Induk Handil Baru. Karena diminta untuk menjadi kepala Puskesmas Pembantu di

Kuala, ia segera berpikir bagaimana memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat. Apalagi

hampir setiap hari ia selalu didatangi warga untuk meminta bantuan pengobatan. Sementara

ia hanya perawat yang tak punya kewenangan dalam melakukan pemeriksaan dan

memberikan obat kepada pasien.

“Coba Anda bayangkan, Anda diposisi saya pak Polisi. Anda bantu, anda harus

berhadap dengan risiko hukum. Tapi kalau tidak membantu justru Anda akan kena sanksi

sosial dari masyarakat, karena dianggap tidak mau menolong. Ini dilema bagi kami. Untuk

itu, melalui forum ini saya ingin sampaikan ke teman-teman, agar tidak ada ‘Misran’ yang

lainnya,” bebernya disambut aplaus disertai teriakan, “perawat juga manusia”.

TRAUMA

Setelah diperiksa, beberapa hari kemudian, polisi datang kepada Misran yang

sebelumnya minta jadi tahanan luar. Petugas pun berkata kepadanya, pak Misran Anda bisa

menjadi tahanan luar, tapi harus ada yang menjamin dan administrasinya. Karena sudah tidak

tahan dalam sel, ia pun menuruti semua keinginan polisi asal dirinya segera keluar dari

tahanan.

“Saya terus berusaha untuk melakukan pembelaan dan mencoba menjelaskan kepada

polisi bahwa apa yang saya lakukan sesuai prosedur dan mendapat izin. Namun, bagi polisi

hukum tetap harus dijalankan,” ujarnya lagi. Hingga kini, dia tetap tidak membuka praktik

dan tak mau melayani masyarakat. Akibatnya, masyarakat harus berobat di Puskesmas Induk

yang jaraknya kira-kira 10 kilometer. “Saya trauma masuk penjara. Apalagi saya sempat sakit

di sel karena penjaranya yang begitu kotor dan tidak disesuaikan dengan standar kesehatan,”

tandasnya.

Seperti diketahui, Misran diciduk karena diketahui tak memiliki izin praktik, namun

nekat menerima pasien dan memberikan obat daftar G kepada pasien. “Ini pelanggaran UU

Page 18: makalah legal etik

Kesehatan dan UU Praktik dokter. Tugasnya tidak boleh melakukan penanganan medis

kecuali ada perintah dan disampingi dokter,” kata Dir Reskoba Polda Kaltim Kombes Pol

Usman HP saat dikonfirmasi, Minggu (15/3) kemarin. Wewenang mantri, lanjutnya sebatas

memberikan obat bertanda lingkaran biru. Sedangkan untuk tindakan medis, wajib harus

dengan perintah dokter. “Namun semua dilakukan dan membuka praktik di rumahnya. Ia

melanggar UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992 dan UU Praktek kedokteran nomor 29 tahun

2004. Dokter saja tidak boleh memberikan obat langsung, melainkan ditebus di apotek,

kecuali dalam keadaan mendesak,” bebernya. Imbasnya, pasien atau masyarakat yang berobat

pada Misran atau mantri mungkin belum dapat terlihat. Apakah dapat mengakibatkan cacat,

luka atau sampai meninggal  dunia. “Kini Misran sedang menjalani proses hukum dan

ancaman pidana maksimal 5 tahun  penjara. Pemerintah daerah diharapkan lebih

memerhatikan perizinan mantri serta minimnya dokter di wilayah kabupaten,” tandanya.

Untuk menunjang proses penyelidikan, penyidik turut pula meminta keterangan

sejumlah saksi dari dokter, pasien, pihak kantor dinas kesehatan setempat dan balai

pengawasan obat dan makanan (POM).

PENDEKATAN

Kini, Misran masih berstatus tahanan luar Polda Kaltim hingga 24 Maret mendatang.

Selain menjadi korban penerapan Undang-Undang Kesehatan, Misran juga merasa diperlukan

tidak wajar oleh pihak polisi. Namun, sekarang ia mulai bersemangat karena Andi Sofyan

Hasdam dan Dinas Kesehatan Kaltim akan melakukan pendekatan kepada Polda Kaltim.

“Saya berharap segera ada keputusan untuk membantu saya. Kalau pun saya harus

menerima hukuman dan harus tinggal dipenjara, saya mohon kapasitas dan penempatan saya

bukan bersama tahanan narkotika,” imbuhnya. Sementara itu, Sofyan Hasdam menjelaskan,

polisi pasti tidak akan salah. Karena kalau salah, polisi juga akan kena sanksi. Untuk itu,

pihaknya akan melakukan pendekatan dan mencoba menyelesaikan kasus ini. “Semuanya

tidak akan selesai dengan sistem kekerasan. Tapi, kalau pendekatan dan mencoba

menjelaskan dengan argumen yang rasional, maka masalah ini pasti akan selesai,” tegas pria

berdarah Bugis ini. (http://www.kaltimpost.co.id/?mib=berita.detail&id=18348)

Analisa Kasus:

Page 19: makalah legal etik

Kasus ini merupakan contoh tidak amannya praktik keperawatan dari tuntutan hukum.

Kasus Misran sebenarnya merupakan sebuah realita yang sangat sering dihadapi oleh Perawat

di daerah terpencil. Sering kita temukan Perawat berpraktik seperti layaknya seorang dokter;

meresepkan obat, memberi suntikan, dll. Tindakan – tindakan medis dasar seperti diatas

sangat sering dilakukan oleh Perawat yang bertugas di Puskesmas Pembantu (Pustu) dimana

sebagian besar Pustu yang ada di luar jawa tidak mempunyai dokter. Menurut perhimpunan

dokter umum Indonesia pada tahun 2011 terdapat 70.000 dokter umum namun

penyebarannya tidak merata dan lebih dari 30% puskesmas tidak memiliki dokter terutama di

puskesmas dan puskesmas pembantu di daerah Indonesia timur, daerah terpencil dan daerah

perbatasan (Republika, 2011).

Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah kes ehatan kab/kota yang

bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja

(Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004). Menurut Depkes RI 1991 puskesmas adalah

organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan

masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat & memberikan pelayanan secara

menyeluruh & terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.

Jaringan pelayanan puskesmas meliputi puskesmas itu sendiri, puskesmas pembantu,

polindes (pondok bersalin desa), dan posyandu (pos pelayanan terpadu).

Puskesmas Pembantu (Pustu) adalah unit pelayanan kesehatan yang sederhana dan

berfungsi menunjang dan membantu memperluas jangkauan Puskesmas dengan

melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Puskesmas dalam ruang lingkup wilayah

yang lebih kecil serta jenis dan kompetensi pelayanan yang disesuaikan dengan kemampuan

tenaga dan sarana yang tersedia (depkes RI, 2007). Cakupan puseksmas pembantu meliputi 2-

3 desa dengan sasaran 2500 jiwa (di luar jawa) dan 10.000 jiwa (jawa, bali). Pelayanannya

meliputi pelayanan medis sederhana oleh perawat atau bidan disertai jadwal kunjungan

dokter. (Puskelinfo, 2009).

Walaupun keberadaan Pustu lebih ditujukan kepada pelayanan dasar kesehatan,

namun dalam praktiknya Pustu dituntut untuk mampu melakukan pelayanan kegawat –

daruratan. Lokasi pustu yang jauh dari pusat layanan kesehatan menjadikan harapan

Page 20: makalah legal etik

masyarakat sekitar begitu tinggi akan pelayanannya. Masyarakat tidak lagi memandang

bahwa seorang Perawat memiliki keterbatasan dalam melakukan layanan khususnya terkait

dengan layanan pemberian obat – obatan. Adakalanya, perawat harus melakukan prosedur

menjahit luka yang mengharuskan Perawat juga memberikan anestesi dan melakukan

tindakan bedah minor. Sering juga kita temui Perawat melakukan resusitasi cairan pada

pasien dehidrasi (misal akibat diare dan DHF) tanpa ada pelimpahan wewenang dari dokter.

Padahal, tindakan – tindakan tersebut diatas masuk dalam kategori tindakan medis.

Peraturan Menteri Kesehatan no 148 tahun 2010 membolehkan seorang Perawat

untuk memberikan obat dari jenis obat bebas (logo hijau) dan obat bebas terbatas (logo biru).

Namun pada praktiknya, dinas kesehatan tetap mendistribusikan obat – obatan jenis obat

keras kepada puskesmas pembantu. Permenkes no 148 tahun 2010 juga memberikan payung

hukum bagi Perawat yang berada pada situasi gawat darurat untuk melakukan tindakan diluar

kompetensinya.

Sekilas Permenkes ini memberikan jaminan pada layanan kegawat – daruratan oleh

Perawat. Namun tertnyata Permenkes ini belum mampu memberikan jaminan seutuhnya bagi

praktik keperawatan gawat darurat terutama di daerah terpencil. Permenkes ini hanya

memberikan jaminan pada ruang lingkup layanan gawat darurat pada kondisi yang

mengancam nyawa dan membutuhkan pelayanan segera (gawat darurat) dan tidak ada

jaminan bahwa Perawat diizinkan untuk bertindak diluar kewenangannya pada kondisi gawat

saja atau darurat saja (klasifikasi P2 dan P3 pada triage). Ancaman pidana semakin nyata

ketika tidak adanya kesamaan persepsi antara Perawat dengan pihak yudikatif (Polisi, Jaksa,

dan Hakim) dalam menilai kondisi yang masuk kategori gawat darurat mengancam nyawa.

Perawatan kegawat – daruratan selalu membutuhkan obat – obatan farmasi.

Wewenang Perawat yang hanya sampai memberikan obat bebas dan obat bebas terbatas

(sebagaimana diatur dalam Permenkes) ternyata bertentangan dengan PP no 52 tahun 2009

tentang kefarmasian, yang menyebutkan bahwa penyimpanan dan distribusi obat hanya boleh

dilakukan oleh tenaga farmasi. Ketentuan ini membuat Perawat jadi serba salah. Disatu sisi

ingin menolong masyarakat, namun disisi lain dia terancam karena melakukan sesuatu yang

bukan kompetensinya. Ketidakjelasan ini bisa diatasi jika ada peraturan setingkat UU yang

Page 21: makalah legal etik

melindungi pekerjaan Perawat. Dengan adanya UU, Perawat akan lebih mudah menentukan

standar kompetensi Perawat sesuai dengan bidang dan pendidikannya.

PENTINGNYA UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN

Pengesahan RUU keperawatan menjadi penting karena tujuan dibentuknya undang-

undang keperawatan adalah untuk memberikan landasan hukum terhadap praktik

keperawatan untuk melindungi baik  masyarakat maupun perawat. Pada keadaan darurat

fenomena “grey area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun

dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya

berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak

ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang

bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien.Tindakan yang dilakukan tanpa ada

delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter

yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang

mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering

kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan

fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak

mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara profesional

(Republika, 2011).

Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan

hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan

kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan

akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi. Uraian diatas cukup menggambarkan betapa

pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi

masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional

Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan

pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam

memajukan profesi keperawatan (Budhiartie, 2011).

Page 22: makalah legal etik

Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak

diperlukan. Hal ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat,

sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi

di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU

Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI. (Dikutip dari pernyataan Harif Fadillah,

2011).

3.2 KASUS 2

Selasa, 21 September 2010

MujilahJadiKorbanMalpraktek RSUD Banyumas (www.krjogja.com)

PURWOKERTO (KRjogja.com) -Mujilah (34), Warga RT 01 / RW 01, Desa Karangendep,

Kecamatatan Patikraja diduga menjadi korban malpraktek karena kedua matanya buta setelah

menjalani proses persalinan anak keduanya tahun 1999. Mujilah mengaku pada tahun 1999

melahirkan normal di RSUD Banyumas. Namun, sebelumnya diberi obat untuk

melancarkan persalinan oleh perawat dan sudah disetujui dokter. Setelah itu, wajah dan

tubuhnya membengkak.Bahkan, kulitnya mengelupas seperti terkena cacar. "Wajah dan mata

bengkak. Kemudian dikelupas oleh perawat tanpa dibius. Karena itu, tetangga di kamar

pingsan melihat perlakuan itu. Selain itu, semua kuku juga ikut mengelupas," kata Mujilah

saat dikunjungi anggota DPRD Banyumas dari Komisi D, Yoga Sugama, Selasa (21/9).

Kendati demikian, Mujilah bertahan di RSUD selama dua pecan hingga lukanya

mengering. Sedangkan anaknya bernama Aris Pamungkas hidup normal. Namun, 10 bulan

kemudian meninggal dunia dan matanya sudah tidak normal. Bahkan, sempat berobat

kedokter lain dan menyarankan menuntut RSUD Banyumas karena mendapat penanganan

medis yang salah (malpraktek)."Pihak keluarga tidak berani melapor. Apalagi orang tua

sudah sangat tua sehingga tidak mungkin mendatangi rumah sakit. Bahkan, suami pergi entah

kemana sampai sekarang," tandasnya.

Sementara itu Yoga Sugama akan meminta pertanggungjawaban dokter dan perawat

karena malpraktek ini. Apalagi, rekam medis penanganan masih tersimpan di RSUD yang

memudahkan penelusuran para pihak itu."Kasus seperti ini harus ditangani tegas.Jika tidak

Page 23: makalah legal etik

ditindaklanjuti, orang desa sepertiMujilah yang dianggap bodoh, akan terus mendapatkan

perlakukan yang sama," pungkasnya.

(http://www.krjogja.com/krjogja/news/detail/50851/

Mujilah.Jadi.Korban.Malpraktek.RSUD.Banyumas.html)

PEMBAHASAN

PROLONGED arm, "Extended role" doctrine. Istilah-istilah ini begitu dikenal selama

beberapa decade lalu di negara-negara Anglo Saxon. Sementara itu, di Benua Eropamuncul

pula Verlengde arm theorie. Apakah maksudnya? Tak lain dari julukan bagi seorang perawat

yang diterjemahkan menjadi "perpanjangantangan dokter". Perawat yang berada di rumah

sakit selama 24 jam diharuskan menggantikan dokter dalam merawat pasiennya, selama

dokter itu tidak bertugas. Meskibegitu, perawat hanya diberi wewenang yang sangat kecil

untuk itu. Sebagai perawat, ia tidak boleh secara langsung memberikan pengobatan, kecuali

sebelumnya sudah mendapat instruksi tertulis pada rekam medik. (MSA Lubis, 2011)

Dalam lingkup modern, selain adanya perubahan status yuridis dari

"perpanjangantangan" menjadi "kemitraan" atau "kemandirian", seorang perawat juga telah

dianggap bertanggungjawab hokum untuk malpraktik keperawatan yang dilakukannya,

berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan tanggungjawab untuk

masing-masing kesalahan atau kelalaian, yaitu malpraktik medic atau keperawatan. Kasus-

kasus yang terjadi berkaitan dengan malpraktik memang bias menimbulkan berbagai

konsekuensi hukum yang harus ditanggung perawat dengan adanya perubahan status mereka.

Dari aspek pidana ini bisa-bisa mereka terkena hukuman badan atau kurungan.Dan, dari sisi

perdata, pasien bias menuntut ganti rugi; dari segi profesi, mungkin terkena sanksi dari

Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan atau Keperawatan menyangkut etik dan disiplin. Dan, dari

rumah sakit, perawat bisa di-PHK-kan kalau sampai terjadi sesuatu yang merugikan

majikannya.(MSA Lubis, 2011)

Dari kasus diatas perawat melakukan pengobatan pada pasien yang tidak sesuai

dengan wewenangnya dimana prosedur pemberian obat secara invasive seharusnya dilakukan

oleh dokter dan bukan perawat, selain itu perawat tersebut melanggar ketentuan Peraturan

Page 24: makalah legal etik

Menteri Kesehatan no 148 tahun 2010 yang mengatur kewenangan perawat untuk

memberikan obat dari jenis obat bebas (logo hijau) dan obat bebas terbatas (logo biru) dan

hanya memperbolehkan untuk memberikan tindakan diluar kompetensinya hanya pada situasi

gawatdarurat (Permenkes no 148 tahun 2010).

Kasus diatas terjadi disebabkan belum ada pembagian tugas yang jelas antara perawat

dan tenaga medis yang terkadang masih sering tumpang tindih.Wewenang tugas perawat

tersebut seharusnya diatur oleh undang-undang yang jelas didalam undang-

undangkeperawatan.

Dari kedua kasus diatas dapat diambil suatu pemahaman bahwa didalam melakukan

pelayanan kesehatan pada pasien hendaklah memperhatikan aspek legal yang menjadi dasar

perawat dalam melakukan tugasnya yaitu meliputi:

1. UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

1.1. Pasal (1): Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat

pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Kuasa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara,

Hukum Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia

1.2. Pasal 9

1. Setiap orang berhakuntukhidup,

mempertahankanhidupdanmeningkatkantaraf  hidupnya

2. Setiap orang berhakhiduptentram, aman, damaibukanlahirdanbatin

3. Setiap orang berhakataslingkunganhidup yang  baikdansehat

2. UU no 36 tahun 2009

2.1. Pasal 32

2.1.1. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah

Page 25: makalah legal etik

maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi

penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

2.1.2. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah

maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

2.2. Pasal 58

2.2.1.Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga

kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat

kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

2.2.2.Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau 

pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

3. Permenkesnomor HK 02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan

Penyelenggaraan Praktik Perawat

3.1. Pasal 2

3.1.1. Perawat dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan

kesehatan

3.1.2. Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan diluar praktik mandiri dan / atau praktik

mandiri

3.1.3. Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal diploma III (D3) Keperawatan

3.2. Pasal 3

3.2.1. Setiap Perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP

3.2.2. Kewajiban memiliki SIPP dikecualikan bagi Perawat yang

menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri

Page 26: makalah legal etik

3.3. Pasal 4

3.3.1. SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) dikeluarkan

oleh pemerintah kabupaten / kota

3.3.2. SIPP berlakuselama STR masih berlaku

3.4. Pasal 10

3.4.1. Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorag /

pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, Perawat dapat melakukan

pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8

3.4.2. Bagi Perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak

memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah , dapat melakukan

pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8

3.4.3. Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana

dimaksud ayat (2) harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan

kemungkinan untuk dirujuk.

3.4.4. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) adalah kecamatan dan kelurahan / desa yang ditetapkan oleh kepala dinas

kesehatan kabupaten / kota

3.3. KASUS 3

Kasus yang pernah terjadi pada perawat yaitu dimana pada tahun 2011 pemerintah

Kuwait tidak mengakui kasus ijazah keperawatan perawat Indonesia. Mereka terancam

kehilangan pekerjaan dan hak-hak normatif karena persoalan akreditasi ijazah. Persoalan

yang menimpa 54 perawat ini muncul sejak pemerintah Kuwait menerima surat Kementerian

Kesehatan melalui nota diplomatik Kementerian Luar Negeri RI soal pengakuan ijazah.

Penanganan yang berlarut-larut berdampak buruk bagi Indonesia karena Kuwait terus

merekrut perawat Filipina dan India. Beberapa perawat Indonesia sudah dilarang bekerja

karena tidak ada penyetaraan dari pihak-pihak terkait. Legalitas ijazah perawat Indonesia di

Kuwait sungguh menyedihkan. Pemerintah Kuwait menilai mereka ilegal

(www.nasional.kompas.com). Selain di Kuwait, di Jepang ada sekitar 5.000 perawat yang

Page 27: makalah legal etik

bekerja disana, namun hanya 2 yang diakui sebagai perawat (berjuang mendapat sertifikasi

RN di Jepang, bukan dari Indonesia) dan sisanya dianggap sebagai TKI atau buruh biasa. Hal

tersebut dikarenakan perawat yang bekerja diluar negeri hanya mendapatkan SIP dari Dinas

Kesehatan Kabupaten atau Kota. Mereka belum tersertifikasi sesuai dengan standar

kompetensi yang dibutuhkan di tingkat internasional. Muhammad, 2005 mengatakan bahwa

kemampuan bersaing perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-negara lain seperti

Philipines dan India masih kalah . Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system

pendidikan keperawatan kita masih menggunakan “Bahasa Indonesia”sebagai pengantar

dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat

global. Salah satu tolak ukur kualitas dari Perawat di percaturan internasional adalah

kemampuan untuk bias lulus dalam Uji Kompetensi keperawatan seperti ujian NCLEX-RN

dan EILTS sebagai syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA.

Banyak di antara perawat Indonesia di Kuwait yang sudah dinonaktifkan sebagai

perawat karena ijazah mereka dinilai tak berlaku karena dikeluarkan Akademi atau Perguruan

Tinggi yang tak tercatat di Pusat Diknakes Kemenkes Republik Indonesia. Saat ini banyak

perawat Indonesia yang dinonaktifkan, tidak digaji serta tidak bisa kembali ke Indonesia.

Kemungkinan besar para perawat tersebut juga terancam pidana karena dianggap

memalsukan ijasah. Perawat Indonesia di luar negeri tidak diakui kompetensinya karena tak

memiliki standar kompetensi. Secara sederhana mereka tidak diakui kemampuannya,

sehingga mereka hanya dianggap sebagai asiten perawat. Para perawat tersebut tak diakui

kemampuannya karena tak memiliki bukti legalitas hitam diatas putih. Dengan adanya

Undang-Undang Keperawatan maka dapat melindungi perawat Indonesia agar mendapat

pengakuan di pasar kerja internasional dan kompensasi yang layak.

Keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No

2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Menteri Kesehatan No

1239/Menkes/SK/2001 tentang registrasi dan praktik keperawatan lebih mengukuhkan

keperawatan sebagai suatu profesi di Indonesia. Adanya Undang-undang No. 8 tahun 1999

tetang Perlindungan Konsumen semakin menuntut perawat untuk melaksanakan praktik

Page 28: makalah legal etik

keperawatan secara profesional menjadi suatu keharusan dan kewajiban yang sudah tidak

dapat ditawar-tawar lagi. Penguasaan Ilmu dan keterampilan, pemahaman tetang standar

praktik, standar asuhan dan pemahaman hak-hak pasien menjadi suatu hal yang penting bagi

setiap insan pelaku praktik keperawatan di Indonesia (Yanto, 2001). Konsekuensi dari

perkembangan itu harus ada jenjang karier dan pengembangan staf yang tertata baik, imbalan

jasa, insentif serta sistem penghargaan yang sesuai dan memadai. Rendahnya imbalan jasa

bagi perawat selama ini mempengaruhi kinerja perawat. Banyak perawat bergaji di bawah

upah minimum regional (UMR). Sebagai gambaran, gaji perawat pemerintah di Indonesia

antara Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan tergantung golongan. Sementara perawat di Filipina

tak kurang dari Rp 3,5 juta (Kompas, 2001)

Keperawatan merupakan profesi, yang didalamnya terdapat akreditasi yang berlaku

secara internasional, meskipun didalamnya diakui perawat praktek atau vokasional yang

berasal dari DIII. Perawat DIII ini bisa mendapatkan akreditasi dengan nama LVN (Licensed

Vocational Nurse) atau perawat praktek yang telah terakreditasi yang diatur dalam SIPP2,

sedang perawat S1 diakreditasi dalam RN (Registered Nurse) yaitu dalam SIPP1. Perawat S1

yang tidak terakreditasi sebagai RN dapat pula mengambil tes untuk memperoleh predikat

LVN, namun tidak berlaku sebaliknya pada DIII.

Semua hal tersebut diatas bisa terwujud ketika ada badan independen yang terdiri dari

berbagai elemen masyarakat, bukan hanya penyedia layanan/ profesi tetapi juga masyarakat

sebagai pengguna dan pemerintah, yang mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan,

pembinaan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan

dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan praktik keperawatan. Dalam RUU

Keperawatan, lembaga tersebut dikenal dangan Konsil. Uraian tugas Konsil seperti yang

tercantum dalam RUU Keperawatan cukup konkrit untuk mengatasi carut-marut situasi

praktek keperawatan dan pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia yang salah satu

dampaknya adalah kasus yang terjadi di Kuwait tersebut.

Permasalahannya, konsil hanya bisa terbentuk jika RUU Keperawatan sudah disahkan

menjadi Undang-Undang Keperawatan. Tanpa itu, maka lembaga independen yang kita

Page 29: makalah legal etik

harapkan bisa mengatasi permasalahan yang ada tidak akan terbentuk, dan kondisi

keperawatan di Indonesia akan semakin tertinggal. Dari 10 negara ASEAN, ada 3 negara

yang belum memiliki UU Keperawatan dan Indonesia salah satunya, selain Laos dan

Vietnam. Padahal Mutual Recognition Agreement (MRA) di 10 negara ASEAN terutama

bidang keperawatan mulai diberlakukan pada tahun 2010. Maka dapat dibayangkan bahwa

masyarakat Indonesia akan menjadi sasaran empuk tenaga-tenaga kesehatan asing, tenaga

perawat dalam negeri terpinggirkan, pengakuan rendah dan gaji yang tidak memadai, karena

tidak ada payung hukum yang jelas. Demikianlah harga mati dimana RUU Keperawatan

harus disahkan, karena regulasinya memang mengharuskan berjalannya sistem yang telah

ditentukan oleh UUD 1945.

BAB 4

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Page 30: makalah legal etik

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya perawat membutuhkan perangkat hukum

untuk memberikan kepastian dan perlindungan agar dikemudian hari tidak menimbulkan

kerugian bagi perawat. Dengan adanya UU Keperawatan juga diharapkan dapat

meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan mutu pelayanan keperawatan, serta

mempercepat keberhasilan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Namun sayang

hingga kini, belum ada kejelasan tentang pengesahan undang-undang keperawatan di

Indonesia.

4.2. SARAN

Sebagai bagian dari profesi keperawatan, seluruh perawat di Indonesia baik

mahasiswa keperawatan, perawat di pelayanan kesehatan maupun perawat yang berprofesi di

bidang pendidikan harus bersatu mendukung disahkannya RUU keperawatan sebagai payung

hukum profesi keperawatan di Indonesia. Tenaga keperawatan dengan kuantitas massa dan

intelektualitasnya yang besar dapat menjadi salah satu kekuatan utama dalam

memperjuangkan disahkannya undang-undang keperawatan. Berbagai aksi yang bisa

dilakukan antara lain: membuat seminar/ lokakarya bersama komisi IX DPR RI, aksi nasional

untuk menyuarakan aspirasi perawat Indonesia, dll. Aksi ini merupakan awal perjuangan baru

dalam mensukseskan UU Keperawatan, peranan sebagai social control mutlak diperlukan

terutama setelah pelaksanaan aksi dalam menjaga kontinuitas usaha PPNI dalam

memperjuangkan terciptanya UU Keperawatan.

Diantara berbagai upaya diatas, ada satu hal terpenting yang harus kita pikirkan

dibenak masing-masing yakni “Jangankan ikut memperjuangankan pengesahan RUU

Keperawatan ke gedung DPR, jangan-jangan masih ada di antara kita yang belum pernah

membaca isi RUU tersebut dan tidak mengetahui kenapa RUU itu harus segera disahkan”.

Page 31: makalah legal etik

DAFTAR PUSTAKA

Bastian, Indra dan Suryono. (2011). Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Salemba Medika:

Jakarta

Budhiartie, arrie. (2011). Pertanggungjawaban hukum perawat. Diambil dari

http://www.unja.ac.id//, tanggal 6 November 2011, pukul 09.00WIB

DEPKES RI (2007) PEDOMAN PENDATAAN DATA DASAR PUSKESMAS

htt

p://www.depkes.go.id/downloads/progr/Pedoman_Updating_Data_Dasar_Puskesma

s.doc+PEDOMAN+PENDATAAN+DATA+DASAR+PUSKESMAS&hl=id&g

Harif Fadillah, http://www.unpad.ac.id/archives/41388, , “Perlu Adanya Regulasi yang Kuat

dalam UU Keperawatan” tahun 2011, di unduh pada tanggal 26 november 2011, jam

18.00

Helm, Ann. (2006). Malpraktek Keperawatan. EGC: Jakarta

Kozier, B., & Erb, G. (2009).Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC.

Pakiringan, Junda. (2009). Undang-Undang Keperawatan: Hak Perawat Indonesia Untuk

Mendapatkan Legislasi Profesi. Diakses 25 November 2011.

Page 32: makalah legal etik

http://jundapakiringan.blogspot.com/2011/07/undang-undang-keperawatan-hak-

perawat.html

Putra, R. H. (2010). Keperawatan Gawat Darurat (Kegawat daruratan & Kekritisan).

Retrieved 7 November, 2011, from

http://nursingforuniverse.com/2010/01/keperawatan-gawat-darurat-kegawat.html

Republika (2011). Ironis, Lebih dari 2000 Puskesmas di Indonesia tak Punya Dokter

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/03/25/lilflv-ironis-lebih-dari-

2000-puskesmas-di-indonesia-tak-punya-dokter-umum

Puskelinfo (2009). JEJARING DASAR 5 PENDUKUNG

PELAYANAN PUSKESMAS.http://puskelinfo.wordpress.com/2009/09/24/jejaring-

dasar-5-pendukung-pelayanan-puskesmas/

http://www.krjogja.com/krjogja/news/detail/50851/

Mujilah.Jadi.Korban.Malpraktek.RSUD.Banyumas.html. Di browsing jam 10.00

tanggal 30 November 2011

http://kantorpengacara-msa-lubis.com/details_artikel_hukum.php?id=2 browsing jam 10.30

tanggal 30 november 2011