makalah global etik
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Globalisasi telah menyebabkan perubahan yang begitu besar dan pesat di dunia ini.
Perubahan itu tidak hanya terjadi dalam bidang teknologi atau perlengkapan modern saja,
akan tetapi globalisasi juga telah menyebabkan perubahan dalam bidang ekonomi, politik,
kebudayaan dan keagamaan. Perubahan-perubahan tersebut mengalami transformasi yang
pengaruhnya bisa menimpa ke semua aspek kehidupan, entah itu pengaruh baik atau buruk.
Banyak sekali orang yang dipaksa masuk dalam tatanan global walaupun kebanyakan dari
mereka tidak memahaminya, tapi dampaknya bisa mereka rasakan.
Globalisasi memang mampu menunjukkan perubahan yang begitu signifikan di segala
aspek kehidupan, akan tetapi era modern yang muncul sebagai bentuk implikasi dari
globalisasi dianggap sebagai sumber tragedi kemanusiaan yang menimpa seluruh manusia di
dunia. Tak hanya itu, era modern juga dianggap tidak bisa menjawab masalah-masalah besar
yang dihasilkan dari dampak kemajuan tersebut. Masalah-masalah tersebut seperti perang,
konflik, kemiskinan, penindasan, pembunuhan, dan sebagainya. Banyaknya bencana yang
menimpa manusia saat ini juga memperlihatkan bahwa era modern gagal membuat dunia
semakin damai, aman, dan sejahtera.
Kegagalan-kegagalan dari era modern diatas memaksa manusia untuk menyepakati
sebuah gagasan baru yang dianggap mampu dan relevan untuk menjawab segala persoalan
yang telah ada. Banyak alternatif yang bermunculan dalam menanggapi permasalahan diatas,
salah satunya adalah adanya etika global. Adanya sebuah etika global dianggap sangat
diperlukan dalam mencapai sebuah kehidupan yang sanggup menjawab segala problem
zaman yang semakin berkembang.
Berbicara mengenai etika, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan etika
sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak). Dr. James J. Spillane SJ mengungkapkan bahwa etika memperhatikan atau
mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika
mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan objektivitas
untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan”atas tingkah laku seseorang.
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN ETIKA
1. Etika dan Moral
Etika berasal dari bahasa yunani kuno yaitu “ethos” dalam bentuk tunggal mempnyai
banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak,
watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah: adat kebiasraan.
Dan arti iilah nilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh
filsuf yunani besar Aristoteles (384-322 s.M) sudah dipakai untuk menunujukkan filsafat
moral. jadi dari pengertian di atas pengertian etika secara etimologi adalah ilmu tentang
apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Masih ada banyak sekali
pengertian etika yang dikemukakan oleh para pakar. Dalam bahasa indonesia kata “ethos”
ini juga sering dipakai seperti dalam gabungan beberapa hal “ethos kerja”, ethos profesi”,
dan lain-lain.
Kata yang sangat dekat dengan “etika” adalah kata “moral”. kata moral berasal dari
bahasa latin mos (jamak: mores) yang juga mempunyai arti: kebiasaan, adat. Dalam
bahasa inggris dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1988, kata mores masih
digunakan dalam arti yang sama. Jadi etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata
“moral”, karena dari kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama yaitu adat kebiasaan.
Yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu yang pertama dari bahasa Yunani,
sedang yang kedua dari bahasa Latin.
Setelah kita tahu asal usul kata tersebut di atas, sekarang kita kembali ke istilah
“etika” untuk mengetahui makna yang sebenarnya. Ada perbedaan yang sangat signifikan
mengenai kata “etika” antara kamus yang lama dengan kamus yang baru. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia yang lama (poerwadarminta, sejak 1953) “etika” adalah ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Jadi, kamus lama ini hanya merujuk pada
satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. seandainya penjelasan ini benar maka jika kita membaca
sebuah kalimat yang menyatakan bahwa “Dalam dunia bisnis etika merosot terus”, maka
kata etika disini hanya bisa berarti “etika sebagai ilmu”. Akan tetapi kalimat tersebut yang
dimaksud adalah bukan etika sebagai ilmu.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan
Kebudayaan, 1988), dijelaskan bahwa etika mempunyai tiga makna1:
1 K. Bertens. ETIKA. ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007) hal. 4-6
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak);
Etika bisa menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-
nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat, sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dam metodis.etika disini sama dengan filsafat moral.
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan tentang akhlak;
Yang dimaksud etika di sini adalah kode etik. Beberapa tahun yang lalu oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia diterbitkan sebuah kode etik untuk rumah
sakit yang diberi judul “Etika Rumah Sakit Indonesia” (1986), jadi “etika” yang
dimaksud dalam pngertian ini adalah kode etik.
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atu masyarakat.
Etika yang dimaksud di sini adalah nila-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang “etika suku-suku Indian”, “etika agama
Budha”, “etika Protestan”, maka itu semua tidak dimaksudkan etika “ilmu”,
melainkan suatu nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan tertentu
atau disebut juga dengan “sistem nilai”.
2. Etika dan Etiket
Dalam meluruskan suatu istilah yang hampir sama kata-katanya, maka perlu
dibedakan antara “etika” dan “etiket”. Sering sekali orang mencampurkanadukkan dua
kata tersebut, padahal keduanya jelas-jelas sangat berbeda. “etika” berarti “moral” dan
“etiket” berarti “sopan santun”. Ada beberapa perbedaan yang sangat penting antara etika
dan etikat, Diantaranya yaitu2:
a. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Diantara beberapa
cara yang mungkin, etikaet menunjukkan cara yang tepat, artinya cara yang
diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu. Misalnya, jika saya
menyerahkan sesuatu kepada atasan saya harus menyerahkannya dengan
menggunakan tangan kanan. Dianggap melanggar etiket jika saya menyerahkan
dengan menggunakan tangan kiri. Tetapi etika tidak terbatas pada cara dilakukannya
suatu perbuatan; melainkan etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri.
Misalnya, mengambil barang milik orang lain tanpa izin, tidak pernah diperbolehkan.
“jangan mencuri” merupakan suatu norma etika.
2 Ibid., hal. 8-9
b. Etika hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang yang melihat atau tidak
ada saksi mata maka etiket tidak berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang
mengatur cara kita makan. Sebaliknya, etika akan selalu berlaku walaupun tidak ada
saksi mata atau tidak ada orang yang melihat. Misalnya, larangan untuk mencuri
selalu berlaku, entah ada orang lain ataupun tidak.
c. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan bisa saja
dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misalnya, makan dengan tangan atau
tersendawa waktu makan. Sedangkan etika bersifat absolut. “jangan mencuri”
merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa di tawar lagi.
d. Jika kita berbicara etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriyah saja.
Sedangkan etika menyangkut manusia dari segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai
“musang berbulu ayam”: dari luar sangat sopan tapi di dalam penuh kebusukan.
3. Etika global
Etik global adalah sebuah konsensus3 dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap
dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan walaupun masih ada perbedaan
dogmatis (bersifat mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama sekali), dan
yang sesungguhnya bisa juga diseimbangkan oleh kaum non-beriman. Etik Global
berfungsi dalam mempelajari tentang aturan kebaikan yang dapat membangun spiritualitas
diri. Etik Global juga dapat mengembangkan pemikiran yang bersifat kontekstual dibidang
keagamaan. Dalam perjalannya etik global berlangsung banyak pemahaman yag dapat
menjelaskan banyak pengetahuan.4
II. SEJARAH MUNCULNYA ETIKA GLOBAL
Pada tanggal 28 Agusutus sampai pada tanggal 4 september 1993, ketika para
delegasi Parlemen Agama-agama Dunia mendiskusikan Declaration To Word a Global
Etic. Pertemuan ini adalah pertemuan antar– iman yang membicarakan krisis kemanusiaan
yang telah berlangsung selama berabad-abad, sehingga mampu memberikan suatu nuansa
baru dalam usaha-usaha membangun dialog antar iman, apalagi pendekatan-pendekatan
yang selama ini ditempuh mengalami kemacetan/gagal. Mayoritas dari merekapun
mendantanginya. Pada awal minggu tersebut muncullah berita sensasional bahwa Israel
dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyepakati tentang sebuah rencana
perdamaian. Dari pernyataan tersebut bisa dipastikan bahwa ada pengakuan antara dua
3 Konsensus adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yg dicapai melalui kebulatan suara.4 http://joas.gkipi.org/kuliah/pit2010/tugas-pit2010/glossary-pit2010/etik-global/
kubu yang berseteru. Ini sebuah pertanda yang sangat baik dan sungguh sangat
meyakinkan bahwa ini adalah perdamain di mana agama-agama dan para pemimpinnya
dari Yahudi, Islam dan Kristen. Dari ketiganya diharapkan memberi sumbangan yang
lebih besar dari sebelumnya, dengan melawan setiap fundamentalisme (paham yang
cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal) sesuai dengan posisi mereka
masing-masing. Karena seperti yang dikatakan Hans Kung bahwa “tidak mugkin ada
perdamain antarbangsa-bangsa tanpa ada perdamaian antaragama-agama.”
Bagaimanapun, masih dalam minggu yang sama negosiasi perdamaian antara orang-
orang serbia Ortodok, Kroasia Katolik dan Bosnia Muslim lagi-lagi pecah. Dan tidak
diragukan lagi bahwa agama-agama yang terlibat di sini telah melupakan, selam lebih dari
empat puluh tahun sejak perang Dunia Kedua untuk terlibat dalam perkabungan. Dan
secar jujur mereka mengakui kejahatan yang telah dilakukan oleh semua pihak selama
abad ini, Dan mengajak satu sama lain untuk saling memaafkan. Tidak diragukan lagi
bahwa Gereja Katolik terlalu mengidentikkan diri dengan kepemimpinan politik.5
Hans Kung mengira ini cukup signifikan bahwa negosiator berkebangsaan Finlandia
di Jenewa bagi perdamaian Bosnia-Herzegovina, sebagaimana Hans katakan, ikut
merancang tidak hanya perdamaian di daerah ini saja tetapi juga Deklarasi Parlemen
Agama-agama Menuju Etika Global, yang Hans katakan sebagai “right word in the right
time”. Dan Hans juga begitu yakin jika seandainya tidak dilarang oleh Kantor Pusat untuk
menjaga lembaganya supaya tetap netral, maka Presiden Komite Palang Merah
Internasional di jenewa juga akan menandatangani deklarasi ini. Karena manusia memang
tidak akan mampu hidup tanpa etik bersama umat manusia, yaitu etika global.6
Terdapat beberapa arahan positif yang harus terkandung dalam sebuah Etika Global.
deklarasi tersebut adalah7:
1. Harus masuk kepada level etik yang lebih dalam, level nilai-nilai yang mengikat,
kriteria yang tidak bisa dibatalkan serta sikap dasar yang lebih dalam.
2. Harus menjaga sebuah konsensus yaitu mempertahankan suatu kesepakatan dan
bukan hanya secara kuantitatif.
3. Harus kritis-diri. Karena deklarasi tersebut tidak hanya ditujukan kepada ‘dunia’ tapi
juga kepada agama-agama itu sendiri.
5 Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel. Etik Global (Yogyakarta : Sisiphus bekerjasam dengan Pustaka pelajar, 1999) hal. 50-516 Ibid. Hal. 51-527 Ibid. Hal. 72-75u
4. Harus berpijak pada kenyataan. Dunia harus dilihat sebagaimana adanya, bukan hanya
sebagaimana ia seharusnnya.
5. Harus dipahami secara keseluruhan. Alasan teknis dan jargon ilmiah dari manapun
salanya harus ditolak. Semuanya harus diungkapkan dalam bahasa yang setidak-
tidaknya dipahami oleh pembaca surat kabar biasa dan bisa diterjemahkan kedalam
bahasa lain.
6. Harus mempunyai dasar keagamaan.
III. PRINSIP-PRINSIP ETIKA GLOBAL
1. Tidak ada tatanan global baru tanpa etika global baru.
Para perempuan dan laki-laki dari agama dan negara yang berbeda-beda baik mereka
yang beragama maupun tidak, mereka mempunyai maksud bahwa: mereka semua
bertanggung jawab bagi terbentuknya tatanan global yang lebih baik, keterlibatan mereka
demi hak asasi manusia; kebebasan; keadilan; perddamaian; dan pemeliharaan bumi
sangat diperlukan, agama dan budaya mereka yang berbeda tidak boleh menghalangi
mereka untuk ikut bersama melawan semua bentuk yang tidak manusiawi, dan prinsip-
prinsip ini dapat dibenarkan bagi mereka yang mempunyai keyakinan etis baik bagi
mereka yang mempunyai dasar agama maupun tidak.
2. Tuntutan fundamental: setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi.
Setiap manusia walaupun memiliki perbedaaan jenis kelamin, ras, warna kulit,
kemampuan fisik atau mental, bahasa, agama, dan latar belakang sosial harus tetap
diperlakukan secara manusiawi. Manusia harus selalu menjadi pemilik hak, harus menjadi
tujuan, tidak boleh menjadi objek komersialisasi dan industrialisasi dalam ekonomi,
politik dan lain-lain.
3. Empat petunjuk yang tak terbatalkan.
a. Komitmen pada budaya non-kekerasan dan hormat pada kehidupan
b. Komitmen kepada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil.
c. Komitmen kepada budaya toleransi dan hidup yang tulus
d. Komitmen kepada budaya kesejajaran hak dan kerjasama antara laki-laki dan
perempuan.
4. Transformasi kesadaran.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa dunia tidak akan berubah menjadi lebih baik
jika tidak ada transformasi kesadaran para individu maupun kehidupan publik. Seperti
transformasi yang terdapat dalam perang dan perdamaian, ekonomi dan ekologi, yang
dalam dekade terakhir ini mengalami perubahan yang mendasar. Transformasi ini juga
harus dilakukan dalam wilayah etik dan nilai-nilai karena setiap individu mempunyai
martabat dan hak yang tidak boleh dilanggar, dan masing-masing dari mereka mempunya
tanggung jawab yang tidak bisa dilepoaskan terhadap apa yang mereka lakukan atau tidak
mereka lakukan.
IV. ETIKA GLOBAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA
1. Perspektif Islam
Islam adalah agama universal. Ia tidak hanya keimanan lengkap dengan perangkat
teologi, filsafat, dan mistisisme, tetapi juga merupakan fenomena kebudayaan dan sosial
yang mempunyai karakter global. Islam mempunyai banyak alasan untuk menyokong
terbentuknya etika global universal. Islam juga berkepentingan agar nilai-nilainya menjadi
lebih terobjektifikasi dan menyerupai etika global.
2. Perspektif Kristen
Kristen memiliki kepentingan dalam memberi kontribusi terbentuknya etika global.
Sejak awal pencerahan Eropa pada abad 18, Kristen barat semakin bersinggungan dengan
pandangan pencerahan yang individualistik, demokratis, liberal, historis, berorientasi
sains, suatu pandangan yang menyusun apa yang secara komprehensif dapat disebut
sebagai etos modernitas.
3. Perspektif Hindu
Dalam kehidupan kaum mistikus, kita dapat melihat suatu kebenaran bahwa etika
global harus berupaya mengakui seluruh kebenaran manusia dan makhluq di luar manusia
sebagai sesuatu yang berharga dan memiliki martabat. Para mistikus juga sering berbuat
dengan penuh cinta. Kita bisa melihat contoh-contoh kisah tentang Budha Gautama yang
memberikan sebagian daging miliknya pada burung gagak yang sedang lapar, dan juga St.
Francis Asisi yang mengajak bicara dan berkomunikasi dengan sekawanan burung dan
ikan. Pada intinya kesadaran global merupakan kunci bagi transformasi manusia yang
mendorong mereka mampu mengakui bahwa cinta diri sendiri dan cinta kepada yang lain
adalah penting.
V. BEBERAPA PAHAM ETIKA
Paham-paham dalam etika sebenarnya telah lama berkembang sejak masa filsafat
yunani kuno sekitar abad ke-7 Sebelum Masehi melalui pionernya yang telah mengenalkan
teori etika kepada kita. Lalu dialektika pemikiran etika berkembang sehingga muncullah
berbagai macam paham yang mengemukakan teori etika yang berlainan.8
Paham etika yang telah berkembang sejak masa filsafat Yunani Kuno sebenarnya
sangat banyak sekali, tapi disini penulis hanya akan menjelaskan secara garis besar paham-
paham etika tersebut.
1. Hedonisme (kesenangan)
Hedonisme adalah suatu paham yg menganggap kesenangan dan kenikmatan materi
sbg tujuan utama dalam hidup. Teori etika ini menyatakan bahwa kenikmatan atau akibat-
akibat yang nikamat dalam dirinya sudah mengandung kebaikan. Paham etika ini pertama
kali dirumuskan oleh para filosof Yunani terutama pada zaman Aristippus pendiri adzhab
Cyrene (400 SM) dan juga zaman Epicurus (341-271 SM). Hedonisme ini bertolak dari
pendirian bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kenikmatan dalam bahasa
Yunani disebut “hedone” dari kata itulah timbul istilah hedonisme.
Bagi Aristippus, kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain
daripada gerak dalam badan. Tentang gerak tersebut, ia membedakan tiga kemungkinan
yaitu: -gerak yang kasar (ketidaksenangan) misalnya rasa sakit, -gerak yang halus
(kesenangan), -tiadanya gerak (keadaan yang netral) misalnya ketika kita tidur. Aristippus
menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan
kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Yang baik dalam arti
sebenarnya adalah kenikmatan kini dan dan di sini.
Sedangkan menurut Epikurus, kesenangan merupakan sebuah tujuan hidup manusia.
Menurut kodratnya setiap manusia mencari kesenangan, tapi makna kesenangan di sini
lebih luas daripada pandangan Aristippus. Menurutnya dalam menilai kesenangan kita
harus memandang kehidupan sebagi keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa
depan. Tidak semua kesenangan dapat dimanfaatkan walaupun itu dinilai baik. Epikurus
membagi tiga keinginan yaitu, keinginan alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan
alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang tidak enak), dan keinginan yang sia-sia
(seperti kekayaan). Ia menyatakan bahwa orang bijaksana akan berusaha sedapat mungkin
8 Safrodin Halimi. Etika Dakwah Dalam Perspektif Al quran (Semarang: Walisongo Press, 2008) hal. 16
hidup terlepas dari keinginan untuk mencapai ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa
seimbang yang tidak membiarkan diri terganggu oleh hal-hal lain.9
2. Eudomonisme
Eudomonisme berasal dari bahasa Yunani “eudaimonia” yang berarti memiliki roh
pengawal (demon) yang baik, yakni mujur dan beruntung. Paham ini mengacu pada
suasana batiniah. Dengan demikian, istilah eudaimonia berarti bahagia, kebahagiaan yang
menggambarkan perasaan senang terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan
sebagai akibat dari penyalarasan diri. Paham ini bersumber dari filosof Yunani besar,
Aristoteles (384-322 s.M). Ia menyatakan secara tegas bahwa manusia mengejar satu
tujuan, yaitu kebahagiaan. Paham ini dapat mengambil beragam bentuk, diantaranya
kebahagiaan keagamaan yang mengajarkan agar manusia bersatu dengan Tuhan demi
kebahagiaan yang dapat diberikan-Nya apapun bentuk kebahagiaan itu.10
Jadi, yang membedakan antara paham eudomonisme dan hedonisme adalah terletak
pada sifat kebahagiaan itu. Bila hedonisme hanya mempertimbangkan kebahagiaan
biologis sebagai ukuran kabaikan, lain halnya dengan eudomonisme yang mengakui
kebahagiaan biologis dan kebahagiaan spiritual sebagai ukuran baik dan buruk terhadap
tingkah laku manusia dalam etika.
3. Utilitarisme
Utilis dapat diartikan sebagai hal yang berguna atau bermanfaat. Dalam paham ini
ukuran baik atau buruk didasarkan pada; “apakah perbuatan tersebut berguna atau
bermanfaat”. Suatu prbuatan dikatakan baik bila membawa manfaat, dan perbuatan itu
dikatakan buruk bila tidak bermanfaat atau mendatangkan madharat. Penganut paham ini
yang terbesar adalah Stuarmill (1806-1973) berkebangsaan inggris, dia menegaskan
bahwa yang terbaik adalah “keinginan untuk bersatu dengan sesama manusia”.11
4. Liberalisme
Liberalisme adalah ideologi yang melatar belakangi perkembangan industri sejak
timbulnya di Inggris akhir abad ke-18. Istilah “industri” sekarang sering digunakan dalam
arti luas. Tetapi industri dalam arti sebenarnya adalah cara berproduksi dalam pabrik atau
manufaktur, yang tentunya baru dimungkinkan dengan ditemukannya mesin uap oleh
James Watt (1776). Liberalisme sangat menekankan hak atas milik pribadi dan atas segala
hasil dari milik seseorang. Karena pabrik-pabrik pertama merupakan milik pribadi 9 K. Bertens. ETIKA. ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007) hal. 236-23710 Safrodin Halimi. Etika Dakwah Dalam Perspektif Al quran (Semarang: Walisongo Press, 2008) hal. 19-2111 Suhrawardi K. Lubus. Etika Profesi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hal.43
beberapa orang, paham ini menjadi biang keladi eksploitasi kaum buruh dalam industri.
Buruh menjadi tenaga kerjanya kepada industriawan dan sebagi ganti ia memeperoleh
upah. Industriawan cenderung menekan besarnya upah, agar keuntungan dapat
meningkat.12
5. Marxisme (Sosialism)
Paham ini mendasarkan etikanya pada fakta rasa lapar. Artinya, paham ini
mendasarkan etikanya atas kehendak untuk melestarikan diri atau kehendak untuk hidup.
Menurut Marx, kehidupan manusia mengenal lapisan atau kelas. Tenaga-tenaga produksi
atau teknik merupakan lapisan terbawah dan menentukan lapisan kedua, yaitu hubungan-
hubungan yang di dalamnya manusia bekerja sama di dalam proses produksi.
paham ini meletakkan ukuran nilai baik dan buruk pada semangat untuk bertahan
hidup. Teori ini didukung oelh adanya fakta bahwa proses kehidupan yang terjadi diantara
dengan segala aktifitasnya itu secara keseluruhan termotivasi oleh kebutuhan manusia
yang paling pokok yaitu untuk memenuhi tuntutan karena rasa lapar atau untuk bertahan
hidup. Sehingga, menurut Marx yang berhak menyandang manusia paling etis adalah para
pekerja.
6. Humanisme
Aliran ini berpendapat bahwa ukuran kebaikan adalah kodrat manusia, yakni
kemanusiaan. Penentuan tentang baik dan buruk sebuah tindakan itu adalah kata hati yang
bertindak. Sehingga, tindakan yang baik itu jika sesuai dengan derajat manusia.
Humanisme mencoba meletakkan manusia pada kedudukannya sebagai manusia yang
sesungguhnya dengan seperangkat watak, tingkah laku dan tata susila sebagai mkhluk
ciptaan Tuhan yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
12 Kanisius. Perspektif Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2001) hal. 74
KESIMPULAN
Menanggapi berbagai problem globalisasi yang ada, sebuah gagasan yang
mengharuskan adanya etika global yang mencakup berbagai persoalan kehidupan muncul
sebagai salah satu solusi. Etika global adalah sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai
pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan walaupun masih
ada perbedaan dogmatis (bersifat mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik sama
sekali), dan yang sesungguhnya bisa juga diseimbangkan oleh kaum non-beriman.
Sebagai salah seorang tokoh penting atas adanya sebuah etika, Hans Kung
mengatakan bahwa ”tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama”. Pernyataan
inilah yang kemudian menjadi asas pikiran etika global dan juga sebagai dasar atas prinsip-
prinsip etika global yang ada. Menurutnya sebuah perdamaian dunia hanya bisa terwujud
melalui adanya perdamaian antar agama. Namun di sisi lain perdamaian dunia juga akan
menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi tercapainya perdamaian antaragama.
Dapat diartikan bahwa agama dan aspek-aspek lain dalam kehidupan ini saling berkaitan dan
saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
K. Bertens. 2007. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kung, Hans dan Kuschel karl-Josef. 1999. Etik Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
K. Lubis, Suhrawardi. 2008. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Halimi, Safrodin. 2008. Etika Dakwah Dalam Perspektif Al Qur’an. Semarang:
walisongo Press.
Kanisius. 2001. Perspektif Etika. Yogyakarta: Kanisius Media.
http://joas.gkipi.org/kuliah/pit2010/tugas-pit2010/glossary-pit2010/etik-global/ , diakses
senin, 2 Mei 2011
http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/filsafat-perennial-sebagai-agenda-
etika.html diakses senin, 2 Mei 2011
ETIKA GLOBAL
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Matakuliah Filsafat Akhlak
Dosen Pengampu: DR. H. Abdul Muhayya, M. Ag
Disusun oleh:
1. Dewi Nabillah : 0944110422. Misbachul Munir : 094411048
Jurusan Tasawuf dan PsikoterapiFakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri WalisongoSemarang
2010