makalah kesehatan ternak

20
MAKALAH KESEHATAN TERNAK "PENYAKIT MASTITIS PADA TERNAK SAPI PERAH" D I S U S U N Oleh : Nama : Yoko Sosilo NPM : E1C011074 Kelas : B JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN

Upload: yoko-sosilo

Post on 01-Jan-2016

881 views

Category:

Documents


35 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

MAKALAH KESEHATAN TERNAK

"PENYAKIT MASTITIS PADA TERNAK SAPI PERAH"

D

I

S

U

S

U

N

Oleh :

Nama : Yoko Sosilo

NPM : E1C011074

Kelas : B

JURUSAN PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2013

Page 2: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga penyusunan

makalah petunjuk praktis manajemen umum pencegahan dan pengendalian penyakit Mastitis

atau radang ambing pada ternak sapi perah ini dapat diselesaikan pada waktunya.

Makalah ini mengurai secara praktis dan sederhana cara pencegahan dan

pengendalian penyakit Mastitis pada ternak sapi perah sehingga mudah dipahami para

pengguna dalam hal ini sarjana membangun desa dan kelompok petani ternak binaannya

maupun pegiat peternakan sapi perah lainnya. Diharapkan makalah ini dapat memperbaiki

produktivitas sapi perah di Indonesia

Dengan selesainya makalah ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu

drh. Tatik suteky, M.Sc. selaku dosen pengasuh mata kuliah Kesehatan ternak di Jurusan

Peternakan Universitas Bengkulu. Tak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada

para rekan-rekan sahabat yang telah membangun kerja sama yang baik selama pembuatan

makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena

itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dalam menyusun makalah

yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.

Bengkulu, Oktober 2013

Yoko Sosilo

Page 3: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

1.1 LATAR BELAKANG.....................................................................................................4

1.2 TUJUAN..........................................................................................................................5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................6

2.1 PENGENALAN PENYAKIT MASTITIS......................................................................6

2.2 PENYEBAB PENYAKIT MASTITIS............................................................................7

2.3 PENYEBARAN PENYAKIT MASTITIS......................................................................7

2.4 GEJALAH PENYAKIT MASTITIS...............................................................................8

2.5 PENCEGAHAN PENYAKIT MASTITIS......................................................................9

2.6 PENGOBATAN PENYAKIT MASTITIS....................................................................10

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

Page 4: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Mastitis adalah peradangan pada jaringan internal ambing atau kelenjar mammae oleh

mikroba, zat kimiawi dan luka akibat mekanis atau panas. Mastitis juga merupakan penyakit

yang umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia dan secara nyata menurunkan

produksi susu (BLOMQUIST, 2008; DUVAL, 1997; MCDONALD, 2009; RAZA, 2009).

Mastitis mikotik adalah penyakit mastitis yang disebabkan oleh infeksi cendawan patogenik

(kapang dan khamir) (JAVIE dan NIKKI, 2003; SPANAMBERG et al., 2009; CHAHOTA et

al., 2001). Kasus ini biasanya terjadi akibat pengobatan antibiotika yang tidak terkontrol dan

lingkungan perkandangan, serta manajemen yang kurang baik dan kotor. Meskipun mastitis

mikotik prevalensinya kecil namun diperkirakan dapat mencapai 2 – 3% dari keseluruhan

kasus mastitis. Kasus mastitik mikotik harus diwaspadai karena umumnya bersifat subkinis

dan kronis. Mastitis pada sapi perah mengakibatkan kerugian yang besar dalam produksi

susu, kualitas dan komposisi susu, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar

nilainya (MCDONALD, 2009; STANOJEVIC dan KRANJAJIC, 2009; THOMPSON et al.,

1978; VESTWEBER dan LEIPOLD, 1995).

Cendawan patogen sebagai penyebab penyakit sering dilupakan bila terjadi kasus

mastitis. Umumnya pengobatan hanya diberikan antibiotika yang efektif untuk membunuh

bakteri penyebab radang ambing tersebut, sehingga pengobatan mastitis tidak tuntas bila

penyebab utamanya karena cendawan belum dimusnahkan. Meskipun kasus-kasus mastitis

mikotik banyak terdapat di berbagai belahan dunia seperti di Inggris yang merupakan

masalah no. 3 terbesar pada sapi perah yang cukup sulit pengendaliannya (AINSWORTH dan

AUSTWICK, 1959; UNIVERSITAS READING, 2009), namun di Indonesia sangat jarang

dipublikasikan (HASTIONO et al., 1983; NATALIA dan HASTIONO, 1985;

SUDARWANTO, 1987). Hasil Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011

404 penelitian HASTIONO et al. (1983), dari 25 ekor sapi perah dan yang 22 ekor bergejala

klinis, diperoleh 100 sampel air susu dengan 20 sampel positif mengandung cendawan.

Selanjutnya SUDARWANTO (1987) pada

peternakan rakyat menemukan kasus mastitis mikotik pada sapi perah di Bogor, Sukabumi

dan Cianjur. Dari 161 ekor sapi perah dengan 65% menunjukkan gejala klinis mastitis

Page 5: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

diperoleh 344 sampel air susu dengan 33,7% positif ditemukan cendawan (kapang dan

khamir). Dua puluh tiga tahun kemudian AHMAD dan GHOLIB (2011) melaporkan dari 40

ekor sapi perah dengan 2 ekor yang bergejala klinis diperoleh 160 sampel air susu dengan 60

sampel mengandung cendawan. Cendawan patogen tersebut dari 3 hasil penelitian di atas

umumnya didominasi oleh khamir Candida sp. dan Saccharomyces sp. dengan prevalensi

kasus pada tahun 1983, 1987 dan 2010 secara berurutan: 20; 33,7 dan 37,5%.

Mengingat Indonesia negara tropis yang lembab dan hangat maka cendawan akan

mudah tumbuh. Cemaran cendawan patogenik dan toksigenik ditemukan pada bahan pakan,

pakan dan lingkungan (AHMAD, 2009). Hal ini memungkinkan dapat terjadinya cemaran di

mana-mana, termasuk di kandang sapi yang pada akhirnya dapat menginfeksi ambing sapi.

Kemungkinan pada tahun 2011 ini masih dapat ditemukan atau terus bertambah jumlahnya

karena umumnya kasus mastitis mikotik ini tergolong mastitis subklinis. Hanya saja mungkin

belum dilaporkan atau dipublikasikan kembali, kemungkinan lain mungkin tidak terdeteksi

atau diketahui oleh peternak. Di Bogor saja ditemukan kasus mastitis mikotik di Kebon Pedes

(AHMAD dan GHOLIB, 2011)

1.2 TUJUANDari penulisan makalah ini untuk memaparkan tentang mastitis mikotik, serta

diharapkan dari makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang Penyakit Mastitis dan

juga dapat mengetahui ciri-ciri ternak terserang mastitis, Gejalah ternak terserang Mastitis,

Penyebab Mastitis cara penanggulangan, dan pengendalian mastitis secara total sehingga

pada akhirnya kasus mastitis mikotik di Indonesia dapat ditanggulangi.

Page 6: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGENALAN PENYAKIT MASTITIS

Mastitis adalah peradangan pada jaringan internal ambing atau kelenjar mammae oleh

mikroba, zat kimiawi dan luka akibat mekanis atau panas. Mastitis juga merupakan penyakit

yang umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia dan secara nyata menurunkan

produksi susu (BLOMQUIST, 2008; DUVAL, 1997; MCDONALD, 2009; RAZA, 2009).

Mastitis mikotik adalah penyakit mastitis yang disebabkan oleh infeksi cendawan patogenik

(kapang dan khamir) (JAVIE dan NIKKI, 2003; SPANAMBERG et al., 2009; CHAHOTA et

al., 2001). Kasus ini biasanya terjadi akibat pengobatan antibiotika yang tidak terkontrol dan

lingkungan perkandangan, serta manajemen yang kurang baik dan kotor. Meskipun mastitis

mikotik prevalensinya kecil namun diperkirakan dapat mencapai 2 – 3% dari keseluruhan

kasus mastitis. Kasus mastitik mikotik harus diwaspadai karena umumnya bersifat subkinis

dan kronis. Mastitis pada sapi perah mengakibatkan kerugian yang besar dalam produksi

susu, kualitas dan komposisi susu, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar

nilainya (MCDONALD, 2009; STANOJEVIC dan KRANJAJIC, 2009; THOMPSON et al.,

1978; VESTWEBER dan LEIPOLD, 1995).

Mastitis atau radang ambing merupakan penyakit terpenting pada sapi perah, tidak

hanya di Indonesia namun juga di dunia. Mastitis merupakan peradangan kelenjar susu yang

disertai dengan perubahan fisik, kimiawi dan mikrobiologi. Secara fisis pada air susu sapi

penderita mastitis klinis terjadi perubahan warna, bau, rasa dan konsistensi. Mastitis

dipengaruhi oleh interaksi 3 faktor yaitu ternak itu sendiri, mikroorganisme penyebab mastitis

dan faktor lingkungan. Menurut para ahli penyebab utama mastitis adalah kuman

Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysagalactae, Streptococcus uberis, Stafilokokus

aureus dan Koliform. Faktor lingkungan, terutama sanitasi dan higienis lingkungan kandang

tempat pemeliharaan, posisi dan keadaan lantai, sistem pembuangan kotoran, sistem

pemerahan, iklim, serta peternak itu sendiri dan alat yang ada. Gejala klinis mastitis nampak

adanya perubahan pada ambing maupun air susu. Misalnya bentuk yang asimetri, bengkak,

ada luka, rasa sakit apabila ambing dipegang, sampai nantinya mengeras tidak lagi

Page 7: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

menghasilkan air susu jika sudah terjadi pembentukan jaringan ikat. Pada air susu sendiri

terjadi perubahan bentuk fisik maupun kimiawi (Anonim,2011)

2.2 PENYEBAB PENYAKIT MASTITIS

Mastitis disebabkan oleh bakteri spesies Staphylococcus aureus, Streptococcus

agalactiae, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis, bahkan terkadang sepsis oleh

infeksi Eschericia coli. Bakteri tersebut menginfeksi melalui pori-pori ambing yang tidak

bersih baik pra maupun pasca pemerahan. (Muhammad Tohawi Elzyat Purnama,2013)

Meskipun pada umumnya mastitis disebabkan oleh bakteri, namun kadang-kadang

cendawan patogenik (kapang dan khamir) dapat juga menyerang ambing (SPANAMBERG et

al., 2008). Penyebab mastitis mikotik ini dari golongan kapang patogenik (Aspergillus spp.,

Alternaria spp., Aerobasidium spp., Epicocum spp., Geotrichum spp., Penicillium spp.,

Phoma spp. dan Pichia spp.) dan golongan khamir patogenik (Candida spp., Cryptococcus

sp., Rhodoturulla spp., Trichosporon spp. dan Saccharomyces spp.) namun umumnya kasus

mastitis yang dominan adalah khamir khususnya Candida spp. (FARNSWORTH dan

SORENSEN, 1972; HASTIONO et al., 1983; NATALIA dan HASTIONO, 1985; COSTA et

al., 1993; SPANAMBERG et al., 2008; CHAHOTA et al., 2001; TARFAROSH dan

PUROHIT, 2008; KRUKOWSKI et al, 2006; KRUKOWSKI dan SABA, 2003).

2.3 PENYEBARAN PENYAKIT MASTITIS

Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari kuarter terinfeksi ke kuarter

normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat (Jones, 1998).

Proses infeksi mastitis pada sapi oleh bakteri atau cendawan terjadinya tidak banyak

berbeda karena selalu dipengaruhi oleh faktor predisposisi seperti lingkungan, cemaran dan

jalan masuknya mikroba (Gambar 2). Umumnya infeksi khamir oleh Candida sp. dan

Cryptococcus sp. (STANOJEVIC and KRANJAJIC, 2009). Infeksi mastitis dapat terjadi

melalui beberapa tahapan, yaitu pertama melalui kontak dengan mikroorganisme kemudian

selanjutnya sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting

(sphincter), setelah itu dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan

akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap selanjutnya terjadi

respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya

lekosit-lekosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel

Page 8: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan

sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam. Bila hewan lemah maka akan

terjadi mastitis, bila hewan sehat maka hewan akan meningkatkan imunitas sehingga

menimbulkan kekebalan dan pada akhirnya hewan akan tetap sehat (HURLEY dan MORIN,

2000; CHAMBERS, 2009). Candida sp. adalah khamir komensal yang berhabitat di daerah

mukokutaneus, umumnya ada pada saluran pencernaan dan genital. Cryptococcus sp.

ditemukan pada debu, kulit, dan saluran pencernaan hewan (STANOJEVIC dan

KRANJAJIC, 2009). Bila hewan dalam kondisi sehat maka infeksi Candida sp. tidak

berpengaruh dan hewan tidak akan terinfeksi. Namun bila hewan lemah maka hewan akan

terinfeksi. Infeksi lain yang merupakan faktor predisposisi dapat berasal dari kanula, jarum,

cemaran pada preparat antibiotika dan perlukaan.

Umumnya infeksi cendawan patogen terjadi setelah pengobatan oleh antibiotika yang

tidak tuntas, serta dapat juga terjadi dari cemaran lingkungan yang masuk ke ambing melalui

puting susu yang tercemar oleh lingkungan kotor.

2.4 GEJALAH PENYAKIT MASTITIS

Subronto (2003) menyatakan bahwa secara klinis radang ambing dapat berlangsung

secara akut, subakut dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala

klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat

akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat diraba,

rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, seperti : pecah,

bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang

berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya

lebih ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses

berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode

laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar

mammae.

Kasus mastitis subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, diperkirakan

15 – 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (HURLEY dan MORIN, 2000;

HURLEY, 2009; MORIN, 2009). Gejala klinis ditandai dengan adanya kelenjar ambing

membengkak, udematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya,

seperti: suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Namun seringkali sulit

untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis

Page 9: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

harus dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan

penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (BRAMLEY, 1991). Terjadinya

peradangan ditandai oleh perbarahan, panas, kemerahan, rasa sakit pada ambing, menurunnya

produksi susu serta perubahan warna dan komposisi susu (MCDONALD, 2009; MORIN,

2009; HURLEY dan MORIN, 2000). Berdasarkan gejala yang nampak mastitis dapat

digolongkan menjadi klinis dan yang tidak nampak gejala klinis (subklinis). Mastitis

berdasarkan onset penyakit terbagi dalam mastitis perakut, akut, subakut dan kronis. Perakut

ditandai dengan onset yang tiba-tiba, terjadi peradangan yang parah pada ambing, air susu

berubah menjadi serous. Pada mastitis akut terjadi dengan tiba-tiba, peradangan pada ambing

derajatnya sedang sampai parah. Mastitis subakut mempunyai reaksi peradangan yang ringan,

tidak terlihat perubahan penampilan ambing, namun terjadi perubahan dari komposisi

penampilan air susu, juga akan terjadi pecahnya permukaan susu. Terkadang susu tidak

berwarna. Mastitis subklinis tidak jelas gejala klinisnya namun terkadang terjadi perubahan

komposisi air susu. Pada mastitis kronis gejalanya seperti mastitis subkinis namun

kejadiannya berlangsung lebih lama (MORIN, 2009). Menurut MACDONALD (2009)

mastitis subklinis sangat berbahaya, dari setiap 1 kasus mastitis klinis terdapat 20 sampai 40

kali kejadian mastitis subklinis. Jika tidak ditangani dengan baik maka kasus mastitis

subklinis pada akhirnya menjadi mastitis klinis dalam waktu yang cukup lama. Mastitis

mikotik umumnya tergolong kronis dan subklinis. Sehubungan dengan hal tersebut seringkali

terjadi kesalahan dalam mendiagnosis sehingga terlambat penanganannya.

2.5 PENCEGAHAN PENYAKIT MASTITIS

Sederhana sekali, dengan pemeliharaan pra dan pasca pemerahan yang ideal dan

sesuai prosedur dapat mengurangi kemungkinan mastitis. Dengan cara antiseptic dipping

kwartir dari kelenjar mammae dapat menekan kejadian mastitis secara signifikan. Disamping

itu, cara pemerahan yang benar dapat membantu mengurangi faktor predisposisi penyakit.

(Muhammad Tohawi Elzyat Purnama,2013)

Di dalam melakukan pencegahan mastitis banyak yang dapat dilakukan dengan

mudah dan sederhana oleh peternak seperti hal-hal berikut ini:

1. Memperbaiki lingkungan yang kotor agar menjadi baik dan bersih;

2. Menghindari sapi digembalakan pada lingkungan yang kotor;

3. Mencuci rumput lebih baik dari pada membuat kandang yang baru untuk menjamin

pemberian pakan yang bersih;

Page 10: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

4. Bila ada beberapa kasus mastitis maka harus diperhitungkan waktu pengobatan untuk

proses penyembuhan;

5. Bila ada riwayat induk telah terkena mastitis maka keturunannya yang telah dewasa

diperiksa/ dirawat 1 bulan sekali;

6. Melakukan prosedur pemerahan dengan baik dan benar. Hal ini dilakukan dengan cara:

a. Mempersiapkan sapi-sapi yang bersih dan sehat serta bebas stress di

lingkungannya;

b. Memeriksa dan mendesinfektan alat pemerahan dan membersihkan ambing secara

rutin,

c. Mencuci puting ambing, dan permukaan bawah ambing dengan larutan sanitasi

yang hangat;

d. Melakukan dipping puting sebelum pemerahan minimal selama 1 menit;

e. Mengeringkan puting secara menyeluruh;

f. Mengatur dan memasang mesin alat pemerah otomastis dengan benar;

7. Dalam mengobati harus sampai tuntas dan area pengobatan harus bersih;

8. Melaksanakan metode kering kandang;

9. Melakukan culling untuk sapi penderita mastitis kronis,

10. Nutrisi harus diberikan dengan baik dan benar;

11. Konsultasi dengan ahli nutrisi untuk pengembangan rencana nutrisi;

12. Konsultasi dengan dokter hewan untuk rencana kesehatan hewan (BLOMQUIST, 2008;

MC DONALD, 2009; RAZA, 2009).

2.6 PENGOBATAN PENYAKIT MASTITIS

Sapi penderita mastitis dapat diobati dengan Nistatin dengan dosis 10 g/kuartir, obat

diaplikasikan melalui puting sesudah selesai diperah, dan didesinfektan dengan larutan

povidin iodine, pengobatan dilakukan setiap hari selama 15 hari (STANOJEVIC dan

KRNJAJIC. 2009). Selain itu dapat pula dipakai anti cendawan/fungi lainnya seperti

Amphotericin, Clotrimasol, Fluorocitosin, Miconasol, Nistatin dan Polimixin (MCDONALD,

1987; KRUKOWSCI dan SABA, 2003; STANOJEVIC dan KRANJAJIC, 2009).

Pengendalian melalui pencegahan akan lebih baik dari pada mengobati kasus mastitis.

Pencegahan lebih murah secara ekonomis, lebih praktis penerapannya dari pada mengobati.

Tidak ada efek resistensi ataupun sisa residu pada hewan. Pengetahuan tentang mastitis

mikotik dan penyebabnya harus terus dipelajari. Oleh karena itu dengan paparan ini

Page 11: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

diharapkan pengendalian mastitis mikotik mudah diaplikasikan sehingga pada akhirnya kasus

mastitis mikotik akan berkurang dan musnah.

BAB III

KESIMPULAN

Mastitis mikotik di Indonesia pada umumnya merupakan mastitis yang bersifat

subklinis dan kronis yang keberadaannya belum atau kurang mendapat perhatian, namun

penyakit ini cukup berbahaya dan berdampak pada kerugian ekonomi. Pencegahan lebih baik

dari pengobatan, maka melalui pencegahan yang baik, teratur dan terus menerus maka akan

menekan terjadinya kasus ternak terserang penyakit. Diharapkan dengan pengetahuan tentang

penyebab mastitis mikotik yang memadai maka kita akan dapat mengendalikan kasus yang

terjadi. Selain itu kasus mastitis mikotik dapat dikurangi dan dimusnahkan dari Indonesia.

Page 12: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

DAFTAR PUSTAKA

AHMAD, R.Z. dan D. GHOLIB 2011. Komunikasi Pribadi AHMAD, R.Z. 2009. Cemaran kapang pada pakan dan pengendaliannya. J. Litbang Pertanian 28(1): 15 – 22.

Anonim, 2011. Penyakit yang sering terjadi pada Sapi.http://karanhtengahraharjo.blogspot.com/2011/10/mastitis-pada-sapi-perah.html

AINSWORTH, G.C. and P.K.C. AUSTWICK. 1959. Chapter 13: Mycotic Mastitis (Yeasts, moulds, actinomycetes, colourless algae). Commonwealth Mycological Institute, Kew, Surrey, England. Fungal Diseases of Animals. Review Series. No: 6. The Common Wealth Bureau of animal Health, F.L.S. Central Veterinary Laboratory, Weybridge, Surrey, England. http:// www. Aspergillus rg.uk/secure/veterinary/Fung disanim 13.htm. (di Unduh 10 Oktober 2013).

BLOMQUIST, N. 2008. Mastitis in Beef Cows-Frequently asked question. Alberta. Agricultural and Rural development. http: www 1. agric. gov.ab.ca/$ department/ deptdocs.nsf/ all/faq8106 (5-1-2010).

BRAMLEY, A.J. 1991. Mastitis. Physiology or Pathology? Flem.Vet. J(62): Suppl. 1: 3 – 11.

CHAHOTA, R., R. KATOCH, A. MAHAJAN and S. VERMA. 2001. Clinical bovine mastitis caused by Geotrichum candidum. Vet. Archiv. 71: 197 – 201.

CHAMBERS, J.V. 2009. The infection process of mastitis: understanding and managing the host-parasite relationship. http: //www.dfamilik. com/pathlab/pdfs/the infection-process-of-mastitis pdf.: 1 – 10.

COSTA, E.O., C.R. GANDRA, M.F. PIRES, S.D. COUTINHO, W. CASTILHO and C.M. TEIXEIRA. 1993. Survey of bovine mycotic mastitis in dairy herds in the State of São Paulo, Brazil. Mycopathologia 124(1): 13 – 7.

DUVAL, J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects. http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm. (di unduh tanggal 10 Oktober 2013).

FARNSWORTH, R.J. and D.K. SORENSEN. 1972 Prevalence and Species Distribution of Yeast in Mammary Glands of Dairy Cows in Minnesota. Can. J. Comp. Med. 36 (October), 329 – 323

Page 13: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

HASTIONO, S., D. GHOLIB, SUDARISMAN, P. ZAHARI dan L. NATALIA. 1983. Mastitis mikotik pada sapi perah. Penelitian pendahuluan. Pros. pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Cisarua, 6 – 9 Desember 1982: 193 – 201.

HURLEY, W.L. and D.E. MORIN. 2000. Mastitis Lesson A. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. (di unduh tanggal 10 Oktober 2013).

JAVIE, K. and C. NIKKI. 2003. Miscellaneous pathogen Mastitis. New Bolton Center Filed Service Departement. http://w.w.w. Miscellaneous pathogen./mastitis. Html. (di unduh tanggal 10 Oktober 2013).

KRUKOWSKI, H. and L. SABA. 2003. Bovine Mycotic Mastitis (A Review) Folia Veterinaria, 47(1): 3 – 7.

KRUKOWSKI, H., A. LISOWSKI, P. RÓZAŃSKI, A. KÓRKA 2006. Yeasts and algae isolated from cows with mastitis in the south-eastern part of Poland. Pol. J. Vet. Sci..9(3): 181 – 4.

MCDONALD. 2009. Mastitis in cow. Dairy Cattle Production 342 – 480. A McDonald Campus of McGill University. Faculty of Agricultural & Environmental Sciences. Departement of Animal Science 1 – 12.

MORIN, D. 2009. Mastitis Case Studies. Mastitis Clinical Syndromes. Mastitis Detective Cases. University of Illinois. http;//www.Mastitis detective cases. Mastitis.resources 2017.htm (di unduh tanggal 10 Oktober 2013).

Muhammad Tohawi Elzyat purnama, 2013. Penanganan masitis pada sapi perah.http://elziyad9tsn.wordpress.com/2013/02/15/penanganan-mastitis-pada-sapi-perah/ (di unduh tanggal 10 Oktober 2013)

NATALIA, L. dan S. HASTIONO. 1985. Candida albicans salah satu penyebab mastitis mikotik berhasil diisolasi dari air susu. Penyakit Hewan XVII. 30: 71 – 74.

RAZA, S.H. 2009. Mastitis: A. Monster Treath to Dairy Industry. Pakistan. Com. http:// w.w.w. mastitis monster treath to dairy Industry 5 html. (di unduh tanggal 10 Oktober 2013).

SPANAMBERG, A., E.A. SANCHES, J.M. CAVALLINI, E. SANTURIO, L. FEREIRO. 2009. Mycotic mastitis in ruminants caused by yeasts. Cienc. Rural (online). 39(1): 282 – 290.

SPANAMBERG, A., E.A. WÜNDER, D.I.B. PEREIRA, J. ARGENTA, E.M.C. SANCHES, P. VALENTE, L. FERREIRO. 2008. Mastitis in Southern Brazil Diversity of yeasts from bovine. Rev. Iberoam Micol. 25: 154 – 156.

STANOJEVIC, S. and D. KRANJAJIC. 2009. YEAST MASTITIS IN COWS Internet J. Food Safety V.1. 8 – 10 http://www.foodhaccp. com/internetjournal IJFSv1-3.pdf.

Page 14: MAKALAH KESEHATAN TERNAK

SUDARWANTO, M. 1987. Mastitis mikotik pada sapisapi perah di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur JawaBarat. Penyakit Hewan XIX (34) II; 70 – 73.

TARFAROSH, M.A. and S.K. PUROHIT. 2008. Isolation of Candida spp. from Mastitic cows and Milkers. Vet. Scan. (3): 28.

THOMPSON, K.G., M.E. DI MENNA, M.E. CARTER and M.G. CARMAN. 1978. Mycotic Mastitis in two Cows. N.Z. Vet. J. 26: 176 – 177.

UNIVERSITY OF READING. 2009. Mastitis disease of cattle from the cattle site. The cattle site.com. jttp://.w.w.w. mastitis. Univ. Reading. Html. (di unduh tanggal 10 Oktober 2013).

VEEN, V.H.S. and W.D. KREMER 1992. (Mycotic mastitis in cattle) Tijdschr Diergeneeskd. 15; 117(14): 414 – 6.