makalah f1 muskuloskletal
DESCRIPTION
tentang tulang dan sendi-sendiTRANSCRIPT
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit
yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus.
Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis
yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata,
juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat
beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis
yang sama.
Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini
belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada
beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit.
Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini
berhubungan dengan hilangnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan
terbentuknya autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh
lagi diketahui bahwa kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune complex,
tetapi juga oleh sel T, sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan
produk-produk dari aktivasi komplemen. Penatalaksanaan SLE tetap merupakan masalah
karena sampai saat ini belum ada penanganan yang menghasilkan penyembuhan secara
total, dapat terjadi eksaserbasi setelah masa stabil beberapa bulan dan juga efek samping
pengobatan.1
1.2 Tujuan Penulisan
Seperti yang telah ditulis di atas, bahwa SLE merupakan penyakit sistemik
autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem
saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Serta sering ditemui pada usia
produktif (15-40 tahun). Sehingga tujuan penulisan ini yaitu untuk mengenal penyakit
SLE, dapat mengetahui gejala-gejala SLE, dan dapat mengetahui bagaimana cara
pengobatan dan pencegahan SLE.
Bab II
1
Isi
Skenario
Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan merasa lemah
sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan sejak 2 bulan yang lalu serimg mengalami nyeri
pada jari-jari kedua tangan serta kaku pada pagi hair. Rambut pasien juga banyak yang rontok
sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan wajahnya seringkali memerah bila sebentar
saja terpapar sinar matahari padahal sudah memakai payung saat aktivitas di luar ruangan. BB
tidak menurun. Badan terasa hangat hilang timbul. KU: tampak sakit ringan, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 82x?menit, frekuensi nafas
18/menit, suhu 37°C. Pemeriksaan fisik:konjungtiva anemis (+) sklera ikterik -/-, leher: KGB
tidak tampak membesar. Cor, pulmo, abdomen dalam batas normal.
Status lokalis: manus dextra; phalanx proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),
oedem (-), kalor (-). Manus sinistra; phalanx proximal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan
(+), oedem (-), kalor (-).
Mind Mapping
2
2.1 Anamnesis
Anamnesis adalah
komunikasi antara
dokter dengan pasien
apabila keadaan tidak
memungkinkan untuk
memperoleh data atau
informasi yang benar dan tepat dari pasien itu sendiri dapat mencari informasi dari
keluarga pasien/ orang terdekat dari pasien tersebut. Menanyakan keluhan utama dan
keluhan penyerta. Dalam kasus ini, anamnesis didapatkan langsung dari pasien. Gejala
apa yang pernah dialami pasien misalnya ruam malar, fotosensitifi, ruam diskoid (bintik-
bintik eritematosa menimbul), artralgia/ artritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik,
perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus di mulut. Selain itu juga
ditanyakan organ apa yang terkena, kemudian pernah ada peristiwa tromboembolik atau
aborsi spontan (pertimbangan sindrom anti-fosfolipid yang terkait), lalu tanyakan juga
penyakit ginjal dan neurologis karena memiliki kepentingan khusus.2
- Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius?
Pertimbangan riwayat kejadian tromboembolik.
Adakah riwayat kondisi autoimun lain(misalnya hipotiroidisme)?
- Obat-obatan
Apakah pasien mendapat terapi dengan imunosupresan (misalnya kortikosteroid,
azatioprin)?
Apakah pasien mengkonsumsi antikoagulan (warfarin, aspirin)?
Hati-hati terhadap lupus akibat obat.
- Riwayat keluarga
Adakah riwayat lupus atau penyakit autoimun lain dalam keluarga?2
Hasil laporan berdasarkan anamnesis didapatkan :
Seorang laki-laki berusia 22 tahun memiliki keluhan merasa lemah sejak 3 bulan
yang lalu. Kemudian sejka 2 bulan yang lalu sering mengalami nyeri pada jari-jari kedua
tangan serta kaku pada pagi hari. Rambut rontok, wajah seringkali memerah apalagi saat
sebentar saja terpapar sinar matahari, serta badan terasa hangat yang hilang timbul.
3
Gambar 1. butterfly rash3
2.2 Pemeriksaan
2.2.1 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus lengkap, tetapi dengan pertimbangan khusus pada
adanya ruam, demam, anemia, alopesia, limfadenopati, ulkus mulut, bengkak sendi:
efusi dan nyeri tekan, takipnea: pertimbangan hipertensi pulmonal, emboli paru,
gagal ginjal disertai kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru, TD: periksa
adanya hipertensi, gesekan perikard/pleural, edema pergelangan kaki, neuropati,
defisit neurologis termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif, gangguan psikiatrik
khususnya psokosis, dan urin proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder.2
Pada pemeriksaan fisik dimana pada saat melakukan inspeksi dan palpasi
didapatkan konjungtiva anemis (+), sklera ikterik -/-. Pada leher KGB tidak tampak
membesar, cor, pulmo, abdomen dalam batas normal. Status lokasi, manus dextra:
phalanx proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-).
Manus sinitra: phalanx proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),
oedem (-), kalor(-).
- Konjungtiva dan Sklera4
Minta pasien untuk melihat ke atas sementara pemeriksa menekan kedua
kelopak mata ke bawah dengan menggunakan ibu jari tangan sehingga membuat
sklera dan konjungtiva terpajan. Inspeksi sklera dan konjungtiva palpebralis
untuk melihat warnanya dan perhatikan pola vaskularisasi terhadap latar
belakang sklera yang berwarna putih. Cari setiap nodulus atau pembengkakkan.
Jika ingin melihat mata pasien secara lebih luas, letakkan ibu jari dan jari
telunjuk pada tulang pipi dan alis mata, dan kemudian renggangkan kedua
kelopak mata tersebut. Minta pasien untuk melihat ke samping kanan dan kiri,
serta ke bawah. Dengan teknik ini, sklera dan konjungtiva bulbaris dapat terlihat
4
dengan baik, tetapi tidak dapat melihat konjungtiva kelopak mata atas. Untuk
melihat konjungtiva kelopak mata atas, kelopat mata tersebut harus dibalik.
- Kelenjar Getah Bening Leher5
Leher diperiksa secara sistematis untuk mencari adanya pembesaran
kelenjar getah bening dan kelainan lainnya, dengan meraba segitiga anterior dan
posterior leher secara bergantian. Batas-batas segitiga anterior: batas lateral
adalah sternomastoid, batas superior adalah mandibula, dan batas anterior adalah
garis tengah. Batas-batas segitiga posterior: batas anterior adalah sternomastoid,
batas posterior adalah otot trapezius, dan batas inferior adalah klavikula.
Kelenjar getah bening dapat dibagi menjadi beberapa kelompok.
Pemeriksaan dilakukan dengan jari dan dalam keadaan relaks dan lakukan
gerakan “putaran kecil” secara lembut. Tonsil terletak tepat di sudut rahang.
Kelompok KGB skalenus anterior terletak pada iga pertama di belakang dan
tepat di bawah ujung medial klavikula, dan KGB ini harus diraba melalui kaput
klavikular otot sternomastoid. Perabaan ini paling baik jika dilakukan dengan
meminta pasien menjatuhkan kepalanya ke depan dan pemeriksaan dilakukan
dari belakang.
- Lesi Simetris pada Kulit5
Lesi kulit simetris sering kali mencerminkan penyakit kulit generalisata
atau penyakit sistemik: manifestasi sistemik dapat memberikan petunjuk
diagnostik. Pada SLE, ruam kulit timbul pada sekitar 85% pasien dan meliputi
ruam kupu-kupu khas pada kedua pipi. Fenomena Raynaud dapat terjadi.
Fotosensitivitas dapat terjadi dan alopesia berparut dapat terbentuk;
telangiektasis juga umum ditemukan.
2.2.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien adalah
pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan kelainan imunologis
ditemukan sel LE, antibodi antinuclear, komplemen serum menurun, faktor
rheumatoid dan uji terhadap VDRL yang positif palsu. Tes antibodi anti-Ro
positif pada 25% penderita lupus. Tes komplemen serum, bila
rendah menunjukkan penyakit lupus sedang aktif biasanya
5
disertai penyakit ginjal. Hasil pemeriksaan darah dapat
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopeni,
limfopenia, atau leukopenia; erythrocyte sedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, test Coombs mungkin positif,
level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, serum
globulin meningkat, albumin dan sel darah merah juga sering
ditemukan pada urin.
1. Adanya ANA
Hasil ini ditemukan pada 95% pasien SLE. Pola yang paling lazim adalah
homogen dan difus (pola yang menghasilkan sel LE). Antigen anti-DNA untai
ganda dan anti-Smith hanya ditemukan pada SLE, sedangkan antibodi lain
seperti anti-DNA untai tunggal bisa juga ditemukan pada penyakit lain.
Antibodi lainnya misalnya anti-Ro dan anti-La juga dapat ditemukan. Pada
pasien dengan rematoid artritis serta para pasien dengan penyakit autoimun
yang relatif sehat dapat memiliki ANA positif. ANA positif juga bisa karena
faktor usia, infeksi virus tertentu.
2. Tes faktor rheumatoid
Hasilnya positif pada 80% rheumatoid artritis dan 20-30% pasien SLE. Faktor
rheumatoid yang tinggi dan ANA yang rendah menunjukkan bahwa diagnosis
rematoid artritis. Antibodi anti cyclic citrullinated peptide (CCP), jika ada,
cukup spesifik untuk rematoid artritis dan hanya terlihat 5% pada SLE.
3. Kelainan hematologik
Anemia normokromik normositik terdapat pada 40% pasien. Bisa ditemukan
tanda-tanda anemia hemolitik antara lain peningkatan haptoglobin serum.
Trombositopenia ditemukan pada 25% pasien. Kadar LED mungkin meningkat
tetapi tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit.
4. Antikoagulan lupus
Ditandai dengan adanya antikoagulan dalam sirkulasi dengan peningkatan PTT
atau antifosfolipid dalam sirkulasi (50% pasien dengan lupus) / antibody
kardiolipin terkait dengan thrombosis vena atau arterial.
5. Pasien SLE dapat memiliki uji VDRL positif palsu. Namun antibodi
Treponemal fluoresen (FTA) akan negatif.
6
6. Hipokomplementia (CH50, C3, C4) bisa ditemukan dan berhubungan dengan
aktivitas penyakit.
7. Uji laboratorium yang kadang masih dipakai sampai sekarang adalah uji faktor
LE. Sel LE dapat juga ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit
golongan reumatik yang juga diperantarai oleh imunitas. Urin diperiksa untuk
mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit, dan silinder. Uji ini dilakukan
untuk menentukan adanya kompliksi ginjal dan untuk pemantauan
perkembangan penyakit.6
2.3 Diagnosis
2.3.1 Diagnosis Banding (Differential diagnose)
Osteoartritis
Osteoartritis merupakan penyakit degeneratif kronis dari sendi-sendi.Pada
penyakit ini terjadi penurunan fungsi tulang rawan terutama yang menopang
sebagian dari berat badan dan seringkali pada persendian yang sering digunakan.
Osteoarthritis merupakan gangguan yang umum pada usia lanjut, sering dianggap
sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan dalam tulang dengan lanjutnya usia.
Penyakit ini biasa terjadi pada umur 50 tahun ke atas dan pada orang kegemukan
(obesitas), tetapi bisa juga disebabkan oleh trauma persendian.
Pada usia lanjut tampak dua hal yang khas, yaitu rasa sakit pada persendian
dan terasa kaku jika digerakkan disertai krepitus yang khas. Osteoartritis
diklasifikasikan sebagai tipe primer (idiopatik) tanpa kejadian atau penyakit
sebelumnya. Pertambahan usia berhubungan secara langsung dengan proses
degeneratif dalam sendi, mengingat kemampuan kartilago artikuler untuk bertahan
terhadap mikrofraktur dengan beban muatan ringan yang berulang-ulang menurun.
Osteoarthritis sering dimulai pada dekade ketiga dan mencapai puncaknya diantara
dekade kelima dan keenam (75-85 tahun).Cairan sinovial dari aspirasi sendi
berwarna jernih dengan viskositas normal serta bersifat noniflamasi (jumlah sel
darah putih rendah) pada pemeriksaan makroskopis.
Penyakit ini dibagi atas dua kategori yaitu primer yang terkait dengan umur,
dan sekunder yang terjadi pada orang muda di mana diawali dengan kerusakan
tulang rawan sendi akibat trauma, infeksi atau kelainan kongenital.
7
Penyakit ini umumnya menyerang tulang belakang dan sendi-sendi besar
seperti sendi-sendi yang menanggung beban tubuh dan dapat terjadi hanya pada
satu sendi saja (monoartritis). Tidak seperti pada kebanyakan artritis, pada kelainan
ini perubahan anatomis yang utama adalah degenerasi tulang rawan sendi,
sedangkan artritis pada umumnya ditandai dengan proses peradangan pada
membran sinovial.
Pada penyakit dengan derajat menengah / moderate, terdapat proliferasi
kondrosit yang tampaknya merupakan proses perbaikan. Pada akhirnya semua
kondrosit mengalami degenerasi. Membran sinovial akan menunjukkan sedikit
tanda peradangan, namun berbeda dengan RA, proses peradangan di sini tidak
hebat dan tidak terjadi pannus. Dengan rusaknya tulang rawan, maka akan tampak
jaringan tulang yang mendasarinya. Daerah pada tulang itu akan menjadi tebal
karena kompresi atau proses pembentukan tulang baru yang reaktif. Yang khas di
sini adalah terbentuknya spurs formation yang menonjol dari tulang yang reaktif
pada tepi rongga sendi. Walaupun sudah jelas bahwa degenerasi matriks tulang
rawan merupakan patogenesis utama dari OA, akan tetapi penyebab dari proses ini
masih belum jelas. Selain perubahan degeneratif yang berhubungan dengan proses
menua, perlu ditambahkan bahwa kerusakan jaringan karena proses imunologis dan
penyakit yang berkaitan dengan faktor genetik juga berperan dalam terjadinya
degenerasi tulang rawan.
Dalam perjalanannya, terdapat perubahan kualitas kondroitin sulfat dan
glikosaminoglikan.Sebagai akibat dari perubahan ini, kondrosit yang biasanya
tenang, dipacu untuk berproliferasi, berupaya untuk mengisi kekurangan matriks
dengan meningkatkan sintesis.Karena kondrosit yang terangsang juga mensekresi
enzim penghancur maka terjadi kehilangan proteoglikan yang berkesinambungan.
Gejala biasanya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku,
kemudian timbul rasa nyeri yang terutama terasa saat bergerak dan akan berkurang
dengan isitirahat. Maka dari itu fungsi sendi berkurang menyebabkan atrofi otot.
Pada umumnya, penyakit ini timbul secara tersembunyi sehingga kekakuan
sendi timbul secara progresif lambat.Mula-mula terasa kaku, kemudian timbul rasa
nyeri dan krepitasi pada waktu ada pergerakan sendi juga kadang disertai
pembengkakkan sendi.Keadaan ini menyebabkan fungsi sendi berkurang dan atrofi
otot.Akan tetapi tidak ada tanda-tanda konstitusional dari suatu penyakit
8
inflamasi.Berbeda dengan RA, penderita OA sering tidak merah dan tidak panas,
juga tidak timbul ankilosis. Apabila mengenai tulang belakang, akan
mengakibatkan penekanan pada saraf dan menimbulkan nyeri radikular. Apabila
tonjolan tulang terjadi pada sendi interfalang distal dari jari, maka secara klinis
akan tampak pembengkakan yang bersifat nodular, keras pada perabaan dan dikenal
sebagai nodul Heberden. Kelainan ini lebih sering dijumpai pada pria daripada
wanita dan merupakan pengecualian karena umumnya penyakit ini terjadi pada
sendi besar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh.
Reumatoid artritis
Rheumatoid arthritis merupakan bentuk arthritis yang serius, disebabkan oleh
peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian.Ditandai
dengan sakit dan bengkak pada sendi-sendi terutama pada jari-jari tangan,
pergelangan tangan, siku, dan lutut. Dalam keadaan yang parah dapat menyebabkan
kerapuhan tulang sehingga menyebabkan kelainan bentuk terutama pada tangan dan
jari-jari. Tanda lainnya yaitu persendian terasa kaku terutama pada pagi hari, rasa
letih dan lemah, otot-otot terasa kejang, persendian terasa panas dan kelihatan
merah dan mungkin mengandung cairan, sensasi rasa dingin pada kaki dan tangan
yang disebabkan gangguan sirkulasi darah.
Gejala ekstra-artikuler yang sering ditemui ialah demam, penurunan berat
badan, mudah lelah, anemia, pembesaran limfe dan jari-jari yang pucat.Penyakit ini
belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun diduga berhubungan dengan
penyakit autoimmunitas.Ditandai dengan adanya artritis erosif pada sendi sinovial
yang simetris dan kronis yang menyebabkan gangguan fungsi yang
berat.Rheumatoid arthritis lebih sering menyerang wanita daripada laki-
laki.Walaupun dapat dapat meyerang segala jenis umur, namun lebih sering terjadi
pada umur 30-50 tahun.Hasil tes reumatoid faktor menunjukan hasil positif dan tes
antinuklear antibodies (ANA) meningkat atau positif.Respon inflamasi akut (LED
dan CRP yang meningkat).
Artritis Gout
Gout yang juga disebut pirai ini merupakan kelainan metabolisme purin
bawaan yang ditandai dengan peningkatan kadar asam urat serum dengan akibat
penimbunan kristal asam urat di sendi yang menimbulkan artritis urika akut.
Berbeda dengan RA, penyakit ini lebih sering ditemukan pada pria dengan ratio
9
20:1. Biasanya menunjukkan gejala pada usia dewasa muda dengan puncaknya
setelah berusia 40 tahun. Penyakit ini sering menyerang sendi perifer kaki dan
tangan, dan tersering mengenai persendian meta tarso falangeal ibu jari kaki.
Pada anamnesis, biasanya ditemukan keluhan sendi kemerahan disertai nyeri
akut seringkali pada ibu jari kaki.Rasa sakit pada sendi dengan permulaan eksplosif
dan khas menyerang sendi-sendi kecil terutama jari-jari kaki.Rasa sakit biasanya
selalu berulang-ulang dengan sendi yang terkena bengkak, panas, kemerahan dan
sakit, sering dijumpai thopi.Pada penderita seringkali terdapat batu ginjal. Pada
pemeriksaan laboratorium, didapatkan kadar asam urat meningkat, ditemukannya
Kristal-kristal asam urat dalam cairan synovial sendi yang terserang.
Stadium awal berupa serangan monoartikuler yang ditandai dengan nyeri
sendi hebat karena artritis akut.Biasanya terdapat kemerahan, pembengkakan, nyeri
tekan lokal dan sendi tidak dapat digerakkan.
Artritis akut ini disertai demam dan leukositosis serta gambaran gejala
selulitis dan artritis septik akut. Umumnya serangan berakhir dalam beberapa hari,
akan tetapi serangan yang berat dapat menetap untuk beberapa minggu. Setelah
beberapa tahun, 50% akan berkembang menjadi pirai bertophus. Tophus adalah
nodul kecil yang terdiri dari kristal asam urat.
Artritis pirai kronik, ditandai dengan adanya pembengkakan dan kekakuan
sendi.Pada stadium lanjut yang kronik ini serangan akut dapat terjadi. Pada foto
rontgen, timbunan kristal asam urat murni memberi gambaran radiolusen
sedangkan timbunan kalsium tampak radioopak. Pada pemeriksaan laboratorium,
ditemukan hiperurisemia dan pada 50% penderita ditemukan kristal urat pada
cairan sinovial atau tophus.
Pada penderita penyakit ini, dapat dipakai obat urikosurik yaitu probenesid
dan sulfinpirazon yang bekerja menghambat reabsorpsi asam urat di tubuli
ginjal.Kadar asam urat dalam duktus kolektivus meninggi sehingga kemungkinan
timbul batu ginjal menjadi lebih tinggi.Hal ini dapat diatasi dengan minum
banyak.Kemudian bisa diberikan allupurinol yang menghambat enzim xantin
oksidase sehingga mengurangi pembentukan asam urat.Kadar asam urat ini perlu
diturunkan sampai di bawah 7 mg%. Dengan menurunnya kadar urat, maka tophi
lambat laut akan menghilang.7
2.3.2 Diagnosis Kerja (Working diagnose)
10
Gejala yang paling sering adalah artritis simetris atau atralgia, yang muncul
pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal.
Sendi-sendi paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan,
pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliartritis SLE
berbeda dari artritis rematoid karena jarang bersifat erosif atau menimbulkan
deformitas. Nodul subkutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE. Gejala-
gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat
badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam
perjalanan penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai gejala
sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan SLE.
Manifestasi kulit mencakup ruam eritamatosa yang dapat timbul pada wajah,
leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE memiliki ruam
khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini.
Dapat timbul alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat menjadi berat.
Rambut biasanya dapat tumbuh kembali tanpa masalah. Juga dapat terjadi ulserasi
pada mukosa mulut dan nasofaring.
Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE.
SLE juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium,
dan perikardium. SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer.
Gejala-gejala yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku (depresi),
kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. Perubahan-perubahan
pada sistem saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan
seringkali fatal.
Kriteria diagnosis laboratorium SLE menurut the American Rheumatology
Association (ARA) antara lain adanya beberapa autoantibodi yaitu ANA, anti ds-
DNA, anti Sm dan antifosfolipid seperti ACA, LA, atau VDRL positif palsu. ANA
sangat sensitif untuk SLE karena dijumpai pada 90-100% penderita sehingga
merupakan pemeriksaan pertama pada penderita yang diduga SLE.
ANA umumnya terdeteksi lewat imunofluoresensi tak langsung. Pola
imunofluoresensi ( misalnya bersifat homogen, perifer, bercak nukleoler) walaupun
tidak spesifik, dapat menunjukan tipe antibodi yang beredar. ANA dapat pula
ditemukan pada kelainan autoimun (terdapat hingga 10% dari orang-orang normal)
11
tetapi adanya antibodi-antiDNA benang rangkap dan antibodi antigen anti-Smith
merupakan petunjuk kuat ke arah SLE.
Sebagian lainnya mempengaruhi pemeriksaan assay koagulasi in vitro
(memperpanjang masa pembekuan). Antibodi yang disebut antikoagulan lupus ini
sebenarnya menimbulkan efek prokoagulan in vivo sehingga terjadi trombosis
vaskuler rekuren, keguguran dan iskemia seberal (sindrom antibodi antifosfolipid
sekunder).
The American Rheumatism Association telah mengembangkan kriteria untuk
memilah SLE. Adanya empat dari ke-11 kriteria, baik secara serial maupun
simultan, cukup untuk menegakkan diagnosis.7
1. Ruam di daerah malar, ruam berupa eritema terbatas, rata, atau meninggi,
letaknya di daerah malar, biasanya teletak di pipi.
2. Lesi diskoid, lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik
keratin yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama
mungkin akan terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitivitas, terjadi lesi kulit sebagai akibat reaki abnormal terhadap
cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui anamnesis atau melalui pengamatan
dokter.
4. Ulkus pada mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri,
diketahui melalui pemeriksaan dokter.
5. Artritis, Artritis non-erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai dengan
nyeri, bengkak, atau efusi.
6. Serositis: Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi
gesekan pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura.
Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi
gesekan perikardium atau adanya efusi perikardium
7. Gangguan pada ginjal; proteinuria (+3) atau 0,5 g/hari proteinuria persisten
atau silinder sel khas, mungkin eritrosit, hemoglobulin granular tubular, atau
campuran.
8. Gangguan neurologik; kejang-kejang atau psikosis tanpa adanya penyebab lain
(adanya obat-obatan yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolik seperti
uremia, ketosidosis, dan gangguan keseimbangan elektrolit).
12
9. Gangguan hematologik; anemia hemolitik, leucopenia, limfopenia, atau
trombositopenia.
- Anemia hemolitik dengan retikulositosis.
- Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.
- Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.
- Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat yang mungkin
menyebabkannya.
10. Gangguan imunologik; sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, anti-DNA, anti-
Sm, atau suatu uji serologik positif palsu untuk sifilis.
- Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer abnormal.
- Uji serologi untuk sifilis yang positif seem selama paling sedikit 6 bulan dan
diperkuat oeh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluoresens absorpsi
antibodi treponema.
11. Kelainan antinuklear, titer abnormal antibodi antinuklear yang diukur dengan cara
imunofluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak
adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom lupus karena obat
Kecurigaan akan penyakit SLE bisa dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ
sebagaimana tercantum dibawah ini, yaitu:
- Jender wanita pada rentang usia reproduksi
- Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan
- Muskuloskeletal: artritis, artalgia, miositis
- Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLE membrana
mukosa, alopseia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
- Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan sindroma nefrotik
- Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
- Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru
- Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
- Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
- Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
- Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa, neuropati
kranial dan perifer. (sama dgn etiologi)8
13
2.4 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.
Prevalensi SLE di berbagai negara bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-
beda, bervariasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras
tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi
familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit
ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa
reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan pada pria berkisar antara 5,5-9 : 1.2-5
Carter MA. Lupus eritematosus sistemik.8
SLE adalah propotipe penyakit autoimun multisitem, yang ditandai oleh beragam
autoantibodi, terutama antibodi antinukleus (ANA). Penyakit ini memiliki awitan
mendadak atau perlahan, bersifat kronik, dapat mereda dan kambuh, sering disertai
demam serta terutama ditandai oleh kelainan di kulit, ginjal, sendi, dan membran serosa.
Akan tetapi, hampir semua organ lain di tubuh dapat terkena. SLE merupakan penyakit
yang relatif sering, dengan prevalensi yang dapat mencapai 1 dari 2500 pada populasi
tertentu. Serupa dengan banyak penyakit autoimun lainnya, SLE terutama mengenai
wanita, dengan frekuensi 1 dari 700 wanita berusia subur dan rasio wanita terhadap pria
9:1. Sebagai perbandingan, rasio wanita terhadap pria untuk penyakit yang timbul pada
masa anak atau setelah usia setelah 65 tahun menjadi 2:1. Meskipun biasanya muncul
pada usia 20-an dan 30-an, SLE dapat muncul pada semua usia, bahkan pada masa anak-
anak dini.
Diketahui bahwa wanita memiliki kecenderungan terkena lupus lebih besar
daripada laki-laki yaitu 8 kali lebih banyak daripada laki-laki. Penyakit ini kebanyakan
menyerang umur 20-45 tahun. Menurut laporan statistik lupus lebih banyak 2 sampai 3
kali terjadi pada perempuan Afrika-Amerika daripada wanita kaukasian.6 Beberapa data
yang ada di Indonesia, diperoleh dari pasien yang dirawat dirumah sakit berdasarkan dari
3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pada periode yang berbeda pada
kasus yang terjadi di Jakarta diperoleh data sebagai berikut : antara 1969-1970 ditemukan
5 kasus, 1972-1976 ditemukan 1 kasus LES insidensi 15/10000 perawatan, 1988-1990
insidensi rata-rata 37,7/10000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-
beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, criteria pendahuluan ARA dan criteria ARA
yang telah diperbaiki.9
14
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah
sakit. Dari 3 peneliti dari departemen ilmu penyakit dalam universitas Indonesia yang
melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut:
- Antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE.
- Antara tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat
(insidensi sebesar 15 per 10000 perawatan).
- Antara tahun 1988-1990 insidensi rata-rata ialah 37,7 per 10000 perawatan.
Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut kriteria
Dubois, kriteria pendahuluan ARA, dan kriteria ARA yang telah diperbaiki.8,9
2.5 Etiologi
Etiologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang
kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi
secara sporadik tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor lingkungan diduga
terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab.
Interaksi antara sex, status humoral dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA)
mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme
pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun
merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya
tolenrasi imun, meningkatkan beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan
supresi sel B dan peralihan respon imun dari T-helper 1 (Th 1) ke Th2 menyebabkan
hiperaktivitas sel B memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar
faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam
periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.
2.5.1 Faktor Genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan
dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE
dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik
tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis SLE.
15
Banyak gen yang berkonstribusi terhadap kepekaan penyakit. Pada sebagian kecil pasien
hanya gen tunggal yang bertanggung jawab. Tetapi pada sebaagian besar pasien
memerlukan keterlibatan banyak gen. Elemen genetik yang paling banyak diteliti
kontribusinya terhadap SLE pada manusia adalah gen dari Kompleks Histokompatibilitas
Mayor (MHC). Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE
melibatkan polimorfisme dan gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II. Hubungan
HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda,
dengan resiko relative terjadinya penyakit berkisar antara 2 sampai 5. Gen HLA kelas II
juga berhubungan dengan adanya antibody tertentu seperti anti-sm (small nuclear
ribonuclearprotein), anti-RO, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear protein) dan anti-
DNA. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4,
memberikan resiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan homozygous
C4A null alleles tanpa memandang latar belakang etnik, mempunyai resiko tinggi
berkembang menjadi SLE. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan
terhadap penyakit oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan,
baik terhadap self antigen maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas
pembersihan dari sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi.
Selain itu banyak gen non-MHC polimorfik yang dilaporkan berhubungan dengan
SLE, termasuk gen yang mengkode mannose binding protein (MBP), TNF-α, reseptor sel
T, interleukin 6 (IL-6), CR1, imunoglobuin Gm dan Km allotypes. Penemuan darah
kromosom yang multiple (multiple chromosome regions) sebagai resiko berkembangnya
SLE, mendukung pendapat bahwa SLE merupakan penyakit poligenik.8
2.5.2 Faktor Hormonal
SLE adalah penyakit yang lebih menyerang perempuan. Serangan pertama kali SLE
jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause.
Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin,
dimana peningkatan hidroksilasi 16a dari estrone mengakibatkan peningkatan yang
bermakna kosentasi 16a hidroksiestron. Metabolit 16a lebih kuat dan merupakan
feminising estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen
plasma yang rendah, termasuk testoteron, dehidrotestoteron, dehidroepiandrosteron
(DHEA) dan dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan oksidasi testoteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas
aromatase jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi negativ dengan aktivitas penyakit.
16
Konsentrasi testosteron plasma yang rendah meningkatkan konsentrasi luteinising
hormone (LH) ditemukan pada beberapa penderita SLE laki-laki, jadi estrogen yang
berlebihan dengan aktivitas hormone androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun
perempuan, mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi
progesteron didapatkan lebih rendah pada penderita SLE perempuan dibandingkan dengan
kontrol sehat.
Prolactin (PRL) adalah hormon yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior,
diketahui menstimulasi respon imun humoral dan selular, yang diduga berperanan dalam
patogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel-sel sistem imun juga mampu mensintesis
PRL. Fungsi PRL menyerupai sitokin, yang mempunyai aktivitas endokrin, parakrin dan
autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer (NK), makofag, neutrofil,
sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritik presentasi antigen.
Hormon dari sel lemak yang diduga terlihat dalam patogenesis SLE adalah leptin.
Penelitian konsentrasi leptin serum pada penderita SLE permpuan yang dilakukan oleh
Garcia-Gonzales dkk, mendapatkan kadar leptin pada penderita SLE lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol sehat.
2.5.3 Autoantibodi
Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi.
Antibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma,
permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi.
Antibodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada
penderita SLE (lebih dari 95%). Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm
antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam
kriteria klasifikasi dari SLE. Antigen Sm merupakan suatu small nuclear
ribonucleoprotein (snRNP), terdiri dari rangkaian uridine yang kaya molekul RNA,
berikatan dengan kelompok protein inti dan protein lain yang berhubungan dengan RNA.
Anti-Sm antibodi berikatan dengan protein inti snRNP, sedangkan antibodi anti-DNA
berikatan dengan conserved nucleic acid determinant yang tersebar luas dalam DNA.
Titer antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas penyakit,
sedangkan antibodi anti-Sm biasanya konstan.
2.5.4 Faktor Lingkungan
17
Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisi untuk SLE,
tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan
lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon
spesifik melalui kemiripan molekuler dan gangguan terhadap regulasi imun; diet
mempengaruhi produksi mediator inflamasi; toksin/obat-obatan memodifikasi respon
selular dan imunogenisitas dan self antigen; dan agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet
(UV) dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan
jaringan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap predisposisi individual sangat bervariasi.
Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas dan adanya periode bergantian antara
remisi dan eksaserbasi dari penyakit ini. Faktor lingkungan lainnya dapat dilihat pada
tabel 3.
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang Mungkin Berhubungan dengan Patogenesis SLE.8
Faktor fisik/kimia:
Amin aromatic
Hydrazine
Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin, penisilamin)
Merokok
Pewarnaan rambut
Sinar ultraviolet (UV)
Faktor makanan:
Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
L-canavanine (kuncup dari alfalfa)
Agen infeksi:
Retrovirus
DNA bakteri/endotoksin
Hormone dan estrogen lingkungan:
Terapi sulih hormone (HRT), pil kontrasepsi oral
18
Paparan estrogen prenatal
Sumber: Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana IN. Lupus eritematosus sistemik.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.2568.
Radiasi UV bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada SLE,
juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan
terbentuknya autoantibodi. Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia
yang menghasilkan blebs nuclear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel.
Penggunaan estrogen meningkat pada perempuan postmenopause dan untuk kepentingan
kontrasepsi. Paparan estrogen secara kronik pada tikus prepubertas non-imun
mempengaruhi perkembangan timus dan toleransi imun. Paparan senyawa etrogenik
selama kehidupan fetus bisa menimbulkan resiko imunologik yang potensial. Paparan
dietilstilbestesol prenatal berhubungan dengan gangguan autoimun, meskipun masih
memerlukan investigasi lebih lanjut. HRT dan penggunaan pil kontrasepsi oral juga
berhubungan dengan sedikit peningkatan resiko berkembangnya SLE. Estrogen
lingkungan dan gangguan endokrin mungkin merupakan pencetus yang penting untuk
autoimunitas pada individu yang peka.8
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang sering pada SLE ialah gejala musculoskeletal berupa artritis atau artralgia
(93%) dan seringkali mendahului gejala-gejala lainnya, yang paling sering terkena ialah
sendi interfalangeal proksimal diikuti lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal,
siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan kaki dan nyeri mungkin juga terdapat
efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi). Kaku pagi hari jarang
ditemukan. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa
menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakalanya dapat terjadi pada
berbagai tempat dan terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan
steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
Gejala Mukokutan.
Kelainan kulit,rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit
yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan livido
19
retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang
agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini
dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul
ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk
lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khasi berbentuk anular. Lesi diskoid yang
berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hyperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak
sebagai bercak eritematosa yang meninggi, ,tertutup oleh sisik keratin disertai adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk sikatriks.
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan
antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang
secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi.
Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi
perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian
pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit ,Sedangkan pada sebagian lagi
akan membaik jika penyakit mereda.
Ginjal.
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang
terjadi hanya terdapat 25% kasus SLE yang urinnya menunjukan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis
lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis
biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik,hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan
sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis
kronik,tuberkolosis ginjal dan sebagainnya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab
kematian SLE kronik.
Kardiovaskular
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard),
iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).
20
Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin
ditemukan pada sel LE dalam cairan pleura.Biasanya efusi menghilang dengan pemberian
terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor
lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkolosis dan sebagianya telah disingkirkan.
Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang)
dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya terdapat
pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau
arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.
Alteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
Kelenjar getah bening & kelenjar parotis
Pembesaran pada kelenjar getah bening sering ditemukan (50%). Biasanya berupa
limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-
kadang disangka sebagai limfoma. Kelenjar parotis membesar pada 6% kasus SLE.
Susunan saraf tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya
bersifat sementara.
Susunan saraf pusat
Gangguan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-
kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE
pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukan gejala delusi/halusinasi disamping gejala
khas kelainan organik otak seperti disorientasi.8
2.7 Patogenesis
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan
karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan
kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam
yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan
APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan.
21
Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel
T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 .10
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan
membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10
yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga
mengganggu cell-mediated immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa
berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-
2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T .4 Abnormalitas dan disregulasi
sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC,
dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi
antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B,
reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga
meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90
akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon
imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan
subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakan signal bagi CD8+. Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua
subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis
dan sekresi autoantibodi. Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik
pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel
sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme
yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran
jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua,
autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam
jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang
terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi
komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan
22
berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui
mekanismenya terhadap kerusakan jaringan.11
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun
pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan
juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor
FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen
komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan
antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai
macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang
menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,
pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya.5 Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa
UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti
klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah
apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui
kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang
secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar
membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen
komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti
transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin,
dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada
SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi
dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan
apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan
apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 .11
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi
obat yang kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Periode timbulnya penyakit ini
tersering adalah pada akhir masa remaja, dan awal dari masa dewasa seorang perempuan.
Karena masa ini adalah tahun-tahun reproduksi yang paling prima, maka diperlukan
23
penyuluhan serius dalam mengambil keputusan akan memiliki anak atau tidak.
Kehamilan dapat menyebabkan timbulnya SLE, yang dapat berbahaya pada perempuan
yang memiliki kerusakan ginjal. Obat-obatan sitotoksik mungkin diperlukan untuk
mengendalikan penyakit ini, dan obat-obatan ini sangat berpotensi untuk mencelakan
fetus. Metode kontraseptif oral tidak diperbolehkan karena dapat memperberat SLE. IUD
dapat menjadi suatu masalah bagi perempuan yang mendapat pengobatan dengan
kortikosteroid sistemik karena adanya potensi untuk menimbulkan infeksi.
Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi
non-steroid (OAINS), kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan imun. Pemilihan
obat yang sesuai bergantung pada organ-organ yang terserang oleh penyakit ini. OAINS
dipakai untuk mengatasi artritis dan atralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena
memiliki insidens hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami
gangguan pada hepar. Seseorang dengan SLE juga memiliki risiko tinggi terhadap efek
samping OAINS pada kulit, hepar, dan ginjal, sehingga pemberiannya harus dipantau
dengan seksama.
Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat
mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan
dosis tinggi untuk memperoleh kedaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupaka parameter
untuk memantau pemakaian dosis. Terapi penekan imun (siklofosfamid dan azatioprin)
dapat dilakukan dengan menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya
dipakai ketika diagnosis pasti sudah ditegakkan, adanya gejala-gejala berat yang
mengancam jiwa, kegagalan tidakan-tindakan pengobatan lainnya, dan tidak adanya
infeksi. Serangan akut SLE diobati dengan kortikosteroid oral dosis tinggi untuk waktu
yang singkat. Dosis obat-obatan ini biasanya dikurangi setelah beberapa minggu.
Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari sinar ultraviolet.
Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat
dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet
secara normal akan bersifat antigenik dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah
terkena sinar. Pasien SLE harus dianjurkan untuk memakai paying, topi, dan baju lengan
panjang apabila ke luar rumah.12
Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya kenaikan berat
badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan “junk food”
atau makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari kenaikan berat badan
24
berlebih. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada
anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB. Pencegahan
infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat pada anak
dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis harus dihindari dan hanya
diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan
infeksi pada penderita lupus, yaitu 1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit
infeksi, terutama infeksi bakterial, 2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai
leukositosis (leukosit >10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi, 3) gambaran
radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai infeksi bakterial sebelum
dibuktikan sebagai keadaan lain, dan 4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu
kemungkinan pielonefritis.13
2.8.1 Medica Mentosa
Obat-obat yang sering digunakan pada penderita SLE:
Tabel 2. : Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES12
Antimalaria Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)
Kortiko-steroid PrednisonDosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersamamethylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu
Obat imuno-supresif Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari
Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)Naproxen7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hariTolmetin15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hariDiclofenac< 12 tahun : tak dianjurkan> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
Suplemen Kalsium dan vitamin D Kalsium karbonat < 6 bulan : 360 mg/hari6-12 bulan : 540 mg/hari1-10 bulan : 800 mg/hari11-18 bulan : 1200 mg/hariCalcifediol< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
25
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/mingguAnti-hipertensi
Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hariPropranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
2.8.2 Non-medica mentosa
- Penyuluhan dan intervasi psikosional sangat penting diperhatikan dalam
pentalaksanaan penderita SLE terutama penderita yang baru di diagnosis.
- Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas
yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
- Hindari Merokok
- Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
- Hindari stres dan trauma fisik
- Hindari sinar ultraviolet dan paparan sinar matahari untuk meminimalkan gejala
memburuk akibat photosensitivity
- Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen. Karena studi terbaru menyarankan bahwa kontrasepsi oral tidak dapat
dikaitkan dengan flare penyakit atau risiko trombosis pada pasien dengan lupus
ringan tanpa antifosfolipid antibodies.
- Penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU
and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4,
IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA.
- Terapi antimalaria (hydroxychloroquine) telah ditunjukkan untuk mencegah
relaps dan meningkatkan mortality.
- Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan / atau angiotensin reseptor
blockers mungkin berguna pada pasien dengan penyakit ginjal.
- Kalsium, vitamin D, dan bifosfonat profilaksis dapat mengurangi risiko
osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid.
26
2.9 Komplikasi
Infeksi oportunistik dapat terjadi, paling sering pada pasien yang menerima terapi
imunosupresif kronis. Komplikasi lain yang kurang umum adalah osteonekrosis, terutama
bagian pinggul dan lutut setelah penggunaan dosis tinggi kortikosteroid berkepanjangan.
Lebih umum, penyakit aterosklerosis prematur dan infark miokard adalah komplikasi
indolen peradangan kronis.
Yang paling sering ditakutkan adalah jika pada ginjal dan jantung terjadi kelainan
sistemik. Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE
adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas
pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun
pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan
inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas.Penyebab
peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk
disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis,
dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari
SLE). 8
2.10 Prognosis
Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organ-organ
yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan,
penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh
mana gejala-gejala ini dapat diatasi. SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun
sebesar 90%.Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena
gagalginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun.Data dari
beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan5-year survival ratessebesar 17.5%-
69%. Sedangkan tahun 1980-1990,5-year survival ratessebesar 83%-93%. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien SLE dapat hidup selama 10 tahun, sebesar
88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara
jangka panjang dan menetap.8
27
Bab III
Penutup
3.1 Simpulan
Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bila terdapat nyeri dan bengkak pada
sendi pergelangan tangan, jari-jari tangan dan tumit serta ruam merah pada pipi merupakan
gejala dari SLE yang disebabkan oleh karena autoimun (respon imun yang tidak normal).
Yang mana pada keadaan normal, tubuh memiliki tolerance yaitu tidak timbulnya respon
imun pada antigen sendiri.
28
Daftar Pustaka
1. Goldstan BG, Goldstein A. Dermatologi praktis. Jakarta:Hipokrates; 2001. hal. 267-270.
2. Gleade J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005. hal.
197.
3. Gambar Butterfly rush. Edisi November 2010. Diunduh dari:
http://www.medicinenet.com/systemic_lupus. 16 Maret 2012.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Jakarta: EGC,
2009. hal. 151.
5. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC, 2009. hal.
4,24,184,198-9.
6. Graber MA, Toth PP, Herting RL. Buku saku dokter keluarga. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC;2006. hal. 288-293.
7. Suarjana IN. Artritis reumatoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
MK, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing, 2009. hal. 2495-2500.
8. Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana IN. Lupus eritematosus sistemik. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing, 2009. hal. 2565-77.
9. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Volume 2. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006. p 1392-6.
10. Myers SA, Mary HA. Cutaneous Manifestation of Lupus: Can You Recognize Them all
? Women’s Health in Primary Care. Vol 4 No 1. 2001.
11. Manzi S. Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. The American Journal of
Managed Care. Vol 7 No 16. 2001.
12. Klein G, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB. Textbook of Pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia:WB Saunders;2004. p. 809-
12.
13. Savage P. Lupus and the Eye. Lupus Foundation of America Lupus News vol 21 No 12.
2001.
29