makalah empirisme
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia dilahirkan ke dunia ini dengan penuh kesempurnaan, yang berbeda dengan
makhluk hidup lainnya. Kesempurnaan tersebut adalah diberikannya akal yang digunakan
untuk berpikir. Dalam kehidupan sehari-harinya, manusia kadang mengalami kesulitan-
kesulitan, misal dalam hal ekonomi kebutuhan manusia yang tidak terbatas dihadapkan
dengan alat pemenuhan yang jumlahnya terbatas yang akhirnya manusia mencari alternatif-
alternatif pemenuhan kebutuhan secara rasional.
Keinsafan akan adanya kesulitan-kesulitan mendorong orang untuk memikirkan
caranya ia berpikir, serta meneliti asas-asas hukum-hukum yang harus mengatur pemikiran
manusia agar dapat mencapai kebenaran (Dr. W. Poespoprodjo, S.H dkk; 1999:12). Dengan
demikian timbulah suatu ilmu yang disebut logika. Sebagai pelopor ilmu logika adalah
Aristoteles (348-322 SM) dengan karyanya yang terkenal dengan judul To Organon.
Logika berasal dari kata Yunani logos, yang berarti ucapan, kata, pengertian, pikiran,
ilmu. Dalam filsafat ilmu, logika biasa digunakan karena logika merupakan wahana pokok
dalam keilmuan. Secara leksikal, Oxford Dictionary dalam Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum
(2012:173) mendefinisikan logika sebagai “science of reasoning, proof, thinking, or
inference; particular scheme of or treatise on this; chain of reasoning, correct or incorrect
use of argument, ability in argument, arguments”. Dalam kamus Oxford juga disebutkan
bahwa aslinya istilah lengkap untuk logika adalah logike tekhne, yang artinya seni atau
keterampilan berpikir.
Pengetahuan manusia bermula dari pengalaman-pengalaman konkret, pengalaman
sensitivo-rasional: objek-objek, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dilihat atau
dialami (DR. W. Poespoprodjo, S.H, dkk, 1999:15-16). Akal manusia tidak puas dengan
hanya untuk mengetahui dan menerima suatu fakta saja. Akal manusia akan mencari
mengapa fakta itu bisa terjadi, apa penyebabnya, bagaimana kejadian itu, apa hubungannya
satu hal dengan hal yang lain sehingga timbul fakta tersebut dan seterusnya.Suatu penjelasan,
yang menunjukkan kaitan atau hubungan antara dua hal atau lebih, yang atas dasar alasan-
alasan tertentu dan dengan langkah-langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan kita sebut
sebagai suatu penalaran/pemikiran/penyimpulan. (DR. W. Poespoprodjo, S.H, dkk, 1999:16-
17). Salah satu target pokok pelajaran logika adalah menganalisa jalan pikiran dari suatu
penalaran/pemikiran/penyimpulan.
1
Perkembangan selanjutnya dari pengetahuan adalah ilmu. Menurut Jujun S.
Suriasumantri, ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu
yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya (Jujun S. Suriasumantri,
2012: 5). Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali “menemukan” ilmu. Karena
bangsa Yunani telah menuliskan dan menemukan pengetahuan-pengetahuan yang telah
dimiliki oleh mereka (maupun yang berasal dari pengetahuan bangsa lain) dalam bentuk
tulisan yang tersusun secara sistematis. Menurut sejarahnya, astronomi merupakan ilmu yang
pertama kali muncul, kurang lebih sejak tahun 2000 SM, (Jujun S. Suriasumantri, 2012: 18),
dan sejak saat itu ilmu mengalami perkembangan yang pesat hingga saat ini. Perkembangan
ilmu tentu tidak terlepas dari adanya perubahan pola pikir manusia.
Filsafat adalah suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir
yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya (Jujun S. Suriasumantri, 2012:4-5). Manfaat
filsafat dalam kehidupan: 1) Sebagai dasar dalam bertindak; 2) Sebagai dasar dalam
mengambil keputusan; 3) Untuk mengurangi salah paham dan konflik; 4) Untuk bersiap siaga
menghadapi situasi dunia yang selalu berubah (Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum, 2012:4).
Adapun filsafat yang pertama muncul adalah rasionalisme dan empirisme, yang kemudian
berkembang menjadi berbagai aliran filsafat.
Dunia pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan pemberitaan nasonal atas
peristiwa tewasnya Alawy Yusianto Putra, seorang pelajar SMA 6 Jakarta, akibat tawuran
pada hari Rabu tanggal 26 September 2012 (KOMPAS.com). Tawuran antar pelajar bukanlah
hal aneh di Indonesia. Menurut data kepolisian, di Jakarta, sepanjang tahun 2012 (hingga
bulan September) telah terjadi 11 kali tawuran dengan korban jiwa 5 orang (KOMPAS.com).
Hal ini mengindikasikan ada yang salah dalam pendidikan Indonesia.
Menurut Prof.Rupert.C.Lodge,”In this sense life is education and education is life”.
Artinya, seluruh pendidikan merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Karena,
segala pengalaman sepanjang hidup memberikan pengaruh pendidikan bagi seseorang. Maka
dapat dipahami bahwa masalah pendidikan memerlukan jawaban secara filosofis.Bidang
filsafat pendidikan adalah juga masalah hidup dan kehidupan manusia. Dengan mengambil
pengertian pendidikan secara luas, berarti masalah kependidikan mempunyai ruang lingkup
yang luas pula, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Sehingga otomatis
keduanya saling berkaitan dan berkesinambungan satu sama lain.
Menurut Prof.Dr.Hasan Langgulung, filsafat pendidikan adalah aktivitas pemikiran
teratur yang menjadikan filsafat sebagai media untuk menyusun pendidikan,
menyelaraskannya dan mengharmoniskannya serta menerapkan nilai-nilai dan tujuan yang
2
ingin dicapainya (Prof.Dr.Hasan Langgulung, 1999:35). Sebagai ilmu yang menjadi jawaban
terhadap problema-problema dalam lapangan pendidikan, maka filsafat pendidikan dalam
kegiatannya berfungsi sebagai berikut:
1. Merumuskan dasar-dasar dan tujuan pendidikan, konsep hakikat pendidikan dan hakikat
manusia, dan isi moral pendidikan.
2. Merumuskan teori, bentuk dan sistem pendidikan.
3. Merumuskan hubungan antara agama, filsafat, filsafat pendidikan, teori pendidikan dan
kebudayaan.
Kegiatan pembelajaran di kelas tidak lepas dari beberapa elemen yang saling berkaitan
satu sama yang lainnya, seperti guru, peserta didik, kurikulum, mata pelajaran, metode
pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, dll. Peserta didik merupakan salah satu
elemen yang paling utama karena dirinyalah yang berperan untuk mendapatkan ilmu. Belajar
dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan.
Hilgard dalam Prof. Dr. H. Wina Sanjaya, M.Pd (2006:112) mengungkapkan : “Learning is
the process by wich an activity origanates or changed through training procedurs (wheter in
the laboratory or in the natural environmenth) as distinguished from changes by factors not
atributable to training “. Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan
atau prosedur latihan baik di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah.
Banyak pandangan yang membahas tentang terjadinya perubahan tingkah laku.
Menurut John Locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori
tabularasanya, John Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak
ditulis apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya.
1.2 Ruang Lingkup
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis membatasi makalah ini untuk
menjawab pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah perkembangan ilmu, sejak masa Yunani hingga saat ini?
b. Apakah paham rasionalisme?
c. Apakah paham empirisme?
d. Bagaimanakah penerapan empirisme dalam pendidikan (khususnya pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial?
3
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah perkembangan ilmu sejak zaman Yunani hingga
sekarang;
2. Untuk lebih memahami paham rasionalisme;
3. Untuk lebih memahami paham empirisme dan penerapannya dalam pendidikan
4. Untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Filsafat Ilmu.
1.4 Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan
Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Ruang Lingkup, Tujuan Penulisan dan
Sistematikan Penulisan Makalah.
Bab II, Penerapan Empirisme dalam Pedidikan Pengetahuan Sosial
Terdiri dari Perkembangan Ilmu, Ilmu dalam Peradaban Zaman Kuno, Ilmu pada
Zaman Yunani, Ilmu pada Zaman Romawi, Ilmu dalam Peradaban Abad Pertengahan, Potret
Ilmu Pengetahuan Periode Islam, Ilmu pada Zaman Renainsans (14-16 M), Ilmu pada Zaman
Modern (17-19 M),Ilmu pada Zaman Kontemporer, Rasionalisme, Rasionalisme menurut
tokoh-tokoh filsafat modern, Rasionalisme menurut aliran Mu’tazilah ( Rasionalisme Islam ),
Kritik Terhadap Rasionalisme, Empirisme, Penerapan Empirisme Dalam Pendidikan IPS.
Bab III Kesimpulan dan Saran
Terdiri dari Kesimpulan, yang merupakan ringkasan dari isi makalah dan Saran bagi
para pembaca makalah ini.
4
BAB II
EMPIRISME
DALAM PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
2.1 Perkembangan Ilmu
Sebelum membahas mengenai perkembangan ilmu, terlebih dahulu akan dipaparkan
pengertian ilmu menurut beberapa ahli.
1. Menurut Mohammad Hatta: ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan
hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
2. Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag menyatakan: ilmu adalah yang empiris, rasional,
umum dan sistemtik, dan keempatnya serentak.
3. Menurut Karl Pearson: ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan
konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
4. Menurut Ashley Montagu, ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem
yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip
tentang hal yang sedang dikaji.
5. Menurut Harsojo: ilmu adalah:
1) Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan;
2) Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap dunia empiris, yaitu dunia yang
terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh
panca indera manusia;
3) Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan
sesuatu proposisi dalam bentuk: “Jika…, maka…”. (Prof. Dr. Amsal Bakhtiar,
M.A.,2012:15-16).
Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu dapat diusut sampai pada permulaan
manusia. Tak diragukan lagi bahwa manusia purba telah menemukan beberapa hubungan
yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia. Sedangkan
Amsal T. Bakhtiar membagi periodisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi
empat periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan
modern, dan pada zaman kontemporer.
5
2.1.1. Ilmu dalam Peradaban Zaman Kuno
a. Ilmu pada Zaman Yunani
George J. Mouly, dia membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu
empiris dan ilmu teoritis.Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya
dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pada
tahap inilah pola pikir mitosentris masih sangat kental mewarnai pemikiran bangsa Yunani
sebelum berubah menjadi logosentris. Seiring dengan berkembangannya waktu, filsafat
dijadikan sebagai landasan berfikir oleh bangsa Yunani untuk menggali ilmu pengetahuan,
sehingga berkembang pada generasi-generasi setelahnya. Inilah titik awal manusia
menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad
raya. Jones dalam A History of Western, mengatakan bahwa awal dan akar kebangkitan
filsafat dan sains Barat seperti sekarang ini adalah warisan intelektual Yunani. Para ahli pada
zaman itu, mencoba membuat konsep tentang asal muasal alam. Corak dan sifat dari
pemikiranya untuk membangun merangkai bangunan ilmu bersifat mitologik (keteranganya
didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja). Namun setelah adanya demitologisasi oleh para
pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM),
herakliotos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainya, maka
pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah puncaknya. Ravertz dalam bukunya
Filsafat Ilmu menyebutkan, paling tidak ada dua bidang kelimuan yang dipelajari yang pada
waktu itu mendekati kemapanannya, pertama, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya
mencoba menerapkan metode yang menekankan observasi, dan kedua, geometri yang sedang
mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung yang
disusun secara khusus.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan kelimuan bangsa Yunani,
karena pada zaman ini kajian-kajian kelimuan yang muncul adalah perpaduan antara filsafat
alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM),
yang sekaligus murid Socrates. Plato adalah seorang filsuf earliest (paling tua) yang tulisan-
tulisannya masih menghiasi dunia akademisi hingga saat ini. Karyanya Timaeus merupakan
karya yang sangat berpengaruh di zaman sebelumnya. Kemudian muncul Aristoteles (384-
322 SM). Ia adalah murid Plato. Ia menganggap matematika sebagai suatu abstraksi dari
kenyataan ilmiah. Dan ia berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat
yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika
6
Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme
terdiri dari tiga premis.
b. Ilmu pada Zaman Romawi
Ilmu pengetahuan yang pernah ditorehkan oleh Bangsa Romawi tidak bisa dilepaskan
dari bangunan ilmu pengetahuan yang telah disumbangkan oleh bangsa Yunani. Di dalam
banyak literatur yang ada, disebutkan bahwa bangsa Romawi merupakan bangsa yang
pertama kali mengaplikasikan teori-teori yang pernah dirumuskan oleh bangsa Yunani,
sehingga mata rantai kelimuan yang mulai memudar yang seolah-olah putus dalam sejarah
perkambangan ilmu pengetahuan bangsa Yunani menjadi tumbuh kembali. Sehingga di
dalam lapangan inovasi ilmu pengetahuan, bangsa Romawi tidak banyak melahirkan para
pemikir yang ulung, konseptor yang handal, dan perumus teori dalam rangka melebarkan
sayap ilmu pengetahuan. Namun yang perlu dicatat bahwa bangsa Romawi membuat
pemikiran spekulatif Yunani menjadi praktis dan dapat diterapakan dengan mudah.
Sumbangan terbesar bangsa Romawai kepada peradaban manusia terutama dalam bidang
pemikiran sistem hukum dan lembaga-lembaga politik, ada tiga bentuk pemikiran hukum
Romawi yang banyak diadopsi para pemikir Barat, antara lain : Ius Civile, Ius Gentium, Ius
Naturale. Dari segi pemikiran ilmu politik, Romawi memberikan pemahaman tentang teori
imperium, antara lain:
1. Kekuasaan dan otoritas negara
2. Equal rights (Persamaan hak politik)
3. Governmental Contract (Kontrak Pemerintah)
4. Pengadaptasian kekuasaan dan keagamaan
Para sejarawan berspekulasi tentang penyebab kegagalan orang Romawi di bidang
pengembangan ilmu. Ada yang mencoba melihat perbudakan yang menghambat dorongan
bagi industri, sebagai penyebabnya.
2.1.2. Ilmu dalam Peradaban Abad Pertengahan
Dominasi para teolog pada masa ini mewarnai aktivitas ilmiah pergerakan ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini
adalah ancillla theologia atau abdi agama.. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan
karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Inilah yang
7
dianggap sebagai salah satu penyebab masa ini disebut dengan Abad gelap (dark age).
Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh raja-raja besar
seperti Alfred dan Charlemagne. Namun di Timur terutama di wiayah kekuasaan Islam justru
terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat.
a. Potret Ilmu Pengetahuan Periode Islam
Menurut Harun Nasution, keilmuan berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250
M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang
sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban
Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak),
Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).
Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti : Al-Ḥāwī karya al-
Rāzī (850-923) merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu
kedokteran sampai masanya. Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan
judul Continens, Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun) yang
menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa. Al-Khawarizmi (Algorismus atau
Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi buku standar
beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi
pembuka jalan penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu
Rushd (1126-1198) seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari karya-karya
Aristoteles. Al Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal pada masa
itu untuk disampaikan kepada Raja Boger II dari kerajaan Sicilia. Dalam bidang kimia ada
Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn
Ḥayyān memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode
pemurniannya.
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni logika dan
filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-
Ghazālī (w. 1111 M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w.
1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī
berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat
dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya kemudian
diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat
8
dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab. Rasionalisme Ibn Rushd mengilhami
orang Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang
sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau
renaisans. Pada zaman itu bangsa Arab juga menjadi pemimpin di bidang Ilmu Alam.
Sumbangan sarjana Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang, yaitu :
1. Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskan sedemikian rupa,
sehingga dapat dikenal dunia Barat seperti sekarang ini.
2. Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu
kimia, ilmu bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
3. Menegaskan sistem desimal dan dasar-dasar aljabar.
2.1.3. Ilmu pada Zaman Renainsans (14-16 M)
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang
mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Renaisans adalah periode perkembangan
peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern.
Ciri utama renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan
rasionalisme. Dari pergaulan dengan peradaban Islam , muncul karangan-karangan spekulatif
sederhana tentang filsafat ilmiah. Abad ke-13 menyaksikan berdirinya universitas dan zaman
kebesaran pengetahuan skolastik. Ilmu pengetahuan yang berkemang maju pada masa ini
adalah bidang astronomi. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain : Roger Bacon,
Copernicus, Galileo Galilei. Bacon berpendapat bahwa matematika merupakan syarat mutlak
untuk mengolah semua pengetahuan. Pendapat Copernicus berkenaan di bidang astronomi
yaitu bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari, sehingga matahari menjadi pusat
(heliosentrisisme). Galileo Galilei menerima pendapat tentang prinsip tata surya yang
heliosentrisisme. Selain itu, ia membuat sebuah teropong bintang yang terbesar pada masa itu
dan mengamati beberapa peristiwa angkasa secara langsung. Langkah-langkah yang
dilakukan oleh Galileo dalam bidang ini menanamkan pengaruh yang kuat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan modern, karena menunjukkan beberapa hal seperti :
pengamatan (observation), penyingkiran (elimination), segalaa hal yang tidak termasuk
dalam peristiwa yang diamati, peristiwa tersebut, pengamalan (prediction), pengukuran
(measurement), dan percobaan (experiment) untuk menguji teori yang didasarkan pada
ramalan matematik.
9
2.1.4. Ilmu pada Zaman Modern (17-19 M)
Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern ini sesunguhnya sudah dirintis
pada masa Ranaissance, yaitu pada abad XIV, dan dimatangkan oleh ‘gerakan’ Aufklaerung
di abad ke-18. Di dalamnya ada dua indikasi yaitu, pertama, semakin berkurangnya
kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.
a. Abad ke-17 sampai 18 (abad klasik-Aufklaerung)
Pada abad ke-17 terjadi perumusan kembali yang radikal terhadap objek-objek dan
fungsi-fungsi pengetahuan alamiah. Pada abad ini, wacana epistemologi pada ilmu
pengetahuan mendapat perhatian penting dalam sejarahnya. Untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang bersifat epistimologis ini, maka dua aliran filsafat yang memberikan
jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut ialah rasionalisme dan
emperisme. Menjelang abad k-18, mulailah revolusi industri yang mentransformasikan Eropa
dari masyarakat agraris menjadi masyarakat perkotaan; pada akhir abad inilah terjadi
Revolusi Perancis, aktivitas ilmu mengalami perubahan-perubahan yang sedemikian rupa.
Gaya dominan ilmu di zaman revolusi adalah matematis. Dalam penerapannya, metode-
metode yang digunakan beruapa rasionalisasi
Selanjutnya tokoh penemu di bidang sains pada zaman modern, khususnya pada abad
ke-17-18 M, yaitu : Sir Isaac Newton (1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph Black
(1728-1799 M), Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent Lavoiser (1743-1794 M),
dan J.J. Thompson (1897 M). Newton adalah penemu teori gravitasi, perhitungan calculus,
dan optika yang mendasari ilmu alam. Pada masa Newton, ilmu yang berkembang adalah
matematika, fisika, dan astronomi. J.J. Thompson menemukan elektron. Dengan
penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan bahwa atom adalah bahan terkecil dan mulailah
ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika yaitu fisika nuklir.
b. Abad ke-19
Abad ke-19 merupakan abad emas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu
meluas menjadi bidang-bidang penelitian dan sangat berhasil. Perluasan itu meliputi
penggabungan matematika dengan eksperimen fisika, penerapan teori kepada eksperimen
dalam kimia, dan eksperimen yang terkendali dalam biologi. Perkembangan ilmu pada abad
ke-18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara
10
pada abad ke-19 lahirlah pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi, arkeologi,
dan sosiologi. Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan
ilmu zaman kontemporer.
2.1.5. Ilmu pada Zaman Kontemporer
Zaman kontemporer adalah era perkembangan terakhir yang terjadi dari abad 20-an
hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman ini mengalami kemajuan pesat, sehingga
spesialisasi ilmu semakin meningkat. Hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu
sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan politik serta ilmu-ilmu
eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi serta aplikasi-aplikasinya di bidang teknologi
rekayasa genetika, informasi, dan komunikasi. Menurut sejumlah pengamat perkembangan
ilmu pengetahuan bahwa zaman kontemporer identik dengan rekonstruksi, dekonstruksi, dan
inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang. Teknologi merupakan buah dari perkembangan
ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke generasi. Perkembangan IPTEK pada
zaman ini ditandai oleh adanya rentetan temuan-temuan baru seperti temuan tentang listrik
(Michael Faraday), gaya elektromagnetik (James Clerk Maxwell, 1870) dalil temuan Sinar-X
(Henry Bacquerel). Di awal zaman kontemporer ini, ilmu pengetahuan banyak dihasilkan
oleh ilmuan Barat. Hal ini mulai mencuat ketika Barat berhasil menciptakan born atom yang
dianggap merupakan salah satu “produk gemilang” IPTEK, dan menelan korban ratusan ribu
jiwa manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Namun seiring dengan waktu berjalan, peredaran ilmu pengetahuan mulai tidak saja
berkiblat ke Barat saja, tetapi kini ilmu pengetahuan mulai dikembangkan di berbagai
Negara, khususnya Negara-negara Asia, seperti Jepang, Cina, Korea, India, dan Iran. Bahkan,
Jurnal Newscientist memuat hasil penelitian Science-Metrix, sebuah perusahaan di Motreal,
Kanada yang melakukan evaluasi atas perkembangan dan produk ilmu pengetahuan serta
teknologi di berbagai negara. Dalam laporan hasil penelitiannya, Science-Metrix
menyebutkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di negara Iran sebelas kali lebih cepat
dibandingkan negara-negara lainnya di dunia. Perusahaan itu mengamati adanya “pergeseran
geopolitis dalam bidang ilmu pengetahuan dan karya” yang dihasilkan negara-negara di
dunia. Menurut Science-Metrix, banyaknya karya-karya ilmiah yang dimuat di Web of
Science menunjukkan bahwa standar pertumbuhan karya ilmiah di Timur Tengah, khususnya
di Iran dan Turki, nyaris mendekati angka empat kali lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan
di dunia.
11
2.2 Rasionalisme
2.2.1 Rasionalisme menurut tokoh-tokoh filsafat modern
Rasionalisme merupakan aliran falsafah yang berpandangan bahwa dasar dan sumber
pengetahuan, atau secara umum falsafah, adalah akal atau rasio. Adalah akal, yang bisa
dijadikan dasar sekaligus sumber pengetahuan, sehingga berhasil memperoleh pengetahuan
yang tetap dan pasti, serta absolut dan universal.
Sebagai sebuah epistemologi, rasionalisme menggunakan aksioma-aksioma,
pengertian-pengertian atau prinsip-prinsip umum rasional yang bersifat a-priori, sebagai basis
pengetahuan sekaligus sebagai sumber. Apa yang bersesuaian dengan prinsip- prinsip
dimaksud ini, dan segala hal yang dapat dideduksikan dari prinsip-prinsip tersebut, itulah
pengetahuan bagi kalangan rasionalisme. Sesuatu yang tidak dideduksikan dari prinsip-
prinsip a-priori, atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, itu bukanlah pengetahuan,
ia hanyalah sekedar opini. Adapun sebabnya tidak ada metode berfikir yang pasti. Descartes
mengemukakan metode baru yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu terhadap sesuatu,
dalam keragu-raguan itu jelas ia sedang berfikir. Sebab yang sedang berfikir itu tentu ada dan
jelas terang benderang. Cogito Ergo Sum saya berfikir, maka jelaslah bahwa ada.
Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sangat sejati berasal dari rasio,
sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail,
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang
masuk akal. Selain itu tidak ada sumber kebenaran yang hakiki.saja.
Rasionalisme menurut Christian Wollf. membagi lapangan pengetahuan menjadi tiga
bidang yaitu apa yang ia sebut dengan : kosmologi rasional, psikologi rasional, dan
teodiologi rasional.
1. Kosmologi Rasional adalah pengetahuan yang berangkat dari premis, misalnya : Dunia
ini terbatas dalam ruang dan waktu, dan pada hakekatnya terdiri dari kesatuan-kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dari prinsip ini kemudian pengetahuan tentang
dunia dideduksikan.
2. Psikologi rasional adalah pengetahuan yang berhubungan jiwa. Pengetahuan ini
berangkat dari premis bahwa ruh itu adalah subtansi yang tidak terbagi-bagi,
bathiniyah, sederhana dst. Dari premis ini kemudian pengetahuan tentang jiwa di
deduksikan sifatnya, kemampuannya, dan keabadiannya.
12
3. Teologi rasional, dalam pengetahuan ini, Wollf mengemukakan prinsip, bahwa tuhan
adalah realitas yang sesungguhnya, yang paling sempurna. Dari prinsip ini kemudian
dideduksikan ujud-Nya dengan dunia dst.
Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
MenurutDescartes, matematika mungkin melakukan itu lantaran ia mempunyai dua
pengoperasian mental. Di mana dengan dua hal itulah, pengetahuan yang sesungguhnya akan
bisa diraih.
Pertama, intuisi. Intuisi merupakan pemahaman kita atas prinsip bukti diri. Misalnya
persamaan aritmatika bahwa, 2 + 5 = 7. Pembuktian akan kebenaran persamaan ini adalah
menggunakan pemikiran atau akal, dirasiokan. Dalam hal ini, matematika mempunyai
prinsip-prinsip yang kebenarannya telah diakui dalam akal, yang dipahami bahwa itu benar.
Kedua, deduksi. Deduksi yang dimaksud di sini ialah pemikiran atau kesimpulan logis
yang diturunkan dari prinsip bukti diri. Persamaan aritmatika di atas misalnya, dengan
persamaan itu kita bisa mendeduksikan, yakni menurunkan kesimpulan-kesimpulan lain yang
serupa.
Peneguhan kalangan rasionalis bahwa hanya akal yang menjadi basis dan sumber
pengetahuan, bukanlah berarti bahwa kalangan ini menafikan pengalaman secara total
sepenuhnya. Artinya, rasionalisme masih tetap memandang pengalaman sebagai sebuah
kualitas yang bernilai, meskipun kadar nilai itu tentunya tidak setinggi akal atau rasio. Bagi
kalangan rasionalis, pengalaman dapat menjadi pelengkap bagi akal.
2.2.2 Rasionalisme menurut aliran Mu’tazilah ( Rasionalisme Islam )
Rasionalisme adalah sebuah kecenderungan pemikiran yang berorientasi pada upaya
menafsirkan alam dan segala fenomenanya, manusia dan perbuatannya, dengan bertumpu
pada sejumlah teori. Aliran rasionalisme tidak terletak pada pengembalian segala sesuatu
kepada konsep semata, melainkan pada upaya menafsirkan gejala-gejala, baik alam ataupun
13
manusia, sesuai dengan kaidah-kaidah rasional.Karenanya, mungkin saja kecenderungan
rasionalis ada dalam sistem kepercayaan apapun, selama pembuktian teks-teks ke agamaan
dilakukan dengan dalil-dalil rasional.
Mu’tazilah adalah mazhab rasionalisme dalam pemikiran Islam. Alasannya, bukan
karena mereka membuktikan kepercayaan-kepercayaan yang hanya kita terima lewat
perantaraan wahyu dengan argumen-argumen rasional, tapi juga karena mereka mempercayai
akal hingga pada level Ekstrem, seperti jika sebuah teks (nash) agama bertentangan dengan
akal manusia, maka Mu’tazilah akan berpihak kepada akal, dan teks agama itu harus di
tafsirkan. Manusia, menurut Mu’tazilah, jika berakal dan berpikir pasti memiliki pengetahuan
tentang Tuhan, sekalipun wahyu belum di turunkan kepadanya.
Penulis buku al-mawaqif, al-iji, menerangkan sikap rasional Mu’tazilah dalam masalah
perbuatan. Menurutnya, problematika baik (hasan) dan buruk ( qabih ) seperti didiskusikan
dalam pemikiran Mu’tazilah mengandung tiga arti :Pertama hasan adalah sifat sempurna
dan qabih adalah tidak sempurna. Mu’tazilah mengaku bahwa pengetahuan adalah baik dan
tidak mengetahui adalah buruk. Tidak ada perbedaan di antara mereka bahwa akal manusia
dapat mengetahui hal itu secara pasti. Kedua, penentuan baik dan buruk dengan melihat
faktor maslahat dan madhorot dan mafsadat-nya adalah sesuatu yang rasional.
Ketiga, baik adalah obyek pujian dan pahala, dan buruk adalah obyek celaan dan hukuman.
2.2.3 Kritik Terhadap Rasionalisme
Berbagai kritikan yang dilontarkan dari para filosuf terhadap pandangan rasionalisme
yang akhirnya berdampak bertambahnya pandangan baru antara lain :
1. Pengetahuan rasionalisme dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat maupun diraba.
2. Eksistensi ide yang sudah pasti dan bawaan belum dapat dikuatkan oleh kekuatan dan
keyakinan yang sama.
3. Terdapat perbedaan pendapat diantara kaum rasionalisme mengenai kebenaran dasar
yang menjadi landasan dalam menalar. Plato.St.Agustine, dan Descartes
mengembangkan teori rasional secara sendiri dan berbeda.
4. Kaum rasionalisme dianggap akan menemukan masalah yang besar dalam
mengambangkan pandanganya dalam kehidupan yang praktis. Kecenderungan terhadap
abraksi dan kecenderungan dalam meragukan serta menyangkal sahnya pengalaman
keindraan telah dikritik orang habis-habisan
5. Kaum rasional memperlakukan ide atau konsep seakan-akan mereka adalah benda yang
objektif. Rasionalisme sebagai suatu metode yang sangat meragukan dalam memperoleh
14
pengetahuan yang dapat diandalkan.Teori rasional gagal menjalaskan perubahan dan
pertambahan pengetahuan manusia selama ini.
6. Banyak ide yang sudah pasti tapi suatu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain.
Jujun S.Suriasumantri (2012 : 134-135).
Namun demikian, problem dan kritik atas rasionalisme tersebut, tentunya bukan
berarti bahwa rasionalisme tidak mempunyai arti atau manfaat sama sekali. Sebaliknya,
sebagai sebuah aliran falsafah sekaligus sebuah epistemologi, kiranya rasionalisme telah
berjasa banyak bagi sejarah falsafah.Melalui bapak kontinentalnya, rasionalisme telah
menjadi pintu utama bagi kelahiran falsafah babak modern, yang pada gilirannya telah
berhasil melahirkan berbagai aliran-aliran falsafah lainnya, termasuk aliran yang
menentangnya.
2.3 Empirisme
Dalam kehidupan, manusia dari waktu ke waktu sejak zaman dulu sampai sekarang
akan selalu mencari pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti. Namun sejak zaman
Aristoteles dalam mencari pengetahuan mulai didasarkan kepada pengalaman manusia. Kata
empirisme berasal dari bahasa Yunani emperia yang berarti pengalaman. Jadi empirisme
merupakan sebuah paham yang menganggap bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan.
Empirisme juga berarti sebuah paham yang menganggap bahwa pengalaman manusia didapat
dari pengalaman-pengalaman yang nyata dan faktual. Pengalaman yang nyata tersebut
didapatkan dari tangkapan pancaindra manusia. Sehingga pengetahuan yang didapat melalui
pengalaman merupakan sebuah kumpulan fakta-fakta.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh
lewat pengalaman. Terdapat beberapa aspek dalam teori empiris menurut Jujun S.
Suriasumantri (2012:136-137). Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui dan yang
diketahui. Yang mengetahui adalah subyek sedang benda yang diketahui adalah obyek.
Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada
pengalaman manusia. Menurut kaum empiris bahwa pernyataan ada atau tidak adanya
sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik. Aspek yang ketiga adalah prinsip
keteraturan yaitu pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang
teratur tentang tingkah laku sesuatu. Pada dasarnya alam adalah teratur. Aspek keempat yaitu
prinsip keserupaan. Artinya bila terdapat gejala-gejala yang didasarkan pengalaman adalah
identik atau sama.
15
John Locke sebagai tokoh kaum empiris, dalam teorinya yang terkenal yaitu tabularasa,
berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai selembar kertas lilin
yang licin di mana data yang ditangkap pancaindera lalu tergambar disitu, makin lama makin
banyak kesan pancaindera yang tergambar. John Locke menganggap bahwa pikiran sebagai
alat yang menerima dan menyimpan sensasi pengalaman.
Ajaran-ajaran pokok dari empirisme, yaitu:
1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau
rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari
data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan
pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas
untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan.
2.4 Kritik terhadap empirisme
Adapun kritikan terhadap aliran empirisme dalam buku Jujun S. Suria Sumantri
(2012:138) sebagai berikut :
1. Empirisme didasarkan pada pengalaman. Tetapi apakah pengalaman itu? Sekali waktu
dia hanya rangsangan pancaindera lain waktu muncul sebagai sebuah sensasi ditambah
dengan penilaian. Kritikus kaum empiris menunukkan bahwa fakta tak mempunyai
apapun yang bersifat pasti. Pengalaman merupakan pengertian yang terlalu samar untuk
dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis.
2. Sebuah teori yang menitikberatkan pada persepsi pancaindera kiranya melupakan
kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera
kita sering menyesatkan dimana hal ini disadari sendiri oleh kaum empiris.
3. Empirisme tidak memberikan kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin
sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan
16
2.5 Penerapan Empirisme Dalam Pendidikan IPS
Pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam pembangunan
manusia sudah tampak sejak awal abad IV SM. Gagasan pendidikan berbasis pengalaman
(experiential education) atau yang disebut “learning by doing” memiliki sejarah panjang.
Awalnya, para guru outdoor menyebut experiential education sebagai gaya belajar di luar
ruangan. Senada dengan itu, program pendidikan petualangan, yang berlangsung di luar
ruangan (outdoor), memanfaatkan pengalaman di dunia nyata untuk mencapai tujuan
belajarnya. Pemikiran mengenai pendidikan berbasis pengalaman semakin berkembang
dengan munculnya karya John Dewey (1938) yang mengungkapkan pentingnya pembelajaran
melalui pengalaman sebagai landasan dalam menetapkan pendidikan formal. Model
pendidikan ini terus berkembang, hingga pada tahun 1977 berdiri Association for
Experiential Education (AEE) (Hammerman, 2001).
Experiential learning merupakan falsafah dan metodologi dimana pendidik terlibat
langsung dalam memotivasi peserta didik dan refleksi difokuskan untuk meningkatkan
pengetahuan, mengembangkan keterampilan.Experiential learning mendorong siswa dalam
aktivitasnya untuk berpikir lebih banyak, mengeksplor, bertanya, membuat keputusan, dan
menerapkan apa yang telah mereka pelajari.
Experiential learning adalah suatu pendekatan yang dipusatkan pada siswa yang
dimulai dengan landasan pemikiran bahwa orang-orang belajar terbaik itu dari pengalaman,
dan untuk pengalaman belajar yang akan benar-benar efektif, harus menggunakan seluruh
roda belajar, dari pengaturan tujuan, melakukan observasi dan eksperimen, memeriksa ulang,
dan perencanaan tindakan. Apabila proses ini telah dilalui memungkinkan siswa untuk belajar
keterampilan baru, sikap baru atau bahkan cara berpikir baru.
Dalam merancang pelatihan experiental learning, ada 4 tahapan yang harus dilalui
yaitu: 1 Experiencing, tantangan pribadi atau kelompok, 2. Reviewing: menggali individu
untuk mengkomunikasikan pembelajaran dari pengalaman yang didapat, 3. Concluding
menggambarkan kesimpulan dan kaitan antara masa lalu dan sekarang, serta 4. Planning:
menerapkan hasil pembelajaran yang dialaminya.
Menurut Mardana (2005) belajar dari pengalaman mencakup keterkaitan antara berbuat
dan berpikir. Jika seseorang terlibat aktif dalam proses belajar maka orang itu akan belajar
jauh lebih baik. Hal ini dikarenakan dalam proses belajar tersebut pembelajar secara aktif
berpikir tentang apa yang dipelajari dan kemudian bagaimana menerapkan apa yang telah
dipelajari dalam situasi nyata.
17
Sedangkan Atherton (2002) mengemukakan bahwa dalam konteks belajar,
pembelajaran berbasis pengalaman dapat dideskripsikan sebagai proses dimana pengalaman
belajar direfleksikan secara mendalam dan dari sini muncul pemahaman baru atau proses
belajar.
Model pembelajaran semacam ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif. Lebih lanjut, Hamalik menyatakan bahwa
pembelajaran berdasarkan pengalaman memberi seperangkat atau serangkaian situasi belajar
dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru
(Hamalik,2001) Cara ini mengarahkan para siswa untuk mendapatkan pengalaman lebih
banyak melalui keterlibatan secara aktif dan personal, dibandingan bila mereka hanya
membaca suatu materi atau konsep. Dengan demikian, belajar berdasarkan pengalaman lebih
terpusat pada pengalaman belajar siswa yang bersifat terbuka dan siswa mampu membimbing
dirinya sendiri.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa penerapan model experiential
learning dapat membantu siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri (Depdiknas,
2002). Seperti halnya model pembelajaran lainnya, dalam menerapkan model experiental
learning guru harus memperbaiki prosedur agar pembelajarannya berjalan dengan baik.
Hamalik (2001), mengungkapkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model
pembelajaran experiental learning adalah sebagai berikut :
1. Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat
terbuka (open minded) yang memiliki hasil-hasil tertentu.
2. Guru harus bisa memberikan rangsangan dan motivasi.
3. Siswa dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil/keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman.
4. Para siswa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya siswa mampu
memecahkan masalah dan bukan dalam situsi pengganti. Contohnya : Di dalam
kelompok kecil, siswa membuat mobil-mobilan dengan menggunakan potongan-
potongan kayu, bukan menceritakan cara membuat mobil-mobilan.
5. Siswa aktif berpartisipasi di dalam pengalaman yang tersedia, membua keputusan
sendiri, menerima kosekuensi berdasarkan keputusan tersebut.
6. Keseluruhan kelas menceritakan kembali tentang apa yang dialam sehubungan dengan
mata pelajaran tersebut untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman siswa
dalam melaksanakan pertemuan yang nantinya akan membahas bermacam-macam
pengalaman tersebut.
18
Selain beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model pembelajaran experiental
learning, guru juga harus memperhatikan metode belajar melalui pengalaman ini, yaitu
meliputi tiga hal di bawah ini.
1. Strategi belajar melalui pengalaman berpusat pada siswa dan berorientasi pada aktivitas.
Penekanan dalam strategi belajar melalui pengalaman adalah proses belajar, dan bukan
hasil belajar.
2. Guru dapat menggunakan strategi ini dengan baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Oleh karena itu, model pembelajaran experiental learning disusun dan dilaksanakan
dari hal-hal yang dimiliki oleh peserta didik. Prinsip inipun berkaitan dengan pengalaman di
dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta dalam cara-cara belajar yang biasa dilakukan
oleh peserta didik (Sudjana, 2005).
Metode ini akan bermakna tatkala pembelajar berperan serta dalam melakukan
kegiatan, kemudian mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk
lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Langkah menantang bagi guru dalam experiential learning adalah memikirkan atau
merancang aktifitas pengalaman belajar seperti apa yang harus terjadi pada diri siswa baik
individu maupun kelompok. Aktifitas pembelajaran harus berfokus pada peserta belajar
(student-centered learning). Dengan demikian, apa yang harus kita lakukan, apa yang harus
mereka lakukan, apa yang harus kita sampaikan harus secara detail kita rancang dengan baik.
Begitu pula dengan media dan alat bantu pembelajaran lain yang yang dibutuhkan juga
harus benar-benar telah tersedia dan siap untuk digunakan (Roem ,1986).
Metode Experiential learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan konsep-konsep
saja. Namun, juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan
melalui penugasan nyata. Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasi dan memberikan
proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya
dilakukan.
Dengan demikian, dari pernyataan-pernyataan di atas dapat diambil sebuah pengertian
bahwa experiential learning adalah suatu metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan
pembelajar untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara
langsung. Dalam hal ini, Experiential learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator
untuk membantu pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses
pembelajaran sehingga pembelajar terbiasa berpikir kreatif. Peran guru dalam pembelajaran
ini adalah sebagai fasilitator.
19
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Pengertian ilmu menurut menurut Mohammad Hatta: ilmu adalah pengetahuan yang
teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya,
maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
Amsal T. Bakhtiar membagi periodisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan
menjadi empat periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans
dan modern, dan pada zaman kontemporer.George J. Mouly, dia membagi perkembangan
ilmu pada tahap animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. Awal dan akar kebangkitan
filsafat dan sains Barat seperti sekarang ini adalah warisan intelektual Yunani. Bangsa
Romawi merupakan bangsa yang pertama kali mengaplikasikan teori-teori yang pernah
dirumuskan oleh bangsa Yunani. Pada abad pertengahan dominasi para teolog pada masa ini
mewarnai aktivitas ilmiah pergerakan ilmu pengetahuan.Namun di Timur terutama di wiayah
kekuasaan Islam justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Renaisans
merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti
bagi perkembangan ilmu.Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sudah
dirintis pada masa Ranaissance, yaitu pada abad XIV, dan dimatangkan oleh ‘gerakan’
Aufklaerung di abad ke-18. Di dalamnya ada dua indikasi yaitu, pertama, semakin
berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.
Rasionalisme merupakan aliran falsafah yang berpandangan bahwa dasar dan sumber
pengetahuan, atau secara umum falsafah, adalah akal atau rasio. Adalah akal, yang bisa
dijadikan dasar sekaligus sumber pengetahuan, sehingga berhasil memperoleh pengetahuan
yang tetap dan pasti, serta absolut dan universal. empirisme merupakan sebuah paham yang
menganggap bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan. Empirisme juga berarti sebuah
paham yang menganggap bahwa pengalaman manusia didapat dari pengalaman-pengalaman
yang nyata dan faktual. Pengalaman yang nyata tersebut didapatkan dari tangkapan
pancaindra manusia.
Pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam pembangunan
20
manusia sudah tampak sejak awal abad IV SM. Experiential learning merupakan falsafah dan
metodologi dimana pendidik terlibat langsung dalam memotivasi peserta didik dan refleksi
difokuskan untuk meningkatkan pengetahuan, mengembangkan keterampilan.
3.2 Saran
Empirisme dalam dunia pendidikan dianggap sebagai filsafat pendidikan yang bersifat
positif. Dimana filsafat ini menyatakan bahwa peserta didik adalah seperti kertas putih yang
dapat diisi oleh apa saja. Kaitannya dengan proses pendidikan, maka filsafat empirisme
menekankan adanya pengalaman belajar yang bermakna demi tercapainya tujuan pendidikan
(dalam hal ini tujuan pembelajaran IPS).
Didalam filsafat empirisme, pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi
manusia. Demikian pula dengan pendidikan. Proses pembelajaran harus memberikan
pengalaman yang baik bagi peserta didik. Experiential learning adalah suatu metode proses
belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan
keterampilan melalui pengalamannya secara langsung.
Maka kami menyarankan kepada rekan-rekan guru:
4. Memahami dan menggunakan filsafat sebagai landasan setiap kegiatan pendidikan yang
akan dilaksanakan.
5. Menggunakan metode pembelajaran experiental learning, dalam proses pembelajaran di
kelas, untuk memberikan pengalaman belajar yang baru dan lebih bernilai kepada peserta
didik.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakhtiar, Amsal T., Prof.Dr., M.A. 2012. Filsafat Ilmu.Jakarta: RajaGrafindo Persada.
2. Endaswara, Suwardi, 2012. Filsafat Ilmu : Konsep, Sejarah, dan Pengembangan Metode
Ilmiah. Yogyakarta : C A P S.
3. Sanjaya, Wina, 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta : KENCANA
4. Suriasumantri, Yuyun S. 2012. Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan
Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
5. W. Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar : Dasar-dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis,
Analitis, Dialektis.Bandung : CV PUSTAKA GRAVIKA
6. http://www.sekolahdasar.net/2011/03/teori-belajar-behavioristik-kognitif.html#
ixzz27RyjmZxi[27 September 2012]
7. http://www.google.co.id/makalah+tentang+aliran+rasionalisme [27 September 2012]
8. https://docs.google.com/Rasionalisme/d/[27 September 2012]
22