makalah dwi selfianingsih 1508100046
TRANSCRIPT
MAKALAH ALGOLOGI
“Eucheuma cottonii sebagai Bahan Bakar Pengganti Bahan Bakar Konvensional ”
Dwi Selfianingsih
NRP. 1508 100 046
DOSEN PENGAMPU
Kristanti Indah
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2012
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Eucheuma
cottonii sebagai Bahan Bakar Pengganti Bahan Bakar Konvensional”. Penulis menyadari
bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang
bersifat membangun sangatlah diharapkan. Akhirnya penulis berharap
semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Surabaya, 02 Juni 2012
Dwi
Selfianingsih
Pendahuluan
Dua pertiga luas wilayah Indonesia adalah lautan yang mempunyai potensi
sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan bangsa. Potensi tersebut perlu dikelola
secara tepat agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari bagi kesejahteraan rakyat.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang mulai dari 6oLU sampai 10oLS
dan dari 95oBT sampai 142oBT, mempunyai 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan garis
pantai sepanjang 80.791 km. Indonesia merupakan salah satu anggota Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai keanekaragaman hayati dan salah satu dari tujuh negara yang
mempunyai ”Mega Biodiversitas” yang dikenal sebagai puisat konsentrasi keanekaragaman
hayati dunia. Walaupun kepulauan Indonesia hanya mewakili 1,3 % dari luas daratan dunia,
tetapi memiliki 25 % jenis ikan dunia, 17 % jenis burung, 16 % reptil dan
amphibi, 12 % mamalia, 10 % tumbuhan dan sejumlah inverterbrata, fungia dan
mikroorganisme (Gautam et al., 2000)
Keragaman sumberdaya hayati laut sering kali dijadikan argumen untuk
menggambarkan betapa besarnya kekayaan laut Indonesia. Kekayaan keragaman hayati laut
ingin segera dimanfaatkan, sesuai peran laut sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat,
bukan lagi tergantung pada daratan, dapat segera terwujud. Oleh karena itu dalam menyikapi
hal ini perlu landasan pemahaman yang lebih jelas dimana letak keungulan keragaman hayati
tersebut. Keragaman yang tinggi dari suatu sumberdaya tidak akan selamanya terkait dengan
keunggulan baik kuantitatif maupun kualitatif. Di laut tropika pada umumnya dicirikan dengan
keragaman yang tinggi dari segi jumlah jenis, namun masing-masing kelimpahannya kecil.
Sebaliknya di negara beriklim sub tropis jumlah jenis relative sedikit, namun masing-masing
kelimpahannya besar. Lingkungan laut Indonesia dengan berbagai macam habitat yang ada di
dalamnya tersebar luas di antara dua wilayah laut, wilayah paparan dan wilayah laut dalam.
Terdapatnya dua paparan luas di bagian barat dan bagian timur Indonesia yang dipisahkan
oleh laut yang dalam memberikan gambaran akan terdapatnya berbagai ragam jenis biota dan
habitat (Tabel I).
Pengelolaan sumberdaya hayati laut telah didefinisikan sebagai penerapan IPTEK
kelautan terhadap permasalahan pemanfatan sumberdaya untuk memperoleh hasil optimum
dalam kegiatan perikanan komersial. Untuk itu pengelolaan suatu sumberdaya hayati laut
memerlukan pengetahuan yang mendasari prinsip-prinsip biologi, ekologi dari sumberdaya
tersebut. Selama ini pengelolaan sumberdaya hayati laut pada umumnya hanya ditekankan
pada pengertian yang sempit yaitu berapa kelimpahan dan ukuran biota yang akan dipanen.
Akibat sempitnya pemahaman ini, mungkin dalam jangka pendek belum dapat dilihat
dampaknya, namun dalam waktu jangka panjang akan menghadapi permasalahan yang sangat
serius.
Alga
Didalam lautan terdapat bermacam-macam mahluk hidup baik berupa tumbuhan air
maupun hewan air. Salah satu mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang di laut adalah alga.
Ada tiga divisi alga laut yaitu Cholorophyta (900 spesies), Phaeophyta (1000 spesies), dan
Rhodophyta (2500 spesies). Istilah alga pertama kali diperkenalkan oleh Linnaeus pada tahun
1754. pada mulanya penjelasan dijalankan berdasarkan warna. Penjelasan alga berdasarkan
kepada ciri-ciri berikut :
1. Pigmen fotosintesis seperti klorofil dan karotenoid.
2. Komponen dinding sel
Bahan dinding sel terdiri dri polisakarida, lipid dan bahan protein. Komponen khusus yang
mencirikan dinding sel termasuk asam poliuronat, asam alginat (Phaeophyta), asam fusinat
(banyak terdapat pada Phaeophyta) dan komponen mukopeptida (Cynophyta). Ciri khas yang
terdapat pada Chrysophyta ialah mempunyai dinding sel yang bersilika.
3. Aspek struktur sel
- Ketiadaan membran yang memisahkan nukleus
- Pembagian nukleus tidak berlaku secara mitosis seperti yang berlaku pada eukariot.
- Adanya dinding sel yang melindungi mukopeptida tertentu sebagai komponen yang
menguatkannya.
Kegunaan alga
Ditinjau secara biologi, alga merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang
terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Didalam alga terkandung bahan-bahan
organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini,
pemanfaatan alga sebagai komoditi perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil
jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis alga yang ada di Indonesia. Padahal
komponen kimiawi yang terdapat dalam alga sangat bermanfaat bagi bahan baku industry
makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain.
Berbagai jenis alga seperti Griffithsia, Ulva, Enteromorpna, Gracilaria, Euchema, dan
Kappaphycus telah dikenal luas sebagai sumber makanan seperti salad rumput laut atau
sumber potensial karagenan yang dibutuhkan oleh industry gel. Begitupun dengan Sargassum,
Chlorela/Nannochloropsis yang telah dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat,
Osmundaria, Hypnea, dan Gelidium sebagai sumber senyawa bioaktif, Laminariales atau Kelp
dan Sargassum Muticum yang mengandung senyawa alginat yang berguna dalam industry
farmasi. Pemanfaatan berbagai jenis alga yang lain adalah sebagai penghasil bioetanol dan
biodiesel ataupun sebagai pupuk organik.
Alga Laut Sebagai Penghasil Bioetanol dan Biodesel
Meskipun masih dalam tahap riset yang mendalam, potensi alga laut sebagai penghasil
bioetanol dan biodiesel sangat menjanjikan dimasa mendatang. Negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Jepang dan Kanada mentargetkan mulai tahun 2025 bahan bakar hayati
(biofuel) bisa diproduksi dari budidaya cepat alga mikro yang tumbuh diperairan tawar/asin.
Keuntungan lebih yang dapat diperoleh adalah tak butuh traktor seperti didarat, tanpa
penyemaian benih, gas CO2 yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan
panen yang terus-terusan (continuous) yang dikarenakan waktu tanam alga hanya 1 minggu.
Berikut adalah gambar skenario mekanisme pembuatan bioetanol dan biodiesel dari alga laut.
Krisis energi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia saat ini sudah memasuki
tahapan yang sangat serius dan memprihatinkan sehingga harus segera dicari metode
pemecahan masalahnya, termasuk Indonesia. Menurut data PDSI (2008), saat ini sumber
energi dunia masih didominasi oleh sumber daya alam yang tidak terbarukan antara lain
minyak bumi, batubara dan gas alam, yakni sekitar 80,1%, dimana masing - masing
penggunaanya adalah olahan minyak bumi sebesar 35,03%, batubara sebanyak 24,59% dan
gas alam sekitar 20,44%. Sumber energi terbarukan lainnya, tetapi mengandung resiko yang
cukup tinggi adalah energi nuklir yaitu sekitar 6,3%. Sementara itu sumber energi terbarukan
lainnya yang baru dikembangkan sekitar 13,6%, terutama biomassa tradisional, yaitu hanya
sekitar 8,5% saja. Kelangkaan yang disertai tingginya harga bahan bakar minyak secara global
beberapa tahun terakhir membuat banyak negara di dunia meningkatkan upayanya untuk
menggunakan biofuel sebagai bahan bakar alternatif. Salah satu biofuel yang paling banyak
digunakan adalah etanol, zat ini diekstrak dari tanaman pangan seperti tebu dan singkong
(Prihandana dkk, 2007). Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan dua kebijakan penting
tentang energi alternative ini. Kebijakan itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5
Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1
Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau biofuel.
Kebijakan tersebut adalah instruksi untuk mengambil langkah-langkah untuk
melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels) sebagai
bahan bakar pengganti bahan bakar konvensional yang digunakan saat ini.
Pemakaian biogasoline (campuran bensin dan etanol) pada mesin kendaraan berbahan bakar
bensin ternyata mempunyai efek positif terhadap lingkungan, karena dapat menekan emisi
CO2, CO, hidrokarbon dan SOX. Meningkatnya penggunaan etanol sebagai salah satu sumber
energy alternatif akan meningkatkan permintaan bahan baku. Mengingat hingga saat ini
teknologi generasi pertama pembuatan etanol yang telah mantap dikembangkan adalah
teknologi starch - based (Sun and Cheng, 2002), maka dikhawatirkan akan terjadi kompetisi
antara ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan sumber energi. Selain itu, untuk
menggantikan semua kebutuhan bahan bakar minyak dunia saat ini dengan etanol maka
diperlukan luas tanah, lahan pertanian, hutan, dan lain-lain yang tidak terbatas. Apalagi jika
melihat bahwa saat ini di berbagai negara, khususnya negara berkembang sudah menunjukkan
indikasi adanya krisis pangan dan energi sehingga sangatlah perlu untuk segera dicari sumber
bahan baku pembuatan etanol yang lain. Sumber bahan baku potensial yang ketersediaannya
melimpah, berharga murah, belum banyak dimanfaatkan orang dan mengandung struktur gula
sederhana yang dapat diubah menjadi etanol adalah bahan-bahan berlignosellulosa (Ho dkk,
1998), yang dalam beberapa dekade terakhir, menjadi salah satu obyek penelitian yang
menarik untuk mengetahui potensi dari bahan – bahan lignoselulosa dalam usaha
memproduksi etanol generasi kedua (Curreli dkk, 1997; Gaspar dkk, 2005).
Proses pembuatan etanol dari bahan berselulosa memerlukan beberapa tahapan
sebelum menghasilkan etanol, salah satunya adalah tahapan fermentasi. Hal ini disebabkan
karena struktur selulosa yang lebih kompleks sehingga harus dirombak agar proses fermentasi
sebagai tahapan awal pembuatan etanol dapat berlangsung dengan optimal. Menurut
Shofiyanto (2008), bahan selulosa pada limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon
untuk produksi etanol dengan melakukan proses hidrolisis terlebih dahulu. Proses hidrolisis
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gula sederhana dan mempermudah kerja yeast
dalam proses fermentasi. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai
sekitar 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya
hayati yang sangat besar dan beragam. Berbagai sumberdaya hayati tersebut merupakan
potensi pembangunan yang sangat penting sebagai sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
baru. Salah satu komoditi perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan
adalah rumput laut. Hal ini dikarenakan jumlah permintaan rumput laut di pasar lokal dan
ekspor masih lebih besar dari pada penawarannya. Oleh karena itu pemerintah saat ini tengah
menggalakkan peningkatan produksi komoditi rumput laut, sehingga untuk kedepannya
produksi rumput laut di Indonesia akan terus mengalami peningkatan yang signifikan.
Perkembangan penelitian pendayagunaan rumput laut di Indonesia telah dimulai sejak
Ekspedisi Siboga yang dilakukan antara tahun 1899 - 1900. Penelitian selanjutnya dilakukan
Van Bosse pada tahun 1913 - 1928 telah berhasil mengoleksi jenis rumput laut yang tumbuh di
perairan Indonesia sebanyak 555 jenis. Pada penelitian Van Bosse tahun 1914 - 1916 di
Kepulauan Kai pada Ekspedisi Danish menemukan sebanyak 25 jenis alga merah, 28 jenis
alga hijau dan 11 jenis alga coklat. Tidak semua hasil panen Eucheuma cottonii dapat diekspor
sebagai bahan baku kosmetik dan bahan makanan, karena ada saja bagian – bagian yang tidak
masuk kedalam kriteria kelayakan sebagai bahan baku untuk diekspor. Sisa hasil panen ini ada
yang terserang penyakit, pertumbuhannya terhambat karena kurangnya nutrisi yang sangat
dibutuhkan dalam masa pertumbuhan, serangan gulma, serta adanya serangan predator luar
seperti ikan yang merusak pertumbuhan Eucheuma cottonii. Sehingga Eucheuma cottonii yang
tidak masuk kriteria ekspor tersebut, menjadi kurang termanfaatkan dan cenderung dibiarkan
begitu saja sehingga teronggok membusuk dan pada akhirnya menjadi sampah pantai yang
mengganggu kesehatan, terutama bagi para wisatawan. Alangkah baiknya apabila sisa hasil
panen Eucheuma cottonii yang tidak termanfaatkan tersebut dapat dimanfaatkan kembali
menjadi salah satu bahan baku pembuatan etanol pengganti bahan baku yang selama ini
digunakan seperti jarak, singkong dan tebu. Peluang pemanfaatan limbah Eucheuma cottonii
ini mempunyai prospek yang sangat bagus sebagai salah satu sumber energi alternatif nabati di
masa depan khususnya sebagai bahan baku pembuatan etanol, melihat kondisi Indonesia
sebagai negara maritim dimana dua per tiga luas wilayahnya merupakan lautan, dan rumput
laut sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat disepanjang pesisir pantai – pantai di
Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Bali pada khususnya.
Beberapa penelitian sebelumnya telah membahas tentang pemanfaatan alga sebagai
bahan bakar alternatif, salah satunya adalah penelitian dari Jorge Alberto Vieira Costa dan
Michele Greque de Morais dari Laboratory of Biochemical Engineering, College of Chemistry
and Food Engineering, Federal University of Rio Grande, Brazil (2010) yang melaporkan
bahwa mikroalga ternyata dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku utama dalam
pembuatan biofuel pengganti energi fosil karena ramah lingkungan, dan mampu mengurangi
emisi gas karbondioksida yang berdampak pada efek rumah kaca dan pemanasan global.
Selanjutnya ada pula hasil penelitian sebelumnya tentang rumput laut dari jenis Eucheuma
cottonii yaitu dari hasil penelitian Luthfy (1988) yang melaporkan bahwa rumput laut jenis
Eucheuma cottonii ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80 %, lemak 1,78 %,
serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %. Dari
paparan hasil penelitian sebelumnya diatas, dapat dilihat bahwa limbah Eucheuma cottonii
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan etanol dengan tahapan awal proses
fermentasi, melihat kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi, yaitu sekitar 68,48%. Salah
satu hal yang belum menarik banyak orang dalam bidang penelitian tentang pengolahan
Eucheuma cottonii menjadi etanol adalah adanya senyawa lignin yang membungkus selulosa
didalam matriks Eucheuma cottonii. Adanya lignin dalam bahan berselulosa ini akan
menghambat aktifitas enzim yang terdapat didalam ragi dalam proses pengkonversian gula
sederhana menjadi etanol. Sehingga untuk meningkatkan proses hidrolisis, maka perlu
dilakukan proses delignifikasi untuk mendegradasi lignin dari struktur selulosa dengan
menggunakan bantuan senyawa katalis, salah satu caranya adalah dengan menggunakan
katalis kimia berupa senyawa NaOH. Dari hasil penelitian Samsul Rizal (2005), penambahan
konsentrasi katalis NaOH hingga 8% ternyata mampu meningkatkan kandungan selulosa
dalam produksi pulp dari jerami, sehingga diperoleh hasil produksi optimum selulosa sekitar
91,4 % dengan sisa lignin dalam pulp yang hanya mencapai sekitar 1,2 % saja.
Eucheuma cottonii
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu rumput laut dari jenis alga
merah (Rhodophyta). Rumput laut jenis ini memiliki thallus yang licin dan silindris, berwarna
hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat
berupa cakram (Atmadja dkk,1996). Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma alvarezii
Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-
abu atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu
proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas
pencahayaan (Aslan, 1998). Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana
sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak
bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama
keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat
perekat berupa cakram. Cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang
rimbun dengan mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja dkk, 1996). Umumnya
Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya
adalah daerah yang memperoleh aliran air laut. Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya
rumput laut Eucheuma cottonii yaitu perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang
yang besar, kedalaman perairan 7,65 - 9,72 m, salinitas 33-35 ppt, suhu air laut 28-30 oC,
kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 22-48 cm/detik (Wenno, 2009).
Langkah-langkah pemanfaatan Eucheuma cottonii sebagai bahan biofuel
Adapun langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebanyak 90 kg limbah rumput laut jenis Eucheuma cottonii ditaruh pada baskom
besar, lalu dicuci dan dibilas dengan air bersih untuk memisahkan butiran pengotor dan pasir.
2. Setelah itu limbah Eucheuma cottonii memasuki tahapan proses penghilangan garam
yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan garam yang ada di dalam limbah Eucheuma
cottonii agar nantinya tidak menghambat/ mengganggu kerja yeast dalam proses fermentasi.
Proses penghilangan kandungan garam dalam limbah Eucheuma cottonii ini dilakukan dengan
menggunakan senyawa kapur (CaCO3) yang dicampur dengan air dimana dalam penelitian ini
penulis menggunakan perbandingan 1 kg CaCO3 dilarutkan dalam 100 liter air. Selanjutnya
limbah Eucheuma cottonii dimasukkan dan direndam selama 24 jam. Adapun persamaan
reaksi secara teoritis yang terjadi dalam proses penghilangan garam adalah sebagai berikut :
2 NaCl + CaCO3 Na2CO3 + CaCl2
3. Selanjutnya dilakukan pretreatment berupa proses delignifikasi. Proses delignifikasi
disini merupakan proses degradasi lignin yang membungkus selulosa didalam matriks limbah
Eucheuma cottonii, dimana keberadaan lignin ini akan menghambat aktifitas dari
Saccharomyces cerevisiae yang terdapat dalam ragi dalam tahapan proses fermentasi. Adapun
proses delignifikasi ini menggunakan proses delignifikasi secara kimia yaitu dengan
menggunakan senyawa NaOH sebagai katalis dalam proses delignifikasi dengan variasi
sebagai berikut:
a. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 10 % selama 1 jam.
b. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 15% selama 1 jam.
c. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 20 % selama 1 jam.
4. Selanjutnya untuk setiap variasi pretreatment delignifikasi pada langkah nomor 3
diberikan treatment yang bertujuan untuk menghidrolisis selulosa menjadi gula sederhana.
Kelima variasi campuran ragi dan limbah Eucheuma cottonii pada setiap pembagian
treatment tersebut dimasukkan kedalam toples kaca agar tidak terjadi kontaminasi dengan
udara luar dan ditutup dengan rapat, sehingga tercipta kondisi anaerob sehingga
Saccharomyces cerevisiae dapat bekerja dengan baik dalam proses fermentasi.Proses
fermentasi ini dilakukan dengan menggunakan media topless kaca untuk menjaga kondisi
anaerob (tanpa udara) dengan pH awal 6, didalam ruang tertutup dalam suhu kamar (27-
30°C). Tahapan proses fermentasi ini berlangsung selama 9 hari dimana pencatatan data
dilakukan setiap 3 hari sekali untuk mengukur volume produk fermentasi dan kadar alkohol
yang dihasilkan.
5. Selanjutnya dilakukan proses pengukuran kadar alkohol dengan menggunkan alat
ukur vinometer, yang penggunaannya dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) Masukkan produk fermentasi kedalam vinometer hingga penuh, diamkan beberapa saat
sehingga berada dalam keadaan steady, kemudian vinometer yang sudah terisi penuh dengan
produk fermentasi tersebut dibalik, sehingga akan terjadi proses penurunan cairan, tunggu
sesaat hingga penurunan cairan berhenti dan dari angka yang tertera pada skala vinometer
dapatlah ditentukan berapa kadar alkohol dari produk fermentasi tersebut, dalam satuan persen
volume (% abv).
7. Selanjutnya adalah menghitung laju fermentasi dalam satuan (kg/hari) dari setiap
rentang waktu fermentasi dari setiap variasi delignifikasi, variasi perlakuan fisika dan biologi
dan variasi perbandingan konsentrasi limbah Eucheuma cottonii dengan ragi (yeast).
Penutup
Indonesia adalah negara yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu ±
80.791,42 Km. Disepanjang garis pantai, tumbuh dan berkembang berbagai jenis alga laut
yang berpotensi sebagai biotarget industri. Berbagai riset mutlak dilakukan untuk pemanfaatan
secara optimal kekayaan hayati ini secara berkelanjutan. Riset-riset kimiawan terutama
dituntut untuk mencari bahan baku industri, senyawa bioaktif, pengembangan produk-produk
turunan berbasis alga, dan mempelajari misteri dan keunikan-keunikan alga dalam
hubungannya sebagai bagian dari ekosistem. Salah satu pemanfaatan alga laut yaitu sebagai
bahan bakar sebagai pengganti bahan bakar konvensional.
Daftar Pustaka
Ciferri, O. 1983. Spirulina, The Edible Microorganism. Microbiological Reviews. 47 (4) :
551-578.
Fogg, W.D. Stewart., P. Fay, and E. Wolsky. 1973. The Blue Green Alga. Academic Press.
London. 499 pp.
Gautam, M,. et al. 2000. Indonesia The Chalenges of World Bank Involvement in Forest.
Evaluation Country Case Study Series. The World Bank. Washington, D.C. 64 pp.
Harris dan Ramelow. 1990. Binding of Metal Ions by Particulate Quadricauda. Environ. Sci.
627-652
Moosa, M.K. 1999. Sumberdaya laut nusantara, keanekaragaman hayati laut dan
pelestariannya. Lokakarya Keanekaragaman Hayati Laut. Pemanfaatan secara lestari
dilandasi penelitian dan penyelamatan. Widya Graha LIPI, Jakarta 23 Pebruari 1999,
24 hal.
Putra, Sinly Evan. 2006. Tinjauan Kinetika dan Termodinamika Proses Adsorpsi Ion Logam
Pb, Cd, dan Cu oleh Biomassa Alga Nannochloropsis sp. Yang DiImmobilisasi
Polietilamina-Glutaraldehid. Laporan Penelitian. Universitas Lampung. Bandar
Lampung
Santilan. 1982. Mass Production of Spirulina. Experienties. 38:40-43.
Setiawan, Andi. 2004. Potensi Pemanfaatan Alga Laut Sebagai Penunjang Perkembangan
Sektor Industri. Makalah Ilmiah Ketua Jurusan Kimia. Universitas Lampung. Bandar
Lampung