makalah dwi selfianingsih 1508100046

21
MAKALAH ALGOLOGI Eucheuma cottonii sebagai Bahan Bakar Pengganti Bahan Bakar Konvensional ” Dwi Selfianingsih NRP. 1508 100 046 DOSEN PENGAMPU Kristanti Indah

Upload: dhiphi

Post on 30-Jul-2015

103 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

MAKALAH ALGOLOGI

“Eucheuma cottonii sebagai Bahan Bakar Pengganti Bahan Bakar Konvensional ”

Dwi Selfianingsih

NRP. 1508 100 046

DOSEN PENGAMPU

Kristanti Indah

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

2012

Page 2: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Eucheuma

cottonii sebagai Bahan Bakar Pengganti Bahan Bakar Konvensional”. Penulis menyadari

bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang

bersifat membangun sangatlah diharapkan. Akhirnya penulis berharap

semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Surabaya, 02 Juni 2012

Dwi

Selfianingsih

Page 3: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

Pendahuluan

Dua pertiga luas wilayah Indonesia adalah lautan yang mempunyai potensi

sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan bangsa. Potensi tersebut perlu dikelola

secara tepat agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari bagi kesejahteraan rakyat.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang mulai dari 6oLU sampai 10oLS

dan dari 95oBT sampai 142oBT, mempunyai 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan garis

pantai sepanjang 80.791 km. Indonesia merupakan salah satu anggota Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa mengenai keanekaragaman hayati dan salah satu dari tujuh negara yang

mempunyai ”Mega Biodiversitas” yang dikenal sebagai puisat konsentrasi keanekaragaman

hayati dunia. Walaupun kepulauan Indonesia hanya mewakili 1,3 % dari luas daratan dunia,

tetapi memiliki 25 % jenis ikan dunia, 17 % jenis burung, 16 % reptil dan

amphibi, 12 % mamalia, 10 % tumbuhan dan sejumlah inverterbrata, fungia dan

mikroorganisme (Gautam et al., 2000)

Keragaman sumberdaya hayati laut sering kali dijadikan argumen untuk

menggambarkan betapa besarnya kekayaan laut Indonesia. Kekayaan keragaman hayati laut

ingin segera dimanfaatkan, sesuai peran laut sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat,

bukan lagi tergantung pada daratan, dapat segera terwujud. Oleh karena itu dalam menyikapi

hal ini perlu landasan pemahaman yang lebih jelas dimana letak keungulan keragaman hayati

tersebut. Keragaman yang tinggi dari suatu sumberdaya tidak akan selamanya terkait dengan

keunggulan baik kuantitatif maupun kualitatif. Di laut tropika pada umumnya dicirikan dengan

keragaman yang tinggi dari segi jumlah jenis, namun masing-masing kelimpahannya kecil.

Sebaliknya di negara beriklim sub tropis jumlah jenis relative sedikit, namun masing-masing

kelimpahannya besar. Lingkungan laut Indonesia dengan berbagai macam habitat yang ada di

dalamnya tersebar luas di antara dua wilayah laut, wilayah paparan dan wilayah laut dalam.

Terdapatnya dua paparan luas di bagian barat dan bagian timur Indonesia yang dipisahkan

oleh laut yang dalam memberikan gambaran akan terdapatnya berbagai ragam jenis biota dan

habitat (Tabel I).

Page 4: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

Pengelolaan sumberdaya hayati laut telah didefinisikan sebagai penerapan IPTEK

kelautan terhadap permasalahan pemanfatan sumberdaya untuk memperoleh hasil optimum

dalam kegiatan perikanan komersial. Untuk itu pengelolaan suatu sumberdaya hayati laut

memerlukan pengetahuan yang mendasari prinsip-prinsip biologi, ekologi dari sumberdaya

tersebut. Selama ini pengelolaan sumberdaya hayati laut pada umumnya hanya ditekankan

pada pengertian yang sempit yaitu berapa kelimpahan dan ukuran biota yang akan dipanen.

Akibat sempitnya pemahaman ini, mungkin dalam jangka pendek belum dapat dilihat

dampaknya, namun dalam waktu jangka panjang akan menghadapi permasalahan yang sangat

serius.

Page 5: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

Alga

Didalam lautan terdapat bermacam-macam mahluk hidup baik berupa tumbuhan air

maupun hewan air. Salah satu mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang di laut adalah alga.

Ada tiga divisi alga laut yaitu Cholorophyta (900 spesies), Phaeophyta (1000 spesies), dan

Rhodophyta (2500 spesies). Istilah alga pertama kali diperkenalkan oleh Linnaeus pada tahun

1754. pada mulanya penjelasan dijalankan berdasarkan warna. Penjelasan alga berdasarkan

kepada ciri-ciri berikut :

1. Pigmen fotosintesis seperti klorofil dan karotenoid.

2. Komponen dinding sel

Bahan dinding sel terdiri dri polisakarida, lipid dan bahan protein. Komponen khusus yang

mencirikan dinding sel termasuk asam poliuronat, asam alginat (Phaeophyta), asam fusinat

(banyak terdapat pada Phaeophyta) dan komponen mukopeptida (Cynophyta). Ciri khas yang

terdapat pada Chrysophyta ialah mempunyai dinding sel yang bersilika.

3. Aspek struktur sel

- Ketiadaan membran yang memisahkan nukleus

- Pembagian nukleus tidak berlaku secara mitosis seperti yang berlaku pada eukariot.

- Adanya dinding sel yang melindungi mukopeptida tertentu sebagai komponen yang

menguatkannya.

Kegunaan alga

Ditinjau secara biologi, alga merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang

terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Didalam alga terkandung bahan-bahan

organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini,

pemanfaatan alga sebagai komoditi perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil

jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis alga yang ada di Indonesia. Padahal

komponen kimiawi yang terdapat dalam alga sangat bermanfaat bagi bahan baku industry

makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain.

Berbagai jenis alga seperti Griffithsia, Ulva, Enteromorpna, Gracilaria, Euchema, dan

Kappaphycus telah dikenal luas sebagai sumber makanan seperti salad rumput laut atau

sumber potensial karagenan yang dibutuhkan oleh industry gel. Begitupun dengan Sargassum,

Chlorela/Nannochloropsis yang telah dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat,

Page 6: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

Osmundaria, Hypnea, dan Gelidium sebagai sumber senyawa bioaktif, Laminariales atau Kelp

dan Sargassum Muticum yang mengandung senyawa alginat yang berguna dalam industry

farmasi. Pemanfaatan berbagai jenis alga yang lain adalah sebagai penghasil bioetanol dan

biodiesel ataupun sebagai pupuk organik.

Alga Laut Sebagai Penghasil Bioetanol dan Biodesel

Meskipun masih dalam tahap riset yang mendalam, potensi alga laut sebagai penghasil

bioetanol dan biodiesel sangat menjanjikan dimasa mendatang. Negara-negara maju seperti

Amerika Serikat, Jepang dan Kanada mentargetkan mulai tahun 2025 bahan bakar hayati

(biofuel) bisa diproduksi dari budidaya cepat alga mikro yang tumbuh diperairan tawar/asin.

Keuntungan lebih yang dapat diperoleh adalah tak butuh traktor seperti didarat, tanpa

penyemaian benih, gas CO2 yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan

panen yang terus-terusan (continuous) yang dikarenakan waktu tanam alga hanya 1 minggu.

Berikut adalah gambar skenario mekanisme pembuatan bioetanol dan biodiesel dari alga laut.

Krisis energi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia saat ini sudah memasuki

tahapan yang sangat serius dan memprihatinkan sehingga harus segera dicari metode

pemecahan masalahnya, termasuk Indonesia. Menurut data PDSI (2008), saat ini sumber

energi dunia masih didominasi oleh sumber daya alam yang tidak terbarukan antara lain

Page 7: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

minyak bumi, batubara dan gas alam, yakni sekitar 80,1%, dimana masing - masing

penggunaanya adalah olahan minyak bumi sebesar 35,03%, batubara sebanyak 24,59% dan

gas alam sekitar 20,44%. Sumber energi terbarukan lainnya, tetapi mengandung resiko yang

cukup tinggi adalah energi nuklir yaitu sekitar 6,3%. Sementara itu sumber energi terbarukan

lainnya yang baru dikembangkan sekitar 13,6%, terutama biomassa tradisional, yaitu hanya

sekitar 8,5% saja. Kelangkaan yang disertai tingginya harga bahan bakar minyak secara global

beberapa tahun terakhir membuat banyak negara di dunia meningkatkan upayanya untuk

menggunakan biofuel sebagai bahan bakar alternatif. Salah satu biofuel yang paling banyak

digunakan adalah etanol, zat ini diekstrak dari tanaman pangan seperti tebu dan singkong

(Prihandana dkk, 2007). Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan dua kebijakan penting

tentang energi alternative ini. Kebijakan itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5

Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1

Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau biofuel.

Kebijakan tersebut adalah instruksi untuk mengambil langkah-langkah untuk

melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels) sebagai

bahan bakar pengganti bahan bakar konvensional yang digunakan saat ini.

Pemakaian biogasoline (campuran bensin dan etanol) pada mesin kendaraan berbahan bakar

bensin ternyata mempunyai efek positif terhadap lingkungan, karena dapat menekan emisi

CO2, CO, hidrokarbon dan SOX. Meningkatnya penggunaan etanol sebagai salah satu sumber

energy alternatif akan meningkatkan permintaan bahan baku. Mengingat hingga saat ini

teknologi generasi pertama pembuatan etanol yang telah mantap dikembangkan adalah

teknologi starch - based (Sun and Cheng, 2002), maka dikhawatirkan akan terjadi kompetisi

antara ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan sumber energi. Selain itu, untuk

menggantikan semua kebutuhan bahan bakar minyak dunia saat ini dengan etanol maka

diperlukan luas tanah, lahan pertanian, hutan, dan lain-lain yang tidak terbatas. Apalagi jika

melihat bahwa saat ini di berbagai negara, khususnya negara berkembang sudah menunjukkan

indikasi adanya krisis pangan dan energi sehingga sangatlah perlu untuk segera dicari sumber

bahan baku pembuatan etanol yang lain. Sumber bahan baku potensial yang ketersediaannya

melimpah, berharga murah, belum banyak dimanfaatkan orang dan mengandung struktur gula

sederhana yang dapat diubah menjadi etanol adalah bahan-bahan berlignosellulosa (Ho dkk,

1998), yang dalam beberapa dekade terakhir, menjadi salah satu obyek penelitian yang

Page 8: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

menarik untuk mengetahui potensi dari bahan – bahan lignoselulosa dalam usaha

memproduksi etanol generasi kedua (Curreli dkk, 1997; Gaspar dkk, 2005).

Proses pembuatan etanol dari bahan berselulosa memerlukan beberapa tahapan

sebelum menghasilkan etanol, salah satunya adalah tahapan fermentasi. Hal ini disebabkan

karena struktur selulosa yang lebih kompleks sehingga harus dirombak agar proses fermentasi

sebagai tahapan awal pembuatan etanol dapat berlangsung dengan optimal. Menurut

Shofiyanto (2008), bahan selulosa pada limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon

untuk produksi etanol dengan melakukan proses hidrolisis terlebih dahulu. Proses hidrolisis

dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gula sederhana dan mempermudah kerja yeast

dalam proses fermentasi. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai

sekitar 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya

hayati yang sangat besar dan beragam. Berbagai sumberdaya hayati tersebut merupakan

potensi pembangunan yang sangat penting sebagai sumber-sumber pertumbuhan ekonomi

baru. Salah satu komoditi perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk dikembangkan

adalah rumput laut. Hal ini dikarenakan jumlah permintaan rumput laut di pasar lokal dan

ekspor masih lebih besar dari pada penawarannya. Oleh karena itu pemerintah saat ini tengah

menggalakkan peningkatan produksi komoditi rumput laut, sehingga untuk kedepannya

produksi rumput laut di Indonesia akan terus mengalami peningkatan yang signifikan.

Perkembangan penelitian pendayagunaan rumput laut di Indonesia telah dimulai sejak

Ekspedisi Siboga yang dilakukan antara tahun 1899 - 1900. Penelitian selanjutnya dilakukan

Van Bosse pada tahun 1913 - 1928 telah berhasil mengoleksi jenis rumput laut yang tumbuh di

perairan Indonesia sebanyak 555 jenis. Pada penelitian Van Bosse tahun 1914 - 1916 di

Kepulauan Kai pada Ekspedisi Danish menemukan sebanyak 25 jenis alga merah, 28 jenis

alga hijau dan 11 jenis alga coklat. Tidak semua hasil panen Eucheuma cottonii dapat diekspor

sebagai bahan baku kosmetik dan bahan makanan, karena ada saja bagian – bagian yang tidak

masuk kedalam kriteria kelayakan sebagai bahan baku untuk diekspor. Sisa hasil panen ini ada

yang terserang penyakit, pertumbuhannya terhambat karena kurangnya nutrisi yang sangat

dibutuhkan dalam masa pertumbuhan, serangan gulma, serta adanya serangan predator luar

seperti ikan yang merusak pertumbuhan Eucheuma cottonii. Sehingga Eucheuma cottonii yang

tidak masuk kriteria ekspor tersebut, menjadi kurang termanfaatkan dan cenderung dibiarkan

begitu saja sehingga teronggok membusuk dan pada akhirnya menjadi sampah pantai yang

Page 9: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

mengganggu kesehatan, terutama bagi para wisatawan. Alangkah baiknya apabila sisa hasil

panen Eucheuma cottonii yang tidak termanfaatkan tersebut dapat dimanfaatkan kembali

menjadi salah satu bahan baku pembuatan etanol pengganti bahan baku yang selama ini

digunakan seperti jarak, singkong dan tebu. Peluang pemanfaatan limbah Eucheuma cottonii

ini mempunyai prospek yang sangat bagus sebagai salah satu sumber energi alternatif nabati di

masa depan khususnya sebagai bahan baku pembuatan etanol, melihat kondisi Indonesia

sebagai negara maritim dimana dua per tiga luas wilayahnya merupakan lautan, dan rumput

laut sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat disepanjang pesisir pantai – pantai di

Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Bali pada khususnya.

Beberapa penelitian sebelumnya telah membahas tentang pemanfaatan alga sebagai

bahan bakar alternatif, salah satunya adalah penelitian dari Jorge Alberto Vieira Costa dan

Michele Greque de Morais dari Laboratory of Biochemical Engineering, College of Chemistry

and Food Engineering, Federal University of Rio Grande, Brazil (2010) yang melaporkan

bahwa mikroalga ternyata dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku utama dalam

pembuatan biofuel pengganti energi fosil karena ramah lingkungan, dan mampu mengurangi

emisi gas karbondioksida yang berdampak pada efek rumah kaca dan pemanasan global.

Selanjutnya ada pula hasil penelitian sebelumnya tentang rumput laut dari jenis Eucheuma

cottonii yaitu dari hasil penelitian Luthfy (1988) yang melaporkan bahwa rumput laut jenis

Eucheuma cottonii ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80 %, lemak 1,78 %,

serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %. Dari

paparan hasil penelitian sebelumnya diatas, dapat dilihat bahwa limbah Eucheuma cottonii

dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan etanol dengan tahapan awal proses

fermentasi, melihat kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi, yaitu sekitar 68,48%. Salah

satu hal yang belum menarik banyak orang dalam bidang penelitian tentang pengolahan

Eucheuma cottonii menjadi etanol adalah adanya senyawa lignin yang membungkus selulosa

didalam matriks Eucheuma cottonii. Adanya lignin dalam bahan berselulosa ini akan

menghambat aktifitas enzim yang terdapat didalam ragi dalam proses pengkonversian gula

sederhana menjadi etanol. Sehingga untuk meningkatkan proses hidrolisis, maka perlu

dilakukan proses delignifikasi untuk mendegradasi lignin dari struktur selulosa dengan

menggunakan bantuan senyawa katalis, salah satu caranya adalah dengan menggunakan

katalis kimia berupa senyawa NaOH. Dari hasil penelitian Samsul Rizal (2005), penambahan

Page 10: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

konsentrasi katalis NaOH hingga 8% ternyata mampu meningkatkan kandungan selulosa

dalam produksi pulp dari jerami, sehingga diperoleh hasil produksi optimum selulosa sekitar

91,4 % dengan sisa lignin dalam pulp yang hanya mencapai sekitar 1,2 % saja.

Eucheuma cottonii

Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu rumput laut dari jenis alga

merah (Rhodophyta). Rumput laut jenis ini memiliki thallus yang licin dan silindris, berwarna

hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat

berupa cakram (Atmadja dkk,1996). Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985)

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Rhodophyta

Page 11: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Famili : Solieracea

Genus : Eucheuma

Species : Eucheuma alvarezii

Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-

abu atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu

proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas

pencahayaan (Aslan, 1998). Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana

sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak

bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama

keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat

perekat berupa cakram. Cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang

rimbun dengan mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja dkk, 1996). Umumnya

Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya

adalah daerah yang memperoleh aliran air laut. Kondisi perairan yang sesuai untuk budidaya

rumput laut Eucheuma cottonii yaitu perairan terlindung dari terpaan angin dan gelombang

yang besar, kedalaman perairan 7,65 - 9,72 m, salinitas 33-35 ppt, suhu air laut 28-30 oC,

kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 22-48 cm/detik (Wenno, 2009).

Langkah-langkah pemanfaatan Eucheuma cottonii sebagai bahan biofuel

Adapun langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebanyak 90 kg limbah rumput laut jenis Eucheuma cottonii ditaruh pada baskom

besar, lalu dicuci dan dibilas dengan air bersih untuk memisahkan butiran pengotor dan pasir.

2. Setelah itu limbah Eucheuma cottonii memasuki tahapan proses penghilangan garam

yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan garam yang ada di dalam limbah Eucheuma

cottonii agar nantinya tidak menghambat/ mengganggu kerja yeast dalam proses fermentasi.

Proses penghilangan kandungan garam dalam limbah Eucheuma cottonii ini dilakukan dengan

menggunakan senyawa kapur (CaCO3) yang dicampur dengan air dimana dalam penelitian ini

penulis menggunakan perbandingan 1 kg CaCO3 dilarutkan dalam 100 liter air. Selanjutnya

Page 12: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

limbah Eucheuma cottonii dimasukkan dan direndam selama 24 jam. Adapun persamaan

reaksi secara teoritis yang terjadi dalam proses penghilangan garam adalah sebagai berikut :

2 NaCl + CaCO3 Na2CO3 + CaCl2

3. Selanjutnya dilakukan pretreatment berupa proses delignifikasi. Proses delignifikasi

disini merupakan proses degradasi lignin yang membungkus selulosa didalam matriks limbah

Eucheuma cottonii, dimana keberadaan lignin ini akan menghambat aktifitas dari

Saccharomyces cerevisiae yang terdapat dalam ragi dalam tahapan proses fermentasi. Adapun

proses delignifikasi ini menggunakan proses delignifikasi secara kimia yaitu dengan

menggunakan senyawa NaOH sebagai katalis dalam proses delignifikasi dengan variasi

sebagai berikut:

a. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 10 % selama 1 jam.

b. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 15% selama 1 jam.

c. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 20 % selama 1 jam.

4. Selanjutnya untuk setiap variasi pretreatment delignifikasi pada langkah nomor 3

diberikan treatment yang bertujuan untuk menghidrolisis selulosa menjadi gula sederhana.

Kelima variasi campuran ragi dan limbah Eucheuma cottonii pada setiap pembagian

treatment tersebut dimasukkan kedalam toples kaca agar tidak terjadi kontaminasi dengan

udara luar dan ditutup dengan rapat, sehingga tercipta kondisi anaerob sehingga

Saccharomyces cerevisiae dapat bekerja dengan baik dalam proses fermentasi.Proses

fermentasi ini dilakukan dengan menggunakan media topless kaca untuk menjaga kondisi

anaerob (tanpa udara) dengan pH awal 6, didalam ruang tertutup dalam suhu kamar (27-

30°C). Tahapan proses fermentasi ini berlangsung selama 9 hari dimana pencatatan data

dilakukan setiap 3 hari sekali untuk mengukur volume produk fermentasi dan kadar alkohol

yang dihasilkan.

5. Selanjutnya dilakukan proses pengukuran kadar alkohol dengan menggunkan alat

ukur vinometer, yang penggunaannya dapat dijabarkan sebagai berikut :

a) Masukkan produk fermentasi kedalam vinometer hingga penuh, diamkan beberapa saat

sehingga berada dalam keadaan steady, kemudian vinometer yang sudah terisi penuh dengan

produk fermentasi tersebut dibalik, sehingga akan terjadi proses penurunan cairan, tunggu

sesaat hingga penurunan cairan berhenti dan dari angka yang tertera pada skala vinometer

Page 13: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

dapatlah ditentukan berapa kadar alkohol dari produk fermentasi tersebut, dalam satuan persen

volume (% abv).

7. Selanjutnya adalah menghitung laju fermentasi dalam satuan (kg/hari) dari setiap

rentang waktu fermentasi dari setiap variasi delignifikasi, variasi perlakuan fisika dan biologi

dan variasi perbandingan konsentrasi limbah Eucheuma cottonii dengan ragi (yeast).

Penutup

Indonesia adalah negara yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu ±

80.791,42 Km. Disepanjang garis pantai, tumbuh dan berkembang berbagai jenis alga laut

yang berpotensi sebagai biotarget industri. Berbagai riset mutlak dilakukan untuk pemanfaatan

secara optimal kekayaan hayati ini secara berkelanjutan. Riset-riset kimiawan terutama

dituntut untuk mencari bahan baku industri, senyawa bioaktif, pengembangan produk-produk

turunan berbasis alga, dan mempelajari misteri dan keunikan-keunikan alga dalam

hubungannya sebagai bagian dari ekosistem. Salah satu pemanfaatan alga laut yaitu sebagai

bahan bakar sebagai pengganti bahan bakar konvensional.

Page 14: Makalah Dwi Selfianingsih 1508100046

Daftar Pustaka

Ciferri, O. 1983. Spirulina, The Edible Microorganism. Microbiological Reviews. 47 (4) :

551-578.

Fogg, W.D. Stewart., P. Fay, and E. Wolsky. 1973. The Blue Green Alga. Academic Press.

London. 499 pp.

Gautam, M,. et al. 2000. Indonesia The Chalenges of World Bank Involvement in Forest.

Evaluation Country Case Study Series. The World Bank. Washington, D.C. 64 pp.

Harris dan Ramelow. 1990. Binding of Metal Ions by Particulate Quadricauda. Environ. Sci.

627-652

Moosa, M.K. 1999. Sumberdaya laut nusantara, keanekaragaman hayati laut dan

pelestariannya. Lokakarya Keanekaragaman Hayati Laut. Pemanfaatan secara lestari

dilandasi penelitian dan penyelamatan. Widya Graha LIPI, Jakarta 23 Pebruari 1999,

24 hal.

Putra, Sinly Evan. 2006. Tinjauan Kinetika dan Termodinamika Proses Adsorpsi Ion Logam

Pb, Cd, dan Cu oleh Biomassa Alga Nannochloropsis sp. Yang DiImmobilisasi

Polietilamina-Glutaraldehid. Laporan Penelitian. Universitas Lampung. Bandar

Lampung

Santilan. 1982. Mass Production of Spirulina. Experienties. 38:40-43.

Setiawan, Andi. 2004. Potensi Pemanfaatan Alga Laut Sebagai Penunjang Perkembangan

Sektor Industri. Makalah Ilmiah Ketua Jurusan Kimia. Universitas Lampung. Bandar

Lampung