makalah metabolisme dan hasil metabolisme kelompok 2 syifa dwi

29
METABOLISME DAN HASIL METABOLISME JAMUR MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Mikologi Yang Dibina oleh Bapak Agung Witjoro, S.Pd., M.Kes. dan Ibu Sitoresmi Prabaningtyas, S.Si., M.Si. Oleh kelompok 2: Syifa Sundari 120342400173 Dwi Rahmawati 120342422456 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI Januari 2015

Upload: monny-efuji-pratama

Post on 21-Nov-2015

222 views

Category:

Documents


40 download

DESCRIPTION

met

TRANSCRIPT

  • METABOLISME DAN HASIL METABOLISME JAMUR

    MAKALAH

    Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Mikologi

    Yang Dibina oleh Bapak Agung Witjoro, S.Pd., M.Kes.

    dan Ibu Sitoresmi Prabaningtyas, S.Si., M.Si.

    Oleh kelompok 2:

    Syifa Sundari 120342400173

    Dwi Rahmawati 120342422456

    UNIVERSITAS NEGERI MALANG

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    JURUSAN BIOLOGI

    Januari 2015

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Fungi atau jamur didefinisikan sebagai kelompok organisme eukariotik, tidak

    berpindah tempat (nonmotile), bersifat uniselular atau multiselular, memiliki

    dinding sel dari glukan, mannan, dan kitin, tidak berklorofil, memperoleh nutrien

    dengan menyerap senyawa organik, serta berkembang biak secara seksual dan

    aseksual. Jamur atau fungi memiliki beberapa sifat umum, yaitu hidup di tempat-

    tempat yang lembab, sedikit asam, dan tidak begitu memerlukan cahaya matahari.

    Jamur tidak berfotosintesis, sehingga hidupnya bersifat heterotrof. Jamur hidup

    dari senyawa-senyawa organik yang diabsorbsi dari organisme lain.

    Jamur yang prinsip nutrisinya adalah heterotrof menyebabkannya memiliki

    kemampuan hidup sebagai pemakan sampah (saprofit) maupun sebagai

    penumpang yang mencuri makanan dari inangnya (parasit). Fungi adalah

    mikroorganisme heterotrof karena tidak memiliki kemampuan untuk

    mengoksidasi senyawa karbon organik, atau senyawa karbon yang memiliki satu

    karbon. Senyawa karbon organik yang dapat dimanfaatkan untuk membuat materi

    sel baru berkisar dari molekul sederhana seperti gula sederhana, asam organik,

    gula terikat alkohol polimer rantai pendek dan rantai panjang mengandung

    karbon, hingga kepada senyawa kompleks seperti karbohidrat, lipid dan asam

    nukleat, protein.

    Metabolisme merupakan seluruh proses kimia yang terjadi di dalam tubuh

    organisme hidup untuk memproleh dan menggunakan energi sehingga organisme

    dapat melaksanakan berbagai fungsi hidup. Dan pada prisipnya jamur sama

    seperti mahluk hidup yang lainnya yaitu melakukan metabolisme untuk

    keberlangsungan hidupnya. Metabolit sekunder adalah berbagai macam reaksi

    yang produknya tidak secara langsung terlibat dalam pertumbuhan normal. Dalam

    hal ini metabolit sekunder berbeda dengan bahan metabolit intermediet yang

    memang merupakan produk dari metabolisme normal. Hasil dari metabolisme

    sekunder pada jamur dapat berupa Mikotoksin dan Antibiotik.

    Keberadaan jamur dalam lingkungan dapat menguntungkan dan merugikan,

    salah satu keuntungan keberadaan jamur adalah berperan besar dalam proses

  • biodegradasi, dimana jamur membantu menguraikan dan memecahan cemaran

    organik oleh aktivitas mikroba yang melibatkan serangkaian reaksi enzimatik

    tertentu.

    1.2 Rumusan Masalah

    1. Apakah fungsi dari metabolisme pada jamur?

    2. Berupa apakah sumber energi yang digunakan untuk proses metabolisme

    pada jamur?

    3. Bagaimanakah proses metabolisme sekunder pada jamur?

    4. Apa sajakah hasil metabolisme pada jamur?

    5. Bagaimana peran jamur dalam biodegradasi?

    1.3 Tujuan

    1. Untuk memahami fungsi metabolisme pada jamur.

    2. Untuk memahami sumber energi yang digunakan untuk proses

    metabolisme pada jamur.

    3. Untuk memahami proses metabolisme sekunder pada jamur.

    4. Untuk memahami hasi-hasill metabolisme pada jamur.

    5. Untuk memahami peran jamur dalam biodegradasi.

  • BAB II

    PEMBAHASAN

    2.1 Pengertian Metabolisme

    Metabolisme atau pertukaran zat pada makhluk hidup, mencakup semua reaksi

    kimiawi yang terjadi di dalam sel yang menghasilkan energi dan menggunakan

    energi untuk sintesis komponen-komponen sel dan untuk kegiatan-kegiatan

    seluler yang menghasilkan zat sisa (Tarigan.1988). Reaksi kimia ini dapat

    dibedakan menjadi anabolisme dan katabolisme. Proses katabolisme disebut juga

    bioenergi, sedangkan proses anabolisme disebut biosintesis.

    Dalam tubuh mikroorganisme reaksi-reaksi kimia dipercepat oleh enzim yaitu

    katalisator organik (biokatalisator) yang dihasilkan oleh sel. Setelah reaksi

    berlangsung enzim tidak mengalami perubahan jumlah sehingga jumlah enzim

    sebelum dan setelah reaksi adalah tetap. Enzim mempunyai spesifitas yang tinggi

    terhadap reaktan yang direaksikan dan jenis reaksi yang dikatalisis. Enzim

    melakukan berbagai aktifitas fisiologik seperti penyusunan bahan organik,

    pencernaan, dan pembongkaran zat yang memerlukan aktivator berupa

    biokatalisator (Dwidjoseputro, 1978).

    2.2 Fungsi metabolisme

    Metabolisme memikili empat fungsi spesifik:

    a. Untuk memperoleh energi kimia dari degradasi zat makanan yang kaya energi.

    b. Untuk mengubah moleku nutrient menjadi precursor unit pembangun bagi

    makromolekul sel.

    c. Untuk menggabungkan unitunit pembangun ini menjadi protein, asam

    nukleat, lipida, polisakarida dan komponen sel lainya.

    d. Untuk membentuk dan mendegradasi biomolekul yang diperlukan di dalam

    fungsi khusus sel (Palczar, 2008).

    Menurut Dwidjoseputro (1978) metabolisme memiliki manfaat yaitu:

    a. Sintesis bagian sel (dinding sel, membran sel, dan substansi sel lainnya).

    b. Sintesis enzim, asam nukleat, polisakarid, phospholipid, atau komponen sel

    lainnya agar materi sel tetap terorganisir.

    c. Mempertahankan kondisi sel (optimal) dan memperbaiki bagian sel yang

    rusak agar selalu dalam keadaan hidup.

  • d. Pertumbuhan dan perbanyakan dengan membentuk komponen sel yang baru

    e. Penyerapan hara dan ekskresi senyawa yang tidak diperlukan (waste

    products).

    2.3 Sumber energi

    Berdasarkan sumber nutrisi yang diserapnya, jamur diklasifikasikan menjadi 2

    kategori yaitu saprofit dan parasit. Saprofit tumbuh pada bahan organik mati. Dan

    parasit hidup pada zat hidup untuk mendapatkan makanan dari inangnya.

    Kehadiran parasit dapat mengakibatkan kondisi abnormal pada inangnya yang

    disebut penyakit (Vasishta & Sinha, 2007).

    Jamur mengadakan kontak langsung dengan lingkungan yang mengandung

    nutrisi. Molekul yang lebih sederhana (seperti gula sederhana dan asam amino)

    berupa lapisan tipis pada hypa dapat langsung diserap. Polimer yang lebih

    kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus diproses lebih dahulu sebelum

    digunakan. Molekul yang terlalu besar untuk dapat diserap akan dihancurkan oleh

    enzim ekstraseluler. Sebagian besar nutrisi memasuki sel fungi dengan sistem

    transport khusus. Banyak faktor seperti pH, temperatur, mineral yang dapat

    mempengaruhi penyerapan nutrisi (Moore, 1982).

    2.3.1 Metabolisme Karbon

    2.3.1.1 Metabolisme Karbohidrat

    Karbohidrat dan derivatnya merupakan substrat utama dalam proses

    metabolisme karbon pada fungi. Peran penting dari metabolisme karbohidrat

    adalah (i) menghasilkan ATP dan (ii) menyediakan hampir semua karbon untuk

    kebutuhan sel fungi yang mengandung karbohidrat, lipid, protein, dan asam

    nukleat. Metabolisme karbohidrat pada fungi secara umum menggunakan

    glikolisis, DOAP, siklus Krebs, dan transfer elektron (Gandjar, 2006).

    Fermentasi

    Fermentasi adalah memanen energi kimia tanpa menggunakan oksigen

    maupun rantai transport elektron dan merupakan pengembangan glikolisis yang

    memungkinkan pembentukan ATP terus-menerus melalui fosforilasi tingkat

    substrat pada glikolisis. Fermentasi terdiri atas glikolisis ditambah dengan reaksi-

    reaksi yang meregenerasi NAD+ dengan mentransfer elektron dari NADH ke

    piruvat. NAD+

    kemudian dapat digunakan kembali untuk mengoksidasi gula

  • melalui glikolisis (Campbell, 2008). Khamir merupakan salah satu

    mikroorganisme yang dapat memfermentasikan gula. Kemampuan ini ditunjukkan

    dengan adanya sistem transpor untuk gula dan sistem enzim yang dapat

    menghidrolisis gula dengan akseptor elektron alternatif selain oksigen pada

    keadaan anaerob fakultatif. Gula tersebut diasimiliasi melalui jalur glikolisis

    (Embden-Meyerhof-Parnas) untuk menghasilkan asam piruvat. Asam piruvat

    dalam kondisi anerob akan mengalami penguraian oleh piruvat dekarboksilase

    menjadi etanol dan karbondioksida. Sel khamir selama proses fermentasi

    menjalani tahap adaptasi pada lingkungan baru (fase lag), tahap pembelahan sel

    yang sangat aktif (fase log), dan tahap menurunnya aktivitas sel (fase stasioner).

    Pada proses fermentasi, substrat akan dikonversi menjadi karbondioksida dan

    etanol, dan berlangsung asimilasi asam amino, lipid, asam nukleat, serta senyawa

    untuk aroma/rasa (Gandjar, 2006).

    Berdasarkan hasil fermentasinya. Fermentasi terbagi menjadi dua yakni

    fermentasi alkohol dan fermentasi asam laktat.

    1. Fermentasi alkohol adalah fermentasi pengubahan piruvat menjadi etanol (etil

    alkohol) dalam dua langkah. Langkah pertama adalah melepasakan

    karbondioksida dari piruvat, yang diubah menjadi senyawa asetildehida.

    Langkah kedua adalah, asetildehida direduksi menjadi etanol oleh NADH

    (Campbell, 2008). Khamir dari genus Issatchekia, Kluyveromyces,

    Saccharomyces, dan Zygsaccharomyces merupakan contoh khamir yang dapat

    melakukan fermentasi alkohol dengan memfermentasi glukosa. S. cerevisia,

    kapang Neurospora crassa, khamir genus Candila, dan Debaryomyces juga

    dapat melakukan fermentasi alkohol dengan cara memfermentasi sukrosa

    dengan bantuan kerja enzim invertase (sakarase) yang berguna untuk

    menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Gandjar, 2006).

    2. Fermentasi asam laktat adalah fermentasi pengubahan piruvat menjadi laktat

    secara langsung direduksi oleh NADH tanpa pelepasan oksigen (Campbell,

    2008). Fermentasi asam laktat ini terbagi atas dua jenis, yakni

    homofermentatif dan heterofermentatif. Jenis-jenis homofermentatif hanya

    menghasilkan asam laktat dari metabolisme gula, sedangkan jenis-jenis

    heterofermentatif menghasilkan karbondioksida dan sedikit asam-asam volatil

  • lainnya, alkohol, dan ester disamping asam lakta (Suprihatin, 2010). Contoh

    heterofermentatif adalah proses fermentasi yang terjadi dalam pembuatan

    tempe yakni jamur Rhizopus oryzae. R.oryzae dapat menghasilkan 1,5 mol

    asam laktat dari 1 mol glukosa dalam kondisi aerobik dan sisanya diubah

    menjadi miselia, glycerol, fumarate atau etanol (Skory dalam Manfaati, 2010),

    selain itu juga menghasilkan asam tartrat, asam format, dan asam asetat

    (Schlegel dan Schmidt dalam Pramudyanti, 2004).

    Moat dan Foster dalam Pramudyanti (2004) menyebutkan bahwa jamur

    Rhizopus termasuk spesies heterofermentatif yang menggunakan jalur

    fosfoketolase sebagai jalur utama dari metabolisme glukosa. Pada jamur

    heterofermentatif tidak ada aldolase dan heksosa isomerase tetapi

    menggunakan enzim fosfoketolase dan menghasilkan CO2 (Irawati, 2011).

    Mirdamadi et al dalam Pramudyanti dkk (2004) menjelaskan bahwa R. oryzae

    dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat pada suasana aerob,

    jika medium tersebut miskin mineral. Medium miskin tersebut mengandung

    sumber karbon dan energi seperti sukrosa, pati, laktosa, galaktosa dan glukosa

    dalam jumlah berlebihan dan mengandung sedikit mineral seperti seng, besi,

    mangan, magnesium dan kalium.

  • Biosintesis Kitin

    Kitin adalah polimer linier yang tersusun oleh monomer -1,4-N-asetil-D-

    glukosamin (GlcNac) dan termasuk golongan polisakarida (Cabib, 1987). Khitin

    pada jamur memiliki bentuk fibril dengan ukuran dan kandungan yang berbeda

    tergantung pada strain atau spesiesnya. Kandungan kitin berkisar antara 4 9 %

    berat kering sel (Rajarathnam et al., 1998). Khitin merupakan komponen utama

    Gambar. Jalur

    metabolisme

    homofermentative

    lactic acid (a) dan

    heterofermentative

    lactic acid (b)

    (Bailey and Ollis

    dalam Manfaati,

    2010)

  • penyusun dinding sel jamur kelas Ascomycetes, Basidiomycetes, dan

    Deuteromycetes (Griffin, 1981).

    Petumbuhan hifa pada jamur merupakan penyebab biosintesis yang terjadi

    pada jamur. Langkah biosintesis diawali dengan perubahan glukosa-6-fosfat

    menjadi uridin difosfat N-asetilglukosamin (UDP-GlcNAc) sebagai prekursor

    khitin. Enzim yang berperan dalam mengubah UDP-GlcNAc menjadi molekul

    khitin adalah khitin sintetase yang terdapat dalam vesikel sitoplasmik (sitosom)

    (Carlile dan Watkinson, 1994). Khitin dibuat in-situ yaitu pebentukannya terjadi

    di luar sitoplasma oleh enzim yang dibawa oleh sitosom. Khitin sintetase yang ada

    dalam sitosom adalah enzim yang tidak aktif (zimogen) dan protease yang ada di

    permukaan sel (periplasma) akan mengaktivkan zimogen ini dan dimulai lagi

    pembentukan mikrofibril khitin (Bartnicki-Garcia, 1989).

    Gambar. Jalur sintesis khitin (Carlile & Watkinson, 1994).

  • 2.3.2 Metabolisme Protein

    Proses metabolisme protein pada fungi sama dengan organisme eukariotik

    lainnya, yaitu pada sintesis protein menggunakan proses transkripsi dan translasi.

    Fungi memiliki 80s ribosom dengan subunit masing-masing 40s dan 60s, sama

    seperti organisme eukariotik lain. Protein pada fungi berisi 20 jenis asam amino

    yang terhubung dengan ikatan peptida. Protein pada fungi sebagian besar bersifat

    asam karena proporsi asam amino bersifat asam lebih banyak daripada asam

    amino bersifat basa. Protein pada fungi digunakan sebagai enzim, komponen

    struktural, dan metabolit sekunder. Enzim berfungsi sebagai katalis dalam setiap

    langkah metabolisme (Griffin, 1981).

    Protein bergabung dengan karbohidrat membentuk glikoprotein dan

    peptidoglikan. Kedua zat ini dapat ditemukan di membran sel, dinding sel, dan

    disekresikan menjadi enzim eksoseluler. Glikoprotein pada dinding sel berfungsi

    sebagai antigen, zat penghubung antarsel, dan enzim yang berada di permukaan

    sel. Protein pada dinding sel bersifat asam, dengan kadar asam amino asam

    glutamat dan asam aspartat mencapai 30-40%. Jenis asam amino yang terkandung

    di dalamnya hanya berjumlah 12-15 jenis. Protein seperti ini merupakan protein

    yang abnormal, tidak seperti pada sel pada umumnya yaitu kadar asam amino

    asam berkisar 8-10% dengan 20 jenis asam amino. Peptidoglikan berfungsi

    sebagai alergen dan antigen (Griffin, 1981).

    Pemecahan molekul protein dilakukan oleh enzim protease. Tujuan

    katabolisme protein adalah untuk mendapatkan nitrogen dan karbohidrat yang

    digunakan untuk proses metabolisme yang lain. Fungi mensekresikan enzim

    protease ke lingkungan. Selanjutnya protein akan diubah menjadi asam amino dan

    diangkut oleh permease asam amino spesifik maupun permease asam amino

    nonspesifik (Griffin, 1981).

    2.3.3. Metabolisme Lipid

    Fungi dapat menggunakan lipid (triasilgliserol/ trigliserida) dalam bentuk

    lemak dan minyak sebagai sumber karbon. Hidrolisis lipid memerlukan kerja

    enzim lipase dan mengubahnya menjadi diasilgliserol, monoasilgliserol, gliserol

    atau asam lemak. Lipase diketahui dapat dibedakan atas dua kelompok

    berdasarkan lokasi pemutusan ikatan gliserol pada triasilgliserol yaitu lipase non-

  • spesifik dan lipase spesifik. Lipase non-spesifik memutus ikatan gliserol dari

    triasilgliserol pada tiga posisi sehingga menghasilkan diasilgliserol,

    monoasilgliserol, atau tiga molekul asam lemak dan gliserol. Lipase spesifik

    memutus ikatan gliserol dari triasilgliserol pada posisi satu dan tiga sehingga

    menghasilkan 1,2-diasilgliserol dan 2-monoasilgliserol (Ratledge & Tan., 1986).

    Fungi diketahui dapat menggunakan berbagai lipid dengan memanfaatkan

    kerja lipase antara lain C. cylindracea, C. deformans, C. curvata, C.rugosa, P.

    caseicolum, P. chrysogenum, P. citrinum, P. cyclopium, P. simplicissimum, P

    .roquefortii, Mucor miehei, Rhizopus delemar, Rh.japonicus, Rh. oligosporus.

    Materi organik berupa lipid akan didegradasi oleh enzim lipase yang disekresikan

    fungi ke lingkungannya, sebelum diangkut ke dalam sel (Rapp & Backhaus.,

    1992). C. rugosa dapat menggunakan berbagai minyak dari tumbuhan seperti

    wijen, palem, kelapa, dan biji bunga matahari sebagai sumber karbon melalui

    kerja lipase. Yarrowia lypolitica menggunakan lemak hewan dan minyak rapeseed

    untuk menghasilkan produk samping asam sitrat dengan bantuan enzim lipase.

    Minyak biji bunga matahari hasil penggorengan dapat dimanfaatkan oleh Mucor

    circinelloides dengan bantuan enzim lipase sedangkan A. flavus dapat

    memanfaatkan limbah cair dari pemrosesan minyak zaitun menggunakan lipase.

    2.3.4. Metabolisme Asam Nukleat

    Fungi berfilamen mengkatabolisme purin. Kapang A. nidulans, P.

    chrysogenum, dan Fusarium moniliforme dapat memanfaatkan hipoxanthin,

    xanthin, asam urat dan adenine sebagai sumber nitrogen. Kemampuan

    menggunakan basa purin dan pirimidin bervariasi pada khamir S.cerevisiae

    tumbuh baik pada medium mengandung allantoin, asam allantoat, dan agak baik

    pada adenine, guanine, dan sitosin. Beberapa strain dari S. cerevisiae dapat

    menggunakan sitosin dan oksipirimidin, tetapi purin tidak dapat sebagai sumber

    nitrogen. Sebagian besar strain S. cerevisiae dengan menggunakan allantoin

    sebagai satu-satunya sumber nitrogen.

  • 2.4. Metabolisme Nitrogen dan Sulfur

    2.4.1. Metabolisme Nitrogen

    Kemampuan fungi menggunakan nitrogen anorganik

    Semua mikroorganisme yang telah diteliti tampaknya dapat menggunakan

    ammonia sebagai sumber nitrogen anorganik. Asimilasi nitrat pada khamir dan

    kapang menggunakan proses yang sama yaitu nitrat ditranspor ke dalam sel

    kemudian diubah menjadi amonium oleh enzim nitrat reduktase dan nitrit

    reduktase. Nitrat reduktase merupakan protein yang memerlukan kofaktor

    molibdopterin, haem-Fe dan FAD (Gandjar, 2006). Fungi yang dapat

    menggunakan nitrat sebagai sumber nitrogen:

    - A. nidulans

    - C. utilis

    - Hansenula anomala

    - Hansenula polymorpha (sinonim: Pichia angusta)

    Nitrit bersifat toksik bagi sebagian besar fungi, tetapi beberapa fungi dapat

    menggunakannya sebagai sumber nitrogen selama konsentrasi yang digunakan

    cukup rendah. Enzim nitrit reduktase mereduksi nitrit menjadi amonium dan

    memiliki ferredoksin, 2 kelompok protetik dan FAD. Aspergillus nidulans dan

    hansenula polymorpha dapat menggunakan nitrit. Saccharomyces dan

    Zygosaccharomyces tidak dapat menggunakan nitrat dan nitrit sebagai sumber

    nitrogen (Gandjar, 2006).

    Kemampuan fungi menggunakan nitrogen organik

    Sebagai besar fungi dapat tumbuh baik dalam medium yang mengandung

    glutamine, asparagin, dan arginin; diikuti dengan asam glutamate, asam aspartat

    dan sianin.

    2.4.2 Metabolisme Sulfur

    Reduksi sulfat menjadi sulfit tidak terjadi pada keadaan inorganik. Sulfat

    pertama diaktivasi dengan kombinasi dengan ATP menjadi bentuk

    adenosinephosphosulfate (APS). Senyawa ini difosorilasi menjadi 3

    phosphoadenosinephosphosulfate (PAPS), dan kemudian direduksi oleh NADPH

    spesifik reduktase ke sulfat (Griffin, 1981).

  • ATP + SO42- APS + PPi (pyrophosphate)

    APS + ATP PAPS + ADP

    NADPH + H+

    + PAPS PAP + NADP+ + RSO32-

    2.5. Metabolisme sekunder

    Produksi senyawa yang dihasilkan dari metabolisme sekunder tidak selalu

    berhubungan dengan pertumbuhan dan terjadi ketika tersedia karbohidrat setelah

    pertumbuhan terhenti karena beberapa keterbatasan beberapa faktor lainnya.

    Beberapa kelompok besar dari metabolit sekunder yaitu senyawa fenolik, indol

    alkaloid, isoprenoid termasuk terpen, karotenoid, steroid, antibiotik berupa

    penisilin dan kelompok sepalosporin.

    Biosintesis dari metabolit sekunder telah dilakukan secara detail oleh Turner

    (1971). Metabolit sekunder dikelompokkan menjadi lima kelas metabolik

    berdasarkan jalur dari asalnya.

    1. Derivat metabolit glukosa termasuk beberapa polisakarida,

    peptidopolisakarida, gula alkohol, dan lainnya

    2. Poliketida dan derivat fenolik dari kondensasi dari asetat dari asetil-KoA

    pada jalur asetat-malonat dari biosintesisi asam lemak.

    3. Derivat terpen dari kondensasi asetat dari asetil-KoA pada jalur asam

    mevalonik

    4. Derivat fenolik dari jalur asam sikimik dari biosintesis asam amino

    aromatik.

    5. Jalur biosintesis asam amino lainnya

    Jalur metabolisme sekunder yang paling penting pada bermacam senyawa

    yang dihasilkan dan jumlah yang diproduksi fungi adalah asetat-malonat dan jalur

    asam mevalonik. Terdapat suatu hipotesis yang menyebutkan bahwa banyak dari

    metabolit sekunder mempunyai fungsi yang normal pada organisme seperti

    sebagai regulator, selator logam pada nutrisi mineral, pembawa pesan kimia pada

    proses perkembangan, mikotoksin, dan sebagai antibiotik. (Griffin, 1981)

  • 2.6 Hasil Metabolisme Sekunder pada Jamur

    2.6.1. Mikotoksin

    Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang

    dihasilkan oleh cendawan Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai

    produk alami dengan bobot molekul rendah yang dihasilkan sebagai metabolit

    sekunder dari cendawan berfilamen dan dapat menyebabkan penyakit bahkan

    kematian pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme lainnya.

    Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi

    lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan

    baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang

    menghasilkan racun atau toksin (Yani, 2009).

    Jenis-jenis Mikotoksin

    Menurut Bennet (2003), terdapat beberapa jenis mikotoksin utama yang

    sering merugikan manusia, yaitu aflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisin,

    ochratoxin, patulin, trichothecene, dan zearalenone.

    Gambar jalur metabolisme primer dan sekunder pada fungi

  • 1. Aflatoksin

    Gambar 1. Struktur kimia Aflatoksin B1 (Sumber:

    commons.wikimedia.org)

    Sebagian besar aflatoksin dihasilkan oleh Aspergillus flavus Link dan juga

    A. parasiticus Speare. Kedua cendawan tersebut hidup optimal pada suhu 36-

    38 C dan menghasilkan toksin secara maksimum pada suhu 25-

    27 CPertumbuhan cendawan penghasil aflatoksin biasanya dipicu oleh

    humiditas/kelembaban sebesar 85% dan hal ini banyak ditemui di Afrika sehingga

    kontaminasi Alflatoksin pada makanan menjadi masalah umum di benua tersebut.

    Untuk menghindari kontaminasi aflatoksin, biji-bijian harus disimpan dalam

    kondisi kering, bebas dari kerusakan, dan bebas hama (Hamed, 2005).

    2. Citrinin

    Gambar 2. Struktur kimia citrinin (Sumber: webbook.nist.gov)

    Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium citrinum Thom pada tahun

    1931. Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras,

    gandum, barley, dan gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan

    oleh berbagai spesies Monascus dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh

    masyarakat Asia yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan

    tambahan. Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya

  • (terutama yang berwarna merah) dan dalam proses pertumbuhannya,

    pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah (Bailly, 2002).

    3. Ergot Alkaloid

    Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama

    adalah golongan Clavicipitaceae Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan

    dapat menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui

    dalam dua bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang

    (convulsive)Pembersihan serealia secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan

    proteksi terhadap kontaminasi senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih

    terserang ergot dikarenakan varietas benih yang digunakan tidak resiten terhadap

    Claviceps purpurea, penghasil ergot alkaloid.Pada hewan ternak, ergot alkoloid

    dapat menyebabkan tall fescue toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi

    susu, kehilangan bobot tubuh, dan fertilitas menurun (Bennet, 2003).

    4. Fumonisin

    Gambar 3. Struktur kimia Fumonisin B1 (Sumber: chemicalbook.com)

    Fumonisin ditemukan pada tahun 1988 pada Fusarium verticilloides dan F.

    proliferatum yang sering mengontaminasi jagung. Namun, selain kedua spesies

    tersebut masih banyak cendawan yang dapat menghasilkan fumonisin. Toksin

    jenis ini stabil dan tahan pada berbagai proses pengolahan jagung sehingga dapat

    menyebabkan penyebaran toksin pada dedak, kecambah, dan tepung jagung.

    Konsentrasi fumonisin dapat menurun dalam proses pembuatan pati jagung

    dengan penggilingan basah karena senyawa ini bersifat larut air (Doyle, 1993).

    5. Ochratoxin

  • Gambar 4. Struktur kimia ochratoxin A, ochratoxin B, dan ochratoxin C

    (Sumber: azaquar.com)

    Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, Fusarium,

    and Penicillium dan banyak terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari

    serealia, babi, ayam, kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu. Secara umum, terdapat

    tiga macam ochratoxin yang disebut ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling

    banyak dipelajari adalah ochratoxin A karena bersifat paling toksik diantara yang

    lainnya. Pada suatu penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwa

    ochratoxin A dapat ditransfer ke individu yang baru lahir melalui plasenta dan air

    susu induknya. Pada anak-anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di

    dalam tubuhnya relatif lebih besar karena konsumsi susu dalam jumlah yang

    besar.Infeksi ochratoxin A juga dapat menyebar melalui udara yang dapat masuk

    ke saluran pernapasan (Bennet, 2003).

    6. Patulin

    Gambar 5. Struktur kimia patulin (Sumber: commons.wikimedia.org)

  • Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan

    spesies yang paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium

    expansum. Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran, sereal, dan

    terutama adalah apel dan produk-produk olahan apel sehingga untuk diperlukan

    perlakuan tertentu untuk menyingkirkan patulin dari jaringan-jaringan tumbuhan

    Contohnya adalah pencucian apel dengan cairan ozon untuk mengontrol

    pencemaran patulin. Selain itu, fermentasi alkohol dari jus buah diketahui dapat

    memusnahkan patulin (Bennet, 2003).

    7. Trichothecene

    Gambar 6. Struktur kimia trichothecenes (Sumber:

    leatherheadfood.com)

    Terdapat 37 macam sesquiterpenoid alami yang termasuk ke dalam

    golongan trichothecene dan biasanya dihasilkan oleh Fusarium, Stachybotrys,

    Myrothecium, Trichodemza, dan Cephalosporium. Toksin ini ditemukan pada

    berbagai serealia dan biji-bijian di Amerika, Asia, dan Eropa Toksin ini stabil dan

    tahan terhadap pemanasan maupun proses pengolahan makanan dengan autoclave.

    Selain itu, apabila masuk ke dalam pencernaan manusia, toksin akan sulit

    dihidrolisis karena stabil pada pH asam dan netral. Berdasarkan struktur kimia dan

    cendawan penghasilnya, golongan trichothecene dikelompakan menjadi 4 tipe,

    yaitu A (gugus fungsi selain keton pada posisi C8), B (gugus karbonil pada C8), C

    (epoksida pada C7,8 atau C9,10) dan D (sistem cincin mikrosiklik antara C4 dan

    C15 dengan 2 ikatan ester) (Bennet, 2003).

  • 8. Zearalenone

    Gambar 7. Struktur kimia zearalenone (Sumber: wikipedia.org)

    Zearalenone adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh cendawan dari

    genus Fusarium seperti F. graminearum dan F. culmorum dan banyak

    mengkontaminasi nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia dan

    produk tumbuhan.Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan,

    penyimpanan, dan pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat

    suhu tinggi. Salah satu mekanisme toksin ini dalam menyebabkan penyakit pada

    manusia adalah berkompetisi untuk mengikat reseptor estrogen (Gwiazdowska,

    2009).

    2.6.2. Antibiotik

    Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang

    dapat menghambat pertumbuhan (bakterostatik) ataupun membunuh (bakterisid)

    mikroba lain.

    Antibiotik adalah substansi kimia alamiah hasil metabolisme sekunder

    mikroorganisme, yang mempunyai kemampuan baik menghambat pertumbuhan

    maupun membunuh mikroorganisme lain. Definisi tersebut sangat terbatas, karena

    sekarang banyak molekul yang diperoleh melalui sintesis kimia,

    mempunyai aktivitas terhadap mikroorganisme.

    Sekarang istilah antibiotika berarti semua substansi baik yang berasal dari

    alam maupun sintetik yang mempunyai toksisitas selektif terhadap satu atau

    beberapa mikroorganisme tujuan, tetapi mempunyai toksisitas cukup lemah

    terhadap inang (manusia, hewan, atau tumbuhan) dan dapat diberikan melalui

    jalur umum.

  • Jenis-jenis Antibiotik

    Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan

    mempunyai daya hambat terhadap kegiatan mikroorganisme lain. Sampai saat ini

    telah ditemukan lebih dari 3000 antibiotik, namun hanya sedikit saja yang

    diproduksi secara komersil. Beberapa antibiotik telah dapat diproduksi dengan

    kombinasi sintesis mikroorganisme dan modifikasi kimia, antara lain: golongan

    penisilin, sefalosporin, dihidrostreptomisin, klindamisin, tetrasiklin dan rifamisin

    (Doyle, 1993).

    Mikroorganisme penghasil antibiotik meliputi golongan bakteri,

    aktinomisetes, fungi, dan beberapa mikroba lainnya. Kira-kira 70% antibiotik

    dihasilkan oleh aktinomisetes, 20% fungi dan 10% oleh bakteri. Streptomyces

    merupakan penghasil antibiotik yang paling besar jumlahnya. Bakteri juga banyak

    yang menghasilkan antibiotik terutama Bacillus. Namun kebanyakan antibiotik

    yang dihasilkan bakteri adalah polipeptid yang terbukti kurang stabil, toksik dan

    sukar dimurnikan. Antibiotik yang dihasilkan fungi pada umumnya juga toksik,

    kecuali grup penisilin (Doyle, 1993).

    1. Golongan Bakteri

    Di lingkungan tanah yang mendapat aerasi cukup, bakteri dan fungi akan

    dominan. Sedangkan lingkungan yang mengandung sedikit atau tanpa oksigen,

    bakteri berperanan terhadap hampir semua perubahan biologis dan kimia

    lingkungan tanah. Bakteri menonjol karena kemampuannya tumbuh dengan cepat

    dan mendekomposisi berbagai substrat alam.

    Ada berbagai macam pengelompokan bakteri, salah satu penggolongan

    dilakukan oleh Winogradsky, membagi bakteri menjadi 2 kelompok :

    1) Autochthonous atau indigenous. Populasi bakteri ini tidak berfluktiiasi.

    Nutrien didapat dari zat-zat organik tanah dan tidak memerlukan sumber

    nutrien eksternal.

    2) Zymogenous atau organisme yang melakukan fermentasi populasi golongan

    ini paling aktif melakukan transformasi kimia.

    Bakteri penghasil antibiotik terutama dari spesies Bacillus (basitrasin,

    polimiksin, sirkulin), selain itu juga dari spesies Pseudornonas (Pyocyanine),

    chromobacterium (Iodinin) dan sebagainya.

  • 2. Golongan Fungi

    Kebanyakan spesies fungi dapat tumbuh dalam rentang pH yang lebih lebar,

    dari sangat asam sampai sangat alkali. Populasi fungi biasanya mendominasi

    daerah asam, karena mikroba lain seperti bakteri dan aktinomisetes tidak lazim

    dalam habitat asam. Dalam biakan, bahkan fungi dapat tumbuh pada pH 2 -- 3 dan

    beberapa strain masih aktif pada pH 9 atau lebih. Sebagai salah satu organisme

    penghasil antibiotik yang terkenal yaitu : Penicilium (penisilin, griseofulvin),

    Cephalosporium (sefalosporin) serta beberapa fungi lain seperti Aspergillus

    (fumigasin); Chaetomium (chetomin); Fusarium (javanisin), Trichoderma

    (gliotoxin) dan lain-lain

    3. Golongan Aktinomisetes

    Aktinomisetes merupakan mikroorganisme uniseluler, menghasilkan miselium

    bercabang dan biasanya mengalami fragmentasi atau pembelahan untuk

    membentuk spora. Mikroorganisme ini tersebar luas tidak hanya di tanah tetapi

    juga di kompos, lumpur, dasar danau dan sungai. Pada mulanya organisme ini

    diabaikan karena pertumbuhannya pada plate agar sangat lambat. Sekarang

    banyak diteliti dalam hubungannya dengan antibiotik. Jenis organisme ini

    merupakan penghasil antibiotik yang paling besar di antara kelompok penghasil

    antibiotik, terutama dari jenis streptomyces (Bleomisin, Eritromisin, Josamisin,

    Kanamisin, Neomisin, Tetrasiklin dan masih banyak lagi). Di samping itu,

    anibiotik juga dihasilkan dari aktinomisetes jenis Mikromonospora (Gentamisin,

    Fortimisin, Sisomisin); Nocardia (Rifamisin, Mikomisin) dan lain-lain. Di alam,

    aktinomisetes dapat ditemui sebagai konidia atau bentuk vegetatif.

    Dilihat dari daya basminya terhadap mikroba, antibiotika dibagi manjadi 2

    kelompok yaitu yang berspektrum sempit dan berspektrum luas. Walaupun suatu

    antibiotika berspektrum luas, efektifitas klinisnya tidak seperti apa yang

    diharapkan, sebab efektifitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat

    terpilih untuk infeksi yang sedang dihadapi, dan bukan dengan antibiotika yang

    spektrumnya paling luas.

  • Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi dalam 5 kelompok,

    yaitu :

    1. Yang menggangu metabolisme sel mikroba. Termasuk disini adalah :

    Sulfonamid, trimetoprim, PAS, INH.

    2. Yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Termasuk disini adalah :

    Penisilin, sefalosporin, sefamisin, karbapenem, vankomisin.

    3. Yang merusak keutuhan membran sel mikroba. Termasuk disini adalah :

    Polimiksin B, kolistin, amfoterisin B, nistatin.

    4. Yang menghambat sintesis protein sel mikroba. Termasuk disini adalah :

    Streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin,

    netilmisin, eritromisin, linkomisin, klindamisin, kloramfenikol, tetrasiklin,

    spektinomisin.

    5. Yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.

    Termasuk disini adalah : Rifampisin, aktinomisin D, kuinolon.

    2.5 Biodegradasi

    Biodegradasi yaitu pemecahan cemaran organik oleh aktivitas mikroba yang

    melibatkan serangkaian reaksi enzimatik. Umumnya terjadi karena senyawa

    tersebut dimanfaatan sebagai sumber makanan (substrat). Biodegradasi yang

    lengkap disebut juga sebagai mineralisasi, dengan produk akhirnya berupa

    karbondioksida dan air. Proses ini dipakai dalam pengolahan limbah untuk

    menjadi CO2 dan air. Ko-metabolisma (co-metabolism) yaitu kemampuan

    mikroba dalam mengoksidasi atau metabolisasi suatu senyawa tetapi energi yang

    dihasilkan tidak dapat digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan.

    Terjadi jika mikroba secara kebetulan menghasilkan suatu enzim yang mampu

    mendegradasi senyawa tertentu, sehingga dikatakan enzim tersebut tidak spesifik.

    Menurut Munir (2006), Bioremediasi merupakan pengembangan dari

    bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam

    mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam

    mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama bertahun-

    tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik yang berasal

    dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru adalah bahwa

  • teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk

    membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh senyawa-senyawa kimia

    toksik atau beracun.

    Biodegradasi adalah teknologi bioremediasi yang layak untuk polutan

    organik.Telah lama diketahui bahwa mikroorganisme mendegradasi polutan

    lingkungan dalam matriks berbagai lingkungan. Bioremediasi memanfaatkan

    fleksibilitas metabolisme mikroorganisme untuk mendegradasi polutan berbahaya.

    Tujuan dari bioremediasi adalah untuk mengubah polutan organik menjadi

    metabolit berbahaya atau dgn mineral polutan menjadi karbondioksida dan air

    (Munir, 2006).

    Polimer alam, seperti halnya lignin dan polisakarida, dapat terdegradasi

    menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Produk degradasi ini selanjutnya

    dapat dipergunakan oleh organisme hidup sebagai sumber energy atau untuk

    mensintesis senyawa-senyawa baru (termasuk biopolimer). Mekanisme umum

    degradasi polimer menjadi molekul yang sederhana dapat dijelaskan secara

    kimiawi. Organisme hidup mempunyai kemampuan untuk memproduksi

    bermacam-macam enzim yang dapat menghancurkan struktur biopolimer. Kerja

    suatu enzim sebagai katalisator dalam merombak struktur polimer merupakan

    kerja yang spesifik, artinya suatu enzim tertentu hanya memiliki kemampuan

    untuk mengkatalisis suatu reaksi kimia tertentu pula (Munir, 2006).

    Tanpa adanya mikroba, proses penguraian di lingkungan tidak akan

    berlangsung. Kotoran, sampah, hewan, dan tumbuhan yang mati akan menutupi

    permukaan bumi, suatu kondisi yang tidak akan pernah kita harapkan. Sebagai

    akibatnya, siklus nutrisi atau rantai makanan akan terputus. Lintasan biodegradasi

    berbagai senyawa kimia yang berbahaya dapat dimengerti berdasarkan lintasan

    mekanisme dari beberapa senyawa kimia alami seperti hidrokarbon, lignin,

    selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir

    metabolisme, umumnya berlangsung melalui proses yang sama (Munir, 2006).

    Peran Jamur dalam Biodegradasi

    Munir (2006) menjelaskan bahwa polimer alami yang mendapat perhatian

    karena sukar terdegradasi di lingkungan adalah lignoselulosa (kayu) terutama

    bagian ligninnya. Lignin adalah polimer alami dan tergolong ke dalam senyawa

  • rekalsitran karena tahan terhadap degradasi, atau tidak terdegradasi dengan cepat

    di lingkungan. Molekul lignin adalah senyawa polimer organik kompleks yang

    terdapat pada dinding sel tumbuhan dan berfungsi memberikan kekuatan pada

    tanaman. Lignin tersusun dari 3 jenis senyawa fenilpropanoid, yaitu: alkohol

    kumaril, alkohol koniferil, dan alkohol sinapil. Ketiganya tersusun secara random

    membentuk polimer lignin yang amorfus (tidak beraturan).

    Jamur basidiomisetes merupakan kelompok utama pendegradasi

    lignoselulosa. Walaupun beberapa bakteri diketahui dapat mendegradasi lignin,

    tetapi bakteri yang mampu mendegradasi lignin secara kompleks belum pernah

    dilaporkan. Jamur pembusuk kayu menghasilkan enzim-enzim pendegradasi

    lignoselulosa seperti golongan selulase, ligninase, dan hemiselulase (Munir,

    2006).

    Berdasarkan mekanisme degradasi, jamur pembusuk kayu digolongkan ke

    dalam jamur pembusuk putih dan jamur pembusuk cokelat, yang masing-masing

    memiliki metabolisme degradatif yang berbeda. Jamur busuk putih mampu

    mendegradasi seluruh komponen material lignoselulosa termasuk lignin, sedang

    jamur busuk cokelat lebih cenderung mendegradasi bagian selulosa dan

    hemiselulosa tetapi tidak lignin (Green and Highley, 1997 dalam Munir, 2006).

    Penggunaan kultur campuran antara jamur pembusuk putih dan jamur

    pembusuk cokelat memiliki prospek yang cukup tinggi untuk mendapatkan

    glukosa alternatif dari material lignoselulosa (Munir dan Goenadi, 1999). Cooke

    and Rayner (1984), jamur basidiomisetes dan askomisetes memiliki peran yang

    utama dalam degradasi lignoselulosa yang setiap tahunnya diperkirakan terbentuk

    sebanyak 100 gigaton, di mana 20 gigatonnya adalah lignin.

    Dalam proses degradasi lignoselulosa, jamur busuk cokelat menghasilkan

    sejumlah besar asam oksalat (COOH)2. Hal ini menyebabkan turunnya pH

    lingkungan yang cukup drastis, yang selanjutnya menyebabkan hidrolisis selulosa

    secara nonenzimatik (Shimada et al.1991). Proses ini sangat penting karena

    aktivitas enzim selulase belum dapat berlangsung sempurna karena enzim ini

    tidak dapat menembus pori-pori dinding sel yang ukurannya lebih kecil dari

    ukuran enzim.

  • Jamur busuk putih sangat berpotensi dalam proses biodegradasi karena

    kemampuannya dalam mendegradasi berbagai senyawa aromatik, jamur

    pendegradasi lignin telah mendapat perhatian besar dalam bidang bioremediasi.

    Sistem degradasi enzimatis ekstraseluler menyebabkan jamur busuk putih lebih

    toleran terhadap konsentrasi polutan toksik yang lebih tinggi. Selanjutnya,

    mekanisme degradasi nonspesifik yang dimiliki oleh jamur pembusuk putih

    menyebabkan mereka mampu mendegradasi sejumlah besar polutan. Keunggulan

    lain dari jamur pembusuk putih dalam degradasi polutan adalah mereka tidak

    memerlukan pengkondisian untuk polutan tertentu, karena kekurangan nutrien

    dapat menginduksi proses degradasi. Di samping itu, induksi sintesis enzim-enzim

    pendegradasi polutan biasanya tidak terpengaruh oleh banyak sedikitnya polutan

    (Barr and Aust, 1994).

    Pada jamur busuk putih, bila terdapat H2O2, enzim lignin peroksidase

    yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari senyawa PAH (hidrokarbon

    aromatis polisiklis)yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon (Cerniglia and

    Sutherland, 2001). Cincin benzena yang sudah terlepas dari PAH selanjutnya

    dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan digunakan oleh sel mikroba sebagai

    sumber energi.

    Munir (2006) menjelaskan bahwa karena potensinya dalam

    mengakumulasikan logam cukup besar, jamur pembusuk kayu dapat digunakan

    sebagai agen untuk monitor polusi logam di tanah atau di atmosfer atau sebagai

    alat analisis lingkungan yang cukup potensial. Gabriel et al.(1995) melaporkan

    bahwa terdapat hubungan yang erat antara polusi udara dengan kandungan logam

    dalam tubuh buah jamur (fruit body).

  • BAB III

    PENUTUP

    3.1 Simpulan

    1. Beberapa fungsi dari metabolisme pada jamur adalah : untuk

    memperoleh energi kimia dari degradasi zat makanan yang kaya energi,

    Untuk mengubah moleku nutrient menjadi precursor unit pembangun bagi

    makromolekul sel, untuk menggabungkan unitunit pembangun ini

    menjadi protein, asam nukleat, lipida, polisakarida dan komponen

    sel lainya dan untuk membentuk dan mendegradasi biomolekul yang

    diperlukan di dalam fungsi khusus sel.

    2. Sumber energi yang digunakan untuk proses metabolisme pada jamur

    berhubungan dengan sumber nutrisi yang diserapnya. Dapat bersifat

    saprofit dan parasit.

    3. Jalur metabolisme sekunder yang paling penting pada bermacam senyawa

    yang dihasilkan dan jumlah yang diproduksi fungi adalah asetat-malonat

    dan jalur asam mevalonik.

    4. Hasil dari metabolisme sekunder pada kapang dapat berupa Mikotoksin

    dan Antibiotik. Terdapat beberapa jenis mikotoksin utama yang sering

    merugikan manusia, yaitu aflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisin,

    ochratoxin, patulin, trichothecene, dan zearalenone. Sebagai salah satu

    organisme penghasil antibiotik yang terkenal yaitu : Penicilium (penisilin,

    griseofulvin), Cephalosporium (sefalosporin) serta beberapa fungi lain

    seperti Aspergillus (fumigasin); Chaetomium (chetomin); Fusarium

    (javanisin), Trichoderma (gliotoxin) dan lain-lain.

    5. Pada proses biodegradasi, jamur pembusuk kayu digolongkan ke dalam

    jamur pembusuk putih dan jamur pembusuk cokelat, yang masing-masing

    memiliki metabolisme degradatif yang berbeda. Jamur busuk putih mampu

    mendegradasi seluruh komponen material lignoselulosa termasuk lignin,

    sedang jamur busuk cokelat lebih cenderung mendegradasi bagian selulosa

    dan hemiselulosa tetapi tidak lignin

  • 3.2 Saran

    1. Dalam penyusunan makalah, penulis sebaiknya lebih banyak membaca

    referensi dan jurnal yang terbaru agar makalah yang disusun sesuai dengan

    perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

    2. Dalam penyusunan makalah Ilmu Lingkungan yang berjudul Metaboisme

    dan Hasil Metabolisme pada Jamur penulis mengharapkan kritik dan

    saran kepada pembaca karena pada makalah yang disusun masih jauh dari

    kesempurnaan.

  • DAFTAR RUJUKAN

    Bailly J.D., Querin A.; Le Bars-Bailly S., Benard G., Guerre P. 2002. "Citrinin

    Production and Stability in Cheese". Journal of Food Protection 65 (8):

    1317-1321(5).

    Barr, D.P. and Aust, D.A. (1994). Mechanisms of white rot fungi use to degrade

    pollutants, Environ. Sci. Technol. 28: 78-87.

    Bartnicki-Garcia, S. 1989. The Biocheical Cytology of Chitin and Chitosan

    Synthesis in Fungi, Dalam G. Skjak, B. T. Anthonsen and P.A. Sanford

    (Eds). Procedings of the 4th International Conferenceon Chitin and

    Chitosan. Elsevier. Barking-UK: Applied Science.

    Cabib, E. 1987. The Synthesis and Degradation of Chitin. Dalam A. Meister (Ed)

    Advances in Enzymology. Vol. 59, pp. 59 101. New York: An Interscience Publication John Willey and Sons Inc.

    Campbell. 2008. Biologi Jilid 1 Edisi 8 Terjemahan. Jakarta :Erlangga.

    Carlile, M. J. and S.C. Watkinson. 1994. The Fungi. London: Academis Press,

    Harcourt Brace and Company Publishers.

    Cerniglia, C.E. and Sutherland, J.B. (2001). Bioremediation of polycyclic

    aromatic hydrocarbons by ligninolytic and non-ligninolytic fungi. In: Fungi

    in Bioremediation, ed. G.M. Gadd, Cambridge University Press, Cambridge,

    pp. 136-187.

    Cooke, R.G. and Rayner, A.D.M. (1984). Ecology of Saprophytic Fungi.

    Longman, New York.

    Doyle, M. Ellin., Carol E. Steinhart, Barbara A. Cochrane. 1993. Food safety.

    Food Research Institute CRC Press.

    Dwidjoseputro, D. 1978. Pengantar Mikologi Edisi Kedua.Bandung: Alumni.

    Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.

    Gabriel J., Rychlovsky, P. and Krenzelok, M. (1995). Beyllium content in some

    wood-rotting fungi in Czech Republic, Toxicol. Envinron. Chem. 50: 233-236.

    Gandjar, I., Sjamsuridzal W., dan Oetari A.2006. Mikologi Dasar dan Terapan.

    Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.

    Griffin, D. H. 1981. Fungal Physiology. New York: John Wiley and Sons.

    Gwiazdowska D, Pawlak-Lemanska K .2009. "Removal of zearalenone by

    propionibacteria in the simulated human gastrointestinal tract". ISM

    Conference 2009: 119.

    Hamed, K. Abbas. 2005. Aflatoxin and food safety. CRC Press.

    Irawati, E. 2011, Bakteri Homofermentatif. (Online)

    (http://www.blogspot./bakteri-homofermentatif-kamriantiramli.html), Diakses

    tanggal 14 Januari 2015.

    Manfaati, R. 2010. Kinetika Dan Variabel Optimum Fermentasi Asam Laktat

    Dengan Media Campuran Tepung Tapioka Dan Limbah Cair Tahu Oleh

    Rhizopus Oryzae. Tesis Program Magister Teknik Kimia Universitas

    Diponegoro Semarang (Online)(http://eprints.undip.ac.id/25193/1/rintis.pdf),

    diakses pada tanggal 14 Januari 2014.

    Munir E. and Goenadi, D.H. (1999). Bioconversion of oil palm trunk derived

    lignocellulose to sugars. Menara Perkebunan 67 (2): 37-44.

    Munir, Erman. 2006. Pemanfaatan Mikroba Dalam Bioremediasi: Suatu

    Teknologi Alternatif Untuk Pelestarian Lingkungan. Jurnal Mikrobiologi.

    USU e-Repository.

  • Pelczar, Michael J & E. C. S. Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi I. Jakarta: UI

    Press.

    Pramudyanti, I. R., Purwoko, T., dan Pangastuti, A.2004. Pengaruh Pengaturan

    pH dengan CaCO3 terhadap Produksi Asam Laktat dari Glukosa oleh

    Rhizopus oryzae. Bioteknologi 1 (1): 19-24.

    (Online)(http://biosains.mipa.uns.ac.id/C/C0101/C010104. pdf), diakses pada

    tanggal 14 Januari 2014.

    Rapp P, Backhaus S. Formation of extracellular lipases by filamentous fungi,

    yeast and bacteria. Enzyme Microb Technol. 1992; 14: 938-943.

    Ratledge C. 1986. Lipids. In Biotechnology, vol 4. VCH: Weinheim.

    Shimada, M., Akamatsu, Y., Ohta, A. and Takahashi, M.(1991). Biochemical

    relationship between biodegradation of cellulose and formation of oxalic acid

    in brown-rot wood decay. Intern. Res. Group. On Wood Preserv. Doc. No.

    IRG/WP 1427, pp. 1-12.

    Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. Surabaya:UNESA Press.

    Wolf, Frederick A & Frederick T. Wolf. 1947. The Fungi. New York: John wiley

    & Sons, Inc. Chapman & Hall, Limited London.

    Yani, Alvi (2009). "Detoksifikasi Biologis Berbagai Mikotoksin pada Bahan

    Pangan". Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung.