makalah blok 22 depresi berat et causa dm tipe 2-1
DESCRIPTION
.TRANSCRIPT
Depresi Berat ec DM Tipe 2 dan Ulkus DiabetikumIrene Mentari L. Pakan
102013465
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.06 Jakarta 11510
Email: [email protected]
Pendahuluan
Depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa depresi berada pada urutan ke-empat penyakit di
dunia. Sekitar 20% pada wanita dan 12% pada pria, pada suatu waktu dalam kehidupannya
pernah mengalami depresi.
Data diabetes mellitus berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita Diabetes Melitus
setelah India, China dan Amerika Serikat. Tercatat pada tahun 2006, jumlah penyandang
diabetes di Indonesia mencapai 14 juta orang, dan baru 50% penderita yang sadar mengidap
diabetes, sekitar 30% diantaranya melakukan pengobatan secara teratur. Beberapa waktu
yang lalu International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa tahun 2003 terdapat
194 juta orang terkena diabetes tipe 2. Namun pada tahun 2030 diperkirakan jumlah penderita
diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 366 juta orang.
Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan dengan
prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang universal terlepas dari
kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada wanita dua kali lebih besar dari
pria. Depresi tersebar luas, tetapi jumlah dan rata-rata dari gejala fisik dan kognitif
berhubungan dengan gangguan depresi mayor atau major depressive disorder (MDD) yang
berarti banyak orang tidak menunjukkan gejala emosional. Satu dari tujuh orang akan
menderita gangguan psikososial dari MDD.
Diabetes mellitus (DM) mengacu pada sekelompok kelainan metabolik dengan gejala
hiperglikemia. Terdapat beberapa jenis DM dan disebabkan oleh interaksi antara faktor
genetic dan lingkungan. Berdasarkan etiologi yang menyebabkan DM, faktor yang ikut
berperan dalam terjadinya hiperglikemia adalah berkurangnya sekresi insulin, pengurangan
kemampuan menggunakan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa. Kelainan metabolik
yang menyertai DM dapat menyebabkan perubahan patofisiologik sekunder pada berbagai
sistem organ.
Anamnesis
Merupakan suatu wawancara antara pasien dengan dokter untuk mengetahui riwayat
kondisi pasien, riwayat penyakit pasien dahulu, riwayat penyakit keluarga, gejala-gejala yang
dialami pasien. Jenis anamnesis yang dapat dilakukan adalah autoanamnesis dan
alloanamnesis. Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan
sadar. Sedangkan bila pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang
menyertakan kerabat terdekatnya yang mengikuti perjalanan penyakitnya.
Identitas Pasien
Menanyakan kepada pasien seperti nama lengkap pasien, umur pasien, tanggal lahir,
jenis kelamin, agama, alamat, umur, pendidikan dan pekerjaan, suku bangsa.2
Dalam skenario hanya didapatkan seorang wanita berusia 66 tahun.
Keluhan utama
Keluhan ini merupakan keluhan yang diungkapkan pasien. Lamanya keluhan telah
berlangsung harus dicatat.3
Pada skenario 13, keluhan utama pasien adalah mengamuk pada saat dirawat di RS.
Riwayat Psikiatri
Riwayat psikiatri idealnya harus didapatkan baik dari pasien maupun dari sumber
informasi yang lebih terperinci. 3
Riwayat Penyakit Sekarang
Perkembangan gejala perlu dikemukakan secara kronologis bersama dengan faktor
pencetusnya. Gangguan penyerta yang harus diberitahukan. Contohnya, untuk
gangguan episode depresif, perlu dikemukakan gejala biologis dan kognitif. Pengaruh
kondisi pasien terhadap fungsi social juga perlu dicatat. 3
Riwayat Keluarga
Pasien perlu ditanyakan perincian mengenai orangtua dan saudarany, termask umur
mereka pada saat ini atau umur saat meninggal, pekerjaan, kondisi kesehatan dan
hubungannya dengan pasien. Saat perpisahan orangtua atau perceraian perlu
disebutkan bila memang terjadi.3
Riwayat Psikiatri Keluarga
Setiap riwayat gangguan psikiatri dan neurologis (seperti epilepsy) dalam keluarga
perlu diperinci, termasuk sifat gangguan dan terapinya. Pasien perlu ditanyakan
tentang adanya riwayat bunuh diri dalam keluarga.3
Riwayat Pribadi
o Masa Kanak-kanak3
Riwayat ini mencakup perincian tentang:
Tanggal lahir
Tempat lahir
Kelainan sebelum atau saat dilahirkan, dan apakah kelahiran premature?
Tahapan perkembangan dini
Kesehatan masa kanak-kanak, termasuk riwayat “masalah gugup”
Stress emosional masa kecil, termasuk perpisahan (misalnya karena kematian) kerabat
dekat seperti saudara kandung atau orangtua.
o Pendidikan3
Hal ini mencakup perincian tentang:
Umur mulai bersekolah
Jenis sekolah yang diikuti
Hubungan dengan teman sebaya dan guru
Adanya riwayat membolos atau masalah lain atau kesulitan di sekolah
Kemampuan yang telah dicapai
Usia selesai sekolah
Pendidikan terakhir
Riwayat Pekerjaan
Ringkas riwayat pekerjaan, berikan perincian mengenai kenaikan dan penurunan
pangkat. Alasan sering dipecat (misalnya masalah minum alcohol) perlu diteliti.
Kesulitan lain dalam bekerja harus dipaparkan. 3
Riwayat Psikoseksual
Untuk wanita, tanyakan haid pertama, adanya kelainan menstruasi, riwayat kehamilan
dan umur saat menopause terjadi. Orientasi seksual (heteroseksual atau homoseksual)
juga harus ditanyakan. Adanya riwayat kekerasan seksual atau fisik perlu diperinci,
juga riwayat seksual dan perkawinan (termasuk riwayat perselingkuhan) dan adanya
gangguan seksual.3
Riwayat Penyakit Dahulu
Ini merupakan riwayat kronologik dari penyait yang dialami dulu, termasuk sifat
gangguan dan cedera fisik, tempat perawatan, dan jenis pengobatan yang diberikan.
Terapi obat dan efek sampingnya, harus juga ditanyakan, juga hipersensitivitas
terhadap obat.3
Riwayat Psikiatri Dahulu
Riwayat ini mencakup perincian mengenai:3
Sifat penyakit
Lama sakit
Rumah sakit dan bagian rawat jalan yang dikunjungi
Pengobatan yang diterima
Pengobatan psikotropik yang diberikan, serta adanya efek samping
Penggunaan Zat Psikoaktif
o Tembakau
Bila pasien merokok, jenis dan jumlah produk yang mengandung nikotin dan
riwayat merokok sebelumnya.3
o Penyalahgunaan Obat Terlarang
Dapatkan perincian mengenai penyalahgunaan obat saat ini dan dahulu,
termasuk jumlah yang dikonsumsi, cara penggunaan serta akibatnya.3
Riwayat Hukum
Jelaskan secara terperinci adanya riwayat kenakalan dan pelanggaran pidana,
termasuk riwayat hukuman yang pernah dijatuhkan (misalnya denda dan vonis
penjara).3
Kepribadian Pramorbid
Kepribadian pasien terdiri dari ciri khas dan sikap yang menetap sepanjang hidupnya,
termasuk cara berpikir (kognisi), perasaan (afektivitas), dan berperilaku (pengendalian
impuls dan cara berhubungan dengan orang lain serta mengatasi situasi interpersonal.
Bila kepribadian pasien berubah setelah timbulnya gangguan psikiatrik, perincian
kepribadian sebelum gangguan ini harus diperoleh baik dari pasien maupun sumber
informasi lainnya. Hal ini dirangkum sebagai berikut:3
Sikap terhadap orang lain dalam hubungan social, keluarga dan seksual
Sikap terhadap diri sendiri dan karakter
Kepercayaan dan standar moral dan agama
Mood yang dominan
Kegiatan waktu senggang dan minat
Kehidupan khayalan – lamunan dan mimpi buruk
Pola reaksi terhadap stress, termasuk mekanisme pertahanan
Pemeriksaan Fisik
Meliputi 3 bagian yaitu:
1. Pemeriksaan umum2
Menilai keadaan umum pasien : baik/buruk, yang perlu diperiksa dan dicatat
adalah tanda-tanda vital, yaitu :
Kesadaran penderita
Kesakitan yang dialami pasien, dapat dilihat dari raut wajah pasien dan
keluhan ketika datang.
Tanda vital seperti : tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu.
2. Pemeriksaan lokal2
Pemeriksaan lokal ini dapat kita lakukan guna untuk mengetahui keadaan luka
pada kaki pasien.
Inspeksi : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka atau ulkus pada
kulit atau jaringan tubuh pada kako, pemeriksaan sensasi vibrasi/rasa
berkurang atau hilang,
Palpasi : palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.
3. Pemeriksaan psikiatri3,4
Penampilan saat pasien datang, dari penampilan dapat memberikan ciri
khas pada beberapa penyakit psikiatrik, contohnya pada pasien mania
biasanya mereka berpakaian dan berdandan berlebihan tidak sesuai dengan
tempatnya. Contohnya mereka ke dokter seperti akan ke acara pernikahan.
Cara bicara, perhatikan pasien saat bicara. Biasanya pada pasien depresi
mereka cenderung tertutup dan kurang memberi informasi, sedangkan
pada pasien mania, mereka berbicara terus-menerus tiada henti.
Mood atau suasana hati.
Mood biasanya rendah dan sedih, dengan perasaan tanpa harapan; masa
depan tampak suram. Ansietas, iritabilitas, dan agitasi juga dapat terjadi.
Pasien dapat mengeluh kehabisan energy dan dorongan, dan
ketidakmampuan merasakan kenikmatan. Pasien kehilangan minat
melakukan aktivitas normal dan hobi-hobinya.
Pikiran seperti bagaimana perhatian pasien, daya memorinya apakah dia
dapat menentukan sikap, serta cara berbahasa.
Persepsi, tanyakan apakah pasien merasa ada yang berbisik, atau melihat
sesuatu yang tidak dilihat oleh dokter untuk mengetahui apakah pasien
mengalami halusinasi.
Sensorium dimana pasien sering merasa kesemutan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk depresi sampai saat ini tidak ada yang dapat menjadi
patokan utama untuk diagnosis. Jadi untuk mendiagnosis pasien depresi cukup dapat kita
terapi dari anamnesis dan pemeriksaan klinis dan mentalnya saja.
Pemeriksaan glukosa darah yang tinggi mendasari diagnosis seseorang menderita
diabetes mellitus. Pada pasien ini diduga menderita ketoasidosis diabetik lakukan
pemeriksaan glukosa darah untuk meyakinkan benar atau tidaknya pasien tersebut menderita
diabetes mellitus. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. PERKENI membagi alur diagnosis
DM. gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsi, polifagia dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila
ditemukan gejala khas DM, periksa glukosa darah, abnormal satu kali saja sudah cukup untuk
menegakgan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan
dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.2
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3, yaitu: <
140 mg/dL menandakan glukosa darah normal, 140 - < 200 mg/dL menandakan toleransi
glukosa terganggu, ≥ 200 mg/dL menandakan pasien menderita diabetes.2
Jika glukosa darah pasien termasuk dalam interpretasi toleransi glukosa terganggu,
lakukan pemeriksaan penyaring lainnya. Tetapi pemeriksaan penyaring yang khusus
ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya tidak dianjurkan karena di samping biaya
yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Pemeriksaan
penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk
mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah
lima sampai sepuluh tahun kemudian sepertiga kelompok TGT akan berkembang sebagi DM,
sepertiga tetap TGT dan sepertiga lainnya kembali normal. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa
darah puasa.2
Pada penderita ulkus pedis salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan Doppler. Pemeriksaan Doppler ultrasound adalah penggunaan alat untuk
memeriksa alirah darah arteri maupun vena. Pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi tingkat
gangguan pada pembuluh darah arteri maupun vena. Dengan pemeriksaan yang akurat dapat
membantu proses perawatan yang tepat. Pemeriksaan ini sering disebut dengan Ankle
Brachial Pressure Index. Pada kondisi normal, tekanan sistolik pada kaki sama dengan di
tangan atau lebih tinggi sedikit. Pada kondisi terjadi gangguan di area kaki, vena maupun
arteri, akan menghasilkan tekanan sistolik yang berbeda. Hasil pemeriksaan yang akurat
dapat membantu diagnosis kearah gangguan vena atau arteri sehingga menajemen perawatan
juga berbeda.2
Working Diagnosis
Depresi berat ec Ulkus Diabetikum
Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek (mood)
sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek bisa terus
menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang
yang sama, karena itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit dengan hanya satu jenis
serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya ada disebut
bipolar.5
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat dutarakan oleh
pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi dan
marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada “perasaan
hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.6
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat,
merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri.
Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif,
bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal, sosial dan
fungsi pekerjaan.6
Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut PPDGJ-III (Depkes
RI):7
F30 Episode Manik
F30.0 HipomaniaF30.1 Mania tanpa gejala psikotikF30.8 Mania dengan gejala psikotikF30.9 Episode Manik YTT
F31 Gangguan Afektif BipolarF31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanikF31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotikF31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotikF31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
.30 Tanpa gejala somatik
.31 Dengan gejala somatikF31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala
psikotikF31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala
psikotikF31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuranF31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisiF31.8 Gangguan afektif bipolar lainnyaF31.9 Gangguan afektif bipolar ytt
F32 Episode DepresifF32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatikF32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatikF32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotikF32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotikF32.8 Episode depresif lainnyaF32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif BerulangF33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatikF33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
10 Tanpa gejala somatik.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotikF33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotikF33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisiF33.8 Gangguan depresif berulang lainnyaF33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) MenetapF34.0 SiklotimiaF34.1 DistimiaF34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap lainnyaF34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT
F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) LainnyaF38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang lainnya.10 Gangguan depresif singkat berulang
F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDTF39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,
dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik,
gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar. Depresi merupakan
satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan
gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.5,6
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang
tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.5,6
Klasifikasi Diabetes
DM diklasifikasikan berdasarkan proses patogenesis yang menyebabkan
hiperglikemik, dulunya pernah dikriteriakan berdasarkan onset atau tipe terapi yang
diberikan. Dua kategori utama dari DM adalah tipe 1 dan tipe 2. DM tipe 1 merupakan hasil
dari komplit atau ‘near-total’ insulin defisiensi. Sedangkan DM tipe 2 merupakan campuran
kelainan yang heterogen seperti derajat resistensi insulin, kelainan sekresi insulin dan
peningkatan produksi glukosa.8
Klasifikasi Ulkus Pedis
Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori, yaitu kaki
diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan
oleh factor:2
Diabetika neuropati Iskemia Neuroiskemia
Pada ulkus yang dilatar belakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura,
kulit hangat, kalus, warna kulit normal dan lokasi biasanya di plantar, lesi sering berupa
punch out. Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi
tersering adalah di jari. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti; tepi, dasar, ada atau tidak
pus, eksudat, edema, kalus, kedalaman ulkus perlu dinilai dengan bantuan probe steril. Probe
dapat membantu untuk menentukan adanya sinus, mengetahui ulkus melibatkan tendon,
tulang atau sendi. Diabetic iskemik Pada DM dengan iskemik terjadi vaskuler iskemik →
terjadi penyempitan pembuluh darah karena terebentuk plak aterosklerosis pada dinding
pembuluh darah → asupan darah berkurang → agregat platelet juga berkurang → proses
penyembuhan luka sukar terjadi.2
Klasifikasi Ulkus diabetika pada penderita Diabetes mellitus menurut Wagner, terdiri
dari 6 tingkatan:2
0 = Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.
1 = Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit.
2 = Ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan.
3 = Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses.
4 = Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari kaki, bagian depan kaki atau tumit.
5 = Ulkus dengan kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki.
Diagnosis Banding
Tentamen suicidum9
Suicidum (bunuh diri) adalah kematian yang dengan sengaja dilakukan oleh diri
sendiri. Tentamen suicidum (percobaan bunuh diri) adalah upaya yang dilakukan dengan
tujuan menghabisi nyawa sendiri. Gagasan Bunuh Diri adalah pikiran atau ide untuk
menghabisi nyawa sendiri, biasanya terdapat pada seseorang yang peka terhadap stresor,
dapat terjadi pada segala usia, dan dapat berlangsung untuk waktu yang lama tanpa suatu
upaya bunuh diri. Perilaku Bunuh Diri (suicidal behavior) adalah suatu perilaku yang
disengaja atau tidak, dapat membahayakan diri sendiri.
Berbagai faktor umumnya saling berhubungan sebelum bunuh diri dipikirkan menjadi
perilaku bunuh diri. Sangat sering, terdapat masalah kesehatan mental yang mendasari dan
memicu peristiwa yang sangat menekan. Contoh peristiwa yang sangat menekan termasuk
kematian orang yang dicintai, kehilangan teman perempuan atau teman laki-laki, pindah dari
lingkungan sekitarnya (sekolah, tetangga, teman), penghinaan oleh keluarga atau teman,
gagal di sekolah, dan bermasalah dengan hukum. Peristiwa yang sangat menekan seperti
berikut adalah cukup umum diantara anak-anak, meskipun begitu, dan jarang menyebabkan
perilaku bunuh diri jika tidak terdapat masalah-masalah lain yang mendasari.
Orang yang berusaha bunuh diri memerlukan evaluasi segera di bagian gawat darurat
rumah sakit. Setiap jenis usaha bunuh diri harus dilakukan dengan serius, karena sepertiga
dari mereka yang benar-benar bunuh diri mengalami usaha bunuh diri sebelumnya-
kadangkala tampak sepele, seperti melakukan beberapa garukan dangkal pada pergelangan
tangan atau menelan beberapa pil. Ketika orang disekitarnya meremehkan atau
meminimalkan usaha bunuh diri yang tidak berhasil, orang tersebut bisa melihat ini sebagai
sebuah tantangan, dan resiko pada bunuh diri berikutnya meningkat.
Etiopatogenesis6
Penyebab pasti gangguan depresi secara umum masih belum diketahui, tetapi diduga
faktor -faktor dibawah ini ikut berperan sebagai pencetus timbulnya depresi pada seseorang.
a. Faktor Biologis
Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan depresi
berat berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin biogenik (norepinefrin dan
serotonin). Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada beberapa pasien yang
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal yang
rendah serta konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit. Faktor
neurokimia lain seperti adenilate cyclase, phsphotidyl inositol, dan regulasi kalsium mungkin
juga memiliki relevansi penyebab.
Penelitian pada anak pra pubertas dengan gangguan depresif berat dan remaja-remaja
dengan gangguan mood telah menemukan kelainan biologis. Anak pra pubertas dalam suatu
episode gangguan depresif berat mensekresikan hormon pertumbuhan yang secara bermakna
lebih banyak selama tidur dibandingkan dengan anak normal dan anak dengan gangguan
mental nondepresi.
b. Faktor Genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama dari pasien gangguan
depresi berat kemungkinan 1,5 – 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama
kontrol. Memiliki satu orang tua yang terdepresi kemungkinan meningkatkan resiko dua kali
untuk keturunan, memiliki kedua orang tua terdepresi kemungkinan meningkatkan resiko
empat kali bagi keturunan untuk terkena gangguan depresi sebelum usia 18 tahun.
c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengalaman klinis yang telah lama
direplikasikan adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering
mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Hubungan
tersebut telah dilaporkan untuk gangguan depresi berat.
Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling
berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum
usia 13 tahun. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode
depresi adalah kehilangan pasangan.
Bebeapa artikel teoritik mempermasalakan hubungan antara fungsi keluarga dan
onset serta perjalanan gangguan depresi berat. Selain itu, derajat psikopatologi di dalam
keluarga mungkin mempergaruhi kecepatan pemulihan, berkurangnya gejala, dan
penyesuaian pasien pasca pemulihan.
Epidemiologi
Gangguan depresi berat merupakan gangguan yang sering terjadi, dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15 %, kemungkinan sekitar 25 % terjadi pada wanita. Terlepas dari
kultur atau negara, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar pada
wanita dibandingkan laki-laki. Usia onset untuk gangguan depresi berat kira –kira usia 40
tahun. 50 % dari semua pasien, mempunyai onset antara usia 20-50 tahun.2,5
Beberapa data epidemilogi baru–baru ini menyatakan bahwa insidensi gangguan
depresi berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun, jika
pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan dengan meningkatnya penggunaan
alkohol dan zat-zat lain pada kelompok usia tersebut. 5
Angka gangguan depresif berat pada anak–anak pre sekolah diperkirakan adalah
sekitar 0,3 % dalam masyarakat, dibandingkan dengan 0,9 % dalam lingkungan klinis.
Diantara anak-anak usia sekolah dalam masyarakat, kira-kira 2 % memiliki gangguan
depresif berat. Depresi adalah lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan
pada anak usia sekolah.5
Manifestasi Klinis
Ciri-ciri depresi versi American Psychology Association (APA):4
1. Mood yang depresi hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari. Dapat berupa mood
yang mudah tersinggung.
2. Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam seluruh aktivitasnya
3. Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan (5% dari berat tubuh
dalam sebulan) atau suatu peningkatan atau penurunan selera makan yang drastis.
4. Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respon gerakan hampir setiap hari.
5. Perasaan lelah atau kehilangan energi setiap hari
6. Perasaan berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah yang berlebihan hampir
setiap hari
7. Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau berfikir jernih atau untuk
membuat keputusan
8. Pikiran yang muncul berulang tentang kematian atau bunuh diri
Depresi sebagai suatu diagnosa gangguan jiwa adalah suatu keadaan jiwa dengan ciri
sedih, merasa sendirian, putus asa, rendahdiri, disertai perlambatan psikomotorik, atau
kadang malah agitasi,menarik diri dari hubungan sosial, dan terdapat gangguan vegetatif
seperti anoreksia serta insomnia.4
Sedangkan manifestasi klinis pada DM tipe 2:2
1. Polidipsi (banyak minum)
2. Poliphagia (banyak makan) Trias DM (3P)
3. Poliuria (sering buang air kecil)
4. Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Tanda dan gejala ulkus diabetika yaitu:2
o Sering kesemutan.
o Nyeri kaki saat istirahat.
o Sensasi rasa berkurang.
o Kerusakan Jaringan (nekrosis).
o Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea.
o Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
o Kulit kering.
Penatalaksanaan
Depresi
Farmakologi
1. Golongan TCA
Mekanisme aksi: menghambat re-uptake serotonin dan norepinerfin
Contoh obat : amitiptilin, imipramin, klomipramin, desipramin
2. Golongan SNRI
Mekanisme aksi: menghambat re-uptake serotonin dan norepinerfin
Contoh obat: venlafaksin
3. Golongan SSRI
Mekanisme aksi: menghambat re-uptake serotonin secara selektif
Contoh obat: fluoksetin, sentralin, paroksetin, fluvoksamin
4. Golongan MAOI
Mekanisme aksi: menghambat enzim monoamine oksidase
Contoh obat: fenelzin, tranilsipromin
5. Golongan aminoketon
Mekanisme aksi: menghambat re-uptake norepinerfin dan dopamine
Contoh obat: bupropion
6. Golongan triazolopyridin
Mekanisme aksi: antagonis reseptor 5HT, 5HT2A atau menghambat re-uptake
serotonin
Contoh obat: trazodon, nefazodon
7. Golongan tetrasiklik
Mekanisme aksi: antagonis reseptor alfa 2 adrenergik atau 5HT presinaptik
Contoh obat: mirtazapine
Non-farmakologi
a. Terapi perilaku cognitif (cognitif behavioral therapy/CBT)
Dalam sebuah analisis terhadap empat studi komparasi, terapi perilaku kognitif
memiliki efek yang sepadan dengan antidepresan dalam mengatasi depresi berat bagi banyak
pasien. Sebagian besar keberhasilan terapi psikolois tergantung pada keterampilan terapi
psikologis tergantung pada keterampilan terapis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa
terapi perilaku kognitif dengan antidepresan memberikan keuntungan terbesar bagi banyak
pasien, khususnya untuk dhsthymia (depresi kronis). Bukti medis juga telah menemukan
bahwa manfaat daru terapi kognitif bertahan setelah perawatan telah berakhir. Terapi perilaku
kognitid telah terbukti untuk membantu mencegah upaya bunuh diri dimasa mendatang pada
pasien dengan riwayat perilaku bunuh diri.
Terapi kognitif mungkin sangat bermanfaat bagi pasien berikut:
1. Pasien dengan depresi atipikal
2. Remaja denagn gejala depresi berat ringan
3. Wanita dengan depresi postpartum, non-psikotik
4. Anak-anak dari orang tua dengan gangguan dalam kasus ini, terapi harus
melibatkan seluruh keluarga.
b. Terapi interpersonal (ITP)
Mendasarkan sebagian pada teori psikodinamik, terapi interpersonal mengakui adanya
akar depresi pada masa kanak-kanak, tetapi tetap berfokus pada gejala dan masalah-masalah
pada saat ini yang mungkin menyebabkan gangguan depresi. IPT tidak sebegitu spesifik
seperti terapi kognitif atau perilaku. Terapis berusaha untuk mengalihkan perhatain pasien,
yang telah terdistrodi oleh depresi, mengenai interaksi sosial pasien dan keluarga sehari-
harinya secara rinci. Tujuan dari metode pengobatan ini adalah meningkatkan keterampilan
komunikasi dan peningkatan harga diri dalam waktu singkat (3-4 bulan janji dengan
pertemuan setiap minggu). Diantara bentuk depresi yang dapat diatasi dengan IPT adalh
deprei yang disebabkan adanya suasana berkabung, konfilik terpendam dengan orang-orang
yang memiliki hubungan yang dekat perunahan besar dalam hidup, dan keadaan terisolasi.
Sebuah studi metaanlisa dari 13 hasil penelitian yang dilakukan pada kisaran 1974-2002
menunjukan bahwa dalam 9 penelitian, IPT lebih efektif daripada CBT. Namun kombinasi
IPT dan obat-obatan tidak secara signifikan lebih efektif dibandingkan monoterapi obat untuk
terapi akut atau terapi pencegahan.
c. Terapi elektrokonvulsif (ECT)
Terapi elektrokonvulsif (ECT) adalah prosedur yang digunakan untuk membantu
mengobati penyakit-penyakit psikiatrik. Arus listrik dilewatkan melalui otak untuk memicu
kejang (periode singkat aktivitas otak tidak teratur), beralngsung sekitar 40 detik. Pengobatan
tertentu diberikan untuk mencegah kejang menyeluruh seluruh tubuh.
ECT dapat dilakukan pada pasien-pasien depresi yang memiliki kondusi sebagai
berikut:
Depresi berat dengan insmomnia (sulit tidur), perubahan berat, perasaan putus asa
atau rasa berasalah, dan pikiram untuk bunuh diri (menyakiti atau membunuh diri
sendiri) atau pembunuhan (melukai atau membunuh orang lain)
Depresi berat yang tidak merespon antidepresan (obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati depresi) atau konseling
Pada pasien depresi berat yang tidak bisa menggunakan antidepresan
Mania berat yang tidak berespon terhadap pengobatan. Gejala mania parah antara lain
termasuk agitasi, kebingungan, halusinasi atau delusi.
Pasien schizophrenia yang tidak berespon terhadap pengobatan
Diabetes Melitus
Penatalaksanaan DM disebut sebagai 4 pilar yang terdiri atas edukasi (pasien,
keluarga), terapi gizi medis (food planning), latihan jasmani atau aktivitas fisik, dan
intervensi farmakologis untuk menurunkan kadar glukosa darah (obat hipoglikemik oral /
OHO maupun insulin). Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani dalam jangka waktu antara 2-4 minggu. Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
atau dengan suntikan insulin. OHO dapat diberikan tunggal atau dengan kombinasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolic berat seperti ketoasidosis, stress berat, berat badan yang
menurun cepat, adanya ketonuria, dapat menjadi indikasi pemberian insulin segera.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia, dan cara
mengatasinya harus diberitahukan kepada pasien. Untuk pencegahan hipoglikemia, dapat
dilakukan dengan jadwal makan yang teratur, hindari konsumsi alcohol, hindari olahraga
berlebihan, dan makan snack sekitar 1 jam sebelum berolahraga.2
1. Edukasi2
Promosi perilaku sehat seperti pola makan sehat dan teratur, melakukan aktivitas fisik
dan latihan jasmani secara rutin, menggunakan obat diabetes atau insulin secara teratur sesuai
dosis yang diberikan, melakukan pemantauan glukosa darah mandiri secara teratur,
melakukan perawatan kaki secara berkala, serta mengerti keadaan hipoglikemik. Edukasi
pada pasien yang perlu disampaikan seperti pengertian tentang perjalanan penyakit DM,
makan pentingnya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM dan risikonya, intervensi
farmakologis dan non farmakologis serta target perawatan, interaksi asupan makanan dengan
aktivitas fisik dan OHO serta insulin, cara pemantauan glukosa mandiri, mengatasi keadaan
gawat darurat seperti rasa sakit atau hipoglikemik, pentingnya latihan jasmani teratur,
pentingnya perawatan kaki, dan cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
2. Terapi Gizi Medis (TGM)2
Setiap penderita diabetes harus menyesuaikan TGM dengan kebutuhannya dengan
komposisi makronutrisi (KH, lemak, protein) dan mikronutrisi (vitamin dan mineral) yang
cukup dan seimbang serta dengan jadwal makan yang teratur. Karbohidrat dianjurkan sebesar
45-65 % total asupan energy. Jenis KH yang diberikan termasuk karbohidrat kompleks dan
berserat tinggi. Jadwal makan penderita DM dibagi menjadi 6 kali setiap 3 jam, dengan 3 kali
makan besar dan 3 kali makan kecil seperti buah-buahan dengan interval setiap 3 jam. Lemak
dianjurkan sekitar 20-25 % dari total kebutuhan kalori dengan lemak tidak jenuh < 10% dan
lemak jenuh < 7%. Protein diberikan 10-20% dari total asupan energy dengan sumber protein
yang baik seperti ikan, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Sayuran yang dianjurkan buncis dan hindari nangka
muda. Untuk buah dianjurkan papaya, kedondong, salak, pisang ambon, tomat, dan
semangka. Buah yang harus dihinari seperti sawo, nanas, rambutan, durian, nangka, dan
anggur.
3. Latihan Jasmani2
Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu selama rentang waktu 30-
60 menit disertai dengan aktivitas fisik sehari-hari. Latihan jasmani bermanfaat untuk
menurunkan atau menjaga berat badan, meningkatkan kebugaran, memperbaiki sensitivitas
insulin sehingga glukosa darah dapat terkontrol. Latihan jasmani yang dianjurkan yang
berintensitas ringan-sedang seperti jalan kaki, bersepeda, jogging, senam atau berenang
hingga didapat maximal heart rate 60-70%. Maximal heart rate (MHR) didapat dari (220-
umur) karena intensitas harus disesuaikan dengan usia dan kemampuan tubuh.
Ulkus Pedis
Pencegahan dan pengelolaan ulkus diabetik untuk mencegah komplikasi lebih lanjut adalah:2
1. Memperbaiki kelainan vaskuler.
2. Memperbaiki sirkulasi.
3. Pengelolaan pada masalah yang timbul (infeksi, dll).
4. Edukasi perawatan kaki.
5. Pemberian obat-obat yang tepat untuk infeksi (menurut hasil laboratorium lengkap)
dan obat vaskularisasi, obat untuk penurunan gula darah maupun menghilangkan
keluhan/gejala dan penyulit DM.
6. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.
7. Menghentikan kebiasaan merokok.
8. Merawat kaki secara teratur setiap hari, dengan cara :
Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih.
Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air, suam-suam kuku
dengan memakai sabun lembut dan mengeringkan dengan sempurna dan hati-
hati terutama diantara jari-jari kaki.
Memakai krem kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak-
retak, supaya kulit tetap mulus, dan jangan menggosok antara jari-jari kaki
(contoh: krem sorbolene).
Tidak memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi kering dan
retak-retak.
Menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki secara
lurus dan kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah
dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku lembut.
Kuku kaki yang menusuk daging dan kalus, hendaknya diobati oleh podiatrist.
Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa, yang bias tergelincir; dan ini
dapat menyebabkan luka pada kaki. Jangan menggunakan penutup
kornus/corns. Kornus-kornus ini seharusnya diobati hanya oleh podiatrist.
Memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat kalus, bula, luka dan
lecet.
Menghindari penggunaan air panas atau bantal panas.
Penggunaan alas kaki tepat, dengan cara :
1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir.
2. Memakai sepatu yang sesuai atau sepatu khusus untuk kaki dan nyaman
dipakai.
3. Sebelum memakai sepatu, memerika sepatu terlebih dahulu, kalau ada batu
dan lain-lain, karena dapat menyebabkan iritasi/gangguan dan luka
terhadap kulit.
4. Sepatu harus terbuat dari kulit, kuat, pas (cukup ruang untuk ibu jari kaki)
dan tidak boleh dipakai tanpa kaus kaki.
5. Sepatu baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati.
6. Memakai kaus kaki yang bersih dan mengganti setiap hari.
7. Kaus kaki terbuat dari bahan wol atau katun. Jangan memakai bahan
sintetis, karena bahan ini menyebabkan kaki berkeringat.
8. Memakai kaus kaki apabila kaki terasa dingin.
9. Menghindari trauma berulang, trauma dapat berupa fisik, kimia dan termis,
yang biasanya berkaitan dengan aktivitas atau jenis pekerjaan.
Menghidari pemakaian obat yang bersifat vasokonstriktor misalnya adrenalin,
nikotin.
Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan memeriksa kaki setiap control
walaupun ulkus diabetik sudah sembuh.
Komplikasi
Bunuh diri merupakan kematian yang diperbuat oleh sang pelaku sendiri secara
sengaja. Pikiran bunuh diri dan usaha percobaan bunuh diri merupakan kasus yang sering
menampilkan diri di UGD. Tema umum yang menyebabkan bunuh diri termasuk krisis yang
membuat penderitaan yang amat sangat dan rasa putus asa dan tak berdaya, konflik antara
hidup dan sress yang tak tertahankan, penyempitan dari pilihan jalan keluar yang dilihat
pasien serta keinginan untuk melarikan diri dari hal itu. Pikiran bunuh diri terjadi pada orang
yang rentan dalam reaksi terhadap beraneka stresor pada tiap umur dan terus merupakan
gagasan untuk jangka waktu lama tanpa suatu usaha percobaan bunuh diri.9
Prognosis
Hasil episode depresif berbeda-beda tetapi pada umumnya semakin lama follow-up
semakin baik. Resiko kekambuhan berkurang jika obat antidepresan diteruskan selama 6
bulan setelah akhir episode depresif. Secara keseluruhan, terdapat angka bunuh diri sekitar
9%.3
Kesimpulan
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya. Depresi dapat disebabkan berbagai faktor,
salah satunya faktor psikososial dan faktor biologic. Faktor psikososial dipengaruhi oleh
peristiwa kehidupan dan stress lingkungan. Faktor biologik berhubungan dengan kadar
serotonin di dalam tubuh. Serotonin secara tidak langsung berpengaruh terhadap pengaturan
gula darah seseorang, dimana penurunan kadar gula darah akan mengurangi kadan serotonin.
Penurunan kadar serotonin ini yang dapat mempengaruhi mood seseorang hingga dapat
menimbulkan depresi, efek dari depresi ini juga dapat memperparah keadaan penderita
diabetes sehingga dapat menyebabkan komplikasi seperti ulkus pedis. Penatalaksanaan yang
tepat dan cepat sangat diperlukan untuk mengatasi penyakit ini
Daftar Pustaka
1. Amir N. Depresi. Dalam: Aspek neurobiologi diagnosa dan tatalaksana. Jakarta: Balai
penerbit, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005. h.1-4.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.1935-88.
3. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku ajar psikiatri. Edisi ke – 2. Jakarta: EGC;
2011. h.65-186.
4. Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Psikiatri: catatan kuliah. Jakarta: Penerbit
EGC; 2005. h.5-7.
5. Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI;
2007. h.89-101
6. Kaplan, Sadock. Sinopsis psikiatri. Jilid 2. Edisi 7. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997.
h.57-88.
7. PPDGJ III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1993. h.137-59
8. Power CA. Diabetes mellitus. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J (editor). Harrison’s principles of internal medicine. 18 th Ed.
Vol II. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies; 2011. h.2968-3002
9. Kaplan, Harold I. Ilmu kedokteran jiwa darurat. Jakarta: Widya Medika; 2005. h.23-5.