makalah birokrasi

79
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 j.o Undang-Undang No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah merupakan landasan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemeritahan daerahnya sendiri. Otonomi daerah menciptakan ruang gerak yang lebih bebas dalam membuat kebijakan dan peraturan daerah yang melibatkan pihak-pihak terkait yang sesuai dengan pemahaman dan kebutuhan masyarakat masing-masing daerah tersebut. Dengan otonomi daerah diharapkan terjadi peningkatan pelayanan publik sekaligus memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat. Desentralisasi jika dilihat dari latar belakang sejarahnya bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan publik. Artinya hakekat dari desentralisasi adalah pelayanan. Dorongan atas pelaksanaan desentralisasi, muncul sebagai dampak dari adanya tuntutan akan perlunya

Upload: siwi-eka

Post on 07-Feb-2016

67 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

politik

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang berdasarkan pada Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 j.o Undang-Undang No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan

Daerah merupakan landasan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda

pemeritahan daerahnya sendiri. Otonomi daerah menciptakan ruang gerak yang

lebih bebas dalam membuat kebijakan dan peraturan daerah yang melibatkan pihak-

pihak terkait yang sesuai dengan pemahaman dan kebutuhan masyarakat masing-

masing daerah tersebut. Dengan otonomi daerah diharapkan terjadi peningkatan

pelayanan publik sekaligus memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat.

Desentralisasi jika dilihat dari latar belakang sejarahnya bermuara pada

peningkatan kualitas pelayanan publik. Artinya hakekat dari desentralisasi adalah

pelayanan. Dorongan atas pelaksanaan desentralisasi, muncul sebagai dampak dari

adanya tuntutan akan perlunya percepatan pelayanan yang harus dilakukan oleh

pemerintah kepada masyarakat.

Untuk menjawab tuntutan ini maka penyerahan pemberian layanan kepada

lembaga yang terdekat dengan masyarakat, yang secara hirarkis adalah penyerahan

peran pemberian layanan publik kepada lembaga pemerintah dibawahnya adalah hal

mutlak dilakukan.

Hal tersebut sejalan dan sesuai dengan tujuan otonomi daerah berdasarkan

penjelasan umum (butir a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yaitu untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta

masyarakat.

Page 2: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

2

Menurut Ryaas Rasyid (1997) bahwa kalau kita percaya pemerintahan

dibentuk untuk menjaga suatu sistem ketertiban, dan bahwa pemerintah

bertanggung jawab memberi pelayanan kepada masyarakat, bukan untuk melayani

dirinya sendiri, maka kita akan mudah menerima asumsi bahwa pemerintahan yang

baik adalah yang dekat kepada masyarakat. Asumsinya, kalau pemerintahan berada

dalam jangkauan masyarakat maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat,

hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif, dan produktif.

Kondisi pelayanan publik di Indonesia masih diwarnai oleh prosedur yang

berbelit-belit, akses yang sulit, biaya yang tidak transparan, waktu penyelesaian

yang tidak jelas dan banyaknya praktek pungutan liar dan suap yang tidak jelas.

Pelayanan publik dikantor pemerintahan di Indonesia masih terbilang buruk,

berdasarkan hasil survei yang dilakukan Bank Dunia dari 157 negara, Indonesia

berada di urutan 135 dalam kualitas pelayanan publiknya.

S.P. Siangian (1996 : 39), mengatakan bahwa untuk memahami beberapa

masalah yang sering menjadi keluhan publik terkait pelayanan birokrasi

pemerintahan oleh aparat, diantaranya dapat disebutkan:

1. Memperlambat proses penyelesaian pemberian izin;

2. Mencari berbagai dalih, seperti kekurang lengkapan dokumen pendukung,

keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih lain yang sejenis;

3. Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain;

4. Sulit dihubungi;

5. Senangtiasa memperlambat dengan menggunakan kata-kata “sedang

diperoses”.

Page 3: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

3

Kita semua menyadari bahwa pelayanan publik selama ini bagaikan rimba

raya bagi banyak orang. Amat sulit untuk memahami pelayanan yang

diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan

pada begitu banyaknya ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan yang

namanya birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan ini itu bisa

diperolehnya. Begitu pula dengan sebarapa besar dana yang perlu disiapkan dalam

pengurusan-pengurusan yang berkaitan dengan pelayanan birokrasi. Baik harga

maupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau dengan masyarakat sehingga banyak

orang yang kemudian enggan berurusan dengan birokrasi publik.

Pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Pelayanan

publik pada umumnya masih menunjukkan ketidakpastian. Ketidakpastian harga,

prosedur, maupun waktu. Pengurusan perizinan menjadi molor, ditambah lagi

pungutan liar disana-sini. Konsekwensinya secara ekonomis, timbul biaya ekonomi

yang tinggi. Sedangkan pelayanan publik sudah merupakan hak setiap warga negara

yang wajib dipenuhi karenanya negara berkewajiban menyelenggarakan sejumlah

pelayanan guna memenuhi hak-hak dasar warganya yang dijamin oleh konstitusi

dalam hal ini Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik.

Semuanya itu berdampak pada rendahnya daya saing Indonesia dibanding

negara-negara berkembang lainnya. Kondisi ini terjadi karena organ pelayanan

publik tidak pernah menyadari hal tersebut, yang diperparah lagi dengan korupsi

yang mengerogoti, sehingga kualitas pelayanan publik di Indonesia jauh dari

harapan warga. Organ pelayanan publik mancakup sumbar daya manusianya,

lembaga yang memberikan pelayanan, dan proses tata laksana pelayanan yang tidak

dijalankan sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku.

Page 4: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

4

BAB II

2.1 PENGERTIAN BIROKRASI

Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pengertian, yaitu: Pertama,

menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan

birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian

sumberdaya dalam suatu organisasi besar. Pengertian ini berpadanan dengan istilah

pengambilan keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang

membedakan antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain. Pengertian ini lebih

menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003).

Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang berfungsi

dalam pemerintahan (Castle, Suyatno, dan Nurhadiantomo, 1983).

Dalam kehidupan sehari-hari istilah Birokrasi setidak-tidaknya dimaknai

sebagai berikut (Albrow dalam Zauhar, 1996):

1. Bureaucracy as Rational Organization

Birokasi sebagai Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi

dimaknai sebagai suatu organisasi yang rasional dalam melaksanakan setiap

aktivitasnya. Setiap tindakan birokrasi hendaknya mengacu pada

pertimbangan-pertimbangan rasional.

2. Bureaucracy as Rule by Official

Birokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat. Birokrasi

merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para pejabat dalam

rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan itu dibuat

guna mempermudah proses pelayanan publik. Namun pada kenyataannya

aturan tersebut sering disalahgunakn demi kepentingan pejabat yang

bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi antipati dengan berbagai aturan

yang dibuat oleh pejabat publik dan cenderung tidak ditaati.

Page 5: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

5

Bureaucracy as Organizational Ineficiency

Birokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh organisasi. Pemborosan

(ineficiency) yang dimaksudkan adalah pemborosan dalam segi waktu, tenaga,

finansial maupun sumber daya lainnya. Seringkali niat baik birokrasi untuk

memberikan layanan yang efisien justru berbalik menjadi layanan yang tidak efisien

dan mengecewakan masyarakat.

Karena itu masyarakat menjadi apatis terhadap berbagai slogan efisiensi yang

disampaikan oleh aparat birokrasi. Semangat debirokratisasi menjadi tidak bermakna

karena tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku para pejabat yang tidak konsisten

dan konsekuen dengan pernyataannya. Birokrasi justru dianggap sebagai tempat

bersarangnya berbagai penyakit organisasi modern seperti pembengkakan pegawai,

biaya tinggi dan sulit beradaptasi dengan lingkungannya.

1. Bureaucracy as Public Administration

Birokrasi sebagai Administrasi Publik. Birokrasi dalam hal ini disama artikan

dengan administrasi publik. Administrasi Publik adalah proses pengelolaan

sumber daya publik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat.

Birokrasi adalah unsur pelaksana dari administrasi publik agar tujuan

pelayanan kepada masyarakat tercapai secara efektif, efisien dan rasional.

2. Bureaucracy as Administration by Officials

Birokrasi sebagai Administrasi yang dilaksanakan oleh para pegawai. Dalam

hal ini pemahaman terhadap makna birokrasi hampir sama dengan

bureaucracy as rule by official dan bureaucracy as public administration.

3. Bureaucracy as the Organization

Birokrasi sebagai Organisasi. Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi

memiliki struktur dan aturan-aturan yang jelas dan formal. Organisasi

merupakan suatu sistem kerjasama yang melibatkan banyak orang, dimana

setiap orang mempunyai peran dan fungsi serta tugas yang saling mendukung

demi tercapainya tujuan organisasi.

Page 6: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

6

Organisasi sebagai sistem kerjasama berarti: (a) sistem mengenai pekerjaan-

pekerjaan yang dirumuskan secara baik, dimana masing-masing mengandung

wewenang, tugas dan tanggung jawab yang memungkinkan setiap orang dapat

bekerjasama secara efektif; (b) sistem penugasan pekerjaan kepada orang-orang

berdasarkan kekhususan bidang kerja masing-masing; (c) sistem yang terencana dari

suatu bentuk kerjasama yang memberikan peran tertentu untuk dilaksanakan kepada

anggotanya.

1. Bureaucracy as Modern Society

Birokrasi merupakan ciri dari masyarakat modern. Bagi masyarakat modern

keberaturan merupakan sebuah kemestian. Keberaturan itu dapat dicapai jika

dilaksanakan oleh suatu institusi formal yang dapat mengendalikan perilaku

menyimpang masyarakat. Institusi formal itu adalah birokrasi.

Secara etimologi Birokrasi berasal dari istilah ‘buralist’ yang dikembangkan

oleh Reiheer von Stein pada 1821, kemudian menjadi ‘bureaucracy’ yang

akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersoal dan

leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).

Birokrasi menurut Evers dalam Zauhar (1996) dapat diklasifikasikan ke dalam

tiga kategori yaitu:

a. Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat

administrasi publik. Makna ini adalah sejalan dengan ide Weber tentang

birokrasi, dan oleh Evers dinamakan Birokrasi Weber (BW).

b. Birokrasi dipandang sebagai bentuk organisasi yang membengkak dan jumlah

pegawai yang besar. Konsep inilah yang sering disebut Parkinson Law.

c. Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud

mengontrol kegiatan masyarakat. Oleh Evers (dalam Zauhar) disebut

Orwelisasi.

Page 7: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

7

Dengan demikian maka Istilah Birokrasi dalam masyarakat dimaknai secara

diametral (bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin mencapai titik temu):

1. Secara Positif: Birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mencapai

tujuan tertentu. Dengan adanya alat yang efisien dan efektif ini maka tujuan

suatu organisasi (privat maupun publik) lebih mudah tercapai.

2. Secara Negatif: Birokrasi sebagai alat untuk memperoleh, mempertahankan

dan melaksanakan kekuasaan. Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan

kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static), tatacara

yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat

pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri

terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent).

Birokrasi seperti ini menurut Marx bersifat parasitik dan eksploitatif.

Dengan demikian maka Birokrasi dapat juga dimaknai sebagai suatu sistem kerja

yang berlaku dalam suatu organisasi (baik publik maupun swasta) yang mengatur

secara ke dalam maupun keluar.

Mengatur ke dalam berarti berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut

hubungan atau interaksi antara manusia dalam organisasi juga antara manusia dengan

sumber daya organisasi lainnya. Sedangkan mengatur keluar berarti berhubungan

dengan interaksi antara organisasi dengan pihak lain baik dengan lembaga lain

maupun dengan individu-individu.

Konsep birokrasi sesungguhnya berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip

organisasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun

birokrasi yang keterlaluan seringkali justru menimbulkan efek yang tidak baik.

Mouzelis menambahkan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional,

struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang

setinggi-tingginya.

Page 8: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

8

Di samping diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi juga sering

dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang negatif ini birokrasi dimaknai sebagai

sebagai suatu proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang mahal dan

menimbulkan keluh kesah yang pada akhirnya ada anggapan bahwa birokrasi itu

tidak efisien dan bahkan tidak adil.

Biasanya masalah administrasi yang kompleks dan ruwet terdapat pada organisasi

besar, seperti organisasi pemerintahan. Akan tetapi, sebenarnya birokrasi tidak

dibatasi hanya pada institusi sektor publik saja. Serikat Dagang, Universitas, dan

LSM merupakan contoh birokrasi di luar pemerintah.

Berikut ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:

1. Max Weber

Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam

masyarakat modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan

sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah:

pertama, seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua,

bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-

tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu.

Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik,

sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat

produksi.

Tetapi pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja: ia

memiliki otoritas. Karena pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama

inilah sumbangannya, ia berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan

tercakup dalam administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya

sendiri dan fungsinya sebagai administrasi). Bagi Weber membicarakan

pejabat-pejabat administrasi adalah bertele-tele.

Page 9: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

9

Meskipun demikian konsep tersebut muncul pertama kalinya. Perwira

Tentara, Pendeta, Manajer Pabrik semuanya adalah pejabat yang

menghabiskan waktunya untuk menginterpretasikan dan memindahkan

instruksi tertulis. Ciri pokok pejabat birokrasi adalah orang yang diangkat,

bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini Weber telah hampir sampai pada

definisi umumnya yang dikenakan terhadap birokrasi.

Weber memandang Birokrasi sebagai birokrasi rasional atau ideal

sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh

lebih penting dari seluruh proses sosial (Sarundajang, 2003).

1. Farel Heady (1989):

Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu:

hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan

dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang

antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas

dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan.

Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat

hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan

untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional. Dalam hal

ini seorang birokrat bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan

wewenangnya, melainkan orang yang sangat profesional dalam menjalankan

tugas dan wewenangnya tersebut.

2. Hegel:

Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di

dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang

memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili

kepentingan khusus dalam masyarakat. Hegel melihat, bahwa birokrasi

merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara kepentingan

masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda.

Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam rangka

Page 10: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

10

menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan

masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.

3. Karl Marx

Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi

merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas

sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan

privilage dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis. Dalam pandangan

Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang

diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah

(the have not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka

sendiri. Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan

penguasa terhadap rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu

pada birokrasi yang sebenarnya hanya menjadi alat saja.

4. Blau dan Meyer

Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan

kemandegan struktural (structural static), tata cara yang berlebihan (ritualism)

dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation)

serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat

(constrain of dissent). Dengan demikian Blau dan Meyer melihat bahwa

birokrasi adalah sesuatu yang negatif yang hanya akan menjadi masalah bagi

masyarakat.

5. Yahya Muhaimin

keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas

membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima

gaji dari pemerintah karena statusnya itu.

Page 11: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

11

2.2 Konsep Perilaku Birokrasi

Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik ikut ditentukan oleh

perilaku aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan masyarakat, namun

dalam kenyataannya pelaksanaan pelayanan publik belum optimal karena tidak

tersedianya aparat pelayanan yang profesional, berdedikasi, akuntabel dan

responsif serta loyal terhadap tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara dan

pelayan masyarakat. Perilaku birokrasi baik yang membangun citra pelayanan

publik berkualitas prima maupun yang berperilaku sebaliknya, tampaknya tidak

terlepas dari keterkaitannya dengan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh setiap

individu birokrat.

Perilaku birokrasi timbul sebagai akibat interaksi antara karakteristik

individu dengan karakteristik birokrasi. Karakteristik individual mencakup

persepsi, pengambilan keputusan pribadi, pembelajaran dan motivasi (Robbins,

2003:31). Menurut Thoha (2002) bahwa karakteristik individual meliputi

kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan pengharapan. Perbedaan

karakteristik individu tersebut menyebabkan perbedaan perilaku mereka. Setiap

individu mempunyai karakteristik yang berbeda. Mereka mempunyai nilai,

kepercayaan, motivasi, dan kemampuan yang berbeda. Perbedaan tersebut

menyebabkan perbedaan perilaku mereka. Namun demikian ikatan utama yang

menyatukan perilaku mereka adalah tujuan organisasi. Hal ini penting mengingat

perilaku mengarah kepada tujuan organisasi.

Organisasi birokrasi sebagai wadah untuk mencapai tujuan pelayanan dan

perlindungan masyarakat mempunyai karakteristik adanya hirarki, tugas,

wewenang, tanggungjawab, sistem reward, dan sistem kontrol (Thoha, 2002).

Menurut Lubis & Martani (1987), dan Robbins (2003), karakteristik birokrasi

mencakup speselisasi, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali,

sentralisasi dan desentralisasi dan formalisasi. Dengan karakteristik yang

dimilikinya, birokrasi dapat mengelola fungsi-fungsi organisasi dalam mencapai

tujuannya.

Page 12: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

12

Oleh karena itu menurut Gibson (1989), struktur organisasi mempengaruhi

perilaku manusia yang mengendalikan organisasi. Adapun Robbins (2003)

menjelaskan bahwa perilaku mengarah kepada pencapaian tujuan dalam

organisasi. Salah satu fungsi birokrasi pemerintah yang utama adalah

menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum

pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan

instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif,

berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu

melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik, maka organisasi birokrasi harus

profesional, tanggap, dan aspiratif terhadap berbagai tuntutan dan kebutuhan akan

pelayanan kepada masyarakat. Seiring dengan hal tersebut, pembinaan aparatur

negara (aparatur birokrasi) harus dilakukan secara terus-menerus agar dapat

menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu

menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan, menggerakkan pembangunan

secara lancar dan penyelenggaraan pelayanan umum (masyarakat) dengan

dilandasi semangat dan sikap pengabdian kepada masyarakat.

Kajian lain menjelaskan, kepuasan kerja, desain pekerjaan berpengaruh

terhadap kinerja pegawai yang rendah sehingga membentuk perilaku birokrasi

tradisional (Parhusip, 2006). Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa alasan

mengapa penelitian ini penting; (1) kinerja birokrasi dalam pengelolaan sektor

publik belum optimal, dimana kritik dan komplain masyarakat terhadap birokrasi

masih cukup signifikan pada pemerintah (2) Peran birokrasi masih menonjol dan

dominan dalam pengelolaan sektor publik. Oleh karena itu, ekspektasi masyarakat

terhadap kinerja birokrasi cukup tinggi; (3) Salah satu aspek yang sangat

menentukan kinerja birokrasi adalah aspek perilaku yang mempengaruhi baik dan

buruknya penampilan birokrasi. Saat ini perilaku birokrasi lebih dikesankan

sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas dan fungsi birokrasi sebagai

perumusan kebijakan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat.

Page 13: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

13

Maka ketika berbicara masalah pola perilaku birokrasi Davis (1985), yaitu

perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial.

Perilaku otokratik dan perilaku kustodial termasuk kategori perilaku yang

tradisional dimana setiap birokrat hanya berorientasi kekuasaan, otoritas, dan

kewenangan, pemenuhan kebutuhan pokok serta mengeksplorasi sumber daya

ekonomi organisasi untuk diri dan kelompoknya. Perilaku suportif dan kolegial

termasuk kategori perilaku birokrasi modern dimana setiap individu memberi

dukungan yang tinggi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran organisasi, serta

organisasi memberi penghargaan yang tinggi pula terhadap kinerja birokrat.

Karakteristik Birokrat Manusia yang terlibat dalam suatu organisasi

merupakan individu-individu yang memiliki karakteristik khas yang melekat

dalam dirinya. Siagian (1997) memandang bahwa karakteristik khas yang dibawa

manusia dalam organisasi inilah yang akan membentuk perilaku administrasinya.

Perilaku individu yang tercermin dalam tabiat dan sifat merupakan pencerminan

dari kepribadian individu. Dalam hal ini, setidaknya terdapat 4 (empat) faktor

pembentuk perilaku seseorang, yaitu: (a) faktor genetik, (b) faktor pendidikan, (c)

faktor lingkungan, dan (d) faktor pengalaman. Dengan hanya mempertimbangkan

faktor dalam diri manusia, Supriatna (2000), mengemukakan bahwa terdapat 4

(empat) faktor yang membentuk tingkah laku seseorang yaitu: (a) pengamatan

(persepsi), (b) sikap, (c) nilai, dan (d) motivasi. Faktor-faktor tersebut dapat

membentuk efektifitas seseorang atau karyanya.

Selanjutnya, efektifitas (karya), kepuasan kerja dan motivasi dipengaruhi

rancangan kerja (job design) yang meliputi struktur kerja, tugas dan kewajiban.

Sejalan dengan pendapat Supriatna di atas, Bryant dan White (1989) selain

mengidentifikasi faktor dari dalam diri individu juga mengungkapkan faktor

lingkungan organisasi dalam model sosial-psikologis.

Page 14: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

14

Bryant dan White (1989), mengatakan bahwa setidaknya terdapat 8

(delapan) determinan utama penyebab perilaku manusia, yaitu: (a) nilai-nilai, (b)

emosi, (c) sikap-sikap, (d) struktur sosial, (e) peran dalam organisas, (f) teknologi,

(g) peristiwa atau kejadian tertentu, dan (h) lingkungan baik berupa lingkungan

sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Sedangkan dalam model rasional,

motivasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi individu dalam berperilaku

dalam organisasi.

Studi sistematis yang dilakukan oleh (Robbins:2003:31) menunjukkan

bahwa ada enam variabel tingkat individual yang mempengaruhi perilaku individu,

yaitu 1) karakteristik biologis (seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan dan

masa kerja), 2) kemampuan, 3) pembelajaran, 4) persepsi, 5) pengambilan

keputusan pribadi, dan 6) motivasi. Pandangan yang senada juga dikemukakan

oleh Kretner dan Kinicki (2005) dimana perilaku individu dipengaruhi oleh

kepribadian, sikap, kemampuan, motivasi dan persepsi. Masih sejalan dengan itu,

Thoha (2002) menambahkan aspek kepercayaan, pengalaman dan pengharapan.

Karakteristik individual ini saling memberi konstribusi terhadap timbulnya

perilaku seseorang. Perbedaan perilaku disebabkan perbedaan masing-masing

faktor yang ada pada diri seseorang. Berdasarkan uraian tentang karakteristikl

yang mempengaruhi perilaku individu, maka dapat digarisbawahi bahwa faktor

pembentuk utama perilaku individu adalah sikap, kemampuan dan motivasi. Tiga

faktor ini menjadi kunci terhadap terbentuknya perilaku individu dalam organisasi.

Beberapa konsep perilaku individu seperti yang didiskusikan di atas memasukkan

faktor kemampuan, sikap, dan motivasi seperti yang dikemukakan oleh Thoha

(2002), Robbins (2003), Kreitner dan Kinicki (2005) serta Bryant dan White

(1989).

TIPOLOGI BIROKRASI PUBLIK

Page 15: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

15

Tipologi birokrasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Menurut Zauhar (1996) dilihat dari

perspektif otoritasnya, dikenal adanya birokrasi tradisional, birokrasi karismatik, dan birokrasi

legal rasional.

Sumber legitimasi Birokrasi Tradisional adalah waktu, yang bersumber pada established

belief in the sanctity of immerial traditions and the legitimacy of the status of those exercising

under them. Sumber legitimasi Birokrasi Kharismatis, adalah kepribadian yang luar biasa

yang dimiliki pemimpin, dan bersumber pada devotion to the spesific and exemplary

character of an individual person and the normative patterns or orde revealed ordainded by

him.

Birokrasi Legal Rasional bersumber pada aturan aturan yang dibuat untuk mencapai tujuan

tertentu. Oleh karenanya Birokrasi Legal Rasional bersumber pada the legality of patterns of

normative rules and the right of these elevated to authority under such rules to issue

commands. Jenis yang terakhir ini yang menurut Weber (dalam Zauhar, 1996) merupakan

unsur terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi.

Dari perspektif derajat keterbukaan, Lee (1971) dalam Zauhar (1996) mengklasifikasikan ke

dalam birokrasi terbuka, campuran, dan tertutup. Yang dimaksud birokrasi terbuka, derajat

keterbukaan birokrasi dapat dilihat pada aksesibilitas masyarakat untuk berhubungan dengan

birokrasi, luasnya pelaksanaan recruitment, kebebasan kelompok lain untuk memasuki

jajaran birokrasi tingkat menengah dan tinggi, serta derajat kesediaan birokrasi untuk

mendistribusikan kekuasaannya kepada kelompok lain.

Dalam birokasi tertutup, ditandai dengan adanya ciri yang sangat elitis dikalangan birokrasi

dan mereka menjadi kelas yang memiliki hak privelese tertentu. Untuk bisa masuk ke

birokrasi harus melalui ujian pamong praja dikaitkan dengan lamanya kuliah di perguruan

tinggi. Rotasi antar bagian bisa terjadi, namun tak diikuti dengan pemberian fasilitas.

Kesetiaan para pamong kepada pekerjaannya. Moral mereka sangat tinggi namun

orientasinya menjadi sempit.

Birokrasi campuran, menurut Zauhar (1996) merupakan tipe birokrasi hasil kontak yang

terbatas antara birokrasi dengan masyarakat. Kontak yang agak terbatas tersebut dapat

diawali dengan masuknya individu ke dalam jajaran birokrasi pemerintahan guna mengurangi

kelemahan birokrasi, seperti kekurangmampuan birokrasi lama untuk merencanakan,

statistik, industrialisasi dan lain lain. Keterbatasan itu pula maka terbuka dari masuknya para

ekspert (ahli) baik dari kalangan perguruan tinggi maupun dari luar negeri.

Sementara itu, menurut Hariandja (1999), ada perbedaan yang signifikan antara pandangan

umum tentang birokrasi dalam suatu keseharian dan sudut pandang ilmiah metodologis. Bagi

awam, birokrasi mengingatkan pada struktur yang lamban, kekusutan prosedural, kaku, tidak

efisian dan sebagainya.

Dalam banyak hal “kebenaran umum” (public image) ini tidak sepenuhnya salah.

Berbagai kasus menunjukkan, birokrasi lebih melayani dirinya dan kepentingan kliennya

daripada mendahulukan kepentingan umum. Tidak jarang ia juga menjadi alat politik dari

suatu kekuatan politik tertentu. Hal semacam itu tentu seharusnya tidak terjadi. Karena

penjelasan mengenai birokrasi yang dilakukan secara ilmiah harus mencakup usaha untuk

Page 16: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

16

menguji hubungan administratif dan aparatur manajerial dalam kerangka konteks sosial yang

spesifik, tempat birokrasi dibentuk.

Dengan demikian maka tipologi birokrasi dapat dibedakan menjadi 3, yakni (Zauhar, 1996);

1.Birokrasi Tradisional (bersumber pada Waktu)

2.Birokrasi Kharismatik (bersumber pada kepribadian)

3.Birokrasi Legal-rasional (bersumber pada aturan-aturan yang legal)

Birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi organisasi adalah birokrasi yang legal-rasional.

Karena itu juga disebut sebagai birorasionalitas atau biro-efisiensi. Sedangkan birokrasi yang

tidak mampu meningkatkan efisiensi disebut sebagai biropatologi (Zauhar, 1996).

PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI BIROKRASI

Dalam memahami Birokrasi dapat digunakan 3 Pendekatan (Zauhar, 1996):

1. Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi

publik (Birokrasi Weber). Pemikiran Max Weber yang yelah dikupas tuntas oleh Martin

Albrow menjelaskan bahwa Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi. Biasanya ia telah

diasumsikan membuat definisi tersebut dan kegagalannya untuk membuat demikian

bertentangan dengan usahanya untuk mendefinisikan konsep-konsep analisis organisasi

lain. Memang jelas bahwa Weber tidak menganggap istilah “birokrasi” sebagai bahasa ilmu

sosial.

Apa yang dikerjakannya secara hati-hati adalah merinci segi-segi apa yang dipandangnya

sebagai bentu birokrasi yang paling rasional. Salah satu petunjuk bagi konsep umum

Birokrasi Weber, tampak dalam identifikasinya terhadap jenis birokrasi yang lain terpisah dari

tipe paling rasional.

Inilah Birokrasi Patrimonial. Birokrasi Patrimonial ini berbeda dengan birokrasi rasional

terutama karena para pejabat yang bekerja tidak bebas dibanding orang-orang yang diangkat

secara kontraktual. Weber menemukan contoh-contoh tersebut dalam Imperium Romawi

terakhir, dalam Mesir Kuno dan dalam Imperium Bizantium. Namun demikian, hakekat

gagasan birokrasi patrimonial adalah keberadaan suatu badan. Konsep tentang pejabat

(Beamter) merupakan dasar bagi konsep tentang birokasi. Hal itu diperkuat dengan

seringnya Weber dalam berbagai kesempatan menggunakan breamtentum (staf pegawai)

sebagai suatu alternatif bagi birokrasi (Sarundajang, 2003).

2. Birokasi dipandang sebagai organisasi yang membengkak dan jumlah pegawainya besar

(Parkinson Law). Parkinson Law mengatakan:

a.Setiap Pegawai Negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai

bawahannya

b.Setiap Pegawai Pegeri akan selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering

diragukan manfaat dan artinya

c.Karena itu laju birokrasi akan meningkat dan jumlah pegawai akan naik secara otomatis

tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan

1. Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud

mengontrol kegiatan masyarakat (Orwelisasi).

KARAKTERISTIK IDEAL BIROKRASI

Page 17: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

17

Ilmuwan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan teori birokrasi adalah Max Weber,

seorang sosiolog jerman yang juga ahli hukum.

Weber pernah menulis buku wirtschaft und gesellchaft (teori organisasi sosial dan ekonomi)

yang didalamnya terdapat salah satu bab mengenai birokrasi. Karya itu sampai sekarang

dikenal konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang kritiknya

terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran

politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya

mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan.

Menurutnya, birokrasi dan institusi lainnya dapat dilihat sebagai “kehidupan kerja yang rutin”

(routines of workday life). Untuk menyeimbangkan kerja rutin tersebut, ia memperkenalkan

gagasan mengenai “charisma” yang direfleksikan dalam bentuk kepemimpinan yang

kharismatik. Weber mengamati bahwa birokrasi membentuk proses administrasi yang rutin

sama persis dengan mesin pada proses produksi.

Dalam model yang diajukan Weber, birokrasi memiliki karakteristik ideal sebagai berikut

(dalam Islamy, 2003):

1. Pembagian Kerja/ Spesialisasi (division of labor)

Dalam menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan

menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang khas.

Pembagian kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara

seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap mereka

bertanggung jawab atas keberesan pekerjaannya masing-masing.

Aktivitas yang reguler mensyaratkan tujuan organisasi didistribusikan dengan cara yang tetap

dengan tugas-tugas kantor (official duties). Pemisahan tugas secara tegas memungkinkan

untuk memperkerjakan ahli yang terspesialisasi pada setiap posisi dan menyebabkan setiap

orang bertanggungjawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya. Karena itu tugas-

tugas birokrasi hendaknya dilakukan oleh masing-masing pegawai yang benar-benar

memiliki keahlian khusus (specialized expert) dan bertanggung jawab demi tercapainya

tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

2. Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)

Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hierarkis atau berjenjang.

Hierarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti

pula semakin besar wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya.

Hierarki wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggung jawab. Dalam

hierarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai keputusan-

keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan oleh anak buahnya.

Pada setiap tingkat hierarki, para pejabat birokrasi memiliki hak memberi perintah dan

pengarahan pada bawahannya, dan para bawahan itu berkewajiban untuk mematuhinya.

Sekalipun begitu, ruang lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya

pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan resmi pemerintahan.

Page 18: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

18

Organisasi birokrasi mengikuti prinsip hirarki sehingga setiap unit yang lebih rendah berada

dalam pengendalian dan pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Setiap pegawai dalam

hirarki administrasi bertanggungjawab kepada atasannya.

Keputusan dan tindakan harus dimintakan persetujuan kepada atasan. Agar dapat

membebankan tanggungjawabnya kepada bawahan, ia memiliki wewenang/ kekuasaan atas

bawahannya sehingga ia mempun¬yai hak untuk mengeluarkan perintah untuk ditaati dan

dilaksanakan oleh bawahan. Meskipun masing-masing pegawai yang berada pada jenjang

mempunyai otoritas-birokratis tetapi penggunaan otoritas tersebut tetap harus relevan

dengan tugas-tugas resmi organisasi.

3. Adanya sistem aturan (system of rules)

Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu

merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan

hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang

berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu.

Operasi kegiatan dalam birokrasi dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati

secara konsisten. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya unuformitas kinerja setiap

tugas dan rasa tanggung jawab masing-masing anggota organisasi bagi pelaksanaan

tugasnya.

Sistem yang distandarkan ini dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam

melaksanakan setiap tugas, tanpa memandang jumlah personil yang melaksanakan dan

koordinasi tugas – tugas yang berbeda-beda. Aturan-aturan yang eksplisit tersebut

menentukan tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan diantara mereka,

namun tidak berarti bahwa kewajiban birokrasi sangat mudah dan rutin. Tugas – tugas

birokrasi memiliki kompleksitas yang bervariasi, dari tugas-tugas klerikal yang sifatnya rutin

hingga tugas – tugas yang sulit.

4. Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)

Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindarkan

pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan bawahannya maupun dengan anggota

masyarakat yang dilayaninya.

2.1. Pelayanan Publik

Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia

tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani

masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai

tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk memberikan layanan baik dan profesional.

Page 19: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

19

Esensi kepemerintahan yang baik dicirikan dengan terselenggaranya

pelayanan publik yang baik, sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan

otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah

mengatur masyarakat setempat dan meningkatkan pelayanan publik. Pelayanan

publik (public services) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan

dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping sebagai abdi

negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan

untuk mensejahterakan masyarakat.

Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum

adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik,

mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan

kepada publik (publik=umum). Senada dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan

bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan

metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan

haknya.

Pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (malayani) keperluan orang

atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan

aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan (Kurniawan dalam Sinambela.

LP, 2008). Selanjutnya menurut Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7.2003,

pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh

penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima

pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.

Sedangkan pelayanan umum menurut Lambaga Administrasi Negara (1998)

mengartikan pelayanan publik merupakan segala benuk kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh instansi pemerintahan di pusat dan daerah, dan di lingkungan

BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam pemenuhan

kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Perundang-

undangan. Dari beberapa pengertian pelayanan publik yang telah diuraikan, dala

Page 20: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

20

konteks pemerintahan daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai

pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau

organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan

aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan

kepuasan kepada penerima pelayanan.

Dalam modul pelayanan publik yang disusun oleh Depdagri dan LAN

(2007) dijelaskan terdapat tiga unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu:

1. Organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu pemerintah daerah,

2. Penerima pelayanan (masyarakat) yaitu orang atau masyarakat atau

organisasi yang berkepentingan,

3. Kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan

(masyarakat).

Unsur yang pertama menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi

kuat sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan dan menjadi

pemerintah daerah yang bersikap statis dalam memberika layanan, karena

layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau

organisasi yang berkepentingan.

Unsur kedua, adalah masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau

memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar

atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan sehingga tidak

memilikiakses untuk mendapatkan pelayanan yang baik.

Unsur ketiga merupakan kepuasan masyarakat menerima layanan yang

menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (pemerintah). Hal ini untuk

menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi untuk memuaskan

masyarakat, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja

manajemen pemerintahan daerah.

Sementara itu kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan

yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik,

Page 21: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

21

merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam

Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan hak dan

kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan

aspirasinya kepada pemerintah.

Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan diatas, birokrasi publik harus

dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana,

transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaktif serta sekaligus dapat

membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kepastian individu dan

masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Efendi dalam

Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi merupakan

pemberdayaan akan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang

memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan

kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.

Pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang bersifat

sederhana, terbuka, tepat, lengkap wajardan terjangkau (Sedaryanti, 2004). Dalam

keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993 ditegaskan, bahwa penyelenggaraan

layanan publik harus mengandung unsur-unsur :

1. Hak dan kewajiban bagi pemberi layanan maupun penerima layanan umum

harus jelas dan diketahui secara pasti masing-masing.

2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umu harus disesuaikan dengan kondisi

kebutuhan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan

Page 22: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

22

perundang-undangan yang berlaku dan tetap berpegang pada efisiensi dan

efektivitas.

3. Mutu proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar memberi

keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat

dipertanggung jawabkan.

4. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instasi pemerintah yang

bersangkutan berkewajiaban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut

menyelenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam keputusan Menpan tersebut juga ditegaskan, bahwa pemberian

layanan umum kepada masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi aparatur

negara sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, sehingga penyelenggaraannya

perlu ditingkatkan secara terus-menerus sesuai dengan sasaran pembangunan.

Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis diatas, birokrasi

publik dituntut harus dapat posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan

pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka

melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi

suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolabiratis dan dialogis dan dari

cara-cara sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik dan pragmatis (Thoha

dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik yang lebih baik dan

profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenangan yang

diberikan kepadanya dapat terwujud.

Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh

pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayanan masyarakat

(public services functions), fungsi pembangunan (development function) dan

fungsi perlindungan (protection functions).

Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintahan kepada masyarakat

sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan

masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintahan dalam pelayanan umum

(public services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana

Page 23: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

23

pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat,

yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan

perannya dengan baik sesuai dengn tujuan pendiriannya.

Dengan demikian akan dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara

harapan dan kenyataan didalam pengurusan sesuatu yang berhubungan dengan

pelayanan publik, apabila ditemukan ketidak samaan maka pemerintah diharapkan

mampu mengoreksi keadaan agar lebih teliti dalam meningkatkan kualitas

pelayanan publik. Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak

masyarakat, seperti ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan

mutu yang dituntut masyarakat telah dapat terpenuhi. Andaikata tidak terpenuhi,

pemerintah diharapkan mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi

dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya, tentang informasi yang diterima

masyarakat berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang

melengkapinya.

Ketika berbicara tentang pelayanan publik jelas bahawa hal yang perlu di

siapkan oleh aparat pemerintah adalah bagaimana tercipta pelayanan yang prima.

Pelayanan prima merupakan suatu rangkaian kata yang mana terdiri atas dua kata,

pelayanan dan prima. Pelayanan sendiri merupakan suatu usaha untuk membantu

menyiapakan apa yang diperlukan atau dibutuhkan oleh orang lain, sedangkan

prima merupakan suatu kata yang berarti terbaik, bermutu dan bermanfaat.

Jadi kalau kedua kata tersebut dirangkai maka dapat mengandung arti yang

merupakan pelayanan terbaik yang diberikan sesuai dengan standar mutu yang

mana dapat memuaskan dan sesuai denagan apa yang diharapkan atau melebihi

dengan apa yang di harapkan oleh konsumen dalam hal ini masyarakat sebagai

pengguna jasa layanan.

Dalam mengembangkan pelayanan prima, pemerintah harus mempunyai

standar pelayanan publik. Standar pelayanan publik sendiri merupakan suatu tolok

ukur yang dapat digunakan sebagairujukan mutu pelayanan yanga akan diberikan

atau dijanajikan kepada pelanggang atau orang lain atau masyarakat. Hal tersebut

Page 24: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

24

dapat menaruh perhatian tentang bagaimana mekanisme pelayanan yang baik

harus dilakukan dan merupakan yang terbaik diberikan kepada pelanggang-

pelanggang.

Salah satu juga yang harus diperhatikan dalam menjanagkan pelayanan

prima adalah prinsip dalam pelaksanaan pelayanan prima yaitu, fokus pada

pelanggang, pelayanan nurani, perbaikan yang berkelanjutan serta pemberdayaan

pelanggang. Adapun standar pelayanan yang dimaksud adalah, sebagai berikut :

Standar Pelayanan Prima ( SPP )

a) Tempat khusus pelayanan;

1. menyediakan loket dengan memilih tempat yang strategis (mudah dilihat

pemohon)

2. Disediakan ruang tunggu yang bersih, aman dan nyaman

3. Disediakan formulir permohonan beserta contoh pengisiannya.

4. Disediakan flow chart/alur pengurusan

5. Ada daftar rincian biaya ddan waktu penyelesaian pengurusan

6. Disediakan nomor urut antrian

7. Ada toilet

8. Adanya kursi / tempat duduk yang cukup

9. Adanya tingkatan beberapa pelayanan dalam satu loket

10. Dilengkapi televisi

b) Petugas Pelayanan;

1. Memiliki kompetensi dibidangnya

2. Akomodatif

3. Responsive

4. Komunikatif

5. beretika ( sopan, Ramah/murah senyum )

6. Transparan, jujur, akuntabel

7. Berpenampilan menarik

8. Adil/merata tidak membedakan siapa dia pemohon

Page 25: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

25

9. Selalu berusaha meningkatkan kemudahan

10. Cekatan

c) Kualitas produk pelayanan;

1. penerapan teknologi komputerisasi

2. produk sesuai yang dibutuhkan pemohon

3. ada jaminan hukum

4. biaya sesuai ketentuan

5. ketepatan waktu penyelesaian

6. informasi produk layanan online

7. akurat

8. sederhana

9. mudah

10. puas.

Disamping itu semua, Untuk pelaksanan pelayanan publik yang prima telah

ditetapkan prinsip-prinsip pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menteri

Negara Pemberdayaan Aparatur Negara : 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, sebagai berikut:

a. Kesederhanaan

Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah

dilaksanakan

b. Kejelasan

1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;

Page 26: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

26

2) Unit kerja / pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan / persoalan / sengketa

dalam pelaksanaan pelayanan publik.

3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

c. Kepastian Waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang

telah ditentukan.

d. Akurasi

Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.

e. Keamanan

Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian

hukum.

f. Tanggung jawab

Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk

bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian

keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

g. Kelengkapan sarana dan prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung

lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi

telekomunikasi dan informatika (telematika).

h. Kemudahan akses

Temapt dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau

olah masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan

telematika

i. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan

Page 27: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

27

Pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta

memberikan pelayanan dengan ikhlas.

j. Kenyamanan.

Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang

nyaman, bersih rapi, lingkungan yang indah dan sehat lengkap dilengkapi

dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah,

dll.

Page 28: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

28

BAB III

PEMBAHASAN

Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi

Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong

meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi

Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti

dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina,

Vietnam dan India.

Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor

1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk

terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman

dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka

masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka

untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.

Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar

negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers).

Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap

birokrasi untuk melakukan reformasi.

Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti

Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000

membaik, meskipun di bawah rata-rata, yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun

lalu yang 8,14 dan 8,7. Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan

Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan

skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama

antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.

Page 29: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

29

Informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum

dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh penierintah. Tidak tersedianya

informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan

ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai

agenda kebijakan yang penting. Kinerja pejabat birokrasi tidak pernah menjadi

pertimbangan yang penting dalam mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar

penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk menilai

kinerja pejabat birokrasi sangat jauh relevansinya dengan indikator-indikator kinerja

yang sebenarnya.

Akibatnya, para pejabat birokrasi tidak memiliki insentif untuk menunjukkan

kinerja sehingga kinerja birokrasi cenderung menjadi amat rendah.Pemerintah

terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerJà birokasinya.

misalnya, dalam menentukan anggaran birokrasinya, pemerintah sama sekali idak

mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini

lebih didasarkan atas input, bukan cutput. Anggaran yang ditcrima oleh sebuah

birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yangakan

diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya.

Akibatnya, dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah

dalam kehidupan birokrasi publik.Karena anggaran sening menjadi driving force dari

perilaku birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan anggaran yang ditçnirna oleh

sebuah birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa menjadi salah satu faktor yang

mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik. Para pejabat birokrasi yang ingin

memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk menunjukkan kmerja

yang balk. Kalau ini dapat dilakukan, data dan informasi mengenai kinerja birokrasi

publik niscaya akan tersedia sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga menjadi

lebih mudah dilakukan.

Page 30: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

30

Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya informasi mengenai kinerja

birokrasi publik adalah kompleksitas indikator kinerja yang biasanya digunakan

untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Berbeda dengan swasta yang indikator

kinerjanya relatif sederhana dan tersedia di pasar, indikator kinerja birokrasi sering

sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki stakeholders yang

sangat banyak dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Perusahaan bisnis

memiliki stakeholders yang jauh lebih sedikit, pemilik dan konsumen, dan

kepentingannya relatif mudah dintegrasikan. Kepentingan utarna peinilik perusahaan

ialah selalu memperoleh keuntungan, sedangkan kepentingan utama konsuuen

biasanya adalait kualitas produk dan harga yang terjangkau.

Stakeholders dan birokrasi publik, seperti masyarakat pengguna jasa, aktivis

sosial dan partai, wartawan, dan para penggusaha sering berkepentingan berbeda-

beda dan berusaha mendesakkan kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi

publik. Penilaian kinerja birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh lebih

kompleks dan sulit dilakukan daripada di perusahaan bisnis.

Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan

menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan

efektivitias, tetapi harus dilihat juga dan indikator-indikator yang melekat pada

pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsivitas.

Penilaian kinerja dan sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi

publik seringkali memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak

memiliki alternatif sumber pelayanan.

Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang pengguna jasa

memiliki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan

kepuasan terhadap memberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik,

penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan

kepuasannya terhadap pelayanan. Kesulitan lain dalam menilai kinerja birokrasi

publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya sangat

kabur, tetapi juga bersifat multidimensional.

Page 31: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

31

Kenyataan bahwa birokrasi publik mernililki stakeholders yang banyak dan

meimilih kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat

birokrasi publik mengalaini kesulitan untuk merumuskan inisi yang jelas. Akibatnya,

ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholders juga berbedabeda. Namun,

ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi

publik (Dwiyanto, 1995), yaitu sebagai berikut.

1. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga

efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio antara

input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian

General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran

produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik

itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

2. Kualitas Layanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam

menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang

terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat

terhadap kualitas layanan yang diterima dan organisasi publik. Dengan deinikian,

kepuasaan masyarakat terh.dap Lyanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi

publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator

kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara

mudah dan murah.

Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat

diperoleh dan media massa atau diskusi pubilk. Akibat akses terhadap informasi

mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka

bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah

dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja

organisasi publik.

Page 32: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

32

3. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan

masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan

program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi

masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara

program dan kegiatan pelayanan dengan kcbutuhan dan azpirasi.

Kumorotorno (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam

menilai kirerja organisasi pelayanan publik, antara lain, adalah berikut ini.

a. Efisiensi

Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi

pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta

pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secar

objektif, kriteria. seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas merupakan

kriteria efisiensi yang sangat relevan.

b. Efektivitas

Apakah tujuan dan didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut

tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan

organisasi, serta fungsi agen pembangunan.

c. Keadilan

keadilan mempertanyakan distnibusi dan alokasi layanan yang

diselenggarakanoieh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya

dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah

tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat

terpenuhi. Isu-isu yang mnyangkut pemerataan pembangunan, layanan kepada

kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.

Page 33: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

33

d. DayaTanggap

Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan awasta,

organisasi pelayanan publik merupakan bagan diri daya tanggap negara atau

pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi

tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan

demi memenuhi kriteria daya tanggap.

Salim & Woodward (1992) melihat kinerja berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan persamaan pelayanan. Aspek

ekonorni alam kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya

yang senunimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik.

Efisiensi kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi

tercapainya perbandingan terbaik/proporsional antara input pelayanan dengan output

pelayanan.

Demikian pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan ialah untuk melihat

tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah ditentukan. Prinsip

keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai ukuran untuk

menilai seberapa jauh suatu ventuk pelayanan telah memperhatikan aspek-aspek

keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem pelayanan

yang ditawarkan.

Zeithaini, Parasuraman, dan Berry (1990) mengemukakan bahwa kinerja

pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya

fisik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui aspek fisik

pelayanan yang diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan yang representatif,

fasilitas pelayanan berupa televisi, ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung

yang memiliki teknologi canggih, misalnya komputer, penampilan aparat yang

menarik di mata pengguna jasa, seperti seragam dan aksesoris, serta berbagai fasilitas

kantor pelayanan yang memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat.

Page 34: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

34

Berbagai perspektif dalam melihat kinerja pelayanan publik di atas

memperlihatkan bahwa indikator-indikator yang dipergunakan untuk menyusun

kinerja pelayanan publik ternyata sangat bervariasi. Secara garis besar, berbagai

parameter yang dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat

dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama melihat kinerja

pelayanan publik dan perspektif pemberi layanan, dan pendekatan kedua melihat

kinerja pelayanan publik dan perspektif pengguna jasa.

Pembagian pendekatan atau perspektif dalam nielihat kinerja pelayanan publik

tersebut hendaknya tidak dilihat secara diametrik, melainkan tetap dipahami sebagai

suatu sudut pandang yang saling berinteraksi di antara keduanya; Hal tersebut

disebabkan dalam melihat persoalan kinerja pelayanan publik, terdapat berbagai

faktor yang mempengaruhinya secara timbal balik, terutama pengaruh interaksi

lingkungan yang dapat mempengaruhi cara pandang birokrasi terhadap publik,

demikian pula sebaliknya.

Dalam konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia, pemerintah

melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 81

lahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada

birokrasi publik secara baik. Berbagai prmsip pelayanan, seperti kesederhanaan,

kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonoinis, dan keadilan yang

merata merupakan prinsip-prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam

pemberian pelayanan publik di Indonesia.

Prinsip kesederhanaan, misalnya, mempunyai maksud banwa prosedur atau tata

cara pemberian pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga

penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat, tidak

berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.

Perkembangan lingkungan global juga telah memberikan andil yang besar kepada

birokrasi untuk semakin meningkatkan daya saing dalam kerangka pasar bebas dan

tuntutan globatisasi.

Page 35: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

35

Birokrasi publik dituntut harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik

mungkin, baik kepada publik maupun kepada investor dari negara lain. Salah satu

strategi untuk merespons perkembangan global tersebut adalah dengan meningkatkan

kapasitas birokrasi dalam pemberian pelayanan, publik. Penerapan strategi yang

mengintegrasikan pendekatan kultural dan struktural ke dalam sistem pelayanan

birokrasi, yang disebut dengan Total Quality Management (TQM), dapat dilakukan

untuk semakin meningkatkan produktivitas dan perbaikan pelayanan birokrasi.

Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi isu yang

semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dan semua pihak. Birokrasi

yang memiliki kinerja buruk dalam me’nberikan pelaydnan kepada publik akan

sangat mempengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara keseluruan dalam

rangka meningkatkan daya saing suatu negara pada era global.

Birokrasi pelayanan publik di Indonesia, berdasarkan laporan dan The World

Competitiveness Yearbook tahun 1999 berada pada kelompok negara-negara yang

memiliki indeks competitiveness paling rendah di antara 100 negara paling kompetitif

di dunia (Cullen & Cushman, 2000: 15) semakin buruk dan semakin korup karena

dengan semakin besarnya skor yang dimiliki, semakin buruk kualitas birokrasi di

suatu negara.

Birokrasi di Indonesia dalam tahun 2001 hanya lebih baik dibandingkan dengan

India dan Vietnam. Dan kacamata iklim bisnis secara keseluruhan, dengan

mmperhatikan faktor sistemik, sosio-politik, lingkungan, pasar, dan dinamika

perekonomian, Indonesia bahkan berada pada posisi paling bawah dalam indeks

bisnis. Hal tersebut berarti bahwa Indonesi menjadi negara yang paling tidak menarik

untuk tujuan melakukan investasi.

Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi, seperti

dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas, maupun responsibiltas.

Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki

kesamaan substansial yakni untuk meihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang

telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan.

Page 36: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

36

Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dan berbagai indikator yang

sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya. Perspektif yang

digunakan oleh birokrasi sebagai pemberi layanan merupakn perspektif yang

sebenarnya berasal dan pendekatan birokrasi yang cenderung menempatkan diri

sebagai regulator danipada sebagai pelayan. Kineqa birokrasi pada awálrwa banyak

dipahanii oleh kalangan birokrasi hanya dan aspek responsibilitas, yakni sejauh mana

pelayanan yang diherikan telah sesuai dengan aturan formal yang diterapkan.

Pemberian pelayanan yang telah menunjuk kepada aturan formal dianggap telah

memenuhi sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat pelayanan dianggap telah

konsisten dalam menerapkan aturan hukum pelayanan. Sulit untuk menelusuri lebih

jauh, apakah penerapan prinsip tersebut telah membawa implikasi kepada kultur

birokrasi pelayanan di Indonesia yang tidak dapat melakukan inisiatif dan inovasi

pelayanan.

4. Akuntabilitas

Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah suatu ukuran

yang menunjukkan beberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan

dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang

diiniliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang herkembang dalam

masyarakat tersebut di antaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan,

jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orentasi pelayanan yang

dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa.

Akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik dalampenelitian dilihat

melalui indikator-indikator kinerja yang meliputi: (1) acuan pelayanan yang

dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggraan pelayanan publik.

Indikator tersebut mencerminkan prinsip orientasi pelayanan yang dikembangkan

oleh birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa; (2) tindakan yang dilakukan oleh

aparat birokrasi apabila terdapat masyarakat pengguna jasa yang tidak memenuhi

persyaratan yang telah ditentukan; dan (3) dalam menjalankan tugas pelayanan,

seberapa jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari aparat birokrasi.

Page 37: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

37

Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan publik seringkali masih

menerapkan standar nilai atau norma pelayanan secara sepihak, seperti pemberian

pelayanan yang hanya berdasarkan pada juklak (petunjuk dan pelaksanaan) sehingga

kecenderungan yang terjadi adalah lemahnya komitmen aparat birokrasi untuk

akuntabel terhadap masyarakat yang dilayaninya.

Salah satu faktor penyebab yang menjadikan rendahnya tingkat akuntabilitas

birokrasi adalah terlalu amanya proses indoktrinasi kultur birokrasi yang

mengarahkan aparat birokrasi untuk selalu melihat ke atas. Selama ini aparat

birokrasi telah terbiasa lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada

kepentingan masyarakat pengguna jasa. Birokrasi tidak pernah merasa bertanggung

jawab kepada publik, melainkan bertanggung jawab kepada pimpinan atau atasannya.

Pemberian pelayanan yang memakan proses dan prosedur panjang, seperti

yang terjadi di Unit Pelayanan Terpadu, juga menjadi indikasi masih rendahnya

akuntabiltas dan birokrasi pelayanan yang ada. Keberadaan Unit Pelayanan Terpadu

Satu Atap (UPTSA) sebagai unit pelayanan yang pada sawadaya dirancang untuk

memudahkan pelayanan masyarakat, pada kenyataannya justru cenderung

memperpanjang proses dan prosedur pelayanan.

Meskipun demikian, keberadaannya masih tetap dipertahankan karena

merupakan program dari Pemerintah Pusat. Seorang aparat birokrasi pada kantor

Dmas Tata Kota mengakui telah terjadinya ketidakefektifan sistem pelayanan di

UPTSA. Rendahnya akuntabilitas pemberian pelayanan publik oleh birokrasi dapat

dilihat juga dan banyaknya kasus yang dialami oleh masyarakat pengguna jasa.

Masalah prosedur pelayanan yang banyak merugikan masyarakat pengguna jasa,

terutama masalah transparansi persyaratan yang diperlukan, merupakan kasus-kasus

pelayanan yang banyak mencuat

Page 38: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

38

Transparansi informasi birokrasi dalam pemberian pelayanan publik masih

tetap menjadi isu yang penting bagi upaya ke arah perbaikan kinerja birokrasi

pemerintah. Tindakan untuk melakukan reformasi birokrasi terutama diarahkan pada

upaya untuk peningkatan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas birokrasi (Lubis,

2001).

Transparansi dalam birokrasi dapat memberikan implikasi pada meningkatnya

tingkat korupsi di dalam birokrasi, tetapi reformasi tetap dilakukan di semua

tingkatan birokrasi. Apabila reformasi dilakukan pada tingkat birokrasi pusat saja, hal

tersebut justru hanya akan memindahkan korupsi dan birokrasi pusat ke birokrasi

yang ada di daerah. Acuan pelayanan yang digunakan oleh aparat birokrasi juga dapat

menunjukkan tingkat akuntabilitas pemberian pelayanan publik. Acuan pelayanan

yang dianggap paling penting oleh birokrasi dapat merefleksikan pola pelayanan yang

dipergunakan.

Pola pelayanan yang akuntabel adalah pola pelayanan yang mengacu pada

kepuasan publik sebagai pengguna jasa. Birokrasi pelayanan di ketiga daerah ternyata

masih menjadikan aturan dan petunjuk pimpinan sebagai acuan utama pemberian

pelayanan. Birokrasi bahkan terlihat belum sepenuhnya mengerti dan memahami

eksistensi birokrasi yang tetap tergantung pada publik.

Kesadaran aparat birokrasi tentang eksistensi publik yang dapat dipengaruhi

eksistensi birokrasi juga masih sangat rendah.Persepsi di kalangan aparat birokrasi

yang selalu menempatkan diri (superior) terhadap publik sehingga menimbulkan sifat

arogansi aparat birokrasi masih sangat dominan terlihat. Hasil temuan lapangan

bahwa ini dapat memperlihatkan masih kuatnya kecenderungan orientasi pemberian

pelayanan yang belum bersandar pada uasan masyarakat menunjukkan bahwa budaya

‘minta petunjuk atasan’ masih cenderung dijadikan referensi atau lebih dipentingkan

pada melakukan pelayanan yang memuaskan masyarakat pengguna .

Page 39: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

39

Acuan pelayanan birokrasi di ketiga daerah yang masih menempatkan

pimpinan dan aturan sebagai sentral pelayanan membuktikan bahwa kultur atau corak

birokrasi patrimonial masih mewarnai birokrasi dalam memberikan pelayanan publik.

Aparat pelayanan yang bertindak atas dasar prinsip peraturan menjadi bersikap kaku

dan tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam pemberian layanan. Pelaksanaan

pelayanan publik seharusnya bertitik tolak dari misi dan visi pelayanan agar dapat

mengakomodasi kepentingan masyarakat.

5. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk rnengenal kebutuhan

masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan

program-progrm pelayanan sesuai dcngan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara

singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi

lerhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna jasa. Responsivitas

sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti

kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda

dan prioritas pebyanan serta mengembangkan program-program pelayan publik

sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio, 1991). Organisasi yang

memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek juga

(Osborne & Plastrik, 1997).

Dalam operasionalisasinya, responsivitas pelayanan publik dijabarkan

menjadi beberapa indikator, seperti meliputi (1) terdapat tidaknya keluhan dan

pengguna jasa selama satu tahun terakhir; (2) sikap aparat birokrasi dalam merespons

keluhan dan pengguna jasa; (3) penggnaan keluhan dan pengguna jasa sebagai

referensi bagi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pada masa mendatang (4)

berbagai tindakan aparat birokrasi untuk memberikan kepuasan pelayanan kepada

pengguna jasa; serta (5) penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam

sistem pelayanan yang berlaku.

Page 40: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

40

Keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa merupakan

indikator pelayanan yang memperlihatkan bahwa produk pelayanan yang selama ini

dihasilkan oleh birokrasi belum dapat memenuhi harapan pengguna

layanan.Responsivitas birokrasi yang rendah juga banyak disebabkan oleh belum

adanya pengembangan komunikasi eksternal secara nyata oleh jajaran birokrasi

pelayanan. Indikasi nyata dari belum dikembangkannya komunikasi eksternal secara

efektif oleh birokrasi terlihat pada masih besarnya gap pelayanan yang terjadi. Gap

pelayanan yang terjadi merupakan gambaran pelayanan yang memperlihatkan hahwa

belum ditemukan kesamaan persepsi antara harapan pengguna jasa dan pemberi

layanan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.

Aparat birokrasi pelayanan di ketiga daerah penelitian terlihat masih

membuka jurang komunikasi yang lebar dengan masyarakat pcngguna jasa. Tidak

transparannya aparat birokrasi pelayanan pertanahan, misalnya, merupakan salah satu

indikasi belum adanya pengembangan komunikasi eksternal di kalangan aparat

birokrasi dengan rnasyarakat pengguna jasa. Tidak transparannya komunikasi dan

birokrasi yang menyangkut pemberian pelayanan menyebabkan pihak masyarakat

pengguna jasa selalu berada pada posisi yang dimikan.

Tidak adanya transparansi informasi dari birokrasi tersebut membuat banyak

masyarakat pengguna jasa mengalami frustasi. Kornunikasi yang tidak efektif yang

selama ini masih dikembangkan oleh birokrasi menunjukkan bahwa birokrasi belum

mempunyai kesadaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat

pengguna jasa.

Responsivitas pemberian pelayanan publik salah satunya diukur melalui

keterbukaan informasi dan seberapa jauh interaksi komunikasi yang terjalin antara

birokrasi sebagai pemberi layanan dengan masyarakat pengguna jasa. Kasus di atas

memperlihatkan gambaran bahwa masyarakat pengguna jasa seringkali belum

mempunyai akses terhadap informasi pelayanan yang dibutuhkan, demikian pula

kecenderungan aparat birokrasi justru terkesan menyembunyikan informasi kepada

masyarakat.

Page 41: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

41

Dalam iklim komunikasi pelayanan yng tertutup seperti ini, sangat sulit untuk

dapat mewujudkan responsivitas aparat birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan

kepada publik.

6. Orientasi pada Pelayanan

Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi

dirmanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pemberian pelayanan

yang baik dapat dilihat dan besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh

birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan.

Idealisnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh aparat birokrasi

hanya dicurahkan atau dikonsentrasikat untuk melayani kebutuhan dan kepentingan

pengguna jasa.

Kemampuan dan sumber daya aparat birokrasi sangat diperlukan agar

orientasi pada pelayanan dapat dicapai. Contohnya, antara lain, adalah masalah

penyediaan waktu kerja aparat yang benar-benar berorientasi pada pemberian

pelayanan kepada masyarakat. Aparat birokrasi yang ideal adalah aparat birokrasi

yang tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor lain di luar tugas pelayanan kepada

masyarakat.

Aparat pelayanan yang ideal juga seharusnya tidak memiliki kegiatan atau

pekerjaan lain seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat

mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kinerja pelayanan aparat

birokrasi akan dapat maksimal apabila bila semua waktu dan konsentrasi aparat

benar-benar tercurah untuk melayani masyarakat pengguna jasa.

Kondisi pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit untuk

diwujudkan dalam birokrasi. Ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi

pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan

tugas kepada aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat pekerjaan, urgensi

pekerjaan, dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan

kepada masyarakat.

Page 42: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

42

Hal-hal tersebut merupakan beberapa fakta penyebab sulitnya aparat birokrasi

berkonsentrasi secara penuh pada tugas-tugas pelayanan masyarakat. Aparat birokrasi

seringkali meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu

untuk tugas-tugas lain di luar tugas pelayanan.

Kondisi tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu.

Masih seringnya aparat birokrasi meninggalkan tugas-tugas pelayanan kepada

masyarakat, erat kaitannya dengan adanya tugas-tugas tambahan yang dibebankan

oleh pimpinan kepada aparat pada tingkat bawah yang menjalankan tugas pelayanan

langsung kepada masyarakat. Hal tersebut sangat sering menimpa aparat birokrasi di

tingkat desa, kelurahan, atau kecamatan yang merupakan tingkatan pemerintahan

terendah yang langsung berhadapan dengan masyarakat.

Aparat pelayanan seringkali diperintahkan oleh pimpinan kantor desa atau

kecamatan untuk menghadiri kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, scperti mewakili

camat atau lurah melayat warga yang meninggal dunia, ikut serta dalam kegiatan

posyandu, safari KB, pertemuan RW, atau pertemuan rapat warga lainnya, yang

dilakukan pada saat jam pelayanan.

Penugasan aparat untuk dinas luar oleh pihak pimpinan kantor pada saat jam

pelayanan masih seringkali ditemukan di beberapa kantor pelayanan baik di

lingkungan kantor pelayanan desa, kecamatan, kantor pertanahan maupun kantor

pelayanan perizinan. Kegiatan dinas luar yang seringkali dilakukan oleh aparat

birokrasi adalah melakukan kegiatan peninjauan suatu kegiatan atau membantu

pekerjaan dan seksi lainnya. Banyak ditemukan aparat pelayanan yang membantu

tugas-tugas dari seksi atau bagian lainnya sehingga tugas pokoknya menjadi

terbengkalai, seperti seorang kepala seksi pelayanan harus ikut dalam kegiatan

penataan arsip, mengurusi surat menyurat, menjaga dan menerima telepon kantor,

atau bahkan penyelenggaraan pasar murah atau sekaten.

Page 43: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

43

Tugas-tugas tersebut belum termasuk tugas-tugas untuk kepentingan pribadi

yang diberikan oleh pimpinan, seperti mengerjakan tugas-tugas kantor yang

seharusnya menjadi bagian tugas pimpinan, menemani tamu kantor atau tamu

pimpinan, menyampaikan suatu surat pembenitahuan ke kantor-kantor kelurahan,

atau mewakili camat keliling kecamatan untuk memantau dan melakukan pembinaan

kepada masyarakat. Pada akhirnya ketidakberadaan petugas pelayanan menyebabkan

pemberian pelayanan terhadap pengguna jasa menjadi lambat sehingga kinerja

pelayanan publik menjadi buruk.

Alasan yang seringkali dikemukakan oleh pimpinan kantor untuk menugaskan

aparat pelayanan mengerjakan tugas lain pada saat-saat jam pelayanan adalah karena

terbatasnya jumlah personil aparat pelayanan. Para pimpinan kantor, sebagaimana

yang seringkali diungkapkan oleh para aparat, seringkali menggunakan alasan

“pokokke endi sing selo”, atau pokoknya siapa saja aparat yang dianggap memiliki

waktu luang, maka akan ditugaskan untuk dinas luar.

Manajemen pembagian tugas dan sebagian besar pimpinan birokrasi yang

belum mencerminkan gaya seorang manajer tersebut menjadikan pola pembagian

tugas dalam birokrasi antara urusan adimnistratif, tugas pimpinan, dan tugas

pelayanan menjadi bercampur. Pimpinan birokrasi seningKali belwn dapat

membedakan antara tugas pnibadi pimpinan, tugas pimpinan kantor yang tidak dapat

diwakilkan kepada bawahan, dan tugas pelayanan masyarakat dan aparat pelayanan

sehingga seningkali menyebabkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat

cenderung dapat dikalahkan oleh kepentingan pribadi pimpinan atau tugas-tuas

pimpinan lainnya.

Pada sisi output pelayanan, birokrasi secara ideal harus dapat memberikan

produk pelayanan yang berkualitas, terutama dan aspek biaya dan waktu pelayanan.

Efisinsi pada sisi input dipergunakan untuk melihat seberapa jauh kemudahan akses

publik terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan.

Page 44: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

44

Akses publik terhadap pelayanan dipandang efisien apabila publik memiliki

jaininan atau kepastian menyangkut biaya pelayanan. Kepastian biaya pelayanan

yang hams dike1irkan oleh publik merupakan indikator penting untuk melihat

intensitas korupsi dalam sistem layanan birokrasi. Birokrasi pelayanan publik yang

korup akan ditandaj oleh besarnya biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh pengguna

jasa dalam mengakses layanan. Publik, dengan demikian, harus mengeluarkan baya

ekstra untuk dapat memperoleh pelayanan yang terbaik dan birokrasi, padahal secara

prinsip seharusnya pelayanan terbaik harus dapat dinikmati oleh publik secara

keseluruhan.

Demikian pula efisiensi pelayanan dan sisi output, dipergunakan untuk

melihat pemberian produk pelayanan oleh birokrasi tanpa disertai adanya tindakan

pemaksaan kepada publik untuk mengeluarkan biaya ekstra pelayanan, seperti suap,

sumbangan sukarela, dan berbagai pungutan dalam proses pelayanan yang sedang

berlangsung. Dalam kultur pelayanan birokrasj di Indonesia, telah lama dikenal

istilah ‘tahu sania taint’, yang berarti adanya toleransi dan pihak aparat birokrasi

maupun masyarakat pengguna jasa untuk menggunakan mekanisme suap dan

mendapatkan pelayanan yang terbaik.

Kecenderungan aparat birokrasi untuk menerima pemberian uang dan

masyarakat pengguna jasa tersebut disebabkan masih adanva budaya upeti dalam

sistem pelayanan publik di Indonesia. Budaya pelayanan yang dikembangkan

semenjak masa birokrasi keraiaan tersebut pada dasarnya menempatkan aparat

birokrasi sebagai pihak yang harus dilayani oleh masyarakat, pelayanan yang hams

dilakukan oleh masyarakat tersebut ialah dalam rangka memperoleh patron di dalam

birokrasi yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk membangun akses ke

birokrasi. Mekanisme pemberian hiaya ekstra dalam praktik pelayanan birokrasi

sesungguhnya memperlihatkan berbagai faktor yang sangat kompleks, seperti

menyangkut masalah kultur psikologis, sistem pelayanan, mekanisme pengawasan,

serta mentalitas aparat maupun pengguna jasa sendiri.

Page 45: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

45

Praktik pelayanan dengan membenikan uang ekstra kepada apara birokrasi

tersebut telah menjadi suatu kebiasaan umum di lingkunga birokrasi. Aparat birokrasi

menjadi terbiasa dalam budaya pelayana yang mengharapkan adanya pemberian uang

dan masyarakat. Apabila dalam memberikan pelayanan pengguna jasa tidak

memberikan imbalan dalam bentuk uang ekstra tersebut, biasanya aparat dalarn

bckcrja terkesan ogah-ogahan atau seenaknya sendiri. Sebaliknya, semakin besar

jmbalan yang diberikan masyarakat pengguna jasa akan semakin memacu motivasi

keqa aparat dalam melayani masyarakat pengguna jasa tersebut.

Selain ditinjau dan segi biaya, efisensi pelayanan publik juga ditinjau dan scgi

waktu pelayanan. Keluhan yang dialami oleh pengguna jasa menyangkut waktu

pelayanan adalah ketidakjelasan waktu pelayanan. Sebenarnya banyak pengguna jasa

yang tidak berkeberatan untuk membayar mahal kalau jelas perinciannya untuk

keperluan apa, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Akan tetapi, waktu yang

diperlukan untuk mengurus pelayanan publik sangat tidak jelas.

Urusan yang sama sangat mungkin membutuhkan biaya dan waktu yang jauh

berbeda. Menurut petugas pelayanan, lamanya pemberian pelayanan kepada

masyarakat pengguna jasa disebabkan adanya kendala internal dan eksternal. Kendala

internal meliputi pealatan pendukung yang tidak memadai, kualitas SDM rendah, dan

koordinasi antarunit. Selain itu, faktor kualitas sumber daya manusia yang relatif

rendah semakin menghambat pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Kualitas SDM yang rendah tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas

memberikan solusi kepada customer atau yang lebih dikenal dengan melakukan

tindakan diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan

mempengaruhi peinikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal dan atasan

dan harus berpegang teguh kepada juklak/juknis sehingga ketika seorang pengguna

jasa memerlukan pelayanan yang cepat, aparat tidak mampu mcmenuhinya karena

harus menunggu instruksi atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan

publik menjadi memerlukan waktu pelayanan yang relatif lebih lama.

Page 46: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

46

Koordinasi antar unit seringkali menghambat pemberian pelayanan karena

waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Kendala lain yang dihadapi adalah

kendala eksternal yaitu kendala yang disebabkan oleh pengguna jasa itu sendiri

seperti ketidaklengkapan dokumen, pengguna jasa tidak kooperatif dan ketiadaan

koordinasi antarinstansi seperti dari kelurahan ke kecamatan. Masalah

ketidaklengkapan persyaratan/dokumen yang harus dilengkapi oleh pengguna jasa

seringkali membuat aparat menolak memberikan pelayanan.

Pengguna jasa disarankan untuk melengkapinya terlebih dahulu. Di sini yang

menjadi persoalan adalah ketika lokasi tempat tinggal seorang pengguna jasa jauh dan

instansi tersebut dan masalah kesibukan pengguna jasa membuat penyelesaian urusan

menjadi lebih lama. Hal tersebut diakui oleh aparat sebagai penyebab utama

kelambatan, tetapi jarang sekali aparat yang mempunyai inisiatif untuk tetap

memproses berkas-berkas urusan tersebut dan kekurangan persyaratan dilengkapi

kemudian. Bagi aparat, apabila tetap diproses, akan menyulitkan kerja mereka

sendiri.

Pengguna jasa juga seringkali tidak kooperatif maksudnya yaitu bahwa

kadangkala pengguna jasa menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan urusannya

meskipun melanggar peraturan. Kinerja Pelayanan Publik menghasilkan kesimpulan

mengenai rçndahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Pada hakikatnya,

pelayanan publik dirancang dan diselenggarakan antuk memenuhi kebutuhan

masyarakat pengguna jasa. Namun, persepsi antara masyarakat penggun jasa dan

aparat birokrasi mengenai kualitas pelayanan publik yang efisien, transparan, pasti

dan adil belum berhasil diwujudkan.

Page 47: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

47

Sebagai penyelenggara pelayanan publik, birokrasi pemerintah gagal dalam

merespons dinamika politik dan ekonomi sehingga pelayanan publik cenderung

menjadi tidak efisien dan tidak responsif. Bahkan, berbagai bentuk patologi birokrasi

telah berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akibatnya, muncul

banyak praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan yang amat merugikan

masyarakat pengguna jasa. Kinerja pelayanan publik yang buruk ini adalah hasil dan

kompleksitas permasalahan yang ada di tubuh birokrasi Indonesia

Page 48: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

48

BAB 1V

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan

irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar

sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat

pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan

mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan

proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua orang

sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang

yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya.

Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan komando-hirarkis. Birokrasi

Indonesia ke depan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan

memerdekakan masyarakat untuk berkarya dan berkreatifitas. Perlu dikurangi kadar

pengawasan dan represi terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu ditinggalkan cara-

cara penguasaan masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap

dominasi.

Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan

masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya

dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perleu memberikan informasi dan transparansi

sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public

accountibility) lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok

kepentingan yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung

terbangunnya proses demokratisasi.

Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan

kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau

membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian.

Page 49: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

49

Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui

seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi

dan nepotisme.

Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan

dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja

yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang

berjalan).

4.2 SARAN

7. Untuk memperbaiki pola penyelenggaran dapat dilakukan dengan menetapkan

standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures,

pengembangan survei kepuasan pelanggan, pengembangan sistem pengelolaan

pengaduan, maupun pengembangan model-model pelayanan publik bekerja sama

dengan pihak swasta.

8. Perlunya bimbingan dan pelatihan kepada aparat penyelenggara pelayanan

publik agar dapat bertindak professional, memiliki kompetensi, empati, dan etika

yang memadai. Juga perlu dipertimbangkan kompensasi yang tepat bagi aparat

penyelenggara pelayanan publik agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

9. Perlunya restrukturisasi birokrasi yang dapat memangkas kompleksitas

pelayanan publik menjadi lebih sederhana sekaligus memberantas KKN.

Page 50: MAKALAH BIROKRASI

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

50

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus, 2011, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Lembaga Administrasi Negara, 2003, Penyusunan Standar Pelayanan Publik, Deputi Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan, Jakarta

Osborne, David, dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government : How tha Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Addison-Wesley.

Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unhas, 2009/2010, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi. Makassar FISIP Unhas

Pramusinto, Agus dan Purwanto, Agus. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik : Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media

Rasyid, Muhammad Ryaas, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Jakarta, Yasrif Watampone

Sinambela, L.P dkk, 2008, Reformasi Pelayanan Publik (Teori, Kebijakan, dan Implementasi), Jakarta, Bumi Aksara

Syafie, Kencana Inu, 2004, Birokrasi Pemerintahan Indonesia, Bandung, Mandar Maju