birokrasi pluralisme birokrasi
DESCRIPTION
Oleh Novi Hendra S. IP ([email protected])TRANSCRIPT
Mewujudkan Pluralisme Birokrasi di Indonesia
ISSU reformasi birokrasi dan demokratisasi di Indonesia menjadi tema sentral diskursus
bidang politik pasca Gerakan Reformasi 1998. Hal ini karena terdapat hubungan yang
erat antara birokrasi dan demokrasi. Menurut Etzioni-Halevi (1985:54), reformasi
birokrasi dapat berjalan bersama seiring dengan proses demokratisasi, dan demokratisasi
dapat mempromosikan pembangunan birokrasi. Dengan kata lain semakin demokratis
sistem pemerintahan, semakin besar peluang untuk mereformasi birokrasi. Sebaliknya,
semakin netral dan profesional birokrasi, semakin besar kemungkinan terciptanya
demokrasi politik.
Krusialnya isu reformasi birokrasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pahit
birokrasi di era Orde Barunya Soeharto, yang mengalami politisasi cukup lama. Di era itu
birokrasi digunakan sebagai alat untuk mempertahankan staus quo. Sementara Partai
politik (parpol) nyaris tak berfungsi sebagaimana layaknya parpol di negara demokrasi.
Proses kebijakan publik hanya melibatkan elit birokrat dan militer, sementara parlemen
dan partai politik serta kekuatan masyarakat tidak memiliki akses dalam proses tersebut
(Zuhro, 1997:46-48).
Pasca Gerakan Reformasi 1998, Indonesia mengalami proses transisi yang melibatkan
pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan desentralisasi
pemerintahan. Proses transisi ini tentunya menghasilkan beberapa hal positif bagi bangsa
Indonesia, termasuk di dalamnya meningkatkan partisipasi politik rakyat, tapi juga
menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak negatifnya (Mishra, 2002:1).
Tulisan ini akan membahas hubungan antara Gerakan Reformasi dan tuntutan reformasi
birokrasi dengan memfokuskan pada gerakan netralitas birokrasi dan dampaknya
terhadap demokratisasi pada umumnya dan penciptaan pluralisme birokrasi pada
khususnya. Bahwa relatif berhasilnya mewujudkan netralitas birokrasi khususnya dalam
memperkuat hak politik pegawai negeri sipil dan kesetaraan partai politik merupakan hal
penting untuk membangun iklim demokrasi.
Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme birokrasi
(bureaucratic pluralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil dari kompetisi
aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting yaitu peluang untuk
mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga relatif meningkatnya
tanggungjawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan tekanan sosial.
Kebangkitan Reformasi: Tekanan dari Bawah
Sejak awal tahun 1990-an partai politik relatif mendapatkan kebebasan dalam pemilihan
umum, demikian juga organisasi masyarakat menjadi lebih cair dan kompetitif
(MacIntyre, 1994:14). Meskipun pada periode itu terdapat tuntutan yang besar untuk
reformasi politik, demokratisasi tidak hadir sampai akhir tahun 1990-an. Indonesia
mengalamai perubahan politik secara gradual dalam periode 1989-1992 yang ditandai
dengan posisi kunci di eksekutif ditentukan melalui pemilihan.
Kecenderungan ini dilanjutkan dengan diterapkannya sistem multi-partai dan pemilu
yang relatif demokratis tahun 1999 dan pemilihan presiden langsung tahun 2004. Arti
penting dari fenomena-fenomena ini adalah bahwa Indonesia bergeser dari sistem
demokrasi perwakilan (melalui partai politik) ke demokrasi partispatorif untuk
menggantikan struktur otoritarian. Menariknya, kecenderungan ini secara reltif bahkan
berlangsung beberapa tahun sebelum Soeharto jatuh. Sebagai hasilnya, kekuasaan partai
politik dan parlemen relatif bisa mengimbangi kekuasaan eksekutif atau presiden.
Lebih dari itu, peran kekuatan sosial (societal forces) menjadi lebih penting sejak
Gerakan Reformasi, sehingga korupsi di birokrasi menjadi lebih tampak dan makin
terkuak. Korupsi menyebar mulai dari birokrasi pusat sampai level yang paling bawah.
Sebagaimana tercatat, korupsi yang terjadi di pemerintahan pada tahun 1980-an dan
1990-an secara umum cukup meningkat, khususnya diantara lingkaran keluarga Soeharto
dan para kroninya (Liddle, 1999:105).
Bahkan korupsi di Indonesia lebih memprihatinkan dibanding dengan negara lainnya
yang mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau korupsi menjadi isu sentral bagi Gerakan Reformasi. Masalah
korupsi ini adalah hal yang paling berat yang dihadapi Indonesia di era transisi. Tidak
seperti halnya Thailand dan Korea yang cukup berhasil mengatasi krisis dengan
mengedepankan management baru yang berorientasi pada reformasi pemerintahan dan
pelaksanaan demokrasi, pemerintah Orde Baru tidak mampu menyesuikan dengan
perkembangan ekonomi baru dan situasi politik selama periode 1997-1998.2 Sebagai
hasilnya, legitimasi pemerintahan Soeharto menurun drastis dan ia kehilangan
kepercayaan dari rakyat.
Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi pada periode itu memicu
munculnya Gerakan Reformasi 1998. Selain itu, otoriatarinisme dan maraknya korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) di bawah kepemimpinan Soeharto, juga merupakan faktor
pemicu yang tak kalah penting bagi gerakan ini. Mahasiswa, akedemisi, aktivis partai dan
beberapa politisi ikut bergerak, menuntut perubahan menyeluruh di bidang sosial,
ekonomi dan hukum dan diterapkannya sistem demokrasi. Lebih dari itu, Gerakan
Reformasi juga menuntut agar KKN diberantas karena merugikan negara dan
menghambat proses demokratisasi.
Kejatuhan Soeharto dari kursi kepresidenan tidak serta merta membuat demokrasi di
Indonesia berjalan mulus. Perubahan yang cukup signifikan yang tampak adalah adanya
transparansi di era transisi yang melibatkan partisipasi politik masyarakat secara
signifikan. Perubahan ini menghadirkan suatu hal yang berbeda bagi segmen utama
masyarakat, meski ini tidak perlu didefinisikan sebagai demokrasi liberal.
Dapatlah disimpulkan bahwa sejak tahun 1998 kecenderungan bangkitnya partisipasi
masyarakat (societal participation) tidak hanya menjadi lebih eksplisit, tapi juga makin
meningkat. Artinya bahwa perubahan politik yang muncul pada tahun itu terutama
disebabkan oleh tekanan yang kuat yang berasal dari rakyat untuk sebuah reformasi total.
Gerakan netralitas birokrasi
Gerakan netralitas birokrasi yang dimotori oleh sejumlah dokter di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (UI) atau disebut juga "Forum Salemba", merupakan gerakan yang
berkaitan langsung dengan Gerakan Reformasi 1998. Munculnya kesadaran yang tinggi
tentang perlunya mengubah tingkah laku, sikap dan orientasi dan budaya pegawai negeri
sipil sebagai aparat birokrasi publik, merupakan faktor penting pendorong munculnya
gerakan netralitas. Dampak dari gerakan ini relatif signifikan karena ikut mendorong
terwujudnya pemilu yang jujur, bebas dan adil, khususnya dalam pemilu 1999.
Kesadaran penting lainnya juga muncul melihat birokrasi Indonesia yang masih berjuang
meningkatkan transparansi, efektivitas, efisiensi, profesionalisme dan akuntabiltas
birokrasi. Termasuk juga upaya menciptakan good governance pemerintahan yang
berdasarkan hukum, kebijakan yang transparan, dan pemerintahan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Good governance juga menciptakan hubungan yang memadai antara negara-masyarakat
(state-society), yang menghargai keterlibatan rakyat dalam semua proses kebijakan
politik. Fisibilitas proses ini disebut transparansi, sedangkan akuntabilitas merujuk pada
kondisi dimana hasil keputusan politik sedapat mungkin bisa dipertanggungjawabkan
(Indonesia Human Development Report, 2001:24-25). Akuntabilitas dapat diperbaiki bila
ada keterbukaan yang cukup besar.
Gagasan netralitas didasarkan atas kemungkinan memisahkan politik dari karir
administrasi (public service) dalam pemerintahan dan depolitisasi public service.
Menurut Asmerom dan Reis (1996:22-23), netralitas birokrasi memerlukan beberapa
karakteristik penting:
"Politics and policy are separated from administration; public servants are appointed and
promoted on the basis of merit rather than on the basis of party affiliation or
contributions; public servants do not engage in partisan political activities; public
servants do not express publicly their personal views on government policies or
administration; public servants provide forthright and objective advice to their political
masters in private and confidence. In return, political executives protect the anonymity of
public servants by publicly accepting responsibility for departmental decisions".
Lebih lanjut Asmerom dan Reis (1996:27) juga berpendapat bahwa birokrasi yang tidak
terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintahan ke depan. Dua pakar ini juga
mengatakan bahwa netralitas dari public service adalah komplementer terhadap merit
system, dimana sistem rekrutmen dan promosi dalam berbagai posisi di public service
ditentukan oleh merit, yaitu yang mendasarkan pada mekanisme legal rasional dan
bukannya mendasarkan pada afiliasi politik atau patronase.
Merit system ini memberikan keuntungan berupa terciptanya sistem yang langgeng,
berkesinambungan, stabil dan imparsialitas dalam public service dan membangun
profesionalisme. Karakteristik birokrasi seperti ini menekankan bahwa idealnya birokrasi
tidak berpolitik, terbebas dari konflik dan hanya fokus pada adminsitrasi dan rasionalitas
(Asmerom dan Reis, 1996). Hal ini tentunya relevan dengan birokrasi Indonesia di era
transisi yang sedang berupaya untuk mendepolitisasikan institusinya.
Adapun gerakan netralitas birokrasi menuntut tiga hal penting, yaitu:
1. mengakhiri politisasi birokrasi yang sangat marak di era Orde Baru;
2. pegawai negeri sipil netral di dalam pemilu; dan
3. Korpri tidak boleh mendukung salah satu partai politik.
Tiga tuntutan ini mengindikasikan dengan jelas bahwa gerakan netralitas secara tegas
menuntut birokrat agar netral dalam politik, yaitu tidak aktif dan terlibat mendukung
partai tertentu sementara mereka masih menjadi PNS.
Gerakan ini mendapat dukungan dari Menteri Penerangan, Yunus Yosphia dan
sekretarisnya I.G.K Manila dengan menghapus Korpri di departemennya. Menurut
mereka tidak ada gunanya mempertahankan Korpri karena dianggap tidak relevan dengan
aspirasi dan kepentingan PNS. Demikian juga dengan Departemen Kehutanan yang
mengumumkan netralitasnya dan tidak akan berafiliasi dengan partai tertentu. PPP dan
PDI dan kelompok muda Golkar juga ikut mendukung gagasan netralitas birokrasi
(Republika, 5 Januari 1999).
Bahkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ikut menyemangati dan
mendukung ide tersebut yang disampaikan melalui tulisan kritisnya di media massa.
Menariknya kritik yang disampaikan para peneliti ini mendapatkan dukungan dari Kepala
BAKN, Prof Sofian Effendi, yang menegaskan bahwa peneliti mempunyai hak untuk
berbicara atas nama aspirasi rakyat.
Meskipun gerakan netralitas ini mendapat kecaman dari Ketua Korpri pusat, Feisal
Tamin, yang mengatakan bila Korpri dibubarkan maka tidak akan ada lagi PNS, tekad
untuk mewujudkan birokrasi yang netral tidaklah surut. Untuk merespon kecaman Feisal
Tamin itu, Yunus Yosphia mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara Korpri dan
rekrutmen PNS. Bubarnya Korpri di Departemen Penerangan merupakan perwujudan
dari aspirasi anggota Korpri itu sendiri (Kompas, 15 Juni 1999).
Polemik ini justru mendorong gerakan netralitas birokrasi makin meluas dan relatif
berpengaruh sampai ke tingkat pemerintah daerah. Dengan meluasnya gerakan netralitas
ke daerah-daerah, makin besar pula peluang meluasnya pluralisme birokrasi di daerah.
Kiranya jelas bahwa gerakan reformasi dan netralitas tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya. Bila Gerakan Reformasi dianggap sebagai perjuangan untuk memperbaiki sistem
politik, sosial, ekonomi dan hukum, maka gerakan netralitas lebih memfokuskan pada
perbaikan birokrasi.
Lebih dari itu, Gerakan Reformasi terutama ditujukan untuk memberantas KKN,
sedangkan gerakan netralitas merupakan respons terhadap meluaskan tuntutan untuk
mewujudkan good governance, yang cenderung meningkat tajam setelah Soeharto
tumbang. Gerakan netralitas juga lebih memfokuskan pada upaya untuk merekonfigurasi
birokrasi dalam rangka memperbaiki kualitasnya dan mewujudkan pemilu yang bebas
dan jujur, dan untuk membantu mengurangi KKN. Dampak positif lainnya: publik
menjadi sadar arti pentingnya mendemokratisasikan (democratising) dan
mendebirokratisasikan (debureaucratising) Indonesia untuk kepentingan pemulihan
ekonomi Indonesia.
Peran Kekuatan Sosial dalam Gerakan Netralitas.
Meskipun gerakan netralitas birokrasi awalnya dimotori oleh "Salemba Forum" dan elit
politik tertentu, gerakan ini mendapat dukungan luas dari kekuatan sosial dalam
masyarakat. Peran mereka ini sangat krusial dalam mem-pressure pemerintah untuk
menerapkan peraturan yang tegas tentang PNS.
Mereka menanyakan keberadaan birokrasi yang dalam banyak hal makin merosot
kualitasnya setelah tumbangnya Soeharto. Perdebatan luas mengenai issu netralitas
birokrasi pun digelar sejak periode 1998-1999. Tidak sedikit tulisan kritis berkaitan
dengan issu itu dimuat dalam media massa seiring dengan perdebatan yang memanas di
parlemen yang membahas issu yang sama.
Tulisan-tulisan di media massa tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap opini publik
pada umumnya dan anggota dewan pada khususnya. Jelas pula bahwa pengaruh dari
kekuatan sosial ini menghasilkan partisipasi sosial yang lebih signifikan meskipun masih
terkesan belum maksimal.
Informasi tentang kebijakan publik disebarluaskan oleh media massa mulai dari pusat
sampai daerah. Dalam kaitan ini radio dan pers penting dalam menyebarkan informasi
mengenai isu nasional dan lokal. Demikian juga organisasi non-pemerintah (Ornop)
berperan penting dalam meningkatkan kesadaran politik rakyat melalui program
advokasinya baik di tingkat pusat maupun daerah.
Advokasi yang dilakukan Ornop di daerah tentang kebijakan pemerintah daerah (Pemda)
telah mendorong rakyat untuk ikut berpartisipasi, dan ini mempunyai makna penting
karena reformasi birokrasi tidak bisa semata-mata hanya menggantungkan dari inisiatif
pemerintah (from within).
Dengan kata lain, kekuatan sosial tersebut mempromosikan partisipasi dan pluralisme,
yang dalam banyak hal melemahkan aparat pemerintah sebagai agen kontrol sosial. Peran
aparat birokrasi ini akan terus dipertanyakan, karena terciptanya good governance dan
pemberdayaan civil society menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia di era transisi.
Implementasi PP 5/1999 dan PP 12/1999
Disahkannya PP 5/1999 dan PP12/1999 tentang PNS yang menjadi Anggota Partai
Politik ini merupakan upaya konkret kekuatan sosial dalam masyarakat, partai politik dan
Pemerintah. Masalah boleh tidaknya PNS ikut kampanye atas nama partai sangat
menonjol sejak pertengahan 1998 sampai sebelum pemilu Juni 1999.
Dalam hal ini, Golkar berupaya keras agar kader Golkar yang menjadi menteri dan
menduduki pos-pos kunci di pemerintahan waktu itu dibolehkan berkampanye. Bukan
rahasia lagi kalau Golkar di era Orde Baru sangat menggantungkan perolehan suaranya
dari birokrasi, meskipun hal ini jelas-jelas melanggar hak asasi PNS, dan membuat
mereka terpaksa memilih Golkar dalam pemilu. Keinginan Golkar tersebut mendapat
tantangan, baik dari kekuatan sosial maupun partai politik (PDI dan PPP) selama periode
1998-1999.
Disahkannya PP 5/1999 dan PP 12/1999 mengakhiri kontroversi tentang keterlibatan
PNS dalam politik. PP ini membolehkan PNS untuk menggunakan hak politiknya
(memilih) dalam pemilu, tapi tidak membolehkan PNS menjadi anggota atau pengurus
partai. Dengan kata lain, PNS dilarang berpolitik praktis sementara mereka masih
menjadi PNS. Ketentuan ini dinilai memberikan pengaruh positif terhadap birokrasi
karena relatif berhasil membatasi keterlibatan PNS dalam politik.
Hal ini bisa dilihat dari keterkaitan PNS dengan Partai Golkar di sebagian besar wilayah
Indonesia yang tampak mulai merenggang.4 Lebih dari itu, dengan diterapkan 3 UU
Politik Baru: UU No.2/1999 tentang Partai Politik, UU No.3/1990 tentang Pemilihan
Umum, dan UU No.4/1999 tentang Kedukakan MPR, DPR dan DPRD, membuat rakyat
makin sadar tentang hak politiknya. Menariknya, dengan diterapkannya sistem multi
partai dan UU politik baru tersebut, hal ini telah menyadarkan PNS bahwa birokrasi tidak
harus identik dengan Golkar.
Penulis berpendapat bahwa PP 5/1999 dan PP 12/1999 yang mencegah PNS menjadi
anggota atau fungsionaris partai merupakan langkah positif. Setidak-tidaknya untuk
waktu sementara ini, di mana politik Indonesia masih mengalami beberapa penyesuaian.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa pada level atas, birokrat terlibat dalam
perumusan kebijakan. Dan pada level atas ini pula, pemerintah baru perlu memiliki hak
untuk memilih penasehat public service yang bisa dipercaya supaya menarik bagi
program partai. Sementara itu di bawah level yang paling atas, dimungkinkan bagi PNS
untuk profesional dan loyal pada pemerintah yang terpilih. Artinya, pada level atas,
birokrat memiliki kewenangan untuk merekrut tenaga ahli dalam menopang program-
programnya, dan pada level di bawahnya, birokrat bekerja secara profesional dan loyal
kepada pemerintah yang sah.
Dengan peraturan baru itu berarti PNS tidak boleh memegang dua posisi (sebagai PNS
dan fungsionaris partai). Sebagai contoh, bila PNS ingin ikut kampanye, maka terlebih
dulu harus mendapatkan ijin dari atasannya. Jika permohonannya itu dikabulkan, maka
PNS harus mengundurkan diri dan selama tenggang waktu satu tahun PNS tadi akan
mendapat gaji sebagai kompensasi (bab 7 PP 12/1999).
Dalam hal tertentu, hal ini bisa diperpanjang sampai lima tahun, tapi tanpa gaji. Demikian
juga dengan personil angkatan bersenjata yang ingin bergabung dengan partai politik juga
diwajibkan mengundurkan diri (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 1999: 193-
194, bab 7 PP12/1999). Menurut Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN), Feisal
Tamin, pada periode 1999-2000 terdapat sekitar 636 PNS yang mengajukan diri untuk
bergabung dengan partai. Mereka ini harus memutuskan apakah tetap menjadi PNS atau
keluar. Lebih lanjut Tamin mengatakan bahwa mereka yang masih memegang dua posisi
ini akan dikeluarkan sesuai dengan peraturan pemerintah (Jakarta Post, 24 Mei 2002).
Makna penting netralitas birokrasi bagi demokratisasi Indonesia mengalami kegagalan
dalam mengelola pembangunan ekonomi dan perubahan sosial di era Orde Baru karena
penyelewengan peran birokrasi. Kegagalan yang sama juga terjadi dalam bidang
penciptaan good governance. Dengan dua kegagalan itu masyarakat Indonesia menuntut
agar pemerintah pasca 1998 secara sunggguh-sungguh mewujudkan perbaikan di kedua
bidang tersebut. Pentingnya good governance ini karena terkait langsung dengan
kebijakan ekonomi makro (Hadi Soesastro, 1999:7). Sementara itu, penguatan sistem
checks and balances dalam sistem politik Indonesia masih dalam taraf proses
pembelajaran. Dengan fenomena seperti ini, birokrasi di era transisi sekarang ini tidak
hanya ditantang mampu mengelola pembangunan ekonomi, tapi juga melakukan
restrukturisasi politik.
Upaya pemerintah di era transisi, khususnya di bawah pemerintahan B.J. Habibie (1998-
1999) dan Abdurrahman Wahid (1999-2001), menunjukkan keinginan untuk
memperbaiki birokrasi. Tiga indikasi penting dari upaya Habibie ini adalah (1)
ditetapkannya PP 5/1999 dan PP 12/1999, (2) disahkannya tiga paket UU politik baru
(mengenai Pemilu, partai politik dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD), dan
(3) keengganan Habibie menggunakan birokrasi dalam pemilu 1999.
Beberapa kebijakan Habibie tersebut berpengaruh positif terhadap proses demokratisasi
di Indonesia, mengingat terobosan politik yang ia lakukan itu tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dua PP dan tiga UU tersebut tidak hanya memperjelas posisi birokrasi
dalam konteks sistem politik Indonesia, tapi juga memberikan ketegasan hukum yang
sifatnya mengikat bagi PNS yang hendak berpolitik (Zuhro, 2003).
Dampak positif kebijakan Habibie ini dapat dilihat dalam pemilu 1999 di provinsi-
Indonesia barat, yang hasilnya sebagian besar dimenangkan oleh partai non-Golkar.5
Sebagai contoh di Jawa Timur: PKB dan PDI-P, masing-masing mendapatkan kursi 32
dan 31, sementara Partai Golkar berada di posisi ketiga, dengan 12 kursi.
Padahal dalam pemilu 1997 Golkar di wilayah ini mendominasi kursi di DPRD, dan
selama pemilu Orba, Golkar tak pernah terkalahkan. Sebaliknya di provinsi Indonesia
timur, sebagian besar masih dimenangkan Partai Golkar. Sebagai contoh, Golkar menang
telak di Provinsi Sulawesi Selatan dengan 44 Kursi (lihat tabel 1). Kemenagan Golkar di
Sulawesi Selatan ini tidak terlepas dari issu naiknya Habibie (yang merupakan putra
daerah) menjadi kandidat presiden. Selain itu, selama Orba wilayah ini juga merupakan
basis kuat Golkar di mana sebagian besar tokoh lokal atau public figures sangat dekat
dengan partai ini.
Hal tersebut berbeda dengan Jawa Timur, yang merupakan basis pendukung PKB dan
PDI-P, respons positif masyarakat Jawa Timur menunjukkan persetujuannya terhadap
gagasan netralitas birokrasi. Adanya perbedaan wilayah dan basis politik ini berpengaruh
terhadap tingkat keberhasilan netralitas PNS, terutama dalam mempengaruhi sikap
politik, orientasi politik dan respon mereka terhadap PP 5/1999 dan PP 12/1999. Untuk
sebagian besar wilayah Indonesia timur, hubungan PNS dengan Golkar relatif tidak
banyak berubah. Sedangkan untuk wilayah Indonesia barat PNS cenderung memiliki
kebebasan untuk memilih wakilnya. Mereka tidak segan-segan lagi memilih partai yang
disukai tanpa harus merasa takut dan mendapat teguran dari atasan. Sistem multi partai
memberikan keleluasaan dan peluang tersendiri bagi PNS di Jawa Timur untuk memilih
partai yang mereka nilai tepat, dan ini tidak harus ke Golkar.
Di bawah pemerintahan Wahid, beberapa terobosan politik berkaitan dengan birokrasi
juga dilakukan. Sebagai contoh konkret, di awal pemerintahannya Wahid membubarkan
Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.6 Selanjutnya ia juga menerapkan
kebijakan "negative growth" untuk PNS (tidak ada lagi rekrutmen PNS baru dan
himbauan untuk pensiun dini bagi PNS yang merasa dirinya tidak bisa berkarier lagi).
Bersamaan dengan itu pula Wahid tidak membolehkan posisi tertentu di birokrasi seperti
dirjen, sekretaris direktur dan deputi dipegang oleh politisi.
Hal ini tak lain dimaksudkan untuk menghindari politisasi birokrasi. Dan tak kalah
penting dari itu, Wahid berupaya mengurangi kekuasaan (power) Sekretrariat Negara
(Sekneg) dengan membentuknya menjadi tiga bagian:
(1) Sekretaris Negara,
(2) Sekretaris Presiden, dan
(3) Sekretaris Kabinet.
Kebijakan ini tentunya sangat mengagetkan karena Sekneg selama pemerintahan Orba
dan Habibie dinilai sangat berkuasa dan solid. Tapi, dari perspektif perbaikan birokrasi,
upaya yang dilakukan Wahid ini merupakan suatu tindakan yang memberikan shock
therapy bagi proses perampingan birokrasi yang profesional dan pengurangan dominasi
kekuasaan di satu lembaga negara (Sekneg) (Zuhro, 2002).
Pembagian Sekneg menjadi tiga bagian itu setidak-tidaknya telah mengurangi
kekuasaannya, sehingga Sekneg yang tadinya tampak sangat "angker" dan tertutup itu
akhirnya menjadi relatif agak transparan. Demikian juga dengan implementasi
desentralisasi dan otonomi daerah sejak Januari 2001, telah memberikan dampak besar
terhadap proses demokratisasi di tingkat lokal. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa
upaya Wahid telah memberikan basis yang cukup kuat bagi proses liberalisasi dan
demokratisasi ke depan.
Di era kepemimpinann Megawati Soekarnoputri (2001-2004), birokrasi tidak mengalami
perubahan apapun. Bahkan Presiden Megawati sendiri sempat mengeluhkan betapa
buruknya birokrasi Indonesia, yang digambarkan sebagai "keranjang sampah". Meskipun
telah memahami bahwa birokrasi di negeri ini tidak profesional karena tidak efisien dan
tidak efektif, upaya konkret untuk memperbaikinya tidak tampak. Selama periode
kepemimpinannya, Megawati cenderung memprioritaskan penciptaan keseimbangan
hubungan antara eksekutif-legislatif dan merangkul TNI dan Polri ketimbang membenahi
birokrasi.
Bahkan beredar berita di berbagai media massa bahwa Pemerintah Mega menggunakan
institusi birokrasi dalam pilpres 2004. Sebagai incumbent yang mencalonkan diri dalam
pilpres, Megawati ditengarai menggunakan jalur birokrasi melalui Departemen Dalam
Negeri (Depdagri) untuk mensosialisasikan dirinya dan untuk mendapat dukungan
menjelang pilpres 2004.
Fenomena birokrasi di era Megawati menunjukkan dengan jelas bahwa institusi ini rentan
menjadi ajang tarik-menarik kepentingan partai politik. Di tataran praksis, sulit dihindari
kecenderungsn untuk menarik birokrasi untuk tidak mendukung calon atau partai
tertentu.
Sedangkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang) birokrasi
masih berkutat dengan warisan lama yang sarat dengan patron-klien dan korupsi.
Kebijakan pemerintah SBY untuk memberantas korupsi di semua lembaga baik
eksekutif, legislatif dan yudikatif tampaknya masih harus melalui jalan panjang karena
hukum di negeri ini masih belum bisa ditegakkan secara penuh. Perkembangan terakhir
upaya untuk mereformasi birokrasi mengambil bentuk jalur UU, yaitu dengan
mengajukan usulan RUU berkaitan dengan perbaikan birokrasi atau administrasi publik.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi, mengumumkan akan
mereformasi birokrasi melalui lima RUU. Dikatakan bahwa RUU ini disiapkan untuk
menata sistem manajemen berbasis kinerja yang meliputi kelembagaan, tata laksana,
sumber daya manusia, budaya kerja dan hubungan teknologi (Kompas, 8 Juni 2006).
Adapun lima RUU yang disiapkan tersebut meliputi: RUU Administrasi Pemerintahan,
RUU Pelayanan Publik, RUU Etika Penyelenggaraan Negara, RUU Kementrian Negara
dan RUU Kepegawaian Negara.
Masalahnya, bila lima RUU tersebut berhasil disahkan dan diterapkan, apakah birokrasi
Indonesia akan mengalami perubahan yang signifikan? Sejarahnya, birokrasi Indonesia
mengalami perubahan dari periode ke periode. Namun, perubahan tersebut tidak
selalunya berdampak positif bagi perkembangan birokrasi, dan justru melanggengkan
sifat birokrasi patrimonial yang sarat dengan patron-klien.
Pengalaman politisasi birokrasi di era Orde Baru menjadikan institusi ini tidak netral dan
tidak professional. Sedangkan di pemerintahan sekarang ini, peran birokrasi tampak
kabur meskipun relatif tidak terpolitisasi sebagaimana era Orba. Dengan kata lain, apakah
kelima RUU tersebut cukup menjanjikan bila kultur lama birokrasi (yang hanya
berorientasi kepada penguasa dan mengabaikan pelayanan publik) dan kepastian hukum
di Indonesia juga tak diperbaiki?
Artinya, yang paling mendesak untuk diperbaiki seiring dengan reformasi birokrasi
adalah reformasi hukum atau penegakan hukum. Penciptaan hukum yang mengikat yang
mampu memberi penalti kepada warga negara sangat diperlukan karena tanpa itu sulit
memberantas korupsi di birokrasi.
Karena penciptaan UU sebagaimana yang diupayakan melalui kelima RUU di atas akan
sia-sia bila tidak mengikat secara utuh aparat birokrasi. Selain itu, perbaikan sistem
penggajian dan perubahan yang mendasar yang berkaitan dengan orientasi PNS pada
etika profesionalisme sangat relevan untuk diterapkan seiring dengan usulan kelima RUU
tersebut. Semua upaya tersebut akan bisa maksimal bila ditunjang oleh kepemimpinan
yang kokoh (strong leadership) yang memahami pentingnya mereformasi birokrasi.
Prospek Pluralisme Birokrasi Pasca Pemilu 2004
Menganalisis prospek pluralisme birokrasi ke depan tak dapat dilepaskan dari fenomena
birokrasi saat ini. Apakah yang berubah dan apakah yang tetap dari birokrasi selama
pemerintahan SBY (2004-sekarang). Berbeda dengan pemerintahan Megawati yang tidak
banyak membuat terobosan yang berarti untuk birokrasi, pemerintahan SBY relatif berani
membuat kebijakan pemberantasan korupsi di birokrasi, meskipun ini belum
menampakkan hasilnya yang maksimal.
Apa yang tetap adalah SBY meneruskan kebijakan minus growth pemerintah sebelumnya
dan tetap mempertahankan departemen penerangan (departemen komunikasi dan
informasi) dan departemen sosial yang dihidupkan kembali oleh Megawati. Demikian
juga dengan Sekneg, kekuasaannya dikembalikan supaya lebih solid dalam membantu
tugas-tugas presiden. Upaya perampingan birokrasi terhambat karena pemerintah justru
menambah jumlah departemen yang ada.
Masalah politisasi birokrasi tetap menjadi issu crucial bagi Indonesia. Kekhawatiran
publik terhadap keberpihakan birokrasi tidaklah berlebihan karena institusi ini sangat
rentan dan mudah menjadi wilayah konflik kepentingan partai politik. Terbukti masalah
netralitas ini kembali marak dipertanyakan ketika muncul issu terjadinya mobilisasi PNS
di Bali dalam rangka kampanye PDI-P menjelang pemilu legislatif bulan April 2004.
Bahkan makin mencuat lagi ketika disinyalir adanya kampanye terselubung birokrat
untuk mendukung salah satu capres dalam pemilu putaran kedua, 20 September 2004
(Kompas, 4 September 2004).
Juga adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno, No.4/2004 kepada gubernur
dan bupati/walikota seluruh Indonesia untuk mendukung capres tertentu.9 Hal ini dengan
jelas melanggar UU Pemilu 2003 yang secara tegas melarang melibatkan pejabat negara,
baik struktural maupun fungsional (Kompas, 10 September 2004).
Fenomena ini menunjukkan dengan jelas bahwa UU dan peraturan tentang birokrasi/PNS
ternyata masih tidak cukup kuat untuk mencegah upaya penyelewengan fungsi birokrasi.
Kecenderungan birokrat atau partai yang memerintah (apapun partainya) untuk
menggunakan mesin birokrasi sebagai alat yang efektif untuk mendapatkan dukungan
suara dalam pemilu (mulai dari pusat sampai ke level yang paling bawah), sulit dicegah.
Oleh karena itu, akan sangat sulit mengharapkan perubahan mindset PNS saat ini, dan
bisa jadi akan lebih mungkin mengharapkan adanya political will, ketauladanan, dan
integritas dari pemimpin negara.
Peluang reformasi birokrasi ke depan bisa jadi terhambat oleh konflik kepentingan yang
tidak pernah absen untuk senantiasa menggunakan mesin birokrasi sebagai pengumpul
suara dalam pemilu (baik dalam pilpres, pilkada dan pemilihan anggota legislatif). Lebih-
lebih lagi di era pilkada langsung yang diterapkan sejak Juni 2005.
Dengan sistem multi partai tidak tertutup kemungkinan konflik kepentingan di birokrasi
akan makin menajam. Selain itu, gambaran belakangan ini menunjukkan bahwa
disorientasi PNS ternyata masih berlangsung, di mana PNS cenderung bersikap pragmatis
dan memihak partai yang berkuasa. Hal ini bila diteruskan akan menghilangkan makna
birokrasi yang seharusnya melayani masyarakat dan bersikap profesional dalam
menjalankan tugasnya. Dengan kata lain, prospek reformasi birokrasi pasca pemilu 2004
tergantung seberapa besar komitmen elit birokrat dan pimpinan negara untuk
mereformasi birokrasi, sehingga mampu menghapus kesan bahwa komitmen mereka
cenderung longgar dan pragmatis.
Lepas dari tantangan besar yang masih didapi birokrasi untuk menjadi profesional, netral,
akuntabel dan partisipatif, secara umum dapat dikatakan bahwa birokrasi di era transisi
cenderung menciptakan birokrasi yang plural yang ditandai dengan makin pluralnya
sistem politik di mana sistem ini lebih terbuka terhadap pengaruh kekuatan sosial
(societal forces) dalam masyarakat. Salah satu indikator penting dari ciri pluralisme
birokrasi adalah tak satu pun kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah tak
mendapatkan sorotan atau kritikan dari masyarakat. Meskipun tak semua keberatan
publik dapat menggagalkan kebijakan pemerintah, sebagiannya terpaksa mengalami
penundaan karena resistensi yang besar dari masyarakat.10 Hal ini tentunya tidak pernah
terjadi di era Orde Baru.
Kesimpulan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pemilu 1999 telah mencatat secara relatif
keberhasilan netralitas birokrasi.11 Demikian juga pemilu 2004. Keberhasilan ini telah
mengubah birokrasi dari model otoritarian ke model plural atau lebih terbuka. Konsep
pluralisme birokrasi meluas ke suluruh wilayah Nusantara yang ditandai dengan makin
kuatnya pengaruh kekuatan sosial atau kekuatan non-birokrasi terhadap kebijakan publik.
Gambaran yang terbentang selama periode 1999-2006 menunjukkan: di satu sisi
Indonesia bergerak ke sistem politik demokrasi, tapi di sisi lain masih berjuang melawan
warisan patrimonialisme rejim Orde Baru.
Dalam kasus Indonesia, harapan terjadinya pembangunan yang simultan antara reformasi
birokrasi dan demokratisasi masih dipertanyakan. Proses demokratisasi yang berlangsung
sejak 1998 yang awalnya diharapkan bisa memperbaiki kualitas birokrasi, ternyata belum
bisa diwujudkan. Di tingkat praksis, proses demokratisasi tidak berjalan seiring dengan
perubahan birokrasi. Kendala besar yang dihadapi birokrasi adalah dirinya sendiri.
Mampu tidaknya birokrasi Indonesia melawan sikap pragmatismenya dan membuang
disorientasi yang masih lekat di dirinya, akan menentukan sukses tidaknya birokrasi
menjaga netralitasnya dengan partai. Idealnya memang dua bidang ini (demokrasi dan
birokrasi) bisa berjalan seiring dan saling melengkapi. Tapi tantangan besar justru datang
dari birokrasi yang tampak lamban dalam merespons perubahan yang pesat dalam
masyarakat. Dengan kenyataan seperti ini hampir dapat dipastikan bahwa proses
demokratisasi di Indonesia tidak akan berjalan mulus. Sebagai dampaknya, reformasi
birokrasi akan berjalan di tempat, untuk tidak mengatakan nyaris stagnan.*****
Pluralisme dalam Perspektif Birokrasi
KATA pluralisme akrab terdengar dalam tataran politik, idealisasi, strategi, dan sesuatu
yang bersifat sangat sensitif. Sebaliknya, sangat jarang terdengar pada tataran
operasional, prosedural birokrasi pemerintahan. Seperti ada ”ruang antara” ketika kita
mengangkat terminologi pluralisme, apakah ia berada pada tataran politis atau apakah ia
dapat menjadi pendekatan penyelesaian dalam tataran operasional.
Belakangan, di era otonomi daerah, pluralisme juga menjadi ”kambing hitam” belum
bagusnya implementasi otonomi daerah di Indonesia. Alasannya konsensus politik
desentralisasi dengan dilandasi kemajemukan bangsa dan daerah pada akhirnya menjadi
faktor utama yang mendorong implementasi otonomi daerah berkembang sendiri-sendiri
menurut ciri dan karakter daerah, sehingga pemerintah nasional (baca: pemerintah pusat)
menjadi ”keteter”, misalnya dengan pemekaran wilayah, isu putra daerah, gejala
pemilahan sosial, dll.
Indonesia memang terbangun dari keanekaragaman (diversity) dan terajut dalam
kemajemukan (pluralis) sebagai satu bangsa. Proses perajutannya juga berlangsung cukup
lama dalam pengerucutan nilai-nilai, sebagai sebuah value establishment, dimulai dari
1908, 1928, 1945, hingga sekarang.
Turun-naik proses harmoni dan disharmoni yang berlangsung di tengah-tengah
masyarakat. Semuanya dapat dirangkum dalam pengelolaan Negara Indonesia yang
sama-sama disepakati lahir sebagai negara bangsa melalui Proklamasi Agustus 1945. Ke-
Indonesia-an memang terbangun dari format pluralistik.
Pada masa lalu, nilai-nilai pluralisme itu dirangkum dalam Wawasan Nusantara dan harus
diakui bahwa konsep Wawasan Nusantara yang mengakomodasi pluralisasi itu sangat
tegas memaknai Indonesia sebagai pluralisme. Refleksi operasionalnya ketika itu
berlangsung antara lain dalam bentuk sosialisasi ideoleogi Pancasila dengan format
kegiatan P4.
Wawasan Nusantara berkembang ketika itu sebagai alat dalam dialog antar-pluralisme
masyarakat untuk saling menyadari dan memahami kultur masing-masing. Saat sekarang
sudah sangat dirasakan indikasi kebutuhan untuk membangun kepercayaan atau trust
berkaitan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme. Misalnya dengan
menyediakan ruang dialog antar etnis, sehingga pluralisme bisa dipahami dan dapat
memperpendek ruang dan jarak pemaknaan antar suku-suku bangsa golongan atau
elemen-elemen yang bersifat plural di Indonesia.
Konsep Pluralisme
Per definisi, pluralisme adalah nilai-nilai yang menghargai perbedaan dan mendorong
kerja sama bersama berdasar kesetaraan. Di dalamnya terkandung dialog untuk
membangun hubungan antarunsur dengan latar belakang berbeda, termasuk juga adanya
kerja sama untuk mencapai tujuan yang searah. (Endy M. Basyuni, 2007).
Pluralisme menurut ilmu-ilmu sosial berarti kerangka interaksi yang menunjukkan
adanya sikap saling menghargai, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama secara
produktif dan berlangsung tanpa konflik atau terjadi asimilasi (Wikipedia, 2007).
Sementara itu, menurut Azyumardi Azra mengutip Furnivall, 1944, bahwa masyarakat
plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-
tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam
satu unit politik tunggal. Teori ini berkaitan dengan realitas sosial politik Eropa yang
relatif homogen, tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, rasial, agama, dan gender.
Menurut Aung San Suu Kyi, (1991) pluralisme, tepatnya berkembang karena adanya
perbedaan kultur yang penting bagi bangsa dan rakyat yang berbeda untuk sepakat akan
hal-hal mendasar, yaitu nilai-nilai kemanusiaan yang direfleksikan sebagai faktor
pemersatu.
Kata pluralisme muncul dalam kondisi atau peristiwa, termasuk di antaranya peristiwa
sensitif seperti terkait agama, suku, gender, hak asasi manusia, dan budaya. Secara lebih
spesifik, isu pluralisme di Indonesia terkait isu agama, gender, hak asasi manusia,
masyarakat hukum adat, isu putra daerah, dan gejala pemilahan sosial sebagai
konsekuensi kebijakan pemerintah nasional (pusat).
Dengan demikian, sesungguhnya upaya penyelesaian persoalan-persoalan oleh
pemerintah (yang tidak lain dilakukan oleh birokrasi) perlu secara cermat melihat
persoalan yang timbul terkait dengan pluralisme tersebut dan mengembangkan kerangka
konseptualnya yang relevan.
Pada perspektif birokrasi, pluralisme adalah filosofi demokrasi keterwakilan dalam roda
pengambilan keputusan di mana kelompok atau golongan menikmati aktivitas, legitimasi,
dan pengaruhnya dalam merumuskan kebijakan publik. Implikasi utamanya ialah
pertama, harus ada keseimbangan dalam distribusi kekuasaan; kedua, adanya semangat
kompetisi dan partisipasi di antara kelompok yang terorganisasi dengan baik (bukan
individual) yang hadir dalam sistem sosial yang ada; dan ketiga, harus ada penilaian
tentang kondisi plural untuk menghindari dominasi elite yang dapat mengganggu nilai
keterwakilan (Mazziotti D.F., Journal of the American Institute of Planners, 1974)
Masalah dan Gejala Gangguan Kohesi Sosial
Beberapa hal yang relevan dalam persoalan pluralisme dapat dianalisis dalam perspektif
birokrasi, di antaranya :
pertama, persoalan agama dan syariah, muncul berupa pengaturan dengan peraturan
daerah. Dalam hal ini, bagi birokrasi, yang perlu menjadi pertimbangan serius adalah
prinsip dalam konsep keseimbangan bagi semua pihak.
Kedua, persoalan yang mengarah pada pornografi, di mana bagi birokrasi harus dapat
menilainya dengan prinsip keseimbangan penghargaan kepada keberadaan dan norma-
norma dalam masing-masing unsur masyarakat.
Ketiga, persoalan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat
yang mempunyai kebersamaan yang kuat, artinya, manusia menurut hukum adat
merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, mempunyai corak magis
religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
Pada tahap lanjut, masalah masyarakat hukum adat yang dikaitkan dengan pluralisme
juga akan mengena pada persoalan HAM dan hak atas akses pada sumber daya alam.
Seperti diketahui, salah satu ciri masyarakat hukum adat ialah melekat pada sumber daya
lahan (tanah), air, dan hutan.
Dari keseluruhan persoalan tersebut, sangat jelas yang terjadi ialah persoalan gangguan
kohesi sosial. Kohesi didefinisikan sebagai ikatan antara molekul dalam satu unsur.
Dalam kehidupan bermasyarakat, kohesi sosial diartikan sebagai pertautan dan ikatan
bersama masyarakat dalam satu bangsa, dalam hal ini Bangsa Indonesia.
Kita mengalami indikasi gangguan kohesi sosial akibat kondisi situasi politik juga
sebagai konsekuensi dari beberapa kebijakan. Cukup signifikan kita lihat sejak awal
reformasi, bahwa telah terjadi gangguan kohesi sosial yang berkembang di berbagai
daerah.
Beberapa indikasi gangguan kohesi sosial itu meliputi konflik horizontal atas alasan atau
dihubung-hubungkan dengan alasan agama, seperti di Ambon, Poso dengan fakta ikatan
kohesif dalam masyarakat menjadi terganggu. Simultan dengan indikasi konflik atas
alasan agama juga berkembang konflik atas alasan kesukuan, seperti di Sambas, Sampit,
dan sebagainya yang untuk itu melalui berbagai upaya proses damai, pada akhirnya dapat
diatasi dan terjadi pemulihan.
Gesekan antaretnis terdeteksi akibat, misalnya, format operasional budaya yang tidak
sesuai serta indikasi persaingan dalam akses terhadap sumber-sumber perekonomian.
Terjadi pula indikasi perkelahian massal antar-penduduk kampung karena persoalan
kebijakan pemerintah, misalnya terkait pemilihan kepala daerah (pilkada), pemekaran
wilayah, industri, kawasan hutan, tempat pembuangan akhir sampah, pencemaran, dan
juga akibat kebijakan yang mengandung ekses lanjut, seperti timbulnya ”kecemburuan”
sosial dalam masyarakat baik antarkelompok atau antarindividu.
Indikasi lainnya ialah gejala pemilahan sosial yang tumbuh berbarengan dengan
penguatan identitas sosial masyarakat daerah akibat otonomi daerah. Gejala itu antara
lain ditunjukkan oleh sikap bahwa dengan daerah memiliki segala-galanya dan tidak mau
”terganggu” oleh pusat, maka daerah merasa tidak butuh lagi berurusan dengan pusat
atau Jakarta. Wujud konkret gejala pemilahan sosial itu di antaranya isu separatis atau
resistensi atas suatu kebijakan pemerintah pusat.
Peran Birokrasi Pemda
Pemerintah daerah (pemda) mempunyai peran sangat penting untuk sama-sama menjaga
spirit kohesi sosial di antara Bangsa Indonesia dan tentu saja dalam menjaga hubungan
nasional dan daerah sesuai dengan fungsi dan tujuan konstitusi, UUD 1945. Dengan kata
lain, misalnya pejabat pemerintah (daerah) harus tidak asal mudah meneriakkan otonomi
khusus hanya atas alasan mereka tidak sama dengan wilayah lain yang ada di Indonesia;
tetapi harus dengan pertimbangan sangat matang dari segala aspek dan dengan justifikasi
yang benar dan arif.
Peran kebijakan pemerintah juga menjadi sangat penting dalam memunculkan ataupun
menghilangkan konflik, baik aktual maupun potensial. Selain itu perlunya pengembangan
dialog, misalnya dialog lintas etnis, atau dibukanya pos-pos pengaduan. Komunikasi
aparat/muspida dan tokoh dengan masyarakat sangat penting. Forum-forum komunikasi
seperti forum ulama-umaroh atau forum komunikasi lingkungan, lembaga budaya, dan
lain-lain merupakan instrumen penting.
Secara keseluruhan, penting pula bagi aparat untuk melihat kembali format pengambilan
keputusan dengan basis kemasyarakatan dan dengan prinsip-prinsip: prosedural,
fleksibilitas, dan akuntabilitas (Linder, S.H. dan Peters B.G., 1991). Elemen lebih rinci
dalam ketiga prinsip tersebut meliputi kepentingan invidual kelompok dan asosiasi (untuk
fleksibilitas) serta secara prosedural dengan elemen pengawasan dan sistem hukum
(yudisial) serta prinsip akuntabilitas dengan elemen yang meliputi aktualisasi pemerintah,
baik pemerintah daerah maupun nasional (pusat).
Sesuai fungsinya dalam pemerintahan, maka menjadi sangat penting bagi pemerintah
sebagai inisiator dalam rule making untuk senantiasa melakukan inovasi kebijakan serta
menjaga kebijakan yang dihasilkan. Perumusan kebijakan harus didasarkan pada kaidah-
kaidah pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang tepat, sehingga tidak akan
terjadi bias, baik bias dalam instrumen ataupun bias dalam hal aktor. Terlalu besar risiko
yang dihadapi ketika birokrat gagal mempersiapkan kebijakan yang tepat bagi para
pejabat politis dan para politisi untuk memutuskan dalam kaitan pluralisme. Kembali di
sini, jajaran birokrasi mendapatkan tantangan kerja. (*)