makalah bab ii pembahasan
DESCRIPTION
pembahasanTRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Metafisika
Metafisika berasal dari bahasa yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang
setelah fisika”. Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan
memerlukan daya abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa untuk mempelajarinya
menghabiskan beribu-ribu ton beras), ber-metafisika membutuhkan enersi intelektual yang
sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya. Metafisika
merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di
dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika mempersoalkan
realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’
yang paling utama. Apakah itu ‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’?. Apakah keseluruhan
kenyataan itu tunggal atau majemuk, Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam
ragam. Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang
diluar dunia fisik”. Sebagai contoh, toko buku metafisika, bukanlah menjual buku mengenai
ontology, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan
hal-hal sejenisnya.
Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi
dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap
aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami
dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “Ampuh” untuk menyibak semua realitas
mendasar dari segala yang ada.
Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling
abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi”
karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang sungguh-
sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin ataukah
tidak.
Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus
dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.
Dengan demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi
teori tentang realita.
2.2 Objek Metafisika Menurut Aristoteles
Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni : Ada sebagai yang ada; ilmu
pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu
sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh
panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.
Ada sebagai yang iLLahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang
lain, yakni Tuhan (iLLahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).
Epistemologi; merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods
and limits of human knowledge).
Metafisika adalah sebuah kekuatan yang terletak pada kekuatan mental, akal pikiran,
hati, jiwa serta semua fisik tubuh manusia, yang mana jika manusia bisa membangkitkan
kinerja semua unsur tubuh mereka, maka mereka memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.
Dalam istilah spiritual lebih dikenal sebagai ilmu ghaib (yang kekuatannya bisa dari unsur
luar yakni jin atau qorin/sedulur papat) dan istilah bagi mereka yang berkecimpung di dunia
pencak silat dan olah pernafasan, metafisik disebut sebagai tenaga dalam, yakni sebuah inti
energi yang terletak pada kekuatan nafas dan pikiran (visualisasi).
2.3 Tafsiran Metafisika
Manusia memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama
yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib
(supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan
alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir
tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.
Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini
sangat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa
gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena
kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui.
Penganut faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan
menurut hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola
bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau disodok oleh
tongkat bilyard.
2.4 Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan (Ontologi dan Epistemologi)
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan
Logos = Ilmu. Jadi, Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut Istilah,
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, akan ultimate reality baik
yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstract. Sedangkan menurut Jujun S.
Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu Dalam Persepektif mengatakan, ontology membahas
apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”.
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory.
Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal
yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang
bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) danma’lum (objek). Atau
dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar,
sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam
menentukan sebuah model filsafat.
Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan,
bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang
patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun
sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah
kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang
dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.
Metafisika ternyata mendapat pertentangan dari beberapa ilmuan, antara lain adalah
yang menganut paham positivisme. Paham positivisme logis menyatakan bahwa metafisika
tidak bermakna. Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General
Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus
meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were
just nonsense.
Berikut adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika. Alfred, J. Ayer
menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak
dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggung jawabkan dan juga tidak ada gunanya,
problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu, artinya permasalahan
yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut.
Dan Katsoff menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa
naturalism, materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang
lain adalah Luwig Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically,
hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat logis.
Wittgenstien menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu:
1). Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan
sebagai batas dari dunia.
2). Kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup
untuk mengalami pengalaman kematian.
3). Tuhan, Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia.
Dengan demikian Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat
diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja. Namun pada kenyataanya banyak
ilmuan besar, terutama Albert Einstein yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi
metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya.
Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni
ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar,
antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan
metafisika, misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat
dipecahkan oleh paradigm keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu
memecahkan masalah dan membutuhkan paradigm baru, pemecahan masalah baru, hal ini
hanya dapat dipenuhi dari hasil perenungan metafisik yang dalam banyak hal memang
bersifat spekulatif dan intuitif, hingga dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan
dapat membuka kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi,
postulat, tesis dan paradigm baru untuk memecahkan masalah yang ada.
Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah
pada fundamental ontologisnya. Sumbangan metafisika pada ilmu pengetahuan adalah
persinggunggan antara metafisika dan ontology dengan epistimologi.
Dalam metafisika yang mempertanyakan apakah hakikat terdalam dari kenyataan
yang diantaranya dijawab bahwa hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka
munculah paham materialism, sedangkan dalam epistimologi yang dimulai dari pertanyaan
bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Descartes telah menjelaskan bahwa kita
memperoleh pengetahuan melalui akal dan dari pemikiran tersebut maka munculah
rasionalisme. Sedangkan John Locke telah menjawab pertanyaan tersebut bahwa
pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah melahirkan aliran empirisme.
Sedangkan berbagai perdebatan lainnya dalam metafisika mengenai realitas, ada tidak dan
lainnya sebagaimana telah dikemukan di dalam telah melahirkan berbagai pandangan berbeda
satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai aliran pemahaman yang lazim
dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal, ketika pemahaman-pemahaman aliran-aliran
filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah epistimologi atau dihadapkan pada fenomena
dinamika perkembangan illmu pengetahuan.
Metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi
atau intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para
metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan
terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen sangat
diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.
Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan
mengenai cara berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu
yang bersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang tinggi
sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika mengajarkan pada peminat
filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai kebenaran yang paling akhir.
2.5 Filsafat Metafisika dalam Agama
Filsafat sebagai suatu proses berfikir yang tersusun rapi, sistematis dan menyeluruh
juga mempunyai obyek yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek filsafat adalah segala
yang ada, sedangkan segala yang ada mencakup yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.
Obyek yang kelihatan adalah dunia empiris sedangkan yang tidak kelihatan adalah alam
ghaib atau metafisika.
Agama sebagai salah satu wahyu tuhan atau kepunyaan Tuhan untuk manusia di alam
ini. Agama adalah untuk manusia yang membicarakan cara bergul antara sesama manusia,
manusia dengan makhluk lain, manusia dengan Tuhan, malaikat dan bagaimana hubungan
manusia dengan Tuhan. Sedangkan hubungan manusia dengan tuhan adalah sesuatu yang
metafisika. Sedangkan manusia adalah fisik dan hubungannya dengan Tuhan adalah
metafisika. Tetapi yang jelas dalam pembahasan filsafat agama adalah pada aspek
metafisiknya. Dengan demikian agama adalah obyek metafisik dari filsafat agama terutama
tentang obyek material filsafat. Tetapi apabila dilihat dari sudut pandang obyek formal agama
dipandang secara menyeluruh, bebas, obyektif, radikal tentang ajaran-ajarannya.
Pendekatan menyeluruh merupakan suatu proses dalam rangka mendapatkan
gambaran utuh tentang suatu permasalahan yang sedang dibahas. Membahas agama secara
filsafat tidak bersifat parsial tetapi komprehensip mengenai berbagai ajarannya. Pendekatan
obyektif adalah pendekatan yang dapat digunakan secara nyata dan bersesuaian dengan
realitas obyektif. Sehingga subyektif dalam pembahasan dapat dikurangi.
Dalam pendekatan obyektif memungkinkan seseorang terbebas dari subyektifitas
dalam membahas tentang suatu agama karena agama mempunyai kemungkinan subyektifitas
sangat tinggi. Hal ini dapat dicermati dari aspek orang yang meneliti agama tersebut. Karena
peniliti agama biasanya adalah orang yang sudah beragama. Meskipun dengan tanpa terlalu
curiga dapat juga seseorang yang telah mempunyai agama tertentu kemudian mempelajari
agama lain mungkin dapat juga memandang secara obyektif keilmuan.
Dalam uraian sebelumnya telah disinggung bahwa pembahasan fislsafat agama adalah
bebas, kebebasan tersebut dapat mengambil dua bentuk yaitu pertama, membahas dasar-dasar
agama secara analitis, kritis tanpa terikat dan terbelenggu oleh ajaran-ajaran, dan tanpa ada
kesimpulan atau tujuan menyatakan kebenaran suatu agama. Kedua, membahas dasar-dasar
agama secara kritis dan analitis dengan maksud untuk mencari dan menyatakan kebenaran
suatu agama tertentu, atau dapat juga bertujuan adan menjelaskan bahwa agama yang diteliti
mempunyai ajaran yang tidak bertentangan dengan akal manusia. Pembahasan tentang
filsafat agama membutuhkan pemikiran yang radikal yang membahas sampai akar-akarnya,
dalam arti mendalam.
2.6 Filsafat Metafisika Menurut Filsuf Yunani dan Filsuf Muslim
2.6.1. Hellenisme dan Problem Metafisika Yunani
Pengaruh Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani yang "pagan" atau mushrik yang
kemudian menjadi polemik di kalangan sarjana muslim ikut mewarnai pemikiran filsafat
Islam. Namun demikian, terdapat pemikiran filsafat yang orisinil berasal dari filosof muslim,
seperti Ibn Rushd dari Spanyol (520-595 H/ 1126-1198 M) dengan filsafat Profetiknya
(kenabian, yang merupakan trade mark filsafat Islam) yang tidak kita peroleh dari karya-
karya Yunani. Juga ada Ibn Bajah dari Spanyol (w. 533 H/1138 M) dan Ibn Tufail dari
Spanyol (w. 581 H/1185 M).
Interaksi intelektual orang-orang Islam dengan dunia pemikiran Hellenik terutama
terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch dan Ephesus (Siria), Harran
(Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia). Di tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama
untuk kegiatan penelitian dan penerjemahan karya-karya kefilsafatan dan ilmu pengetahuan
Yunani Kuno dan memperoleh dukungan dari para penguasa Muslim.
Dunia filsafat yang dihuni oleh para filsuf mengetengahkan berbagai konsep metafisik
tentang hakekat yang sebenarnya di balik alam ini. Kegiatan bidang filsafat ini diawali oleh
para filsuf Yunani kuno mulai dari angkatan pra-Sokrates (Thales, Anaximenes, Pythagoras,
Xenophanes, Heroklitos, Parmanides, Empedokles, Anaxagoras, Demokritos), zaman
Sokrates (masa Sofisme, Sokrates, Plato dan Aristoteles) sampai ke zaman Hellenisme.
Secara garis besar, pendapat-pendapat mereka yang berkenaan dengan dunia metafisik
kelompokkan menjadi tiga kelompok besar :
a. Faham Monisme, satu faham yang mengatakan bahwa hakekat segala sesuatu ini berasal
dari unsur tunggal,
b. Dualisme, satu faham yang berpendapat bahwa unsur pokok segala sesuatu di alam ini dua,
c. Pluralisme, bahwa unsur segala sesuatu di dunia ini banyak.
Di samping mencoba mencari pemecahan rasional mengenai hakekat segala sesuatu di
balik alam nyata ini, mereka juga mengetengahkan konsepsi "Tuhan". Namun harus
dibedakan antara konsepsi metafisik yang bersifat religi dengan yang non-religi. Thales (625-
545 SM) misalnya, berpendapat bahwa asal segala sesuatu ini adalah "air" (monisme), tetapi
ia tidak menyatakan bahwa air adalah Tuhan. Dualisme berpendapat bahwa asal segala
sesuatu ini dari dua unsur; roh dan materi, tetapi ini tidak menyatakan bahwa dua unsur
tersebut adalah Tuhan. Sedangkan konsep metafisik yang bersifat religi adalah konsep yang
di dalamnya memasukkan masalah ketuhanan. Dari para filsuf Yunani, beberapa di antaranya
akan diturunkan dalam pembahasan ini.
Heraklitos (540-475 SM), seorang filsuf yang hidup pada masa pra-Sokrates,
menyatakan: "Segala sesuatu berasal dari satu, hukum mengikuti kehendak yang satu itu.
Kebijakan tercapai hanya dengan satu cara, yakni, mengetahui zat yang menguasai dan
mengatur segala sesuatu". Russel juga menukil pernyataan Heraklitos yang mirip dengan
pernyataan di atas, "dari yang satu keluar segala sesuatu, dan segala sesuatu yang keluar dari
yang satu bukanlah hakekat yang sebenarnya. Yang satu itu adalah "Tuhan". Ini berarti dalam
masalah keyakinan terhadap Tuhan, Heraklitos menganut monotheisme,percaya pada Tuhan
yang satu bukan politheisme seperti yang umum dianut oleh bangsa Yunani. Heraklitos
memeluk agamanya sendiri yang berlawanan dengan agama yang umum di anut oleh orang-
orang Yunani, demikian kata Russel.
Kira-kira satu abad kemudian, Plato (427-347 SM), seorang filsuf Yunani lainnya,
juga memiliki pandangan monotheisme. Plato mengatakan, "Dunia inderawi ini tidak kekal,
dan ia diciptakan oleh Tuhan. Tuhan adalah lambang kebaikan. Tuhan menghendaki segala
suatu ini, sedapat mungkin seperti dia. Tuhan menghendaki segala sesuatu ini baik, dan tidak
ada yang jelek. Tuhan adalah sumber ide, pencipta ide, Supreme Being, tidak berubah,
sempurna dan Esa. Tetapi, menurut plato, Tuhan tidak menciptakan dunia ini dari tidak ada
menjadi ada. Tuhan menciptakan dunia ini dari materi (bahan dunia) yang telah ada
sebelumnya yang keadaannya masih tidak teratur.
Aristoteles (348-322 SM), murid Plato, juga memiliki konsepsi Tuhan yang berbeda
dengan konsepsi dewa-dewa yang diyakini oleh orang Yunani umumnya. Menurutnya, Tuhan
adalah penggerak yang tidak bergerak, atau unmoved mover. Tuhan adalah penyebab gerak
alam, ia adalah prima causa, atau penyebab pertama. Dalam konsepsi Aristoteles, Tuhan
bukanlah pencipta alam ini, melainkan hanya sebagai penggerak saja. Aristoteles jaga
menyebut Tuhan itu sebagai zat murni, aktualitas murni,akal murni. Dia zat yang hidup,
kekal dan baik. Tuhan hanya membentuk alam ini dari bahan yang telah ada sebelumnya.
Inilah arti, Tuhan menggerakkan alam, yakni Tuhan menggerak-gerakkan "materi alam" yang
sudah ada sebelumnya menjadi punya bentuk, atau form. Tuhan mengubah materi (bahan
alam) menjadi punya form (bentuk).
Contoh pendekatan filsafat inilah yang dimaksud dengan argumentasi ontologi.
Argumentasi ini menyatakan bahwa di dalam fikiran manusia terdapat ide tentang adanya
Tuhan. Inilah pokok dalil antologi tersebut; di dalam fikiran manusia terdapat ide adanya
Tuhan. Tetapi dalil (argumentasi) ini bukannya tak bisa dikritik.Immanuel Kant (Jerman)
mengkritik dalil (argumentasi) ini demikian, "apa bila di dalam fikiran saya terdapat ide
bahwa didalam saku baju itu terdapat uang sejumlah 300 dolar, apakah benar secara obyektif-
nyata bahwa di dalam saku baju itu benar-benar ada uang sejumlah itu?". Artinya, apa yang
terdapat di dalam fikiran saya bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Misalnya, ternyata di dalam saku baju itu tidak ada uang sejumlah 300 dolar. Dengan
demikian ide yang terdapat di dalam fikiran tidak sesuai dengan kenyataan, karena
kenyataannya uang itu tidak ada di dalam saku baju itu. Ini berarti ide yang terdapat dalam
fikiran saya hanyalah khayalan saja. Ide tersebut dikatakan khayalan karena ia tidak didukung
oleh kenyataan yang sebenarnya. Dengan demikian jelaslah bahwa konsepsi saya hanya
bersifat subyektif, tidak obyektif. Atau subyektifitas saya memaksakan konsepsi terhadap
sesuatu obyek yang nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan obyektif sebenarnya. Kant
kemudian membalikkan proses pemikiran filsafat dengan mengatakan mulai sekarang,
bukanlah subyek yang mengarah kepada obyek, melainkan obyeklah yang harus mengarah
kepada subyek. Iqbal mencoba memberikan pemecahan dalam masalah ini. Menurutnya,
biarlah Tuhan itu sendiri yang mengatakan dan menyampaikan tentang diri-Nya melalui
firman-Nya kepada manusia sebagai subyek yang mencoba mencari Tuhan.
2.6.2 Metafisika al-Kindi (801-870 M/ 185-254 H)
Nama lengkap Al Kindi adalah Abu Yusuf, Ya'kub Ibn Ish{aq al-Sabah, Ibn Imran,
Ibn al- Asha'at, Ibn al-Kays al-Kindi, keturunan suku Kays. Lahir tahun 185 H (801 M) di
Kufah.
Al-Kindi membedakan yang wujud menjadi dua: Pertama, wujud yang wajib (al-
wajib al-wujud), Kedua, wujud yang mumkin (mumkin al-wujud). Wujud yang wajib adalah
wujud yang ada dengan sendirinya, tidak disebabkan oleh yang lainnya. Ia adalah Allah.
Sedangkan wujud yang mumkin adalah wujud yang disebabkan oleh yang lainnya. Alam atau
asal alam (al-hayula) adalah mumkin. Ia tidak wujud dengan sendirinya, melainkan
diciptakan oleh yang lainnya. Karena itu alam ini baru, keberadaan dan kelangsungannya
tergantung pada wujud yang lain.
Sebagai seorang filosof yang berorientasi teologi, ia menolak dengan tegas apa yang
telah dikatakan oleh Aristoteles dan pengikutnya mengenai pencitaan alam. Mereka
mengatakan bahwa alam ini diciptkan bukan dari tidak ada, juga menolak argumen tentang
keabadian alam. Al-Kindi menyatakan dengan tegas bahwa " karena jasad memiliki genus
dan spesies, sementara yang abadi tidak punya genus, maka jasad tidak lah abadi
2.6.3Metefisika al-Farabi (870-950 M/ 257-337 H)
Abu Nasr Muhammad al-Farabi. Beliau adalah seorang muslim keturunan Parsi, yang
dilahirkan di kota Farab (Turkestan), putra dari Muhammad Ibn Auzalgh seorang panglima
perang Parsi dan kemudian berdiam di Damshik. Al-Farabi belajar di Bagdad dan Harran,
kemudian ia pergi ke Suria dan Mesir. Ayahnya orang Iran yang menikah dengan wanita
Turkestan.
Seperti al-Kindi, ia juga membagi wujud menjadi dua; wujud yang wajib dan wujud
yang mumkin. Di luar wujud itu tidak ada wujud yang lain. Wujud yang wajib itu abadi,
sempurna, hakekat yang sebenarnya. Dia adalah Allah. Wujud yang sempurna ini haruslah
hanya satu. Dari zat yang eka inilah muncul yang serba aneka. Wujud yang yang mumkin
adalah wujud yang adanya disebabkan oleh lainnya, tidak sempurna, beraneka dan berubah-
ubah
2.6.4 Metafisika Ibn Sina (980-1037 M/ 370-428 H)
Menurut penjelasannya sendiri, beliau dilahirkan di desa Afshanah dekat dengan
Bukhara, di Transoxiana (Persia Utara). Minat Ibn Sina terhadap filsafat tampaknya telah
berkembang sejak ia menyimak percakapan mereka pada saat mengunjungi ayahnya, tetapi
studi sistematikanya tentang logika dan kedokteran dimulai beberapa saat kemudian.
Bagi Ibn Sina memberikan argument tentang adanya tuhan adalah "puncak dari segala
spekulasi metafisik" Konsep metafisika Ibn Sina adalah konsep yang istilahnya telah
disinggung oleh al-Kindi dan al-Farabi. Ibnu Sina membagi wajib al-wujud menjadi dua ;
a. Wajib al-wujud bi z {yakni wujud yang wajib adanya sebab oleh dirinya sendiri tanpa
sebab dari luar. Wujud ini hanya satu, esa, zat tuhan
b. Wajib al-wujud bi ghairi z{ yaitu wujud yang wajib adanya dengan adanya sebab dari
luar dirinya. Wujud ini adalah makhluk.
2.6.5 Metafisika al-Razi (865-925 M/ 251-313 H )
Al Razi dilahirkan di Ray (sekarang Teheran) propinsi Khurasan. Nama lengkapnya
Abu Abdi Allah Muhammad Ibn 'Umar Ibn Al-Husain Fakhr Al-din Al-Razi. Ahli dalam
bermain harpa dan menjadi penukar uang sebelum beralih kepada filsafat dan kedokteran.
Pandangan al-Razi tentang metafisika ini diuraikan dalam bukunya yang berjudul
Ilmu Ketuhanan. Namun buku tersebut sudah tidak ada lagi kini. Yang kini ada hanyalah
berupa sangkalan-sangkalan dari beberapa paragrap buku tersebut dan yang dikumpulkan
oleh Kraus. Menurut Al-Biruni persoalan metafisika yang digarap oleh al-Ra>zi itu tidak lain
hanyalah merupakan penjiplakan dari filsafat Yunani Kuno. Problem utamanya adalah
tentang adanya ilmu prinsip yang kekal. Dan kelima prinsip tersebut adalah tentang Tuhan,
jiwa yang universal, materi pertama, yang absolut dan waktu yang absolut.
Pemikiran al-Razi tentang lima postulat (dalil) tersebut kemudian dijadikan dasar
dalam menetapkan wujud alam. Artinya jika lima hal tersebut ada, maka alam ini akan
terbentuk dan sebaliknya jika lima hal tersebut tidak ada, maka alam inipun tidak ada.
Adapun penjabaran dari lima postulat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tuhan
Menurut al-Razi tuhan itu maha bijaksana. Ia tidak mengenal istilah lupa. Hidup ini
keluar dari-Nya sebagaimana sinar terpancar dari sang surya. Tuhan adalah pencipta dari
segala sesuatu. Kekuasaan-Nya tidak ada yang menyamai. Ia mengetahui segala sesuatu
dengan sempurna. Pengetahuan tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia. Sebab
pengetahuan manusia dibatasi oleh pengalaman. Sedang pengetahuan-Nya tidak dibatasi oleh
pengetahuan. Tuhan tahu tentang sifat jiwa yang cenderung bersatu dengan jiwa dan mencari
kezatan material. Setelah jiwa bergabung dengan tubuh tuhan kemudian mengatur hubungan
tersebut dengan harmonis. Yaitu dengan melimpahkan akal ke dalam jiwa. Lantaran memiliki
akal jiwa menjadi sadar, bahwa selama masih bergandengan dengan tubuh ia akan menderita.
Dengan akal, jiwa tahu tempat asalnya. Akal pulalah yang menginsafkan jiwa bahwa
kebahagiaan tertinggi hanya akan diperoleh setelah jiwa mampu melepaskan diri dari
dukungan tubuh.
b. Jiwa Universal
Alam ini diciptakan tuhan dengan suatu tujuan. Semula ia tidak berkehendak untuk
menciptkannya, namun kemudian kehenendak itu ada. Kalau demikian tentu ada yang
mendorongnya, sudah berang tentu pendorong itu sendiri harus abadi bisa merupakan sebab
dari yang hidup tetapi dungu. Karena menyadari kebodohannya, jiwa tertarik pada benda agar
dapat memperoleh kesenangan material. Melihat nasib jiwa yang demikian ini.
Di saat jiwa mendekat pada tubuh, tubuh meronta. Melihat nasib jiwa yang tragis ini,
tuhan berkenan menolongnya dengan jalan membentuk alam ini dalam susunan yang kuat,
sehingga ruh dapat memperoleh kesenangan material di dalamnya.
Setelah itu tuhan menciptakan manusia. Dari substansi ketuhanan-Nya kemudian
diciptakan akal. Fungsi akal adalah menyadarkan manusia, bahwa dunia yang dihadapinya
sekarang ini bukanlah dunia yang sesungguhnya. Menurut al-Ra>zi dunia yang sesungguhnya
itu dapat dicapai dengan filsafat. Oleh karena itu siapa yang belajar filsafat akan mengetahui
yang sesungguhnya serta memperoreh pengetahuan selamanya akan tetap berada di dunia
sebelum disadarkan oleh filsafat.
c. Benda
Benda pertama terdiri dari atom-atom. Masing-masing atom tadi memiliki volume.
Tanpa adanya penggabungan dari atom-atom tadi tak akan ada sesuatu yang terwujud.
Karenanya sulitlah untuk membeyangkan adanya creatio ex nihilo. Atom-atom mempunyai
sifat sendiri bila padat ia akan menjadi tanah, kalau kurang padat akan menjadi air. Bila lebih
jarang akan menjadi udara dan akhirnya kalau paling jarang akan menjadi api. Sebenarnya
teori al-Razi ini (tentang benda) merupakan penggabungan antara teori Demokritos dengan
teori Empedokles. Selanjutnya. al-Ra>zi mengatakan bahwa tidak ada di dunia ini sesuatu
yang berasal dari sesuatu yang lain. Dan sesuatu yang lain adalah benda. Jadi benda itu abadi.
Pada mulanya ia tidak terbentuk tetapi terpancar dimana-mana.
d. Ruang Absolut
Oleh karena materi pertama itu kekal, maka membutuhkan ruang yang sifatnya kekal
juga. Sebab tidak mungkin kekal itu berada pada yang nisbi. Menurut al-Razi ruang itu ada
dua macam, yaitu ruang yang absolute dan ruang relative. Ruang absolute tidak
menggantungkan wujudnya pada alam maupun benda-benda yang membutuhkan ruang.
Sebaliknya setiap ruang mesti diisi oleh benda. Ruang ini disebut ruang relativ
e. Masa Absolut
Waktupun menurutnya dibagi menjadi dua macam, yaitu waktu yang absolute dan
waktu yang terbatas. Waktu absolute adalah perputaran waktu, sifatnya bergerak dan kekal.
Waktu yang terbatas adalah waktu yang diukur berdasarkan pergerakan bumi, matahari dan
bintang-bintang.
Harus dikemukakan segera bahwa al-Razi tidak mengajukan pembuktian apapun
tentang kekekalan pencipta maupun jiwa. Cukup jelas ia mempercayai bahwa dunia
diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara. Berbeda dengan Plato yang mengatakan
bahwa dunia ini diciptakan tetapi bersifat abadi. Oleh karena itu keabadian jiwa dan pencipta
harus dinyatakan telah diajukan oleh al-Razi, sama dengan Plato, sebagai pernyataan
aksiomatik. Tidak saja keabadian jiwa, baik a parte ante maupun a parte post, tetapi juga
filsafat sebagai satu-satunya jalan ke arah penyucian jiwa dan pelepasannya dari belenggu
tubuh, mencerminkan pengaruh Platonik-Phytagorean yang cukup kentara, yang bertentangan
dengan konsep Islam tentang wahyu dan konsep kenabian. Sebenarnya karena keinginannya
untuk menyesuaikan diri sepenuhnya dengan premis rasionalistiknya, al-Ra>zi telah menolak
secara terang-terangan konsep wahyu dan peranan para nabi sebagai mediator antara tuhan
dan manusia. Menurutnya, kenabian itu tidak berguna, karena cahaya akal yang diberikan
tuhan cukup memadai untuk menerima kebenaran, dan juga menjijikan, karena telah banyak
menyebabkan pertumpahan darah dan peperangan antara suatu bangsa (mungkin, orang-
orang Arab) yang meyakini dirinya dianugerahi wahyu ilahi dan yang lain sebagai orang-
orang yang kurang beruntung
Menilik dari apa yang dipaparkan oleh para filsuf, baik dari Yunani kuno dan
kalangan Muslim, terdapat persamaam yang sangat mendasar tentang konsepsi tuhan,
walaupun dengan bahasa yang berbeda. Tuhan dalam pandangan mereka adalah wujud
tunggal yang pasti adanya yang menjadi sumber dari wujudnya alam (segala sesuatu selain
tuhan). Juga pandangan bahwa tuhan adalah lambang dari kebaikan dan hanya menghendaki
kebaikan. Dengan mengambil nilai-nilai persamaan ini diharapkan akan tercipta saling
menghargai antar penganut faham apapun. Ini penting sebagai pengetahuan agar kita bijak
dalam menghadapi perbedaan.