makalah bab ii pembahasan

20
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Metafisika Metafisika berasal dari bahasa yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang setelah fisika”. Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa untuk mempelajarinya menghabiskan beribu-ribu ton beras), ber- metafisika membutuhkan enersi intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya. Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama. Apakah itu ‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’?. Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk, Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam ragam. Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang diluar dunia fisik”. Sebagai contoh, toko buku metafisika, bukanlah menjual buku mengenai ontology, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan hal-hal sejenisnya. Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas

Upload: astri-yulianti

Post on 06-Feb-2016

18 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pembahasan

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah BAB II Pembahasan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Metafisika

Metafisika berasal dari bahasa yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang

setelah fisika”. Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan

memerlukan daya abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa untuk mempelajarinya

menghabiskan beribu-ribu ton beras), ber-metafisika membutuhkan enersi intelektual yang

sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya. Metafisika

merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di

dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Dimana metafisika mempersoalkan

realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’

yang paling utama. Apakah itu ‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’?. Apakah keseluruhan

kenyataan itu tunggal atau majemuk, Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam

ragam. Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang

diluar dunia fisik”. Sebagai contoh, toko buku metafisika, bukanlah menjual buku mengenai

ontology, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif dan

hal-hal sejenisnya.

Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi

dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap

aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami

dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “Ampuh” untuk menyibak semua realitas

mendasar dari segala yang ada.

Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling

abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi”

karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang sungguh-

sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin ataukah

tidak.

Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus

dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.

Dengan demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi

teori tentang realita.

Page 2: Makalah BAB II Pembahasan

2.2 Objek Metafisika Menurut Aristoteles

Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni : Ada sebagai yang ada; ilmu

pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu

sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh

panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.

Ada sebagai yang iLLahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang

lain, yakni Tuhan (iLLahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).

Epistemologi; merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan

pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods

and limits of human knowledge).

Metafisika adalah sebuah kekuatan yang terletak pada kekuatan mental, akal pikiran,

hati, jiwa serta semua fisik tubuh manusia, yang mana jika manusia bisa membangkitkan

kinerja semua unsur tubuh mereka, maka mereka memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.

Dalam istilah spiritual lebih dikenal sebagai ilmu ghaib (yang kekuatannya bisa dari unsur

luar yakni jin atau qorin/sedulur papat) dan istilah bagi mereka yang berkecimpung di dunia

pencak silat dan olah pernafasan, metafisik disebut sebagai tenaga dalam, yakni sebuah inti

energi yang terletak pada kekuatan nafas dan pikiran (visualisasi).

2.3 Tafsiran Metafisika

Manusia memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama

yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib

(supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan

alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir

tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.

Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini

sangat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa

gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena

kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui.

Penganut faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan

menurut hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola

bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau disodok oleh

tongkat bilyard.

2.4 Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan (Ontologi dan Epistemologi)

Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan

Logos = Ilmu. Jadi, Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut Istilah,

Page 3: Makalah BAB II Pembahasan

Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, akan ultimate reality baik

yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstract. Sedangkan menurut Jujun S.

Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu Dalam Persepektif mengatakan, ontology membahas

apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu

pengkajian mengenai teori tentang “ada”.

Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan.

Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory.

Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal

yang mengitari teori ilmu pengetahuan.

Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang

bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) danma’lum (objek). Atau

dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar,

sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam

menentukan sebuah model filsafat.

Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan,

bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang

patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun

sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah

kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang

dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.

Metafisika ternyata mendapat pertentangan dari beberapa ilmuan, antara lain adalah

yang menganut paham positivisme. Paham positivisme logis menyatakan bahwa metafisika

tidak bermakna. Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General

Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus

meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were

just nonsense.

Berikut adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika. Alfred, J. Ayer

menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak

dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggung jawabkan dan juga tidak ada gunanya,

problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu, artinya permasalahan

yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut.

Dan Katsoff menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa

naturalism, materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang

Page 4: Makalah BAB II Pembahasan

lain adalah Luwig Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically,

hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat logis.

Wittgenstien menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu:

1). Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan

sebagai batas dari dunia.

2). Kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup

untuk mengalami pengalaman kematian.

3). Tuhan, Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia.

Dengan demikian Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat

diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja. Namun pada kenyataanya banyak

ilmuan besar, terutama Albert Einstein yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi

metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya.

Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni

ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar,

antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan

metafisika, misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat

dipecahkan oleh paradigm keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu

memecahkan masalah dan membutuhkan paradigm baru, pemecahan masalah baru, hal ini

hanya dapat dipenuhi dari hasil perenungan metafisik yang dalam banyak hal memang

bersifat spekulatif dan intuitif, hingga dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan

dapat membuka kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi,

postulat, tesis dan paradigm baru untuk memecahkan masalah yang ada.

Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah

pada fundamental ontologisnya. Sumbangan metafisika pada ilmu pengetahuan adalah

persinggunggan antara metafisika dan ontology dengan epistimologi.

Dalam metafisika yang mempertanyakan apakah hakikat terdalam dari kenyataan

yang diantaranya dijawab bahwa hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka

munculah paham materialism, sedangkan dalam epistimologi yang dimulai dari pertanyaan

bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Descartes telah menjelaskan bahwa kita

memperoleh pengetahuan melalui akal dan dari pemikiran tersebut maka munculah

rasionalisme. Sedangkan John Locke telah menjawab pertanyaan tersebut bahwa

pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah melahirkan aliran empirisme.

Sedangkan berbagai perdebatan lainnya dalam metafisika mengenai realitas, ada tidak dan

lainnya sebagaimana telah dikemukan di dalam telah melahirkan berbagai pandangan berbeda

Page 5: Makalah BAB II Pembahasan

satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai aliran pemahaman yang lazim

dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal, ketika pemahaman-pemahaman aliran-aliran

filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah epistimologi atau dihadapkan pada fenomena

dinamika perkembangan illmu pengetahuan.

Metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi

atau intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para

metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan

terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen sangat

diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.

Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan

mengenai cara berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu

yang bersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang tinggi

sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika mengajarkan pada peminat

filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai kebenaran yang paling akhir.

2.5 Filsafat Metafisika dalam Agama

Filsafat sebagai suatu proses berfikir yang tersusun rapi, sistematis dan menyeluruh

juga mempunyai obyek yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek filsafat adalah segala

yang ada, sedangkan segala yang ada mencakup yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.

Obyek yang kelihatan adalah dunia empiris sedangkan yang tidak kelihatan adalah alam

ghaib atau metafisika.

Agama sebagai salah satu wahyu tuhan atau kepunyaan Tuhan untuk manusia di alam

ini. Agama adalah untuk manusia yang membicarakan cara bergul antara sesama manusia,

manusia dengan makhluk lain, manusia dengan Tuhan, malaikat dan bagaimana hubungan

manusia dengan Tuhan. Sedangkan hubungan manusia dengan tuhan adalah sesuatu yang

metafisika. Sedangkan manusia adalah fisik dan hubungannya dengan Tuhan adalah

metafisika. Tetapi yang jelas dalam pembahasan filsafat agama adalah pada aspek

metafisiknya. Dengan demikian agama adalah obyek metafisik dari filsafat agama terutama

tentang obyek material filsafat. Tetapi apabila dilihat dari sudut pandang obyek formal agama

dipandang secara menyeluruh, bebas, obyektif, radikal tentang ajaran-ajarannya.

Pendekatan menyeluruh merupakan suatu proses dalam rangka mendapatkan

gambaran utuh tentang suatu permasalahan yang sedang dibahas. Membahas agama secara

filsafat tidak bersifat parsial tetapi komprehensip mengenai berbagai ajarannya. Pendekatan

obyektif adalah pendekatan yang dapat digunakan secara nyata dan bersesuaian dengan

realitas obyektif. Sehingga subyektif dalam pembahasan dapat dikurangi.

Page 6: Makalah BAB II Pembahasan

Dalam pendekatan obyektif memungkinkan seseorang terbebas dari subyektifitas

dalam membahas tentang suatu agama karena agama mempunyai kemungkinan subyektifitas

sangat tinggi. Hal ini dapat dicermati dari aspek orang yang meneliti agama tersebut. Karena

peniliti agama biasanya adalah orang yang sudah beragama. Meskipun dengan tanpa terlalu

curiga dapat juga seseorang yang telah mempunyai agama tertentu kemudian mempelajari

agama lain mungkin dapat juga memandang secara obyektif keilmuan.

Dalam uraian sebelumnya telah disinggung bahwa pembahasan fislsafat agama adalah

bebas, kebebasan tersebut dapat mengambil dua bentuk yaitu pertama, membahas dasar-dasar

agama secara analitis, kritis tanpa terikat dan terbelenggu oleh ajaran-ajaran, dan tanpa ada

kesimpulan atau tujuan menyatakan kebenaran suatu agama. Kedua, membahas dasar-dasar

agama secara kritis dan analitis dengan maksud untuk mencari dan menyatakan kebenaran

suatu agama tertentu, atau dapat juga bertujuan adan menjelaskan bahwa agama yang diteliti

mempunyai ajaran yang tidak bertentangan dengan akal manusia. Pembahasan tentang

filsafat agama membutuhkan pemikiran yang radikal yang membahas sampai akar-akarnya,

dalam arti mendalam.

2.6 Filsafat Metafisika Menurut Filsuf Yunani dan Filsuf Muslim

2.6.1. Hellenisme dan Problem Metafisika Yunani

Pengaruh Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani yang "pagan" atau mushrik yang

kemudian menjadi polemik di kalangan sarjana muslim ikut mewarnai pemikiran filsafat

Islam. Namun demikian, terdapat pemikiran filsafat yang orisinil berasal dari filosof muslim,

seperti Ibn Rushd dari Spanyol (520-595 H/ 1126-1198 M) dengan filsafat Profetiknya

(kenabian, yang merupakan trade mark filsafat Islam) yang tidak kita peroleh dari karya-

karya Yunani. Juga ada Ibn Bajah dari Spanyol (w. 533 H/1138 M) dan Ibn Tufail dari

Spanyol (w. 581 H/1185 M).

Interaksi intelektual orang-orang Islam dengan dunia pemikiran Hellenik terutama

terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch dan Ephesus (Siria), Harran

(Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia). Di tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama

untuk kegiatan penelitian dan penerjemahan karya-karya kefilsafatan dan ilmu pengetahuan

Yunani Kuno dan memperoleh dukungan dari para penguasa Muslim.

Dunia filsafat yang dihuni oleh para filsuf mengetengahkan berbagai konsep metafisik

tentang hakekat yang sebenarnya di balik alam ini. Kegiatan bidang filsafat ini diawali oleh

para filsuf Yunani kuno mulai dari angkatan pra-Sokrates (Thales, Anaximenes, Pythagoras,

Xenophanes, Heroklitos, Parmanides, Empedokles, Anaxagoras, Demokritos), zaman

Sokrates (masa Sofisme, Sokrates, Plato dan Aristoteles) sampai ke zaman Hellenisme.

Page 7: Makalah BAB II Pembahasan

Secara garis besar, pendapat-pendapat mereka yang berkenaan dengan dunia metafisik

kelompokkan menjadi tiga kelompok besar :

a. Faham Monisme, satu faham yang mengatakan bahwa hakekat segala sesuatu ini berasal

dari unsur tunggal,

b. Dualisme, satu faham yang berpendapat bahwa unsur pokok segala sesuatu di alam ini dua,

c. Pluralisme, bahwa unsur segala sesuatu di dunia ini banyak.

Di samping mencoba mencari pemecahan rasional mengenai hakekat segala sesuatu di

balik alam nyata ini, mereka juga mengetengahkan konsepsi "Tuhan". Namun harus

dibedakan antara konsepsi metafisik yang bersifat religi dengan yang non-religi. Thales (625-

545 SM) misalnya, berpendapat bahwa asal segala sesuatu ini adalah "air" (monisme), tetapi

ia tidak menyatakan bahwa air adalah Tuhan. Dualisme berpendapat bahwa asal segala

sesuatu ini dari dua unsur; roh dan materi, tetapi ini tidak menyatakan bahwa dua unsur

tersebut adalah Tuhan. Sedangkan konsep metafisik yang bersifat religi adalah konsep yang

di dalamnya memasukkan masalah ketuhanan. Dari para filsuf Yunani, beberapa di antaranya

akan diturunkan dalam pembahasan ini.

Heraklitos (540-475 SM), seorang filsuf yang hidup pada masa pra-Sokrates,

menyatakan: "Segala sesuatu berasal dari satu, hukum mengikuti kehendak yang satu itu.

Kebijakan tercapai hanya dengan satu cara, yakni, mengetahui zat yang menguasai dan

mengatur segala sesuatu". Russel juga menukil pernyataan Heraklitos yang mirip dengan

pernyataan di atas, "dari yang satu keluar segala sesuatu, dan segala sesuatu yang keluar dari

yang satu bukanlah hakekat yang sebenarnya. Yang satu itu adalah "Tuhan". Ini berarti dalam

masalah keyakinan terhadap Tuhan, Heraklitos menganut monotheisme,percaya pada Tuhan

yang satu bukan politheisme seperti yang umum dianut oleh bangsa Yunani. Heraklitos

memeluk agamanya sendiri yang berlawanan dengan agama yang umum di anut oleh orang-

orang Yunani, demikian kata Russel.

Kira-kira satu abad kemudian, Plato (427-347 SM), seorang filsuf Yunani lainnya,

juga memiliki pandangan monotheisme. Plato mengatakan, "Dunia inderawi ini tidak kekal,

dan ia diciptakan oleh Tuhan. Tuhan adalah lambang kebaikan. Tuhan menghendaki segala

suatu ini, sedapat mungkin seperti dia. Tuhan menghendaki segala sesuatu ini baik, dan tidak

ada yang jelek. Tuhan adalah sumber ide, pencipta ide, Supreme Being, tidak berubah,

sempurna dan Esa. Tetapi, menurut plato, Tuhan tidak menciptakan dunia ini dari tidak ada

menjadi ada. Tuhan menciptakan dunia ini dari materi (bahan dunia) yang telah ada

sebelumnya yang keadaannya masih tidak teratur.

Page 8: Makalah BAB II Pembahasan

Aristoteles (348-322 SM), murid Plato, juga memiliki konsepsi Tuhan yang berbeda

dengan konsepsi dewa-dewa yang diyakini oleh orang Yunani umumnya. Menurutnya, Tuhan

adalah penggerak yang tidak bergerak, atau unmoved mover. Tuhan adalah penyebab gerak

alam, ia adalah prima causa, atau penyebab pertama. Dalam konsepsi Aristoteles, Tuhan

bukanlah pencipta alam ini, melainkan hanya sebagai penggerak saja. Aristoteles jaga

menyebut Tuhan itu sebagai zat murni, aktualitas murni,akal murni. Dia zat yang hidup,

kekal dan baik. Tuhan hanya membentuk alam ini dari bahan yang telah ada sebelumnya.

Inilah arti, Tuhan menggerakkan alam, yakni Tuhan menggerak-gerakkan "materi alam" yang

sudah ada sebelumnya menjadi punya bentuk, atau form. Tuhan mengubah materi (bahan

alam) menjadi punya form (bentuk).

Contoh pendekatan filsafat inilah yang dimaksud dengan argumentasi ontologi.

Argumentasi ini menyatakan bahwa di dalam fikiran manusia terdapat ide tentang adanya

Tuhan. Inilah pokok dalil antologi tersebut; di dalam fikiran manusia terdapat ide adanya

Tuhan. Tetapi dalil (argumentasi) ini bukannya tak bisa dikritik.Immanuel Kant (Jerman)

mengkritik dalil (argumentasi) ini demikian, "apa bila di dalam fikiran saya terdapat ide

bahwa didalam saku baju itu terdapat uang sejumlah 300 dolar, apakah benar secara obyektif-

nyata bahwa di dalam saku baju itu benar-benar ada uang sejumlah itu?". Artinya, apa yang

terdapat di dalam fikiran saya bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Misalnya, ternyata di dalam saku baju itu tidak ada uang sejumlah 300 dolar. Dengan

demikian ide yang terdapat di dalam fikiran tidak sesuai dengan kenyataan, karena

kenyataannya uang itu tidak ada di dalam saku baju itu. Ini berarti ide yang terdapat dalam

fikiran saya hanyalah khayalan saja. Ide tersebut dikatakan khayalan karena ia tidak didukung

oleh kenyataan yang sebenarnya. Dengan demikian jelaslah bahwa konsepsi saya hanya

bersifat subyektif, tidak obyektif. Atau subyektifitas saya memaksakan konsepsi terhadap

sesuatu obyek yang nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan obyektif sebenarnya. Kant

kemudian membalikkan proses pemikiran filsafat dengan mengatakan mulai sekarang,

bukanlah subyek yang mengarah kepada obyek, melainkan obyeklah yang harus mengarah

kepada subyek. Iqbal mencoba memberikan pemecahan dalam masalah ini. Menurutnya,

biarlah Tuhan itu sendiri yang mengatakan dan menyampaikan tentang diri-Nya melalui

firman-Nya kepada manusia sebagai subyek yang mencoba mencari Tuhan.

2.6.2 Metafisika al-Kindi (801-870 M/ 185-254 H)

Nama lengkap Al Kindi adalah Abu Yusuf, Ya'kub Ibn Ish{aq al-Sabah, Ibn Imran,

Ibn al- Asha'at, Ibn al-Kays al-Kindi, keturunan suku Kays. Lahir tahun 185 H (801 M) di

Kufah.

Page 9: Makalah BAB II Pembahasan

Al-Kindi membedakan yang wujud menjadi dua: Pertama, wujud yang wajib (al-

wajib al-wujud), Kedua, wujud yang mumkin (mumkin al-wujud). Wujud yang wajib adalah

wujud yang ada dengan sendirinya, tidak disebabkan oleh yang lainnya. Ia adalah Allah.

Sedangkan wujud yang mumkin adalah wujud yang disebabkan oleh yang lainnya. Alam atau

asal alam (al-hayula) adalah mumkin. Ia tidak wujud dengan sendirinya, melainkan

diciptakan oleh yang lainnya. Karena itu alam ini baru, keberadaan dan kelangsungannya

tergantung pada wujud yang lain.

Sebagai seorang filosof yang berorientasi teologi, ia menolak dengan tegas apa yang

telah dikatakan oleh Aristoteles dan pengikutnya mengenai pencitaan alam. Mereka

mengatakan bahwa alam ini diciptkan bukan dari tidak ada, juga menolak argumen tentang

keabadian alam. Al-Kindi menyatakan dengan tegas bahwa " karena jasad memiliki genus

dan spesies, sementara yang abadi tidak punya genus, maka jasad tidak lah abadi

2.6.3Metefisika al-Farabi (870-950 M/ 257-337 H)

Abu Nasr Muhammad al-Farabi. Beliau adalah seorang muslim keturunan Parsi, yang

dilahirkan di kota Farab (Turkestan), putra dari Muhammad Ibn Auzalgh seorang panglima

perang Parsi dan kemudian berdiam di Damshik. Al-Farabi belajar di Bagdad dan Harran,

kemudian ia pergi ke Suria dan Mesir. Ayahnya orang Iran yang menikah dengan wanita

Turkestan.

Seperti al-Kindi, ia juga membagi wujud menjadi dua; wujud yang wajib dan wujud

yang mumkin. Di luar wujud itu tidak ada wujud yang lain. Wujud yang wajib itu abadi,

sempurna, hakekat yang sebenarnya. Dia adalah Allah. Wujud yang sempurna ini haruslah

hanya satu. Dari zat yang eka inilah muncul yang serba aneka. Wujud yang yang mumkin

adalah wujud yang adanya disebabkan oleh lainnya, tidak sempurna, beraneka dan berubah-

ubah

2.6.4 Metafisika Ibn Sina (980-1037 M/ 370-428 H)

Menurut penjelasannya sendiri, beliau dilahirkan di desa Afshanah dekat dengan

Bukhara, di Transoxiana (Persia Utara). Minat Ibn Sina terhadap filsafat tampaknya telah

berkembang sejak ia menyimak percakapan mereka pada saat mengunjungi ayahnya, tetapi

studi sistematikanya tentang logika dan kedokteran dimulai beberapa saat kemudian.

Bagi Ibn Sina memberikan argument tentang adanya tuhan adalah "puncak dari segala

spekulasi metafisik" Konsep metafisika Ibn Sina adalah konsep yang istilahnya telah

disinggung oleh al-Kindi dan al-Farabi. Ibnu Sina membagi wajib al-wujud menjadi dua ;

a. Wajib al-wujud bi z {yakni wujud yang wajib adanya sebab oleh dirinya sendiri tanpa

sebab dari luar. Wujud ini hanya satu, esa, zat tuhan

Page 10: Makalah BAB II Pembahasan

b. Wajib al-wujud bi ghairi z{ yaitu wujud yang wajib adanya dengan adanya sebab dari

luar dirinya. Wujud ini adalah makhluk.

2.6.5 Metafisika al-Razi (865-925 M/ 251-313 H )

Al Razi dilahirkan di Ray (sekarang Teheran) propinsi Khurasan. Nama lengkapnya

Abu Abdi Allah Muhammad Ibn 'Umar Ibn Al-Husain Fakhr Al-din Al-Razi. Ahli dalam

bermain harpa dan menjadi penukar uang sebelum beralih kepada filsafat dan kedokteran.

Pandangan al-Razi tentang metafisika ini diuraikan dalam bukunya yang berjudul

Ilmu Ketuhanan. Namun buku tersebut sudah tidak ada lagi kini. Yang kini ada hanyalah

berupa sangkalan-sangkalan dari beberapa paragrap buku tersebut dan yang dikumpulkan

oleh Kraus. Menurut Al-Biruni persoalan metafisika yang digarap oleh al-Ra>zi itu tidak lain

hanyalah merupakan penjiplakan dari filsafat Yunani Kuno. Problem utamanya adalah

tentang adanya ilmu prinsip yang kekal. Dan kelima prinsip tersebut adalah tentang Tuhan,

jiwa yang universal, materi pertama, yang absolut dan waktu yang absolut.

Pemikiran al-Razi tentang lima postulat (dalil) tersebut kemudian dijadikan dasar

dalam menetapkan wujud alam. Artinya jika lima hal tersebut ada, maka alam ini akan

terbentuk dan sebaliknya jika lima hal tersebut tidak ada, maka alam inipun tidak ada.

Adapun penjabaran dari lima postulat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tuhan

Menurut al-Razi tuhan itu maha bijaksana. Ia tidak mengenal istilah lupa. Hidup ini

keluar dari-Nya sebagaimana sinar terpancar dari sang surya. Tuhan adalah pencipta dari

segala sesuatu. Kekuasaan-Nya tidak ada yang menyamai. Ia mengetahui segala sesuatu

dengan sempurna. Pengetahuan tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia. Sebab

pengetahuan manusia dibatasi oleh pengalaman. Sedang pengetahuan-Nya tidak dibatasi oleh

pengetahuan. Tuhan tahu tentang sifat jiwa yang cenderung bersatu dengan jiwa dan mencari

kezatan material. Setelah jiwa bergabung dengan tubuh tuhan kemudian mengatur hubungan

tersebut dengan harmonis. Yaitu dengan melimpahkan akal ke dalam jiwa. Lantaran memiliki

akal jiwa menjadi sadar, bahwa selama masih bergandengan dengan tubuh ia akan menderita.

Dengan akal, jiwa tahu tempat asalnya. Akal pulalah yang menginsafkan jiwa bahwa

kebahagiaan tertinggi hanya akan diperoleh setelah jiwa mampu melepaskan diri dari

dukungan tubuh.

b. Jiwa Universal

Alam ini diciptakan tuhan dengan suatu tujuan. Semula ia tidak berkehendak untuk

menciptkannya, namun kemudian kehenendak itu ada. Kalau demikian tentu ada yang

mendorongnya, sudah berang tentu pendorong itu sendiri harus abadi bisa merupakan sebab

Page 11: Makalah BAB II Pembahasan

dari yang hidup tetapi dungu. Karena menyadari kebodohannya, jiwa tertarik pada benda agar

dapat memperoleh kesenangan material. Melihat nasib jiwa yang demikian ini.

Di saat jiwa mendekat pada tubuh, tubuh meronta. Melihat nasib jiwa yang tragis ini,

tuhan berkenan menolongnya dengan jalan membentuk alam ini dalam susunan yang kuat,

sehingga ruh dapat memperoleh kesenangan material di dalamnya.

Setelah itu tuhan menciptakan manusia. Dari substansi ketuhanan-Nya kemudian

diciptakan akal. Fungsi akal adalah menyadarkan manusia, bahwa dunia yang dihadapinya

sekarang ini bukanlah dunia yang sesungguhnya. Menurut al-Ra>zi dunia yang sesungguhnya

itu dapat dicapai dengan filsafat. Oleh karena itu siapa yang belajar filsafat akan mengetahui

yang sesungguhnya serta memperoreh pengetahuan selamanya akan tetap berada di dunia

sebelum disadarkan oleh filsafat.

c. Benda

Benda pertama terdiri dari atom-atom. Masing-masing atom tadi memiliki volume.

Tanpa adanya penggabungan dari atom-atom tadi tak akan ada sesuatu yang terwujud.

Karenanya sulitlah untuk membeyangkan adanya creatio ex nihilo. Atom-atom mempunyai

sifat sendiri bila padat ia akan menjadi tanah, kalau kurang padat akan menjadi air. Bila lebih

jarang akan menjadi udara dan akhirnya kalau paling jarang akan menjadi api. Sebenarnya

teori al-Razi ini (tentang benda) merupakan penggabungan antara teori Demokritos dengan

teori Empedokles. Selanjutnya. al-Ra>zi mengatakan bahwa tidak ada di dunia ini sesuatu

yang berasal dari sesuatu yang lain. Dan sesuatu yang lain adalah benda. Jadi benda itu abadi.

Pada mulanya ia tidak terbentuk tetapi terpancar dimana-mana.

d. Ruang Absolut

Oleh karena materi pertama itu kekal, maka membutuhkan ruang yang sifatnya kekal

juga. Sebab tidak mungkin kekal itu berada pada yang nisbi. Menurut al-Razi ruang itu ada

dua macam, yaitu ruang yang absolute dan ruang relative. Ruang absolute tidak

menggantungkan wujudnya pada alam maupun benda-benda yang membutuhkan ruang.

Sebaliknya setiap ruang mesti diisi oleh benda. Ruang ini disebut ruang relativ

e. Masa Absolut

Waktupun menurutnya dibagi menjadi dua macam, yaitu waktu yang absolute dan

waktu yang terbatas. Waktu absolute adalah perputaran waktu, sifatnya bergerak dan kekal.

Waktu yang terbatas adalah waktu yang diukur berdasarkan pergerakan bumi, matahari dan

bintang-bintang.

Harus dikemukakan segera bahwa al-Razi tidak mengajukan pembuktian apapun

tentang kekekalan pencipta maupun jiwa. Cukup jelas ia mempercayai bahwa dunia

Page 12: Makalah BAB II Pembahasan

diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara. Berbeda dengan Plato yang mengatakan

bahwa dunia ini diciptakan tetapi bersifat abadi. Oleh karena itu keabadian jiwa dan pencipta

harus dinyatakan telah diajukan oleh al-Razi, sama dengan Plato, sebagai pernyataan

aksiomatik. Tidak saja keabadian jiwa, baik a parte ante maupun a parte post, tetapi juga

filsafat sebagai satu-satunya jalan ke arah penyucian jiwa dan pelepasannya dari belenggu

tubuh, mencerminkan pengaruh Platonik-Phytagorean yang cukup kentara, yang bertentangan

dengan konsep Islam tentang wahyu dan konsep kenabian. Sebenarnya karena keinginannya

untuk menyesuaikan diri sepenuhnya dengan premis rasionalistiknya, al-Ra>zi telah menolak

secara terang-terangan konsep wahyu dan peranan para nabi sebagai mediator antara tuhan

dan manusia. Menurutnya, kenabian itu tidak berguna, karena cahaya akal yang diberikan

tuhan cukup memadai untuk menerima kebenaran, dan juga menjijikan, karena telah banyak

menyebabkan pertumpahan darah dan peperangan antara suatu bangsa (mungkin, orang-

orang Arab) yang meyakini dirinya dianugerahi wahyu ilahi dan yang lain sebagai orang-

orang yang kurang beruntung

Menilik dari apa yang dipaparkan oleh para filsuf, baik dari Yunani kuno dan

kalangan Muslim, terdapat persamaam yang sangat mendasar tentang konsepsi tuhan,

walaupun dengan bahasa yang berbeda. Tuhan dalam pandangan mereka adalah wujud

tunggal yang pasti adanya yang menjadi sumber dari wujudnya alam (segala sesuatu selain

tuhan). Juga pandangan bahwa tuhan adalah lambang dari kebaikan dan hanya menghendaki

kebaikan. Dengan mengambil nilai-nilai persamaan ini diharapkan akan tercipta saling

menghargai antar penganut faham apapun. Ini penting sebagai pengetahuan agar kita bijak

dalam menghadapi perbedaan.