makalah anak

24
5 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Pertama kali di temukan di Indonesia adalah di Surabaya pada tahun 1968 saat itu sebanyak 58 orang terinfeksi dengan 24 diantaranya meninggal dunia. Jumlah penderita dan luas penyebarannya semakin lama semakin meluas tiap tahunnya awalnya hanya 2 propinsi tahun 2009 menjadi 32 provinsi, pada tahun 1993-1998 DBD lebih banyak menyerang usia <15 tahun, sedangkan pada tahun 1999 sampai 2009 DBD lebih banyak menyerang pada usia >15 tahun. 1 Di dunia diperkirakan sekitar 3,6 juta orang berisiko terinfeksi. Awalnya Asia Tenggara merupakan daerah endemis DBD, saat ini Amerika Selatan dan Amerika tengah juga merupakan daerah endemis DBD. Sekitar tahun 1960-andi kawasan Asia Tenggara anak-anak lebih banyak terinfeksi dengue, sedangkan di Amerika dengue menyerang semua usia, oleh karena hal tersebut pada tahun 1997 dimulailah pembaharuan Guidelines dalam klasifikasi dengue oleh WHO. Guidelines tahun 1997 klasifikasi dengue dibagi menjadi 2, yaitu demam dengue dan demam berdarah dengue. 2 Seiring berjalannya waktu terdapat banyak kesulitan dalam mengklasifikasikan kasus demam dengue, oleh sebab itu pada tahun 2009 WHO memperbaharui guidlines demam dengue/demam berdarah dengue dalam guidelines tersebut pembagian DF/DHF menjadi demam yang tidak terklasifikasikan, kemungkinan dengue, dengue dengan peringatan, dan dengue berat. Dan kemudian pada tahun 2011 WHO-SEARO menambahkan kriteria expand untuk beberapa kasus yang tidak dapat dimasukan ke dalam kriteria severe dengue. 1.2. Perumusan Masalah Perkembangan infeksi dengue sangat cepat dan signifikan, sehingga WHO selalu memperbaharui upaya penanggulangan infeksi dengue.Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut Adakah perbedaan yang signifikan dari guidelines DHF dari tahun 1997,2009, 2011?

Upload: nabita23

Post on 28-Dec-2015

70 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)

merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Pertama kali di temukan

di Indonesia adalah di Surabaya pada tahun 1968 saat itu sebanyak 58 orang

terinfeksi dengan 24 diantaranya meninggal dunia. Jumlah penderita dan luas

penyebarannya semakin lama semakin meluas tiap tahunnya awalnya hanya 2

propinsi tahun 2009 menjadi 32 provinsi, pada tahun 1993-1998 DBD lebih banyak

menyerang usia <15 tahun, sedangkan pada tahun 1999 sampai 2009 DBD lebih

banyak menyerang pada usia >15 tahun.1

Di dunia diperkirakan sekitar 3,6 juta orang berisiko terinfeksi. Awalnya Asia

Tenggara merupakan daerah endemis DBD, saat ini Amerika Selatan dan

Amerika tengah juga merupakan daerah endemis DBD. Sekitar tahun 1960-andi

kawasan Asia Tenggara anak-anak lebih banyak terinfeksi dengue, sedangkan di

Amerika dengue menyerang semua usia, oleh karena hal tersebut pada tahun

1997 dimulailah pembaharuan Guidelines dalam klasifikasi dengue oleh WHO.

Guidelines tahun 1997 klasifikasi dengue dibagi menjadi 2, yaitu demam dengue

dan demam berdarah dengue.2 Seiring berjalannya waktu terdapat banyak

kesulitan dalam mengklasifikasikan kasus demam dengue, oleh sebab itu pada

tahun 2009 WHO memperbaharui guidlines demam dengue/demam berdarah

dengue dalam guidelines tersebut pembagian DF/DHF menjadi demam yang tidak

terklasifikasikan, kemungkinan dengue, dengue dengan peringatan, dan dengue

berat. Dan kemudian pada tahun 2011 WHO-SEARO menambahkan kriteria

expand untuk beberapa kasus yang tidak dapat dimasukan ke dalam kriteria

severe dengue.

1.2. Perumusan Masalah

Perkembangan infeksi dengue sangat cepat dan signifikan, sehingga WHO selalu

memperbaharui upaya penanggulangan infeksi dengue.Berdasarkan kondisi

tersebut maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut

Adakah perbedaan yang signifikan dari guidelines DHF dari tahun

1997,2009, 2011?

6

Adakah guidelines terbaru mengenai DHF tahun 2012 dari WHO?

1.3. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui perbedaan guidelines mengenai pola klinik,

pendekatan diagnosis dan algoritma penatalaksanaan DBD dari tahun

1997, 2009, 2011 serta adakan pembaharuan dari guidelines tersebut?

1.4. Manfaat Penulisan

Penulisan referat ini diharapkan dapat memberi manfaat yang dapat di

aplikasikan bagi pihak yang bekerja disarana kesehatant, antara lain :

A. Bagi Penulis

Untuk menambah wawasan tentang diagnostik dan penatalaksanaan

DBD yang terbaru.

B. Bagi Masyarakat

Penulisan ini dapat dijadikan bahan informasi tentang tanda dan gejala

awal DBD sehingga masasyarakat cepat tanggap apabila dirinya atau

keluarganya mengalami gejala-gejala tersebut segera datang ke sarana

kesehatan terdekat.

C. Bagi Institusi Kesehatan

Memberikan pengetahuan mengenai temuan klinis dalam mendiagnosa

dengue serta algoritma penatalaksanaan DBD, sehingga dalam

melakukan penanganan lebih cepat dan tepat.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan

atau nyeri sendi disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan

diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh

hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan

dengue adalah DBD yang ditandai oleh renjatan/syok.3

B. Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan

Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah

tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk

(1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga

35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung

menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.

Gambar 1. Epidemiologi infeksi dengue di kawasan Asia Tenggara

Dikutip dari : WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7

8

.

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes

(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya

berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi

nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan

tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue

yaitu 1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor

di lingkungan, transportasi vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat

ke tempat lain; 2) Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi

dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) Lingkungan : curah hujan,

suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

C. Etiologi

Etiologi penyakit demam berdarah dangue adalah virus dangue termasuk family

flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-

3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada di Indonesia. Virus DEN termasuk dalam

kelompok virus yang relative labil terhadap suhu dan faktor kimiawai lain serta masa

viremia yang pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi

oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2

protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M.

Jika seseorang ternfeksi dengan satu serotipe akan mendapatkan kekebalan

seumur hidup terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya 2-3 bulan kekebalan untuk

serotipe lain. Apabila terinfeksi dengan serotipe lain atau beberapa serotipe akan

mengakibatkan DHF / DSS.3

D. Patofisiologi / patogenesis3

9

Hipotesis infeksi heterolog sekunder ( the secondary heterologous Infection

hyphotesis atau the sequential infection hypothesis) sampai saat ini masih dianut

sebagai konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan hipotesis ini seseorang

akan menderita DHF apabila mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus

dengue yang berbeda dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan

sampai 5 tahun. Hipotesis lain yang menentangnya adalah hipotesis virulensi virus,

menurut hipotesis ini perbedaan virulensi serotipe virus dengue adalah penyebab

terjadinya DHF.

Kelemahan hipotesis pertama adalah ketika dilaporkan adanya kasus DSS pada

seorang anak wanita berusia 3 tahun di jakarta yang mengalami infeksi primer.

Kelemahan hipotesis kedua adalah tidak adanya bukti eksperimental, baik

percobaan binatang maupun kultur jaringan yang dapat membuktikan perbedaan

virulensi keempat serotiope virus dengue tersebut. Hipotesis teori infeksi sekunder

menyatakan secara tidak langsung bahwa penderita yang mengalami infeksi yang

kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai resiko

yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada

sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian

membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc

reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi

heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas

melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu

proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel

mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi

mediator inflamasi seperti TNF α, IL-1,PAF, IL-6 dan histamine menyebabkan

10

peningkatan permeabilitas vaskuler dan mengakibatkan terjadinya kebocoran

plasma, protein dan elektrolit. Keadaan ini dapat berkembang menjadi hipovolemia

dan syok.

E. Klasifikasi

Dalam kriteria WHO tahun 1997 klasifikasi dengue dibagi menjadi 3 besar yaitu

demam yang tidak terklasifikasikan, demam dengue dan demam berdarah dengue

dimana demam berdarah dengue di bagi lagi menjadi 4 derajat menurut keparahan

penyakitnya, derajat 3 dan 4 merupakan dengue shock syndrom.

Tabel 1. Derajat penyakit (WHO,1997)

Dikutip dari : World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997

Adanya kesulitan dalam pengklasifikasian dengue menurut WHO 1997 yang

11

ditandai dengan semakin meningkatnya kasus dengue berat diklinis yang tidak

sesuai dengan kriteria WHO 1997 seperti ensefalopati. Hal ini disebabkan karena

klasifikasi ini terlalu luas sehingga menurut WHO, perlu diadakannya

pembaharuan, agar memudahkan diagnosis dan identifikasi penggolongan tingkat

derajat dengue untuk triase dan penanganan awal di rumah sakit, sehingga

penanganan pasien menjadi lebih cepat dan terarah. Gambar dibawah ini

merupakan kriteria WHO 2009.

Gambar 2. Pembagian klasifikasi kasus infeksi dengue menurut WHO 2009

Dengue, guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2009

Pada tahun 2011 SEARO menambahkan adanya kriteria expand karena pada

beberapa penyakit tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kriteria WHO 2009,

SEARO juga memperbaharui dalam mengklasifikasikan infeksi dengue, klasifikasi

tersebut berupa demam yang tidak terklasifikasikan, demam dengue tanpa

manifestasi perdarahan, demam dengue dengan manifestasi perdarahan, demam

12

berdarah dengue dengan kebocoran plasma, demam berdarah dengue tanpa

adanya tanda-tanda syok, demam berdarah dengue diikuti syok, demam dengue

dengan perluasan dari sindroma dengue.

Tabel 2. Pembagian klasifikasi infeksi dengue berdasarkan WHO-SEARO dibandingkan dengan WHO 2009

13

Lanjutan tabel 2

Dikutip dari : WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7

F. Manifestasi Klinik

Infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatis. Pada umumnya pasien mengalami

fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. pada fase ini

pasien sudah tidak demam, akan tetapi memiliki risiko untuk terjadi syok jika tidak

mendapatkan terapi yang adekuat.3

Secara garis besar infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase

1. Fase febris

Pasien tiba-tiba mengalami demam tinggi, dalam fase demam akut biasanya

sekitar 2-7 hari dengan diikuti wajah kemerahan, eritema pada kulit, pegal

pada seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri retro orbital, fotofobia, ruam

makulopapular yang timbul pada 1-2 hari dan kemudian menghilang tanpa

bekas, serta nyeri kepala. Pada beberapa pasien terdapat nyeri

14

tenggorokan, faringitis, injeksi konjungtiva. Diikuti dengan anoreksia mual

serta muntah yang umumnya selalu diderita pasien. Pada fase ini bila

didapatkan tes torniquet (+) meningkatkan kemungkinan infeksi dengue.

2. Fase kritis

Terjadi ketika terjadi penurunan suhu badan sampai normal, biasanya hari

ke 3-7 penyakit, akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler bersamaan

dengan peningkaya kadar hematokrit, hal ini merupakan tanda awal dari

fase kritis, periode kebocoran plasma biasanya berlangsung 24-48 jam yang

ditandai dengan peningkatan hematokrit, diikuti dengan leukopenia, dapat

pula terjadi efusi pleura dap asites. Syok terjadi ketika terjadi kehilangan

banyak plasma, nantinya dapat menyebabkan asidosis metabolik, DIC.

3. Fase penyembuhan

Apabila pasien bertahan dalam 24-48 jam di dalam fase kritis, akan terjadi

perbaikan bertahap dari cairan ekstravaskular.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue

Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012

15

G. Pendekatan Diagnostik1

Pendekatan diagnosis pada pasien dengan febris kurang dari 6 hari, dapat

mendiagnosis infeksi dengue, berupa

a. Isolasi virus

b. Deteksi asam nukleus virus dengan menggunakan RT-PCR

c. Deteksi antigen virus

Sedangkan apabila datang dengan febris > 6hari pilihan metode diagnosis dengan

imunoserologi, yaitu :

a. Hemaglutinasi Inhibisi ( HI)

b. Fiksasi komplemen ( CF)

c. Neutralization Test (NT)

d. MAC-ELISA

e. Indirect IgG ELISA

Tabel 3. Pemilihan metode diagnostik infeksi dengue

Dikutip dari : WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012

Tiga aspek utama yang harus dipertimbangkan untuk diagnosis dengue secara

adekuat :

16

virologi dan serologi yang berhubungan dengan waktu infeksi dengue

masa inkubasi adalah 4-10 hari setelah digit oleh nyamuk, pada infeksi

primer viremia terjadi 1-2 hari sebelum mulainya demam sampai hari ke 4-

5. Antibodi spesifik Anti-dengue IgM dapat ditemukan saat hari ke 3-6,

kemudian akan menetap dengan kadar yang rendah sampai 3 bulan setelah

demam. IgG akan meningkat pada hari ke 9-10 yang kemudian akan

bertahan dengan kadar rendah sampai 1 dekade dan hal ini dapat

mengetahui kemungkinan seseorang pernah terinfeksi dengue sebelumnya.

jenis metode diagnostik dalam kaitannya dengan manifestasi klinis klinis

pada saat fase demam menunjukan sedang terjadinya viremia, beberapa

komponen virus terdapat dalam darah sehingga pilihan yang tepat adalah

RT-PCR, NS-1 Ag. Saat fase kritis dan penyembuhan dapat kita lihat IgM

spesifik bisa dengan menggunakan rapid Test, ELISA maupun

haemagglutination inhibition assay (HIA).

karakteristik sampel klinis

Virus dengue yang labil mudah dinonaktifkan pada suhu di atas 30 ° C,

sehingga harus berhati-hati selama transportasi dan penyimpanan sampel.

Sampel serum yang dikumpulkan selama 4 hari pertama demam berguna

untuk virus, genom dan deteksi antigen dengue. Sampel harus cepat

diangkut pada suhu 4 ° C ke laboratorium dan diproses secepat mungkin.

Serum steril tanpa antikoagulan berguna. Jika spesimen pengiriman tidak

dapat dilakukan dalam 24-48 jam pertama, pembekuan pada -70 ° C

dianjurkan.

17

Tabel 4. Pemilihan metode diagnostik infeksi dengue disesuaikan dengan sarana kesehatan

Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012

H. Diagnosis Banding1

Beberapa panyakit infeksi maupun non-infeksi memiliki gejala mirip demam dengue

maupun severe dengue.

a. Influenza

b. Cikungunya

c. Infeksi primer HIV

d. SARS

e. Malaria

f. Demam tiroid

g. Hepatitis

h. Leptospirosis

18

I. Penatalaksanaan1

Diagnosis yang tepat harus dapat ditegakkan oleh tenaga kesehatan yang bekerja

pada fasilitas kesehatan primer. Protokol WHO untuk manajemen infeksi dengue

dapat dilihat dari tabel dibawah ini

Tabel 5. Manajemen infeksi dengue

Step I − Overall assessmen

1.1

History, including symptoms, past medical and family history

1.2 Physical examination, including full physical and mental assessment

1.3 Investigation, including routine laboratory tests and dengue-specific laboratory Test

Step II − Diagnosis, assessment of disease phase and severity

Step III – Management

III.1 Disease notification

III.2 Management decisions. Depending on the clinical manifestations and other circumstances, patients may (1): - be sent home (Group A) - be referred for in-hospital management (Group B) - require emergency treatment and urgent referral (Group C)

Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012

Dalam menanyakan riwayat penyakit sekarang harus terkandung :

a. Onset dari demam/ penyakit

b. Banyaknya cairan yang diminum

c. Diare

d. Urine output ( frekuensi, volume, BAK terakhir)

e. Gejala-gejala dari warning sign

f. Perubahan status mental/ adanya kejang/

g. Riwayat perjalanan ke daerah endemik dengue, riwayat keluarga/ tetangga

yang menderita dengue, kondisi kesehatan ataupun penyakit yang dimiliki

19

pasien (ibu menyusui, ibu hamil, obesitas, diabetes melitus, hipertensi, HIV)

Pemeriksaan fisik yang dilakukan :

a. Status mental

b. Status hidrasi

c. Tanda-tanda vital

d. Pemeriksaan adanya takipneu/ pernapasan kusmaul/ efusi pleura

e. Pemeriksaan abdomen berupa adanya nyeri tekan/ hepatomegali/ asites

f. Periksa adakah kemerahan atau manifestasi perdarahan

g. Periksa Rumplee Leed

Pemeriksaan darah lengkap dapat normal pada pemeriksaan pertama kali datang

ke tenaga kesehatan, sehingga harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap tiap

hari sampai melewati fase kritis. Apabila tidak tersedia pemeriksaan darah lengkap

atau dalam keadaan epidemi, pemeriksaan darah lengkap dapat diperiksa 3 hari

kemudian. Beberapa tes tambahan perlu diperiksa pada pasien yang memili faktor

risiko, berupa tes fungsi hati, GDS, elektrolit, ureum, kreatinin, AGD, urinalisis serta

EKG. Manajemen dari infeksi dengue dapat dilihat pada gambar dibawah ini,

20

Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan Dengue menurut WHO 2012

Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012

21

Dari gambar diatas, pasien dibagi menjadi 3 kriteria

Kriteria A

Pasien dapat dipulangkan, dengan catatan mendapatkan cairan yang adekuat dan

BAK minimal 1x/6 jam, dan tidak ada tanda-tanda dari warning sign. Pasien

diharuskan bed rest, pasien yang datang pada demam >3 hari diharuskan setiap

hari ke sarana kesehatan untuk diperiksa darah lengkap dan monitoring adanya

gejala-gejala dari warning sign, hal ini dilakukan sampai fase kritis terlewati. Berikan

pasien paracetamol untuk demamnya, dengan dosis 10 mg/kgbb/x, kompres air

hangat apibila demam tidak turun, dilarang memberikan aspirin, ibuprufen atau

NSAID lainnya maupun injeksi intramuskular, hal ini dapat menyebabkan gastritis

atau perdarahan. Apabila tidak ada perbaikan maupun timbul gejala tambahan

seperti nyeri perut, muntah-muntah, ekstremitas dingin, sesak napas, tidak BAK

dalam 6 jam, maupun perdarahan segera ke fasilitas kesehatan terdekat. Indikasi

rawat inap pada pasien dengan manifestasi demam bila tidak mendapatkan

rehidrasi oral yang Ida adekuat, adanya anak kecil dirumah, serta pasien dengan

co-morbid.

Kriteria B

Pasien yang diharuskan untuk rawat inap untuk observasi lebih lanjut. Dalam

kriteria ini pasien dengan warning sign, pasien risiko tinggi, pasien yang

menunjukan gejala komplikasi, pasien yang tinggal sendiri, serta pasien yang

tempat tinggalnya jauh dari fasilitas kesehatan. Terapi yang diberikan

Cek hematokrit sebelum diberikan cairan infus. Cairan infus yang digunakan hanya

yang bersifat isotonik seperti NaCl 0,9%, Ringer laktat atau cairan Hartmann’s.

Mulai dengan 5-7 ml/kgbb/jam untuk 1-2 jam pertama, kemudian kurangi menjadi

3-5ml/kgbb/jam untuk 2-4 jam selanjutnya, kemudian kurangi lagi menjadi 2-3

22

ml/kgbb/jam atau maintenan cairan sesuai manifestasi klinis yang didapat. Periksa

kembali hematrokit, jika tidak ada perbaikan atau terjadi peningkatan sedikit, ulangi

pemberian cairan 2-3 ml/kgbb/jam selama 2-4 jam. Jika tanda vital menurun dan

terjadi peningkatan hematrokrit yang cepat, segera naikan cairan 5-10ml/kgbb/jam

selam 1-2 jam. Apabila perfusi jaringan dan urine output baik ( 0,5ml/kg/jam)

berikan cairan maintenance untuk 24-48 jam. Monitor vital sign, balance cairan,

hematrokit sebelum dan sesudah pemberian cairan infus, atau setiap 6-12 jam

sekali. Cek GDS, profil ginjal, profil liver, profil koagulasi sesuai indikasi.

Kriteria C

Pasien dengan dengue berat, pasien dalam kriteria ini harus mendapat pengobatan

segera karena berada dalam fase kritis, berupa

Kebocoran plasma yang berat, mulai masuk ke dalam keadaan syok dengan

adanya ARDS

Perdarahan hebat

Multi organ failure

Pasien harus segera dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas

transfusi darah. Segera ganti cairan isotonik dengan cairan kristaloid, pada

keadaan hipotensi syok boleh diberikan cairan koloid. Transfusi darah hanya

diberikan apabila adanya perdarahan hebat.

23

Penatalaksanaan syok

Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Syok pada infeksi Dengue

Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012

Tujuan dari resusitasi cairan meliputi:

meningkatkan sirkulasi pusat dan perifer - yaitu penurunan takikardia,

meningkatkan TD dan denyut nadi, ekstremitas hangat dan merah muda,

waktu pengisian kapiler <2 detik

meningkatkan perfusi end-organ yaitu mencapai tingkat kesadaran stabil

dan output urine ≥ 0,5 ml / kg / jam atau penurunan asidosis metabolik.

Kapan harus menghentikan infus

Observasi tanda-tanda berhentinya kebocoran plasma yang dilihat dari :

24

• TD, nadi dan perfusi perifer stabil

• hematokrit menurun dengan denyut nadi yang baik

• apyrexia (tanpa menggunakan antipiretik) selama lebih dari 24-48 jam;

• gejala usus / gejala yang berhubungan dengan abdomen teratasi

• peningkatan produksi urine.

Melanjutkan terapi cairan intravena melewati 48 jam dari fase kritis akan

menyebabkan pasien berisiko edema paru dan komplikasi lain seperti

tromboflebitis.

J. Penatalaksanaan dengue pada kelompok risiko

a. Dengue pada lansia

Sebuah penelitian surveilans menunjukan bahwa manifestasi klinis dari dengue

pada lansia mirip dengan dewasa muda, namun gejala yang lebih sering timbul

adalah perdarahan saluran cerna dan mikrohematuri. Insiden demam, atralgia

serta ruam lebih rendah pada orang tua. Gagal ginjal akut, perdarahan

gastrointestinal, efusi pleura, serta CHF dan edema pulmonal lebih sering

terjadi pada orang tua. kadar hemoglobin juga lebih rendah dibandingkan

dewasa.

b. Dengue dengan co-morbid

Pasien dengan penyakit diabetes melitus, hipertensi dan renal insufisiensi

berhubungan erat dengan angka kejadian severe dengue. Pada pasien

hipertensi terkadang tidak menunjukan adanya hipotensi jika mengalami syok

sehingga yang perlu diperhatikan adalah angka MAP, Jika terjadi penurunan

MAP 40% dari baseline perlu dicurigai adanya tanda-tanda syok, jika pasien

25

mengalami takikardia dapat diberikan β- bloker, sedangkan bila pasien

mengalami takikardia perlu ditanyakan riwayat pemberian Ca chanel bloker,

karena efek sampingnya bera takitardia, jangan salah mengangap sebagai satu

respons dari keadaan syok hipovelemik, harus diawasi secara ketat pemberian

antihipertensi terutama bila terdapat kebocoran plasma,juga perlu monitoring

urine output. Pasien dengan DM, infeksi dengue dapat mencetuskan KAD atau

hiperglikemik hiperosmolar, dimana manifestasi KAD mirip dengan warning

sign pada demam dengue yang berat, sehingga dapat terjadi kesalahan

diagnostik, pemberian ADO harus dihentikan terutama obat golongan

metformin, karena dapat memperburuk asidosis laktat dan syok dengue

sehingga perlu dipertimbangkan pemakain Short-acting insulin, monitor gula

darah setiap 1-2 jam sampai mencapai target gula darah < 150 mg/dl kemudian

dilanjutkan setiap 4jam. Pasien yang memiliki penyakit CKD tetap dilakukan

terapi cairan yang adekuat sekaligus menstabilkan hemodinamik setelah itu

perlu dilakukan dialisis segera untuk mencegah terjadinya asidosis metabolik

dan elektrolit imbalance. Pada pasien yang memiliki riwayat anemia hemolitik

perlu dilakukan transfusi PRC atau whole blood.

K. Kriteria pemulangan pasien3

Bebas demam dalam 48 jam

Peningkatan keadaan umum dan hemodinamik stabil

Peningkatan trombosit

Nilai hematokrit yang stabil tanpa pemberian cairan infus

Tidak ada distres respirasi

L. Komplikasi3

Penyebab komplikasi pada infeksi dengue adalah :

26

a. Kesalahan diagnosis pada primary Care sebagai pengobatan lini pertama

b. Ketidaktepatan monitoring dan misinterpretasi tanda-tanda vital

c. Kesalahan dalam monitoring terapi carang dan urine yang keluar

d. Keterlambatan dalam pengenalan tanda-tanda syok sehingga jatuh dalam

keadaan syok atau memperpanjang syok yang sudah terjadi

e. Keterlambatan dalam mengenal adanya perdarahan hebat

f. Terlalu sedikit atau terlalu banyak terapi cairan infus

g. Ketidakpedulian dalam tehnik aseptic dalam menangani pasien

Komplikasi dari infeksi dengue berupa :

a. Asidosis metabolik

b. Imbalance elektrolit

c. Efusi pleura dan asites

d. Edema pulmonal

e. ARDS

f. Ko-infeksi dan infeksi nasokomial

g. Sindrom hemofagositik

M. Prognosis

Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakitnya, cepat tidaknya penanganan

diberikan, umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi penderita. Prognosis DBD

derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara

cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol

sekitar 40-50%. Tanda- tanda prognosis yang baik pada DSS adalah pengeluaran

urine yang cukup serta kembalinya nafsu makan.

27

BAB III KESIMPULAN

Dengue merupakan penyakit dengan manifestasi klinis yang luas serta

perkembangan klinis yang tidak terduga, sehingga deteksi dini pasien yang masih

memiliki gejala ringan dapat mencegah perburukan yang mungkin terjadi. Klasifikasi

dengue menurut WHO 1997 sampai sekarang masih digunakan, dimana terbagi atas

demam dengue, demam berdarah dengue dan demam syok dengue. Berdasarkan

WHO 1997, kasus DHF harus memmenuhi 4 kriteria yaitu, 1.) Demam 2-7 hari, 2.) tes

torniket positif, ptekia/purpura/ekimosis/ perdarahan mukosa atau perdarahan

gastrointestinal 3.) trombositopenia, dengan trombosit <100.000/µl, 4.)

hemokonsentrasi yang ditandai peningkatan hematokrit ≥ 20% atau ada kebocoran

plasma ( asites, efusi pleura, hipoproteinemia).

Di beberapa negara terjadi variasi dan perubahan epidemiologi, banyak klinis yang

kesulitan untuk memakai 4 kriteria klasifikasi WHO, banyak terjadi kegagalan dalam

terapi, sehingga WHO memperbaharui klasifikasi menjadi dengue dan dengue berat,

dimana dengue dibagi menjadi tanpa “warning sign” dan dengue dengan “warning

sign” dikarenakan sekitar 22% pasien dengan shock tidak memenuhi kriteria untuk

demam berdarah dengue, dikarena komplikasi dengue yang bervariatif untuk

mendiagnosis pasien dengan dengue berat, memerlukan intervensi yang mempunyai

sensitivitas dan spesifikasi yang tinggi.

Dalam kriteria WHO-SEARO 2011 ada penambahan kriteria dari WHO 2009 yaitu

“expanded dengue syndrom” dimana kriteria ini dimaksudkan untuk manifestasi klinis

yang jarang muncul berupa kerusakan organ berat seperti kerusakan hati, ginjal, otak,

dan jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue. Hal ini dikarenakan klinisi

merasa lebih baik dalam melihat manifestasi klinis dan progresivitas penyakitnya.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO,

2012.

2. World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment,

Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997

3. Suhendro, et al. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed

5, jilid III. Jakarta: Internal Publishing; 2006: 1732-1735

4. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.

Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue

haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi: WHO-SEARO,

2011. SEARO Technical Publication Series No. 60

5. Srikiatkhachorn Anon et al. Dengue—How Best do Classify It. Clinical

Infectious Disease, 2011, 53(6):563–567

6. Member of The Technical Working Group On The 2012 PPS. Revised

Guidelines on Fluid Management of DF/DHF

7. WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management

And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7