makalah anak cemas
DESCRIPTION
Makalah Anak CemasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini, perawatan gigi mulai semakin diperhatikan oleh setiap
kalangan. Bukan hanya orang dewasa melainkan juga anak – anak.
Perawatan yang dilakukan pada anak – anak, pada dasarnya sama
dengan apa yang dilakukan oleh orang dewasa, namun pada anak –
anak ada faktor yang perlu diperhatikan yakni faktor perilaku dan
psikologi pada anak tersebut. Anak-anak yang datang ke klinik gigi
bersama orang tuanya memiliki pola tingkah yang berbeda-beda. Ada
anak yang menunjukkan sikap kooperatif yaitu anak mau bekerja sama
dalam proses perawatan gigi. Ada pula yang menunjukkan sikap yang
tidak kooperatif yaitu dengan menolak untuk membuka mulut dan tidak
menjawab pertanyaan dari dokter gigi.
Perilaku ini didorong oleh berbagai faktor. Salah satunya yaitu
kecemasan anak yang berpengaruh terhadap tindakan-tindakan yang
ditunjukkan anak terhadap dokter gigi. Hal ini tentunya berpengaruh
terhadap proses perawatan gigi pada anak. Rasa cemas pada anak
tentunya juga dipicu oleh berbagai faktor yang bisa saja datang dari
anak itu sendiri, orang tua, tim dokter gigi, dan keadaan lingkungan.
Oleh karena itu, penting bagi seorang dokter gigi untuk mengenali
pola tingkah laku anak dan penyebab terjadinya tingkah laku anak
tersebut sehingga dokter gigi dapat menangani tingkah laku anak
tersebut yang cenderung nonkooperatif. Untuk mengubah pola tingkah
laku anak dari nonkooperatif menjadi kooperatif dapat dilakukan dengan
dua pendekatan yaitu pendekatan nonfarmakologi dan pendekatan
farmakologi. Penanganan ini dilakukan secara bertahap dan saling
berkesinambungan hingga dapat membuat anak menjadi kooperatif.
1
Selain itu, diperlukan hubungan yang baik antara anak, orang tua, dan
dokter gigi.
Tingkah laku anak yang kooperatif selama perawatan gigi perlu
dipertahankan sehingga kunjungan selanjutnya anak dapat
mempertahankan perilaku kooperatifnya. Orang tua berperan penting
dalam mencegah rasa cemas pada anak. Rasa cemas ini perlu dicegah
agar anak menganggap perawatan gigi adalah hal yang menyenangkan.
Untuk penjelasan selanjutnya akan dibahas dalam bab selanjutnya.
1.2. Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan rasa cemas pada anak?
Bagaimana mekanisme terjadinya kecemasan?
Apa saja faktor penyebab terjadinya rasa cemas pada anak?
Bagaimana gejala klinis rasa cemas pada anak?
Bagaimana cara menanggulangi rasa cemas anak?
Bagaimana cara mencegah rasa cemas pada anak?
Bagaimana cara merawat sikap kooperatif anak?
1.3. Tujuan
Mengetahui definisi dari rasa cemas anak.
Mengetahui mekanisme terjadinya rasa cemas.
Mengetahui faktor penyebab terjadinya rasa cemas pada anak.
Mengetahui gejala klinis adanya rasa cemas pada anak.
Mengetahui penanggulangan rasa cemas secara nonfarmakologi
dan farmakologi.
Mengetahui pencegahan rasa cemas pada anak.
Mengetahui cara memelihara sikap kooperatif pada anak.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Rasa Cemas
Kecemasan (anxiety) berasal dari bahasa latin "angutus" yg berarti
kaku dan "ango","anci" yang berarti mencekik. Menurut Post,
kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan dengan
tanda-tanda subjektif, seperti ketengangan, ketakutan, dan
kekhawatiran.1 Rasa takut pada anak ini adalah rasa takut pada
perawatan gigi. Dalam hal ini kecemasan pada anak dapat dimaksudkan
sebagai rasa takut terhadap perawatan gigi.2
2.2 Mekanisme Rasa Cemas
Proses terjadinya kecemasan, perasaan tidak nyaman atau
terancam pada ansietas diawali dengan adanya faktor predisposisi dan
faktor presipitasi:3
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis
dan jumlah sumber yang dapat digunakan individu untuk mengatasi
stress. Berbagai teori dikembangkan mengenai faktor predisposisi
terjadinya ansietas:3
Biologi (Fisik)
Penelitian terkini berfokus pada penyebab biologis terjadinya
ansietas yang berlawanan dengan penyebab psikologis.
Beberapa individu yang mengalami episode sikap bermusuhan,
iritabilitas, perilaku sosial dan perasaan menyangkal terhadap
kenyataan hidup dapat menyebabkan ansietas tingkat berat
bahkan ke arah panik. Salah satu faktor penyebab secara fisik
yaitu adanya gangguan atau ketidakseimbangan pada fisik
seseorang.3
3
Pengaturan ansietas berhubungan dengan aktivitas
dari neurotransmmiter Gamma Aminobutyric Acid (GABA), yang
mengontrol aktivitas neuron di bagian otak yang berfungsi untuk
pengeluaran ansietas. Mekansime kerja terjadinya ansietas
diawali dengan penghambatan neurotransmmiter di otak oleh
GABA. Ketika bersilangan di sinaps dan mencapai atau mengikat
ke reseptor GABA di membran postsinaps, maka saluran reseptor
terbuka, diikuti oleh pertukaran ion-ion. Akibatnya terjadi
penghambatan atau reduksi sel yang dirangsang dan kemudian
sel beraktivitas dengan lamban.3
Mekanisme biologis ini menunjukkan bahwa ansietas terjadi
karena adanya masalah terhadap efisiensi proses
neurotransmmiter. Neurotransmiter adalah utusan kimia khusus
yang membantu informasi bergerak dari sel saraf ke sel saraf.
Jika neurotransmitter keluar dari keseimbangan, pesan tidak bisa
melalui otak dengan benar. Hal ini dapat mengubah cara otak
bereaksi dalam situasi tertentu, yang menyebabkan kecemasan.3
Psikologis
Pendapat yang dikemukan oleh Taylor bahwa kecemasan
merupakan pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental
yang menggelisahkan sebagai bentuk reaksi umum dan ketidak-
mampuan menghadapi masalah atau munculnya rasa tidak aman
pada individu.3
Kecemasan muncul dikarenakan adanya ketakutan atas
sesuatu yang mengancam pada seseorang, dan tidak ada
kemampuan untuk mengetahui penyebab dari kecemasan
tersebut. Freud mengemukakan bahwa lemahnya ego akan
menyebabkan ancaman yang memicu munculnya kecemasan.
Freud berpendapat bahwa sumber ancaman terha-
dap ego tersebut berasal dari dorongan yang bersifat insting
4
dari id dan tuntutan-tuntutan dari superego. Freud juga mengata-
kan jika pikiran menguasai tubuh maka ini berarti bahwa ego
yang menguasai pikiran dan pikiran berkuasa secara mutlak.3
Freud menyatakan bahwa ego disebut sebagai eksekutif
kepribadian, karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan,
memilih segi-segi lingkungan kemana ia akan memberikan
respon, dan memutuskan insting-insting manakah yang akan
dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan fungsi-
fungsi eksekutif ini, ego harus berusaha mengintegrasikan
tuntutan id, superego, dan dunia luar yang sering bertentangan.
Hal ini sering menimbulkan tegangan berat pada ego dan
menyebabkan timbulnya kecemasan. Freud membagi teori
kecemasan menjadi 3 yaitu:3
a) ID/Impulse anxiety : perasaan tidak nyaman pada anak
b) Saparation anxiety : pada anak yang merasa takut akan
kehilangan kasih saying orangtuanya
c) Stration anxiety : merupakan fantasi kastrasi pada masa
kanak-kanak yang berhubungan dengan pembentukan impuls
seksual
d) Super Ego anxiety : pada fase ahkir pembentukan super ego
yaitu pre pubertas.
Sosial Budaya
Cara hidup orang di masyarakat juga sangat mempengaruhi
pada timbulnya ansietas. Individu yang mempunyai cara hidup
sangat teratur dan mempunyai falsafah hidup yang jelas maka
pada umumnya lebih sukar mengalami ansietas. Budaya
seseorang juga dapat menjadi pemicu terjadinya ansietas.
Namun demikian, faktor predisposisi di atas tidaklah cukup kuat
menyebabkan sesorang mengalami ansietas apabila tidak
disertai faktor presipitasi (pencetus).3
5
b. Faktor presipitasi
Stresor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh
individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan yang
membutuhkan energi ekstra untuk koping. Faktor presipitasi dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yakni:3
Biologi (fisik)
Salah satu penyebab biologis yang dapat menimbulkan
ansietas yaitu gangguan fisik. Kecemasan yang sudah
mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik, dapat
mempengaruhi sistem saraf , misalnya tidak dapat tidur, jantung
berdebar-debar, gemetar, perut mual, dan sebagainya.3
Gangguan fisik dapat mengancam integritas diri seseorang.
Ancaman tersebut berupa ancaman eksternal dan internal.
Ancaman eksternal yaitu masuknya kuman, virus, polusi
lingkungan, rumah yang tidak memadai, makanan, pakaian, atau
trauma injuri. Sedangkan ancaman internal yaitu kegagalan
mekanisme fisiologis tubuh seperti jantung, sistem kekebalan,
pengaturan suhu, kehamilan dan kondisi patologis yang berkaitan
dengan mentruasi.3
Psikologis
Penanganan terhadap integritas fisik dapat mengakibatkan
ketidak-mampuan psikologis atau penurunan terhadap aktivitas
sehari-hari seseorang. Demikian pula apabila penanganan
tersebut menyangkut identitas diri, dan harga diri seseorang,
dapat mengakibatkan ancaman terhadap self system.3
Ancaman tersebut berupa ancaman eksternal, yaitu
kehilangan orang yang berarti, seperti: meninggal, perceraian,
dilema etik, pindah kerja, perubahan dalam status kerja; dapat
pula berupa ancaman internal seperti: gangguan hubungan
interpersonal di rumah, disekolah atau ketika dalam lingkungan
6
bermainnya. Kecemasan seringkali berkembang selama jangka
waktu panjang dan sebagian besar tergantung pada seluruh
pengalaman hidup seseorang.3
2.3. Faktor Penyebab Rasa Cemas pada Anak
a. Anak Sendiri sebagai Sumber Perilaku Nonkooperatif
Anak yang belum cukup umur yang berusia kurang dari 2 tahun.
Karena usianya, anak belum mampu berkomunikasi sehingga
kurang mampu untuk bersikap kooperatif.4
Anak dengan penyakit yang melemahkan, penyandang cacat,
atau menderita gangguan perkembangan.4
Anak yang mempunyai toleransi rendah terhadap rasa sakit,
biasanya mudah berperilaku nonkooperatif.4
Anak yang pernah mendapat pengalaman buruk pada
perawatan gigi dapat bersikap nonkooperatif pada perawatan
selanjutnya.4
Merasa diejek karena kesehatan kesehatan rongga mulut yang
kurang baik.2
b. Orang Tua/Keluarga sebagai Sumber Perilaku Nonkooperatif
Rasa takut dan cemas orang tua atau keluarga yang ditularkan
pada anak.4
Membicarakan perawatan gigi di depan anak.4
Sikap atau perilaku orang tua misalnya terlalu memanjakan anak
secara berlebihan, memenuhi keinginan anak tanpa batas dan
kekhawatiran yang berlebihan.4
Kesan negatif dari perawatan gigi di dapatkan dari pengalaman
keluarga atau teman.2
c. Tim Dokter Gigi
Sikap dokter gigi yang kaku atau keras, kurang sabar, kurang
menunjukkan kehanganatan dan perhatian dapat menyebabkan
anak bersikap negatif.4
7
d. Keadaan Lingkungan
Ruang tunggu
Pemandangan disekitar ruang praktik dilihat oleh pasien
merupakan faktor utama. Suara alat juga dapat menimbulkan
rasa cemas pada pasien sehingga ruang praktik harusnya tidak
terlalu dekat dengan ruang tunggu. Ruang tunggu yang panas
dan pengap dapat membuat anak menjadi gelisah dibandingkan
dengan ruang tunggu yang nyaman dan sejuk.4
Ruang perawatan
Warna dinding ruangan, dental unit dan perlengkapan
lainnya dapat memberikan efek pada anak. Susunan alat-alat,
bau obat-obatan, alat bor, ultra skeler dan instrument lainnya
dapat menakuti pasien.4
2.4. Gejala Klinis Kecemasan pada Anak
Gejala Psikologis dan Kognitif:5
Kecemasan yang berlebihan.
Kekhawatiran yang sulit dikendalikan.
Perasaan cemas dan gelisah sebelum sesuatu terjadi.
Sulit berkonsentrasi atau pikiran kosong.
Sensitif terhadap suara, perhatian terganggu, pelupa, hambatan
berpikir, dan ketakutan.
Gejala Fisik:5
Gelisah
Letih
Otot tegang
Sulit tidur
Mudah marah
Wajah memerah
Gugup atau gembira
8
Berkeringat
Diare
Tangan berkeringat dan gemetar
2.5. Penanggulangan Kecemasan Anak
Perawatan gigi tidak mungkin dilakukan sebelum anak berperilaku
kooperatif. Beberapa teknik pengelolaan anak dengan pendekatan
nonfarmakologi antara lain:
a. Komunikasi
Komunikasi dokter gigi dengan pasien anak merupakan
hubungan yang berlangsung antara dokter gigi, pasien anak dan
orang tua pasien selama proses pemeriksaan atau pengobatan.
Komunikasi sangat diperlukan, terutama saat menangani pasien
anak. Komunikasi yang efektif antara dokter gigi, anak dan orang
tua pasien merupakan komponen yang penting agar dapat
menumbuhkan kepercayaan pasien. Hubungan yang efektif antar
ketiganya dapat mengurangi keraguan akan perawatan gigi pada
anak. Bila dokter gigi tanggap pada respon anak dan orang tua atas
informasi yang disampaikannya maka anak dan orang tua akan
lebih terbuka dalam mendengar dan belajar.6
Pedodontic Treatment Triangle adalah gambaran hubungan
antar komponen dalam segitiga perawatan pedodontik dimana
setiap komponen saling berhubungan erat, posisi anak pada puncak
segitiga dan posisi orang tua serta dokter gigi pada masing-masing
sudut kaki segitiga. Garis menunjukan komunikasi berjalan dua arah
antar masing komponen dan merupakan hubungan timbal balik.6
Pedodontic Treatment Triangle terdiri dari tiga komponen, yaitu:
anak, perbedaan umum antara perawatan pasien dewasa dan anak
terletak pada teknik komunikasi. Teknik komunikasi antara pasien
anak dan dokter gigi dalam kasusnya merupakan hubungan satu
9
untuk dua, yang berarti anak menjadi fokus perhatian dokter gigi
dan orang tua. Ini digambarkan pada penempatan anak pada
segitiga dimana anak menempati puncak dari segitiga dan menjadi
fokus dari perhatian dokter gigi dan orangtua.6
Posisi dokter gigi pada Pedodontic Treatment Triangle berada di
sudut kiri bawah. Agar dapat tercipta komunikasi antar personal
oleh dokter gigi dengan pasien anak dan orangtuanya, terdapat
syarat yang harus dipenuhi yaitu:6
1. Positiveness (sikap positif) dokter gigi diharapkan mau
menunjukan sikap positif pada pesan yang disampaikan oleh
pasien anak atau orangtuanya seperti keluhan, usulan,
pendapat, dan pertanyaan.6
2. Supportiveness ( sikap mendukung) ketika pasien atau orang tua
pasien anak nampak ragu untuk memutuskan sebuah pilihan
tindakan, maka dokter gigi diharapkan memberikan dukungan
agar keraguan tersebut berkurang atau bahkan hilang.6
3. Equality (keseimbangan antar pelaku komunikasi) yang
dimaksud dengan kesamaan atau kesetaraan adalah bahwa
diantara dokter gigi, pasien, dan orang tua pasien tidak boleh
ada kedudukan yang sangat berbeda misalnya dokter yang
menguasai semua keadaan dan pasien yang tidak berdaya.6
4. Openess (sikap dan keinginan untuk terbuka) dokter gigi bila
perlu juga mengatakan kesulitan yang dihadapinya saat
menangani masalah pasien. Dengan keterbukaan komunikasi ini
maka akan terbangun kepercayaan dari pasien anak dan orang
tuanya.6
Kerjasama antar komponen Pedodontic Treatment Triangle
yaitu: pasien anak, dokter gigi dan orangtua mutlak diperlukan.
Tingkah laku orangtua merupakan hal yang penting antara
hubungan interpersonal anak yang mempengaruhi respon tingkah
10
laku anak tersebut terhadap perawatan gigi. Tanda keberhasilan
dokter gigi dalam manajemen pasien anak adalah kesanggupan
berkomunikasi dengan anak dan memperoleh rasa percaya dari
anak sehingga anak bersikap kooperatif. Terdapat dua cara
komunikasi yaitu verbal dan nonverbal. Cara verbal merupakan cara
komunikasi paling umum yang digunakan dengan anak. Komunikasi
verbal dapat dimulai dengan menanyakan kepada anak kecil
mengenai pakaian baru, kakak, adik, benda atau binatang
kesayangan, dan sebagainya. Untuk anak dengan usia sekolah
dapat ditanyakan tentang sekolah, aktivitas, olahraga, atau teman.
Berbicara dengan anak harus disesuaikan dengan tingkat
pemahamannya. Komunikasi nonverbal dapat dilakukan dengan
menjabat tangan anak, tersenyum dengan penuh kehangatan,
menggandeng tangan anak sebelum mendudukkannya ke kursi
perawatan gigi, dan lain-lain.6
b. Pengaturan Suara
Nada suara dapat juga digunakan untuk mengubah perilaku
anak. Perubahan nada dan volume suara dapat digunakan untuk
mengekspresikan perasaan kepada anak. Perintah yang tiba-tiba
dan tegas dapat mengejutkan dan menarik perhatian anak dengan
cepat. Dengan adanya perhatian anak yang diperoleh melalui
intonasi tersebut, dokter gigi dapat melanjutkan komunikasinya atau
untuk menghentikan apa yang sedang dilakukan oleh anak.4
c. Terapi Relaksasi
Terapi relaksasi dapat meningkatkan kepercayaan dan pasien
dapat mengontrol perasaan atas keadaan psikologi mereka. Metode
ini dapat menjadi sangat efektif dalam memotivasi pasien dan
kerjasama dari pasien, dan dapat digunakan sebelum dan selama
perawatan. Teknik ini aman, tidak memiliki efek samping dan pasien
dapat mengontrol kecemasan mereka.7
11
Metode umum yang digunakan adalah relaksasi progresif otot
dari Jacobsen, yaitu melemaskan pasien dengan mengurangi
ketegangan fisik (otot), dan membuat pasien lebih sadar terhadap
tingkat kecemasan mereka, dan cara mengatasi hal tersebut.
Metode sederhana lain untuk relaksasi yaitu melalui pernapasan,
pasien menghirup panjang menggunakan pernapasan diafragma,
tahan selama 5 detik, lalu buang napas lebih dari 5 detik.
Pernapasan ini dapat dikombinasikan dengan menggunakan kata-
kata tertentu, citra visual atau pikiran yang dihubungkan dengan
irama pernapasan, misalnya menggunakan kata isyarat seperti
"tenang" pada siklus napas.7
d. Modeling
Modeling merupakan prinsip psikologis yaitu belajar dari
pengamatan model. Anak diajak mengamati anak lain sebaya yang
sedang dirawat giginya yang berperilaku kooperatif, baik secara
langsung pada kursi perawatan gigi atau melalui film. Setelah
pengamatan diharapkan anak berperilaku kooperatif seperti pada
model yang telah diamati.4
e. Desensitisasi sistematis (systematic desensitization)
Desensitisasi sistematis adalah cara memodifikasi perilaku
dengan menggunakan dua elemen penting yaitu 1) pemaparan
anak terhadap rasa takut secara bertahap dan 2) membuat keadaan
yang mengurangi rasa ketidakberdayaan anak terhadap rasa
takutnya.4
f. Teknik tell-show-do
Tell-show-do merupakan suatu rangkaian pendekatan secara
berurutan. Sebelum melakukan perawatan, dokter gigi menjelaskan
terlebih dahulu kepada anak apa yang akan dilakukan dengan
bahasa yang dapat dimengerti anak dan menunjukkan berbagai
instrumen yang akan digunakan. Kemudian, didemonstrasikan
12
kepada anak mengenai prosedur yang akan dilakukan. Setelah
anak mempunyai pandangan tentang prosedur perawatan, dokter
gigi melakukan prosedur tersebut sesuai dengan yang telah
dijelaskan dan didemonstrasikan.4
g. Pembentukan perilaku (behavior shaping)
Pembentukan perilaku merupakan gabungan antara teknik tell-
show-do dan penguatan positif untuk memberi dorongan atau
semangat. Pembentukan perilaku mencakup langkah-langkah
penelusuran bila perilaku buruk terjadi.4
h. Retraining
Anak yang datang ke dokter gigi menunjukkan ketakutan dan
perilaku negatif, memerlukan retraining. Perilaku yang ditunjukkan
oleh anak mungkin sebagai akibat dari kunjungan ke dokter gigi
sebelumnya atau karena orientasi orang tua atau teman sebaya
yang kurang baik. Menentukkan sumber masalahnya dapat sangat
membantu karena masalah tersebut kemudian dihindari dengan
teknik lain atau dengan tidak membesar-besarkannya maupun
dengan mengalihkan perhatian.4
i. Aversive conditioning
Untuk anak yang sangat menentang dapat digunakan oversive
conditioning: Hand Over Mouth Exercise (HOME). Hal ini bertujuan
untuk mendapatkan perhatian dari anak sehingga komunikasi dapat
dijalin dan diperoleh kerjasama dalam melakukan perawatan yang
aman. Teknik ini digunakan sebagai upaya terakhir dan tidak boleh
digunakan secara rutin.4
j. Penguatan positif
Dalam proses mendirikan perilaku pasien yang diinginkan,
sangat penting untuk memberikan umpan balik yang sesuai.
Penguatan positif adalah teknik yang efektif untuk menghargai
perilaku yang diinginkan dan, dengan demikian, memperkuat
13
terulangnya perilaku tersebut. Penguatan sosial termasuk ekspresi
wajah, memuji dan kasih sayang oleh semua anggota tim dokter
gigi. Penguatan nonsosial termasuk hadiah dan mainan.4
k. Hipnotis
Hipnotis memerlukan cukup banyak latihan, sehingga baik
pasien maupun operator terapi akan menjadi mahir melakukan
tindakan ini. Meskipun baru ada sedikit penelitian yang terkendali
baik mengenai hipnotis dalam kedokteran gigi. Tujuan utama dari
hipnotis adalah membantu pasien memperoleh perasaan tenang
dan percaya bahwa ia dapat menghadapi stress pada situasi
tersebut. Hipnotis dapat juga digunakan untuk mengurangi
kecemasan, suatu keadaan yang dapat mengurangi efektivitas
analgesik.8
Adapun penanganan anak secara farmakologi antara lain berupa
sedasi. Sedasi dapat digunakan dengan aman dan efektif oleh pasien
tidak dapat menerima perawatan gigi karena alasan usia atau kondisi
mental, fisik atau medis. Sedasi diindikasikan untuk: 1) ketakutan atau
kecemasan pasien yang belum berhasil ditangani, 2) pasien yang tidak
bisa bekerja sama karena kurangnya psikologis, kedewasaan emosi,
atau cacat mental, fisik atau medis, 3) pasien yang menggunakan
sedasi dapat melindungi perkembangan jiwa. Adapun kontraindikasi
penggunaan sedasi yaitu 1) tingkat kooperatif yang dibutuhkan minimal
dan 2) predisposisi kondisi medis dan atau fisik yang akan membuat
sedasi tidak bijaksana.9
Inhalasi sedasi (relatif analgesia atau sedasi nitrous oksida)
Inhalasi sedasi bermanfaat besar dalam mengurangi
kecemasan. Hal ini efektif untuk anak-anak yang cemas tetapi
kooperatif. Seorang anak yang tidak kooperatif sering tidak akan
membiarkan masker untuk ditempatkan di atas hidung. Sedasi
14
juga memerlukan cukup kedewasaan anak, usia atau
pemahaman akan membantu selama prosedur gigi.10
Keuntungan:10
Teknik aman dan relatif mudah.
Induksi cepat dan dengan mudah disembuhkan dengan waktu
pemulihan singkat
Kontraindikasi untuk inhalasi sedasi pada anak-anak adalah
hidung tersumbat. Kondisi berikut secara signifikan dapat
mempengaruhi kemanjuran teknik ini dan itu sebaiknya dihindari
pada:10
Anak-anak dengan gangguan kejiwaan yang parah.
Penyakit paru obstruktif.
Penyakit pernapasan obstruktif kronis.
Masalah komunikasi.
Pasien yang menolak.
Kehamilan.
Infeksi saluran pernapasan akut (ganas hipertermia bukanlah
kontraindikasi untuk menggunakan nitrogen oksida).
Oral sedasi
Oral sedasi adalah jalur yang paling populer digunakan oleh
dokter gigi pediatrik, karena kemudahan prosedur untuk
kebanyakan anak-anak. Beberapa agen yang digunakan untuk
teknik ini, termasuk:10
Benzodiazepin (misalnya midazolam).
Klor hidrat.
Hidroksizin
Promethazine.
Ketamin.
Midazolam meningkat dalam popularitas dalam dekade
terakhir karena memungkinkan pemulihan yang cepat. Dosis
15
bervariasi dari 0,3 mg/kg hingga 0,7 mg/kg, namun dosis
maksimum plafon (misalnya 10 mg) biasanya ditentukan untuk
kelompok usia yang lebih tua. Meskipun teknik sukses dalam
kelompok usia yang lebih tua, mungkin lebih sulit untuk berurusan
dengan anak-anak setelah dibius. Anak-anak lebih dari 6 tahun
mungkin menjadi penghambat dan sulit untuk dikendalikan.
Kelemahan utama dari teknik ini adalah bahwa obat-obatan yang
diberikan secara oral tidak dititrasi akurat.10
2.6. Pencegahan Rasa Cemas pada Anak
Beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua ketika berencana
membawa anak ke praktek dokter gigi:
Jangan membawa anak ke dokter gigi ketika mendekati waktu
tidurnya karena anak akan merasa mengantuk, lekas marah, dan
sulit kooperatif.2
Jangan menunggu sampai gigi anak sakit, bawalah mereka ke
dokter gigi sebelum giginya sakit sehingga kunjungan dapat
dijadikan sebagai perjalanan yang menyenangkan.2
Jangan menjadikan kunjungan sebagai hukuman karena hal
tersebut akan membuat anak berpikir negatif terhadap dokter gigi.2
Orang tua juga berperan untuk tidak membiarkan anak
mendengarkan cerita yang menakutkan tentang perawatan gigi. Hal
ini akan menyebabkan anak merasa cemas bila akan mengunjungi
dokter gigi.2
Mendorong orang tua untuk selalu memotivasi anak dalam hal
kesiapan untuk kunjungan selanjutnya.11
Kecemasan pada orang tua diusahakan agar tidak diketahui anak
saat kunjungan.11
Dokter gigi selalu menyarankan ke orang tua untuk meninggalkan
kesan positif pada anak.11
16
Membuat suasana lingkungan menjadi nyaman dan sebaiknya
antara ruang tunggu dan ruang perawatan diberi jarak sehingga
anak tidak mendengar bunyi alat.11
2.7. Cara Memelihara Sikap Kooperatif pada Anak
Mengutamakan kenyamanan anak saat sebelum perawatan gigi
yang dapat diperoleh melalui desain atau tata ruang tunggu antara
lain:4
a. Ruang tunggu
Pasien bisa mendapat kecemasan yang tinggi ketika berada
diruang tunggu. Jadi hal yang perlu dilakukan adokter gigi adalah
mengarahkan anak bahwa pengalaman perawatan gigi bukanlah hal
yang menakutkan.4
b. Ruang perawatan
Ruangan harus dibuat lebih menarik untuk anak-anak dengan
cara memotivasi pada anak agar sikap kooperatif dapat terpelihara
komitmen dan memberi pengarahan tentang perawatan yang
menyenangkan.4
Selain itu, untuk memelihara sikap kooperatif anak dapat dilakukan
dengan cara penguatan positif. Hal ini dilakukan untuk membuat
tingkah laku anak agar pada kunjungan berikutnya dapat menjadi
normal dengan cara memberikan hadiah seperti buku-buku dan
gambar.4
BAB III
KESIMPULAN
Kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang
ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif, seperti ketegangan, ketakutan,
dan kekhawatiran. Rasa cemas adalah sifat kepribadian dan dapat berupa
17
kebimbangan, ketegangan, atau kegelisahan yang berasal dari antisipasi
terhadap bahaya. Faktor-faktor dari timbulnya kecemasan pada anak sendiri
bisa datang dari diri anak itu sendiri, pengaruh dari orang tuanya, pengaruh
dari dokter gigi, maupun pengaruh dari lingkungan. Hal ini dapat
menyebabkan anak menjadi tidak kooperatif.
Gejala-gejala dari adanya rasa cemas itu sendiri bisa dilihat dari segi
psikologi dan kognitifnya, seperti adanya kecemasan yang berlebihan,
kekhawatiran yang sulit dikendalikan, sensitif terhadap suara, ketakutan, dan
lain sebagainya, serta dari segi fisiknya berupa gelisah, letih, otot tegang,
tangan berkeringat, dan lain sebagainya. Untuk menangani rasa cemas ini
diperlukan penanganan secara nonfarmakologi dahulu di mana dilakukan
secara bertahap dan jika penanganan secara nonfarmakologi tidak berhasil
maka dilanjutkan penanganan secara farmakologi. Selain itu, diperlukan juga
pencegahan agar rasa cemas tidak datang kepada anak lagi sehingga dapat
kooperatif pada kunjungan ke dokter gigi.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Trismiati. Perbedaan tingkat kecemasan antara pria dan wanita
akseptor kontrasepsi mantap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2004.
Yogyakarta: Jurnal PSYCHE Vol. 1 No. 1.
2. Soesilo Soeparmin,dkk. Peranan musik dalam mengurangi
kecemasan anak selama perawatan gigi. Denpasar: Universitas
Mahasaraswati. p. 1-3.
3. http://kajianpsikologi.blogspot.com/2012/01/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi.html
4. E. Arlia Budiyanti dan Yuke Yulianingsih Heriandi. Pengelolaan
anak nonkooperatif pada perawatan gigi (pendekatan nonfarmakologik).
2001. Dentika Dental Jurnal Vol. 6 No. 1. p. 13-7.
5. Elin Yulinah Sukandar dkk. ISO Farmakoterapi. 2008. Jakarta:
PT. ISFI Penerbitan. p. 236-8.
6. Soesilo Soeparmin. Pedodontic treatment triangle berperan
dalam proses keberhasilan perawatan gigi anak. Denpasar: Universitas
Mahasaraswati. p. 2-4.
7. C. Campbell et al. Update of Non-pharmacological behavior
management guidleline. p. 4-14.
8. G. G. Kent and A. S. Blinkhorn. Pengelolaan tingkah laku
pasien pada praktik dokter gigi. 2005. Jakarta: EGC. p. 131-3.
9. Clinical Guidelines. Guideline on behavior guidance for the
pediatric dental patient. 1990. Reference Manual. V. 14 No. 6.
10. Angus C. Cameron and Richard P. Widmer. Handbook of
pediatric dentistry. 2008. Australia. p. 27-30.
11. Barbara L. Chadwick and Marie Therese Hosey. Child taming:
how to manage children in dental practice. 2003. London. p. 32.
19