makalah 2. dm tipe2 dg komplikasi nefro&neuropati

Upload: muthi-melatiara

Post on 09-Oct-2015

72 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUSMODUL ENDOKRIN-METABOLIK-GIZIWanita dengan Bengkak pada Kedua TungkaiKELOMPOK IVMonica Raharjo

030.09.157Muhamad Rosaldy

030.09.158Muhammad Aries Fitrian030.07.159Muhammad Taufiq Hidayat030.07.160Muthi Melatiara

030.07.161Mutiara Citraristi

030.07.162Nabila Syafira Audi S.

030.09.163Nabila Zaneta

030.09.164Najua Saleh

030.09.166Nanda Anessa Minanti

030.09.168Neneng Maya

030.09.169

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta, 14 Maret 2010

BAB I

PENDAHULUAN

Topik diskusi pertama Modul EMG kali ini berjudul Wanita dengan Bengkak pada Kedua Tungkai. Diskusi ini dibagi menjadi dua sesi tutorial: yang pertama pada hari Jumat 09 Maret 2012 jam 10:00 sampai dengan jam 12:00, dan yang kedua pada hari Senin 12 Maret 2012 jam 13:00 sampai dengan jam 15:00.

Tutorial sesi pertama dipimpin oleh Muhammad Aries Fitrian sebagai ketua dan Mutiara Citraristi sebagai sekretaris. Dr.Hanslavina menjadi tutor yang membimbing kelompok kami selama diskusi berlangsung. Kelompok kami membahas tentang masalah-masalah yang dialami oleh pasien pada kasus ini, menetapkan diagnosis kerja berdasarkan data yang ada, menetapkan diagnosis banding, serta merencanakan pemeriksaan penunjang tambahan untuk memastikan diagnosis. Selain itu juga dibahas tentang patofisiologi terjadinya keluhan-keluhan yang dialami oleh pasien ini berkaitan dengan diagnosis kerja yang telah ditetapkan. Hal yang belum kami kupas secara tuntas ialah mengenai pemeriksaan penunjang foto thoraks, perbedaan DM juvenile onset serta adult onset berkaitan dengan penetapan diagnosis kerja dan diagnosis banding, serta patofisiologi terjadinya neuropati pada pasien ini.

Tutorial sesi kedua dipimpin oleh Muhammad Taufiq Hidayat sebagai ketua dan Muthi Melatiara sebagai sekretaris. Dr.Hanslavina kembali membimbing kelompok kami sebagai tutor pada tutorisal sesi kedua ini. Hal-hal yang dibahas oleh kelompok kami ialah learning issue yang didapatkan dari tutorial sesi pertama serta penatalaksanaan awal, pengelolaan, pencegahan, komplikasi, dan prognosis pada pasien ini. Yang masi menjadi pertanyaan usai tutorial sesi kedua ialah apakah pasien ini perlu diberikan insulin, ACE inhibitor, dan diuretik. BAB II

SKENARIO KASUSSeorang wanita 48 tahun, mengeluh bengkak pada kedua tungkai kaki hingga ke mata kakinya sehingga ia tidak lagi dapat memakai sepatunya. Ia menyadari hal ini sejak 2-3 bulan yang lalu. Seorang temannya memberinya lasix yang katanya sedikit menolong, tapi sekarang obat itu sudah habis. Berat badannya bertambah hingga kira-kira 10 kg dalam waktu 2-3 bulan terakhir. Sebelum ini dia mengeluh sering kencing dan mudah lelah serta mengantuk. Seorang temannya mengatakan mungkin ia menderita kencing manis dan memberinya tablet yang katanya harus diminum setiap pagi sebelum makan. Ia memang merasakan lebih enak. Ia tidak pernah pergi lagi ke dokter.Pada matanya tampak edema periorbital dan edema yang bersifat pitting pada tangan, kaki, dan kedua tungkainya. Ia merasa kebal pada kaki hingga pertengahan betisnya. Pada pemeriksaan urin didapatkan glukosa +2, protein +3, leukosit 0-2/LPB, eritrosit 0-1/LPB.

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

1. Identifikasi PasienIdentitas pasien adalah sebagai berikut:

Nama

: - Umur:

: 48 tahun Jenis kelamin

: Perempuan

Suku/bangsa/ras: Asia

Alamat

: -

Pendidikan

: -

Pekerjaan

: -

Agama

: -

Status pernikahan: -

2. Interpretasi Hasil Anamnesis

Dari hasil anamnesis yang dilakukan terhadap pasien didapatkan informasi seperti berikut ini:

1. Keluhan utama: bengkak pada kedua tungkai hingga ke mata kakinyaKeluhan bengkak pada kedua tungkai hingga ke mata kaki menunjukan suatu kondisi medis yang disebut sebagai edema. Edema sendiri menurut definisi adalah adanya cairan dalam jumlah besar yang abnormal di ruang jaringan interselular/ interstitial tubuh; biasanya menunjukkan jumlah yang nyata dalam jaringan subkutis.1Distribusi edema merupakan pedoman penting untuk menunjukan penyebabnya. Edema dapat terbatas/ setempat/ lokalisata, juga dapat bersifat sistemik/ menyeluruh/ generalisata: Edema lokalisata biasa terjadi akibat obstruksi vena atau limfatik yang dapat disebabkan oleh tromboflebitis, limfangitis kronik, reseksi kelenjar limfe regional, filariasis dan lain-lain. Selain itu juga bisa disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular akibat kerusakan pada endothelium kapiler oleh bahan-bahan kimia, infeksi bakteri, atau reaksi hipersensitivitas. Meningkatnya permeabilitas kapiler menyebabkan perpindahan protein ke dalam kompartemen interstitial sehingga cairan vaskular tertarik ke dalam kompartemen interstitial tubuh. Kerusakan pada endotel kapiler menyebabkan edema inflamasi yang biasanya non-pitting, lokalisata, dan disertai tanda klasik inflamasi lain (kemerahan, panas, nyeri tekan). Edema pada salah satu tungkai atau pada salah satu atau kedua lengan biasanya terjadi akibat obstruksi vena dan/atau limfatik. Edema unilateral kadang-kadang terjadi akibat lesi sistem saraf sentral, dimana keadaan paralisis akan mengurangi drainase limfatik serta vena sehingga timbul edema.2

Gambar 1: Berbagai Etiologi Edema Edema generalisata biasa disebabkan oleh dekompensatio cordis, sindroma nefrotik, atau sirosis hati. Pada dekompensatio cordis terdapat peningkatan tekanan darah vena yang menganggu aliran cairan dari ruang interstitiel kembali ke sistem vaskular pada ujung vena kapiler. Selain itu, penurunan curah jantung pada dekompensatio cordis menyebabkan penurunan volume darah sehingga ginjal akan merentensi cairan sebagai mekanisme kompensasi. Pada sindroma nefrotik dan sirosis hati, edema terjadi karena berkurangnya tekanan onkotik koloid yang berperan menyebabkan gerakan cairan dari ruang interstitial ke dalam sistem vaskular. Pada sindroma nefrotik tekanan onkotik koloid berkurang karena kehilangan protein plasma secara masif melalui urin, sedangkan pada sirosis hati terjadi karena hati gagal mengsintesis protein plasma. Keadaan lain yang menyebabkan hipoalbuminemia seperti malnutrisi berat juga dapat menyebabkan edema generalisata.2Pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui apakah edema hanya terlokalisir pada tungkai atau juga terdapat di bagian-bagian tubuh yang lain (generalisata). Hal ini dapat membantu mengarahkan dokter kepada suatu diagnosis kerja.I. Peningkatan tekanan kapiler

A. Retensi garam dan air yang berlebihan di ginjal

1. Gagal ginjal akut atau kronik

2. Kelebihan mineralokortikoid

B. Tekanan vena yang tinggi dan konstriksi vena

1. Gagal jantung

2. Obstruksi vena

3. Kegagalan pompa vena

a) Paralisis otot

b) Imobilisasi bagian-bagian tubuh

c) Kegagalan katup vena

C. Penurunan resistensi arteriol

1. Panas tubuh yang berlebihan

2. Insufisiensi sistem saraf simpatis

3. Obat-obat vasodilator

II. Penurunan protein plasma

A. Kehilangan protein dalam urin (sindrom nefrotik)

B. Kehilangan protein dari kulit yang terkelupas

1. Luka bakar

2. Luka

C. Kegagalan menghasilkan protein

1. Penyakit hati (sirosis)

2. Malnutrisi protein atau kalori yang berat

III. Peningkatan permeabilitas kapiler

A. Reaksi imun yang menyebabkan pelepasan histamin dan produk imun lainnya

B. Toksin

C. Infeksi bakteri

D. Defisiensi vitamin, khususnya vitamin C

E. Iskemia yang lama

F. Luka bakar

IV. Hambatan aliran balik limfe

A. Kanker

B. Infeksi (filariasis)

C. Pembedahan

D. Kelainan atau tidak adanya pembuluh limfatik secara congenital

Tabel 1. Penyebab Edema2. Keluhan lainnya: berat badan bertambah kurang lebih 10 kg dalam 2-3 bulan terakhirPasien ini mengalami pertambahan berat badan secara cepat. Penyebab pertambahan berat badan bisa dibagi menjadi fisiologis dan patologis. Penyebab fisiologis antara lain ialah: terlalu banyak makan serta kehamilan. Sedangkan, penyebab patologis ialah bila pasien menderita sindroma Cushing, mengalami myxedema, terdapat neoplasma yang besar, atau bila pasien mengalami edema (termasuk ascites). Pada pasien ini penambahan berat badan jelas bukan fisiologis karena onsetnya sama seperti onset bengkak pada kakinya (2-3 bulan yang lalu), sehingga penyebab penambahan berat badan pada pasien ini ialah karena edema yang dialaminya. Sindroma Cushing dapat disingkirkan karena pada sindroma Cushing biasa terdapat ekstremitas yang kurus akibat penumpukan lemak di sentral (central adiposity). Neoplasma juga dapat disingkirkan karena tidak sesuai dengan keluhan utama pasien yaitu bengkak. Untuk membedakan myxedema dan edema perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui sifat edema apakah piting atau non-pitting. Pada myxedema didapatkan edema yang bersifat non-pitting.33. Keluhan sebelumnya: sering kencing + mudah lelah dan mengantuk (teman menduga kecing manis)Sering kencing pada pasien ini bisa menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu: 1.frekuensi buang air kecil (BAK) yang tinggi tetapi volume sedikit (urinary frequency); 2.frekuensi BAK yang tinggi dengan volume yang banyak (poliuria); dan 3.inkontinensia uri yaitu kesulitan untuk menahan kencingnya.4 Dalam hal ini karena teman pasien menduga bahwa ia menderita kencing manis kemungkinan besar terdapat keluhan khas poliuria, polidipsi, dan polifagi pada pasien ini sehingga kelompok kami menyimpulkan bahwa sering kencing disini ialah suatu kondisi medis yang disebut sebagai poliuria.

Definisi poliuria ialah sekresi urin yang berlebih, yaitu lebih dari 3L/24 jam. Untuk memastikan apakah keluhan pasien ini poliuria bisa dilakukan anamnesis lebih lanjut atau pengukuran volume urin yang ditampung selama 24 jam. Dua mekanisme terjadinya poliuria ialah 1.ekskresi zat-zat yang tidak dapat diabsorbsi seperti glukosa yang menarik cairan sehingga diuresis osmotik meningkat atau 2.ekskresi cairan yang berlebihan dalam urin. Mekanisme yang pertama biasanya terjadi pada penyakit diabetes melitus, sedangkan mekanisme yang kedua terjadi pada diabetes insipidus dimana terjadi kelainan pada kerja hormon ADH.44. Obat yang pernah dikonsumsi: lasix + tablet diminum setiap pagi sebelum makanPasien mengaku bahwa ia telah mengkonsumsi dua jenis obat yang membuatnya merasa lebih enak. Yang pertama ialah lasix, merupakan suatu diuretik yang termasuk dalam golongan furosemide. Kerja diuretik ialah meningkatkan diuresis sehingga mengurangi cairan dalam tubuh pasien yang mengalami edema, maka ia merasa lebih enak setelah mengkonsumsi lasix. Yang kami temukan juga bahwa lasix merupakan kontraindikasi untuk penderita DM karena dapat menyebabkan hiperglikemi.5Yang kedua ialah tablet yang diminum setiap pagi sebelum makan, diberikan oleh seorang teman yang menduga bahwa ia menderita kencing manis. Kelompok kami menyimpulkan bahwa obat yang diberikan oleh temannya ini merupakan obat anti-hiperglikemik oral. Obat anti-hiperglikemik oral dapat dibagi menjadi tiga kategori: 1.obat yang menstimulasi sekresi insulin (insulin secretagogue) yaitu sulfonylurea, analog meglitidine, serta derivate d-phenylalanine; 2.obat yang mempengaruhi kerja insulin yaitu biguanide dan thiazolidinedione; dan 3.obat yang menghambat absorbsi glukosa yaitu alpha glucosidase inhibitor acarbose dan miglitol.6

Tabel 2. Obat Anti-Hiperglikemik OralBeberapa obat yang termasuk dalam golongan sulfonylurea diberikan pagi hari sebelum makan cukup satu tablet (single-dose) karena efek kerja yang panjang. Keterangan bahwa pasien membaik dengan konsumsi obat anti-hiperglikemik oral merupakan alasan kuat kelompok kami menduga pasien penderita diabetes melitus (DM).3. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisik

Dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan informasi seperti berikut:1. Mata: tampak edema periorbital

Pada dasarnya, edema yang terjadi pada pasien ini ialah akibat akumulasi cairan yang berlebihan pada sela-sela jaringan interstitial. Cairan sering tertimbun pada daerah periorbital ialah karena jaringan periorbital tersusun atas jaringan longgar sehingga cairan mudah mengalami akumulasi di daerah tersebut.72. Pitting edema pada tangan/ kaki/ kedua tungkai

Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, edema dapat dibagi menjadi lokalisata dan generalisata, Pada pasien ini, selain pada tungkai juga ditemukan edema pada kedua tangan dan kaki, serta pada region periorbital sehingga edema pada pasien ini termasuk edema yang generalisata. Edema generalisata dapat disebabkan oleh decompensatio cordis, sindroma nefrotik, serta sirosis hepatis.2Selain pembagian lokalisata dan generalisata, edema juga bisa dibagi menjadi yang bersifat pitting maupun non-pitting. Edema yang bersifat pitting ialah yang membekas bila ditekan selama 10-15 detik di atas tulang, sedangkan edema yang non-pitting adalah yang tidak membekas. Edema yang bersifat pitting ialah yang disebabkan oleh decompensatio cordis, sindroma nefrotik, sirosis hari, serta malnutrisi. Edema yang bersifat non-pitting ialah yang disebabkan oleh obstruksi saluran limfe atau edema pada myxedema.3Pada pasien ini dapat disimpulkan bahwa penyebab edema yang terjadi ialah akibat decompensatio cordis, sindroma nefrotik, sirosis hati, atau malnutrisi.

3. Kebal pada kaki hingga pertengahan betisnya

Rasa kebal menandakan terdapat gangguan pada akson dari saraf perifer. Kerusakan akson pada saraf perifer dapat menyebabkan daerah yang dipersarafi mati rasa, rasa gatal (tingling), serta tidak dapat merasakan getaran. Karena kelompok kami menduga bahwa pasien ini menderita DM yang lama maka kami mencurigai sudah terjadi komplikasi pada saraf (neuropati).

4. Interpretasi Hasil Urinalisis

PARAMETERHASIL PASIENNILAI RUJUKANINTERPRETASI

Glukosa+2-Glukosuria.

Protein+30 hingga samarProteinuria.

Leukosit0-2/LPB0-4/LPBNormal.

Eritrosit0-1/LPB0-2/LPBNormal.

Hasil abnormal ditunjukkan dengan adanya kandungan glukosa dan protein dalam urin, sedangkan kadar leukosit dan eritrosit yang ada masih menunjukkan kadar normal. Seharusnya glukosa dan protein tidak ada dalam urin (negatif) karena keduanya merupakan molekul besar yang secara normal direabsorbsi kembali dengan adanya filtrasi ginjal. Nilai glukosa urin + ini menunjukkan adanya hiperglikemia diatas 170 mg/dL, karena nilai ambang batas ginjal untuk absorpsi glukosa adalah 170mg/dL.8 Kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyebabkan kelainan yang terjadi pada pasien ini antara lain sebagai berikut:

Keberadaan glukosa dalam urin

Glukosuria + hiperglikemiGlukosuria tanpa hiperglikemi

Penyakit DM.

Penyakit endokrin:

a. Akromegali.b. Cushing syndrome.c. Hipertiroidisme.d. Feokromositosis. Pankreatitis, Ca pankreas. Disfungsi SSP :

a. Asfiksia.b. Pendarahan/ tumor hipotalamus. Gangguan metabolisme berat :

a. Luka bakar berat.b. Syok kardiogenik.c. Uremia.d. Penyakit hati berat.e. Sepsis. Obat kortikosteroid dan Tiazid. Disfungsi tubulus ginjal.

Kehamilan. Gula non-glukosa di dalam urin.

Tabel 3. Penyebab Glukosuria.Keberadaan protein dalam urin

Proteinuria ringan (3 gr/hari)

Orang sehat setelah kerja jasmani berat.

Kondisi demam. Stress emosi. Hipertensi. Disfungsi tubulus ginjal. Ginjal polikistik. Infeksi saluran urin distal. Hemoglobinuria karena hemolisis berat. Glomerulonefritis kronis. Gagal jantung kongestif. Nefropati DM. Pyelonefritis. Myeloma multiple. Preeklamsi. Glomerulonefritis akut. Glomerulonefritis kronis berat. Nefrosis lipoid. Nefropati DM berat. Nefritis pada lupus. Penyakit amiloid.

Tabel 4. Penyebab Proteinuria.Pada pasien ini didapatkan hasil urinalisa kualitatif untuk hitung glukosa di urin, namun tidak disertai adanya keterangan kadar glukosa darah, sehingga diagnosis untuk pasien ini masi bisa termasuk dalam kelompok glukosuria disertai oleh hiperglikemia maupun tidak. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, hipotesis yang masi dapat dipertahankan ialah penyakit diabetes mellitus serta renal diabetik yang termasuk dalam disfungsi tubulus ginjal. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan tambahan lainnya yaitu pemeriksaan kadar glukosa darah.

Jumlah protein secara kuantitatif juga belum didapat, namun kadar +3 termasuk dalam proteinuria (makroalbuminuria), sehingga kemungkinan penyebabnya dapat mengerucut, menjadi 6 penyakit sesuai tabel di atas. Adanya proteinuria menyimpulkan bahwa pada pasien ini sudah bisa dikatakan sebagai sindroma nefrotik. Sindroma nefrotik ditandai oleh peningkatan protein secara bermakna dalam urin, juga didukung dengan adanya gejala edema pada pasien ini.85. Daftar Masalah dan Uraian Masalah

NoMasalahDasar Penetapan MasalahHipotesisPengelolaan

1Pitting edema yang bersifat generalisata (terdapat pada daerah periorbital + tangan + kaki + kedua tungkai)Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik Decompensatio cordis kanan

Decompensatio cordis kanan dan kiri

Sindroma nefrotik (termasuk nefropati diabetikum)

Sirosis hati

Malnutrisi Anamnesis Pemeriksaan fisik abdomen Foto thoraks Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)

2Pertambahan berat badan secara cepat (10kg dalam 2-3 bulan)Berdasarkan hasil anamnesis Penyebab fisiologis: Banyak makan Kehamilan Penyebab patologis: Sindroma Cushing Myxedema Neoplasma yang besar Edema (termasuk ascites) Anamnesis

Pemeriksaan fisik

3PoliuriaBerdasarkan hasil anamnesis Diabetes mellitus tipe 1 dan 2 Diabetes insipidus Anamnesis

Urinalisis

Kadar glukosa darah Pemeriksaan C-peptide

4Sering lelah dan mudah mengantukBerdasarkan hasil anamnesis Gangguan metabolisme Anamnesis

5Kebal pada kaki sampai pertengahan betisBerdasarkan pemeriksaan fisik Neuropati diabetikum Kadar glukosa darah

6GlukosuriaBerdasarkan hasil urinalisis (glukosa +2) Glukosuria dengan hiperglikemia: Diabetes mellitus tipe 1 dan 2 Gangguan endokrin Pankreatitis Gangguan metabolisme berat Obat kortikosteroid dan tiazid Glukosuria tanpa hiperglikemia: Renal diabetes Disfungsi tubulus ginjal Kehamilan Anamnesis Kadar glukosa darah Pemeriksaan C-peptide

7ProteinuriaBerdasarkan hasil urinalisis (protein +3) Glomerulonefritis kronis Gagal jantung kongestif Nefropati diabetikum Pielonefritis Myeloma multiple Preeklamsi Anamnesis Foto thoraks Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)

6. Diagnosis KerjaDiagnosis kerja untuk pasien ini ialah DM tipe II dengan komplikasi nefropati diabetikum dan neuropati diabetikum.

Pasien ini, datang dengan keluhan bengkak pada kedua tungkai kaki hingga ke mata kakinya, sehingga dia tidak dapat lagi memakai sepatunya (sejak 2-3 bulan yang lalu). Berat badannya, bertambah 10 kg dalam waktu 2-3 bulan terakhir. Kecurigaan terbesar berat badan pasien yang termasuk cepat bertambah tersebut adalah dikarenakan edema yang dialami pasien. Namun, ketika dilakukan anamnesis lanjutan, ternyata, pasien sebelum mengalami edema dan penambahan berat badan sempat mengeluh sering kencing dan mudah lelah serta mengantuk. Ketika itu, seorang temannya, mengatakan mungkin ia, menderita kecing manis, dan memberinya tablet yang katanya harus diminum setiap pagi sebelum makan. Pasien mengaku, merasa lebih enak. Benang merah dari cerita pasien tersebut seolah mengarahkan bahwa sebelum terjadi edema, pasien mengalami keluhan-keluhan klasik diabetes mellitus, seperti poliuria, dan keluhan tidak khas lainnya seperti mudah lelah dan mengantuk. Pasien juga merasa membaik dengan pemberian obat anti diabetik oral yang diberikan oleh temanya. Hasil anamnesis menunjukan bahwa pasien menderita diabetes mellitus.Lalu, pada pemeriksaan fisik, ditemukan edema periorbital, serta edema yang bersifat pitting pada tangan kaki, serta tungkai. Pitting edema, yang dikeluhkan oleh pasien, dapat terjadi pada DM yang telah mengalami komplikasi ke nefropati diabetikum. Pada nefropati diabetikum, hiperglikemia yang menahun menimbulkan kerusakan mikroangiopati yang berdampak pada ginjal sehingga ginjal kehilangan fungsinya untuk menyaring darah. Pitting edema juga dapat terjadi pada penyakit lain seperti decompensatio cordis kanan maupun kanan dan kiri, serta sirosis hepatis. Selain itu rasa kebal pasien pada kaki hingga pertengahan betisnya menunjukkan bahwa juga terdapat gangguan pada saraf perifer pasien, yang bila dihubungkan dengan komplikasi diabetes melitus yaitu neuropati diabetikum.

Pemeriksaan laboratorium juga mengarah kepada diagnosis kerja diabetes melitus dengan komplikasi. Pada pemeriksaan urin didapatkan glukosa (+2). Selain itu, pada hasil pemeriksaan protein (+3). Protein urin yang > atau sama dengan +2 merupakan salah satu tanda dari sindroma nefrotik. Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala berupa proteinuria, hipoalbuminemia, edema perifer/ edema anasarka, dan hiperkolesterolemia. Sindroma nefrotik dapat diakibatkan oleh kelainan primer maupun sekunder, dimana pada pasien ini sindroma nefrotik dipicu oleh diabetes melitus.9Kelompok kami mengambil diagnosis kerja DM tipe II bukan DM tipe I ialah karena:

1. Pasien ini baru datang ke dokter setelah keluhan edema tungkai muncul, padahal sebelumnya pasien sudah mengalami keluhan yang mengarah kepada penyakit diabetes melitus. Hal ini menunjukkan bahwa onset penyakit pada pasien ini termasuk lambat, dimana dibutuhkan bertahun-tahun sampai didapatkan proteinuria yang positif. Onset yang lambat merupakan salah satu karakteristik dari DM tipe II.

2. Selain itu, para penderita DM tipe II biasanya berusia > 45 tahun. Diketahui bahwa pasien ini berusia 48 tahun.7. Diagnosis Banding1. Diabetes melitus tipe I

Perbedaan DM tipe I dan DM tipe II ialah sebagai berikut. Diagnosis kerja kami ialah DM tipe II dengan alasan onset penyakit pada pasien ini lambat serta terjadi pada usia yang lebih tua (adult onset).DM tipe IDM tipe II

KetoasidosisMudah Tidak mudah

InsulinHarusTidak harus

OnsetAkut

Juvenile onsetLambat

Adult onset

PenderitaKurus

Usia mudaGemuk/ tidak gemuk

Usia > 45 tahun

ImmunologiBerhubungan dengan HLA-DR-3 dan DR-4

Islet cell antibody (+)Tidak berhubungan dengan HLA

Tidak ada islet cell antibody

Riwayat Keluarga+ 10%

30-50 % kembar identik terkena+ 30%

Kembar identik lebih kurang 100%

Tabel 5. Perbanding DM tipe I dan DM tipe IIUntuk menyingkirkan diagnosis banding DM tipe I dianjurkan pemeriksaan penunjang C-peptide.

2. Decompensatio cordis/ gagal jantung kronik/ congestive heart failureSalah satu kriteria minor untuk gagal jantung kiri dan kanan dari Framingham adalah edema tungkai. Untuk menegakkan diagnosis decompensatio cordis, diperlukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor yang ditemukan pada pasien secara bersamaan. Adapun kriteria mayor dan minor untuk decompensatio cordis ialah:Kriteria MayorKriteria Minor

PND (paroxysmal nocturnal dyspnea)

Distensi vena leher

Ronki basah

Kardiomegali

Edema paru akut

S3 Gallop

Peningkatan tekanan vena >16 cm H2O

Waktu sirkulasi >25 detik

Hepatojugular refluks +

Hidrotoraks Edema tungkai

Batuk malam hari

Dispnoe saat aktivitas

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari maksimum

Takikardia (>120x/menit)

Tabel 6. Kriteria Mayor dan Minor Decompensatio CordisUntuk menyingkirkan diagnosis banding decompensatio cordis ini perlu dilengkapi anamnesis (apakah pasien mengalami PND, dispnoe, atau batuk?), pemeriksaan fisik (apakah terdapat hepatomegali, peningkatan tekanan vena leher, atau S3 gallop?), serta pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks untuk memastikan adanya kriteria mayor maupun minor lainnya pada pasien ini. Foto thoraks dinilai untuk melihat adakah kardiomegali, edema paru akut, maupun efusi pleura.3. Renal diabetesRenal diabetes merupakan defek reabsorbsi pada ginjal yang diturunkan, dimana ginjal tidak mampu mereabsorbsi glukosa. Seperti pada diabetes melitus, pada renal diabetes juga dapat ditemukan glukosa dalam urin. Renal diabetes dapat dibedakan dengan diabetes melitus melalui pemeriksaan gula darah. Pada renal diabetes glukosa darah normal, sedangkan pada diabetes melitus glukosa darah tinggi.

8. Pemeriksaan Penunjang Tambahan

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada pasien ini selain yang sudah didapatkan yaitu urinalisis ialah:

1. Pemeriksaan kadar gula darah:

Pemeriksaan kadar gula darah berhubungan dengan kriteria diagnosis penyakit DM. Kriteria diagnosis penyakit DM yang disepakati oleh American Diabetes Association ialah:

1. Gejala diabetes (poliuria, polidipsi, serta penurunan berat badan tanpa sebab) disertai hasil pemeriksaan kadar gula darah sewaktu yang 200 mg/dl.

2. Hasil pemeriksaan kadar gula darah puasa 126 mg/dl.

3. Hasil pemeriksaan kadar gula darah PP 2 jam 200 mg/dl saat dilakukan tes toleransi glukosa oral (oral glucose tolerance test).6Diagnosis DM dapat ditegakkan bila salah satu dari ketiga kriteria diatas dapat terpenuhi, namun perlu dilakukan konfirmasi ulang sehari setelah diagnosis DM ditegakkan menggunakan salah satu cara yang telah disebutkan (pemeriksaan gula darah sewaktu/ puasa atau tes toleransi glukosa oral).Berdasarkan kriteria diagnositik diatas maka untuk dapat menegakkan diagnosis DM pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Pemeriksaan kadar gula darah bisa berupa:

a. Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu: Pemeriksaan kadar gula darah dilakukan dalam waktu dan hari apapun tanpa memperhatikan waktu terakhir kali mengkonsumsi makanan atau minuman. Nilai normal ialah < 200 mg/dl.6b. Pemeriksaan kadar gula darah puasa: Pemeriksaan kadar gula darah puasa dilakukan setelah puasa (tidak mengkonsumsi kalori sama sekali) sekurang-kurangnya 8 jam sebelum pemeriksaan dilakukan. Nilai normal pemeriksaan kadar gula darah puasa ilalah 70-110 mg/dl. Bila didapatkan hasil 110-125 mg/dl maka pasien mengalami toleransi glukosa terganggu 126 atau prediabetes. Pemeriksaan kadar gula darah puasa merupakan pemeriksaan yang dianjurkan karena lebih gampang dan cepat dilakukan, tidak mahal, dan bisa diulang untuk menghasilkan hasil yang sama (reproducible).6c. Pemeriksaan kadar gula darah PP 2 jam/ tes toleransi glukosa oral: Tes toleransi glukosa oral tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin. Tes toleransi glukosa oral dapat dilakukan bila didapatkan kadar gula darah puasa 110-125 mg/dl terutama bila sudah terdapat gejala seperti disfungsi ereksi pada laki-laki serta infeksi vagina yang rekuren pada perempuan. Atau bila kadar gula darah puasa normal 65 mg/dl.

d. LDL: Lipoprotein dalam plasma yang mengandung sedikit trigliserid, fosfolipid sedang, protein sedang, dan kolesterol tinggi. Nilai normal < 150 mg/dl. LDL merupakan lipoprotein beta yang mempunyai andil utama terjadinya aterosklerosis dan penyakit arteri koronaria.116. Pemeriksaan oftalmologi:

Pemeriksaan oftalmologi dilakukan untuk melihat adanya edema di makula yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula darah. Peningkatan gula darah akan menyebabkan adanya penumpukan sorbitol, akumulasi dari sorbitol ini akan menyebabkan air tertarik ke dalam intrasel dan menyebabkan edema. Edema akan melakukan penekanan pada lensa dan kemudian bisa terjadi katarak. Pemeriksaan oftalmologi dapat dilakukan sedini mungkin untuk mendeteksi adanya komplikasi berupa retinopati diabetik. 5 tahap progresivitas dari retinopati diabetik ialah:1. Dilatasi dari venula retina dan formasi mikroaneurisma pada kapiler retina

2. Peningkatan permeabilitas vaskular

3. Oklusi vaskular dan iskemi retina

4. Proliferasi dari pembuluh darah di bagian permukaan retina

5. Perdarahan dan kontraksi dari proliferasi fibrovaskular dan vitreous 11Seperti yang didapat dari diagnosis kerja bahwa pasien telah mengalami komplikasi DM dengan neuropati dan nefropati, maka pemeriksaan oftalmologi sangat diperlukan untuk mengetahui apakah sudah terjadi komplikasi sampai ke indera penglihatan pasien. dikarenakan patogenesis dari neuropati sangat dekat dengan patogenesis dari retinopati, maka apabila sudah terjadi neuropati maka rentan juga terkena retinopati. Maka dari itu kami mengindikasikan pemeriksaan ini untuk melihat atau mencari kemungkinan komplikasi lain yang sudah terjadi pada pasien ini.9. Kriteria DiagnosisA. Kriteria diagnosis Nefropati Diabetik TahapTanda

Stadium 1 (Perubahan fungsional dini) Peningkatan GFR hingga 40% di atas normal

Stadium 2 (Perubahan struktur dini)GFR normal atau sedikit meningkat; ekskresi albumin urin biasanya normal.

Stadium 3 (Nefropati insipien)Mikroalbuminuria menetap (ekskresi albumin urin antara 30-300 mg/24 jam); tekanan darah meningkat

Stadium 4 (Nefropati diabetik klinis)Proteinuria yang + dengan carik celup (>300 mg/24 jam); hipertensi

Stadium 5 (Fase insufisiensi)Azotemia, GFR menurun dengan cepat

Kriteria diagnostik utama untuk nefropati diabetik ialah ditemukannya proteinuria/albuminuria yang menetap (>300 mg/24 jam) dalam kurun waktu selama 3-5 bulan serta terdapatnya hipertensi.B. Kriteria diagnosis Neuropati DiabetikKriteria diagnostik untuk neuropati diabetik tidak terlalu spesifik. Adanya riwayat DM atau hiperglikemi persisten disertai manifestasi klinis yang bervariasi seperti kesemutan, kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar, seperti ditusuk, disobek, atau ditikam. Hadirnya neuropati diabetik bisa disertai dengan beberapa komplikasi diabetes lainnya, terutama mikroangiopati1210. PatofisiologiDiabetes melitus tipe 2 dapat disebabkan oleh resistensi insulin atau defek pada sel pankreas. Diabetes melitus tipe 2 biasanya terjadi akibat pola hidup yang kurang baik seperti asupan glukosa yang berlebih dan biasanya terjadi pada usia diatas 45 tahun.

Patofisiologi resistensi insulin sampai akhirnya timbul keluhan pada pasien ini adalah sebagai berikut:

Defisiensi insulin atau resistensi insulin ( menyebabkan penurunan masuknya glukosa ke dalam sel dan terjadi peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati (proses glikolisis meningkat di hati) ( kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia) ( hiperglikemia yang terjadi pada pasien ini bersifat kronis (persisten) karena pada pasien ini tidak mengontrol kadar gula darah-nya:

Pada saat darah melewati ginjal ( glukosa yang meningkat di darah ini lolos filtrasi dan tidak semua ter-reabsorbsi karena melebihi kapasitas sel-sel tubulus untuk mengabsorbsi glukosa ( disekresi urin yang mengandung glukosa (glukosuria, seperti yang terjadi pada pasien ini di urin-nya terdapat glukosa +2) ( glukosa memiliki nilai osmotik yang tinggi sehingga menarik air (diuresis osmotik) ( poliuria (seperti yang terjadi pada pasien ini sering buang air kecil) ( kemungkinan pada pasien ini sering buang air kecil nya pada malam hari (nocturia) karena sirkulasi darah pada malam hari lebih baik sehingga banyak darah yang melewati ginjal ( keadaan ini juga menyebabkan waktu tidur pasien terganggu (seperti pada pasien ini mengeluh mudah lelah dan mengantuk) Sebagian nefron ginjal akan mengalami kerusakan akibat hiperglikemia kronik ( nefron yang masih sehat akan melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan laju filtrasi glomerulus (ini terjadi akibat dilatasi arteriol aferen) ( hiperfiltrasi pada sisa nefron yang masih sehat ini lambat laun akan menyebabkan sklerosis pada nefron tersebut Akibat hiperglikemia kronik terjadi glikosilasi non-enzimatik asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning) ( awalnya, glukosa akan mengikat residu amino secara non-enzimatik ( membentuk basa schiff glikasi ( terjadi penyusunan ulang, terbentuk produk amadori (bentuk yang stabil tetapi masih reversibel) ( bila proses berlanjut, akan terbentuk Advanced Glycosylation End-Products (AGEs) yang ireversibel ( produk glikolisasi menyebabkan penebalan membrana basalis glomerulus sehingga muatan negatif membrane basalis glomerulus hilang ( proses glikosilasi terus berlanjut sehingga terjadi ekspansi mesangium glomerulus ( protein tidak difiltrasi sehingga lolos dalam urin dan didapatkan proteinuria (seperti pada pasien ini pada pemeriksaan urin nya ditemukan protein +3) ( albumin dalam plasma menurun ( penurunan fungsi tekanan onkotik intravaskuler ( ekstravasasi plasma ke jaringan interstitial (

1. Edema periorbital: terjadi karena jaringan penyusun sekitar mata ialah berupa jaringan ikat longgar sehingga disitu mudah terjadi penimbunan cairan.

2. Edema yang bersifat pitting (seperti pada pasien ini mengeluh bengkak pada kedua tungkai kaki hingga ke mata kakinya sehingga ia tidak dapat lagi memakai sepatunya): pitting edema merupakan edema yang apabila ditekan akan menjadi cekung dan sulit kembali seperti semula.

Hiperglikemia kronik pada pasien ini ( glukosa masuk ke dalam sel schwann dan neuron (sel saraf tidak membutuhkan insulin untuk masuknya glukosa ke dalam sel namun tetap membutuhkan insulin untuk metabolisme glukosa) ( karena insulin tidak dapat digunakan untuk metabolisme glukosa, maka glukosa yang terdapat di dalam sel tersebut direduksi oleh enzim aldosareduktase ( reduksi glukosa membentuk sorbitol ( sorbitol tidak dapat melalui membran sel ( terjadi penumpukan sorbitol di dalam sel schwann dan neuron ( mengurangi konduksi saraf sehingga terjadi polineuropati (seperti pada pasien ini mengeluh merasa kebal pada kaki hingga pertengahan betisnya)1311. KomplikasiMikroangiopatiMakroangiopati

1. Retinopati diabetic

2. Nefropati diabetic

3. Neuropati diabetic1. Penyakit Jantung Koroner (PJK)

2. Penyakit Pembuluh Darah Perifer

3. Stroke

4. Rentan infeksi atau terjadi gangren

12. Penatalaksanaan dan Pengelolaana. Edukasi

Edukasi pada pasien diabetes dan keluarganya dilakukan secara bertahap yang mencakup materi tentang perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan, mencegah dan mengenal penyulit DM dan resikonya, intervensi farmakologis dan non farmakologis serta target pengobatan, cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri, mengatasi sementara keadaan gawat darurat, pentingnya latihan jasmani yang teratur, pentingnya perawatan kaki dan lain lain.

b. Terapi Gizi Medis

Diberikan diet diabet yang disesuaikan dengan tinggi badan dan berat badannya. Apabila pada pemeriksaan laboraturium pada pasien ini didapatkan hasil ureum dan kreatinin tinggi maka diberikan diet rendah protein 0.8 gram/kgBB per hari. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang bertambah berat, diet protein diberikan 0.6 0.8 gram kgBB perhari.

c. Latihan jasmani

Untuk saat ini belum diperbolehkan untuk latihan jasmani mengingat kondisi fisiknya yang belum memungkinkan yaitu oedem belum teratasi, fungsi ginjal (ureum dan kreatinin belum diketahui), fungsi jantung belum diketahui.

d. Intervensi farmakologis

1. Insulin

Pada pasien ini saat datang ke rumah sakit maka pemberian obat yang dilakukan pertama kali adalah pemberian Short Acting Insulin atau Rapid Acting Insulin. Dosis disesuaikan dengan tingginya gula darah yang dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secara bertahap. Insulin long acting tidak dianjurkan pada pasien diabetes mellitus disertai dengan gagal ginjal, hal ini oleh karena pada gagal ginjal / Chronic Kidney Disease degradasi insulin dalam tubuh berkurang sehingga insulin dapat berada dalam tubuh dalam waktu yang lebih lama, dengan demikian apabila diberikan insulin long acting maka resiko untuk terjadinya hipoglikemi lebih besar.

Insulin Short Acting merupakan Human Insulin dan disebut juga Regular Insulin (RI) contoh dari insulin jenis ini adalah Actrapid dan Humulin R. Insulin short acting mempunyai onset (awal kerja) 30-60 menit, peak (puncak kerja) 30-90 menit dan duration (lama kerja) 3-5 jam dengan cara pemberian 30 menit sebelum makan. Sedangkan Insulin Rapid Acting adalah merupakan golongan insulin analog, misalnya Insulin Lispro (Humalog), Insulin Glulisine (Apidra) dan Insulin Aspar (Novorapid). Insulin glongan ini mempunyai onset 5-15 menit, peak 30-90 menit dan duration 3-5 jam dengan cara pemberian segera sebelum makan. Cara pemberian suntikan insulin tersebut dengan suntikan subkutan.

Indikasi pemberian insulin antara lain adalah:

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat disertai ketosis

Ketoasidosis diabetic

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Hipeglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

2. Obat Anti Diabetes (Glikuidon)

Apabila pasien menolak untuk diberikan insulin maka Obat Anti Diabetes yang dapat diberikan adalah Glikuidon yang merupakan obat golongan Sulfonil Urea yang cara kerjanya sebagai pemicu sekresi insulin. Glikuidon merupakan pilihan diantara berbagai obat golongan sulfonil urea olehkarena obat ini mempunyai duration yang paling pendek. Glikuidon masih cukup aman untuk penderita gangguan ginjal dibandingkan dengan OAD yang lain

3. ACE Inhibitor, yaitu Captopril

Pemberian ACE Inhibitor ini dimaksudkan untuk mengurangi proteinuria. Captopril mencegah konversi Angiotensin I menjadi Angiotensin II, yang menyebabkan sekresi aldosteron menurun sehingga retensi cairan berkurang. Secara umum ACEI menurunkan ekskresi albumin dan memperlambat perkembangan gagal ginjal karena sangat poten menurunkan tekanan intraglomerulus. Dosis captopril yang dianjurkan ialah 25 mg peroral. 4. Pengelolaan untuk neuropati

Pasien pertama-tama diminta menjaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang sempit. Vitamin B1, B6, B12 dosis tinggi atau dapat pula diberikan mecobalamin untuk memperbaiki neuropati perifer karena sifatnya memperbaiki saraf. Dosis yang diberikan yaitu 1500 mcg/hari PO dalam 3 dosis terbagi atau dengan 500 mcg/hari 3 kali/minggu IV/IM1413. Prinsip PencegahanMenurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes juga terdiri dari tiga tahap, yakni pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier14PencegahanTujuanBentuk

Pencegahan primer mencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetesmenjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik, kampanye makanan sehat dan seimbang, memasyarakatkan olahraga.

Pencegahan sekundermenemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggiberobat teratur, memperhatikan kadar gula, tekanan darah dan kadar lipid dengan cara non-farmakologis terlebih dahulu, Jika tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin, serta perilaku sehat.

Pencegahan tersierupaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatanpencegahan komplikasi diabetes, mencegah berlanjutnya komplikasi, mencegah cacat atau gagal organ.

14. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Pada ad vitam pasien ada lah dubia ad bonam tergantung dari rencana pengelolaan yang dilaksanakan, evaluasi teratur, dan kepatuhan pasien. Ketiga faktor ini dapat memperlambat perkembangan komplikasi ke tahap yang makin berat, misalnya gagal organ. Ad functionam : ad malam

Fungsi ginjal yang terganggu pada pasien ini tidak akan kembali seperti normal kecuali dilakukan cangkok ginjal. Selain itu, fungsi organ dari penyakit DM tidak akan berfungsi secara optimal, misalnya kompensasi sel beta pankreas pada keadaan lanjut akan menyebabkan disfungsi sel beta. Disfungsi sel beta ini akan berakibat massa pankreas mengecil dan fungsinya abnormal. Ad sannationam : ad malam

Diabetes mellitus bukan merupakan penyakit kambuhan tetapi penyakit yang makin lama akan bisa semakin berat dan menetap juga rata-rata tidak dapat disembuhkan.

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

DIABETES MELITUSDiabetes mellitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolisme dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi terhadap karbohidrat dimana DM ditandai oleh hiperglikemia. Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 1997, yaitu adalah sebagai berikut:1. Diabetes Melitus tipe 1 (terjadi destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):

a. Autoimun (karena autoantibody terhadap sel-sel beta)

b. Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)2. Diabetes Melitus tipe 2 (bervariasi dari resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai ke defek sekresi insulin disertai resistensi insulin)

3. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

4. Diabetes Melitus tipe lain:

a. Defek genetik fungsi sel beta

i. Maturity onset tipe Young (MODY) 1, 2, 3

ii. DNA mitokondria

b. Defek genetik kerja insulin

c. Penyakit endokrin pankreas

i. Pankreatitis

ii. Tumor pankreas/ pankreatektomi

iii. Pankreatopati fibrokalkulus

d. Endokrinopati

i. Akromegali

ii. Sindrom Cushing

iii. Feokromositoma

iv. Hipertiroidisme

e. Karena obat/zat kimia

i. Vacor, pentamidin, asam nikotinat

ii. Glukokortikoid, hormon tiroid

iii. Tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain

f. Infeksi

i. Rubella kongenital

ii. Cytomegalovirus (CMV)

g. Sebab imunologi yang jarang

i. Antibodi anti-insulin

h. Sindroma genetik yang berkaitan dengan DM

i. Sindroma Down

ii. Sindrom Kleinefelter

iii. Sindrom Turner, dan lain-lain

Pasien yang menderita Diabetes Mellitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologis: sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Jumlah insulin bisa normal atau banyak, tetapi jumlah reseptor pada permukaan sel yang kurang sehingga timbul gejala-gejala defisiensi insulin. Dengan demikian, pada DM tipe 2 selain kadar glukosa yang tinggi juga terdapat kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Penyebab resistensi insulin sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor berikut ini turut berperan:

1. Obesitas terutama sentral

2. Diet tinggi lemak rendah karbohidrat

3. Tubuh yang kurang aktivitas

4. Faktor keturunan

Diagnosis Diabetes MelitusDiagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Perlu diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dianjurkan adalahpemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik menggunakan sampel plasma darah vena. Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler.

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pasien pria atau pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal: kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain, atau hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal. Cara pelaksanaan TTGO adalah sebagai berikut:

3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa

Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan

Puasa semalam, selama 10-12 jam

Kadar glukosa darah puasa diperiksa

Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgBB, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit

Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Kriteria diagnostik diabetes melitus merupakan salah satu dari berikut:

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) >200 mg/dl

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) >126 mg/dl: puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir

3. Kadar glukosa plasma >200 mg/dl pada 2 jam sesedah beban glukosa 75 gram pada TTGO (kriteria ke 3 ini tidak dipakai secara rutin di klinik)

Pemeriksaan penyaring untuk DM perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu:

Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )

Kegemukan (BB dalam kg > 120% BB idaman atau IMT > 27)

Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg)

Riwayat keluarga DM

Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram

Riwayat DM pada kehamilan

Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl)

Pernah mengalami TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah puasa terganggu)Gejala Diabetes MelitusGejala diabetes melitus bisa dibagi menjadi gejala awal, gejala lanjutan, dan gejala kronis. Gejala awal diabetes melitus bisa disebut dengan 3P (poliuria, polidipsi, dan polifagi):

1. Poliuria (banyak kencing): Hal ini terjadi ketika kadar gula melebihi ambang ginjal yang mengakibatkan glukosa dalam urin menarik air sehingga urin menjadi banyak. Maka acapkali para penderita diabetes mengalami buang air kecil dengan intensitas durasi melebihi volume normal (poliuria).

2. Polidipsi (banyak minum): Karena sering buang air kecil, acapkali para pasien diabetes akan banyak minum (polidipsi).

3. Polifagi (banyak makan): Seorang penderita diabetes yang baru makan akan mengalami ketidakcukupan hormon insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel, hal ini akan menyebabkan tubuh selalu merasa kelaparan. Tubuh juga akan terasa lemah karena kegagalan metabolisme glukosa sebagai energi jadi penderita diabetes akan makan banyak untuk mengkompensasi hal tersebut.

Gejala lanjutan diabetes melitus adalah sebagai berikut:

1. Berat badan berkurang: Ketika proses sekresi pankreas kurang mencukupi jumlah hormon insulin untuk mengubah gula menjadi tenaga, tubuh akan menggunakan simpanan lemak dan protein yang ada. Pengurasan simpanan lemak dan protein di tubuh ini menyebabkan berkurangnya berat badan.

2. Penglihatan menjadi kabur: Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan perubahan pada lensa mata sehinggga penglihatan kabur walaupun baru saja mengganti kaca mata.

3. Cepat lelah: Karena gula di dalam darah tidak dapat diubah menjadi tenaga untuk sel-sel tubuh, maka badan cepat merasa lelah, kurang bertenaga, dan sering mengantuk.

4. Luka sulit sembuh: Pada penderita diabetes, terjadi penurunan daya tubuh terhadap infeksi sehingga bila timbul luka akan sulit sembuh.

Gejala kronis/komplikasi diabetes melitus ialah:

1. Impotensi/disfungsi ereksi dan kesemutan di kaki: Diabetes mampu merusak jaringan saraf dan pembuluh darah baikpada kemaluan maupun kaki, sehingga dapat menyebabkan impoten dan kesemutan di kaki.

2. Kerusakan ginjal

3. Gangren (infeksi berat pada kaki hingga membusuk)

4. Kebutaan

5. Serangan stroke

6. Serangan jantung koroner

7. Kematian mendadak15Komplikasi Diabetes MelitusKomplikasi dari diabetes melitus dapat dibagi menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronis, dimana komplikasi kronis mencangkup mikroangiopati dan makroangiopati.Komplikasi akut pada penderita diabetes melitus disebabkan karena defisiensi insulin yang berakibat pada hiperglikemia, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta penurunan aktivitas enzim-enzim anabolik yang sensitif terhadap insulin.1. HiHipoglikemia: Pada pasien diabetes, hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea. Hipoglikemia sering terjadi pada saat sedang berolahraga ataupun saat berpuasa yang dinyatakan dengan adanya peningkatan hormon regulator disertai dengan penurunan tingkat insulin. Keadaan insulin yang rendah ini membuka jalan bagi hormon regulator (yang dimediasi oleh mobilisasi bahan bakar substrat), meningkatkan keluaran glukosa hepatik, serta menghambat pelepasan glukosa dalam jaringan yang sensitif pada insulin. Respons-respons inilah yang akhirnya akan meningkatkan glukosa dalam darah. Bagaimanapun juga, hipoglikemia akan tetap ada pada pasien diabetes dalam keadaan ini dengan penggunaan insulin secara eksogen ataupun induksi insulin secara endogen dengan dosis yang tidak sesuai. Respons akut pada hipoglikemia dimediasi oleh efek-efek counterregulator hormon glukagon dan katekolamin. Gejala-gejala utama dari hipoglikemia terjadi secara sekunder seiring dengan pelepasan hormon katekolamin yakni gemetar, berkeringat, serta berdebar-debar. Sampai akhirnya kadar glukosa darah turun dengan cepat, gejala-gejala neuroglikopenik akan terjadi akibat efek hipoglikemia dari fungsi sistem saraf pusat seperti koma dan juga kebingungan. Karakteristik gejala-gejala (berkeringat di malam hari, mimpi buruk, sakit kepala di pagi hari) juga menyertai episode hipoglikemia selama tidur atau disebut juga nokturnal hipoglikemia.

2. Koma hiperosmolar: Hipoosmolar parah ditandai dengan tidak adanya ketosis dapat terjadi pada diabetes tipe 2. Episode ini sering dipicu oleh asupan cairan menurun yang selama sakit atau pada pasien lemah yang lebih tua yang tidak memiliki akses yang cukup untuk air dan memiliki fungsi ginjal yang abnormal sehingga menghambat klirens dari beban glukosa yang berlebihan. Mekanisme yang mendasari pengembangan hiperosmolalitas dan koma hiperosmolar adalah sama seperti pada diabetes ketoasidosis. Namun, karena hanya tingkat minimal aktivitas insulin yang diperlukan untuk menekan lipolisis, penderita masih memiliki insulin yang cukup untuk mencegah ketogenesis yang dihasilkan dari peningkatan asam lemak. Karena tidak ditemukannya ketoasidosis serta gejala-gejalanya dikemudian pasien akan datang dengan dengan dehidrasi serta hiperglikemia berat. Meskipun ketosis tidak ditemukan, ketonuria akan muncul jika pasien tersebut belum makan.3. Diabetik ketoasidosis: Kehilangan yang mendalam aktivitas insulin tidak hanya mengarah ke tingkat serum glukosa meningkat karena produksi glukosa hepatik dan penurunan peningkatan pengambilan glukosa oleh jaringan yang insulin sensitif tetapi juga untuk ketogenesis. Dengan tidak adanya insulin, lipolisis dirangsang, menyediakan asam lemak yang dikonversi menjadi keton bodies dalam hati oleh glukagon. Secara khusus memang adanya hiperglikemia dan ketosis (ketoasidosis diabetik) ditemukan pada penderita dengan diabetes tipe 1 yang kekurangan insulin endogen. Namun hal ini juga dapat terjadi pada penderita diabetes tipe 2, yang biasanya ditemukan selama terjadinya infeksi, trauma yang parah, atau kasus-kasus trauma yang meningkatkan level dari hormon counterregulator sehingga terjadilah mekanisme penghambatan kinerja insulin.

4. Hiperglikemia: Beberapa faktor penyebab defisiensi insulin yang berujung pada hiperglikemia adalah sebagai berikut,

Terjadinya gangguan intake glukosa ke dalam sel otot dan sel lemak (efek membran) Terjadinya gangguan intake asam amino (efek membran)

Adanya gangguan sintesis protein di jaringan otot (efek anabolik)

Terjadinya gangguan sintesis glikogen di jaringan hepar (defisiensi enzim glukokinase)

Hiperglikemia akan bertambah nyata dengan usaha tubuh untuk memenuhi kebutuhan tenaga dengan proses glukoneogenesis. Apabila hiperglikemia tersebut melebihi ambang batas ginjal untuk glukosa (180 mg/dl) akan menimbulkan glukosuria. Hal ini menyebabkan diuresis osmotik yang ditandai dengan poliuria (termasuk nokturia) dimana tiap 100 mg/dl glukosa dalam serum setara dengan 5,5 mosmol/l osmolalitas serum efektif. Jadi hiperglikemia akan disertai oleh perpindahan cairan dari ruang interseluler ke intravaskuler yang kemudian di ekskresikan oleh ginjal. Makin tinggi hiperglikemia makin nyata segala akibatnya. Selama masih ada hiperglikemia perpindahan cairan akan terus berlangsung yang mengakibatkan dehidrasi intraseluler dan hipovolemia.

Komplikasi kronik dari diabetes melitus meliputi komplikasi mikroangiopati (retinopati, nefropati, dan neuropati diabetik) serta komplikasi makroangiopati/makrovaskular:I. Komplikasi mikroangiopati1. Retinopati: Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dari gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetik yang terjadi pada penderita diabetes tipe 2 dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu retinopati nonproliferatif dan proliferatif:a. Retinopati nonproliferatif dapat terjadi pada DM tipe 1 dan tipe 2, merupakan stadium awal ditandai dengan adanya mikroaneurisma kapiler retina yang tampak berupa bintik merah kecil. Meskipun belum jelas penyebabnya, namun terjadinya mikroaneurisma diduga berhubungan dengan: faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, kelemahan dinding kapiler akibat berkurangnya sel perisit, serta meningkatnya tekanan intraluminal kapiler. Adanya peningkatan permeabilitas vaskular menyebabkan kebocoran lemak yang melebihi batas sehingga terlihat sebagai bintik kuning yang bersinar disertai eksudat (membentuk cincin di area sekitar kebocoran itu terjadi). Adanya eksudat pada area di makula sering disebut sebagai macular edema yang merupakan penyebab utama dari penurunan daya visual pada penderita DM tipe 2.b. Retinopati proliferatif ditandai dengan permbentukan pembuluh darah baru yang terdiri dari satu lapisan sel endotel tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan. Hipotesis menyatakan bahwa iskemia pada retina merangsang pelepasan faktor pertumbuhan sehingga terjadi pembentukan pembuluh darah yang baru. Daya tarik antara jaringan pembuluh darah yang baru dengan vitreus memicu terjadinya perdarahan atau pelepasan retina (dua kasus potensial penyebab kebutaan).2. Nefropati: Di Amerika dan Eropa nefropati diabetik merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes tipe 1 dan 2 sebanding, namun insidens pada tipe 2 sering lebih besar dibanding dengan tipe 1 mengingat jumlah pasien diabetes tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Nefropati diabetik ditandai dengan adanya mikroalbuminuria (30-300 mg/24jam) yang merupakan predikator penting untuk timbulnya nefropati diabetik. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuria, antara lain adalah mikroangiopati diabetik, penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan hiperlipidemia.3. Neuropati: Kasus neuropati terjadi sebanyak 60% pada penderita diabetes tipe 1 dan tipe 2, dan merupakan penyebab utama morbiditas. Diabetik neuropati dapat dibagi menjadi tiga tipe utama:a. Polineuropati simetrik distal: ditemukan sebanyak 50% kasus polineuropati distal simetris pada penderita diabetes. Ditandai dengan adanya demyelinisasi saraf perifer yang berefek pada kerusakan simetris saraf bagian distal ekstremitas bawah dengan gejala seperti kesemutan, mati rasa, dan parestesia.b. Neuropati autonomik: kehadirannya sering menyertai neuropati simetris perifer dan lebih sering ditemukan pada penderita diabetes tipe 1.c. Neuropati asimetrik transien: datang secara mendadak dengan onset yang biasanya menyakitkan di bagian kranial atau di saraf perifer (mononeuropati) atau pada isolasi saraf multipel (mononeuropati multiplex) yang terjadi lebih sedikit dibandingkan polineuropati simetrik ataupun neuropati autonomik. Adanya kemacetan pembuluh darah dan iskemia dipikirkan sebagai penyebab utama dari neuropati ini, yang kebanyakan ditemui pada penderita diabetes tipe 2. Terlibatnya saraf kranial ketiga menyebabkan sakit kepala ipsilateral diikuti ptosis dan ophthalmoplegia dengan reaktivitas papila yang menurun.

II. Komplikasi makroangiopati/ makrovaskular1. Penyakit jantung koroner: Merupakan penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM baik tipe 1 ataupun 2. Penyakit ini adalah salah satu penyakit penyulit makrovaskuler pada penderita diabetes dengan bermanifestasi sebagai aterosklerosis yang dapat mengenai organ-organ vital. Dasar terjadinya peningkatan risiko penyakit jantung koroner pada pasien DM belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan kenyataan bahwa:a. Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada pasien DM dibanding non-DMb. Pasien DM mempunyai risiko tinggi untuk mengalami trombosis, penurunan fibrinolisis, dan peningkatan respons inflamasic. Pada pasien DM terjadi glikosilasi protein yang akan memengaruhi integritas dinding pembuluh darah2. Penyakit pembuluh darah perifer: Penyakit pembuluh darah lebih sering dan lebih awal terjadi pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Neuropati disertai infeksi merupakan faktor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Penderita yang mengalami gangrene diabetik dapat mengalami amputasi, sepsis, koma, ataupun kematian.3. Hipertensi: Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin/sindrom metabolik dan sering menyertai diabetes melitus tipe 2. Adanya hipertensi memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Hipertensi disertai dengan peningkatan stres oksidatif dan aktivitas spesies oksigen radikal akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah akibat aktivasi angiotensin II dan penurunan enzim SOD. Sebaliknya, glukotoksisitas menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga meningkatkan risiko terjadinya hipertensi16BAB V

KESIMPULANKami mendiagnosis kerja pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 ditandai dengan gejala klasik DM serta gejala-gejala tidak khas lainnya. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk memastikan hipotesis. Rencana beberapa pemeriksaan tambahan sangat penting dalam membedakan kelompok diabetes mellitus-nya serta untuk mengetahui keparahan komplikasi. Tatalaksana pada pasien kami berikan saat menetapkan diagnosis kerja dengan pengelolaan farmakologis maupun non-farmakologis. Pencegahan paling utama yaitu menghindari cacat fisik yang lebih parah karena komplikasi dari penyakit DM, misalnya gagal fungsi organ, serta mencegah berkembangnya komplikasi yang lain, misalnya yang paling serius ialah makroangiopati, seperti PJK, stroke, dan lain-lain. BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. 11th ed. Jakarta: Elsevier; 2007. p.319.

2. Braunwald E, Loscalzo J. Edema. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J; editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008.

3. Natadidjaja H. Penuntun Kuliah: Anamnesis dan Pemeriksaan Jasmani. Jakarta: Bagian IPD FK Universitas Trisakti; 2003. p.12, 16.

4. Brenner BM, Denker BM. Azotemia and Urinary Abnormalities. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J; editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008.

5. Marks JW. Furosemide, Lasix. Available at: http://www.medicinenet.com/furosemide/article.htm. Accessed 12 March, 2012.

6. Masharani U, Karam JH, German MS. Pancreatic Hormones and Diabetes Mellitus. In: Greenspan FS, Gardner DG; editors. Basic and Clinical Endocrinology. 7th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2004. p.679-84, 689-98.

7. Shiel WC. Edema. Available at: http://www.medicinenet.com/edema/page2.htm#causes. Accessed 12 March, 2012.

8. Sutedjo AY. Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books; 2009. p.160-1.

9. Leksana. Diabetes Melitus. Buku Saku Internoid. In: Hanifah M; editor. Jakarta: Tosca Enterprise; 2012. p.II.1-7.

10. Eckman AS. Insulin C-peptide. In: Zieve D, editor. Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003701.htm. Accessed 09 March, 2012.

11. Soeharyo H. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium. In: Sutedjo; editor. Jakarta: Amara Books; 2009. p.17, 79-80, 85-7.

12. Hendromartono. Ilmu Penyakit Dalam. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiadi S; editors. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p.1943-4.

13. Schtheingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. In: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed. Jakarta : EGC;2002.p. 1268-70. 14. Perkumpulan Endrokrinologi Indonesia. Konsesnsus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PB PERKENI. 2011.hal 14-4615. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors. 6th ed. Jakarta: EGC; 2005.

16. Funk JL. Disorders of the Endocrine Pancreas. In: Mcphee SJ, Hammer GD, editors. Pathophysiology of Disease. 6th ed. United States: Lange Medical Book; 2006. p.514-15.

2