makalah 1 tugas kelompok
DESCRIPTION
sejarah fisikaTRANSCRIPT
OI
KAJIAN FILSAFAT MENGENAI ALAM
( disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Fisika )
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Sutarto, M.Pd.
Prof. Dr. Indrawati, M.Pd.
Oleh :
Kelas B Reguler
Devi Aprillia N (120210102015)
Defrin Yuniar K.S. (120210102027)
Desi Rahmawati (120210102071)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KAJIAN FILSAFAT MENGENAI ALAM
A. Pengertian Filsafat
Philosophy atau filsafat berasal dari kata philosophia, “love of wisdom”
(cinta pada kebijaksanaan), merupakan suatu ilmu yang membahas suatu konsep
secara rasional dan kritis. Keberadaan filsafat tidak terlepas dari peran tokoh-
tokoh filsafat dengan pemikirannya yang mendunia (Anneahira, 2013)
Filsafat alam (dari bahasa Latin philosophia naturalis) adalah istilah yang
melekat pada pengkajian alam dan semesta fisika yang pernah dominan sebelum
berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Filsafat alam dipandang sebagai
pendahulu ilmu alam semisal fisika. (Wikipedia, 2013)
B. Kajian Filsafat Mengenai Alam
1. Thales (624 – 546 SM)
Pemikiran “Air sebagai Prinsip Dasar Segala Sesuatu”
Kajian Pemikiran Thales
Air sebagai prinsip dasar segala sesuatu dapat diartikan bahwa air
merupakan unsur dasar kehidupan dan unsur dasar di dunia ini. Pendapatnya
menyatakan bahwa dunia ini datar seperti papan yang mengapung di atas air.
Pemikiran Thales tentang alam tersebut tersebut dipandang dari segi
manfaat air yang begitu besar dalam kehidupan manusia, yaitu bagaimana semua
makhluk hidup memerlukan air untuk hidup dan bahan makanan semua makhluk
hidup mengandung air. Selain itu, air adalah zat yang dapat berubah-ubah bentuk
(padat, cair, dan gas) tanpa menjadi berkurang.
Berkaitan dengan pemikirannya tersebut, Thales juga mengemukakan
pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang
satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung di atasnya.
2. Anaximandros (610- 546 SM)
Pemikiran “To Apeiron sebagai prinsip dasar segala sesuatu”
Kajian Pemikiran Anaximandros
Dalam pemikirannya mengenai alam, Anaximandros mengemukakan
prinsip To apeiron, yaitu “yang tidak terbatas” (dari bahasa Yunani a=tidak dan
eras=batas). Berdasarkan pada ini, dapat diartikan bahwa Anaximandros
menganggap bahwa prinsip dasar itu haruslah pada sesuatu yang lebih mendalam
dan tidak dapat diamati oleh panca indera. Karena pada dasarnya To apeiron ini
dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang bersifat ilahi, abadi, tidak terubahkan
(mantap) dan meliputi segala-galanya. Dari prinsip abstrak ini, berasal segala
sesuatu yang ada di dalam jagad raya sebagai unsur-unsur berlawanan (yang panas
dan yang dingin, yang kering dan yang basah, malam dan terang). Kepada prinsip
ini juga, semua itu pada akhirnya akan kembali.
Menurut Anaximandros, apabila air merupakan prinsip dasar segala
sesuatu, maka seharusnya air terdapat di dalam segala sesuatu, dan tidak ada lagi
zat yang berlawanan dengannya. Namun kenyataannya, air dan api saling
berlawanan sehingga air bukanlah zat yang ada di dalam segala sesuatu. Karena
itu, Anaximandros berpendapat bahwa tidak mungkin mencari prinsip dasar
tersebut dari zat yang empiris. Prinsip dasar itu haruslah pada sesuatu yang lebih
mendalam dan tidak dapat diamati oleh panca indera.
To apeiron berasal dari bahasa Yunani [a=tidak dan eras=batas]. Ia
merupakan suatu prinsip abstrak yang menjadi prinsip dasar segala sesuatu. Ia
bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan, dan meliputi segala sesuatu. Dari prinsip
inilah berasal segala sesuatu yang ada di dalam jagad raya sebagai unsur-unsur
yang berlawanan (yang panas dan dingin, yang kering dan yang basah, malam dan
terang). Kemudian kepada prinsip ini juga semua pada akhirnya akan kembali.
Anaximandros membangun pandangannya tentang alam semesta. Menurut
Anaximandros, dari to apeiron berasal segala sesuatu yang berlawanan, yang terus
berperang satu sama lain. Yang panas membalut yang dingin sehingga yang
dingin itu terkandung di dalamnya. Dari yang dingin itu terjadilah yang cair dan
beku. Yang beku inilah yang kemudian menjadi bumi. Api yang membalut yang
dingin itu kemudian terpecah-pecah pula. Pecahan-pecahan tersebut berputar-
putar kemudian terpisah-pisah sehingga terciptalah matahari, bulan, dan bintang-
bintang. Bumi dikatakan berbentuk silinder, yang lebarnya tiga kali lebih besar
dari tingginya. Bumi tidak jatuh karena kedudukannya berada pada pusat jagad
raya, dengan jarak yang sama dengan semua benda lain.
3. Anaximenes (585 – 525 SM)
Pemikiran “Udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu”
Kajian Pemikiran Anaximenes
Anaximenes tidak lagi melihat sesuatu yang metafisik sebagai prinsip
dasar segala sesuatu, melainkan kembali pada zat yang bersifat fisik yakni udara.
Udara adalah zat yang menyebabkan seluruh benda muncul, telah muncul, atau
akan muncul sebagai bentuk lain.
Berdasarkan pada pemikirannya, dapat diartikan bahwa Anaximanes
menganggap bahwa semua benda dalam alam semesta tercipta karena suatu proses
pengenceran dan pemadatan dari udara. Analisis dasariah ini : Kalau udara itu
menjadi encer, muncullah api. Sebaliknya kalau udara semakin bertambah
kepadatannya, muncullah berturut-turut air, tanah dan batu. Proses pemadatan dan
pengenceran tersebut meliputi seluruh kejadian alam, sebagaimana air dapat
berubah menjadi es dan uap, dan bagaimana seluruh substansi lain dibentuk dari
kombinasi perubahan udara.
4. Empedokles (495-435 SM)
Pemikiran Empedokles “Prinsip yang mengatur alam semesta
tidaklah tunggal melainkan terdiri dari empat anasir atau zat, yaitu :
air, tanah, api dan udara”
Kajian Pemikiran Empedokles
Pemikiran Empedokles tersebut yaitu mengenai empat anasir (air, tanah,
api dan udara) dapat diartikan bahwa keempat anasir ini harus diterima sebagai
anasir pokok, sebab menurut observasi pancaindra, keempat anasir ini dapat
dijumpai dimana-mana. Udara, misalnya, adalah anasir tersendiri yang harus juga
diterima selain api, air dan udara dalam arti uap-kabut (Pemikiran Anaximanes
sebelumnya), sebab gejala-gejala adanya angin membuktikan itu.
Empedokles berpendapat bahwa semua anasir memiliki kuantitas yang
persis sama. Anasir sendiri tidak berubah, sehingga, misalnya, tanah tidak dapat
menjadi air. Akan tetapi, semua benda yang ada di alam semesta terdiri dari
keempat anasir tersebut, walaupun berbeda komposisinya. Contohnya,
Empedokles menyatakan tulang tersusun dari dua bagian tanah, dua bagian air,
dan empat bagian api. Suatu benda dapat berubah karena komposisi empat anasir
tersebut diubah.
Selanjutnya, bagaimana kejadian dan benda-benda alam semesta dapat
dijelaskan dari keempat anasir itu dapat dijelaskan berkat dua daya, yaitu cinta
(philotes) dan benci (neikos). Cinta adalah daya yang mempersatukan keempat
anasir, sedangkan benci merupakan daya yang menceraikannya. Benda-benda
alam semesta terjadi apabila kedua daya ini berperang. Peperangan akan membuat
keempat anasir itu bercampur-aduk, dan dari percampuran itu muncul benda-
benda konkret. (Kumara Ari Yuana, 2010 : 4)
5. Anaxagoras (500 – 425 SM)
Pemikiran “Benih-Benih sebagai Prinsip Alam Semesta”
Kajian Pemikiran Anaxagoras
Pemikiran Anaxagoras diartikan bahwa prinsip dasar yang menyusun alam
semesta tidaklah tunggal, namun mereka berbeda di dalam jumlahnya.
Anaxagoras menyatakan bahwa ada banyak sekali anasir penyusun realitas
(jumlahnya tak terhingga). Zat-zat tersebut disebutnya "benih-benih" (spermata).
Menurut Anaxagoras, setiap benda, bahkan seluruh realitas di alam
semesta, tersusun dari suatu campuran yang mengandung semua benih dalam
jumlah tertentu. Indera manusia tidak dapat mencerap semua benih yang ada di
dalam suatu benda, kita hanya mampu mencerap semua benih yang
dominan. Contohnya jikalau manusia melihat emas, maka ia dapat langsung
mengenalinya sebagai emas, sebab benih yang dominan pada benda tersebut
adalah benih emas. Akan tetapi, pada kenyataannya selain benih emas, benda itu
juga mempunyai benih tembaga, perak, besi, dan sebagainya. Hanya saja semua
benih tersebut tidak dominan sehingga tidak ditangkap oleh indera manusia.
Yang menjadi pertanyaan, apakah yang menyebabkan terjadinya
pencampuran benih-benih itu secara teratur, dan dengan begitu melahirkan
sesuatu ? Anaxagoras menjawab, “prinsip dasar segala gerakan adalah nous”.
Kata yunani nous berarti roh atau rasio. Apakah Anaxagoras memaksudkan nous
sebagai anasir material yang menggerakkan segala sesuatu, atau sebaliknya
sebagai sesuatu yang sama sekali tidak bersifat material, kita tidak dapat
mengetahuinya dengan pasti, sebab informasi tentang itu sedikit sekali, yakni
dalam satu-satunya fragmen tentang Anaxagoras yang masih tertinggal. Kata
Anaxagoras, “Dan tatkala nous mulai membuat gerakan, ia memisahkan dirinya
dari segala sesuatu yang terbawa masuk ke dalam gerakan itu. (Simon Petrus,
2004 : 24 -25)
6. Parmenides (540 – 470 SM )
Pemikiran “Hanya ‘yang ada’ itu ada”
Kajian Pemikiran Parmenides
Parmenides merupakan salah satu filsuf yang membahas hakekat dari
alam. Pemikirannya diatas dapat diartikan bahwa menurutnya, “yang ada” itu
tidak bergerak, tidak berubah, tidak terhancurkan, tidak tergoyahkan, dan tidak
dapat disangkal. Apabila orang menyangkal bahwa “yang ada” itu tidak ada,
dengan pernyataannya sendiri orang itu mengakui bahwa “yang ada” itu ada.
Sebab, kalau benar “yang ada” itu tidak ada, orang itu tidak dapat menyangkal
adanya “yang ada”. Jadi, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa sesuatu “yang
tidak ada” sama sekali tidak dapat dikatakan atau dipikirkan apalagi didiskusikan.
Sebaliknya “yang ada” itu selalu dapat dikatakan, dipikirkan, dan didiskusikan.
Oleh sebab itu, pernyataan Parmenides ini menjadi terkenal, “Ada dan pemikiran
itu satu dan sama.” Maksudnya, “yang ada” itu selalu bisa dipikirkan, dan “yang
dapat dipikirkan” selalu ada.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini salah satu contoh sederhana yang sesuai
dengan ungkapan Permanides. Seorang mahasiswa, bernama Bondan mengatakan
bahwa “Tuhan itu tidak ada”, Tuhan yang eksistensinya disanggah Bondan itu
sebenarnya ada. Artinya Tuhan harus diterima sebagai “yang ada”, sebab kalau
Bondan mengatakan Tuhan itu tidak ada, Bondan sudah terlebih dahulu
memikirkan siapa atau apakah Tuhan itu. Pemikiran, penolakan dan perkataan
tentang sesuatu tentunya mengandaikan bahwa sesuatu itu ada.
7. Xenophanes (570 – 480 SM)
Pemikiran “Segala hal muncul dari bumi dan air”
Kajian Pemikiran Xenophanes
Pemikiran Xenophanes mengenai kosmologi dapat diartikan bahwa lautan
menurutnya adalah bapak dari awan, udara dan sungai. Xenophanes percaya
bahwa bumi bercampur dengan lautan dan seiring berjalannya waktu, bumi bebas
dari lautan.
Dari analisis pemikirannya, dapat dikatakan bahwa Xenophanes percaya
matahari berjalan terus dengan gerak lurus, dan setiap pagi terbitlah matahari
baru. Gerhana disebabkan matahari jatuh ke dalam lubang. Ia juga memandang
bintang-bintang sebagai awan-awan yang berapi sehingga bersinar ketika
malam. Sinar itu seperti batu bara yang memerah dan ketika pagi hari api dari
awan itu padam kembali. Segala sesuatu dipandang berasal dari bumi, dan bumi
pula yang menjadi tujuan akhir segala sesuatu. Manusia berasal dari bumi dan air.
8. Herakleitos (550 - 480 SM)
Pemikiran “Panta rhei! (Segala sesuatu mengalir!), orang tidak
mungkin turun dua kali ke dalam sungai yang sama”
Kajian pemikiran Herakleitos
Pemikiran Herakleitos yang dimaksud diatas adalah mengenai perubahan-
perubahan di alam semesta. Artinya bahwa, menurut Herakleitos, tidak ada satu
pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu
yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi dan berubah,
maka tidak ada satu pun yang mantap. Herakleitos berpendapat bahwa esensi dari
realitas adalah perubahan. Bahkan, hal-hal yang tampaknya sudah bersifat
permanen sesungguhnya merupakan satu tahap saja dari perubahan yang secara
niscaya akan datang.
Berdasarkan pada hal inilah, pemikiran Herakleitos juga dapat diartikan
bahwa kosmos yang indah dan tertata baik ini pun selalu berada dalam arus
gerakan yang tidak terputus dari berbagai unsur yang bertentangan misalnya
musim panas menjadi musim dingin, musim dingin menjadi musim panas lagi,
yang lembab menjadi kering, yang tandus menjadi basah, begitu seterusnya
perubahan terjadi tanpa henti. Semua proses perubahan di atas hanya dapat
berlangsung teratur berkat daya logos, “rasio dunia”. Logos jugalah yang
mempersatukan unsur-unsur yang bertentangan dalam segala sesuatu sehingga
“dari segalanya menjadi satu dan dari satu menjadi segalanya”.
9. Demokritos (460-370 SM)
Pemikiran “Prinsip dasar alam semesta adalah atom-atom dan
kekosongan”
Kajian pemikiran Demokritos
Pemikirannya tersebut diartikan sebagai atomisme, yaitu suatu aliran
filsafat yang mengajarkan bahwa seluruh realitas terdiri atau tercipta dari gugusan
unsure-unsur terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Unsure terkecil penyusun
realitas itu diberi nama “atom” (a=tidak, dan tomos=terbagi). Atom-atom ini tidak
tertangkap pancaindra dan tidak mempunyai kualitas, misalnya, panas atau manis
ciri bahwa atom-atom itu tidak berkualitas, yakni dengan membedakan atom-atom
ini dari anasir-anasir Empedokles dan benih-benih Anaxagoras. Selain itu,
menurut Epikuros (sekitar abad ke-3), atom-atom ini juga menempati ruang dan
memiliki massa.
Kata “kekosongan” pada pemikiran Demokritos dapat diartikan bahwa
atom-atom itu bergerak dan gerakan mengandaikan adanya ruang kosong tempat
ia berlangsung
10. Ptolomeus
Pemikiran Ptolomeus “Bumi dikelilingi ruang-ruang berkabut”
Kajian Pemikiran Ptolomeus
Pandangan yang dikemukakan Ptolomeus bersifat Platonistik (teologi
kristen). Ptolomeus dalam rumusannya menulis bahwa bumi dikelilingi ruang-
ruang berkabut. Didalam ruang tersebut terdapat matahari, bulan, bintang-bintang,
dan planet-planet. Sisi terluar dari ruang ini dianggap sebagai tempat kediaman
Tuhan. Baginya setiap benda-benda langit tersebut memberikan pengaruh besar
terhadap bumi. Anggapan ini mendorong ketertarikan orang-orang pada waktu itu
untuk melakukan penelitian astrologi.
Segala sesuatu yang berada di atas bulan bersifat sempurna dan tidak
berubah. Sementara, segala sesuatu yang berada di bawah bulan bersifat tidak
sempurna dan secara tetap terus mengalami perubahan. (Reza Wattimena, 2000 :
125)
DAFTAR PUSTAKA
Anneahira. 2013. Tokoh-tokoh Filsafat. (http://www.anneahira.com/tokoh-tokoh-
filsafat.htm) di akses pada 6 Desember 2014
Hendrik, Jan. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius
Petrus, Simon. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta : Kanisius
Wattimena, Reza. 2000. Filsafat Sains. Bandung : Grasindo
Wikipedia. 2013. Filsafat Alam. (http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat _alam ) di
akses pada 6 Desember 2014
Yuana, Kumara Ari. 2010. The Greatest Phillosophers : Terjemahan.
Yogyakarta : CV. ANDI OFFSET