majalah mep edisi i 2012

20

Upload: imem-diwess

Post on 06-Apr-2016

269 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Majalah Pendidikan Indonesia, mengulas secara akurat, perihal kebutuhan, permasalahn, dan solusi pendidikan di Indonesia.

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah mep edisi i 2012
Page 2: Majalah mep edisi i 2012

cerminpojok cak nun

Benarkah ada sanak sauda-ramu yang harus berkorban sedemikian besar, sampai pun nyawanya, demi keserakahan se-jumlah orang yang bahkan tak dikenalnya terhadap sekati upah?

Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas primordial-isme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta-butanya. Atau bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan.

Maka kecemasan yang saya al-ami tidak hanya terhadap kemung-kinan chaos yang heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.

Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik menyaksikan atau mengalami benturan dan peper-angan. Tapi untuk apa dulu? Berse-diakah anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan yang pada hakekat dan kenyataannya tidak ada keterkai-tan yang realistis dengan perjuan-gan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecl?

Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang se-dang kita selenggarakan hari-hari ini memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struk-tural rakyat bergantung padanya?

Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan pengaturan

takaran. Pacing. Bukan menye-diakan pasak yang jauh lebih be-sar dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.

Ada anak-anak muda 'minta izin' ----anehnya –kepada saya. “Cak, biar deh saya dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah ka-pan kita serbu dan baka..!”

Tentu saja saya masih bisa ti-dak gila untuk memberikan jawa-ban yang tepat terhadap desakan emosi kerakyatan –yang sesung-guhnya saya mafhum benar latar belakangnya. Semangatnya per-nuh enerji 'jihad', tapi belum ada titik koordinat yang menyilangkan petemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.

Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah 'dipenjarakan' bis-shabri was-shalâh—sampai ada konteks dan sâ'ah sejarah dimana gumpalan tenaga semacam itu kita perlukan.

Jiwa kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan² kecil atau besar,

dengan tema apapun. Tapi yang disebut 'agama' adalah kesang-gupan mental dan akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidu-pan ini berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar menutur Al-loh.

Saya mohon maaf untuk men-gatakan hal seperti ini. Bahkan ter-hadap fitnah² besar dalam hidup saya, insyaAlloh saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau men-geluarkan enerji sedikitpun –me-lainkan, kalau perlu, saya bersedia membeli fitnah² itu. Saya bersedia membayar orang² yang memfit-nah saya, demi ma'unah, fadhilah dan karomah.

Maka kalau saya merasa ce-mas, insyaAlloh kecemasan yang saya maksudkan bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan dan kewajiban hidup.

Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri sebenarnya se-berapa besar kadar keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemunkaran politik, hu-kum dan ekonomi di sekitar kita. Seberapa besar pulakah kece-masan Anda terhadap kenyataan betapa orang² justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa cemaskah Anda terhadap keti-dakpedulian kita semua atas se-berapa jauh bangsa ini mengalami 'defisit nilai' demokras, moral, ke-berbudayaan dan keberadaban. Dalam bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka kebaikan dan ketentraman? @@@

'Membeli Fitnah' Oleh : Emha Ainun Nadjib

Contoh kasus. Seorang ibu mengeluh ketika berkon-sultasi. Ia tidak paham dan sulit memahami perilaku anaknya yang suka bandel dan tidak peka terhadap temannya. Perilaku sang anak tidak seperti yang diidam-kan.

Ribuan kalimat dan nasehat, rasanya hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. “Kata bapak, dengan kata-kata indah, lembut akan menjadikan anak lembut dan baik. Kenapa itu tidak berlaku bagi si Ahmad ini. Dengan kata kata kasar saja susah diatur apalagi dengan kata-kata lembut,” keluh ibu ini.

“Sudah berapa lama ibu berlaku lembut padanya,” tanya konsultan.

“Hampir setahun pak, dia tidak berubah,”“Baru setahun saja bu. Bukan sudah setahun....

Masak tidak ada perubahan sama sekali,?”“Ada sih, tapi tidak banyak. Dulu kalau diajak bicara

agak cuek, sekarang sudah mulai mau mendengar, meski-pun belum mau melaksanakan,”

“Selama setahun, berapa persen ibu berkata lembut dan berapa persen berkata kasar?”

“Wah sulit pak diukur. Ya fifty fifty lah pak.“Nah ini masalahnya. Mena-

bur keindahan lewat kalimat indah, ibu “kubur” sendiri dengan kalimat kasar. Pada-hal hampir pasti, anak didik bapak itu sejak kecil penden-garan yang diterima dalam pendidikan orang tuanya adalah kata-kata kasar. Ben-takan, hardikan, olok-olokan dan pilihan kalimat orang tuanya lainnya yang buruk,”

“Lantas pak?“Menghadapi anak

seperti ini harus mendapat perlakuan khusus.

Anak harus sering diajak

bicara ber-dua. Ibu jangan terlalu banyak mem-perma-lukan di depan anak

lain. Kalimat indah harus dominan dibanding kalimat kasar. Untung kalau ibu sudah bisa jadi manusia super sabar, maka tidak ada lagi kata bentakan. Karena anak ibu ini sudah pasti di otaknya, di hatinya telah tertanam energi negatif yang menyebar akibat kata kata kasar orang tua dan lingkungannya sejak kecil.”

DIALOG sederhana ini menjadi pintu masuk pembahasan kita soal cerdas pendengaran. Hampir semua ilmu mem-benarkan, bahwa masa kecil adalah masa paling penting bagi perkembangan seseorang.

Kalau sejak kecil, di rumah dan lingkungannya, yang didengar anak adalah kata kata kasar dalam bentuk bentakan, omelan, cacian, sudah pasti yang tertanam dan tumbuh subur adalah sikap KASAR dan lemahnya KEPEKAAN. Kalau musik yang diputar di rumah adalah dominan musik bernada keras, akan menambah bebalnya anak terhadap lingkungan.

Anak yang dibiasakan dalam lingkungan seperti ini SUDAH HAMPIR PASTI akan menjadi anak yang kasar di kemudian hari. Tidak peka terhadap lingkungan, tidak mudah terenyuh pada penderitaan sesama. Bahkan kalau menjadi pemimpin, tidak akan memahami kesulitan yang dihadapi yang dipimpinnya. Karena sejak kecil tidak dilatih kecerdasan pendengarannya. Ia juga akan menjadi pemimpin yang tidak mudah dikritik. Karena pendengarannya “dalamnya” tidak di-latih dengan baik sejak dini. Pendengaran “dalamnya” sudah tertutupi oleh kabut kekerasan yang tertanam sejak dini.

Berbeda dengan lingkungan rumah yang dihiasi dengan ribuan kata dan kalimat orang tua yang lembut, indah dan santun, dilengkapi dengan alunan musik klasik yang lembut, suara dzikir, bacaan ayat suci dan kalimat indah bagi orang muslim adalah salah satu cara melatih anak menjadi lembut dan peka terhadap lingkungan.

Ia lebih mudah mendengar dan akan mampu menangkap secara jernih, karena pendengarannya cerdas dan dilatih sejak dini. Kelak kalau dia menjadi pemimpin akan mudah menden-gar kritikan, masukan dan usulan masyarakat. Dia akan mu-dah memahami dan merasakan penderitaan rakyat, dia akan mudah memahami anak buahnya. Karena kebiasaan menata pendengaran dengan tepat akan melahirkan kebiasaan yang benar.

KALAU hari hari ini ada sebagian anggota DPR, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan pejabat lainnya TI-DAK PEKA terhadap problema masyarakat, tidak bisa “memb-aca” kegelisahan masyarakat, tidak bisa “menangkap” keingi-nan murni masyarakat dan bahkan tidak mau tahu bahwa dia digaji banyak oleh negara adalah menggunakan uang rakyat, salah satu sebabnya adalah sejak kecil tidak dilatih oleh orang tuanya untuk menjadi pendengar yang cerdas.

Beruntunglah kita, masyarakat umum dan mungkin sebagian pemimpin dan pejabat yang telah dididik oleh orang tuanya dengan pendengaran yang cerdas, maka insya Allah akan menjadi peka terhadap lingkungan, memahami penderi-taan yang lain. Semoga.

*) Penulis adalah Master Training MEP

Cerdas Pendengaran, Melatih Kepekaan Oleh: Yusron Aminulloh

Page 3: Majalah mep edisi i 2012

38 3

risensi salam redaksi

Segala puji bagi Allah, Zat yang Maha Kreatif. Dialah yang mencip-takan insan-insan baik yang me-nentukan bidang pendidikan seb-

agai pilihan hidup. Pendidikan merupakan “tempat” mela-

hirkan anak-anak cerdas secara intelektual, sos-ial, dan spiritual. Para pendidik merupakan orang terhormat. Dari tangan dan kerin-gatnya lahir anak hebat walau ber-asal dari desa nun jauh di sana.

Banyak anak desa membuat orang kota ter-henyak, kaget bercampur heran. Ternyata, polesan para guru mebuat anak-anak polos itu menjadi anak men-gagumkan.

Mungkin selama ini sudah ada ratu-san, mungkin ribuan anak desa yang telah meraih juara bidang studi tingkat nasional, bahkan internasional. Selama ini mereka kaya prestasi tetapi miskin publikasi.

Segudang berprestasi dari anak desa, mungkin di pedalaman yang luput dari sorotan kamera dan jepretan juru warta. Mereka tidak ingin terkenal, tetapi tidak adil kalau tidak diangkat oleh media agar mereka jadi dikenal.

Prestasinya mengukir sejarah dengan goresan tinta emas. Kisah sukses anak desa melegakan nurani orang tua di kota karena selama ini bosan dengan tontonan anak di-dik yang semakin carut marut dengan bum-bu dekadensi moral. Anak-anak kota acap

mempertontonkan tawuran, mengkonsumsi narkoba, dan perilaku tak sedap lainnya.

Sementara anak-anak desa dengan kesederhanaan-nya berprestasi, dan memberi inspirasi bagi anak kota yang dimanjakan keadaan.

Selain prestasi tadi, masih banyak potensi desa yang la yak “dibawa” ke kota. Baik berupa konsep segar dalam me-majukan pendidi-kan, konsep ten-tang pentingnya me ngelola lem-baga pendidikan, dan gagasan ori-sinil yang datang dari daerah. Un-tuk kepentingan itulah majalah INDAHNYA MEP diterbitkan.

L e m b a g a Pelatihan Mene-bar Energi Posi-

tif (MEP) menilai salah satu titik lemah pendidikan kita adalah soal Mindsite Pembelajaran yang usang dan monotone. Hal itu perlu dicharge kembali. Melalui Ma-jalah ini Lembaga Pelatihan Mindsite Pembelajaran MEP membawa perubahan dari bawah.

Kami yakin, perubahan pemikiran, konsep, dan gaga-san tidak harus dari Pusat (atas). Dari bawah, dari desa, bahkan dari gang kecil pun bisa melakukan perubahan. Konsep perubahan yang segar dan orisinil datang dari sebuah gang kecil, dari desa, kecamatan, dan kabupaten di ujung Timur Jawa Timur.

Majalah ini diharapkan menjadi bacaan para guru, dosen, siswa, komite sekolah, dewan pendidikan, dan pejabat yang menangani pendidikan. Kami mengundang semua pihak untuk ikut menulis di media ini, baik opini, laporan (berita), analisa, dan sajian lain. Mari kita bawa semuanya dari bawah ke atas, suguhan tulisan yang enak dibaca, kaya isi, dan orisinil yang kami bawa dari Desa untuk Indonesia. (*)

Dari Desa untuk Indonesia

Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

Guru memegang fungsi pent-ing bagi kemajuan siswa. Sekalipun fasilitas pendidikan sudah bagus, gaji membaik disertai taraf hidup siswa yang meningkat, tetapi jika kualitas guru diabaikan niscaya kemajuan pen-didikan hanya angan-angan. Kualitas guru juga tidak semata cukup men-gandalkan jenjang sekolah. Sebab, gelar sarjana tidak cukup untuk mere-spon dinamika kemajuan yang begitu cepat.

Langkah apa yang harus dilaku-kan?

Yusron Aminulloh, yang kini dike-nal sebagai motivator para guru terse-but, melalui buku ini menawarkan gagasan baru berupa mindset pem-belajaran. Berpijak dari paradigma “Menebar Energi Positif”, buku ini memberikan pedoman kerja guru.

Tujuannya adalah untuk menca-pai kualitas intelektual dan spiritual. “Menebar Energi Positif” memetakan fungsi, tugas dan peranan guru di bangku sekolah maupun di tengah masyarakat. Sikap dan pola pikir guru tradisional, birokratis dan otoriter, di-arahkan menjadi guru yang humanis, demokratis dan bervisi modern.

Lebih dari itu,sang penulis juga melihat peranan guru bukanlah seke-dar menjalan profesi kerjaan lazimnya karyawan kantoran, melainkan per-anan penegak spiritualitas bagi para muridnya. Ia hadir karena amanah dari dua dimensi. Dimensi vertikal, langsung pada posisi “amanah” dari Tuhan, dan dimensi horisontal sebagai tugas sosial dari masyarakat.

Itulah mengapa dalam buku ini banyak istilah spiritualitas seperti ka-sih sayang, cinta, ketuhanan, momen-tum, aliran kehidupan, dan seterus-nya. Istilah-istilah positif (dari energi positif) tersebut oleh Yusron dijadi-kan senjata untuk melawan energy negatif berupa situasi kehidupan guru yang selama ini hidup tanpa motivasi, tanpa orientasi, tidak melihat pelu-ang, stagnasi, dan lain sebagainya.

Energi positif mempunyai kekua-tan berkali lipat dibandingkan dengan energi negatif. Seperti kerja gravitasi semesta, apa jadinya bila ukuran ma-tahari sebagai pusat tatasurya, jauh lebih kecil dari bumi yang mengitarin-ya? Energi positif akan menghapus “jejak” energi negatif yang pernah Anda keluarkan, mengubahnya men-jadi energi positif pula.(hlm 61)

Tujuan dari strategi penebaran energi positif ini supaya siswa mam-pu mendapatkan kenyamanan bela-jar secara humanis, meraih etos didik yang tangguh dan etika kehidupan yang beradab.

Secara praktis buku ini berisi strategi komunikasi bijaksana saat guru berada di hadapan siswa. Kali-mat indah dan positif harus dilakukan agar anak tidak terpengaruhi energi negatif seperti dari bentakan, kutu-kan dan sejenis ungkapan kasar. Apa yang ditawarkan Yusron memang bukan hal yang baru. Pesan-pesan kebijaksanaan dari agama dan ajaran leluhur setiap hari kita dengar. Tetapi selama ini pesan bijak tersebut hanya berupa larangan. Sementara Yusron

mampu menjelaskan dampak luar biasa bagi kelangsungan kehidupan pendidikan.

“Menebar Energi Positif”, bukan semata pesan moral, melainkan juga pesan intelektual untuk pencerahan. Yusron misalnya, secara menawan mampu menjelaskan masalah-ma-salah besar seperti hukum kekekalan energi secara ringkas dan detail dan mudah dipahami. Contoh-contohnya pun sangat sederhana dengan men-gambil sample kisah sehari-hari dari kehidupan para guru berhubungan dengan murid, pekerjaan, pergaulan, agama dan lain sebagainya.

Buku ini bisa dikatakan luar biasa karena ulasannya sangat ilmiah dan realistis untuk pembangunan kepriba-dian guru di Indonesia. Keseriusan memahami hakekat kehidupan guru menjadikan Yusron mampu melihat sisi terdalam dari kehidupan guru dan arah kehidupan peserta didik.

Sebagai buku panduan etika buku ini barangkali terlalu tipis. Tetapi cukup menarik karena isinya berbobot dan sangat diperlukan para guru. Menjadi suatu kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang memang membutuh-kan panduan pembelajaran. (has)

(Sumber: http://teraspolitik.com/berita/1919/spiritualitas-guru- )

(Buku ini sudah memasuki ce-takan ke 4. Menurut penerbit, sudah beredar sekitar 9 ribu dan permintaan untuk pelatihan MEP Training Center terus berlangsung, Maka kini mema-suki cetakan ke empat.)

Spiritualitas Guru Judul Buku: Mindset Pembelajaran (10 langkah mendidik siswa secara kreatif dan humanis)/Penulis : Yusron AminullohPengantar : Dr Marwah Daud Ibrahim, Dr Supari Muslim, Prof Mujiarto/Penerbit : Nuansa Cendekia Bandung, 2011/Tebal: 220 hlm/Harga: Rp 42.000

Page 4: Majalah mep edisi i 2012

4 37Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

puisiIndahnya MEP

Redaktur AhliProf. Dr. Supari Salim, M.Pd

DR. Marwah Daud Ibrahim, M.AKH Zawawi Imron

Pimpinan Umum Yusron Aminulloh SH,MM

Pimpinan RedaksiSuharyo AP

Dewan RedaksiRB Syaiful Bahri, Zulkifli S. Ekomei,

Teguh Wahyu Utomo, Nasrul Ilahi, Azam Fahri

Fotografer

Masfian, David Firmansyah

Reporter Fathurrahman, Rozikul Anam, Anang

Yulianto, Syaiful, Rahman Arif

Design & LayoutFariz Salasa

Pimpinan Perusahaan Mentik Kania Firmansyah

Bagian Distribusi, Marketing dan Periklanan

M. Sholahudin, Dandi Ardianto

Alamat RedaksiJl. Gozali Gg XI/4 Lumajang

Jl.Langsep V/64 Perumnas Patrang Jember

Jl. Mayor Salim Batubara No. 10 Sekip Pangkal – Palembang 30127

Jl. Medokan Ayu MA III E-14 SurabayaGedung Arva Cikini Lt.2 Cikini Raya 6

Jakarta Pusat

Telpon: 082122869971 - 083830631519

Email :[email protected]:www.meptrainingcenter.com

Diterbitkan olehLembaga Training

Menebar Energi Positif

Dari Desa Untuk Indonesia

Menutup hati karena topengBenarnya cukup tuk setetes air mataSemestinya lambaikan sedikit jarimuUntuk tahu isi topeng ini

Aku mampu baca senyum MonalisaAku mampu menebak DÉJÀ VUAku mampu terbang bersama elangAku mampu lubangibumiAku mampu lewati segitiga BermudaAku mampu masuki karyaEinstenAku mampu sihir Avada KedavraAku mampu hancurkan zionisbahkanAku mampu budakkan seisi bumi

Apologize

Hanya sajaAkutak mampu melihatMelihat jiwa yang selaluDisamping raga iniAKU BUTAAku tak mampu mendengarDesahan keluh kesah jiwa itu

AKU TULIKarena angkuhku yang memo-

hon kelembutan hatimuApologize…

Surabaya, 11 Maret 2011

Rachel Kamilia Faradiba Nibal

DAFTAR ISIMengapa Menebar Energi Positif Hadir?

Tersenyum Hadapi Kelaparan

Emha : Kita Tidak Butuh Sekolah, Kita Butuh Guru

AWALNYA pendiri ”Menebar Energi Positif ” Yusron Aminulloh, punya pengalaman menarik tatkala berkeliling Nusantara

Jatuh bangun, kesusahan dan kesengsaraan adalah "baju kebesaran" ses-eorang yang akan suskes hidupnya.

Tema besar dengan huruf besar. Dan saya dari mulai hari Jumat hingga Minggu kemarin sampai benar-benar kenyang diceramahi opini mengenai pendidikan di ne geri ini.

Baca hal 6

Baca hal 34Baca hal 9

POJOK CAK NUN 2

SALAM REDAKSI 3

SAJIAN UTAMA 5

DARI NOL 9

PERSPEKTIF 11

RENUNGAN 12

KECERDESAN HATI & PIKIRAN 14

SAJAK & PUISI 17

OPINI 18

RELIGI 22

DIALOG BATIN 25

PROFIL 27

SOSOK 29

WAJAH PENDIDIKAN 30

OASE 31

HIKMAH 32

SATU LANGKAH 34

PARENTING 35

PUISI 37

RESENSI 38

CERMIN 39

Page 5: Majalah mep edisi i 2012

36 5Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

Rasanya sudah saatnya kita tidak terlalu jauh “terlibat” dan berdebat soal persoalan bangsa. Namun kita memulai saling berbagi keindahan dengan orang disekitar kita. Keluarga kita, sahabat di kan-tor, tetangga di rumah, guru kepada murid-muridnya, dosen pada mahasiswanya dan seterusnya. Berbagai keindahan kita mulai dari kata dan kalimat kita yang tidak menyakitkan hati orang lain, melain kan justru menentramkan, berbagi hati dan pikiran dengan keseju-kan, saling hormat menghormati, saling menghargai.

Kini sudah saatnya, kita senang kalau sahabat kita sukes, bukan sebaliknya iri dan sakit hati.

Kita sudah saatnya, berbahagia melihat ide ide cemerlang saha-bat kita, bukan sebaliknya menihilkan dan meniadakan

Kita sudah saatnya, menjunjung tinggi kebersahajaan, kemu-liaan dan saling kasih mengasihi

Kita sudah saatnnya mulai dari diri sendiriInsya Allah, kalau energi positif menebar disekitar kelu-

arga kita, kantor kita, lingkungan kerja kita dan persahabatan antar sesama, maka energi itu akan berakumulasi menjadi energi positif bagi sebuah kota, bahkan sebuah bangsa.

Jadi, mari berbagi keindahan mulai dari diri kita sendiri, ke-luarga dan lingkungan. Tidak ada cara lain selain itu untuk mam-

pu mengalahkan energi negatif yang sedang menyebar keseluruh negeri atas peran media, tokoh yang kadang membuat hati men-

jadi sedih.Kita harus optimis menyongsong zaman,

bangsa ini bangsa besar, kekuatan yang sangat diperhitungkan Negara Negara di dunia,

Maka jangan mau kalah dengan gerakan energi negatif yang digerakkan oleh kekuatan du-nia yang menginginkan bangsa ini menjadi bang-sa yang terjajah kembali, baik secara ideologis

maupun ekonomi dan kedaulatan…Bismillah, kita mampu melawannya den-

gan keteduhan dan keindahan,dan tidak ada keberhasilan yang dige

rakkan oleh kekerasan, kecam mengecam..keberhasilan hanya akan lahir dengan

kelembutan.

Apa itu Gerakan Menebar Energi Positif ?

Parenting : Kecerdasan Pendengaran sajian utama

Ditengah suasana bangsa yang terhinggapi penyakit “saling tidak percaya”, permusuhan antar golongan dan partai, sikap pesimis yang terus dihempus-kan hingga “perang” opini dan tawuran fisik antar pelajar, ma-hasiswa dan bahkan antar kam-pung, gerakan Menebar Energi

Positif hadir menawarkan sal-ing berbagi keindahan

perdebatan ini. Sampai kemudian giliran sang trainer bicara.

“Bapak ibu, saya tidak mau menyimpulkan diskusi dan debat peserta ini. Saya hanya bercerita tentang suatu kejadian yang di-alami sendiri seorang kawan yang menceritakannya kepada saya dengan linangan air mata, “ papar sang trainer.

Sebelum saya bercerita, pa-parnya, saya ingin mengajak bapak ibu mengingat, kenapa pendenga-ran seseorang lebih didahulukan daripada penglihatan. Lihatlah bayi dalam kandungan, selama sembilan bulan sudah menden-garkan apa saja yang bisa diden-gar. Sementara penglihatan baru Tuhan kasih setelah mereka hadir di bumi. Tentu ada makna dibalik itu. Betapa pendengaran adalah sebuah kekuatan dibanding peng-lihatan.

Kalau ibu bapaknya ---selama bayi dalam kandungan--- sukanya memperdengarkan suara gaduh, musik dangdut, pertengkaran, maka anak akan lahir dengan dua kemungkinan. Pertama, ia keras kepala, atau kedua, ia minder “menghadapi kehidupan”, itu kata psikolog. Sebaliknya kalau yang di-perdengarkan adalah kelembutan, musik klasik, suara ngaji Al Quran orang tuanya, kelembutan suami istri, maka saat lahir, anak cend-erung lembut, penuh kasih sayang dan siap menghadapi kehidupan dengan kecerahan.

“Tapi pak, jangan terlalu pan-jang ceritanya,” protes seorang peserta “Apa hubungannya den-gan topik kita soal sinetron tadi.”

Iya bapak, jawab sang trainer : Ini ada kaitannya dengan yang in-gin saya ceritakan.

Suatau hari, seorang kawan,

yang alim, bahkan seorang ulama, ternyata terpilih sebagai seorang kepala daerah di sebuah kabu-paten di Indonesia. Maka, dalam sebuah perjalanan ke Jakarta, ia ditemani beberapa pengusaha yang ingin menjadi patnernya. Ia menginap di sebuah hotel.

Dan entah bagaimana awal-nya, tiba-tiba para pengusaha ini “mentraktir” pejabat ini dengan mengundang seorang wanita can-tik untuk menemaninya malam itu.

Singkat cerita, ditengah malam, ia berada dalam sebuah kamar beramai-ramai dengan para pengusaha tersebut. Di ruang AC itu, rokok mengebul gak karu karuan, sampai jendela harus di-buka karena asap yang mengepul. Waktupun beranjak menjelang pagi. Dan, tiba-tiba satu persatu kawan meninggalkan kamarnya, Jadilah ia tinggal berdua dengan wanita cantik, yang konon artis sinetron yang hanya satu dua kali ikut tampil di televisi.

Maka, terjadilah peristiwa “pemanasan” yang tidak perlu saya ceritakan. Tapi tiba-tiba, pe-jabat ini mendengar suara orang mengaji dari masjid yang tidak jauh dari hotel tersebut, karena jendela dibuka.

“Aduh... itu suara ayah saya .... itu suara ayah saya .” teriak pejabat ini. Ia pun berdiri dan ti-dak melanjutkan perbuatannya. Ia cepat-cepat memakai baju dan meminta wanita ini meninggal-kannya sendiri. Ia pun merenung dan menelpon saya untuk datang ke hotel pagi harinya, ungkap sang trainer.

Akhirnya ia cerita kejadiannya dan menyesali telah masuk “ling-karan” yang salah. Ia juga cerita

panjang liku liku perjalanannya selama 3 tahun menjadi kepala daerah.

Catatan dari cerita ini adalah :Pertama ; pengakuan kawan

ini, pertama kali ia mendengar su-ara orang mengaji, ia tidak ingat Allah kemudian sadar, bukan. Ia justru ingat itu persis suara ayahn-ya waktu dia masih kecil. Ayahnya selalu melantunkan ayat-ayat itu menjelang ia bangun subuh. Bahwa kemudian ia ingat Tuhan, sudah pasti. Tetapi “pintu ma-suknya” bukanlah adzan atau ngaji itu sendiri, melainkan daya ingat dia dan kecerdasan pendengaran yang dilatih ayahnya sejak kecil.

Kedua; kalau sinetron atau film menggunakan alat adzan un-tuk sebuah kesadaran, itu hanya alat atau pintu masuk menuju kes-adaran. Dan itu tidak salah, meski kontekstualitasnya harus punya catatan sejarah terhadap tokoh yang diperankan. Bukan seke-dar ngaji, adzan insyaf. Harus ada benang merah yang menghubung-kan.

Ketiga; kita sebagai orang tua, mendapat pelajaran betapa ke-cerdasan pendengaran yang sejak dini dipelihara bahkan “ditanami” bibit yang baik, ternyata akan tum-buh sampai dewasa. Persis yang dialamai kawan pejabat yang oleh orang tuanya sejak kecil diperden-garkan hal hal positif, sehingga tumbuh sebagai alat kesadaran hingga dewasa.

Mari, kita sebagai orang tua “menanam” pendengaran yang baik pada anak-anak kita. Biar akan tumbuh menjadi tanaman yang subur berupa energi rohani. Semoga. ***

Page 6: Majalah mep edisi i 2012

6 35Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

sajian utama Parenting : Kecerdasan Pendengaran

AWALNYA pendiri ”Menebar Energi Positif ” Yusron Aminulloh, punya pengalaman menarik tatkala berkeliling Nusantara, baik sebagai staf Dr.Marwah Daud Ibrahim, MA (Anggota DPR-RI), Presidium ICMI Pusat, ataupun sebagai pribadi. Ia bertemu dengan banyak kalangan, mulai dari kawan-kawan kampus, Instansi pemerintah daerah, petani, nelayan dan banyak kalangan muda yang ada di berbagai daerah di Indonesia.

Pengalaman berkunjung ke Papua, Sulawesi, Sumatera, Kali-mantan, Riau, Kepulauan Riau, dan berbagai daerah itu memberikan gambaran, betapa masih banyak sikap PESIMIS oleh kebanyakan orang. Sikap OPTIMIS sepertinya menjadi barang mahal bagi bangsa ini.

Dari sikap pesimis inilah yang kemudian yang terjadi adalah : Sal-ing tidak percaya antar kawan, ko-

lega, dengan pejabat, antar pejabat dan bahkan antar lembaga

pemerintah (Pemda dengan DPRD, dstnya). Maka akibatnya, kemajuan sebuah pribadi, sebuah kota dan bahkan sebuah bangsa yang besar ini TERHAMBAT.

Dalam banyak kesempatan bertemu, berdialog dengan banyak kalangan : Dari kelas atas hingga bawah, pendiri menemukan ada sejumlah realitas yang menye dihkan berkaitan dengan KATA dan KALIMAT. Maksudnya : Ternyata dari sikap pesimis dan tidak saling percaya itulah maka kemudian lahir sebuah kebiasaan dari banyak kalangan yang MENGGUNAKAN kata dan kalimat yang maaf nilainya sa ngat rendah. Akibatnya yang muncul adalah kata dan kalimat

yang tidak akan layak diucapkan seseorang yang lahir dan hidup dalam sebuah bangsa besar yang bermartabat.

Bahkan, peran media televisi semakin memperpuruk bangsa, Karena ratusan acara televisi juga ”menjadi guru” bagi anak-anak bangsa dalam hal energi negatif. Kata dan kalimat sering menjadi tidak punya makna bagi sebuah kemajuan, tetapi justru kata dan kalimat menjadi faktor yang meng-hambat kemajuan.Meskipun harus diakui ada juga acara TV yang pu-nya energi positif cukup dominan, meskipun prosentasenya sangat rendah.

Maka Kelahiran gerakan Mene-bar Energi Positif ini diharapkan akan ikut mewarnai ”udara” negeri ini agar dari sikap pesimis ke sikap optimis. Dari kebiasaan menggu-nakan kata-kata bernuansa negatif ke nuansa positif.

Ditengah banyaknya Lembaga Training yang hadir di negeri ini dengan kualitas yang tidak diragu-kan, MEP hadir dengan kerendahan hati untuk ikut melengkapi dan menambah “pasukan” gerakan perubahan Mindset bagi warga negeri ini untuk maju. Dan kami dalam 2010 – 2012 akan fokus pada peserta guru/dosen, murid/maha-siswa, dan orang tua, meski masih hadir di kalangan lain walau bukan prioritas.

Mengapa Menebar Energi Positif

Hadir?

Dr. MarwahDaud Ibrahim MA ber-sama Drs. H. Yusron Aminullah MM, Master Training MEP

SEORANG Peserta training par-enting MEP, bertanya.

“Pak, apa bapak sependapat dengan film dan sinetron yang dalam adegannya, hanya karena mendengar adzan di sebuah mas-jid, kesadaran seseorang muncul atas sebuah kesalahan, baik itu setelah berbuat kejahatan, kesala-han, atau orang yang murka pada orang tua.”

Tentu, ini pertanyaan yang tidak gampang dijawab. Seperti

biasanya, saya lempar pertanyaan ini kepada peserta yang lain.

“Ah itu kan drama pak?” jawab seorang peserta, yang lain.

“Gak mungkinlah ada orang sadar hanya dengan cara seperti itu?”tambah peserta yang lain.

“Kalau menurut saya, mungkin saja, karena adzan itu ada asma Allah. Jadi kenapa tidak ?” seorang peserta lain menyela.

“Tapi terlalu verbal pak sine-tron itu. Kesadaran itu sesuatu

yang tidak gampang dicapai. Me-merlukan proses panjang. Melalui pertobatan, penyesalan dan liku liku keimanan seseorang. Jadi gak mungkin hanya mendengar suara adzan lantas insyaf.” Jawab peser-ta lain yang serius bicara.

“ Ya namanya sinetron pak, pendek waktunya, ya gak apa-apa itu adegannya begitu. Jangan disalahkan,” tegas seorang ibu---penggemar sinetron kayaknya---.

Menarik sekali mendengar

“Ingat Tuhan Setelah Ingat Suara Ayah”

Kecerdasan pendengaran adalah sebuah hal sederhana yang sering diremehkan banyak orang tua. Padahal apa yang diucapkan dan diperdengarkan orang tua, baik saat anaknya masih di

dalam kandungan atau saat balita, adalah sebuah “tanaman pendengaran” yang akan tumbuh subur hingga dewasa. Jadi kalau tanamannya indah, akan tumbuh indah, sebaliknya kalau

tanamannya buruk akan tumbuh buruk.

Page 7: Majalah mep edisi i 2012

34 7Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

Kejenuhan Para Guru Pun Sirna...

satu langkah sajian utama

“Saya sangat senang mengi-kuti pelatihan mindsite pembe-lajaran ini,” ujar Nurul Wati S.Pd, guru TK Dharwanita Bangsalsari, Jember.

Alasannya, banyak ilmu yang diterima selama pelatihan sebagai bekal dalam melaksanakan tugas. “Menurut saya waktu pelatihan selama dua hari kurang panjang, tapi tak mengapa kalau ada ma-salah nanti akan saya komunika-sikan dengan Tim MEP,” ujar guru yang sudah bekerja sejak tahun

1983 ini. Sedang Rianto S.Pd menyampaikan alasan mengapa dirinya tertarik, yaitu dengan pelatihan ada wawasan baru yang didapat. “Ini untuk meningkatkan kinerja,” ujar guru SMPN 1 Um-bulsari, Jember.

Pernyataan Bu Nurul Wati dan Pak Rianto ini “senafas” dengan sekitar 4.000 guru di Kab. Jember yang telah mengikuti pelatihan MEP tahun 2012. Pertanyaan lebih jauh, “Mengapa mereka ter-tarik?” Jawaban mereka karena

metode yang dilakukan Tim Trin-ner MEP selalu menyenangkan, ceria, rileks, jelas dan menge-sankan, kata Elok Mulistyaningsih, S.Pd, guru SDN Manggisan 01, Tanggul, Jember. Ada pengakuan dari peserta, bahwa guru di Indo-nesia selama ini telah melakukan kesalahan besar, yaitu sikap yang salah terhadap anak didik dan metode mengajarnya yang tidak tepat.

Sisi PositifSemua peserta memberi ko-

mentar positif terhadap pelatihan MEP. Mereka merasa banyak hal positif yang diterima dari pela-tihan MEP. Salah seorang guru

Pelatihan Mindsite Pembelajaran MEP selama ini telah “menetesi” batin dan jiwa para guru. Tak heran kalau peserta pelatihan memiliki kesan positif dan berharap pelatihan serupa diadakan kembali di kemudian hari.

PERJALANAN hidup seseorang adalah “teks” kehidupan yang nyata. Ia adalah cermin bagi siapapun, ia adalah salah satu ayat-ayat Tu-han yang bertebaran di alam se-mesta. Dibalik cermin itu kita bisa menangkap kebenaran, kesalahan, kegigihan dan bahkan keputusa-saan.

Semua punya makna, dan bisa menjadi lebih bermakna lagi ka-lau mau melihat dan merasakan bahwa, jatuh bangun, susah dan sengsara adalah “baju kebesaran” seseorang yang akan kesuksesan hidupnya. Dan terminologi kes-usahan dan kesengsaraan harus-lah bebas dimensi. Baik ruang dan waktu, maupun jarak kehidupan.

Banyak orang tua hidupnya susah payah, mengikhlaskan kes-enangan dan bercengkerama den-

gan kesederhanaan, demi masa depan anaknya yang lebih mulia.

Tetapi pada sisi lain kita bisa me-nyaksikan ada orang yang me-

milih kesenangan diri sendiri, demi status yang namanya keberhasilan.

Tapi hanya orang yang memahami makna substansi

keberhasilan yang mampu melihat keberhasilan adalah

perjalanan panjang kehidupan. Keberhasilan bukan datang be-gitu saja, ia melewati rute pan-jang dengan “ranjau-ranjau” yang namanya kegagalan.

Soichiro Honda, pendiri pe-rusahaan raksasa Honda, pernah berucap .”Orang melihat kesuk-sesan saya hanya 1 %, tetapi mer-eka tidak melihat 99 % kegagalan saya.” Sebuah kalimat pendek yang mengandung banyak pelaja-ran.

Generasi Junk FoodOrang tidak mampu menang-

kap setiap perjalanan sejarah ses-eorang, sebagai bagian yang harus ia nilai, catat dan tauladani. Orang suka menilai kekinian, konteks sekarang, tanpa pernah mau me-nilai jalan panjang perjalanan se-seorang. Zaman sering mengajari budaya instan, yang tak mau lagi berpikir panjang.

Peradaban manusia telah membangun generasi junk food, generasi cepat saji. Generasi yang bagaimana esok berhasil, tetapi menolak kalau esok adalah ke-matian. Padahal keberhasilan dan kematian adalah sebuah keniscay-aan yang dihadapi setiap manusia. Sebuah kata yang punya makna sejajar. Keberhasilan diperebut-kan dengan pemaksaan waktu, ke-

cepatan yang tentu saja melawan kodrat.

Apa yang akan kita tawarkan pada masa depan anak kita den-gan pola instan ini ? Bukankah itu semua arifisial ? Sebuah ke “seolah-olah”-an ? Ia jadi pandai, ia jadi juara dengan ranking ter-tentu, seolah adalah sebuah ke-muliaan. UNAS harus bernilai baik demi nama baik orang tua dan sekolah, dengan menghalalkan segala cara? Tentu sebuah realitas keprihatinan.

Anak-anak zaman ini adalah generasi "ringkih", generasi "nge-luh" dan tidak tahan banting. Mereka tidak berani menghadapi kesusahan, mereka tidak tahan akan penderitaan sebagai modal mencapai masa depan mereka sendiri. Walaupun adalah sebuah kegembiraan karena masih ada orang tua yang melatih anaknya "gagah" menghadapi kehidupan, tidak gentar menghadapi tantan-gan, tidak "ngalem" dengan kes-enangan, tidak dimanjakan den-gan kemewahan. Tetapi zaman diluar dirinya berkata lain.

Saya baca sejumlah biografi tokoh-tokoh besar dunia , orang-orang berhasil, bahkan sejumlah pengusaha sukses di Indonesia, adalah anak-anak yang hebat di masanya. Ia berguru pada alam semesta. Ia hidup dan bergaul dengan kemiskinan.

Ia menyapa angin, ia akrabi awan, ia senyum menghadapi kelaparan, ia tegak berdiri menyong-song masa depan. Kesederhanaan, kejujuran adalah jiwanya. Kesusah-an, kelaparan, adalah baju kesehari-an. Dan itulah modal awal ia mampu menguasai zaman. (Abi Mirza)

Tersenyum Hadapi KelaparanJatuh bangun, kesusahan dan kesengsaraan adalah "baju

kebesaran" seseorang yang akan suskes hidupnya.

Page 8: Majalah mep edisi i 2012

8 33Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

di Mataram, Henny Rahmadiana Dewi, mengaku pelatihan MEP mampu membuka jalan pikiran-nya terhadap kebingungan yang dialami selama ini. “Kalau perlu pelatihan MEP juga diikuti para petinggi negeri ini—DPR dll--- agar mereka jelas tujuan dalam membangun bangsa ini,” ujar guru SD Integral Luqmanul Al-Hakim.

Pelatihan ini mampu me ngubah mindsite para guru dan menambah wawasan sehingga dapat diterapkan dalam melak-sanakan tugas sehari-hari. “De ngan mengikuti pelatihan ini saya tahu harus menjadi guru “wajib” yang mencintai anak didik agar mereka senang pada pelajaran,” ujar Anita Rachmawati, SE guru SMA Muhammadiyah Lumajang.

Yang terkesan “aneh” ada guru yang mengaitkan antara pelatihan MEP dengan sikap jenuh setelah sekian lama gagal ngurus sertifikasi. “Di puncak kejenuhan gagal ngurus sertifi-kasi, saya merasa diberi semangat lagi dalam menghadapi murid yang tergolong minus dalam segi ekonomi dan otak,” tulis salah

seorang guru di Lumajang. Jika ditarik benang merah,

dapat dikatakan bahwa semua peserta pelatihan mengaku sama, bahwa pelatihan MEP ini membawa dampak positif. “Saya ingin berubah menjadi guru yang benar-benar guru yang inovatif, kreatif, dan bijak,” kata Khalid S.PdI guru MTs Hidayatullah, Mataram.

Diadakan LagiRupanya para guru benar-

benar tertarik pada pelatihan MEP. Banyak peserta yang usul agar nanti diadakan pelatihan lan-jutan. “Kalau ada lagi saya akan ikut,” ujar Lusiana Dasmini, guru SD Katholik Yos Sudarso, Jember. Hal senada disampaikan Mimik Heriati, guru TK Dharma Wanita Sukowono, Jember. “Dengan pelaksanaan pelatihan ini, maka guru Indonesia akan lebih baik lagi,” ujarnya.

Usul yang lain disampaikan Linda Rahmawati S.PdI, guru SMP Islam Bulurejo, Tempur-sari-Lumajang. “Saya usul agar diadakan pelatihan seperti ini lagi dikemudian hari,” pintanya singkat. Malah Rifka Afri Mahri-yanti, guru MI Muhammadiyah Lumajang usul, pelatihan seperti ini diadakan setiap tiga bulan sekali. Mudah-mudahan Tim MEP ada “nasib” baik untuk kembali lagi ke Mataram untuk memberi pelatihan lagi... ujar Mariani, guru SD Integral Luqmanul Al-Hakim berharap. (*)

hikmah

SAAT saya training untuk guru di kota Batam, jumat lalu, sebuah berita menghentak peradaban dan perilaku dunia pendidikan kita. Seorang siswa shock, pingsan, sakit keras dan akh-irnya menghempuskan nafas. Bukan soal kematiannya yang menjadi ma-salah, karena itu wilayahNya, tapi pe-nyebab kematian itulah yang menjadi keprihatinan kita.

Ada seorang siswa, hari itu ulang tahun. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba wali kelas dan siswa ber-sepakat memberi kejutan. Nah, disini malapetaka dimulai. Kawan-kawan-nya memasukkan sebuah hanphone dan uang ke tas sang siswa yang ulang tahun. Dan dengan drama sedemikian rupa kemudian digledah semua tas dan ditemukan barang "yang hilang" tersebut di tas Maizatul Marhamah, siswa yang ulang tersebut. Tentu saja ia kaget dan shock. Dia pun dipanggil ke depan oleh guru... dan baru kemu-dian semua tepuk tangan mengucap-kan selamat ulang tahun.

Rupanya peristiwa hari itu mem-buat Maizatul shock. Bahwa itu me-mang hanya sebuah cara yang mem-buat "surprise" dia tahu, namun ternyata "hentakan" itu membuat jan-tung dan metobolisme tubuhnya jadi gak karuan. Esoknya ia sakit, dirawat dan akhirnya meninggal. Innalillahi Wainna Ilahi Rojiun. Sebuah pertiswa tak terperikan, sebuah kesia-siaan yang tak seharusnya terjadi.

Boleh saja orang menganggap ini peristiwa biasa. Namun, saya melihat ada pelajaran besar yang bisa kita am-bil dari peristiwa ini :

Pertama; betapa dunia pendidi-kan kita ternyata masih membutuh-kan "tipuan" untuk sebuah surprise.

Tipuan ini tidak mungkin bisa lahir kalau tidak diawali dengan sejum-lah ketidakbenaran metodologi dan sistem pendidikan kita yang sudah mendarah daging. Ini hanya wa-jah yang ditampakkan Tuhan den-gan cara yang berbeda. Bagaimana mungkin seorang guru, wali kelas, bisa me nyetujui drama penipuan dengan alasan apapun apalagi hanya sekedar memberi kejutan. Ini seperti wajah di tempat lain, dimana murid dikasih jawaban ujian biar pada lulus. Sebuah bentuk penipuan yang beda tapi sama.

Kedua: Betapa lemahnya dunia sekolah kita, sampai tidak lahir kecer-dasan lain untuk sebuah surprise. Apa tidak ditemukan sesuatu yang mendi-dik dan memberikan tauladan. Bahwa anak ulang tahun adalah sebuah rasa syukur. Kenapa wali kelasnya kalau memang punya tradisi memberi uca-pan selamat pada anak didik tidak

dengan sesuatu yang bernilai eduka-tif. Misalnya mengajak mendoakan bersama bagi yang ulang tahun, baru memberikan ucapan selamat dengan jabat tangan misalnya.

Ketiga : Sebaiknya, wilayah privasi (ulang tahun) tidak harus dibawa ke kelas. Bisa diluar kelas. Baik di rumah ataupun di luar kelas. Dan itu biar menjadi wilayah anak-anak. Guru ti-dak perlu terlibat apalagi sampai me-nyetujui sebuah acara yang sangat bertentangan dengan dunia pendidi-kan seperti yang terjadi di kota Batam tersebut.

Maknanya : peristiwa ini bukan sekedar sebuah peristiwa biasa, Ini peristiwa yang mengandung makna yang dalam, kritik keras pada dunia pendidikan kita. Apalagi ini dilakukan atas kerjasama guru dan siswa, dilaku-kan di sekolah. Sebuah peristiwa yang memalukan dunia pendidikan kita. (ron)

Belajar dari Sebuah Kematian Seorang Murid

Page 9: Majalah mep edisi i 2012

32 9Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

hikmah dari nol

PENDIDIKAN.Tema besar dengan huruf be-

sar. Dan saya dari mulai hari Jumat hingga Minggu kemarin sampai benar-benar kenyang diceramahi opini mengenai pendidikan di ne geri ini. Jika anda tinggal di Jogja dan hidup waktu malam, plus jika anda kebetulan datang ke Kasihan, Bantul pada Jumat malam, anda akan mendengar diskusi menge-nai pendidikan saat maiyahan*. Lalu jika anda pada Sabtu malam Minggu kebetulan lewat di titik 0 km, anda akan melihat acara per-tunjukan bertajuk : Jogja Istimewa ? Pendidikan Gratis, Kesehatan Gratis, dan Tanpa Gusuran.

Jujur. Saya kalau men dengar orang beropini tentang pendidikan, saya agak muak. Bu-kan karena saya tidak suka soal pendidikan. Masalahnya, pendidi-kan kalau didiskusikan dalam kon-teks forum-forum non-formal dan bukan dalam konteks guru dengan guru, bakal percuma. Anda boleh beropini pendidikan untuk anak itu seharusnya mengedepankan minat dan bakat anak sehingga po-tensi anak tidak akan terabaikan. Tidak seperti pendidikan di negara ini sekarang. Atau opini lain. Seha-rusnya pendidikan itu gratis. Tidak boleh ada campur tangan kaum pemodal atau kapitalis dalam pen-didikan. Kalau ada, ya, hasilnya komersialisasi pendidikan. Ujung-ujungnya duit.

Itu opini atau boleh, lah kita bilang itu kritik, yang hanya bakal mentok di ujung gang buntu. Ma-salahnya, mbok, ya, mau diapa-apakan juga pendidikan selama hanya berkutat soal lulus sekolah

ini atau dapat nilai sebesar ini, ya, percuma. Sebab, pendidikan pada akhirnya hanya soal ukuran. Uku-ran apa ? Ukuran gengsi.

Saya manggut-manggut pada akhirnya ketika Emha “bersabda” saat maiyahan. “Pendidikan itu penghancuran manusia”. Waduh, ekstrim sekali pernyataan itu. Tapi dengan asumsi pendidikan yang dimaksud Emha itu pendidi-kan yang seperti sekarang ini kita rasakan, saya rasa ada benarnya

juga. Toh, sebenarnya, tanpa ada pendidikan pun manusia juga bisa hidup. Bahkan saya pikir jauh leb-ih baik daripada ada pendidikan. Pendidikan model sekolah, ijasah, nilai, atau kelulusan pada akh-irnya hanya bakal bikin manusia pu sing dan menambah beban. Lihat. Pada akhirnya pengetahuan yang didapatkan seorang anak dalam sekolah, bisa saja ia dapatkan dari tong sampah. Atau dari nyanyian seorang pengamen. Sumpah. Pen-

Emha : Kita Tidak Butuh Sekolah, Kita Butuh GuruINI Sebuah kisah yang terjadi mungkin 10 tahun yang lalu.

Tapi dari cerita seperti ini masih sering sulit dimaknai dalam konteks kejadian lain, baik sekarang maupun mendatang.

Ketika rombongan dosen, ulama dan pejabat dari Jakarta suatu hari harus datang ke sebuah dusun terpencil, di situlah kejadian itu mulai. Rombongan ini harus mengunjungi maha-siswa KKN yang ada di lereng sebuah gunung di kota Malang, Jawa Timur. Mendadak rombongan ini harus berhenti di sebuah dusun karena adzan maghrib tiba. Di sebuah mushollah kecil mereka mau menjalankan kewajiban sholat.

Tapi ternyata, mushollah itu sangat jelek, bangunannya reot mau roboh. Tempat wudlunya sederhana, sehingga rombongan ini harus susah payah untuk bisa berwudlu. Dan ketika shalat dimulai, sang imam mulai mengucapkan takbir. terlihat keane-han di mata orang kota. Bapak tua, petani ini, badannya seten-gah bungkuk---karena tiap hari harus mencangkul di sawah---. Lafal dan ucapannya tidak fasih dan cenderung tidak berirama. Gerak badannya juga gak bisa berhenti, sambil garuk garuk badan saat ia shalat.

Pokoknya bagi pemahaman Islam formalis...rasanya sangat terganggu dengan lafal bacaan imam yang gak fasih dan gerak tubuhnya yang tidak pernah berhenti.

Bener juga, ternyata diam diam rombongan para intelektual dan tokoh agama dari kota ini hatinya grundel (ngedumel)..beberapa orang sudah tidak ingat Allah lagi, tetapi ingat imam yang bacaannya amburadul tersebut. Meski harus melanjutkan menjadi makmum. Dan begitu selesai sholat dan imam mengu-cap salam, diluar dugaan, imam ini berdiri dan berbicara kepada para jamaah mulia malam itu.

"Bapak bapak sumonggo (silahkan) kalau gak mantap, shalat lagi. Saya tahu panjenengan hatinya semua grundel (ngudemel) ..." kata sang imam. "ALLAH itu tidak rewel kok, sampeyan rewel..."

Para tamu terhormat di musholla reot dan mau roboh itu terbengong bengong.

"Kok tahu imam ini apa yang ada di hati kami," kata seorang tamu dalam hatinya sambil pandang pandangan dengan rekan-nya.

Imam itupun kemudian khusuk wiridan, dan para tamu itupun sholat berjamaah kembali dengan imam salah seorang diantara rombongan Jakarta tersebut. Dan habis sholat mereka bererbut salaman sama imam mulia, orang dusun, petani yang insya Allah hatinya ikhlas sehingga diberi Allah kemuliaan bisa membaca hatinya orang.

Setelah bersalaman mereka berdialog dengan petani yang imam tersebut. Para doktor dan ulama kota itu untungnya juga orang hebat-hebat. Mereka memahami ilmu dan mau belajar pada orang kecil ini. Mereka menjadikan imam ini sebagai cer-

min, ternyata ilmu itu tidak hanya ada di buku, di kampus, tetapi juga di gunung gunung dan daerah terpencil.

Ternyata Allah menunjukkan kepada para doktor ini, bahwa kedekatan orang dengan Allah dengan cara yang berbeda beda. Kalau imam tadi tidak bisa fasih saat membaca Al Quran karena mereka tidak pernah ada guru yang mengajari. Tetapi niat ibadah, dengan sedikit ilmu tapi seluas samudra keikhlasan dan kepas-rahannya pada Allah, ternyata tetap mendapat kemuliaan dari Allah.

Semoga kita bisa ambil manfaatnya dari cerita ini, bahwa kita tidak boleh melihat orang dari penampilannya, dari kesederhannya, dari keluguannya. Semua punya kemulian sendiri sendiri. (ron)

Belajar dari Petani Alim

Page 10: Majalah mep edisi i 2012

10 31Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

dari nol kolom

getahuan bisa didapat dari mana saja, jika orang itu berpikir.

Lalu buat apa ada sekolah ?

anak-anak sekolahSosialisasi. Sekolah itu sebe

narnya gak penting-penting amat dibandingkan dengan bermain. Bermain saya rasa jauh lebih efek-tif dibandingkan dengan sekolah untuk memanusiakan manusia. Tujuan utamanya pendidikan, yang dalam hal ini diwakili institusi sekolah, kan juga membuat manu-sia menjadi manusia. Lah, kalau melihat itu sekarang, tidaklah pen ting kurikulum pelajaran-pelajaran di sekolah. Yang penting adalah bagaimana seorang anak bisa berinteraksi dengan anak lain. De ngan baik. Dan sekolah adalah per-cetakan paling potensial untuk itu.

Pada kelanjutannya, seko-lah menjadi penempa kesosia-lan seorang anak. Ia bisa menjadi makhluk sosial jika ada sekolah. Itu inti sekolah yang jarang kita sadari. Kita hanya berkutat pada soal-soal seperti pelajaran, uang SPP, rank-ing ataupun PR. Itu penting juga sebenarnya dalam sekolah. Tapi kalau unsur interaksi sesama anak dihilangkan, percuma kita sekolah.

Manusia pada dasarnya makh-luk sosial. Intinya mereka butuh interaksi dengan sesama supaya bisa hidup. Dan pendidikan seha-rusnya bisa menjadi faktor yang membantu manusia menjadi ma-nusia yang seharusnya. Nah, seka-rang masalahnya pendidikan aka-demis yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah sudah tidak bisa lagi kita sebut pendidikan. Wah, saya ngomong begini saking sudah penatnya saya dengan keadaan ini. Bayangkan saja, pendidikan za-man sekarang mahal sekali. Dan itu yang mendorong orang-orang SeBumi* pada malam minggu lalu berteriak, gratiskan pendidikan. Untuk rakyat ! Hidup rakyat !

Di Indonesia, zaman sekarang, semua urusan bisa lancar kalau ada duitnya. Nah, kalau anda tidak punya cukup uang untuk melan-carkan urusan anda yang banyak di Negara ini, saya beri anda dua solusi. Anda harus pasrah. Itu per-tama. Kedua, sebaiknya jadi TKI di Malaysia. Disiksa majikan itu re-siko. Yang penting duit lancar. Dan itulah yang diangkat pada pang-gung rakyat ke-27 yang diadakan oleh SeBumi. Mereka benar-benar marah pada kaum kapitalis yang merusak semua lini kehidupan In-donesia.

Lebih kurang maknanya se perti ini. “Metode itu lebih penting daripada materi. Tapi guru lebih penting daripada me todenya. Lalu apa yang lebih pen ting dari seorang guru ? Jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri.”

Kalau dimasukkan dalam kon-teks pendidikan di Indonesia seka-rang ini, kita lebih memen tingkan materi di atas metode. Dan metode, dalam hal ini kurikulum, lebih penting daripada gurunya. Lah, jiwa guru yang teramat pen ting malah sudah dibuang ke laut. Materi malah yang paling dipen tingkan. Itu gara-gara kita mende-wakan sistem. Kita lupa bahwa sistem bisa berhasil jika ada orang-orang yang sesuai dengan system. Sekarang dengan sistem pendi-dikan kita yang sedemikian rupa, adakah orang-orang yang sesuai dengan sistem tersebut ? Melihat pendidikan zaman kini, kita musti jujur. Baru sedikit orang yang se suai dengan sistem itu.

Selanjutnya muncul pikiran begini. Kalau begitu kita musti ganti sistem dong ?

Huh. Percuma. Kita mau ber-ganti jadi sistem apa pun, dan berapa kali pun ganti sistem, ka-lau tidak ada orang yang tepat, ya tidak bakal jalan. Unsur paling

penting dalam pendidikan, mau dibolak-balik bagaimana pun, ya, tetap guru. Guru itu yang paling penting. Tapi lebih penting lagi itu jiwa seorang guru. Kalau kita me-mentingkan ini, sistem bagaimana pun bakal lancar-lancar saja.

Jiwa guru. Itu yang hilang se-lama ini. Makanya pendidikan semakin mahal. Makanya pendi-dikan seolah jalan di tempat. Jiwa guru itu sejatinya jiwa pengab-dian. Kalau sudah niat mengabdi, ya, yang dipikirkan bukan masalah duit atau materi lagi. Yang dicari itu ketentraman atau ketenangan jiwa. Sama seperti para abdi dalem keraton Yogyakarta yang mengabdi pada Sri Sultan. Gajinya saja tidak seberapa.

Memang sih, rasanya tak adil jika kita menyalahkan para guru. Mereka, biar bagaimana pun, su-dah berjasa mencetak banyak orang-orang besar. Itu yang berha-sil. Saya rasa yang bingung sendiri juga banyak. Yang malah mikir gaji, kesejahteraan, atau gengsi juga banyak. Yang seperti inilah yang kehilangan jiwa guru. Ini yang per-lu dibenahi.

Kuncinya adalah jiwa seorang guru dalam masalah pendidikan. Bukan masalah sistem yang kapi-talis-lah atau metode kurikulum-lah. Percuma kita semalaman berdebat atau berdiskusi ngalor ngidul soal pendidikan yang benar kalau kita cuma berkutat soal hal yang sangat besar. Sistem. Tidak. Tidak ada yang salah dalam sistem. Orang dalam sistem-lah yang mustinya dibenahi. Dan sebelum membenahi orang dalam sistem, sebaiknya kita benahi dulu jiwa kita masing-masing.

*Maiyahan adalah semacam acara diskusi diiringi dengan dzikir bersama. Digawangi oleh Emha Ainun Najib dan rekan-rekan-nya. Acara ini juga diisi dengan penampilan-penampilan dari para seniman.

oase

MANUSIA itu sudah diberi sejumlah panduan lengkap untuk hidup. Apalagi yang mengaku Islam. Al Qur’an dan Al Hadist sudah begitu memberi pedoman utuh. Tetapi untuk mau menjalankannya, adalah tidak gampang. Karena setiap orang disibukkan oleh urusan dunia dengan segala macam problem dan aturannya yang “sering” mengalahkan kema-nusiaan kita.

Termasuk diri saya yang penuh kelemahan ini. Maka, saya dan mungkin banyak orang lain, merasa perlu mem-baca perilaku orang, tauladan dan contoh kongkrit sebagai salah satu pedoman dan contoh kehidupan. Belajar dari kehidupan, rasanya seperti membaca ribuan lembar ilmu dalam berbagai buku.

Padahal sebenarnya belajar pada perilaku manusia, sering membuat kecewa, karena sebesar apapun tokoh yang kita tauladani itu, sehebat apapun karya dan reputa sinya, pasti punya kelemahan pada sisi yang lain. Beda den-gan Guru Maha Guru, Tauladan sejati, Muhammad SAW.

Tapi berteman dan bergaul dengan orang berilmu dan mulia hidupnya, adalah lebih indah dibanding kita berteman dengan senior kita yang sibuk mempertahankan kedudukan dengan segala macam trik poltiknya. Demi nama baik, harta dan kedudukan.

Baru Selangkah Selain ayah dan ibu saya ---yang tauladannya masih

selangkah yang bisa saya ikuti dibanding ribuan langkah al-marhum ayah saya, dan tauladan ibu saya yang masih segar pikiran dan ide idenya di usia 84 tahun sekarang ini---. Saya punya dua orang paman dan bibi. Keduanya adik kandung ayah saya yang ingin saya bagikan kebeningan perilakunya lewat catatan sederhana ini.

Awalnya, kemarin saat saya menemani ibu saya di Yo-gya, salah seorang cucu bibi saya ada disana. Dari ngobrol panjang, saya jadi ingat betapa mulianya Bibi Sa’diyah, ibu 11 anak yang tinggal di Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur itu.

Sekitar 3 tahun yang lalu, bibi saya itu sudah dipang-gil menghadap Sang Pemilik, dengan keindahan yang luar biasa. Keikhlasannya sebagai ibu, telah menghantar 11 anaknya sukses. Bahkan sebagaian besar anak dan cucunya adalah dokter. Disamping yang lain ada menjadi Direktur salah satu perusahaan di BUMN, Dosen dan sejumlah pro-fesi mulia lainnya.

Sedang adik ayah yang satunya, namanya Hasyim Lati-ef, almarhum, adalah salah seorang tokoh pendidikan dan tokoh NU. Puluhan tahun menjadi anggota DPR RI, tetapi kebersahajaannya tak pernah lepas. Meski sibuk menjadi anggota dewan di Jakarta, setiap jumat pasti pulang ke Sepanjang. Beliau mengajar mengaji dan mengawasi yayas-an YPM yang beliau dirikan. Saya sering bertemu beliau saat jumat sore di stasiun Gambir. Maklum, saya di tahun 90an itu juga sering bepergian Jakarta Surabaya saat menjadi wartawan.

Seluruh penghasilannya dari Dewan ia serahkan ke

yayasan. Seluruh akses yang beliau miliki di Jakarta, ia sambung-kan dengan kepentingan yayasan, bukan kepentingan mem-perkaya diri (sebagaimana banyak anggota dewan sekarang). Al-hasil, yayasan YPM yang beliau dirikan sekarang menjadi besar. Tidak saja di Sepanjang, namun sudah banyak di berbagai dae-rah di Jawa Timur. Sebuah tanaman kemuliaan yang kini diterus-kan adik adik sepupu saya yang meneruskan langkah ayahnya.

Yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang adalah kesederhanaan dan kebersahajaanya. Saya sering menyaksikan beliau membeli kertas sendiri untuk keperluan mesin cetak yang dimiliki dan sejumlah kesederhanaan lainnya termasuk rumah nya yang tetap sederhana sampai akhir hayatnya. Belaiau sering mengingatkan saya agar tidak putus silaturahmi dengan adik-adik saya (putra putrid beliau).

Maka, saya sering memarahi diri saya kalau manja dengan naik pesawat Jakarta-Surabaya PP. “Kamu sombong, belum jadi apa apa saja sudah manja, Ingat Ami Hasyim, anggota Dewan Pusat, setiap jumat pulang dengan kereta dan Minggu sore balik Jakarta dengan kereta. Ngajar ngaji dengan istiqomah puluhan tahun. Sedang kamu belum melakukan apa-apa.”

Tauladan yang saya saksikan sendiri itu jauh dari ribuan na sehat dan puluhan buku tentang kesederhanaan dan konsistensi.

Tetapi kemuliaan Bibi saya jauh lebih indah. Kesetiaannya sama suami, ketegasannya dalam mendidikan anak, seperti tidak mampu dituliskan dalam selembar catatan ini. Beliau ditinggal suaminya menikah lagi, sampai dua kali, tetapi tidak satupun kata “marah”, bahkan beliau tetap setia memasangkan sepatu setiap pagi, meredam anak-anaknya agar tetap menghormati ayahnya.

“Kalau sudah menyiapkan makanan khususnya untuk ka-kek, tidak satupun anaknya boleh menyentuhm” kata didik sang cucu.

Banyak orang menangis, gak kuat melihat jembarnya hati bibi saya ini. Banyak orang gemes saat sudah tua, menyiapkan segala keperluan baju, bahkan uang saku saat suaminya mau menjenguk istri keduanya. Anak-anaknya disuruh taat dan meng-hormati ayahnya meski ayahnya “tidak banyak terlibat” dalam proses pendidikan anak-anaknya karena kehebatan istri mulia ini. “Apapun itu ayahmu, tidak ada kamu semua kalau ayahmu tidak ada,”itulah nasehat yang sering disampaikian kepada anak-anaknya.

Yang luar biasa lagi beliau ahli silaturahmi. Dan selalu me ngajak anak-anaknya saat mengunjungi saudara saudaranya. Bahkan saya terharu, saat saya punya hajat sunatan anak saya, beliau hadir dengan anak dan cucunya ke rumah. Padahal saya tergolong kepokan. Semua ia jalani dan mengaj semua anaknya. Minimal dua mobil, kadang sampai 4 mobil saat beliau silatur-ahmi, dan itu dijalani sampai menjelang akhir hayatnya. Tiada capai, dan lelah untuk silaturahmi.

Bahkan, salah seorang anaknya yang kini sudah menjadi dokter spesialis syaraf, sejak menjadi dokter ia diwajibkan ibu-nya untuk membuka praktek di dekat rumahnya. “itu kewajiban-mu untuk berbakti dan beramal untuk warga sini. Disini kamu tidak boleh memikirkan pendapatan,”papar bibi mulia ini. Dan Alhamdulillah, adik saya itu istiqomah hingga kini, semoga bisa terus menjalankan amanah Ibunya.

Akhirnya, catatan ini pada kesimpulan. Betapa kesederhan-an, kebersahajaan, kesabaran, kebiasaan silaturahmi, istiqmah menjalankan amanah hidup, sangat mudah dirancang dan di ke-tahui, tetapi sangat sulit dijalankan. Semoga kita mendapatkan “bocoran” binangnya sinar cahaya **

Penulis adalah Master Training MEP

Tauladannya Sebening CahayaOleh: Yusron Aminulloh

Page 11: Majalah mep edisi i 2012

30 11Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

wajah pendidikanperspektif

RAUDAHOleh: Marwah Daud Ibrahim

Ya Allah, malam ini kuingat hidayah-MUBerapa kesejukan siraman kasih sayang-MU setiap kali aku berada di

Raudah – sepenggal Syurga yang Engkau tempatkan di bumisenantiasa aku lah ya Allah, ketika aku bermunajah pada-Mu beserta

jamaah dari berbagai belahan bumi, yang dengan berbagai cara, beragam bahasa, berzikir melantunkan pujian pada-Mu, dan bersalawat menyatakan cintanya pada Rasul-Mu

Ya Allah, selalu aku larut dengan seluruh umat yang mengagungkan-mu dengan cara mereka masing masing: sebagian dengan wajah tengadah, sebagian dengan sujud panjang, yang lain dengan kecupan tangan yang di-tiupkan, sebagian dengan berbisik, sebagiannya lagi dengan merintih, dan sebagian lagi dengan diam, semua menyatakan cintanya pada-Mu dan pada kekasih-Mu itu.

Ya Allah, tak pernah aku mampu menahan isak dan linangan air mata setiap berada dilingkungan rumah kekasih-Mu itu.

Betapa tidak, berkali kali Engkau kirimkan anugerah khusus padaku di dalamnya sehingga : Di Raudah-lah dapat kurasakan puncak nikmatnya beribadah pada-Mu

Di Raudah lah kurasakan betapa jiwaku bisa demikian tenang dan damai ketika sujud dan masuk dalam dekapan cinta-Mu.

Di Raudah lah hati dan lidahku bergetar ketika melantunkan puja pujiku pada-Mu

Ya Allah, jadikan seluruh jengkal permukaan bumi-Mu menjadi Raudah bagiku

Ya Allah, karuniakan aku nikmat betapa kecil pun bentuk ibadahku pa-da-Mu

Ya Allah, anugerahi aku rasa khusyu’ kapan aku dirikan sholatYa Allah, getarkan hati dan lidahku dimanapun aku memuji-MuLimpahkan kesejahteraan pada Rasul-Muselalu tautkan cintaku padanya agar aku dengan takjub meneladani ke-

hidupannya

Perenungan di penghujung Ramadhan 1423H, Kamis 5 Desember 2002

MATAHARI memancarkan sinarnya di saat yang tepat, rem-bulan hadir menerangi kegelapan dalam putaran bumi yang indah, sedangkan awan, mengiringi kepe-natan dan memberi tanda akan datangnya hujan.

Tumbuh-tumbuhan bersemi, gugur, mengering, mengikuti me-tabolisme alam yang disambut kokok ayam jantan, suara parau anjing hutan, dan bahkan teriakan gajah. Itulah siklus kehidupan alam semesta. Mereka akan berjalan normal dan indah, apalabila terjadi keseimbangan.

Sayang, karena kerakusan manusia, keseimbangan itu menjadi timpang. Hutan dibabati tanpa pan-dang bulu, sawah “ditanami” rumah dan pabrik-pabrik, gedung dibangun dengan “kegagahan” kaca-kaca yang semua itu memberi andil odzon menjadi berlubang dimana-mana. Akibatnya musim kemarau dan pen-ghujan menjadi “tak beraturan”.

ITULAH kenyataan alam se-mesta yang merembet ke dunia pendidikan. Guru terpaksa mengajari muridnya untuk bisa mengerjakan soal UNAS agar nilainya bagus, kalau nilai bagus, sekolah akan baik namanya, Kepala Sekolah senang, yayasan senang, Diknas ikut senang, dan kelak orang tua murid menjadi senang, dan tahun berikutnya murid tetap melimpah. Padahal kelimpa-han murid itu berawal dari “kesala-han”.

Hanya sedikit sekolah dan guru yang berani membiarkan muridnya mengerjakan secara murni, tanpa campur tangan guru ----meskipun kecenderungan ini akan semakin banyak ke depan (semoga)---. Karena kalau guru membiarkan, murid jadi

nilainya jelek, sekolah jadi jelek, ke-pala sekolahnya bisa diganti, yayas-annya (bagi swasta) tidak senang, dan kelak akhirnya wali murid juga tidak senang, sehingga di tahun kemudian murid jadi sedikit. Padahal itulah hasil dari sebuah “kebenaran”.

Kesalahan dan kebenaran ---yang saya tulis dengan tanda petik--- adalah realitas yang sedang terjadi di dunia pendidikan kita. Bahkan tidak hanya berlangsung dalam proses ujian nasional, tetapi juga merem-bet dalam manajemen keseharian di sekolah. Proses tender buku, alat peraga, hingga sejumlah training guru yang masih dominan “seolah-olah” pelatihan, tetapi sebenarnya kualitasnya masih harus dipertan-yakan, terutama soal waktu, metode hingga sejumlah nepotisme lainnya.

Itulah realitas dunia pendidikan kita. Meski sudah digerojok 20 % APBN (lebih 200 triliun), ternyata belum mengubah wajah dunia pen-didikan kita. Bahkan justru yang lahir adalah birokratisasi pendidikan. Ke-pala sekolah menjadi birokrat baru, guru menjadi mesin bagi birokrasi yang dituntut untuk berubah dalam konteks kuantitas, belum kualitas. Kapasitas dan kapabiltas guru yang diubah lewat sertifikasi, belum menunjukkan hasil yang siginifikan.

Malahan Mendiknas Moh Nuh, “kecewa” karena keinginan mening-katkan kapasitas guru ternyata tidak imbang dengan beaya yang dikelu-arkan.

Ibarat alam semesta, dana yang besar untuk dunia pendidikan, bukan untuk “menanam” tumbuhan dan menyegarkan alam dengan nilai-nilai kebaikan, tetapi justru “melobangi” nilai-nilai kejujuran, kesungguhan dan keharusan seorang guru, kepala

sekolah, birokrat pendidikan dan masyarakat luas. Ibarat bola, semua adalah “pemain”. Tidak hanya guru dan kepala sekolah yang bersalah, tetapi juga birokrasi pendidikan, bahkan orang tua murid yang “menomorsatukan” ranking, nilai dalam bentuk angka angka, bukan nilai dalam bentuk kesungguhan dan kejujuran.

Meskipun, kita harus yakin, proses menuju pendidikan Indo-nesia yang dewasa, cerdas dan abadi, memang membutuhkan proses. Dan sekarang ini memang sedang menuju proses kebaikan dan kesungguhan, meskipun kadang harus melalui proses “pembusukan” (yakni sekalian rusak, busuk dan tak berguna) sampai akhirnya tumbuh dunia pendidikan Indonesia yang sesungguhnya. Ibarat tanaman yang tidak berguna, biarlah menjadi busuk, mati, agar tumbuh bibit baru, bersemi dengan keindahan.

Dan hanya pada guru-guru yang berhati nurani, takut pada keti-dakbenaran, orang tua yang ingin punya anak bermasa depan baik tanpa “katrolan”, dan birokrasi yang punya empati pada sistem... beban itu dipikul. Dan yakinlah itu masih banyak disekitar kita, di sekolah dan dibirokrasi. Mereka adalah golongan orang yang takut pada Tuhan.

“Rasa takut yang kuat pada Allah merupakan suatu kekuatan pengen-dali paling baik bagi jiwa manusia. Karena rasa takut itu melemahkan hawa nafsu, dan keakuan, menji-nakkan hati, sehingga berserah diri pada titah ilahi. Takut pada Allah juga melenyapkan rasa takut lainnya. Membuat manusia kuat melawan kezaliman dan penindasan.” Tulis seorang sufi. @@@

Catatan UNASMelobangi Nilai-nilai Kejujuran

Page 12: Majalah mep edisi i 2012

12 29Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

renungan sosok

Suatu hari, On The Sport Trans 7 menampilkan orang-orang hebat. Yaitu, orang yang fisiknya invalid namun kaya prestasi. Itu-lah kenyataan, di balik kekurangan fisik, Allah memberi kelebihan se-hingga kekurangannya tertutupi.

Ini yang dialami Eric Alexan-der. Wanita terlahir dengan mata buta. Semangatnya luar biasa. Cita-citanya mendaki puncak Gu-nung Himalaya, di India. Dengan tongkat di tangannya, akhirnya bisa menakhlukkan Mount Ever-

est. Tidak semua orang mampu mendaki puncak gunung yang berketinggian 8.840 meter itu.

Eric Alexander menunjukkan kepada dunia, bahwa siapa pun bisa berbuat maksimal asal ada kemauan dan kesungguhan. Di balik keterbatasan fisik dia baha-gia karena mampu mewujudkan impiannya. Penulis teringat SMS menyentuh hati dari seorang guru. ”Bukan karena kita bahagia lalu bersyukur, tapi karena kita bersyukur kita bahagia. Bukan

karena hari ini indah lalu kita ba-hagia, tetapi karena hati bahagia hari ini menjadi indah. Bukan karena mudah lalu kita yakin bisa, tetapi Karena kita yakin bisa semuanya menjadi mudah. Bukan karena senang lalu kita tersenyum tetapi karena kita tersenyum kita menjadi senang.”

Beda Eric beda pula Jessica Cox. Wanita ini terbilang tangguh sehingga menjadi pilot. Yang luar biasa adalah wanita ini terlahir ke dunia tanpa dua lengan. Bisa dibayangkan, susahnya seorang pilot yang hanya mengandalkan kedua kaki. Segala peralatan pe-sawat dikendalikan dengan kedua kakinya sebagai “pengganti” tan-gan. Banyak orang terlahir dengan

Orang-orang Hebat di Sekitar Kita

Oleh: Suharyo AP

Tuhan Maha Kreatif. Salah satu hasil karyaNya adalah alam raya yang sempurna. Kalau ada ciptaanNya yang invalid, di balik itu Tuhan melengkapinya dengan kelebihan lain. Fisik cacat dan sempurna semuanya bukti keagungan Tuhan.

Tahun 1982, di SMA Muhammadiyah I Jombang, ada seorang guru bahasa Inggris. Namanya Bu Hardi. Ia seorang keturunan Belanda.Saat awal ia mulai mengajar, selalu me-minta semua murid untuk menulis apa yang dikerjakan se-malam sampai pagi ini. Dan nanti setelah pelajaran sudah selesai, para murid disuruh menulis apa yang akan dikerjakan mulai siang ini sampai besok pagi.

Sebagai siswa SMA, tentu saja banyak murid sewot den-gan "perintah" itu. Sebagai anak muda, kami merasa diper-lakukan seperti anak kecil, siswa TK atau SD. Namun karena tidak berani membantah, semua kami lakukan dengan sung-guh-sungguh ---meskipun dalam hati bilang terpaksa---. Ke-biasaan itu dijalani beliau ke semua siswa selama bertahun-tahun dan kita belum mengetahui apa maknanya.

Baru 20 tahun kemudian, menemukan jawaban apa maksud dari Bu Hardi. Ternyata, prinsip dasar beliau meny-uruh menulis apa yang akan dilakukan dan menulis kembali apa yang sudah dilakukan, ternyata dipakai prinsip ISO. Dan perusahaan kayak Telkom di awal tahun 90 an itu mewajibkan

semua unitnya melakukan ISO. Sekarang bahkan semua perusahaan, kantor pemer-intah hingga sekolah harus menggunakan standart ISO.

Guru yang hebat, memang seseorang yang "tahu apa yang belum terjadi".

Guru yang bersahaja, memang inspi-ratif dan bahkan menjadi kekuatan masa depan.

Hanya guru yang baik, berbudi luhur yang akan diingat ingat muridnya sepan-jang masa.

Hanya guru yang berkata-kata lembut, berkata kata indah yang sedang menanam keindahan di hati anak didik.

Sebaliknya, guru yang suka membentak

murid,guru bersikap kasar, berkata-kata buruk,guru yang suka bermuka masam,dia sedang menanam keburukan bagi

masa depan anak cucunya sendiri,sedangkan pada anak didiknya, dia sedang

menebar energi rendah,dan tak akan memberi kesan baik, kecuali

kejengkelandan diingat murid-muridnya untuk tidak

ditiru. Hal yang sama juga terjadi pada diri kita

sebagai orang tua, sudahlah kita menjadi inspi-rasi

dan panutan anak kita, atau sebaliknya Bu Hardi, tidak akan pernah saya lupakan,

juga banyak kawan saya yang menjadi murid-nya.

Dialah sosok inspiratif... semoga akan lahir guru-guru hebat lainnya. @

Bu Hardi, Guru Sang inspiratif

Page 13: Majalah mep edisi i 2012

28 13Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

profil renungan

fisik lengkap-–tangan dan kaki—jadi sopir saja tidak bisa.

Selayaknya kita merasa malu kepada Jessica. Malu karena utuh-nya fisik tidak bisa dimaksimalkan. Malu karena kita kalah dengan dia. Malu karena orang-orang yang kaki dan tangannya sempur-na menjadi penumpang pesawat yang pilotnya tidak punya tangan. Pertanyaannya adalah, apa yang salah dari diri ini?

Mirip dengan Jessica ada seorang pria yang mengagumkan dunia, khususnya di kalangan atlit. Yaitu Oscar Pistorius pelari dengan kaki sambungan. Dia tidak punya dua kaki tapi punya sema ngat berlatih. Kaki sambungan tak menyurutkan niatnya menjadi juara sehingga akhirnya menjadi pelari tercepat dunia.

Air mata tak terbendung ketika menyaksikan video yang ditayangkan dalam acara pela-tihan Menebar Energi Positif (MEP). Gambar pemuda berumur 27 tahun bernama Nick Vujicic. Ia dilahirkan tanpa lengan dan tungkai. Buku yang diterbitkan olehnya berjudul, “Life Without Limits” Tanpa tangan dan Tungkai Aku Bisa menakhlukkan dunia.

Menakhlukkan dunia? Ia kelil-ing dunia untuk memberi mo-tivasi agar hidup tegar, optimis, dan menjadi “juara” tanpa peduli badan invalid. Kalau Nick yang ca-cat fisik bisa menakhlukkan jutaan orang, apalagi kita yang tubuhnya normal. Alangkah tidak pantasnya kalau kita malas. Dia berpesan, “Kalau engkau tidak mendapat mukjizat jadilah engkau mukjizat.

***Dalam

pelatihan Menebar Energi Positip (MEP) di sejumlah kota, para peserta meneteskan air mata haru ketika menyak-sikan tayangan video yang ditunjuk-kan Master Trainnernya, Drs Yusron Aminullah MM yang meng-gambarkan seorang ibu punya jiwa “hebat”, Bu Tukirah namanya.

Selama 30 tahun dia memelihara tiga anaknya yang semuanya cacat fisik, tidak bisa jalan. Kalau anaknya ingin keluar rumah digen-dongnya, ketika makan disuapi, kalau BAB dia yang membersih-kan, dll. Sebagai single parent dia yang mencari rezeki tiap hari.

Ibu ini tidak pernah menge-luh. Dia tetap istiqomah merawat anaknya dan sebagai umat be-ragama istiqomah melaksanakan ibadah. Usai shalat di antara doanya berbunyi, “ Ya Allah kalau Engkau lain kali akan mencabut nyawa, jangan saya yang didahu-lukan. Kalau nyawa saya mati dulu siapa yang akan memelihara anak saya.” Ibu Tukirah selalu ceria meski diselimuti rasa galau karena selalu kekurangan. Hatinya luas seluas samudra …

Di balik ganasnya Alas Purwo, Banyuwangi ada seorang pria yang pekerjaannya menjaga anak penyu (tukik) dari predator dan gang-guan orang tak bertanggung jawab. Dia menjaga telur penyu, kalau menetas digiringnya tukik-tukik itu ke laut agar bisa hidup dan lestari. Presiden Soeharto memberinya penghargaan sebagai “pengabdi lingkungan”. Hidupnya yang pas-pasan hatinya mulia. Dia sadar yang dilakukan tidak banyak orang tahu tetapi kesadarannya untuk menjaga lingkungan mendorong-nya penuh ketulusan mendatangi lokasi tiap musim penyu bertelur.

Masih banyak orang-orang he-bat di sekitar kita. Pengorbananya besar meski hidup dalam keadaan sederhana. Tak ada keluh kesah. Mungkin bersedih tapi masih bisa bersenandung dengan lagu yang menghibur hati. Orang yang demikian ini layak dicontoh. (*)

itu hanya berfungsi bagi pen-getahuan semata. Bahkan kami melakukan upaya gerakan mem-baca dan menulis, bukan saja me-numbuhkan minat baca, namun juga mengembangkan dimensi lain bagi seseorang yang terlibat didalamnya. Bahkan kami men-gajak anak-anak dan para orang tua juga membaca alam semesta, memembaca tanda tanda alam, membaca kecenderungan, gejala sosial dan seterusnya.

Terbukti anak yang sejak dini dilatih membaca dan menulis, mereka akan terbiasa peka ter-hadap lingkungannya, punya per-asaan halus, punya empati, dan seterusnya,. Untuk itu, tidak bisa gerakan membaca buku hanya berdiri sendiri, dan tidak boleh hanya anak-anak sasarannya, karena orang tua dan guru juga menjadi kunci bagi keberhasilan.

Untuk itulah PAPUMA melaku-kan sejumlah kegiatan yang meng-gandeng banyak pihak :

Langkah yang dilakukan ke-mudian :

Pertama : Bekerjasama den-gan sebuah lembaga Training dari Jakarta, yakni MEP Training Cen-ter, dan Diknas serta PGRI Kabu-paten Jember, mencoba melaku-kan pelatihan untuk seluruh guru di Jember. Selama 6 bulan ini, sudah 3500 guru mengikuti pela-tihan tersebut.

Materi pelatihan adalah MINDSET PEMBELAJARAN. Di-mana guru diminta bersama-sama dalam sebuah pelatihan 16 jam (selama dua hari) dalam 18 gelombang untuk mengubah mindset dirinya. Dari tidak beren-cana menjadi berencana. Dari malas menjadi semangat, dari ke-

biasaan menggunakan kata-kata kasar, jadi lembut, dan sejumlah materi lainnya.

Materi pelatihan antara lain : Apa itu energi positif ? Mema-hami Siapakah Dirinya ? Makna Sebuah kata, Virtual Imajinatif, Guru Berkarakter, Guru Kreatif dan Inovatif, Penyamaan Frekw-ensi dan diajak untuk Memaknai Perubahan, baik perilaku murid, guru, perubahan teknologi dan sebagainya.

Alhamdulillah, dari hasil tes-timoni menunjukkan, guru me-mahami kelemahan dirinya se-lama ini, ada niat memperbaiki diri, dan akan kreatif dan inovatif untuk menemukan metode pem-belajaran. Langkah pelatihan akan diteruskan oleh PAPUMA bekerjasama dengan Univeritas Negeri Jember dan Universitas Muhammadiyah Jember selama 2012-2013.

Kedua : Setelah proses pe-rubahan Mindset Guru dilaku-kan, langkah berikutnya adalah perubahan mindset para orang tua. Karena itu PAPUMA bersana MEP Training Center kemudian melakukan Pelatihan Parenting bagi para orang tua di kota Jem-ber.

Materi Pelatihan menyang-kut posisi orang tua yang punya peran penting dalam proses pen-didikan, Tanpa ada penyamaan visi dan frekwensi antara guru di sekolah dan orang tua di rumah, maka pendidikan akan pincang, Ada ketidakseimbangan.

Kalau guru dilatih menggu-nakan kata dan kalimat yang baik saat mengajar, maka orang tua, juga melakukan hal yang sama. Bahkan orang tua diberi pem-

bekalan tentang bagaimana elu-san lembut orang tua itu, nilainya jauh dari ribuan kata kata per-intah dan makian yang selama ini disampaikan kepada anak anaknya, Makanya, ada materi dasar yakni : Bagaimana membe-dakan

berbicara kepada Anak san-gat jauh berbeda berbicara den-gan Anak. Kayaknya sama, tapi berbeda jauh.

Alhamdulillah pelatihan yang mengggunakan metode sharing tersebut mendapat sambutan hangat dari para orang tua. Mer-eka sangat antusias dan mera-sakan manfaatnya bagi kehidu-pan sehari hari.

Ketiga, bersama Diknas dan Universitas Muhammadiyah Jember, sedang bersama sama mendukung program satu ma-hasiswa satu desa. Langkah yang digagas Fisipol Unmuh tersebut sebuah langkah terobosan, se-hingga Papuma kemudian ber-sama sama mencoba memberi nilai tambah.

Kegiatan satu mahasiswa satu desa ini adalah sebuah embrio yang unggul untuk menciptakan sebuah aktivitas sosial terutama pendampingan Aksara Berdaya. Salah satu yang sedang digagas dan dijalankan adalah AKSARA KEWIRAUSAHAAN untuk me-numbuhkan kekuatan ekonomi masyarakat.

Upaya PAPUMA menyentuh guru dan para orang tua dan ma-hasiswa ini adalah modal dasar bagi lahirnya komunitas DIKMAS (pendidikan masyarakat) yang menyatukan semua potensi ma-syarakat utnuk menjawab berb-agai persoalan masyarakat.

Page 14: Majalah mep edisi i 2012

14 27Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

kecerdasan hati & pikiran profil

Ini salah satu kisah seorang saha-bat, sebut saja namanya Ramdan. Dia sudah jalan kaki Madura- Surabaya-Jakarta-Lampung selama 3 kali dan dilakukan selama tiga tahun. Memakai baju kebesaran para wali, ia susuri pantura dari kampung ke kampung. Kalau capai ia istirahat sambil berdzikir di makam-makam para wali, di masjid atau surau desa. Kalau lapar ia bersi-hkan surau-surau kecil di kampung, untuk mendapatkan sepiring nasi dan segelas teh manis. Ia jalani itu semua dengan penuh keikhlasan. Pantan-gan meminta sesuatu tanpa bekerja. Meskipun hanya sesuap nasi dan segelas minuman.

Ternyata, selama 3 tahun ia mengembara, ia menemukan banyak ilmu. Baik yang bisa diterima dengan akal maupun “ilmu dalam” yang hanya orang yang punya maqom tertentu memahaminya. Ilmu kadang ia petik dari perkataan lugu seorang petani, perkataan asal-asalan seorang gila yang ditemuinya, atau juga seorang ustadz di surau-surau kecil di pelosok negeri. Yang lebih banyak, ia ambil ilmu dari peristiwa-peristiwa nyata dan Ghaib yang dijalaninya.

Zaman digital ternyata tidak meng-goyahkan tipikal anak muda yang mencari ilmu dengan cara ini. Sungguh luar biasa.

Daun Jatuh, Adalah Ilmu

Kehidupan

ADA banyak cara orang mencari ilmu. Ada ribuan guru punya cara dan metode yang berbeda-beda. Tapi ada juga ribuan orang tidak mencari guru dengan secara fisik meminta arahan dan nas-ehat dari seseorang, tetapi cukup mem-baca dan mempelajari dari kitab-kitab kuno yang dibacanya, tetapi kemudian ia jalani “laku ilmunya”.

PAPUMA ADALAH sebuah lembaga yang hadir dan didirikan oleh sejumlah anak muda, yang gelisah dan peduli terhadap per-soalan pendidikan masyarakat.

Ada anggapan salah tentang makna pendidikan. Seperti sudah menjadi dikotomi. bahwa pendi-dikan formal menjadi tanggung-jawab sekolah, sementara pendi-dikan informal yang menyangkut karakter dan kepribadian menjadi tanggungjawab orang tua. Se-mentara posisi masyarakat men-jadi termarjinalkan, dan seolah tidak berperan atau minimal ti-dak mendapat prioritas. Padahal justru masyarakat dan lingkungan adalah guru ketiga setelah ibu (keluarga), guru (di sekolah) dan yang ketiga masyarakat (baca : lingkungan)

FAKTA yang terjadi diling-kungan kantor PAPUMA adalah sebuah potret nyata. Meski ada di daerah Jember, jauh dari Ja-karta dan Surabaya, dilingkungan perumnas---bukan perumahan elite----, ternyata masyarakatnya

susah untuk “menyatu” dalam proses pendidikan masyarakat.

Masyarakatnya “membuka pagar” saat berangkat kerja, dan “menutup pagar” kembali setelah pulang kerja. Hampir ti-dak banyak interaksi. Kalaupun ada hanyalah ritual agama se perti yasinan, atau arisan ibu-ibu.

Tapi adakah kemauan, ke-inginan untuk saling belajar dan melahirkan komunitas belajar bagi anak-anak dilingkungan tersebut ? Ternyata tidak ada.

Bahwa di komplek peruma-han itu ada profesor ahli pendi-dikan, ada dokter ahli kesehatan, bahkan penggerak dan aktivis politik, ternyata mereka “hilang ditelan” rumahnya.

Maksudnya, begitu masuk rumah, keahlian itu tidak lagi berfungsi bagi masyarakat. Ilmu mereka yang banyak “hanya” berguna bagi kampus atau ko-munitasnya di kantor, sementara di kampung dan lingkungannya, ilmu tidak lagi dimanfaatkan un-tuk saling berbagi bagi masyara-kat sekitarnya.

Fakta lain, banyak rumah-rumah yang perpustakaannya ba-gus, bahan bacaannya cukup, tapi lagi-lagi itu hanya berguna bagi

dirinya sendiri dan anak-anaknya yang ada di dalam rumah.

Sementara tetangga sebelah mungkin tidak pernah menyen-tuhnya, atau harus jauh-jauh cari buku di taman bacaan atau per-pustakaan ----itu bagi yang mau---- sementara yang tidak mau me-milih diam dan tidak mendapat pengetahuan dari buku.

Atas dasar kenyataan se perti itulah, melahirkan komunitas pembelajar, atau melahirkan ko-munitas yang pada titik utaman-ya bertumpu pada Pendidikan Masyarakat, tidaklah mudah. La-hirnya taman bacaan, komunitas baca, komunitas bermain anak yang kreatif, lagi-lagi harus diawa-li dengan sebuah kesadaran ber-sama dalam sebuah lingkungan.

Maka, sejak PAPUMA secara formal yuridis belum terben-tuk 2010 yang lalu, para pendiri mencoba melakukan sejumlah pendekatan dan upaya kongkrit untuk menemukan titik temu agar semua unsur lingkungan men-jadi komunitas pembelajar. Dan langkah itu terus dilakukan baik di lingkungan sendiri maupun di kota Jember pada umumnya.

PAPUMA ingin mengubah paradigma bahwa membaca

PAPUMA (PUtrA PUtri MeMbAcA)

Membaca bukan hanya buku, tapi juga membaca gejala sosial, dan alam semesta

Papuma, Lembaga yang Menjadi Sahabat Keluarga Pembelajar

Page 15: Majalah mep edisi i 2012

26 15Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

dialog batin kecerdasan hati & pikiran

“Saya sering bergetar saat menyaksikan daun-daun kering berjatuhan. Betapa ada Allah yang menggerakkan dan menjatuhkan daun itu dengan kesempurnaan. Saya bahagia saat di suatu bukit menyaksikan mekarnya bunga matahari. Betapa Allah maha indah yang memberi keindahan pada mata dan hati manusia, meskipun sering diabaikan.”

Ramdan, anak muda ini, matang melebihi usianya. Karena ia menemukan ilmu bukan lewat buku, bukan lewat ceramah para kiai dan ustadz, tetapi ia men-emukan ilmu di ladang terbuka, di area tandus dan gersang pada waktu tertentu dan ia menemu-kan kesuburan dan mekarnya sayuran, tumbuhan-tumbuhan dan bunga.

“Saya pernah menangis, saat melihat hamparan sawah yang kering. Padi yang ditanam mati karena kekeringan tanpa air, para petani di sebuah dusun harus makan apa saja untuk memper-tahankan hidup. Pada saat yang lain saya menyaksikan orang berbondong-bondong mengungsi karena banjir sedang melanda. Air melimpah yang membuat mereka tak mampu membendungnya.”

Dari peristiwa ini, Sang pen-cari ilmu ini menyimpulkan tiga hal :

Pertama, betapa ada kedala-man ilmu yang mencerdaskan hati, pikiran dan batinnya, ketika air yang seharusnya menjadi rahmad bisa menjadi laknat. Air yang ditunggu-tunggu justru akh-irnya ia benci, karena datangnya berlebihan tanpa bisa meman-age. Dan banjir tidak akan terjadi, kalau akal manusia dipakai, batin

dan hatinya hidup. Membangun dengan kecerdasan, tidak mene-bangi pohon sembarangan, mem-buang sampah sembarangan, lahan-lahan dipakai membangun gedung sembarangan, kebiasaan buruk inilah yang membuat rah-mat menjadi bencana.

Kedua, kenapa orang baru ingat Tuhan ketika musibah datang, ketika kesusahan men-impa, ketika buntunya masalah ? Padahal kalau mau, manusia akan mendapatkan ilmu dari daun kering yang mau jatuh saja, menunggu kehendakNya. Apalagi peristiwa antar anak manusia. Banyak orang dipertemukan oleh Allah dalam banyak peristiwa hanya menyebut kebetulan. Pa-dahal kebetulan itu adalah sudah menjadi skenario Allah. Karena dianggap kebetulan, orang tidak mau memanfaatkan, memaknai setiap pertemuan. Orang duduk di kendaraan umum selama 3 jam tanpa bicara, duduk 1 jam di pesawat tanpa mau mengenal, tanpa memaknainya. Orang ber-

sahabat di kantor hanya dipakai persahabatan sekilas.

Ketiga, alam semesta adalah ilmu nyata. Ayat-ayat Tuhan yang menyadarkan orang akan kebe-saranNya. Semua ilmu dalam Al-Quran dan Al Hadist, sangat mudah dibaca dan dimaknai kalau mendapat dukungan nyata atas ilmu di alam semesta, dan di kehidupan manusia. Ilmu sesung-guhnya yang seharusnya mudah diperoleh manusia kalau mau mencarinya. Memang harus mencari ilmu kepada orang yang berilmu, tetapi kadang kita sering melihat betapa tidak semua orang berilmu yang bisa mempraktekkan apa yang ia ajarkan pada diri kita.

Semoga kita bisa ambil hikmahnya ? Semoga anak-anak muda, mau melakoni kehidupan seperti Ramdan, mencari ilmu di alam semesta dan kehidupan, meskipun tidak harus mengem-bara dengan cara yang sama. Mengembara dalam pekerjaan, dalam kuliah dalam aktivitas kes-eharian. @

untuk orang tua.""Maksud ayah?""Ya puisi itu ditulis oleh seorang Gibran dalam

posisi orang dewasa, yang mengajak orang tua lain-nya di dunia untuk memahami hati dan pikiran anak. Orang tua diajak untuk tidak mengekang anak dalam posisi apa maunya orang tua."

"Lho ayah mengerti begitu,""Ayah mengerti dan memahami. Itulah yang

membuat ayah tidak pernah melarang kamu pingin jadi apa. Sejak kecil ayah hanya membekali kamu dengan ilmu. Tapi kalau kamu melenceng jauh dari garis keluarga kita, itu yang ayah tentang. Masak cucu seorang pahlawan sekarang malah menjadi pengangguran, pecundang. Malu dong. Harusnya kamui juga jadi pahlawan dalam konteks modern. Kamu tetap seorang pejuang di zamannya. "

"Itu namanya ayah tetap memilikiku, menguasai diriku."

"Oh tidak nak, ayah tidak melarang kamu jadi pilot, dokter, arsitek, politisi, ilmuwan,pengusaha, agamawan. Apapun itu pillihanmu. Tapi kamu anak ayah, cucu kakek. Jangan memalukan ayah dan ka-kek. Kalau jadi dokter jadilah dokter pejuang, suka menolong orang, kalau jadi pengusaha jadilah pen-gusaha yang tidak memeras keringat buruh, kalau jadi politisi, harus punya sikap pada kebenaran, jan-gan ujung ujungnya uang. Itu maksud ayah."

"Jadi saya tetap bebas menentukan masa depan saya sendiri?"

"Bebas silahkan. Asal tetap dalam frame bahwa kamu keluarga pejuang. Bukan perongrong negara. Jadi apa saja silahkan. Asal tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang kakek dan ayah tanamkan. Masak anaknya ayah, cucunya kakek jadi pecundang, jadi koruptor , orang yang tegaan sama orang kecil. Tidak ada itu rumusnya. Jadi apapun kamu bebas, tetapi tetap beriman, bersahaja, jangan sombong, ringan tangan membantu orang."

"Ya ayah aku ngerti. Doakan aku ayah, tidak me-malukan keluarga besar kita..."

SEBUAH dialog pendek yang memberi pelajaran

kepada kita, betap kebebasan tanpa batas, adalah keliaran. Membebaskan anak memilih masa depan bukan berarti kebebasan tanpa frame, tanpa arah.

Karena itu memahami sebuah ajaran seperti yang ditulis Kahlil Gibran, tidak boleh dengan tafsir tunggal. Harus dari berbagai sudut pandang.

Kata sahabat saya penyair D.Zawawi Imron, ka-

lau tidak salah Gibran adalah seorang bapak yang tidak dikarunia anak. Sehingga puisi di bawah ini memang dipesankan untuk para orang tua...bukan untuk anak

Anak anakmu bukanlah anak-anakmuMereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu

akan dirinya sendiriMereka terlahir melalui engkau tapi bukan

darimuMeskipun mereka ada bersamamu tapi mereka

bukan milikmu Pada mereka engkau dapat memberikan cin-

tamu, tapi bukan pikiranmuKarena mereka memiliki pikiran mereka sendiri Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bu-

kan jiwa mereka,Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok,

yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi

Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi ja

ngan coba menjadikan mereka sepertimuKarena hidup tidak berjalan mundur dan tidak

pula berada di masa laluEngkau adalah busur-busur tempat anak-anak-

mu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncur-kan Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya se-hingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh

Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu se-

bagai kegembiraan

Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan. (Abi Mirza )

Page 16: Majalah mep edisi i 2012

16 25Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

catatan marwah dialog batin

Anak anakmu bukanlah anak-anakmuMereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan

dirinya sendiriMereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimuMeskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan

milikmu Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi

bukan pikiranmuKarena mereka memiliki pikiran mereka sendiri "Apa yang kau banggakan dengan puisi itu?", kata sang

ayah."Itu lambang kebebasan, kemandirian dan masa

depan,"jawab sang anak."Lantas kamu pingin jadi dirimu sendiri, tidak mau

memahami sejarah panjang keluarga kita. Kakekmu yang pejuang, Buyutnya yang ikut merintis kejayaan Nusantara ?"

"Ya sejarah biarlah menjadi sejarah ayah. Saya punya masa depan dan sejarah sendiri."

"Itu pandangan yang keliru. Kamu tetap anaknya ayah, kamu masih tidak bisa

membuang begitu saja, bahwa kamu adalah cucu seorang pejuang. Kamu

tidak boleh egois merasa dirimu hebat dan tidak mau mengingat jalan panjang yang telah dirintis darah dagingmu sendiri."

"Saya anak kehidupan ayah. Saya rindu pada diri saya sen diri. Saya bukan milik ayah, saya milik masa depan."

"Wah kamu berlebihan me-mahami puisi Gibran. Puisi itu

bukan untuk soran g anak, tetapi

Perdebatan Tokoh dan Anaknnya Soal Kahlil GibranSEORANG tokoh nasional, menentang keras sikap dan pilihan hidup sang anak yang mempercayai penuh apa yang ditulis Kahlil Gibran.

Page 17: Majalah mep edisi i 2012

24 17Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

sajak & puisi

Ada yang atasnama Tuhan melecehkan TuhanAda yang atasnama negara merampok negaraAda yang atasnama rakyat menindas rakyatAda yang atasnama kemanusiaan memangsa manusia

Ada yang atasnama keadilan meruntuhkan keadilanAda yang atasnama persatuan merusak persatuanAda yang atasnama perdamaian mengusik kedamaianAda yang atasnama kemerdekaan memasung kemerdekaan

Maka atasnama apa saja atau siapa sajaKirimlah laknat kalianAtau atasnamaKu perangilah mereka!Dengan kasih sayang!

Sajak Atas NamaMustofa Bisri (Gus Mus)

sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?

antara cirebon dan purwakarta atau hanya dalam mimpi?

di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-

daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam

doaku

sungai kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di manakah

negeri asalmu?

di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani

mudah melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar

para perampok yang mandi merasakan juga sejuk airmu

sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku

dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang

jelita kutembangkan buat kekasihku.

Sungai KecilD. Zawawi Imron

Sebagai sistem penyimpanan informasi, saraf otak manusia mempunyai kemampuan besar jika dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang diciptakan manusia :

(http;www.moah.org/exhibist/archives/brains/technology.html)

Otak manusia : 1.000.000.000.000.000Arsip Negara Amerika : 12.500.000.000.000IBM 3850 MTC : 250.000.000.000Hard disk : 120.000.000.000Ensiklopedia Britanica 9 vol : 12.500.000.000DVD : 4.700.000.000CD-ROM : 500.000.000Disk Magnetik : 313.000.000Disket Lentur : 1.400.000Buku : 1.300.000

OTAK MANUSIA

Page 18: Majalah mep edisi i 2012

18 23Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

opini religi

Peran guru di dalam kehidu-pan tak tergantikan. Guru memiliki posisi yang strat-egis dalam pembangunan

bangsa. Ketika Hiroshima dan Naga-saki diluluhlantakkan dengan bom atom, kehidupan di Jepang seperti tidak punya harapan. Ada satu hal yang menjadi kunci kebangkitannya, yaitu satu kalimat pertanyaan dari sang Kaisar,”Berapa jumlah guru yang masih terselamatkan? Kita mu-lai bangkit dengan kemajuan pendi-dikan.”

Guru sebagai pemangku kepent-ingan utama pendidikan, kegiatan-nya melakukan pembelajaran, yaitu mentransformasikan ilmu pengeta-huan dan teknologi, menanamkan nilai-nilai positif, dan membiasakan perilaku-perilaku yang baik. Hara-pannya adalah agar kehidupan di muka bumi, khususnya di Indonesia tercinta ini, menjadi lebih maju dan bermutu daripada sebelumnya.

Pembelajaran membutuhkan inovasi. Sementara itu inovasi pem-belajaran membutuhkan kreativitas guru. Padahal kreativitas guru han-ya membutuhkan kecedasan, se-buah potensi yang sudah ada pada setiap diri manusia, apalagi guru. Persoalannya hanya tidak banyak guru yang menyadari potensi kecer-dasannya. Tidak banyak guru yang mau dan merasa mampu berkreasi untuk kebutuhan inovasi pembela-jaran.

Zaman selalu berubah, seakan selalu dengan kecepatan ribuan kali dibanding kesanggupan guru yang paling inovatif sekalipun. Abad Ko-munikasi ini tampaknya membuk-tikan kepada kita, bahwa Teknologi Informasi dan Komunikasi bergerak dengan deret ukur sementara kapa-sitas seorang guru bergerak dengan deret hitung. Perubahan di bidang

Teknologi Informasi dan Komuni-kasi terjadi setiap detik, dengan temuan-temuan baru yang mena-kjubkan, sementara kemampuan manusia, termasuk guru, berkem-bang tahap-demi tahap. Kemajuan teknologi disebabkan terjadinya akumulasi dan sinergitas manusia-manusia kreatif-inovatif di muka bumi, sementara peningkatan kapa-sitas guru berlangsung secara indi-vidual dan tidak merata.

Benarkah otak manusia yang diciptakan Tuhan Yang Mahaesa ini kalah dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang notabene adalah buatan manusia? Tentu saja tidak! Kemampuan otak manusia jauh lebih canggih dan sempurna. Jalaluddin Rahmat dalam Belajar Cerdas memaparkan data Otak Manusia sebagai berikut: kira-kira beratnya 1,5 kg (kurang dari 2,5% berat tubuh), terdiri atas 78% air, 10% lemak, 8% protein; menggu-nakan 20% energi tubuh, terdiri atas 100 milyar neuron, 1 triliun sel glial, 1.000 triliun titik sambungan sinaptik, 280 kuintiliun memori. Po-tensinya melebihi jutaan komputer Cor-i5. Tuhan Mahabesar!

Konon Albert Einstein, manu-sia cerdas yang kita kenal, hanya mampu menggunakan 5% potensi otaknya, sedangkan kebanyakan

kita maksimum menggunakan 3% potensi otaknya. Itu berarti kita masih memiliki peluang 97% un-tuk mengembangkan potensi otak kita. Caranya dengan memaksimal-kan pembentukan sinaps otak kita. Menurut hasil penelitian, tahap pembentukan sinaps otak: sejak la-hir s.d. usia 3 tahun sangat banyak dan cepat, usia 3 s.d. 8 tahun kepa-datan sinaps 2 kali lipat milik orang dewasa, dan usia 8 s.d. 18 tahun mulai terjadi pemangkasan atau penurunan kepadatan sinaps atau disebut pruning (Sumber: Jernigan – 1991, Pfeferbaun – 1994, Chugani – 1998, Kalb et al–1999, Hutlenlocher – 1999, dalam Sujatmiko, 2009).

Meskipun kepadatan sinaps otak kita tinggal separo dibanding anak usia 3–8 tahun dan terus-menerus mengalami pruning atau pemang-kasan; namun dari 97% potensi otak yang belum dikembangkan di atas, masih cukup menjanjikan kalau kita mau beruasaha dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh. Kuncinya asal otak kita selalu aktif kita pak-ai. Membaca, menulis, berbicara, berdiskusi, mendengarkan musik lembut, berolah raga, maupun ak-tivasi otak lainnya; akan merang-sang neuron-neuron untuk saling berkoneksi berupa loncatan-loncat-an listrik melalui dendrit. Semakin sering dan banyak berkoneksi, ke-cerdasan manusia akan meningkat tajam. Orang jawa mengatakan, jika otak sering dipakai akan encer (cair) dan jika jarang dipakai akan kempel (beku).

Jadi, tidak ada kata terlambat un-tuk belajar, tidak ada istilah sia-sia un-tuk sebuah usaha, dan tidak boleh ada kata tidak bisa untuk sebuah transfor-masi ilmu pengetahuan dan teknologi serumit apapun. Semua orang pasti bisa, semua guru pasti mampu, dan

Peran Guru Paling UtamaUbah Peran dari Provider Menjadi Fasilitator

Oleh: Nasrul Ilahi

ibadah haji. Idealnya, tidak hanya di Masjidil Haram orang

shalat disertai dengan hudurul qolb (hadirnya hati), tafahum (paham arti bacaan), ta’dzim (mengagungkan Allah), khouf (cemas), raja’ (berharap) dll. Shalat di mana saja, hendaknya seperti itu. Tetapi kenyataanya, orang yang shalat di dekat Ka’bah memiliki kedalaman penghayatan yang luar biasa sehingga merasa bahwa shalat dapat menjadi “jembatan” yang menyambung antara hati seorang hamba dengan Allah.

Sementara shalat di tempat lain, sering kali terasa hambar, bahkan sulit mencapai khusyuk. Terbukti, banyak orang shalat lupa jumlah rakaat, lupa bacaan, dan pikirannya berada di luar shalat. Yang demikian ini, kata Nabi Yahya, ibarat orang yang hendak bertamu menghadap pada raja, setelah raja menemuinya, Sang tamu tadi tolah-toleh, tidak menghadap kepada rajanya. Jangan salahkan kalau raja masuk kembali ke ruangan-nya. Begitu orang shalat, kalau hatinya tidak menghadap kepada Allah, jangan salahkan Allah kalau doa kita tidak dikabulkan.

Saat shalat seseorang berupaya sungguh-sungguh agar bisa khusyuk dan tawadhuk. Setiap bacaan shalat yang 80% berisi doa itu, disampai-kannya dengan jiwa madhep dan mantep hanya tertuju kepada Allah SWT. Maka, Abu Bakar Sid diq ra, setiap kali shalat gamisnya basah, karena menangis. Umar Ibnul Khoththob ra yang gagah berani dan ditakuti lawan, begitu mengucap takbiratul ikhrom, badannya gemetar dan pucat pasi. Mengapa kedua sahabat nabi ini begitu “luar biasa” penjiwaan shalatnya? Karena sadar sedang bertemu Allah.

Kebiasaan seperti ini juga dimiliki jutaan jamaah haji. Hampir semua jamaah haji pernah merasakan bagaimana “lezatnya” shalat yang disertai derai air mata. Mereka menikmati shalat-nya sepenuh jiwa. Betapa tidak, para jamaah haji tengah melaksanakan shalat di masjid yang dijanjikan mendapatkan kebaikan 100 ribu kali dibanding masjid lain. Mereka tengah berada di tempat yang mustajabah atas segala doanya.

Tidak hanya itu, mereka tahu bahwa tem-pat yang sedang didatangi merupakan tempat

bersejarah bagi perjuangan para rasul. Sebut saja bagi Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Nabi Muhammad SAW. Melihat Ka’bah bukan sekedar terkesan pada bangu-nan berbentuk kubus yang berwarna hitam. Tetapi lebih jauh dari itu, Ka’bah merupakan tempat yang keberadaan-Nya ada “campur tangan” Allah. Wajar jika Ka’bah memantulkan energi ruhani yang sangat kuat sehingga orang yang berada di dalamnya merasa aman dan damai.

Shalat terasa enteng. Di luar shalat wajib, ada kemauan kuat untuk melaksanakan shalat sunnah. Syetan seolah dibelenggu sehingga orang beribadah tidak ada perasaan berat, bahkan merasa puas hati. Semakin banyak mengerjakan shalat sunnah, semakin puas jiwanya.

Dan, setiap orang akan hilang perasaan hebatnya karena melihat orang-orang di sekitarnya banyak jauh lebih alim, dan lebih kuat ibadahnya. Benar kalimat yang menyatakan, “ Di atas langit ada langit.”

Di bagian lain, tempat shalat bukan tempat biasa. Ada keistimewaan sehingga shalat dan doa seseorang akan didengar oleh Allah.

Rasul SAW memberi informasi bahwa do’a hamba yang dipanjatkan di sejumlah tempat mustajabah, sepert di Rukun Yamani, Multazam, Hijir Ismail, dan di belakang Maqom Nabi Ibrahim pasti dikabulkan Allah. Maka, semua orang yang sedang berada di sekitar Ka’bah, menggunakan kesempatan tersebut sebaik-baiknya untuk ber do’a yang terbaik.

Selain itu, mereka juga menyampaikan pertaubatan kepada Allah atas dosa yang pernah dilakukan sepan-jang hayatnya. Apalagi ada janji yang mereka ketahui, bahwa bagi jamaah haji yang sempat mencium Rukun Yamani, misalnya akan diampuni dosa-dosanya. Begitu juga jika kita berhasil mencium Hajar Aswad, dihapus dosanya yang terdahulu.

Hampir semua mata yang pernah “diajak” ke pelataran Ka’bah pernah menumpahkan air matanya. Air mata haru, bangga, syukur, dan pertaubatan. Beda dengan air mata yang netes di rumah, air mata yang keluar di Masjidil Haram benar-benar tumpah tanpa perasaan malu kepada orang di sekitarnya karena orang lain juga mengalami hal yang sama. Bahkan, an-dai sampai kering air mata yang dikeluarkan, asal dosa diampuni dan doanya dikabulkan mereka rela. (*)

Page 19: Majalah mep edisi i 2012

22 19Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I Indahnya MEP | Edisi 01 Tahun I

religi opini

semua yang ingin berpredikat pro-fesional pasti diberi jalan untuk pengembangan personalnya. Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.

Pelatihan TIK untuk Pembelaja-ran ini berperan sebagai perangsang kemauan dan semangat pengem-bangan diri, pintu masuk menuju khazanah teknologi dan komunikasi dengan mudah, panduan menu-ju proses pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang menggembirakan, serta pen-gubah pola pikir dan prilaku dari budaya tutur ke budaya tulis, dari budaya mendengarkan ke budaya baca, dan dari budaya mengajar yang tradisional ke cara pembelaja-ran yang profesional.

Dengan kemampuan meman-faatkan TIK yang memadai, maka guru sudah memiliki modal dasar untuk mencapai predikat profesion-al. Guru akan jauh lebih siap dalam mentransformasikan ilmu penge-tahuannya, membiasakan berpikir positif, dan memberi teladan dalam bersikap dan berprilaku. Pembelaja-ran yang dilakukan lebih tepat-guna, sehingga akan berdaya-guna dan berhasil-guna tinggi.

Untuk mengoptimalkan ke-mampuan guru dalam memanfaat-kan TIK Pembelajaran, maka perlu ditanamkan prinsip-prinsip serta dikembangkan ketrampilan dalam berpresentasi. Kemampuan ber-TIK, apalagi pada tingkat awal, keban-yakan diterapkan secara berlebihan. Yang dilakukan bukan upaya mener-apkan pembelajaran yang efektif, namun lebih pada unjuk kebolehan ber-TIK secara berlebihan. Tujuan-nya bukan lagi mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi atau menanamkan kebiasakan dalam berpsikap dan berperilaku positif; tetapi lebih mengedepankan keinginan dikagumi dan dipuji ter-kait kemampuannya ber-TIK. Karena itulah, maka prinsip dan ketrampi-lan berpresentasi efektif sangat per-lu ditanamkan dan dipupuk.

Dinamika permasalahan pem-belajaran tidak akan berhenti. Untuk

itu dibutuhkan upaya-upaya dialek-tik, antara “perencanaan yang baik, melaksanakan aksi (berbuat) yang optimal, serta refleksi yang jernih” secara terus-menerus. Setiap aksi (berbuat) kurang bermakna jika ti-dak diletakkan dalam konteks mak-ro (horisontal) dan tidak ditransen-denkan (vertikal). Sebaliknya setiap mutiara yang diperoleh dari proses refleksi, tidak akan bernyawa jika ti-dak diaktualisasikan dalam kehidu-pan nyata.

Guru Profesional harus memil-ih untuk tidak berdiam diri terha-dap ketimpangan kapasitas diri dan tenaga kependidikan pada umum-nya. Kondisi saat ini menunjukkan akanbanyak yang merasa mapan dalam kecenderungan apriori. Ada yang suntuk dalam refleksi dan me-nikmatinya, asyik dengan seminar dan pelatihan, namun berhenti sam-pai terbitnya sertifikat, tanpa upaya menerapkan. Ada yang merasa cu-kup dengan mensosialisasikan se-cara verbal nilai-nilai yang seharus-nya meningkatkan kapasitas, sibuk menyampaikan teori tetapi minim praktek. Ada pula yang menolak kedua-duanya dan lebih memilih selalu berbuat (melakukan aksi) – semata-mata berbuat, kukuh mem-pertahankan pola kunonya, dan dengan bangga mengatakan,”Tidak perlu pelatihan dan terlalu banyak teori. Cara saya mengajar ya begini, nyatanya banyak murid yang men-jadi orang penting.” Ketiga pilihan itu, kalau dilakukan sendiri-sendiri tidaklah cukup, sementara melaku-kan ketiga-tiganya sekedar dalam satu kesatuan waktu, juga tidak utuh, maka memadukan antara per-encanaan, aksi, dan refleksi secara simultan menjadi pilihan terbaik.

Oleh karena itu apabila guru membuat sebuah perencanaan yang baik, melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, serta melakukan refleksi diri secara terus-menerus; merupakan sebuah pemenuhan kebutuhan keprofesionalannya. Namun kondisi saat ini menunjuk-kan, bahwa kebanyakan guru masih

merasa, bahwa kegiatan membaca (referensi dan karya monumental lainnya) maupun kegiatan menulis (perencanaan, PTK, atau karya mon-umental lainnya) merupakan sebuah kewajiban. Kalaupun seorang guru menulis atau membaca, dilakukan dengan berat hati dan penuh keter-paksaan, yang penting sudah “gugur kewajiban”, dan kalau perlu copy-paste atau ndandakno saja. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upa-ya rangsangan / motivasi yang mam-pu mengubah rasa “berkewajiban” menjadi “berkebutuhan”. Untuk itu perlu upaya memberi nilai tambah budaya tutur yang sudah dimiliki ke-banyakan guru dengan budaya baca dan budaya tulis.

Guru profesional laiknya ino-vatif, kreatif, dan produktif. Guru profesional niscaya memiliki rasa ingin tahu yang menggebu, demam kebaruan, berjiwa dinamis, dan anti kemampanan (berpuas diri). Guru profesional tertantang untuk men-ciptakan pola pembelajaran yang unik dan khas dirinya. Dengan be-gitu guru profesional akan memiliki tingkat produktivitas yang tinggi.

Terkait dengan ketertinggalan guru dalam penguasaan Teknologi dan Informasi dari kebanyakan mu-ridnya, peran guru tetap penting. Guru tidak perlu berlari kencang untuk mengejar kemampuan mu-ridnya. Guru cukup menempatkan diri sebagai fasilitator, pmemberi kemudahan, dan penyedia ruang kepada murid-muridnya untuk me-manfaatkan kemampuan mereka semaksimal mungkin untuk kebutu-han pembelajaran.

Dengan peran itu, situasi dan kondisi kelas menjadi dinamis, kare-na wacana saling belajar berlang-sung secara manusiawi. Tidak ber-laku lagi peribahasa “kebo nyusu gudhel”, karena semua pelaku ke-pentingan di kelas – murid dan guru) saling membutuhkan, dan sal-ing memberi. Komunikasi tiga arah tercipta dalam koridor saling meng-hormati hak dan kewajiban masing-masing.(Suharyo AP)

Konon, Abu Bakar RA setiap kali shalat, gamisnya basah karena aliran air matanya mengucur deras: menangis. Mengapa bisa begitu? Abu Bakar sadar, dirinya yang penuh dosa tengah menghadap kepa-

da Sang Kholiq. Yaitu Zat yang Maha Suci dan Maha Gagah yang kelak memberi balasan terhadap semua hamba-Nya yang tanpa pilih kasih.

Bagaimana dengan shalat kita? Apakah bisa menan-gis, nggrambyang, atau malah lupa jumlah rakaat? Yang tahu semua itu diri sendiri dan Allah. Kalau kita dapat melaksanakannya dengan khusyuk, maka air mata kita tanpa “disuruh” netes sendiri. Sebaliknya, kalau shalatnya nggrambyang, maka pikiran kita ke mana-mana.

Dalam kenyataan, selalu ada orang menangis ketika shalat, khususnya di Masjidil Haram, di sekitar Ka’bah. Mengapa? Orang shalat di sana, jiwanya benar-benar “menyatu” dengan Sang Kholiq. Dalam kondisi seperti itu muncul rasa haru, bangga, dan syukur. Lebih mendalam lagi karena ada rasa bahwa Allah “mengundang” khusus kepada dirinya sebagai hamba terpilih untuk melaksanakan

Tangis dalam Shalat

Page 20: Majalah mep edisi i 2012

20

Pelatihan Mindsite Pembelajaran dari Batam sampai Mataram

Bagai bunga dandelion, MEP Training Center hadir mewarnai udara Nus-antara tanpa harus menonjol dik-eramaian, tetapi ikut mewarnai

kehidupan dengan energi positif. Hadir menepis pesimisme, dan menguatkan op-timisme. Merangkai setiap kata menjadi penuh makna, menggandeng antar anak manusia untuk terus meningkatkan saling percaya. Kami hadir dari ujung barat kota Batam, ujung timur Mataram, hingga menjelajahi wilayah Jawa. Kami hadir dari desa ke desa, dari daerah ke dae-rah, untuk Indonesia.