mahar dan uang panaik dalam perspektif hukum...
TRANSCRIPT
1
MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
(Studi Kasus Perkawinan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone).
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
oleh :
Nur Avita
NIM : 11150440000025
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019
i
i
i
i
ABSTRAK
Nur Avita. NIM 11150440000025. MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM
PERSFEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Perkawinan Masyarakat
Bugis di Kabupaten Bone). Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta,1440 H/ 2019 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap
mahar dalam perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone, pandangan
hukum Islam terhadap Uang panaik dalam perkawinan masyarakat Bugis di
Kabupaten Bone, dan pandangan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone terhadap
implementasi mahar dan Uang panaik dalam perkawinan.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan
melakukan observasi dan wawancara kepada sampel yang telah kami tentukan
serta mengkaji beberapa sumber informasi dari dokumen yang mendukung teori
dan penelitian ini sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, Di dalam hukum Islam
mahar merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang
dinikahinya, selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Seseorang
bebas menentukan bentuk dan jumlah yang diinginkan karena di dalam hukum
Islam tidak ada ketentuan jumlah atau batasn mahar namun disunnahkan mahar itu
disesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki (calon suami) bahkan dalam Islam
dianjurkan untuk tidak memberatkan calon suami atau pihak laki-laki dalam hal
pemberian mahar. Kedua, Di dalam hukum Islam tidak ada ketentuan yang
mengatur tentang jumlah atau batasan uang panaik. Namun demikian hukumnya
mubah(dibolehkan) dan diserahkan pada tradisi masyarakat setempat sesuai
dengan kesepakatan bersama kedua belah pihak. Ketiga, Masyarakat Bugis di
Kabupaten Bone memahami bahwa Uang panaik merupakan salah satu pra syarat
yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai laki-laki. Jika itu tidak
dilakukan maka kemungkinan besar lamaran itu ditolak karena Uang panaik
sebagai salah satu status sosial dan kebanggaan pihak calon mempelai wanita jika
uang panaiknya tinggi, namun demikian mengingat perkembangan dan
pemahaman masyarakat Bugis di Kabupaten Bone dewasa ini sedikit mengalami
pergeseran tergantung kesepakatan kedua belah pihak( calon suami dan calon
istri).
Kata Kunci: Mahar, Uang panaik, Adat Bugis, Hukum Islam.
Pembimbing: Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H
Daftar pustaka: 1995-2019.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa
Ta‟ala yang telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya kepada peneliti dalam
penyusunan skripsi yang berjudul MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Perkawinan Masyarakat Bugis di
Kabupaten Bone), sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu „alaihi
Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa‟atnya di akhirat kelak. Amin.
Pencapaian ini tidak akan terwujud tanpa pertolongan Allah Subhanahu wa
Ta‟ala, berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya kepada
peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat
saya mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Mesraini, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., Dosen Pembimbing yang telah
memberikan arahan, bimbingan, serta kesabaran dalam membimbing peneliti
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Para narasumber yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk ditemui dan
memberikan data-data terkait penelitian ini.
iii
6. Kepala dan staff Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta serta Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan saya untuk mencari
dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang
diperlukan.
7. Terimakasih kepada Sri Hidayati, M.Ag. dan Windy Triana, M.A dosen
penguji dalam munaqasyah, para dosen yang telah memberikan ilmunya
kepada penulis, beserta staff yang telah memberikan pelayanan maksimal.
8. Paling Istimewa untuk kedua orang tua penulis, Sukiman dan Hj. Ani yang
selalu memberikan dukungan, mengingatkan, dan mendo‟akan yang terbaik
untuk peneliti hingga dapat menyelesaikan skiripsi ini. Adikku tersayang
Diana, Aldi, Ahmad, saudara-saudaraku, serta Keluarga Besar Hasside di
Bone .
9. Kepada pak Syahrullah yang begitu baik membimbing dan memberikan
masukan-masukan untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Kedua orang tua
11. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan tahun 2015 yang selalu memberikan
semangat.
12. Kakak-kakak teman-teman, dan adik-adik IKA Al-Ikhlas Jakarta yang telah
memberikan dukungan, nasihat, pengalaman, dan ilmu yang luar biasa.
13. Kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Komisariat Syariah dan Hukum yang telah memberikan
berbagai pengalaman dan ilmu yang luar biasa selama masa perkuliahan.
14. Kepada Ali Maksum Asngari selaku ketua PMII Komisariat Syariah dan
Hukum yang selalu memberikan dukungan, nasihat, dan motivasi selama
penyusunan skripsi ini.
15. Kepada seluruh sahabat-sahabat saya, Analisa Putri, Inayah Ulfah, Fadilah
Hardina, Milah Karmilah, Arabbyatul Aidawiyah, Depanti Putri, Fatimah
Azzahra, yang selalu memberikan motivasi dan dukungannya.
16. Pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini.
iv
Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang
setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi
ini dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 8 April 2019
Nur Avita
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama
Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam
teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui
sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.
A. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
h} ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z zet ز
S es س
vi
Sy es dan ye ش
s} es dengan garis bawah ص
d} de dengan garis bawah ض
t} te dengan garis bawah ط
z} zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F ef ف
Q Qo ق
K ka ك
L el ل
M em م
N en ن
W we و
H ha ه
apostrop „ ء
Y Ya ي
vii
B. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ ______= a ىا= a>
_____ ______= i ىي= i>
_____ ______= u ىو= u>
C. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al =)ال( ai =__ أ ي
al-sh =)الش( aw =__ أ و
-wa al =)وال(
D. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika
huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf‟ah, tidak ditulis asy-syuf‟ah
E. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti
oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t” (te)
(lihat contoh 3).
viii
Kata Arab Alih Aksara
syarî „ah شريعة
al- syarî „ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسال مية
المذا هبمقارنة Muqâranat al-madzâhib
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini,
misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan
penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari Bahasa
Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur‟a>n Alquran
2 Al-H}adi>th Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nas{ Nas
5 Tafsi>r Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah .......................... 5
1. Identifikasi Masalah ...................................................... 5
2. Batasan Masalah ............................................................ 6
3. Rumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisaan .............................................. 6
1. Tujuan Penelitian ........................................................... 6
2. Manfaat Penelitian ......................................................... 7
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................... 8
1. Jenis Penulisan .............................................................. 9
2. Metode Pendekatan ....................................................... 9
3. Sifat Penulisan ............................................................... 9
4. Lokasi Penelitian ........................................................... 9
F. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ......................... 10
1. Sumber Data .................................................................. 10
2. Metode Pengolahan dan Analisis Data .......................... 10
G. Teknik Penulisan..................................................................... 11
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 11
BAB II MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM ............................................................................. 13
x
A. Mahar ........................................................................................ 13
1. Pengertian Mahar ............................................................... 13
2. Dasar Hukum Mahar .......................................................... 14
3. Syarat dan Jenis-jenis Mahar ............................................. 16
4. Jumlah Mahar ..................................................................... 17
5. Pelaksanaan Pembayaran Mahar ........................................ 19
6. Tujuan dan Hikmah Mahar ................................................ 21
B. Uang panaik .............................................................................. 22
1. Pengertian Uang panaik ..................................................... 22
2. Sejarah Munculnya Uang panaik ....................................... 22
3. Tahapan- tahapan Penyerahan Uang panaik ...................... 25
C. Perbedaan Mahar dengan Uang panaik ..................................... 26
BAB III BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DI KABUPATEN
BONE SULAWESI SELATAN....................................................... 30
A. Masyarakat Bugis Kabupaten Bone .......................................... 30
1. Potret Daerah Kabupaten Bone .......................................... 30
2. Adat Istiadat dan Agama .................................................... 32
3. Islam dan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone .............. 34
B. Prosesi Perkawinan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone ..... 40
C. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Selatan ........................... 43
BAB IV MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM ............................................................................. 46
A. Pandangan hukum Islam terhadap Mahar dan Uang panaik ..... 46
B. Implementasi Uang panaik pada Pernikahan Masyarakat
Bugis di Kabupaten Bone.......................................................... 56
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 60
A. Kesimpulan ............................................................................... 60
B. Rekomendasi ............................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 62
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan Sunnah Rasul SAW yang bertujuan untuk
melanjutkan keturunan dan menjaga manusia agar tidak terjerumus ke dalam
perbuatan yang sama sekali tidak diinginkan oleh syariat. Untuk itu,
perkawinan baru dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Salah
satu syarat tersebut adalah adanya mahar yang merupakan hak istri dan wajib
hukumnya.
Mahar merupakan tanda kesungguhan laki-laki untuk menikahi seorang
perempuan. Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada
perempuan yang akan dinikahinya, yang dimana mahar tersebut akan menjadi
hak milik istri secara penuh. Seseorang bebas dalam menentukan bentuk dan
jumlah mahar yang diinginkan karena memang tidak ada batasan dalam syariat
islam mengenai mahar, akan tetapi mahar itu disunnahkan yang sesuai dengan
kemampuan pihak calon suami. Islam menganjurkan agar meringankan mahar.
Perkawinan adat Bugis selain mahar yang merupakan salah satu syarat
sah, “uang panaik” juga merupakan adat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-
laki dalam bentuk uang. Uang panaik adalah uang antaran yang harus
diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak
keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta
pernikahan.1 Mahar dan Uang panaik memang hampir mirip, yaitu sama-sama
merupakan kewajiban. Namun kedua hal ini sebenarnya berbeda. Mahar
merupakan kewajiban dalam Islam, sedangkan Uang panaik merupakan
kewajiban dalam tradisi adat masyarakat Bugis.2
1A.Mega Hutami Adiningsih, ”Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui Menre dalam
Perkawinan Adat Bugis”( Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2016), h. 4. 2A.Mega Hutami Adiningsih, ”Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui Menre dalam
Perkawinan Adat Bugis”( Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2016), h. 4.
2
Mahar dan Uang panaik dalam perkawinan adat suku Bugis di Kab.
Bone adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam
praktiknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban
yang harus dipenuhi. Walaupun dalam hal ini uang panaik lebih mendapatkan
perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran
jalannya proses perkawinan sehingga jumlah nominal uang panaik lebih besar
daripada jumlah nominal mahar.3
Besarnya Uang panaik merupakan cerminan status sosial calon
pengantin. Tinggi dan rendahnya uang panaik merupakan bahasan yang paling
mendapatkan perhatian dalam perkawinan Bugis, sehingga sudah menjadi
rahasia umum bahwa itu akan menjadi „buah bibir‟ bagi para tamu undangan.
Adapun penyebab tingginya jumlah uang panaik tersebut disebabkan karena
beberapa faktor di antaranya: status ekonomi keluarga calon istri, jenjang
pendidikan calon istri, kondisi fisik calon istri, status pernikahan calon istri;
janda dan perawan.4
Semakin tinggi status sosial pihak perempuan, maka semakin besar
Uang panaik yang dikeluarkan oleh pihak laki-laki. Hal ini menjadi masalah
tersendiri dalam masyarakat, sebab tidak jarang terjadi gagalnya perkawinan
disebabkan tidak disepakatinya uang panaik oleh kedua belah pihak
mempelai.5 Bahkan, yang lebih parah, tak jarang pasangan tersebut malah
kawin lari yang dalam masyarakat suku Bugis disebut “silariang”.6
Ada dua dasar yang menjadi pegangan masyarakat Bugis, yaitu saraq
(syariah) dan adeq (adat) menjadi dua hal yang saling menemukan bentuk
dalam dinamika kehidupan masyarakat Bugis. Saat kehidupan diatur dengan
pangngaderreng (undang-undang sosial) sebagai falsafah tertinggi yang
mengatur masyarakat sampai penaklukan seluruh tanah Bugis tahun 1906,
3Moh Ikbal, “Uang panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, The Indonesian
Journal Of Islamic Family Law”, 06, (Juni, 2016), h. 201. 4 Moh Ikbal, “Uang panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, The Indonesian
Journal Of Islamic Family Law”, 06, (Juni, 2016), h. 202. 5 Nurul Hikmah, “Problematika Uang Belanja Pada Masyarakat” , ojs.unm.ac.id, 2015, h.
64. 6Ahmad Ridha Jafar, ”Uang Panai‟ Dalam Sistem perkawinan Adat Bugis Makassar
Perspektif Hukum Islam”( Yogyakarta: Skripsi Universitas Islam Indonesia, 2016), h. 4.
3
maka unsur yang awalnya hanya terdiri atas empat kemudian berubah menjadi
lima. Ini untuk mengakomodasi diterimanya Islam sebagai pegangan hidup.
Sistem yang saling mengukuhkan pangngaderreng didirikan atas: 1) wariq
(protokoler kerajaan); 2) adeq (adat istiadat); 3) bicara (sistem hukum); 4)
rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan); dan 5) saraq
(syariat Islam). Oleh karena itu, setelah diterimahnya saraq sebagai bagian dari
pangngadereng, maka keputusan masyarakat Bugis terhadap adat dan agama
dilakukan secara bersamaan dan sama kuatnya.7
Menurut Shils, manusia tak mampu hidup tanpa tradisi/ritual adat meski
mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka. Shils menegaskan
bahwa suatu tradisi atau ritual itu memiliki fungsi bagi bagi masyarakat antara
lain:
1. Dalam bahasa klise, dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun temurun.
Tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan norma dan nilai yang kita anut
kini serta di dalam benda yang diciptakan di masa lalu.
2. Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata dan
aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan pembenaran agar dapat
mengikat anggotanya.
3. Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat
loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok.
4. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, kekecewaan dan
ketidak puasan kehidupan modern. 8
Tradisi/ ritual adat pernikahan Bugis, memeliki fungsi seperti
penjelasan sebelumnya, namun seiring perkembangan zaman, terjadi
perubahan termasuk perubahan nilai sehingga mengakibatkan munculnya
sesuatu yang tidak diinginkan, diantaranya adalah:
7M. Juwaini, ”Nilai-Nilai Moral Dalam Ritual Adat Pernikahan Masyarakat Bugis Dan
Relavansinya Dengan Nilai-Nilai Pendidikan Islam”( Yogyakarta: Tesis Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, 2018), h. 2. 8M. Juwaini, ”Nilai-Nilai Moral Dalam Ritual Adat Pernikahan…
4
1. Ritual adat pernikahan Bugis sebagai ajang pamer status sosial, ajang
gengsi keluarga kedua mempelai. Maka dibuatlah pesta yang sangat
meriah untuk menghindarkan diri dari perkataan negatif orang lain.
2. Ritual adat pernikahan Bugis merupakan bentuk pemborosan dan
cenderung materialistis, hal ini dapat dilihat dari biaya yang dihabiskan
dalam proses tersebut. Termasuk juga tingginya uang panaik yang
dibebankan oleh keluarga calon mempelai perempuan kepada keluarga
calon mempelai laki-laki.
Tingginya jumlah uang panaik memang beberapa mendatangkan
manfaat karena dapat memotivasi para pemuda untuk bekerja keras dalam
mempersiapkan diri menghadapi perkawinan. Selain itu, ada pula anggapan
bahwa tingginya uang panaik dapat mengurangi tingkat perceraian dalam
rumah tangga karena tentu seorang suami akan berpikir beberapa kali untuk
menikah lagi dengan pertimbangan jumlah uang panaik yang sangat tinggi.
Kedua alasan tersebut tidak menyalahi kebenaran terhadap realita yang mereka
hadapi. Tapi mari kita lihat dari sisi negatifnya juga. Pada kenyataanya banyak
kita temukan pemuda yang gagal menikah akibat ketidakmampuannya
memenuhi jumlah uang panaik yang dipatok oleh keluarga perempuan.
Sementara si pemuda dan si gadis telah menjalin hubungan yang serius. Salah
satu contohnya seorang yang bernama Akmal dia telah menunda
perkawinannya selama satu tahun hanya karena uang panaik yang diminta
melebihi kemampuannya. Uang panaik yang diminta oleh mertuanya adalah
sebelas ribu ringgit Malaysia dikarenakan istrinya adalah seorang mahasiswi
sarjana diploma. Untuk mencukupi uang panaiknya, dia tidak melakukan kerja
sampingan maupun meminjam uang dari pihak lain melainkan membutuhkan
waktu yang agak lama untuk mengumpulkan jumlah uang yang diperlukan.9
yang demikian inilah dapat menyebabkan terbukanya pintu-pintu kemaksiatan,
misalnya si gadis hamil diluar nikah yang membuat orang tua si gadis mau
tidak mau harus menyetujui perkawinan mereka atau bahkan ada beberapa
9Muhammad Nur Ikram ”Pengaruh Tingginya Uang Hantaran Terhadap Penundaan
Perkawinan”( Aceh: Tesis UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2018), h. 3-4.
5
yang nekat mengakhiri hidup disebabkan karena tidak disetujuinya perkawinan
mereka.
Tradisi uang panaik juga dapat menghambat atau membatalkan
pernikahan, apabila pihak laki-laki tidak mampu memberikan jumlah uang
panaik yang diminta. Seperti kisah gadis yang bernama Risna yang sempat
viral di media sosial, ketika menghadiri pernikahan mantan kekasihnya (Rais)
dia dipeluk oleh mempelai laki-laki dihadapan semua tamu undangan dan juga
mempelai wanitanya sambil berlinang air mata. Setelah diwawancarai, ternyata
penyebab mereka berpisah setelah menjalin kasih selama tujuh tahun dan
sempat dua kali datang melamar adalah karena tidak adanya kesepakatan
mengenai uang panaik.10
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil judul “MAHAR DAN
UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus
Perkawinan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone)” dengan harapan agar
mengelaborasi status Uang panaik dalam tradisi pernikahan di Kabupaten
Bone dan kaitannya dengan mahar selaku prasyarat pernikahan. Kajian ini
diharapkan memberi kontribusi informasi terkait kearifan local masyarakat
Bugis dalam tradisi pernikahan yang disebut “uang panaik”.
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan
muncul dalam latar belakang di atas, akan penulis paparkan beberapa di
antaranya, yaitu:
1. Sejarah Uang panaik dalam perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten
Bone
2. Perspektif hukum Islam terhadap mahar dan uang panaik
10
http://makassar.tribunnews.com/2014/10/28/ternyata-gadis-bulukumba-ini-korban-uang-
panai, diakses pada tanggal 9 April 2019, pukul 23.33 WIB.
6
3. Struktur sosial masyarakat Bugis di Kabupaten Bone mempengaruhi
mahar dan uang panaik
4. Dasar penentuan mahar dan uang panaik pada masyarakat Bugis di
Kabupaten Bone
5. Respon pemerintah Kabupaten Bone terhadap mahar dan uang panaik
2. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah tentang mahar dan uang panaik dalam tradisi
perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan Identifikasi dan batasan masalah yang telah dipaparkan
penulis, maka dapat dirumusksn masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap mahar dalam perkawinan
masyarakat Bugis di Kabupaten Bone?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap Uang panaik dalam
perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone?
3. Bagaimana perspektif masyarakat Bugis di Kabupaten Bone terhadap
implementasi mahar dan uang panaik dalam perkawinan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisaan
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap mahar dalam
perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone
b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap uang panaik
dalam perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone
c. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone
terhadap implementasi Mahar dan uang panaik dalam perkawinan
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi upaya
pengembangan Hukum Islam. Selain itu dapat menjadi referensi atau
7
rujukan bagi mahasiswa yang akan melakukan penulisan tentang
masalah yang sama atau serupa.
b. Manfaat Praktis
Di harapkan dapat menjadi kontribusi dan bahan pertimbangan
bagi pemerintah daerah atau pihak-pihak yang berkepentingan dalam
menentukan kebijakan tentang pelaksanaan mahar dan uang panaik
dalam perkawinan.
D. Review Kajian Terdahulu
Ada beberapa studi terkait dengan mahar dan uang panaik.
Pertama, studi mengenai uang panaik Dalam Perkawinan Adat Suku
Bugis (Studi Kampung Bugis Manokowari Papua Barat yang dilakukan
oleh Mutoharatun Azizah menemukan bahwa latar belakang adanya uang
panai‟ yaitu karena suku bugis menetapkan perempuan sebagai puncak
martabat keluarga yang mana merupakan “siri” atau harga diri bagi
keluarga tersebut. Sehingga hal ini lah yang melatar belakangi adanya
uang panai‟ dalam perkawinan adat suku Bugis, kedudukan uang panai‟
adalah wajib dalam perkawinan adat suku Bugis sehingga apabila seorang
anak perempuan hendak menikah tetapi tidak ada uang panaiknya, maka
lebih baik perkawinan tidak dilanjutkan atau dibatalkan.11
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Nashirul Haq Marling.
Penelitian mengkaji Uang panai‟ dalam tinjauan Syariah. Dalam
penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam tradisi pernikahan di Indonesia
terdapat keragaman dalam hal persiapan biaya saat mempersunting wanita.
Daerah Sulawesi khususnya suku Bugis dikenal dengan uang panaik yang
paling tinggi yang dihabiskan selama acara pernikahan dimana penelitian
ini membahas secara umum tentang uang panai‟ tetapi tidak menjelaskan
11
Mutoharatun Azizah, “Uang panaik Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis (Studi Kampung Bugis Manokowari Papua Barat” Skripsi (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2017), h. 6
8
prosesi masing-masing daerah yang terdapat di Sulawesi yang tentunya
memiliki perbedaan dalam hal menjalankan tradisi uang panai‟ ini.12
Selanjutnya, penelitian sebelumnya mengenai Uang panai‟ antara
cinta dan gengsi yang diteliti oleh Sri Rahayu. Dalam penelitiannya
mengemukakan bahwa budaya panai‟ bagi masyarakat Bugis perantauan
memahaminya sebagai bagian dari prosesi lamaran untuk membiayai pesta
perkawinan. Penentuan uang panai‟ umumnya ditentukan oleh status
sosial yang disandang oleh keluarga mempelai perempuan. Semakin baik
status sosial yang dimiliki pihak keluarga mempelai perempuan, semakin
tinggi uang belanja yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki.
Pertimbangan besarnya uang belanja sebagai syarat adat menjadi dominasi
bagi kaum muda. Kepentingan dua muda mudi yang saling mencintaipun
harus tunduk pada keputusan-keputusan yang muncul dari adat istiadat
warisan leluhur. Keputusan yang lebih mengutamakan materialisme
berupa gengsi dan prestise keluarga menimbulkan resistensi muda mudi
terhadap budaya panai‟.13
Dari beberapa penelitian di atas yang sudah diteliti dan telah
diklasifikasikan sesuai subtansi. Maka dari itu penulis meneliti hal lain
dari uang panaik. Penulis mengangkat judul yang sedikit berbeda dari
penelitian-penelitian sebelumnya yaitu Mahar dan Uang panaik dalam
Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Perkawinan Masyarakat Bugis di
Kabupaten Bone). Dengan bermaksud mengangkat subtansi mengenai
perspektif hukum Islam tentang mahar dan uang panaik serta
implementasi dimasyarakat terhadap mahar dan uang panaik di Kabupaten
Bone .
12 Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum Dan
Syariah, volume 6, nomor 2, (Desember, 2017), h. 4
13
Sri Rahayu. “Uang Nai’ : Antara Cinta Dan Gengsi”, jurnal Akuntansi Multiparadigma. Volume 6, nomor 2, (Juli, 2015), h. 235
9
E. Metode Penelitian
Dalam membahas masalah-maslah penulisan ini, dibutuhkan suatu
metode atau cara memperoleh data yang berhubungan dengan masalah masalah
yang akan dibahas sehingga menghasilkan data yang baik, benar, dan bagus.
Adapun beberapa metode yang penulis gunakan antara lain:
1. Jenis Penulisan
Penulisan ini termasuk jenis penulisan yang sumber datanya
diambil dari tempat lokasi penelitian secara lansung di daerah tempat
penulisan. Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah corak
penulisan kualitatif.14
penulisan ini merupakan penulisan etnografi yang
bertujuan untuk mencari pemahaman tentang budaya karena tindakan
manusia ditentukan oleh budayanya, manusia terbentuk oleh budayanya,
cita-cita manusia terbentuk berdasarkan nilai budaya yang dianutnya.15
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kulitatif
yaitu dengan prosedur penulisan menghasilkan data deskriptif tentang
pandangan hukum Islam terhadap mahar dan uang panaik dalam
perkawinan adat Bugis di Kabupaten Bone.16
3. Sifat Penulisan
Penulisan ini bersifat analitik yaitu merupakan kelanjutan dari
penulisan deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan
karakteristik tertentu, tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa
atau bagaimana hal itu terjadi.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone, sebagai salah satu
daerah otonom di Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis memilih Kabupaten
14
A. Muri Yusuf, Metode Penulisan Kuantitatif, Kualitatif dan Penulisan Gabungan,
(Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014), h. 359. 15
Dr. J. R. Raco, Metode Penulisan Kualitatif, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2010), h. 89-90. 16
Hajra Yansa, yayuk Basuki, dkk. Uang Panai‟ dan Stasus Sosial Perempuan dalam
Perspektif Budaya Siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan, Volume 3
Nomor 2 (2016) h. 4.
10
Bone sebagai lokasi penelitian karena akulturasi kebudayaan Bugis masih
sangat kental terutama dalam tradisi penyerahan mahar dan uang panaik
dalam perkawinan.
F. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan dapat dibagi ke dalam
dua sumber, yaitu:
a. Data primer, data yang didapat dari hasil observasi, wawancara lansung
dengan masyarakat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama
serta ilmuwan Bugis. Termasuk hukum normatif dan keberadaan
penulis yang juga berasal dari masyarakat atau suku Bugis yang
berdomisili di Kab. Bone, tempat dimana data-data dari penulisan ini
diambil.
b. Data sekunder, dalam penulisan ini data yang digunakan penulis adalah
data yang dikumpulkan oleh orang lain melalui studi pustaka yang
berkaitan buku-buku sejarah, fiqh, dan data-data lain yang mempunyai
kaitan dan hubungan dengan tema ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang sering digunakan adalah
wawancara yaitu proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan
informasi dengan cara tanya jawab antara penulis dengan informan atau
subjek penelitian. Selain wawancara, observasi juga merupakan kegiatan
dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman,
pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk
menjawab masalah penelitian.
3. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
11
a. Metode induktif yaitu metode atau cara berpikir untuk menarik
kesimpulan yang bersifat khusus ke kesimpulan yang bersifat umum.
b. Metode analisis data kualitatif yaitu suatu metode peneltian yang
mengungkap makna dari data penelitian baik wawancara, dokumen
maupun pengamatan di lapangan.
G. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab
berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:
Bab Pertama yaitu pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penelitian.
Bab Kedua, membahas mengenai konsep mahar dalam Islam yang
meliputi: pengertian mahar, dasar hukum mahar, syarat dan jenis-jenis mahar,
jumlah mahar, pelaksanaan pembayaran mahar, tujuan dan hikmah mahar serta
konsep Uang panaik yang meliputi: pengertian uang panaik, sejarah
munculnya uang panaik, tahapan pemberian uang panaik, serta perbedaan
mahar dan uang panaik.
Bab Ketiga, menjelaskan mengenai budaya masyarakat Bugis di Kab.
Bone Sulawesi selatan yang meliputi: potret daerah kabupaten Bone, adat
istiadat dan agama, masyarakat Islam Bugis, prosesi perkawinan masyarakat
Bone, sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan.
Bab Keempat, memaparkan hasil dari penelitiannya yang diperoleh dari
lapangan meliputi tentang bagaimana pandangan hukum Islam terhadap mahar
dan Uang panaik dalam perkawinan masyarakat Bugis di kabupaten Bone serta
memaparkan pandangan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone terhadap
implementasi mahar dan uang panaik dalam perkawinan.
12
Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari
penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi yang bersifat membangun
bagi penyempurnaan penelitian ini.
13
BAB II
MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
A. Mahar
1. Pengertian Mahar
Mahar secara etimogi artinya maskawin, secara terminologi, mahar
ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seseorang istri kepada calon suaminya atau suatu pemberian yang
diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk
benda maupun jasa.17
Mahar dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan maskawin.
Maskawin atau mahar adalah pemberian seorang suami kepada isterinya
sebelum, sesudah, atau pada waktu berlangsungya akad nikah sebagai
pemberian wajib.18
Mahar dalam bahasa arab juga disebut ااصداق shadaq
karena sang suami mengungkapkan kesungguhan cinta yang ia
persembahkan dalam pernikahan.19
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai masalah mahar.
Sebagaian mereka berpendapat, bahwa mahar itu diberikan sesuai dengan
kesepakatan di antara calon pengantin. Pendapat ini dikemukakan oleh
Sufyan Ats-Tsauri , Syafi‟i, Ahmad dan Ishak. Sedangkan Imam Malik
berpendapat “Mahar itu tidak boleh kurang dari seperempat dinar.”
Sedangkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata “Bahwa mahar yang
diberikan oleh Nabi untuk istri-istrinya sebesar dua belas setengah
„uqiyah‟ (HR. Muslim).20
17
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet.
Pertama), h. 84. 18
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2017, Cet. Kedua), h.
47. 19
Musthafa Dib al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 (Yogyakarta: Darul Uswah, 2008), h.
664. 20
Abi Hasan Muslim Ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairy an-Naisabury, Sahih Muslim. Cetakan Ibnu Jauzi Qahirah, no hadis 1426, h. 327
14
Mas kawin adalah harta yang wajib dibayar suami terhadap istrinya
karena akad atau bercampur secara benar. Mas kawin memiliki nama yang
banyak, yaitu shadaq, mahr, nihlah, faridhah, hiba, ajr, dan aqd alaiq.21
mahar secara sosial, ekonomi dan ideologis, difungsikan untuk beragam
tujuan, Abu Zahrah menjelaskan bahwa selain menjadi tanda etis-moral
keseriusan dan ketulusan ikatan pernikahan, mahar berfungsi sebagai
bantuan material suami kepada isterinya guna persiapan berumah tangga.22
Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Bab Mahar telah
dijelaskan apa itu mahar. Pasal 30 dikatakan bahwa “Calon mempelai pria
wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah,
bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”. Pada pasal 31
“Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang
dianjurkan oleh ajaran Islam”. Pasal 34 terdapat dua ayat: (1) Kewajiban
menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan; (2)
Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak
menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan
mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. Pada pasal
37 juga disebutkan bahwa “Apabila terjadi selisih pendapat mengenai
jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaian diajukan ke
Pengadilan Agama. 23
2. Dasar Hukum Mahar
Mahar hukumnya wajib bagi seseorang suami untuk kesempurnaan
akad nikah, baik disebutkan dalam akad tersebut dengan sejumlah harta
tertentu atau tanpa menyebutkan jumlahnya. Bahkan seandainya suami
bersepakat untuk tidak memberikannya atau tidak menyebutkannya, maka
kesepakatan tersebut tidak sah, sebab mahar adalah sebuah keharusan.
21
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah (Solo: Era
Intermedia, 2005), h. 212. 22
Noryamin Aini, “Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur
Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia,” AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah 17, No.1 (29 Juli 2014),
h. 16. 23
Direktori Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama R.I, Kompilasi
Hukum Di Indonesia, Jakarta: 2001, h. 5.
15
Adapun dasar hukum kewajiban mengenai mahar terdapat pada QS. An-
Nisa‟ (4): 4;
نهيئام رهيئاو نون فساف كلوهى ل كمع نش يءمه ل ةف إهنطهب آتواالنس اء ص دق اتههننه
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi baik akibatnya”
Imam Syafi‟i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai
seluruh anggota badannya. Jika istri telah menerima maharnya, tanpa
paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka
boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam
memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal
menerimahnya. Allah SWT berfirman dalam QS.an-Nisa‟(4): 20
ا إهحد ز وجو آت يتم ز وجم ك ان ال أ ر دتاستهبد أ ت أخذون وو إهن يئا ش نو ف الت أخذوامه قهنط ارا ىن ب هت اناو إهثامبهينا
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,
sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya
barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan
jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? “.
16
Hadis Nabi SAW bersabda:
عنعامربنربيعةانامرأةمنبينفزارةتزوجتعلىنعلنيفقالرسولاهللعليووسلم:أرضيتعلىنفسكومالكبنعلنيفقالت:نعم,فأجازه)رواهامحد
وابنماجووااترمذىوصححو(Artinya: “Dari Amir bin Rabiah: sesungguhnya seorang perempuan dari
bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah SAW
bertanya kepada perempuan tersebut: Relakah engkau dengan maskawin
sepasang sandal? Perempuan itu menjawab: Ya, akhirnya Rasulullah SAW
meluluskannya”. Sabdanya lagi:
منحديد)رواهالبحارى(تجولوخباتزوArtinya: “Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari
besi”.24
3. Syarat dan Jenis-jenis Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak
berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya
mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan
khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang
milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk
memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.
Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi
akadnya tetap sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya. Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaanya, atau tidak disebutkan
jenisnya.25
24
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim an-Nukhai, Sahih Bukhari. Cetakan Ibnu Jauzi, no hadis 5150, h. 631
25H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat h. 87-88.
17
Kemudian berdasarkan jenisnya, mahar dapat dibagi kedalam dua
kategori, yaitu:
a. Mas kawin musama (yang disebutkan)
Mas kawin ini disepakati saat akad atau setelahnya, sesuai
dengan kesepakatan. Mas kawin musama diwajibkan diberikan kepada
istri dengan dua syarat; akad tersebut sah dan penyebutannya benar.
Apabila mas kawin itu disebutkan dalam akad yang sah dengan
sebutan yang bener maka yang disebutkan itu wajib dibayar walaupun
jumlahnya besar. Tapi, kewajiban ini suatu saat bisa gugur semuanya
atau sebagian.26
Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaanya, mahar
musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1) Telah bercampur (bersenggama)
2) Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma‟.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami
telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan
sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau
dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.27
b. Mahar Mitsil (Sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya
pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang
diukur dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat,
agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial,
kecantikan dan sebagainya.28
Mahar mitsil itu menjadi wajib kerena
beberapa sebab berikut:
1) Apabila akad nikahnya batal
26
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah (Solo: Era
Intermedia, 2005), h. 220-221. 27
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet.
Pertama), h. 92-93. 28
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat h. 93.
18
2) Apabila mahar tersebut batal karena adanya perdebatan antara
suami istri dalam penyebutan atau ukurannya.29
4. Jumlah Mahar
Dalam hal penentuan jumlah mahar tidak ada batasan minimal atau
maksimal. Semuanya yang bisa disebut harta atau yang sebanding dengan
harta, boleh dijadikan mahar, baik sedikit maupun banyak, tunai ataupun
utang, atau yang berupa kemanfaatan, seperti sajadah, uang 50 ribu, atau
mengajarkan Al-Qur‟an.30
para Fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu
tidak ada batas tertinggi.31
Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas terendahnya Imam
Syafi‟I, Ahmad Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan
tabi‟in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala
sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan
mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan
pengikut Imam Malik. Sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa
mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya
mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni,
atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding
berat mas dan perak tersebut.32
Adapun ketentuan mahar dalam yang telah diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam yaitu:
a. Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya, disepakati oleh
kedua belah pihak.
b. Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan
yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
29
Musthafa Dib al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 (Yogyakarta: Darul Uswah, 2008), h.
671. 30
Musthafa Dib al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 h. 666. 31
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet.
Pertama), h. 88-89. 32
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet.
Pertama), h. 88-89.
19
c. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak
itu menjadi hak pribadinya.
d. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Apabila calon mempelai
wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik
untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan
penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.
e. Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam
perkawinan. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu
akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula
halnya dalam keadaan mahar masih terhutang tidak mengurangi
sahnya perkawinan.
f. Suami yang menalak isterinya qabla al-dukhul wajib membayar
setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Apabila
suami meninggal dunia qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum
ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
g. Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti
dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan
barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang hilang.
h. Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang
ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.
i. Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang
tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimahya tanpa
syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. Apabila istri menolak
untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya
dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum
diserahkan, maka mahar dianggap masih belum dibayar.33
33
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2017, Cet. Kedua), h.
49-50.
20
5. Pelaksanaan Pembayaran Mahar
Dalam tata cara pembayaran mahar Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa kaedah pembayaran boleh dibuat mengikut amalan
masyarakat (urf) setempat jika tidak ada penentuan cara pembayaran
mahar. Berpandukan kaedah fiqh:
Maksudnya: “sesuatu yang umum diketahui pada urf samalah
seperti yang disyariatakan dalam sesuatu syarat”
Maka dari itu apabila amalan yang dibuat dalam kalangan
masyarakat setempat selalu membayar mahar sepenuhnya hendaklah
dibayar sepenuhnya. Namun apabila masyarakat setempat selalu
membayar setengahnya maka hendaklah dibayar setengahnya pula
sebelum bercampur.34
Beberapa fuqaha juga berpendapat, jika di dalam nas tidak terdapat
tatacara pembayaran mahar sama dengang berhutang atau tunai, maka
tatacara pembayaran dipulangkan ke hukum asal yaitu dibayar tunai.
Mahar wajib dibayar semuanya kepada isteri sebelum mereka bercampur
karena mahar merupakan bagian daripada akad perkawinan tersebut.
Suami wajib memberikan mahar sebaik akad perkawinan sah. Dengan
demikian, tiada sebab-sebab tertentu yang boleh menangguhkan pemberian
mahar dalam akad yang sah. Namun, apabila wujudnya syarat-syarat
tertentu yang boleh menangguhkan pemberian mahar maka ia boleh
ditangguhkan. Tetapi jika tiada syarat-syarat tertentu yang boleh
menangguhkan maka ia mengikut kepada hukum yang asal, yaitu mesti
dibayar dengan tunai.35
Para ulama mazhab juga sepakat bahwa mahar boleh dibayar
kontan dan boleh dihutangkan, baik itu sebahagian maupun seluruhnya,
dengan syarat harus diketahui secara detail. Misalnya si laki-laki
mengatakan; “saya mengawinimu dengan mahar seratus dirham uang
emas, yang lima saya bayar kontan, sedangkan sisanya saya bayar
34
Safitrah ”Konsep Mahar dan Hantaran Menurut Islam”( Malaysia: UM 2018), h. 48 35
Safitrah ”Konsep Mahar dan Hantaran Menurut Islam”( Malaysia: UM 2018), h. 44-46
21
setahun”. Atau bisa diketahui secara global, misalnya pengganti laki-laki
mengatakan; “maharnya saya hutang, dan akan saya bayar ketika saya
mendapatkan pekerjaan”. Cara hutang seperti ini Imam Syafi‟i
melarangnya.36
6. Tujuan dan Hikmah Mahar
Adapun tujuan mahar:
a. Menjadikan jalan istri menjadi senang dan ridha menerima kekuasaan
suaminya kepada dirinya.
b. Menumbuhkan tali kasih sayang dan memperkuat dalam hal cinta
mencintai.
c. Bentuk usaha untuk memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita,
yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya.37
Adapun hikmah dari pemberian Mahar adalah sebagai berikut:
a. Menunjukkan kesungguhan cinta suami dalam menggauli istrinya
dengan cara yang mulia dan untuk menciptakan kehidupan rumah
tangga yang harmonis.38
b. Mengangkat derajat perempuan dan memberikan hak kepemilikannya.
Sehingga diberi hak menerima mahar dari suaminya saat menikah, dan
menjadikan mahar sebagai kewajiban bagi suami untuk menghormati
perempuan dengan memberikan mahar tersebut.
c. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya,
karena mahar itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh al-
Qur‟an diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan),
bukan sebagai pembayar harga wanita.
d. Menunjukkan kesungguhan diri karena menikah dan berumah tangga
bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.
36
Muhammad Iqbal. “Konsep Mahar Dalam Perspektif Mazhab Imam Syafi‟i”, Al-
Mursalah, volume 1, nomor 2, (Desember, 2015,), h. 16. 37
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2017, Cet. Kedua), h.
48. 38
Musthafa Dib al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 (Yogyakarta: Darul Uswah, 2008), h.
665.
22
e. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga
dengan memberikan nafkah, karena laki-laki adalah pemimpin atas
wanita dalam kehidupan rumah tangganya dan untuk mendapatkan hak
itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus
lebih bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap
isterinya.39
B. Uang panaik
1. Pengertian Uang panaik
Uang panaik atau biasa disebut dengan uang belanja adalah biaya
yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam rangka
pelaksanaan pesta pernikahan tersebut.40
pemberian Uang panaik
merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh laki-laki
ketika akan melansungkan perkawinan dimana ditentukan setelah adanya
proses lamaran.41
Uang panaik merupakan syarat yang mengikat untuk
berlangsung atau tidaknya perkawinan, dimana Uang panaik ini menjadi
kewajiban calon mempelai perempuan dan orang tuanya untuk membiayai
segala hal-hal yang berkaitan dengan pesta perkawinan.42
2. Sejarah Munculnya Uang panaik
Simbolik dui menre atau Uang panaik adalah simbolik untuk
warga masyarakat Sulawesi selatan khususnya untuk suku Bugis. 43
Sejarah
Uang panaik ini yaitu pada masa kerajaan Bone dan Gowa Tallo,
Kabupaten Gowa merupakan daerah wilayah inti kerajaan Gowa yang
dimana diketahui dalam sejarah pada abad ke XVII kerajaan Gowa
mencapai puncak kejayaanya di bawah pemerintahan Sultan Muhammad
Said Tumenangari Ball‟ Pangkana. Pada masa itu kerajaan Gowa
39
Abd Kohar, Kedudukan dan Hikmah Mahar dalam Perkawinan. h. 49. 40
Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone
( Bone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007,), h. 16. 41
Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum dan Syariah,
volume 6, nomor 2, (Desember, 2017,), h. 48. 42
Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada Press
Jakarta, 2016), h. 112. 43
Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe
23
memegang Hegemoni dan supremasi didaerah Sulawesi Selatan, bahkan
didaerah Indonesia bagian timur. Dimana ketika seseorang laki-laki ingin
meminang keluarga dari kerajaan atau keturunan raja maka dia harus
membawa seserahan yang menunjukkan kemampuan mereka untuk
memberikan kesejahteraan dan kenyamanan bagi istri dan anak-anaknya
kelak dengan kata lain lelaki tersebut diangkat derajatnya dan isi seserahan
itu berupa Uang panaik yang menjadi syarat wajib dan mutlak untuk
mereka penuhi, Uang panaik kemudian berkembang hingga lapisan kasta
bawah bila ingin menikahi anak gadis dari masyarakat suku Bugis,
anggapan mereka tentang Uang panaik yang tinggi akan bertujuan untuk
mengetahui kesungguhan laki-laki yang ingin menikahi anak gadisnya. 44
Uang panaik dalam tradisi Bugis merupakan sejumlah uang yang
diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita sebagai
sebuah penghargaan dan realitas penghormatan terhadap norma dan strata
sosial. Bagi pria lokal atau yang juga berasal dari Suku Bugis , memenuhi
jumlah Uang panaik di pandang sebagai siri‟ jadi perempuan yang bener-
bener dicintainya merupakan motivasi untuk memenuhi jumlah Uang
panaik sebagai simbol akan ketulusan untuk meminang sang gadis.
Simbolik Uang panaik adalah simbolik untuk warga masyarakat
Sulawesi Selatan khususnya pada suku Bugis dimana pada
perkembangannya sekararang Uang panaik dijadikan sebagai syarat
mutlak dalam adat pernikahan adat Bugis.45
Kompleksitas budaya pernikahan pada masyarakat sulawesi
Selatan merupakan nilai-nilai yang tak lepas dipertimbangkan dalam
pernikahan seperti status sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari
masing-masing keluarga pria dan wanita. Di Sulawesi Selatan satu hal
yang menjadi khas dalam pernikahan yang diadakan yaitu Uang panaik
atau oleh masyarakat setempat disebut doi‟ panai‟.
44
Andi Aminah Riski dkk, ”Money Shopping(Uang panaik) In Marriage Bugis Reteh
District Community Indragiri Hilir”, (Jom.unri.ac.id 2017), h. 4. 45
Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum Dan
Syariah, volume 6, nomor 2, (Desember, 2017,), h. 46.
24
Pernikahan pada suku Bugis bagi sebagian orang sangat
memberatkan mengingat besarnya jumlah doi‟panai‟ atau uang belanja
bagi pihak mempelai pria harus dibayarkan kepada mempelai wanita.
Mestinya bukan mahalnya yang dipersoalkan namun hakikatnya nikah
suku Bugis adalah mempertemukan dua keluarga besar dengan segala
identitas dan status sosial, selain itu juga melestarikan garis silsilah di
masyarakat.
Uang panaik untuk menikahi gadis bugis terkenal tidak sedikit
jumlahnya tergantung pada tingkat starata sosial dan pendidikan dari sang
gadis, adapun pengambilan keputusan akan besarnya Uang panaik
terkadang dipengaruhi oleh keputusan keluarga perempuan (saudara ayah,
ataupun saudara ibu) oleh karena besarnya Uang panaik yang terkadang
tidak mampu diberikan oleh sang lelaki kepada sang perempuan membuat
sang pasangan yang telah saling mencintai ini melakukan tindakan diluar
tradisi Bugis yaitu kawin lari(silariang).
Uang puluhan juta atau bahkan sampai pada ratusan juta menjadi
nominal yang lumrah terlebih lagi jika calon mempelai perempuan adalah
keturunan darah biru punya gelar adat seperti, Karaeng, Andi, Opu, Puang,
dan Petta ataupun tingkat pendidikan calon mempelai perempuan adalah
S1, S2, PNS, Haji, dan lain-lain. Maka Uang panaik akan berpuluh-puluh
bahkan sampai ratusan juta , semakin tinggi nominal Uang panaik maka
semakin tinggi juga citra diri keluarga mempelai dimata masyarakat, itu
fakta yang sekarang terjadi.
Jika jumlah Uang panaik mampu dipenuhi oleh calon mempelai
pria maka hal itu akan menjadi suatu kehormatan bagi bagi pihak keluarga
perempuan. Kehormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa
penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada calon
mempelai perempuan yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta
yang megah untuk pernikahannya melalui Uang panaik tersebut.
Suku Bugis yang menjadi ciri khas dalam pernikahan adalah
pemberian Uang panaik yang bervariasi, tapi jangan menganggap bahwa
25
pemberian Uang panaik itu sudah termasuk mahar yang diberikan calon
mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan, melainkan Uang
panaik dan mahar adalah dua hal yang wajib dipenuhi ketika ingin
menikahi perempuan-perempuan Bugis.
Tapi sebenarnya jika dilihat berdasarkan realitas yang ada, arti
Uang panaik ini sudah bergeser dari arti yang sebenarnya, Uang panaik
sudah menjadi ajang gengsi atau pamer kekayaan. Tak jarang untuk
memenuhi permintaan Uang panaik tersebut calon mempelai pria bahkan
harus berhutang.46
3. Tahapan- tahapan Penyerahan Uang panaik
a. Pihak keluarga laki-laki mengirimkan utusan kepada pihak keluarga
perempuan untuk membicarakan perihal jumlah nominal uang panaik,
pada umumnya yang menjadi utusan adalah tomatoa (orang yang
dituakan)
b. Setelah utusan pihak keluarga laki-laki sampai di rumah tujuan,
selanjutnya pihak keluarga perempuan mengutus orang yang dituakan
untuk menemui pihak dari keluarga laki-laki. Setelah berkumpul maka
pihak keluarga perempuan menyebutkan harga Uang panaik yang
dipatok. Jika pihak keluarga calon suami menyanggupi maka
selesailah proses tersebut, akan tetapi jika merasa terlalu mahal maka
terjadilah tawar menawar berapa nominal yang disepakati antara
kedua belah pihak.
c. Setelah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maka tahapan
selanjutnya membicarakan tanggal kedatangan pihak keluarga laki-
laki untuk menyerahkan sejumlah Uang panaik yang telah disepakati.
d. Tahap selanjutnya adalah pihak keluarga laki-laki datang kerumah
pihak keluarga perempuan pada waktu yang telah disepakati sebelum
menyerahkan Uang panaik tersebut.
46
Rheny Eka Lestari, Mitos dalam Upacara Uang panaik Masyarakat Bugis Makassar.
Skripsi (Jember: Universitas Jember, 2016), h. 6
26
e. Setelah Uang panaik diserahkan selanjutnya membahas mahar apa
yang akan diberikan kepada calon istrinya nanti. Adapun masalah
mahar tidak serumit proses uang panaik. Mahar pada umumnya
disesuaikan kesanggupan calon suami yang akan lansung disebutkan
pada saat itu. Dalam perkawinan suku Bugis pada era sekarang ini
mahar pada umumnya tidak berupa uang akan tetapi berubah barang
seperti tanah, rumah, dan perhiasan.47
C. Perbedaan Mahar dengan Uang panaik
Mahar dan Uang panaik dalam perkawinan adat suku Bugis adalah
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua
hal tersebut memiliki posisi sama dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi.
Walaupun Uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai
suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan.
Sehingga jumlah nominal Uang panaik lebih besar dari jumlah mahar.
Apabila kisaran Uang panaik biasa mencapai ratusan juta rupiah
karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, justru sebaliknya mahar yang tidak
terlalu dipermasalahkan sehingga jumlah nominalnya diserahkan kepada
kerelaan suami yang biasanya berbentuk barang yaitu tanah, rumah, atau satu
set perhiasan. Hal tersebut dapat dilihat ketika prosesi akad nikah yang hanya
menyebutkan mahar dalam jumlah kecil.48
Secara sederhana kedua istilah di atas memang memiliki pengertian
yang sama yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika
dilihat dari sejarah yang melatar belakanginya, pengertian kedua istilah
tersebut jelas berbeda. Mahar adalah kewajiban dalam tradisi Islam,
47
Rheny Eka Lestari, Mitos dalam Upacara Uang panaik Masyarakat Bugis Makassar.
Skripsi (Jember: Universitas Jember, 2016), h. 4. 48
Moh Ikbal, Tinjauan Hukum Islam Tentang Uang panaik Dalam Perkawinan Adat Suku
Bugis Makassar Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar. Skripsi (Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012), h. 20.
27
sedangkan Uang panaik adalah kewajiban menurut adat masyarakat
setempat.49
Dalam adat perkawinan Bugis, terdapat dua istilah yaitu sompa dan
uang panaik. Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta
dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya
perkawinan menurut ajaran Islam. Sedangnkan Uang panaik adalah uang
antaran yang dimana harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai
laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai
prosesi pesta pernikahan.
Sompa secara harfiah berarti ”persembahan” yang sekarang
disimbolkan dengan sejumlah uang rella‟ ( yakni rial, mata uang Portugis
yang sebelumnya berlaku, antara lain di Malaka). Dimana Rella ini ditetapkan
sesuai status perempuan yang akan menjadi hak miliknya. Akan tetapi, sompa
atau mahar jarang terjadi perdebatan karena hal ini dianggap sebagai hal yang
biasa dan diukur sesuai kemampuan calon mempelai laki-laki.
Pada Lontara milik A. Najamuddin dijelaskan bahwa sompa atau
mahar juga mempunyai tingkatan yang berlaku dalam masyarakat muslim
Bone yaitu sebagai berikut:
1. Sompa bocco
Yaitu sompa yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada seorang
perempuan yang berstatus raja ketika dinikahi, yaitu 14 kati doi yang
disertakan pula dengan ata‟(budak) dan seekor kerbau. Sepanjang sejarah
kerajaan Bone bahwa sompa bocco ini hanya berlaku pada diri Bataritoja
sebagai Raja Bone ke 16 dan ke 20.
2. Sompa ana‟ bocco
Yaitu sompa yang diberikan kepada putri raja yang lahir dan
menikah pada saat ibu atau ayahnya sedang menjadi raja, ketika dinikahi
oleh seorang lelaki, yaitu 7 kati doi lama disertakan pula seorang
ata‟(budak) dan seekor kerbau.
49
Ardianto Iqbal, Uang panaik Sebuah Kajian Antara Tradisi Dan Gengsi, (Bandung,
Mujahidi Grafis: 2016), h. 29.
28
3. Sompa ana‟ mattola
Yaitu sompa yang diberikan kepada putri raja yang lahir sebelum
dan sesudah ayahnya/ibunya menjadi raja ketika dinikahi oleh seorang
laki-laki, yaitu 3 kati doi lama disertakan pula seorang ata‟(budak) dan
seekor kerbau.
4. Sompa kati
Yaitu sompa yang diberikan kepada putri raja-raja bawahan ketika
dinikahi oleh seorang lelaki, yaitu 1 kati doi lama disertakan pula seorang
ata‟(budak) dan seekor kerbau.
5. Sompa to deceng
Yaitu sompa yang diberikan kepada putrinya ketika dinikahi oleh
seorang lelaki, yaitu ½ kati
6. Sompa to sama
Masyarakat biasa tapi terpandang yang diberikan ketika putrinya
dinikahi oleh seorang lelaki, yaitu ¼ kati
7. Sompa ata‟
Budak 1/8 kati.50
Sedangkan Uang panaik adalah uang antaran pihak laki-laki kepada
pihak keluarga perempuan untuk digunakan dalam pelaksanaan pesta
perkawinan. Besarnya Uang panaik ini ditentukan oleh keluarga perempuan.
Dimana, sekitaran 20 juta hingga ratusan juta tergantung kesepakatan dari
kedua belah pihak pada saat negoisasi.
Uang panaik tersebut pada masyarakat Bone sangat sensitive dan
sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu lamaran dari seorang laki-
laki kepada seorang perempuan.
Tolak ukur tingginya Uang panaik disebabkan beberapa faktor, seperti:
50
Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada Press
Jakarta, 2016), h. 107-108.
29
1. Status sosial keluarga perempuan apakah dia dari keturunan
bangsawan atau bukan. Namun, untuk sejarang faktor ini sudah tidak
terlalu diperhatikan lagi.
2. Status ekonomi pihak perempuan, semakin kaya calon mempelai
perempuan maka semakin tinggi pula Uang panaik yang dipatok.
3. Jenjang pendidikan, besar kecilnya Uang panaik juga sangat
berpengaruh mengenai jenjang pendidikan calon mempelai perempuan,
apabila tingkat pendidikannya hanya tingkat sekolah dasar maka
semakin kecil pula Uang panaik yang dipatok begitu pula sebaliknya
jika calon mempelai perempuan lulusan sarrjana maka semakin tinggi
pula jumlah Uang panaik yang akan dipatok.
4. Kondisi fisik calon istri, yang dimaksud ialah paras yang cantik, tinggi
badan, kulit putih dll. Semua factor ini tetap saling berhubungan, bila
saja calon istri tidak memiliki paras yang cantic tapi kondisi ekonomi
yang kaya, maka tetap saja Uang panaik akan tetap tinggi.51
5. Perbedaan antara Janda dan Perawan, terdapat perbedaan dalam
penentuan Uang panaik antara perempuan yang janda dan perawan.
Biasanya perawan lebih banyak diberikan Uang panaik dari pada
janda, namun tidak menutup kemungkinan bisa juga janda yang lebih
banyak diberikan jika status sosialnya memang tergolong bagus.52
Perbedaan tingkat sosial masyarakat sangat mempengaruhi terhadap
nilai Uang panaik yang disyaratakan. Hal ini tentulah tidak sejalan
dengan ketentuan dalam agama Islam, dimana Islam tidak membeda-
bedakan status sosial dan kondisi seseorang apakah kaya, miskin,
cantik, jelek, berpendidikan atau tidak. Semua manusia dimata Allah
mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, hal yang membedakan
hanyalah dalam tingkat ketakwaanya.53
51
Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum Dan
Syariah, volume 6, nomor 2, (Desember, 2017,), h. 50-51. 52
Moh. Ikbal . “Uang panaik‟ Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, Al-Hukuma,
volume 6, nomor 1, (Juni, 2016,), h. 203. 53
Moh. Ikbal . “Uang panaik‟ Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”. h. 209.
30
BAB III
BUDAYA MASYARAKAT BUGIS
DI KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN
A. Masyarakat Bugis Kabupaten Bone
1. Potret Daerah Kabupaten Bone
Kabupaten Bone adalah salah satu kabupaten yang terdapat di
dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Terletak di pesisir Sulawesi
Selatan yang berjarak sekitar 174 Km dari kota Makassar, merupakan
peralihan dari kerajaan tua yang terbesar di Sulawesi pada zaman dahulu,
yaitu kerajaan Bone dengan ibu kota Bone kemudian berubah nama
menjadi Lalebbata dan terakhir menjadi Watampone.54
Daerah terbesar
dan mempunyai garis pantai sepanjang 138 Km dari arah selatan ke arah
utara. Secara astronomis terletak dalam posisi 4013- 5
06 lintas selatan dan
antara 119042- 120
030 bujur timur dengan batas-batas wilayah sebagai
berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Wajo dan Soppeng
b. Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Sinjai dan Gowa
c. Sebelah timur berbatasan dengan dengan teluk Bone
d. Sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Maros, Pangkep, dan
Barru
Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone, membagi
wilayah secara administrasi terdiri dari 27 kecamatan, 31 kelurahan, 333
desa, 121 lingkungan, 893 dusun, dengan luas wilayah 4.559 Km. wilayah
kabupaten Bone terkenal sebagai daerah tiga dimensi karena terdapat
gunung-gunung dan hutan yang cukup lebat dengan panorama alam yang
indah, mempunyai daratan rendah yang luas sebagai proyek pertanian
dengan sawah yang terbentang luas termasuk perkebunan rakyat, serta
54
Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada Press
Jakarta, 2016), h. 70.
31
hamparan empang dan laut yang terbentang luas hasul ikannya yang cukup
terkenal.
Daerah kabupaten Bone juga dikenal yang terletak pada ketinggian
yang bervariasi mulai dari 0 meter (tepi pantai) hingga lebih dari 1.000
meter dari permukaan laut. Daerah kabupaten Bone juga termasuk daerah
yang beriklim sedang.55
kelembapan udara berkisar antara 95%-99%
dengan temperature 260C – 43
0C. Pada periode April- September bertiup
angin timur yang membawa hujan. Sebaliknya pada bulan Oktober-Maret
bertiup angin barat, saat dimana mengalami musim kemarau di Kabupaten
Bone. Selain kedua wilayah yang terkait dengan iklim tersebut, terdapat
juga wilayah peralihan yaitu kecamatan Bontocani dan Kecamatan
Libureng yang sebagian mengikuti wilayah barat dan sebagian mengikuti
wilayah timur. Rata-rata curah hujan tahunan di wilayah Bone bervariasi
yaitu rata-rata, 1.759 mm-2000 mm, 2000-2500 mm dan 2500-3000 mm.56
Bugis merupakan suku bangsa yang mendiami wilayah bagian
selatan pulau Sulawesi yang saat ini dikenal dengan Sulawesi selatan.
Orang Bugis merupakan etnis terbesar dengan prosentase 41,90% dari
jumlah penduduk Sulawesi Selatan. Wilayah yang didiami oleh orang
Bugis meliputi Kabupaten/Kota Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng
Rappang, Pinrang, Luwu, Pare-Pare, Barru dan Sinjai. Sementara
Kabupaten seperti Maros, Pangkajene Kepulauan, Bantaeng dan
Bulukumba didiami oleh orang Bugis dan sebagian Makassar. Adapun
daerah seperti Tana Toraja, orang Bugis merupakan etnis minoritas.
Bagi suku-suku bangsa yang tinggal di sekitar orang Bugis,
mengenal mereka sebagai orang yang berkarakter keras dan menjunjung
tinggi kehormatan. Bahkan demi kehormatan (siri‟), orang Bugis rela
melakukan tindakan kekerasan karena siri‟ ini merupakan harga diri yang
mesti dipertahankan. Karakter keras menjadi label orang Bugis karena
55
Abdul Kadir Ahmad, Tradisi Perkawinan di Sulawesi Selatan Akulturasi dalam
Masyarakat Islam, 2006), h. 115-116. 56
Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada Press
Jakarta, 2016), h. 73.
32
keteguhan mempertahankan sesuatu dan keberanian menghadapi
tantangan.57
2. Adat Istiadat dan Agama
a. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada orang Bugis disebut asseajiangeng.
Perhubungan antara seorang anak terhadap sanak kandung dari bapak
adalah sama dengan perhubungan terhadap ibunya, garis keturunan
berdasarkan ke dua orang tua (bilateral).58
Hubungan kekerabatan yang
demikian ini menjadi sangat luas, karena di samping ia menjadi anggota
keluarga dari pihak ibunya, ia juga menjadi anggota keluarga dari pihak
ayahnya.
Keanggotaan dalam suatu kekerabatan disebut ”seajing” yang
dibedakan atas seajing maruppe (kekerabatan dekat) dan seajing
mabela (kekerabatan jauh). Kerabat dekat merupakan kelompok
penentu dan pengendali martabat keluarga. Oleh karena itu anggota
kelompok ini harus selalu dilibatkan dalam menghadapi masalah-
masalah keluarga seperti masalah perkodohan/pelamaran, warisan dan
masalah solidaritas. Masalah solidaritas keluarga lebih menonjol dan
diwujudkan dalam bentuk kegiatan gotong royong untuk mengerjakan
pekerjaan tertentu seperti turut membantu persiapan perkawinan, biaya
perkawinan dan sebagainya.59
Adapun istilah-istilah kekerabatan yang
terdiri reppek mareppek (saudara dekat) diantaranya:
1) Lakkai (suami)
2) Inang riale (Ibu kandung Ego)
3) Amang riale (Ayah kandung Ego)
4) Kajao riale (Ibu kandung ayah/ibu Ego)
5) Toak riale (Ayah kandung dari ayah/ibu Ego)
57
Jabal Hikmah, repository.umy.ac.id/ handle/2014/07/20/konformitas-islam-dan-adat-
potret-fanatisme-keagamaan-di-kalangan-muslim-bugis 58
Dinas kebudayaan dan pariwisata, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi
Selatan (Makassar, 2013), h. 70. 59
Abd Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
(Makassar: Indobis Publishing Makassar, 2006), h. 121-122.
33
6) Anak dara (Saudara-saudara perempuan sekandung ego)
7) Padaorowane (Saudara-saudara laki-laki sekandung ego)
8) Anak riale (Anak kandung dari ego)
9) Eppo riale (Anak-anak kandung dari anak ego)
10) Amaure riale (Saudara-saudara kandung laki-laki dari ayah/ibu
ego)
11) Inaure riale (saudara-saudara kandung perempuan/ayah ego)
Mereka ini adalah sanak keluarga yang dianggap inti, ego tidak
boleh menjadikan salah seorang diantaranya sebagai isteri.60
b. Stratifikasi Sosial
Lapisan sosial tradisional masyarakat Bugis Bone membedakan
status menurut tinggi arunnya (keturunan). Ukuran yang digunakan
adalah soal asal keturunan sebagai unsur primer. Oleh karena itu, perlu
dibedakan terlebih dahulu jenis-jenis keturunan yang terdapat di
kabupaten Bone secara umum dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu:
1) Golongan Bangsawan (arung) yang lapisan keturunannya kerabat
raja, yang bergelar Andi atau Petta.
2) Golongan tau deceng , yaitu keturunan orang baik-baik yang
darahnya belum tercampur dengan golongan hamba sahaya. Pada
dasarnya adalah keturunan bangsawan, yaitu kawin mawin antara
bangsawan atau todeceng dari daerah lain dari keturunan itulah
lahir “todeceng” mereka ini bergelar daeng.
3) Golongan tosama, adalah golongan kebanyakan bukan ata (budak
saat ini tidak dikenal lagi dikalangan masyarakat Bone.
Secara sederhana masyarakat Bone membedakan lapisan Sosial
berdasarkan gelar yang dipakai seseorang. Strata arung dikenal dengan
gelar “Andi” dan nanti setelah kawin mendapat gelar tambahan “petta”,
sehingga seorang bangsawan setelah kawin akan bernama “Andi..
Petta”. Akan tetapi pengawasan terhadap gelar tersebut tidak sekokoh
60
Dinas kebudayaan dan pariwisata , Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi
Selatan (Makassar, 2013), h. 77.
34
dulu lagi, sehingga kalaupun ada pelanggaran tidak ada sangsi seperti
dulu, paling-paling ada beberapa orang yang mencemooh secara
sembunyi-sembunyi. Di samping itu perkawinan merupakan salah satu
alat untuk meningkatkan status bagi keturunannya, khususnya bagi
orang strata bawah bila kawin dengan orang strata tinggi. Pelapisan lain
juga muncul dengan berkembangnnya nilai-nilai yang dianggap
berharga oleh masyarakat Bone adalah di samping keturunan maka
kekuasaan, kekayaan, pendidikan dan kesaktian telah pula dianggap
berharga.61
3. Islam dan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone
Sebagai salah satu suku dengan komunitas yang besar, suku bugis
dikenal sebagai suku yang memiliki falsafah hidup yang sangat kuat dalam
mengarungi kerasnya kehidupan. Cerita tentang bagaimana nenek moyang
bugis yang dikenal sebagai pelaut ulung yang yang dengan gagah berani
menaklukkan tinggi dan derasnya gelombang dan samudera adalah salah
satu realitas storis yang tidak terbantahkan. Dalam mengahapi berbagai
tantangan kehidupan, nenek moyang bugis memiliki nilai yang menjadi
insppirator penggerak etos kerja mereka yaitu paseng dan pangedereng.
1) Paseng
Paseng dapat diartikan sebagai suatu pesan atau amanah yang
harus dijaga dan pertanggungjawabkan. Menjaga paseng merupakan
suatu pertaruhan harga diri dan kehormatan karena bisa menjadi garis
pembatas antara kemuliaan dan kehinaan seseorang dalam hidupnya.
Secara rinci, paesng dapat dijabarkan menjadi lima bagian yaitu:
2) Lempu
Lempu adalah salah satu paseng dalam nilai Bugis yang
bisa bermakna kejujuran. Menurut Albert Hendra Wijaya,
kejujuran jika diartikan secara baku adalah “mengakui, berkata atau
memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan
61
Abd Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan Di Sulawesi Selatan Dan Sulawesi Barat
(Makassar: Indobis Publishing Makassar, 2006), h. 124-126.
35
kebenaran”.62
Hal ini mengisyaratkan bahwa seseorang baru bisa
dikatakan jujur apabila ia mampu untuk berkata sesuai dengan
kenyataan. Antitesanya adalah seseorang yang berkata yang tidak
sesuai dengan kenyataan merupakan orang yang tidak jujur yang
dalam pandangan Islam bisa dikatakan sebagai orang munafik.
Dalam perspektif nilai bugis, kejujuran banyak
digambarkan dalam petuah-petuah orang bijak yang dikenal dengan
silasa. Dalam kumpulan Andi Palloge Petta Nabba dikatakan
”Sabbinna Lempu‟e Limai iyanaritu: 1) narekko salai,
naengngangi asalanna, 2) narekko rionroi sala, naddampengi tau
ripassalanna 3) narekko risanresiwi, de‟napacekoyyang, 4)
narekko rirennuangi , de‟napabellieyyang, 5) narekko majjanciwi,
narupaiwi jancinna”. Ungkapan ini menggambarkan bahwa kalau
seorang sudah bisa memahami kesalahannya, maka sekurang-
kurangya ia telah memiliki kejujuran dalam menilai diri sendiri
karena seringkali kesalahan orang lain Nampak lebih jelas daripada
kesalahan diri sendiri.63
3) Getteng
Getteng adalah salah satu paseng dalam nilai bugis yang
bisa bermakna keteguhan, ketegasan, serta kesetiaan pada
keyakinan. Keteguhan hati adalah sifat penting seorang beriman.
4) Ada Tongeng
Ada tonging adalah salah satu paseng dalam nilai bugis
yang bermakna satu kata dengan perbuatan. Dalam kumpulan Andi
Macca Amirullah, dikatakan “pasiceppei‟I lilamu nabatelamu”.
ungkapan ini menggambarkan bahwa ada tonging memeliki perang
sentral dalam mengokohkan harga seorang dalam kehidupan
bermasyarakat. Harga diri seorang ditentukan oleh caranya
menyelaraskan ucapan dan perbuatannya. Semakin selaras antara
62
Albert Hendra Wijaya, Kejujuran, eprints.ung.ac.id. (diunduh pada Rabu, 8 Mei 2019) 63
Syarifuddin Latif. “Meretas Hubungan Mayoritas-Minoritas Dalam Perspektif Nilai
Bugis”, Jurnal Al-Ulum, volume 12, nomor 1, (Juni, 2012,), h. 103-105.
36
kata dan perbuatannya, maka semakin tinggi harga dirinya,
sementara semakin berbeda antara kata dan perbuatannya, maka
semakin rendah harga dirinya.
5) Sipakatau sipakalebbi
Sipakatau sipakalebbi adalah salah satu paseng dalam nilai
bugis yang bermakna saling menghormati. Ucapan ini cukup
popular di kalangan masyarakat Bugis. Dalam kumpulan Andi
Palloge Petta Nabba disebutkan “tessisampoang uring-lowa‟,
tessisebbokeng pamuttu (tidak saling menutupkan belanga, tidak
saling membocorkan periut). Ungkapan ini menggambarkan bahwa
perlu ada semangat tolong menolong satu sama lain oleh seluruh
komponen dalam kehidupan bermasyarakat yang digambarkan
dengan tidak saling menutupkan belanga. Sementara itu, makna
“tidak saling membocorlan pelanga” bisa berarti saling
menghormati satu sama lain tanpa ada keinginan buruk untuk
merusak tatanan kehidupan kelompok yang lain. paseng sipakatau
sipakalebbi bukanlah berarti suatu nilai bugis yang menempatkan
pelakunya sebagai orang yang berada pada posisi satu tingkat di
bawah orang yang dihormati. Bahkan sebaliknya, menghormati
orang dalam bingkai sipkatau sipakelebbi justru juga turut
meninggikan kehormatan dan kemulian orang yang menghormati.
Dalam kumpulan Haji Andi Ninnong dikatakan “akkai padammu
rupa tau natanrereko (angkatlah sesamamu manusia supaya
engkau juga ditungjang)”.64
Ungkapan ini menggambarkan bahwa
kalau seseorang mengharapkan penghargaan dari orang lain,
hendaknya ia mulai dengan menghargai orang lain terlebih dahulu.
Penghargaan akan datang karena ada sesuatu yang patut dihargai,
dan salah satu yang patut dihargai adalah menghormati dan
menghargai orang lain.
64
A. Hasan Machmud, silasa: Kumpulan Petuah Bugis Makassar (Bakti Centra Baru,) h.
37.
37
6) Mappesona ri Dewata Seuwwae
Mappesona ri Dewata Seuwwae adalah salah satu paseng
dalam nilai bugis yang bermakna berserah diri pada Tuhan Yang
Maha Esa. Nilai bugis ini merupakan wujud kepasrahan diri
seorang hamba pada Tuhannya. Mappesona ri Dewata Seuwwae
disampaikan oleh Pollipue Matinroe Ritanana dalam lontara Andi
Makkaraka Ranreng Battempola yang mengatakan “narekko engka
kedo ri atimmu, itai siya riyolo‟ cappa‟na muinappa pegau‟i apa‟
duwairitu kedona atie: seu‟wani kedo marenni‟i, maduanna kedo
mawessa‟i narekko kedo marenni‟i, madecengi ritu ripesiga-
sigakiwi pagau‟i sarekko ammeng‟i napajajiwi Dewata‟e deceng.
Narekko kedo mawessai, ammatu-matuwangi kuwammeng‟i
tennapajajiwi Dewatae ja‟ (andaikan ada terlintas dalam hatimu,
tinjaulah dulu akibatnya baru dilaksanakan. Sebab dua macam
gerak dari hati yaitu gerak kecil dan gerak besar. Kalau geraknya
kecil, sebaiknya dipercepat pelaksanaanya semoga Tuhan
merahmati dengan kebaikan. Kalau geraknya besar, perlambatlah,
semoga Tuhan tidak menjadikannya sebagai keburukan).65
5. Pangadereng
Pangadereng adalah sistem budaya dan sistem sosial yang dapat
diartikan sebagai keseluruhan kaidah yang meliputi cara-cara seseorang
bertingkah laku terhadap sesama manusia yang dapat mengakibatkan
adanya gerak kehidupan bermasyarakat.66
Pengertian ini
mengisyaratkan bahwa pangadereng merupakan wujud kebudayaan
yang hadir di tengah-tengah manusia untuk mengatur dan menjaga
stabilitas kehidupan sosial bermasyarakat. Dalam naskah Latoa alinea
65
A. Hasan Machmud, silasa: Kumpulan Petuah Bugis Makassar h. 1-2. 66
Naskah latoa, alinea: 48, 49, dan 68 yang dikutip dari Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem
Pangedereng (Adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam
Lontarak Latoa (Disertasi; Yogyakarta: PPS IAIN Sunang Kalijaga, 1995), h.137.
38
48-49, digambarkan bahwa Pangedereng mencakup lima komponen
yaitu adek, rapang,bicara, warik, serta sarak.67
1) Adek
Adek (adat) adalah kebiasaan yang menjadi norma
kesusilaan dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Andi
Rasdiyanah, istilah tua di bugis tentang adek adalah beccik (alat
pelurus). Adek merupakan manifestasi aspek kebudayaan yang
dapat berwujud nilai ideal berupa hukum adat yang disebut
sinkerruang, kelakuan-kelakuan yang disebut barangkauk, ataupun
dalam bentuk fisik yang disebut abbarangparangeng, hal ini
mengisyaratkan bahwa adek merupakan aspek pangedereng yang
menjelma dalam berbagai aspek kehidupan sosial bermasyarakat
orang bugis.
2) Rapang (Persamaan Hukum)
Menurut bahasa, rapang adalah contoh, umpama atau
perumpamaan. Makna etimologi ini menunjukkan bahwa rapang
sebagai salah satu pangadereng orang bugis bisa menjadi acuan
dalam pengambilan keputusan sehingga seseorang tidak bisa
mengambil keputusan dalam adek sebelum mengambil
perumpamaan pada kejadian yang serupa pada masa lalu.
Implikasinya, seseorang tidak boleh mengambil landasan baru
apabila sebelum itu telah pernah peristiwa yang sejenis dan terbukti
bermanfaat. Oleh karena itu, Andi Rasdiyanah mengatakan bahwa
rapang bisa berfungsi sebagai stabilitator yang menjaga konsistensi
suatu nilai pada waktu lampau untuk tetap eksis sampai sekarang,
bahan perbandingan yang membandingkan suatu ketetapan di masa
lampau yang pernah terjadi atau semacam yurispudensi. Hal seperti
ini umumnya dilakukan apabila ada suatu kejadian yang belum
termaktub dalam adek, maka rapang bisa menjalankan fungsi kiyas,
67
Naskah latoa, alinea: 48, 49, dan 68 yang dikutip dari Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem
Pangedereng (Adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam
Lontarak Latoa., h. 137-138.
39
serta alat pelindung yang berwujud pemmali-pemmali (pantangan)
atau pappaseng (pesan-pesan) yang berfungsi melindungi hak-hak
individu atau kelompok dalam kehidupan bermasyarakat.68
3) Bicara (Undang-Undang)
Yang dimaksud dengan bicara dalam pangadereng adalah
semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan, hukum
acara peradilan, serta kadang-kadang juga mencakup musyawarah
dalam menetapkan hukum adat. Dengan demikian, bicara bisa
diartikan sebagai aspek pangadereng yang mempersoalkan hak dan
kewajiban tiap-tiap individu dalam interaksi kehidupan
bermasyarakat.
4) Warik (Pelapisan Sosial)
Warik adalah salah satu unsur yang menjalankan fungsi
pembedaan . warik juga bisa diartikan sebagai ketentuan tentang
pelapisan sosial yang berfungsi mengatur batas-batas antara hak dan
kewajiban individu-individu dalam kehidupan bermasyarakat.
5) Sarak
Sarak adalah unsur pangadereng yang diambil dari ajaran
Islam untuk melengkapi empat unsur pangadereng sebelumnya
yaitu adek, rapang, bicara, dan warik. Dalam kaitannya dengan
pola interaksi adek dengan sarak. Datuk ri Bandang pernah
membuat sebuah piagam sarak yang berbunyi ( persetujuan antara
adat dan sarak, sarak menghormati adat, adat memuliakan sarak,
adat dan sarak tidak saling membatalkan keputusan, kalau sarak
tidak dapat memutuskan suatu perkara, sarak bertanya pada adat,
keduanya tidak akan keliru dalam keputusan).69
68
Naskah latoa, alinea: 48, 49, dan 68 yang dikutip dari Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem
Pangedereng (Adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam
Lontarak Latoa., h. 16. 69
Sewang, Ahmad A., Islamisasi Kerajaan Gowa : Abad XVI sampai Abad XVII (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.145.
40
B. Prosesi Perkawinan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone
Perkawinan dalam pandangan masyarakat adat, bahwa perkawinan itu
bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga
serta kekerabatan yang rukun dan damai. Dikarenakan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat adat yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut serta
menyangkut terhadap kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan
dalam masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan
tata tertib adat agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang
memalukan yang akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan keluarga
dan kerabat yang bersangkutan.70
Sesuai dengan kenyataan dalam
masyarakat, suku Bugis yang terbesar menganut agama Islam sehingga
pernikahan bukan saja berarti ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai
suami dengan seorang wanita sebagai isteri, tetapi juga lebih dari itu,
pernikahan merupakan pertalian hubungan kekeluargaan antara pihak pria
dengan pihak wanita yang akan membentuk rukun keluarga yang lebih besar
lagi.71
Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala “saling mengambil
satu sama lain”. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal balik. Walaupun
mereka berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami-isteri mereka
merupakan mitra. Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua
mempelai semata, akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua
keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya untuk
mempereratnya (ma‟pasideppe‟ mabelae atau mendekatkan yang sudah
jauh). Hal ini juga sering ditemukan dua sahabat atau mitra usaha yang
bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka
sejak kecil.72
70
Tolip Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung:
Penerbit Alfabeta, 2013), h. 225. 71
Andi Nurnaga N, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis (Makassar: Cv. Telaga
Zamzam, 2002), h. 3. 72
Cristian Pelras, The Bugis, Penerjemah Rahman Abu dkk.. (Jakarta: Nalar, 2006), h.180.
41
Pernikahan (mappabotting) bagi suku Bugis dipandang sebagai suatu
yang saklar, religius, dan sangat dihargainya. Oleh sebab itu lembaga adat,
yang telah lama ada, mengaturnya dengan cermat, penuh tata krama, dan
sopan santun serta saling menghargai satu sama lain. Dalam pelaksanannya
terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:
1. Makkapese‟-kapese dan Mattiro
Makkapese‟-kapese‟ maksudnya ialah tahap penjajakan, tahap
dimana perwakilan dari keluarga besar pihak laki-laki mulai menjajaki
(mencari tahu) perempuan mana yang akan disandingkan dengan calon
mempelai laki-laki, lalu kemudian dilanjutkan dengan mattiro dimana
pihak keluarga juga akan mencari tahu tentang calon pengantin
perempuan yang akan dilamar, apakah ia sempurna secara fisik atau
memiliki kekurangan tertentu.
Setelah itu bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan
laki-laki diteliti secara saksama untuk mengetahui status kebangsawanan
mereka sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat pelamar lebih rendah
dari tingkat perempuan yang akan dilamar.73
2. Madduta/Massuro
Melamar atau meminang adalah kelanjutan daripada tahap
pertama (Mappesse-pesse) dengan mmengutus orang yang dituakan dari
kalangan pihak keluarga laki-laki ke rumah orang tua pihak perempuan
untuk menyatakan lamarannya secara resmi. Biasanya diutus 6 orang
yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Apabila lamarannya diterima,
maka sekaligus membicarakan hal-hal yang menyangkut pesta
perkawinan, seperti uang belanja, mahar, leko, pakaian pengantin serta
penentuan hari H. Hal ini juga biasnya dimusyawarahkan sebatas
lingkungan keluarga terdekat saja.74
73
Andi Nurnaga, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, (Makassar: CV, Telaga
Zamzam, 2001), h.19-20. 74
Abdul Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan sulawesi Barat,
(Makassar: Penerbit Indobis, 2006), h. 139-140.
42
3. Mapettu Ada‟
Mapettu ada‟ ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil
pembicaraan yang diambil pada waktu pelamaran dilakukan, dalam
bahasa Bugis dinamakan “mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko,
maskawin, hari akad nikah, dan lain-lain sebagainya. Jika di Bone
mapettu ada‟ ini dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara
pihak pria dengan juru bicara pihak perempuan.75
Adapun yang
dibicarakan dalam rangkaian acara mapettu ada‟ adalah sebagai berikut;
a) Tanra Esso, penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan
sangat perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti sewaktu-
waktu yang dianggap luang bagi keluarga. Jika keluarga, baik laki-
laki atau perempuan itu petani, biasanya mereka memilih waktu
sesudah panen.76
b) Paenre‟ atau uang panai
c) Leko (seserahan). Adapula hadiah-hadiah yang biasa disebut dengan
leko. Leko ini diberikan pada waktu mengantar pengantin laki-laki ke
rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah.
Biasanya leko ini berisikan seperti kelengkapan untuk pengantin
perempuan yang terdiri dari make up, sepatu, dan lain sebagainya.77
d) Sompa atau sunrang (Mahar)
e) Sompa atau mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada
perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah
satu syarat sahnya pernikahan. Jumlah sompa sebagaimana yang
diucapkan oleh mempelai laki-laki pada saat pernikahan (akad
nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi menurut
tingkatan kebangsawanan seseorang.78
75
Abdul Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan sulawesi Barat, h.140. 76
Andi Nurnaga, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, (Makassar: CV, Telaga
Zamzam, 2001), h.18. 77
Andi Nugraha, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, h.51. 78
Asmat Riady lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,
2007. h. 16.
43
4. Mappabotting
Hari perkawinan dimulai dengan mappaenre‟ balanja, ialah
proses dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum
kerabatnya pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam
makanan, pakaian wanita dan maskawin. Sampai di rumah mempelai
wanita maka dilansungkan upacara pernikahan atau aggaukeng. Pada
pesta itu para tamu yang diundang memberi kado atau uang sebagai
sumbangan (soloreng). Beberapa hari sesudah pernikahan, pengantin
baru mengunjungi keluarga suami dan tinggal beberapa lama disana.
Dalam kunjungan itu isteri harus membawa pemberian-pemberian
untuk semua anggota keluarga suami. Kemudian ada kunjungan ke
keluarga isteri, juga dengan pemberian-pemberian untuk mereka
semua. Pengantin baru juga harus tinggal untuk beberapa lama di
rumah keluarga itu. Barulah mereka dapat menempati rumah mereka
sendiri nalaoanni alena. Hal itu berarti mereka sudah membentuk
rumah tangga sendiri.79
C. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
Pandangan yang berkembang di kalangan masyarakat Bugis Sulawesi
Selatan, menyebutkan bahwa agama Islam pertama datang ke daerah ini pada
awal abad ke 17. Islam diperkenalkan pertama kalinya oleh para muballig
dari Minang Kabau, Sumatera Barat yang ketika masih berada dibawah
kesultanan Aceh. Mengenai hal ini, Mattulada dalam bukunya Sejarah
masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, menyebutkan bahwa seorang
ulama dari Morainangkabau Tengah, Sumatera Barat, bernama Abdul Kadir
Khatib Tunggal tiba di pelabuhan Tallo pada tahun 1605 dengan menumpang
sebuah kapal perahu. Setibanya di pantai, ia kemudia melakukan shalat yang
mengerangkan rakyat. Ia menyatakan maksud kedatangannya untuk
menhgadap raja. Raja Tallo yang mendengar berita itu lansung bergegas ke
79
Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat,, ed., Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, h. 267-268.
44
pantai untuk menemui orang yang berbuat aneh itu. Di tengah perjalanan ke
pantai, di pintu gerbang halaman istana Tallo, Raja bertemu dengan seorang
tua yang menanyakan tentang tujuan perjalanan raja. Orang tua itu kemudian
menulis sesuatudi atas kuku ibu jari Raja Tallo. Ternyata adalah tulisan yang
berlafazkan ”Surah alfatihah.80
Peristiwa masuknya Islam Raja Tallo pertama terjadi pada malam
jumat 22 September 1605 atau 9 Jumadil Awwal 1014 H. Melihat sejarah
Islam di Sulawesi Selatan, akan selalu diidentikkan dengan kedatangan tiga
mubalig dari Minangkabau yakni Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk
ri Patimang. Kedatangan mereka pada abad ke-17 dianggap sebagai peletak
dasar ajaran Islam di daerah ini. Tiga muballig ini berhasil mengislamkan
elite-elite kerajaan Gowa Tallo dan menjadikan Islam sebagai agama resmi
kerajaan pada tahun 1607. Menurut pakar Islam Sulsel Prof Ahmad M.
Sewang, keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal abad
XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari
Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang
pada permulaan Abad XVII dari Kota Tangah. Dikenal dengan nama Datuk
Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib
Tunggal, lebih populer dengan nama Datuk Ri Bandang; Sulaiman, Khatib
Sulung, lebih Populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad,
Khatib Bungsu, lebih dikenal dengan nama Datuk Ri Tiro. Ketiga ulama
tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk
mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.81
Ketiga ulama tersebut, setiba di Makassar mereka tidak lansung
melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusub strategi dakwah. Mereka
memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang waktu itu banyak
tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah
80
Anzar Abdullah. “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita,
volume 26, nomor 1, (2012,), h. 87. 81
Herni Amir, ”Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”, artikel diakses pada 17 Mei 2019
dari http:/daerah.sindonews.com/read/881803/29/jelajah-tiga-datuk-di-sulawesi-selatan-
1404994262
45
Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh yaitu Raja Tallo
dan Raja Gowa. Setelah mendapat penjelasan tersebut mereka berangkat ke
Luwu untuk menemui Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Datuk luwu
adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua
dan tempat asal nenek moyang raja-raja sulawesi selatan.82
Buku “Menyikap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan” oleh
H.A Massiara Dg. Rafi, disebutkan bahwa penyebaran Islam dilakukan
melalui pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Adapun pendekatan
struktural dilakukan oleh kerajaan Gowa Tallo dengan menyebarkan Islam
kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan
lainnya. Adapun cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan
pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama
antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang
berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau
daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari
mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.
Sedangkan pendekatan secara kultural dilakukan dengan cara kerajaan
mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah.83
Adat dan Islam menyatu sehingga sulit untuk membedakan atau
memilah antara keduanya. Sementara pernikahan dipandu dengan ajaran
agama, pengiriman undangan, penghormatan terhadap orang tua, pemilihan
pasangan, jamuan makan dan persiapan menjadi pasangan keluarga baru,
semuanya dilangsungkan dengan spirit Islam. Adapun implementasi dan
prosesi yang ada semata-mata menggunakan cara pandang orang Bugis
terhadap lingkungannya. Dalam hal ini Islam diterima sebagai pegangan
hidup walaupun tidak menggunakan tata cara yang digunakan dalam tradisi
Arab. Ini menunjukan bahwa sejak awal orang Bugis sudah memiki cara
hidup tersendiri yang sesungguhnya tetap tidak di tolak dalam pelaksanaan
hukum Islam.pernikahan cara orang Bugis tetap dipertahankan dalam
82
Herni Amir, ”Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”. 83
Herni Amir, ”Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”.
46
lingkungannya masing-masing, bahkan ketika jauh dari tanah leluhur tata cara
dan upacara yang menjadi warisan turun-temurun di tanah Bugis juga
dilakukan di tanah rantau.84
84
Ismail Suwardi Wekke. “Islam dan Adat Dalam Pernikahan Masyarakat Bugis di Papua
Barat”, Thaqafiyyat, volume 13, nomor 2, (desember 2012,), h. 329
47
BAB IV
MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pandangan hukum Islam terhadap Mahar dan Uang panaik
Masyarakat suku Bugis adalah suku yang bedomisili di Sulawesi
Selatan, ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat istiadatnya,
suku Bugis tergolong kedalam suku Melayu, setelah migrasi pertama kali dari
daratan Asia, kata Bugis berasal dari kata To Ugi, yang artinya orang Bugis,
dalam perkembangannya, masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan
kebudayaan dan bahasa. Suku Bugis sangat menjunjung tinggi harga diri dan
martabat sehingga ada istilah siri‟ (harga diri) yang dimana dipergunakan
untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau menginjak harga
dirinya jadi, suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang
mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang.85
Di dalam masyarakat suku Bugis juga mengenal beberapa kerajaan
salah satunya kerajaan Bone. Selain kerajaan di dalam masyarakat Bugis juga
mengenal beberapa tradisi adat yaitu, tradisi tujuh bulanan, kematian dan
perkawinan. Khususnya perkawinan di Kabupaten Bone memiliki tradisi
tersendiri dalam hal pelaksanaan perkawinan yaitu adanya kewajiban dari
pihak mempelai laki-laki untuk memberikan uang panaik. Pada zaman dahulu
uang panaik itu dikatakan sebagai ”pengelli darah” maksudnya ketika
seorang perempuan mengatakan lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki dari
segi status sosialnya maka untuk tidak menolak tapi sama dengan menolak
dipatoklah harga tinggi kalau pihak laki-laki kemudian menyanggupi maka
dinamakanah “melli darai”.86
pada masa sekarang dijadikan sebagai syarat
untuk terlaksananya sebuah perkawinan. Dalam pelaksanaan tradisi
perkawinan Bugis terdapat tahap-tahap yang wajib dilakukan oleh masyarakat
yang ingin melansungkan perkawinan, adapun tahap-tahapnya yaitu:
85
Hajra Yansa dkk. “Uang panai‟ dan Status Sosial Perempuan dalam Perspektif Budaya
siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan”, Jurnal Pena, volume 3, h. 3.
86
Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh adat), 27 Mei 2019.
48
a. Mappesek-pesek, yaitu suatu acara untuk mengetahui apakah si gadis
yang telah dipilih tersebut belum ada yang mengikatnya dan apakah ada
kemungkinan untuk diterimah dalam pinangan tersebut setelah diketahui
bahwa perempuan tersebut belum ada yang mengikatnya maka pihak
laki-laki mengutus beberapa orang keluarganya untuk datang
menyampaikan lamarannya.
b. Madduta, Mengirim utusan untuk mengajukan lamaran dari seorang laki-
laki untuk seorang perempuan tersebut, setelah lamaran diterima maka
berlanjut pada tahap selanjutnya.
c. Mappettu ada, Musyawarah untuk merundingkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pelaksanaan upacara perkawinan seperti penentuan
melakukan perkawinan (Tanra esso) penentuan hari perkawinan, dimana
hari yang ditentukan harus dihubungkan dengan hari yang paling baik.
Sebab, ada kepercayaan pada masyarakat Bugis tentang kesuksesan dan
kelancaran dalam melaksanakan prosesi perkawinan. Uang panaik (uang
balanca) dan mahar (sompa). Di tahap inilah keluarga pihak laki-laki
melakukan musyawarah terkait besaran Uang panaik jadi, disini juga
memperlihatkan bagaimana kepintaran menyampaikan bahasa yang tidak
menyinggung perasaan keluarga pihak perempuan ketika seandainya
Uang panaik yang telah dipatok tidak sesuai dengan permintaan keluarga
pihak perempuan.87
Jika salah satu tahap tersebut tidak dilaksanakan perkawinan itu
dianggap kurang lengkap bahkan dapat mengakibatkan batalnya perkawinan.
Dan dibalik semua tahap-tahap tradisi itu semua memiliki nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Salah satu tradisi dalam masyarakat Bugis yang
dibahas dalam skripsi ini adalah tentang pemberian ”Uang panaik”adapun
nilai yang terkandung.
a. Nilai sosial, Uang panaik mengandung nilai sosial yang sangat
memperhatikan derajat sosial atau strata sosial seseorang, sebagai tolak
87
Imam Ashari ”Makna Mahar Adat dan Status Sosial Perempuan dalam Perkawinan Adat
Bugis di Desa Penengahan Kabupaten Lampung Selatan”( Bandar Lampung: Skiripsi UNILA,
2016)., h. 20-21
49
ukur dari uang panaik. Nilai derajat sosial sangat mempengaruhi tinggi
rendahnya uang panaik. Karena nilai sosial tersebut maka hubungan
antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak perempuan menciptakan
keluarga yang bervariasi dan kaya akan perbedaan namun sama akan
tujuan;
b. Nilai kepribadian, Uang panaik memiliki nilai atau pandangan pribadi
masyarakat yang menurut sebagian besar masyarakat adalah sebagai
bentuk bersatunya dua insan dalam pernikahan yang mewah. Ada
kepuasan tersendiri dalam diri masyarakat yang mempunyai panaik
tinggi, untuk pihak laki-laki tidak lagi menjadi beban karena semuanya
dapat terpenuhi, dan bagi pihak perempuan tidak akan mengalami
kesusahan serta berjalan lancar dan dapat mengundang keluarga besar,
sanak keluarga, sahabat, dll ketika Uang panaik mencukupi persiapan
pernikahan tersebut;
c. Nilai religious, Uang panaik bukan merupakan bagian yang ada dalam
ajaran agama, tetapi merupakan sebuah budaya. Sebagai sebuah budaya,
Uang panaik memiliki dampak yang yang ditimbulkan, segi positif dari
adanya Uang panaik yaitu berjalan lancarnya suatu pernikahan. Selain itu
dengan adanya Uang panaik pihak-pihak dapat berbagi satu sama lain,
sehingga salah satu sunnah rasul dapat dilaksanakan karena bernilai
ibadah;
d. Nilai pengetahuan, Pengetahuan dari Uang panaik dapat menambah
wawasan masyarakat dalam memaknai dan menjadi pelajaran bagi
perempuan, serta motivasi bagi laki-laki sebab makna sesungguhnya dari
Uang panaik adalah bentuk penghargaan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan dengan usaha dan kerja keras. Sebagai pelajaran dalam
mengambil keputusan yang tidak hanya memangdang dari strata sosial
masyarakat namun dari usaha dan kerja keras laki-laki.88
88
Hajra Yansa dkk. “Uang panai‟ dan Status Sosial Perempuan dalam Perspektif Budaya
siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan”, Jurnal Pena, volume 3, h.7-9.
50
Penulis juga menemukan beberapa istilah kebudayaan Bugis yang
menjelaskan makna dibalik penetapan Uang panaik dalam masyarakat Bugis.
Tokoh adat maupun tokoh agama mengatakan bahwa makna filosofis yang
terkandung dalam ketentuan mahar dan Uang panaik tersebut merupakan
representasi dari prinsip budaya (Sipakatau, sipakalebbi, sipakainge) yang
dipegang teguh oleh masyarakat Bugis. Makna dari ketiga ungkapan tersebut
yaitu.
a. Sipakatau, Dapat kita pahami sebagai ungkapan memanusiakan manusia
yaitu setiap orang harus paham posisinya seperti apa, harus tau diri dalam
hal apapun yang nantinya akan tercipta hidup yang harmonis. Tidak ada
tindakan yang merendahkan, mencibir atau hal lain yang membuat sakit
hati dan sebagainya;
b. Sipakalebbi,, Sifat manusia yang selalu ingin dihargai. Maka sifat ini
adalah wujud apresiasi dimana sifat yang mampu melihat sisi baik dari
orang lain dan bertutur kata yang baik juga;
c. Sipakainge, Maksudnya ialah saling mengingatkan yang dimana hal ini
berkaitan dengan kesolidaritan, saling menasehati jangan sampai seseorang
terjebak dalam hal-hal yang negative.89
Dari pemaparan di atas ternyata ada juga masyarakat yang tidak
setuju dengan praktek pemberlakuan uang panaik yang masih dipertahankan
karena dapat menimbulkan efek-efek sosial (seperti terjadi kawin lari akibat
seorang pemuda harus mengeluarkan biaya-biaya yang terkadang dianggap
tidak masuk akal), atau bahkan sampai ada yang melakukan bunuh diri karena
ketidakmampuan menunaikan uang panaik yang dipatok oleh pihak calon
mempelai perempuan yang terlalu tinggi. Contoh kasus yang terjadi di
Jeneponto antara Isa dan Ramli dimana keluarga Isa mematok uang panaik
sebesar 15 juta, sedangkan dari pihak keluarga Ramli hanya mampu
memberikan uang panaik sebesar 10 juta, dan pihak keluarga Isa-pun tetap
tidak menirima kesanggupan pemberian uang panaik dari pihak keluarga
Ramli tersebut. Akhirnya mereka nekat melakukan kawin lari, namun
89
Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh adat), 27 Mei 2019.
51
beberapa waktu kemudian Ramli sempat kembali pulang kekeluarga Isa dan
mengakhiri kawin larinya untuk mengupayakan kembali memberi uang
panaik kepada keluarga Isa, namun si Ramli-pun tetap ridak mampu
memenuhi permintaan pihak keluarga perempuan dan akhirnya Isa merasa
putus asa kemudian melakukan upaya bunuh diri dengan meminum racun
rumput.90
Mahar dan Uang panaik dalam perkawinan adat Bugis adalah suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal
tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban dan harus dipenuhi.
Akan tetapi uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai
suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan.
Sehingga jumlah uang panaik yang ditentukan oleh pihak keluarga
perempuan biasanya lebih banyak daripada jumlah mahar yang diminta dan
biasanya sudah menjadi kebiasaan sebagian orang menentukan uang panaik
itu melihat dari segi strata sosial.91
Idealnya dalam Islam sebenarnya uang panaik itu jangan ditentukan
jumlahnya atau sampai melihat kebeberapa faktor untuk menentukan tinggi
rendahnya uang panaik tersebut. Yang penting ada dan sesuai kemampuan
laki-laki karena sesungguhnya uang panaik ini bukan standar melainkan
kesepakatan bersama dimana uang panaik ini atau yang biasa disebut dengan
uang belanja adalah adat bukan agama, yang agama itu adalah mahar dan
mahar tidak pernah membatalkan pernikahan karena mahar tidak mengatakan
seratus juta dan sebagainya melainkan apa saja yang bisa dijadikan mahar
asal bernilai.92
Walaupun kenyataannya sekarang terbalik, justru uang panaik yang
tinggi sementara mahar atau orang bugis Bone menyebutnya sompa
penentuannya itu diserahkan kepada calon memepelai lak-laki dan tidak
90Https://m.detik.com>news>berita “Tragedi Cinta Ramli/Isa Bunuh Diri Karena Uang
Panai Ditolak Kelurga” diakses pada tanggal 6 agustus 2019. 91
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amir ( Ketua MUI Kabupaten Bone), 27 Mei
2019. 92
Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei
2019.
52
terlalu dipermasalahkan jumlah nominalnya. Akan tetapi, perlu diketahui
bahwa di Kabupaten Bone mahar itu biasanya tanah, bukan wajib melainkan
sudah menjadi budaya turun temurun nenek moyang kita dulu ketika sampai
pada tahap pembahasan mahar maka seorang nenek pasti keluar dan
mengatakan “moa sipallekkungeng tedoanmoa narekko engkamo tanah
disompanganngi anak eppoku” biar luasnya sekubangan kerbau tanah itu
asalkan tanah, sebenarnya tidak mungkin tapi itulah istilahnya bukan wajib
dan kalau memang tidak ada tidak usah diperhitungkan lagi tapi itu budaya
yang terkadang membuat seseorang juga merasa berat dalam hal
pelaksanaannya.93
Pemberian uang panaik dalam perkawinan adat Bugis merupakan
pemberian sejumlah uang untuk membiayai pesta perkawinan. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam Islam tentang walimah. Walimah ini adalah salah
satu bentuk rasa syukur setelah diadakannya akad nikah dengan jamuan
makan bagi para tamu undangan, kerabat dan sanak keluarga. Akan tetapi
dalam Islam pun dalam hal melakukan sesuatu seperti walimah juga dilarang
untuk berlebih-lebihan.94
Rasulullah SAW bersabda kepada „Abdurrahman
bin „Auf ketika dia mengabarkan bahwasanya dia telah menikah (bahasa arab
awlim walau bisyatim) “Adakanlah walimah walau hanya dengan membeli
seekor kambing” 95
Islam mengajarkan kepada orang yang melaksanakan
pernikahan untuk mengadakan walimah, tetapi tidak memberikan bentuk
minimum atau maksimum dalam walimah itu. Hal ini tentunya memberi
isyarat kepada semuanya bahwa walimah diadakan sesuai dengan
kemampuan seseorang yang melaksanakan pernikahannya, dengan catatan,
agar dalam pelaksanaanya tidak ada pemborosan lebih-lebih disertai dengan
sifat angkuh dan membanggakan diri.
93
Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei
2019. 94
Wawancara Pribadi dengan Muslihin Sultan (Tokoh Agama Kabupaten Bone), 28 Mei
2019. 95
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah.
2004, h. 230.
53
Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda:
بمذيه مه شعير. البخارى اولم الىبي ص على بعض وسائ
“Rasulullah Saw. Mengadakan walimah untuk sebagian istrinya
dengan dua mud gandum.” (HR Bukhari).96
Hadis di atas menunjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan
dengan makanan apa saja, sesuai kemampuan. Hal ini ditunjukkan oleh Nabi
Saw bahwa perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan membedakan atau
melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan
keadaan ketika sulit atau lapang yang paa zaman sekarang walimah itu
diartikan sebagai pesta perkawinan. Hal ini sehubungan dengan penyediaan
sejumlah uang panaik untuk membiayai jalannya pesta perkawinan.
Selama uang panaik itu tidak mempersulit terjadinya perkawinan
maka hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam karena bisa
dikatakan bahwa pemberian uang panaik ini sebagai bentuk wata‟awanu alal
birri (dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan) dimana
pemeberian tersebut sangat membantu keluarga pihak perempuan dalam hal
melaksanakan pesta perkawinan. Akan tetapi terkadang uang panaik ini juga
bertentangan dengan ajaran Islam ketika uang panaik yang dipatok terlalu
tinggi sehingga menjadi beban bagi laki-laki yang kurang bercukupan
sehingga banyak kejadian yang tidak diinginkan seperti yang terjadi di
Kolaka seorang perempuan harus rela melepas kekasih hatinya demi
perempuan lain bukan tanpa alasan, laki-laki yang menikah dengan
perempuan lain ini dulunya sempat melamar sang perempuan, namun uang
panaik yang dipasang pihak keluarga perempuan dinilai terlalu tinggi. Pihak
laki-laki merasa keberatan dan akhirnya lamaran mereka dibatalkan.97
Hal
yang paling penting dalam pemberian uang panaik adalah jangan sampai ada
unsur keterpaksaan memberikan uang panaik yang akan memicu terjadinya
96Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim an-Nukhai, Sahih Bukhari. Cetakan Ibnu
Jauzi, no hadis 5172, h. 633 97
Https://www.grid.id “Tragis! Gara-Gara Minta Mahar Terlalu Besar, Wanita ini Justru Berakhir Jadi Tamu Undangan” diakses pada tanggal 7 agustus 2019.
54
perbuatan yang tidak baik karena ingin menghalalkan berbagai cara untuk
mendapatkan uang.98
Ada prinsip dalam masyarakat Bugis yang perlu diubah sedikit demi
sedikit yaitu terkadang orang tua pihak perempuan yang ditunggu hanyalah
uang panaik tersebut yang akan digunakan untuk pesta. Padahal sebagaimana
yang kita ketahui bahwa kewajiban orang tua ada tiga kepada anaknya. Yang
pertama adalah berikanlah nama yang baik, kedua berikanlah pendidikan
yang baik, ketiga adalah menikahkan anaknya. Jadi sewajarnya orang tua juga
menyediakan uang untuk perkawinan anaknya kelak. Jadi tidak hanya
mengandalkan uang panaik yang nanti diberikan. Bahkan seharusnya orang
tua juga tidak menggunakan semua uang panaik yang diberikan oleh pihak
laki-laki tapi uang panaik itu diberikan kepada anaknya untuk kebutuhannya
setelah berkeluarga.99
Agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak menyukai
penentuan mahar yang memberatkan pihak laki-laki untuk melangsungkan
perkawinan, demikan pula uang panaik dianjurkan agar tidak memberatkan
bagi pihak yang mempunyai niat suci untuk menikah. Perkawinan sebagai
sunnah Nabi hendaknya dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan tidak
berlebih-lebihan sehingga tidak ada unsur pemborosan di dalamnya. Dalam
hukum Islam dikenal prinsip mengutamakan kemudahan dalam segala urusan.
Terlebih lagi dalam urusan perkawinan prinsip ini sangat ditekankan.100
Para wanita tidak diperkenankan meminta hal yang justru
memberatkan pihak laki-laki karena hal ini mempunyai beberapa dampak
negative, diantaranya:
a. Menjadi hambatan ketika akan melansungkan perkawinan terutama bagi
mereka yang sudah serius dan saling mencintai.
98
Wawancara Pribadi dengan Makmur (Hakim Pengadilan Agama Watampone), Mei
2019. 99
Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei
2019. 100
Wawancara Pribadi dengan Muslihin Sultan (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei
2019.
55
b. Mendorong dan memaksa laki-laki untuk berhutang demi mendapatkan
uang yang disyaratkan oleh pihak wanita
c. Mendorong terjadinya kawin lari dan terjadinya hubungan diluar nikah.
Selain tersebut di atas dampak lain yang bisa ditimbulkan adalah
banyaknya wanita yang tidak kawin dan menjadi perawan tua karena para
lelaki mengurungkan niatnya untuk menikah disebabkan banyaknya tuntutan
yang harus disiapkan oleh pihak laki-laki demi sebuah pernikahan.
Perbedaan tingkat sosial masyarakat sangat mempengaruhi terhadap
nilai uang panaik yang disyaratkan. Di antaranya adalah status ekonomi
warga yang akan dinikahi, kondisi fisik, jenjang pendidikan, jabatan,
pekerjaan, dan keturunan.
a. Ekonomi. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun pihak
dari perempuan yang berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi
mapan maka jumlah uang panaik yang diminta pun bisa sangat tinggi.
b. Pendidikan dan pekerjaan. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-
laki maupun pihak dari perempuan memiliki pekerjaan misalnya seorang
PNS atau bergelar S1 atau S2 maka permintaan uang panaik juga tinggi.
c. Keturunan. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun
pihak perempuan yang berasal dari keturunan bangsawan maka
permintaan uang panaik juga tinggi.
d. Kondisi fisik. Jika calon mempelai perempuan memiliki paras yang
cantik, kulit putih, maka jumlah uang panaik yang diminta pun bisa
sangat tinggi.101
Agama Islam tidak membeda-bedakan status sosial dan kondisi
seseorang apakah kaya, miskin, cantik jelek, berpendidikan atau tidak. Semua
manusia dimata Allah mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, hal
yang membedakan hanyalah ketaqwaanya. Sesungguhnya yang telah
dijelaskan dalam firman Allah surah al-Hujurat ayat 13.
101
Wawancara Pribadi dengan Muh.Marzuki (Kepala KUA Kecamatan Palakka), 27 Mei
2019.
56
Al„adatu muhakkamah adat itu bisa diterima dan bisa menjadi hukum
ketika sudah menjadi kesepakatan. Hukum Islam mengakui adat sebagai
sumber hukum karena sadar akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah
mendapatkan peran penting dalam mengatur hubungan sosial di kalangan
anggota masyarakat. adat sebagai tatanan yang disepakati oleh masyarakat
yang tidak tertulis tapi tetap dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan
kesadaran hukum sendiri.
Sebelum Nabi Muhammad saw diutus adat kebiasaan sudah banyak
berlaku pada masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Adat kebiasaan yang
dibangun oleh nilai-nilai yang dianggap baik dari masyarakat itu sendiri, yang
kemudian diciptakan, dipahami, disepakati, dan dijalankan atas dasar
kesadaran. Nilai-nilai yang dijalankan terkadang tidak sejalan dengan ajaran
Islam dan ada pula yang sudah sesuai dengan ajaran Islam. Agama Islam
sebagai agama yang penuh rahmat menerima adat dan budaya selama tidak
bertentangan dengan Syari‟at Islam dan kebiasaan tersebut telah menjadi
suatu ketentuan yang harus dilakukan dan dianggap sebagai aturan yang yang
harus ditaati.
Adat dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam jika memenuhi
syarat. Seperti kaedah yang mengatakan;
إوما تعتبر العادة ارا طرد ت فإ ن اطربت فال
Artinya: adat kebiasaan dianggap patokan hukum ketika sudah
berlaku umum, jika menyimpang maka tidak bisa dijadikan sebagai salah satu
patokan hukum.102
Keberadaan ketentuan mengenai uang panaik memang terjabarkan
dalam adat istiadat setempat, namun paradigma sebagian masyarakat sudah
bergeser, terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menyatakan kepada
pihak keluarga laki-laki perihal jumlah uang panaik untuk tidak dipaksakan,
melainkan cukup sesuai dengan kemampuan, pada zaman dahulu memang hal
ini merupakan suatu yang pasti, jika tidak mampu memenuhinya maka pihak
laki-laki tidak dapat lagi melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan.
102
Agung Setiyawan. “Budaya Lokal dalam Perspektif Agama, Esensia, volume XIII No.2
Juli 2012 , h. 215.
57
Namun karena wawasan masyarakat sudah semakin terbuka, besaran uang
panaik sangat variatif, tidak boleh dipaksakan dan tergantung kemampuan.103
Dalam pengamatan penulis ketentuan mengenai besaran uang panaik,
meskipun dilihat dari beberapa faktor seperti strata sosial calon mempelai
perempuan, namun dalam hal ini berdasarkan beberapa keterangan informan,
penulis mengamati bahwa besaran uang panaik sebenarnya juga ditentukan
bagaimana pihak keluarga laki-laki melobi keluarga pihak perempuan karena
hal tersebut bisa dikompromikan atau dikomunikasikan secara baik-baik.104
Lain halnya dengan besaran mahar yang cenderung baku dan tidak dapat
dikompromikan akan tetapi perlu diketahui bahwa di Kabupaten Bone sendiri
umumnya mahar ini adalah tanah yang terkadang juga memberatkan bagi
pihak laki-laki yang tidak bisa memenuhi penentuan mahar tersebut.105
Adat dan kebiasaan selalu berubah-ubah dan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan zaman dan keadaan. Realitas yang ada dalam masyarakat
berjalan terus menerus sesuai dengan kemaslahatan manusia karena
berubahnya gejala sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, kemaslahatan
manusia menjadi dasar setiap macam hukum. Maka sudah menjadi kewajaran
apabila terjadi perubahan hukum karena disebabkan perubahan zaman dan
keadaan serta pengaruh dari gejala masyarakat itu sendiri.
Seperti itulah pemberian uang panaik di Kabupaten Bone tidak dapat
ditinggalkan dan sudah menjadi tradisi turun temurun dalam diri masyarakat.
pemberian uang panaik pada masyarakat tersebut walaupun tidak diatur
secara tertulis. Pemberian uang panaik merupakan tradisi yang bersifat
umum, dalam artian berlaku pada setiap orang yang bersuku Bugis khususnya
di Kabupaten Bone. Walaupun pemberian uang panaik tidak secara gambling
diatur dalam hukum Islam, namun pemberian uang panaik sudah merupakan
103
Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei
2019. 104
Wawancara Pribadi dengan Muslihin Sultan (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei
2019 105
Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei
2019.
58
tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini
tidak bertentangan dengan akidah dan syariat maka hal itu diperbolehkan.
B. Implementasi Uang panaik pada Pernikahan Masyarakat Bugis di
Kabupaten Bone
Prosesi kehidupan manusia secara kategoristik dapat dikelompokkan
menjadi 3(tiga) prosesi, yaitu: kelahiran, perkawinan, dan kematian. Ketiga
prosesi dari kehidupan tersebut, senangtiasa menarik untuk dibicarakan dari
aspek tinjauan. Di antara ketiga prosesi tersebut, maka masalah
perkawinanlah yang senantiasa menuntut adanya perhatian khusus dalam
mengangkat dan mengkaji serta menganalisisnya, karena perkawinan
merupakan monumen kehidupan yang harus dilaksanakan berdasarkan
budaya, agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga
mempunyai aspek yang sangat penting dalam membangun kehidupan
manusia dalam masyarakat.106
Perkawinan menurut hukum adat bersangkut paut dengan urusan
keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi, berbeda halnya dengan
perkawinan pada masyarakat Barat yang modern yang hanya merupakan
urusan mereka yang kawin itu saja.107
Adapun perkawinan adat dalam suku
Bugis yang disebut appabotingeng merupaka ritual yang sangat sacral yang
dimana ritual ini harus dijalani oleh semua orang akan tetapi sebelum prosesi
appabotingeng dilaksanakan, ada beberapa tahap yang harus dilalui oleh
calon mempelai laki-laki. Salah satu diantaranya adalah assuro. Assuro
adalah proses peminangan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki
kepada pihak calon mempelai wanita, sekaligus penentuan pemberian Uang
panaik dimana merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Tidak
ada Uang panaik berarti tidak ada perkawinan. Kebiasaan inilah yang berlaku
106
Syarifuddin Latif, Fiqih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada
Press Jakarta, 2016), h. 4. 107
Syarifuddin Latif, Fiqih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe
59
pada masyarakat suku Bugis sejak lama dan turun temurun dari satu periode
ke periode selanjutnya sampai sekarang.108
Mahar dan Uang panaik adalah pemberian pihak laki-laki kepada
perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu
syarat pernikahan. Jumlah uang panaik sebagaimana yang telah menjadi
kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, menurut ketentuan
adat jumlahnya bervariasi menurut tingkatan starata sosial atau simbol status
sosialnya seseorang.109
Uang puluhan juta atau bahkan sampai pada ratusan
juta menjadi nominal yang lumrah terlebih lagi jika calon mempelai
perempuan adalah S1,S2, PNS, Haji, dan lain-lain. Maka uang panaik akan
berpuluh-puluh bahkan sampai ratusan juta, semakin tinggi nominal uang
panaik juga semakin tinggi citra diri keluarga mempelai dimata masyarakat.
Maka dari itu penulis berpendapat berkaitan dengan dengan ketentuan
jumlah mahar dan uang panaik yang terbilang tinggi dalam masyarakat
Bugis, memang seolah-olah memiliki kontradiksi dengan salah satu hadis
Nabi bersabda:
خير الىكاح أيسري
Makna dibalik hadis ini adalah supaya manusia tidak merumitkan
pernikahan.110
Dibalik aturan adat mengenai jumlah mahar dan uang panaik yang
diberikan berdasarkan strata sosial pihak pengantin perempuan memiliki
maksud atau nilai-nilai tertentu seperti yang telah penulis jelaskan
sebelumnya mengenai nilai yang terkandung di dalam penetapan jumlah
mahar dan uang panaik khususnya dalam masyarakat Bugis yaitu; adanya
budaya siri‟, sipakalebbi dan sipakainge. Meskipun siri‟ disini sebenarnya
memiliki makna yang luas akan tetapi jika dikaitkan dengan pemberian uang
108
Moh Ikbal. “Uang panaik Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar ”, Al-Hukama,
volume 06, nomor 01, (Juni, 2016,), h.192-193. 109
Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis
Bone, (Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007), h.16. 110
Sulaiman Ibn Asyats Abi Daud As-Sajastani, Sunan Abi Daud. Cetakan Ibnu Jauzy qahirah, no hadis 2117, h. 250
60
panaik yaitu dimana seorang laki-laki yang berilmu yang tentunya beriman
dan bertaqwa tidak sepantasnya memberikan uang panaik dengan jumlah
yang tidak pantas atau bahkan sangat minim karena akan mencederai siri‟
pihak laki-laki maupun pihak perempuan.
Namun demikian kita bisa memahami bahwa agama Islam adalah
agama Rahmatan Lil Alamin, agama yang sangat menjunjung tinggi
perdamaian dan ketenangan. Tujuan beribadah adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT agar menjadi pribadi yang baik dan tenang. Allah SWT
menurunkan agama Islam bukan untuk mempersulit pemeluknya, akan tetapi
pemeluknyalah yang terkadang menyulitkan hal-hal ibadah tersebut. Rasul
mengatakan barang siapa yang tidak mengikuti ketentuan Allah dan ketentuan
Rasul, maka buatlah ketentuan-ketentuan sendiri dan ajak penolong-
penolongmu, sesungguhnya kamu tidak akan mampu. Terlalu sering
membuat syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan baru, padahal Allah SWT
dan Rasul-Nya sudah memiliki ketentuan-ketentuan yang seharusnya diikuti
oleh umat manusia.
Adat yang dikenal baik dan dijalankan secara terus menerus dan
berulang-ulang serta dianggap baik oleh mereka, maka tidak bisa diharamkan
baik oleh Islam maupun hukum yang berlaku.
Dalam Islam setidaknya ada 5 hukum syara‟yang disepakati yaitu
wajib, haram, makruh, mubah, dan sunnah. Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
a. Wajib, yakni sebuah tuntutan yang pasti untuk mengerjakan perbuatan.
Apabila dikerjakan mendapat pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka
berdosa.
b. Sunnah, yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak pasti.
Apabila dikerjkan mendapat pahala, namun apabila tidak dikerjakan tidak
berdosa.
c. Mubah, artinya boleh dikerjakan boleh juga ditinggalkan. Apabila
dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala
atau pun disiksa.
61
d. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti untuk meninggalkan
perbuatan tertentu. Apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila
ditnggalkan akan mendapatkan pahala.
e. Haram, yakni tuntutan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu. Apabila
dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila
ditinggalkan akan mendapat pahala.
Hukum dari pemberian uang panaik itu sendiri penulis berpendapat adalah
mubah ketika hal itu dijadikan sebagai alat untuk saling tolong menolong
untuk meringankan keluarga pihak perempuan dalam hal melangsungkan
perkawinan. Karena ada kaedah dalam hukum Islam. Hukum itu berputar
sesuai kondisi. Pemberian uang panaik merupakan tradisi yang bersifat
umum, dalam artian berlaku pada setiap orang yang bersuku Bugis khususnya
kabupaten Bone. Walaupun pemberian uang panaik ini tidak secara gamblang
diatur dalam hukum Islam, namun pemberian uang panaik sudah merupakan
suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal
ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari‟at maka hal itu diperbolehkan.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya
maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Di dalam hukum Islam mahar merupakan pemberian seorang laki-laki
kepada perempuan yang dinikahinya, selanjutnya akan menjadi hak milik
istri secara penuh. Seseorang bebas menentukan bentuk dan jumlah yang
diinginkan karena di dalam hukum Islam tidak ada ketentuan jumlah atau
batasan mahar namun disunnahkan mahar itu disesuaikan dengan
kemampuan pihak laki-laki (calon suami) bahkan dalam Islam dianjurkan
untuk tidak memberatkan calon suami atau pihak laki-laki dalam hal
pemberian mahar.
2. Di dalam hukum Islam tidak ada ketentuan yang mengatur tentang jumlah
atau batasan uang panaik. Namun demikian hukumnya mubah(dibolehkan)
sebagai salah satu bentuk tolong menolong dan diserahkan pada tradisi
masyarakat setempat sesuai dengan kesepakatan bersama kedua belah
pihak.
3. Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone memahami bahwa uang panaik
merupakan salah satu pra syarat yang harus dilaksanakan oleh pihak calon
mempelai laki-laki. Jika itu tidak dilakukan maka kemungkinan besar
lamaran itu ditolak karena uang panaik sebagai salah satu status sosial dan
kebanggaan pihak calon mempelai wanita jika uang panaiknya tinggi,
ditambah adat yang berlaku di masyarakat Bugis Kabupaten Bone juga
menerapkan tanah sebagai mahar yang terkadang bagi sebagian orang
menganggap hal demikian juga memberatkan namun demikian mengingat
perkembangan dan pemahaman masyarakat Bugis di Kabupaten Bone
dewasa ini sedikit mengalami pergeseran tergantung kesepakatan kedua
belah pihak( calon suami dan calon istri) dan hal tersebut sebagai bentuk
wata‟awanu alal birri (dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan).
63
B. Rekomendasi
1. Para tokoh agama dan ormas Islam hendaknya mensosialisasikan atau
memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat Bugis di
Kabupaten Bone mengenai mahar dalam perkawinan.
2. Para tokoh agama dan adat sebaiknya memberikan pemahaman kepada
masyarakat Bugis di Kabupaten Bone mengenai ststus uang panaik dalam
perkawinan. Bahwa uang panaik itu hendaknya jangan dijadikan alasan
utama dalam perkawinan.
3. Sebaiknya masyarakat Bugis di Kabupaten Bone memahami betul tentang
hukum mengenai mahar dan terkhusus uang panaik hendaknya jangan
dijadikan faktor utama dalam menentukan sahnya perkawinan. Namun lebih
utama kesepakatan bersama antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.
64
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ahmad A, Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa : Abad XVI sampai Abad XVII,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Ahmad, Abd Kadir, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat,
Makassar: Indobis Publishing Makassar, 2006.
Ahmad, Abdul Kadir, Tradisi Perkawinan di Sulawesi Selatan Akulturasi dalam
Masyarakat Islam, 2006.
Ardianto, Iqbal, Uang panaik Sebuah Kajian Antara Tradisi Dan Gengsi,
Bandung: Mujahidi Grafis, 2016.
Dib al-Bugha, Musthafa. dkk. Fikih Manhaji Jilid 1, Yogyakarta: Darul Uswah,
2008.
Dinas kebudayaan dan pariwisata, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah
Sulawesi Selatan, Makassar, 2013.
Ghazaly, H. Abd. Rahman Fiqh Munakahat , Jakarta: Prenada Media, 2003.
Goffar, Abdul. Fiqih Wanita , Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Lamallongeng, Asmat Riady Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat
Bugis Bone, Bone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007.
Latif, Syarifuddin, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe, Tangsel: Gaung
Persada Press Jakarta, 2016.
Machmud, A. Hasan silasa: Kumpulan Petuah Bugis Makassar, Bakti Centra
Baru.
Mahmud Mathlub, Abdul Majid. Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo: Era
Intermedia, 2005.
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.
Nurnaga N, Andi, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, Makassar: Cv.
Telaga Zamzam, 2002.
Pelras, Cristian The Bugis, Penerjemah Rahman Abu dkk. Jakarta: Nalar, 2006.
65
Raco, J.R. Metode Penulisan Kualitatif, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2010.
Setiady, Tolip, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan,
Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT Rajagrafindo
Yusuf, A.Muri. Metode Penulisan Kuantitatif, Kualitatif dan Penulisan
Gabungan, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014.
JURNAL
Ikbal, Moh. “Uang panaik‟ Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, Al-
Hukuma, volume 6 Nomor 1, Juni 2016.
Abdullah, Anzar “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”,
Paramita, volume 26 Nomor 1, 2012.
Aini, Noryamin. “Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan
Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia” AHKAM: Jurnal Ilmu
Syariah. Volume 17 Nomor 1, Juli 2014.
dkk, Andi Aminah Riski. ”Money Shopping(Uang panaik) In Marriage Bugis
Reteh District Community Indragiri Hilir”, Jom.unri.ac.id 2017.
Eka Lestari, Rheny Mitos dalam Upacara Uang panaik Masyarakat Bugis
Makassar. Skripsi (Jember: Universitas Jember, 2015).
Hajra Yansa, Yayuk Basuki. “Uang Panai‟ dan Stasus Sosial Perempuan dalam
Perspektif Budaya Siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi
Selatan”, Volume 3 Nomor 2.
Hikmah, Jabal repository.umy.ac.id/ handle/2014/07/20/konformitas-islam-dan-
adat-potret-fanatisme-keagamaan-di-kalangan-muslim-bugis.
Hikmah, Nurul “Problematika Uang Belanja Pada Masyarakat” ojs.unm.ac.id,
2015.
Hutami Adiningsih, A.Mega ”Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui Menre dalam
Perkawinan Adat Bugis”( Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin,
2016).
66
Ikbal, Moh “Uang panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, The
Indonesian Journal Of Islamic Family Law”, 06, Juni 2016.
Ikbal, Moh. Tinjauan Hukum Islam Tentang Uang panaik Dalam Perkawinan
Adat Suku Bugis Makassar Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar. Skripsi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012).
Iqbal, Muhammad. “Konsep Mahar Dalam Perspektif Mazhab Imam Syafi‟i”, Al-
Mursalah, volume 1 Nomor 2, Desember 2015.
Juwaini, M. ”Nilai-Nilai Moral Dalam Ritual Adat Pernikahan Masyarakat Bugis
Dan Relavansinya Dengan Nilai-Nilai Pendidikan Islam”( Yogyakarta:
Tesis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2018).
Kohar, Abd. Kedudukan dan Hikmah Mahar Dalam Perkawinan. Jurnal IAIN
Raden Intan Lampung, 2016.
Latif, Syarifuddin “Meretas Hubungan Mayoritas-Minoritas Dalam Perspektif
Nilai Bugis”, Jurnal Al-Ulum, volume 12 Nomor 1, Juni 2012.
Marling, Nashirul Haq “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum Dan
Syariah, volume 6 Nomor 2, Desember 2017.
Naskah latoa, alinea: 48, 49, dan 68 yang dikutip dari Andi Rasdiyanah, Integrasi
Sistem Pangedereng (Adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan
Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa (Disertasi; Yogyakarta: PPS
IAIN Sunang Kalijaga, 1995).
Nur Ikram, Muhammad repository. Ar-raniry Banda Aceh.ac.id/2018/pengaruh
tingginya-uang-hantaran-terhadap-penundaan-perkawinan.
Ridha Jafar, Ahmad ”Uang Panai‟ Dalam Sistem perkawinan Adat Bugis
Makassar Perspektif Hukum Islam”( Yogyakarta: Skripsi Universitas
Islam Indonesia, 2016).
Setiyawan, Agung “Budaya Lokal dalam Perspektif Agama, Esensia, volume XIII
Nomor 2, Juli 2012.
Wibisana, Wahyu “Pendidikan Agama Islam-Ta‟lim”, Volume 14 Nomor 2,
2016.
67
Yansa, Hajra dkk. “Uang panai‟ dan Status Sosial Perempuan dalam Perspektif
Budaya siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan”,
Jurnal Pena, volume 3.
WEBSITE
https://books.google.co.id Albert Hendra Wijaya, Kejujuran, eprints.ung.ac.id.
(diunduh pada Rabu, 8 Mei 2019)
https://daerah.sindonews.com Herni Amir, ”Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi
Selatan”, artikel diakses pada 17 Mei 2019 dari daerah.sindonews.
https://makassar.tribunnews.com /2014/10/28/ternyata-gadis-bulukumba-ini-
korban-uang-panai, diakses pada tanggal 9 April 2019, pukul 23.33 WIB
WAWANCARA
Wawancara Pribadi dengan Abdul Rasyid (Hakim Pengadilan Agama
Watampone), Mei 2019.
Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh adat), 27 Mei 2019.
Wawancara Pribadi dengan Makmur (Hakim Pengadilan Agama Watampone),
Mei 2019.
Wawancara Pribadi dengan Muh.Marzuki (Kepala KUA Kecamatan Palakka), 27
Mei 2019.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amir ( Ketua MUI Kabupaten Bone), 27
Mei 2019.
Wawancara Pribadi dengan Muslihin Sultan (Tokoh Agama Kabupaten Bone), 28
Mei 2019.
68
69
HASIL WAWANCARA DENGAN KEPALA KUA KECAMATAN
PALAKKA KABUPATEN BONE
Nama: Muhammad Marzuki
Pekerjaan: Kepala Kua Kabupaten Bone
Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?
Jawaban : uang panaik sebenarnya itu adalah tradisi orang bugis yaitu uang
belanja dimana masyarakat bugis itu menggunakan uang belanja
ini untuk melansungkan pernikahan sesuai tradisi budaya yang ada
dimana penentuan uang panaik tersebut dirundingkan dengan
keluarga besar laki-laki dan perempuan dengan jumlah sesuai
kesepakatan bersama.
Pertanyaan : bagaimana kaitan uang panaik dengan mahar ?
Jawaban : sebenarnya antara uang panaik dengan mahar itu berbeda kalau
uang panaik itu adalah adat yang dimana penentaunnya
berdasarkan kesepakatan sedangkan mahar itu sendiri atau disebut
juga sompa dalam bahasa bugis dalam hal penentuannya
diserahkan kepada pihak laki-laki meskipun pada umumnya di
kabupaten Bone ini maharnya adalah tanah.
Pertanyaan : sebenarnya apa tujuan adanya uang panaik itu sendiri ?
Jawaban : sebenarnya tujuan adanya uang panaik disini yaitu untuk
membiayai kelansungan pernikahan tetapi yang menanggung
adalah mempelai laki-laki.
Pertanyaan : berapa besaran uang panaik yang biasanya diterapkan ?
Jawaban : Besaran uang panaik itu memang bisa dikatakan berpengaruh
dengan fisik seseorang, stratifikasi sosial, tingkat Pendidikan dll.
Biasanya orang bugis ketika mau melamar seorang perempuan
dilihat dulu bagaimana status sosial perempuan tersebut karna itu
70
berpengaruh dengan penentuan jumlah uang panaik, meskipun
tidak semua saat ini menerapkan hal tersebut apalagi ketika si
calon perempuan dan calon laki-laki sudah saling mengenal.
Pertanyaan : Bagaimana tata cara pembayaran uang panaik ?
Jawaban : uang panaik dibayarakan atau diberikan oleh calon pengantin
laki-laki kepada calon pengantin perempuan ketika telah disepakati
oleh keluarga besar atau biasa disebut pada waktu mappettu ada.
Pertanyaan : Pandangan bapak tentang tingginya uang panaik ?
Jawaban : Tinggi rendahnya uang panaik sebenarnya tidak menjadi masalah
ketika calon mempelai laki-laki mampu, yang menjadi masalah
ketika uang panaik ini memberatkan calon pengantin laki-laki
karena dalam Islam pun sebenarnya uang panaik ini tidak diatur
yang ada hanya tentang mahar. Jadi ketika uang panaik menjadi
penghalang atau memberatkan saya secara pribadi tidak setuju,
yang terpnting ketika mau melansungkan pernikahan yaitu rukun
dan syaratnya terpenuhi.
Pertanyaan : Apakah perlu uang panaik ini diberlakukan ?
Jawaban : karna uang panaik ini sudah menjadi adat sejak dulu yang harus
tetap kita jaga dan laksanakan akan tetapi tidak memberatkan dan
perlu dipersiapkan juga oleh orang tua pihak perempuan uang
untuk menikahkan anaknya jadi tidak hanya mengandalkan uang
panaik sehinnga pada akhirnya memberatkan pihak laki-laki karna
hanya itu yang ditunggu.
71
HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH ADAT KABUPATEN BONE
Nama: Andi Najmuddin
Pekerjaan : Anggota Lembaga Adat Kabupaten Bone
Pertanyaan : Apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?
Jawaban : jadi dahulu sebenarnya tidak ada istilah doi balanca karena dulu
tidak ada uang yang dinaikkan sebelum nikah, uang belanja itu
resiko bagi kita laki-laki, karna taruhlah bahasa kasarnya seseorang
mau merusak seorang gadis, kita mau menikahinya hilanglah
keperawanannya. jadi ketika kamu mau merusak kamu harus
membeli kedua, maknanya uang yang dinaikkan itu dapat
dijadikan sebagai persiapan untuk mengundang tamu-tamu apakah
banyak atau tidak tetapi itu tidak menjadi standar kadang kala ada
juga yang mengatakan dulu saudaranya sekian juta kenapa
saudaranya lagi sekian saja ini juga bukan standar. Jadi, uang naik
itu adalah uang belanja yang bukan standar melainkan tergantung
kesepakatan Bersama diaman uang belanja ini adalah adat bukan
agama yang agama itu adalah mahar dan mahar tidak pernah
membatalkan pernikahan karna mahar tidak mengatakan serratus
juta melainkan apa saja bias dijadikan mahar asal bernilai.
Pertanyaan : Bagaimana kaitan uang panaik dengan mahar ?
Jawaban : mahar itu yang bernilai. apa saja dan tidak menjadi penghalang
tetapi itu wajib dalam bahasa arab dikatakan mahar, dalam bahasa
bugis dikatakan sompa dan dalam bahasa makassar dikatakan
sunrang. Indonesia umumnya jawa menyebutnya maskawin tetapi
kalau di Bone yang biasa dijadikan mahar adalah tanah bukan
wajib tapi budayanya biasa minta tanah sebab bagaimana karena
memang turung temurung nenek kita dulu setelah dibahas sampai
pada tahap mahar maka nenek itu keluar mengatakan ”moa
sipallekkungeng tedoanmoa narekko engkamo tanah
72
disompanganngi anak eppoku” biar luasnya sekubangan kerbau
tanah itu asalkan tanah sebenarnya tidak mungkin tapi itulah
istilahnya tetapi bukan wajib dan kalua memang tidak ada tidak
usah diperhitungkan lagi tapi itu budaya. Jadi uang panaik itu
adalah budaya kita pertama-pertama harus laki-laki yang
menanggung resiko kedua, perempuan itu mau pesta besar-besaran
apalagi kalua banyak keluarga jadi itulah uang panaik sebenarnya
tergantung situasi dan kondisi saat itu dan keluarga pada saat itu
kalau dulu ada uang naik itu dikatakan “pengelli darah” contoh saja
seorang mengatakan lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki
status sosialnya maka untuk tidak menolak tapi sama dengan
menolak kalau jadi berarti dinamakanlah “melli darai” jadi uang
naik tergantung saja kesepakatan Bersama kemudia dilihat yang
biasa membedakan kadang kala terlalu banyak kalau dirasa tidak
sepenuh hati untuk menerimanya artinya kalau memang laki-laki
itu bisa ya jadilah tapi kalau memang tidak jadi juga tidak apa-apa
jadi dulu ada istilah terlalu banyak uang belanja karena ”dipengelli
darawi” sekarang sudah tidak ada yang sekarang ini hanya melihat
bagaimana status ekonomi perempuan atau Pendidikan. Jadi, di
Bugis itu ada tatanan sistematika perkawinan adat bugis Bone
artinya saya tidak berani lansung melamar kepada seseorang
sebelum ada rintisan atau dalam bahas bugis ”mabbaja laleng”
membuka jalan sebab kalau saya dating melamar terus orang
tuanya mengatakan de‟pa masikolah monpi atau mengatakan sudah
ada yang duluan itu sebabnya kita merintis meminta tolong kepada
sesorang yang tau persis baik tetangga atau yang dapat
dipercayakan untuk dating yang namanya “Mappese pese”
membuka jalan menanyakan bahwa itu perempuan dia sedang
sekolah tetapi jika ada yang melamar apakah dia mau atau tidak
dan kalau saya mengatakan juga kenapa uang panaik juga terlalu
mahal sekarang karen memang bukan pilot(pilihan orang tua) jadi
73
memang uang panaik itu adalah budaya yang bukan agama tetapi
itu memang diiizinkan sebenarnya bukan menjual itu untuk kita
gunakan dalam pesta dan kemudian resiko bagi pihak laki-laki
yang harus menanggung.
Pertanyaan : apakah uang panaik bisa membatalkan pernikahan ?
Jawaban : itu salah sekali sekarang terutama ketika kita sudah tau. Ada
kewajaran bisa saja dipertahankan kalau ada kewajaran
maksudnya anaknya tidak saling mengenal tapi ketika sudah ada
hubungan misalnya satu kuliahan, satu tempat kerja kemudian
tidak mau diterima maka itu maslahnya orang tua dan hal itu tidak
boleh dilakukan. Agama sudah meluruskan bahwa kenapa
menghalangi jadi ketika ada sesuatu negative yang terjadi maka
salahnya orang tua bukan lagi kesalahan pada anak kelihatanny
anak yang salah tapi dari segi proses orang tualah yang membuat
semua itu terjadi karena tidak menerima padahal sudah ada
hubungan kecuali memang kalau sudah tidak seagama tetapi ketika
sudah seagama apa salahnya suku apapun ataupun apa yang
penting sudah seagama. Dahulu memang susah kalau tidak
sekeluarga apalagi jika sudah suku lain akan tetapi di Bone ini
sudah tidak menerapkan itu jadi yang penting sekarang adalah
agama kemudian Pendidikan dan sekarang saya rasa sudah tidak
ada kesulitan cuman yang biasa menjadikan susah itu memang
uang panaik dan memang perlu orang yang pintar bicara yang
datang melamar, yang pintar perasaan kadang kala bisa terjadi
pihak perempuang sudah merasa tersinggung ketika ditawarkan
contoh 1 m orang yang datang melamar ketika tidak mengetahui
pasti mengatakan kelewatan sehingga tersinggunglah pihak laki-
laki, tetapi ketika orang yang pintar berbicara mengerti perasaan
mengatakan wajar karena memang perempuan mau memasang
74
yang tinggi tetapi kita pihak laki-laki dibawah kita pukul nanti
ditengah-tengah ketemu.
Pertanyaan : perlu tidaknya diberlakukan uang panaik ?
Jawaban : sekarang di Bone itu sudah pembauran tidak memandang lagi
suku ini dan suku itu dan yang saya katakana asal sudah seagama
dan kemudian sudah bisa dikatakan pendidikannya dan disana suda
tau situasi dan kondisi tidak boleh lagi berpatokan pada pola lama
karna merugikan dan menimbulkan banyak sesuatu negative dan di
Bone sekarang sudah tidak berpatokan dengan itu yang penting
yang pertama agama, Pendidikan dan termasuk akhlak karna adat
istiadat itu juga kalau.
75
HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH AGAMA KABUPATEN BONE
Nama: Muslihin Sultan
Pekerjaan : Dosen IAIN Bone
Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?
Jawaban : uang panaik adalah satu hal yang tidak disebutkan sebagai mahar
karna di bone ini lazimnya mahar itu berupa tanah dimana suatu
kehormatan ketika seorang laki-laki mampu memberikan mahar
berupa tanah meskipun hanya sedikit sedangkan uang panaik
adalah uang belanja yang merupakan bagian prosesi dan tradisi
perkawinan masyarakat Bugis di Bone dimana uang panaik
menempati posisi prestisius ada harkat dan martabat seorang laki-
laki. Saya melihat bukan persolan perempuannya tetapi persoalan
laki-laki bahwa keluarga laki-laki memberi kehormatan pada calon
istrinya dengan uang panaik apakah besar atau kecil sesuai
apresiasi bagaiamana dia memberikan penghargaan terhadap calon
permpuan dan uang panaik ini sebenarnya yang menentukan
adalah pihak laki-laki dan mendapatkan persetujuan dari pihak
perempuan dimana sebagai objek penerima ketika ia menerima
dan uang panaik ini juga sebagai bentuk gambaran kemampuan
pihak laki-laki dalam menghargai dan menghormati pihak
perempuan.
Pertanyaan : besaran uang panaik ?
Jawaban : jadi uang panaik itu dipengaruhi tingkat kebangsawanan, status
social kemudian Pendidikan jadi di Bone masih ini yang pertama
dilihat ketika hendak melakukan pernikahan.
Pertanyaan : pandangan bapak tentang tingginya mahar dan uang panaik ?
Jawaban : Sebenarnya tidak menjadi persoalan selagi disepakati.
76
Pertanyaan : apakah sejauh ini uang panaik menjadi penghalang pernikahan ?
Jawaban : saya kira juga uang panaik bukanlah tujuan utama karena hal ini
merupakan kesepakatan dan kemampuan pihak keluarga laki-laki
meloby keluarga pihak perempuan dan ketika terjadi pembatalan
karena uang panaik biasanya ada keluarga perempuan yang terlalu
ngotot untuk mempertahankan dimana dia memandang uang
panaik sebagai prestise yaitu suatu kebanggan.
Pertanyaan : apakah uang panaik masih harus dipertahankan ketika lebih
banyak mendatangkan mudarat dibandingkan manfaat ?
Jawaban : meskipun memang adat dimana uang panaik ini berkaitan dengan
pesta disatu sisi memang ada anjuran agama bahwa ketika engkau
akan melakukan pernikahan hendaknya ada pesta persaksian
intinya salah satu hikma uang panaik meskipun bukan rukun dan
syarat akan tetapi melengkapi meksipun sifatnya adat mesti harus
dipertahnkan tetapi masalah pestanya rame atau tidak sekira ajaran
agama kita juga melarang kita berlebih-lebihan jadi, saya juga
secara pribadi tidak setuju ketika uang panaik yang berlebih-
lebihan.
77
HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA MUI KABUPATEN BONE
Nama: H. M. Amir HM
Pekerjaan: Ketua MUI Kabupaten Bone
Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?
Jawaban : uang panaik itu uang belanja di Bone, ini yang tinggi uang
panaik bahkan menjadi kebiasaan juga sebagian orang mengambil
uang panaik itu melihat dari segi strata sosial yang dimana
sebenarnya ini agak melenceng dengan agama.
Pertanyaan : besaran uang panaik ?
Jawaban : jadi uang panaik itu dipengaruhi tingkat kebangsawanan, status
social kemudian Pendidikan jadi di Bone masih ini yang pertama
dilihat ketika hendak melakukan pernikahan.
Pertanyaan : pandangan bapak tentang tingginya mahar dan uang panaik ?
Jawaban : Mahar dan Uang panaik dalam perkawinan adat Bugis adalah
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam
prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam
hal kewajiban dan harus dipenuhi. Akan tetapi uang panaik lebih
mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat
menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan. Sehingga
jumlah uang panaik yang ditentukan oleh pihak keluarga
perempuan biasanya lebih banyak daripada jumlah mahar yang
diminta dan biasanya sudah menjadi kebiasaan sebagian orang
menentukan uang panaik itu melihat dari segi strata sosial
Pertanyaan : apakah sejauh ini uang panaik menjadi penghalang pernikahan ?
Jawaban : saya kira juga uang panaik bukanlah tujuan utama karena hal ini
merupakan kesepakatan dan kemampuan pihak keluarga laki-laki
memberikan pemahaman keluarga pihak perempuan dan memang
78
ada beberapa kasus uang panaik menjadi pembatalan pernikahan
yaitu ditolaknya lamaran pihak laki-laki karena tidak mampu
memberikan uang panaik yang dipatok keluarga pihak perempuan.
Pertanyaan : apakah uang panaik masih harus dipertahankan ketika lebih
banyak mendatangkan mudarat dibandingkan manfaat ?
Jawaban : uang panaik ini adalah adat yang dari sejak dulu sudah dijalankan
oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Bone. Dalam hal ini uang
panaik yang menjadi adat masih harus tetap dijalankan dengan
catatan tidak mempersulit bagi siapa saja yang punya niat untuk
melakukan pernikahan dan di Lembaga MUI sendiri itu sudah
menjadi tugas kami para untuk memberikan pemahaman
dimasyarakat tentang penetapan uang panaik yang terkadang
menjadi penghalang pernikahan.
79
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA
KABUPATEN BONE
Nama: Abd. Rasyid
Pekerjaan: Hakim Pengadilan Agama
Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?
Jawaban : uang panaik itu digunakan biasanya untuk biaya pesta
perkawinan yang dibebani oleh calon mempelai laki-laki itulah
budaya yang umumnya di Sulawesi selatan Bugis pada khusunya.
Pertanyaan : bagaimana kaitan uang panaik dengan mahar ?
Jawaban : mahar itu tersendiri beda dengan uang panaik, di Bone ini uang
panaik sejumlah uang sedangkan mahar itu biasanya itu berbentuk
tanah.
Pertanyaan : besaran uang panaik ?
Jawaban : sangat bervariasi tergantung dengan kondisi ekonomi, biasanya
juga dilihat dari status social masyarakat itu dan seringnya status
social ini sangat berpengaruh dengan jumlah uang panaik itu
sendiri.
Pertanyaan : perlu tidak uang panaik ini diberlakukan ?
Jawaban : ini kan termasuk adat masalah besar kecilnya itu tergantung
kesepakatan tetapi masih harus dipertahankan karena ini
merupakan adat yang harus dipertahankan.
Pertanyaan : pandangan bapak tentang tingginya mahar dan uang panaik ?
Jawaban : masalah tinggi rendahnya uang panaik tidak menjadi persoalan
ketika kedua belah pihak menyetujui hal tersebut.
80
Nama: Makmur
Pekerjaan: Hakim Pengadilan Agama
Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?
Jawaban : uang panaik itu awalnya semacam bantuan perkawinan bagi
calon perempuan tapi lama kelamaan bukan lagi sebagai bantuan
karena sudah menjadi hal yang wajib karena bisa saja pernikahan
tidak terjadi karena tidak disepakatinya uang panaik.
Pertanyaan : bagaimana kaitan uang panaik dengan mahar ?
Jawaban : kalau mahar itu wajib dan antara mahar dengan uang panaik itu
berdiri sendiri tetapi wajib ada.
Pertanyaan : besaran uang panaik ?
Jawaban : saya tidak setuju ketika besaran uang panaik itu dilihat dari segi
status sosial karena ketka kita bertahan disitu kita masuk ke hukum
BW bahwa perrkawinan ini adalah transaksi jual beli.
Pertanyaan : perlu tidak uang panaik ini diberlakukan ?
Jawaban : ketika uang panaik yang menjadi adat tentu masih harus
dipertahankan akan tetapi perlu memberikan pemahaman mengenai
status uang panaik itu sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus yang
tidak diinginkan karena uang panaik..
Pertanyaan : pandangan bapak tentang tingginya mahar dan uang panaik ?
Jawaban : masalah tinggi rendahnya uang panaik tidak menjadi persoalan
ketika kedua belah pihak menyetujui hal tersebut namun menjadi
masalah ketika uang panaik ini menghalangi niat seseorang untuk
melakukan pernikahan.
81
Nomor : 01
Lampiran : -
Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di
Jakarta
Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:
Nama : Nur Avita
NIM : 1150440000025
Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997
Semester : VII (Delapan)
Jurusan : Hukum Keluarga
Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone
Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka
tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam
Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.
Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Bone, 27 Mei 2019
Narasumber
82
Nomor : 01
Lampiran : -
Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di
Jakarta
Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:
Nama : Nur Avita
NIM : 1150440000025
Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997
Semester : VII (Delapan)
Jurusan : Hukum Keluarga
Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone
Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka
tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam
Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.
Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Bone, 27 Mei 2019
Narasumber
84
Nomor : 01
Lampiran : -
Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di
Jakarta
Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:
Nama : Nur Avita
NIM : 1150440000025
Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997
Semester : VII (Delapan)
Jurusan : Hukum Keluarga
Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone
Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka
tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam
Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.
Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Bone, 27 Mei 2019
Narasumber
85
Nomor : 01
Lampiran : -
Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di
Jakarta
Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:
Nama : Nur Avita
NIM : 1150440000025
Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997
Semester : VII (Delapan)
Jurusan : Hukum Keluarga
Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone
Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka
tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam
Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.
Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Bone, 27 Mei 2019
Narasumber
86
Nomor : 01
Lampiran : -
Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara
Kepada Yth,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di
Jakarta
Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:
Nama : Nur Avita
NIM : 1150440000025
Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997
Semester : VII (Delapan)
Jurusan : Hukum Keluarga
Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone
Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka
tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam
Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.
Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Bone, 27 Mei 2019
Narasumber