mahar dan uang panaik dalam perspektif hukum...

100
MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Perkawinan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone). Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) oleh : Nur Avita NIM : 11150440000025 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019

Upload: others

Post on 11-Jan-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

1

MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM

(Studi Kasus Perkawinan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone).

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)

oleh :

Nur Avita

NIM : 11150440000025

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H / 2019

Page 2: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

i

Page 3: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

i

Page 4: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

i

Page 5: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

i

ABSTRAK

Nur Avita. NIM 11150440000025. MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM

PERSFEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Perkawinan Masyarakat

Bugis di Kabupaten Bone). Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal

Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta,1440 H/ 2019 M.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap

mahar dalam perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone, pandangan

hukum Islam terhadap Uang panaik dalam perkawinan masyarakat Bugis di

Kabupaten Bone, dan pandangan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone terhadap

implementasi mahar dan Uang panaik dalam perkawinan.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan

melakukan observasi dan wawancara kepada sampel yang telah kami tentukan

serta mengkaji beberapa sumber informasi dari dokumen yang mendukung teori

dan penelitian ini sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, Di dalam hukum Islam

mahar merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang

dinikahinya, selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Seseorang

bebas menentukan bentuk dan jumlah yang diinginkan karena di dalam hukum

Islam tidak ada ketentuan jumlah atau batasn mahar namun disunnahkan mahar itu

disesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki (calon suami) bahkan dalam Islam

dianjurkan untuk tidak memberatkan calon suami atau pihak laki-laki dalam hal

pemberian mahar. Kedua, Di dalam hukum Islam tidak ada ketentuan yang

mengatur tentang jumlah atau batasan uang panaik. Namun demikian hukumnya

mubah(dibolehkan) dan diserahkan pada tradisi masyarakat setempat sesuai

dengan kesepakatan bersama kedua belah pihak. Ketiga, Masyarakat Bugis di

Kabupaten Bone memahami bahwa Uang panaik merupakan salah satu pra syarat

yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai laki-laki. Jika itu tidak

dilakukan maka kemungkinan besar lamaran itu ditolak karena Uang panaik

sebagai salah satu status sosial dan kebanggaan pihak calon mempelai wanita jika

uang panaiknya tinggi, namun demikian mengingat perkembangan dan

pemahaman masyarakat Bugis di Kabupaten Bone dewasa ini sedikit mengalami

pergeseran tergantung kesepakatan kedua belah pihak( calon suami dan calon

istri).

Kata Kunci: Mahar, Uang panaik, Adat Bugis, Hukum Islam.

Pembimbing: Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H

Daftar pustaka: 1995-2019.

Page 6: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa

Ta‟ala yang telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya kepada peneliti dalam

penyusunan skripsi yang berjudul MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Perkawinan Masyarakat Bugis di

Kabupaten Bone), sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat dan

salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu „alaihi

Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa‟atnya di akhirat kelak. Amin.

Pencapaian ini tidak akan terwujud tanpa pertolongan Allah Subhanahu wa

Ta‟ala, berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya kepada

peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat

saya mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Mesraini, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., Dosen Pembimbing yang telah

memberikan arahan, bimbingan, serta kesabaran dalam membimbing peneliti

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Para narasumber yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk ditemui dan

memberikan data-data terkait penelitian ini.

Page 7: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

iii

6. Kepala dan staff Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta serta Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan saya untuk mencari

dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang

diperlukan.

7. Terimakasih kepada Sri Hidayati, M.Ag. dan Windy Triana, M.A dosen

penguji dalam munaqasyah, para dosen yang telah memberikan ilmunya

kepada penulis, beserta staff yang telah memberikan pelayanan maksimal.

8. Paling Istimewa untuk kedua orang tua penulis, Sukiman dan Hj. Ani yang

selalu memberikan dukungan, mengingatkan, dan mendo‟akan yang terbaik

untuk peneliti hingga dapat menyelesaikan skiripsi ini. Adikku tersayang

Diana, Aldi, Ahmad, saudara-saudaraku, serta Keluarga Besar Hasside di

Bone .

9. Kepada pak Syahrullah yang begitu baik membimbing dan memberikan

masukan-masukan untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Kedua orang tua

11. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan tahun 2015 yang selalu memberikan

semangat.

12. Kakak-kakak teman-teman, dan adik-adik IKA Al-Ikhlas Jakarta yang telah

memberikan dukungan, nasihat, pengalaman, dan ilmu yang luar biasa.

13. Kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII) Komisariat Syariah dan Hukum yang telah memberikan

berbagai pengalaman dan ilmu yang luar biasa selama masa perkuliahan.

14. Kepada Ali Maksum Asngari selaku ketua PMII Komisariat Syariah dan

Hukum yang selalu memberikan dukungan, nasihat, dan motivasi selama

penyusunan skripsi ini.

15. Kepada seluruh sahabat-sahabat saya, Analisa Putri, Inayah Ulfah, Fadilah

Hardina, Milah Karmilah, Arabbyatul Aidawiyah, Depanti Putri, Fatimah

Azzahra, yang selalu memberikan motivasi dan dukungannya.

16. Pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini.

Page 8: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

iv

Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang

setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi

ini dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 8 April 2019

Nur Avita

Page 9: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama

Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam

teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui

sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

A. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak Dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

h} ha dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D de د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z zet ز

S es س

Page 10: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

vi

Sy es dan ye ش

s} es dengan garis bawah ص

d} de dengan garis bawah ض

t} te dengan garis bawah ط

z} zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik diatas hadap kanan „ ع

Gh ge dan ha غ

F ef ف

Q Qo ق

K ka ك

L el ل

M em م

N en ن

W we و

H ha ه

apostrop „ ء

Y Ya ي

Page 11: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

vii

B. Vokal Pendek dan Vokal Panjang

Vokal Pendek Vokal Panjang

_____ ______= a ىا= a>

_____ ______= i ىي= i>

_____ ______= u ىو= u>

C. Diftong dan Kata Sandang

Diftong Kata Sandang

al =)ال( ai =__ أ ي

al-sh =)الش( aw =__ أ و

-wa al =)وال(

D. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika

huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf‟ah, tidak ditulis asy-syuf‟ah

E. Ta Marbutah

Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti

oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti

dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t” (te)

(lihat contoh 3).

Page 12: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

viii

Kata Arab Alih Aksara

syarî „ah شريعة

al- syarî „ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسال مية

المذا هبمقارنة Muqâranat al-madzâhib

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini,

misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan

penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,

disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari Bahasa

Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman kepada

Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:

No Transliterasi Asal Dalam KBBI

1 Al-Qur‟a>n Alquran

2 Al-H}adi>th Hadis

3 Sunnah Sunah

4 Nas{ Nas

5 Tafsi>r Tafsir

6 Fiqh Fikih

Dan lain-lain (lihat KBBI)

Page 13: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK .......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah .......................... 5

1. Identifikasi Masalah ...................................................... 5

2. Batasan Masalah ............................................................ 6

3. Rumusan Masalah ......................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisaan .............................................. 6

1. Tujuan Penelitian ........................................................... 6

2. Manfaat Penelitian ......................................................... 7

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..................................... 7

E. Metode Penelitian ................................................................... 8

1. Jenis Penulisan .............................................................. 9

2. Metode Pendekatan ....................................................... 9

3. Sifat Penulisan ............................................................... 9

4. Lokasi Penelitian ........................................................... 9

F. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ......................... 10

1. Sumber Data .................................................................. 10

2. Metode Pengolahan dan Analisis Data .......................... 10

G. Teknik Penulisan..................................................................... 11

H. Sistematika Penulisan ............................................................. 11

BAB II MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PANDANGAN

HUKUM ISLAM ............................................................................. 13

Page 14: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

x

A. Mahar ........................................................................................ 13

1. Pengertian Mahar ............................................................... 13

2. Dasar Hukum Mahar .......................................................... 14

3. Syarat dan Jenis-jenis Mahar ............................................. 16

4. Jumlah Mahar ..................................................................... 17

5. Pelaksanaan Pembayaran Mahar ........................................ 19

6. Tujuan dan Hikmah Mahar ................................................ 21

B. Uang panaik .............................................................................. 22

1. Pengertian Uang panaik ..................................................... 22

2. Sejarah Munculnya Uang panaik ....................................... 22

3. Tahapan- tahapan Penyerahan Uang panaik ...................... 25

C. Perbedaan Mahar dengan Uang panaik ..................................... 26

BAB III BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DI KABUPATEN

BONE SULAWESI SELATAN....................................................... 30

A. Masyarakat Bugis Kabupaten Bone .......................................... 30

1. Potret Daerah Kabupaten Bone .......................................... 30

2. Adat Istiadat dan Agama .................................................... 32

3. Islam dan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone .............. 34

B. Prosesi Perkawinan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone ..... 40

C. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Selatan ........................... 43

BAB IV MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM ............................................................................. 46

A. Pandangan hukum Islam terhadap Mahar dan Uang panaik ..... 46

B. Implementasi Uang panaik pada Pernikahan Masyarakat

Bugis di Kabupaten Bone.......................................................... 56

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 60

A. Kesimpulan ............................................................................... 60

B. Rekomendasi ............................................................................. 61

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 62

LAMPIRAN

Page 15: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan Sunnah Rasul SAW yang bertujuan untuk

melanjutkan keturunan dan menjaga manusia agar tidak terjerumus ke dalam

perbuatan yang sama sekali tidak diinginkan oleh syariat. Untuk itu,

perkawinan baru dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Salah

satu syarat tersebut adalah adanya mahar yang merupakan hak istri dan wajib

hukumnya.

Mahar merupakan tanda kesungguhan laki-laki untuk menikahi seorang

perempuan. Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada

perempuan yang akan dinikahinya, yang dimana mahar tersebut akan menjadi

hak milik istri secara penuh. Seseorang bebas dalam menentukan bentuk dan

jumlah mahar yang diinginkan karena memang tidak ada batasan dalam syariat

islam mengenai mahar, akan tetapi mahar itu disunnahkan yang sesuai dengan

kemampuan pihak calon suami. Islam menganjurkan agar meringankan mahar.

Perkawinan adat Bugis selain mahar yang merupakan salah satu syarat

sah, “uang panaik” juga merupakan adat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-

laki dalam bentuk uang. Uang panaik adalah uang antaran yang harus

diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak

keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta

pernikahan.1 Mahar dan Uang panaik memang hampir mirip, yaitu sama-sama

merupakan kewajiban. Namun kedua hal ini sebenarnya berbeda. Mahar

merupakan kewajiban dalam Islam, sedangkan Uang panaik merupakan

kewajiban dalam tradisi adat masyarakat Bugis.2

1A.Mega Hutami Adiningsih, ”Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui Menre dalam

Perkawinan Adat Bugis”( Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2016), h. 4. 2A.Mega Hutami Adiningsih, ”Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui Menre dalam

Perkawinan Adat Bugis”( Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2016), h. 4.

Page 16: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

2

Mahar dan Uang panaik dalam perkawinan adat suku Bugis di Kab.

Bone adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam

praktiknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban

yang harus dipenuhi. Walaupun dalam hal ini uang panaik lebih mendapatkan

perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran

jalannya proses perkawinan sehingga jumlah nominal uang panaik lebih besar

daripada jumlah nominal mahar.3

Besarnya Uang panaik merupakan cerminan status sosial calon

pengantin. Tinggi dan rendahnya uang panaik merupakan bahasan yang paling

mendapatkan perhatian dalam perkawinan Bugis, sehingga sudah menjadi

rahasia umum bahwa itu akan menjadi „buah bibir‟ bagi para tamu undangan.

Adapun penyebab tingginya jumlah uang panaik tersebut disebabkan karena

beberapa faktor di antaranya: status ekonomi keluarga calon istri, jenjang

pendidikan calon istri, kondisi fisik calon istri, status pernikahan calon istri;

janda dan perawan.4

Semakin tinggi status sosial pihak perempuan, maka semakin besar

Uang panaik yang dikeluarkan oleh pihak laki-laki. Hal ini menjadi masalah

tersendiri dalam masyarakat, sebab tidak jarang terjadi gagalnya perkawinan

disebabkan tidak disepakatinya uang panaik oleh kedua belah pihak

mempelai.5 Bahkan, yang lebih parah, tak jarang pasangan tersebut malah

kawin lari yang dalam masyarakat suku Bugis disebut “silariang”.6

Ada dua dasar yang menjadi pegangan masyarakat Bugis, yaitu saraq

(syariah) dan adeq (adat) menjadi dua hal yang saling menemukan bentuk

dalam dinamika kehidupan masyarakat Bugis. Saat kehidupan diatur dengan

pangngaderreng (undang-undang sosial) sebagai falsafah tertinggi yang

mengatur masyarakat sampai penaklukan seluruh tanah Bugis tahun 1906,

3Moh Ikbal, “Uang panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, The Indonesian

Journal Of Islamic Family Law”, 06, (Juni, 2016), h. 201. 4 Moh Ikbal, “Uang panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, The Indonesian

Journal Of Islamic Family Law”, 06, (Juni, 2016), h. 202. 5 Nurul Hikmah, “Problematika Uang Belanja Pada Masyarakat” , ojs.unm.ac.id, 2015, h.

64. 6Ahmad Ridha Jafar, ”Uang Panai‟ Dalam Sistem perkawinan Adat Bugis Makassar

Perspektif Hukum Islam”( Yogyakarta: Skripsi Universitas Islam Indonesia, 2016), h. 4.

Page 17: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

3

maka unsur yang awalnya hanya terdiri atas empat kemudian berubah menjadi

lima. Ini untuk mengakomodasi diterimanya Islam sebagai pegangan hidup.

Sistem yang saling mengukuhkan pangngaderreng didirikan atas: 1) wariq

(protokoler kerajaan); 2) adeq (adat istiadat); 3) bicara (sistem hukum); 4)

rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan); dan 5) saraq

(syariat Islam). Oleh karena itu, setelah diterimahnya saraq sebagai bagian dari

pangngadereng, maka keputusan masyarakat Bugis terhadap adat dan agama

dilakukan secara bersamaan dan sama kuatnya.7

Menurut Shils, manusia tak mampu hidup tanpa tradisi/ritual adat meski

mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka. Shils menegaskan

bahwa suatu tradisi atau ritual itu memiliki fungsi bagi bagi masyarakat antara

lain:

1. Dalam bahasa klise, dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun temurun.

Tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan norma dan nilai yang kita anut

kini serta di dalam benda yang diciptakan di masa lalu.

2. Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata dan

aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan pembenaran agar dapat

mengikat anggotanya.

3. Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat

loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok.

4. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, kekecewaan dan

ketidak puasan kehidupan modern. 8

Tradisi/ ritual adat pernikahan Bugis, memeliki fungsi seperti

penjelasan sebelumnya, namun seiring perkembangan zaman, terjadi

perubahan termasuk perubahan nilai sehingga mengakibatkan munculnya

sesuatu yang tidak diinginkan, diantaranya adalah:

7M. Juwaini, ”Nilai-Nilai Moral Dalam Ritual Adat Pernikahan Masyarakat Bugis Dan

Relavansinya Dengan Nilai-Nilai Pendidikan Islam”( Yogyakarta: Tesis Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga, 2018), h. 2. 8M. Juwaini, ”Nilai-Nilai Moral Dalam Ritual Adat Pernikahan…

Page 18: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

4

1. Ritual adat pernikahan Bugis sebagai ajang pamer status sosial, ajang

gengsi keluarga kedua mempelai. Maka dibuatlah pesta yang sangat

meriah untuk menghindarkan diri dari perkataan negatif orang lain.

2. Ritual adat pernikahan Bugis merupakan bentuk pemborosan dan

cenderung materialistis, hal ini dapat dilihat dari biaya yang dihabiskan

dalam proses tersebut. Termasuk juga tingginya uang panaik yang

dibebankan oleh keluarga calon mempelai perempuan kepada keluarga

calon mempelai laki-laki.

Tingginya jumlah uang panaik memang beberapa mendatangkan

manfaat karena dapat memotivasi para pemuda untuk bekerja keras dalam

mempersiapkan diri menghadapi perkawinan. Selain itu, ada pula anggapan

bahwa tingginya uang panaik dapat mengurangi tingkat perceraian dalam

rumah tangga karena tentu seorang suami akan berpikir beberapa kali untuk

menikah lagi dengan pertimbangan jumlah uang panaik yang sangat tinggi.

Kedua alasan tersebut tidak menyalahi kebenaran terhadap realita yang mereka

hadapi. Tapi mari kita lihat dari sisi negatifnya juga. Pada kenyataanya banyak

kita temukan pemuda yang gagal menikah akibat ketidakmampuannya

memenuhi jumlah uang panaik yang dipatok oleh keluarga perempuan.

Sementara si pemuda dan si gadis telah menjalin hubungan yang serius. Salah

satu contohnya seorang yang bernama Akmal dia telah menunda

perkawinannya selama satu tahun hanya karena uang panaik yang diminta

melebihi kemampuannya. Uang panaik yang diminta oleh mertuanya adalah

sebelas ribu ringgit Malaysia dikarenakan istrinya adalah seorang mahasiswi

sarjana diploma. Untuk mencukupi uang panaiknya, dia tidak melakukan kerja

sampingan maupun meminjam uang dari pihak lain melainkan membutuhkan

waktu yang agak lama untuk mengumpulkan jumlah uang yang diperlukan.9

yang demikian inilah dapat menyebabkan terbukanya pintu-pintu kemaksiatan,

misalnya si gadis hamil diluar nikah yang membuat orang tua si gadis mau

tidak mau harus menyetujui perkawinan mereka atau bahkan ada beberapa

9Muhammad Nur Ikram ”Pengaruh Tingginya Uang Hantaran Terhadap Penundaan

Perkawinan”( Aceh: Tesis UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2018), h. 3-4.

Page 19: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

5

yang nekat mengakhiri hidup disebabkan karena tidak disetujuinya perkawinan

mereka.

Tradisi uang panaik juga dapat menghambat atau membatalkan

pernikahan, apabila pihak laki-laki tidak mampu memberikan jumlah uang

panaik yang diminta. Seperti kisah gadis yang bernama Risna yang sempat

viral di media sosial, ketika menghadiri pernikahan mantan kekasihnya (Rais)

dia dipeluk oleh mempelai laki-laki dihadapan semua tamu undangan dan juga

mempelai wanitanya sambil berlinang air mata. Setelah diwawancarai, ternyata

penyebab mereka berpisah setelah menjalin kasih selama tujuh tahun dan

sempat dua kali datang melamar adalah karena tidak adanya kesepakatan

mengenai uang panaik.10

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil judul “MAHAR DAN

UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus

Perkawinan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone)” dengan harapan agar

mengelaborasi status Uang panaik dalam tradisi pernikahan di Kabupaten

Bone dan kaitannya dengan mahar selaku prasyarat pernikahan. Kajian ini

diharapkan memberi kontribusi informasi terkait kearifan local masyarakat

Bugis dalam tradisi pernikahan yang disebut “uang panaik”.

B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang

berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan

muncul dalam latar belakang di atas, akan penulis paparkan beberapa di

antaranya, yaitu:

1. Sejarah Uang panaik dalam perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten

Bone

2. Perspektif hukum Islam terhadap mahar dan uang panaik

10

http://makassar.tribunnews.com/2014/10/28/ternyata-gadis-bulukumba-ini-korban-uang-

panai, diakses pada tanggal 9 April 2019, pukul 23.33 WIB.

Page 20: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

6

3. Struktur sosial masyarakat Bugis di Kabupaten Bone mempengaruhi

mahar dan uang panaik

4. Dasar penentuan mahar dan uang panaik pada masyarakat Bugis di

Kabupaten Bone

5. Respon pemerintah Kabupaten Bone terhadap mahar dan uang panaik

2. Batasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,

penulis membatasi masalah tentang mahar dan uang panaik dalam tradisi

perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan Identifikasi dan batasan masalah yang telah dipaparkan

penulis, maka dapat dirumusksn masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap mahar dalam perkawinan

masyarakat Bugis di Kabupaten Bone?

2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap Uang panaik dalam

perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone?

3. Bagaimana perspektif masyarakat Bugis di Kabupaten Bone terhadap

implementasi mahar dan uang panaik dalam perkawinan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisaan

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap mahar dalam

perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone

b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap uang panaik

dalam perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone

c. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone

terhadap implementasi Mahar dan uang panaik dalam perkawinan

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi upaya

pengembangan Hukum Islam. Selain itu dapat menjadi referensi atau

Page 21: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

7

rujukan bagi mahasiswa yang akan melakukan penulisan tentang

masalah yang sama atau serupa.

b. Manfaat Praktis

Di harapkan dapat menjadi kontribusi dan bahan pertimbangan

bagi pemerintah daerah atau pihak-pihak yang berkepentingan dalam

menentukan kebijakan tentang pelaksanaan mahar dan uang panaik

dalam perkawinan.

D. Review Kajian Terdahulu

Ada beberapa studi terkait dengan mahar dan uang panaik.

Pertama, studi mengenai uang panaik Dalam Perkawinan Adat Suku

Bugis (Studi Kampung Bugis Manokowari Papua Barat yang dilakukan

oleh Mutoharatun Azizah menemukan bahwa latar belakang adanya uang

panai‟ yaitu karena suku bugis menetapkan perempuan sebagai puncak

martabat keluarga yang mana merupakan “siri” atau harga diri bagi

keluarga tersebut. Sehingga hal ini lah yang melatar belakangi adanya

uang panai‟ dalam perkawinan adat suku Bugis, kedudukan uang panai‟

adalah wajib dalam perkawinan adat suku Bugis sehingga apabila seorang

anak perempuan hendak menikah tetapi tidak ada uang panaiknya, maka

lebih baik perkawinan tidak dilanjutkan atau dibatalkan.11

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Nashirul Haq Marling.

Penelitian mengkaji Uang panai‟ dalam tinjauan Syariah. Dalam

penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam tradisi pernikahan di Indonesia

terdapat keragaman dalam hal persiapan biaya saat mempersunting wanita.

Daerah Sulawesi khususnya suku Bugis dikenal dengan uang panaik yang

paling tinggi yang dihabiskan selama acara pernikahan dimana penelitian

ini membahas secara umum tentang uang panai‟ tetapi tidak menjelaskan

11

Mutoharatun Azizah, “Uang panaik Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis (Studi Kampung Bugis Manokowari Papua Barat” Skripsi (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2017), h. 6

Page 22: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

8

prosesi masing-masing daerah yang terdapat di Sulawesi yang tentunya

memiliki perbedaan dalam hal menjalankan tradisi uang panai‟ ini.12

Selanjutnya, penelitian sebelumnya mengenai Uang panai‟ antara

cinta dan gengsi yang diteliti oleh Sri Rahayu. Dalam penelitiannya

mengemukakan bahwa budaya panai‟ bagi masyarakat Bugis perantauan

memahaminya sebagai bagian dari prosesi lamaran untuk membiayai pesta

perkawinan. Penentuan uang panai‟ umumnya ditentukan oleh status

sosial yang disandang oleh keluarga mempelai perempuan. Semakin baik

status sosial yang dimiliki pihak keluarga mempelai perempuan, semakin

tinggi uang belanja yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki.

Pertimbangan besarnya uang belanja sebagai syarat adat menjadi dominasi

bagi kaum muda. Kepentingan dua muda mudi yang saling mencintaipun

harus tunduk pada keputusan-keputusan yang muncul dari adat istiadat

warisan leluhur. Keputusan yang lebih mengutamakan materialisme

berupa gengsi dan prestise keluarga menimbulkan resistensi muda mudi

terhadap budaya panai‟.13

Dari beberapa penelitian di atas yang sudah diteliti dan telah

diklasifikasikan sesuai subtansi. Maka dari itu penulis meneliti hal lain

dari uang panaik. Penulis mengangkat judul yang sedikit berbeda dari

penelitian-penelitian sebelumnya yaitu Mahar dan Uang panaik dalam

Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Perkawinan Masyarakat Bugis di

Kabupaten Bone). Dengan bermaksud mengangkat subtansi mengenai

perspektif hukum Islam tentang mahar dan uang panaik serta

implementasi dimasyarakat terhadap mahar dan uang panaik di Kabupaten

Bone .

12 Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum Dan

Syariah, volume 6, nomor 2, (Desember, 2017), h. 4

13

Sri Rahayu. “Uang Nai’ : Antara Cinta Dan Gengsi”, jurnal Akuntansi Multiparadigma. Volume 6, nomor 2, (Juli, 2015), h. 235

Page 23: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

9

E. Metode Penelitian

Dalam membahas masalah-maslah penulisan ini, dibutuhkan suatu

metode atau cara memperoleh data yang berhubungan dengan masalah masalah

yang akan dibahas sehingga menghasilkan data yang baik, benar, dan bagus.

Adapun beberapa metode yang penulis gunakan antara lain:

1. Jenis Penulisan

Penulisan ini termasuk jenis penulisan yang sumber datanya

diambil dari tempat lokasi penelitian secara lansung di daerah tempat

penulisan. Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah corak

penulisan kualitatif.14

penulisan ini merupakan penulisan etnografi yang

bertujuan untuk mencari pemahaman tentang budaya karena tindakan

manusia ditentukan oleh budayanya, manusia terbentuk oleh budayanya,

cita-cita manusia terbentuk berdasarkan nilai budaya yang dianutnya.15

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kulitatif

yaitu dengan prosedur penulisan menghasilkan data deskriptif tentang

pandangan hukum Islam terhadap mahar dan uang panaik dalam

perkawinan adat Bugis di Kabupaten Bone.16

3. Sifat Penulisan

Penulisan ini bersifat analitik yaitu merupakan kelanjutan dari

penulisan deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan

karakteristik tertentu, tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa

atau bagaimana hal itu terjadi.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone, sebagai salah satu

daerah otonom di Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis memilih Kabupaten

14

A. Muri Yusuf, Metode Penulisan Kuantitatif, Kualitatif dan Penulisan Gabungan,

(Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014), h. 359. 15

Dr. J. R. Raco, Metode Penulisan Kualitatif, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, 2010), h. 89-90. 16

Hajra Yansa, yayuk Basuki, dkk. Uang Panai‟ dan Stasus Sosial Perempuan dalam

Perspektif Budaya Siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan, Volume 3

Nomor 2 (2016) h. 4.

Page 24: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

10

Bone sebagai lokasi penelitian karena akulturasi kebudayaan Bugis masih

sangat kental terutama dalam tradisi penyerahan mahar dan uang panaik

dalam perkawinan.

F. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan dapat dibagi ke dalam

dua sumber, yaitu:

a. Data primer, data yang didapat dari hasil observasi, wawancara lansung

dengan masyarakat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama

serta ilmuwan Bugis. Termasuk hukum normatif dan keberadaan

penulis yang juga berasal dari masyarakat atau suku Bugis yang

berdomisili di Kab. Bone, tempat dimana data-data dari penulisan ini

diambil.

b. Data sekunder, dalam penulisan ini data yang digunakan penulis adalah

data yang dikumpulkan oleh orang lain melalui studi pustaka yang

berkaitan buku-buku sejarah, fiqh, dan data-data lain yang mempunyai

kaitan dan hubungan dengan tema ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang sering digunakan adalah

wawancara yaitu proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan

informasi dengan cara tanya jawab antara penulis dengan informan atau

subjek penelitian. Selain wawancara, observasi juga merupakan kegiatan

dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman,

pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk

menjawab masalah penelitian.

3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:

Page 25: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

11

a. Metode induktif yaitu metode atau cara berpikir untuk menarik

kesimpulan yang bersifat khusus ke kesimpulan yang bersifat umum.

b. Metode analisis data kualitatif yaitu suatu metode peneltian yang

mengungkap makna dari data penelitian baik wawancara, dokumen

maupun pengamatan di lapangan.

G. Teknik Penulisan

Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab

berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:

Bab Pertama yaitu pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metodologi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penelitian.

Bab Kedua, membahas mengenai konsep mahar dalam Islam yang

meliputi: pengertian mahar, dasar hukum mahar, syarat dan jenis-jenis mahar,

jumlah mahar, pelaksanaan pembayaran mahar, tujuan dan hikmah mahar serta

konsep Uang panaik yang meliputi: pengertian uang panaik, sejarah

munculnya uang panaik, tahapan pemberian uang panaik, serta perbedaan

mahar dan uang panaik.

Bab Ketiga, menjelaskan mengenai budaya masyarakat Bugis di Kab.

Bone Sulawesi selatan yang meliputi: potret daerah kabupaten Bone, adat

istiadat dan agama, masyarakat Islam Bugis, prosesi perkawinan masyarakat

Bone, sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan.

Bab Keempat, memaparkan hasil dari penelitiannya yang diperoleh dari

lapangan meliputi tentang bagaimana pandangan hukum Islam terhadap mahar

dan Uang panaik dalam perkawinan masyarakat Bugis di kabupaten Bone serta

memaparkan pandangan masyarakat Bugis di Kabupaten Bone terhadap

implementasi mahar dan uang panaik dalam perkawinan.

Page 26: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

12

Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari

penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi yang bersifat membangun

bagi penyempurnaan penelitian ini.

Page 27: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

13

BAB II

MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

A. Mahar

1. Pengertian Mahar

Mahar secara etimogi artinya maskawin, secara terminologi, mahar

ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai

ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi

seseorang istri kepada calon suaminya atau suatu pemberian yang

diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk

benda maupun jasa.17

Mahar dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan maskawin.

Maskawin atau mahar adalah pemberian seorang suami kepada isterinya

sebelum, sesudah, atau pada waktu berlangsungya akad nikah sebagai

pemberian wajib.18

Mahar dalam bahasa arab juga disebut ااصداق shadaq

karena sang suami mengungkapkan kesungguhan cinta yang ia

persembahkan dalam pernikahan.19

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai masalah mahar.

Sebagaian mereka berpendapat, bahwa mahar itu diberikan sesuai dengan

kesepakatan di antara calon pengantin. Pendapat ini dikemukakan oleh

Sufyan Ats-Tsauri , Syafi‟i, Ahmad dan Ishak. Sedangkan Imam Malik

berpendapat “Mahar itu tidak boleh kurang dari seperempat dinar.”

Sedangkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata “Bahwa mahar yang

diberikan oleh Nabi untuk istri-istrinya sebesar dua belas setengah

„uqiyah‟ (HR. Muslim).20

17

H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet.

Pertama), h. 84. 18

Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2017, Cet. Kedua), h.

47. 19

Musthafa Dib al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 (Yogyakarta: Darul Uswah, 2008), h.

664. 20

Abi Hasan Muslim Ibn Al-Hajjaj Al-Qusyairy an-Naisabury, Sahih Muslim. Cetakan Ibnu Jauzi Qahirah, no hadis 1426, h. 327

Page 28: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

14

Mas kawin adalah harta yang wajib dibayar suami terhadap istrinya

karena akad atau bercampur secara benar. Mas kawin memiliki nama yang

banyak, yaitu shadaq, mahr, nihlah, faridhah, hiba, ajr, dan aqd alaiq.21

mahar secara sosial, ekonomi dan ideologis, difungsikan untuk beragam

tujuan, Abu Zahrah menjelaskan bahwa selain menjadi tanda etis-moral

keseriusan dan ketulusan ikatan pernikahan, mahar berfungsi sebagai

bantuan material suami kepada isterinya guna persiapan berumah tangga.22

Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Bab Mahar telah

dijelaskan apa itu mahar. Pasal 30 dikatakan bahwa “Calon mempelai pria

wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah,

bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”. Pada pasal 31

“Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang

dianjurkan oleh ajaran Islam”. Pasal 34 terdapat dua ayat: (1) Kewajiban

menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan; (2)

Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak

menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan

mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. Pada pasal

37 juga disebutkan bahwa “Apabila terjadi selisih pendapat mengenai

jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaian diajukan ke

Pengadilan Agama. 23

2. Dasar Hukum Mahar

Mahar hukumnya wajib bagi seseorang suami untuk kesempurnaan

akad nikah, baik disebutkan dalam akad tersebut dengan sejumlah harta

tertentu atau tanpa menyebutkan jumlahnya. Bahkan seandainya suami

bersepakat untuk tidak memberikannya atau tidak menyebutkannya, maka

kesepakatan tersebut tidak sah, sebab mahar adalah sebuah keharusan.

21

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah (Solo: Era

Intermedia, 2005), h. 212. 22

Noryamin Aini, “Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur

Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia,” AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah 17, No.1 (29 Juli 2014),

h. 16. 23

Direktori Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama R.I, Kompilasi

Hukum Di Indonesia, Jakarta: 2001, h. 5.

Page 29: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

15

Adapun dasar hukum kewajiban mengenai mahar terdapat pada QS. An-

Nisa‟ (4): 4;

نهيئام رهيئاو نون فساف كلوهى ل كمع نش يءمه ل ةف إهنطهب آتواالنس اء ص دق اتههننه

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang

kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika

mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan

senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)

yang sedap lagi baik akibatnya”

Imam Syafi‟i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib

diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai

seluruh anggota badannya. Jika istri telah menerima maharnya, tanpa

paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka

boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam

memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal

menerimahnya. Allah SWT berfirman dalam QS.an-Nisa‟(4): 20

ا إهحد ز وجو آت يتم ز وجم ك ان ال أ ر دتاستهبد أ ت أخذون وو إهن يئا ش نو ف الت أخذوامه قهنط ارا ىن ب هت اناو إهثامبهينا

Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,

sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka

harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya

barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan

jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? “.

Page 30: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

16

Hadis Nabi SAW bersabda:

عنعامربنربيعةانامرأةمنبينفزارةتزوجتعلىنعلنيفقالرسولاهللعليووسلم:أرضيتعلىنفسكومالكبنعلنيفقالت:نعم,فأجازه)رواهامحد

وابنماجووااترمذىوصححو(Artinya: “Dari Amir bin Rabiah: sesungguhnya seorang perempuan dari

bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah SAW

bertanya kepada perempuan tersebut: Relakah engkau dengan maskawin

sepasang sandal? Perempuan itu menjawab: Ya, akhirnya Rasulullah SAW

meluluskannya”. Sabdanya lagi:

منحديد)رواهالبحارى(تجولوخباتزوArtinya: “Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari

besi”.24

3. Syarat dan Jenis-jenis Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

a. Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak

berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya

mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.

b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan

khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.

c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang

milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk

memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.

Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi

akadnya tetap sah.

d. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya. Tidak sah mahar dengan

memberikan barang yang tidak jelas keadaanya, atau tidak disebutkan

jenisnya.25

24

Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim an-Nukhai, Sahih Bukhari. Cetakan Ibnu Jauzi, no hadis 5150, h. 631

25H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat h. 87-88.

Page 31: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

17

Kemudian berdasarkan jenisnya, mahar dapat dibagi kedalam dua

kategori, yaitu:

a. Mas kawin musama (yang disebutkan)

Mas kawin ini disepakati saat akad atau setelahnya, sesuai

dengan kesepakatan. Mas kawin musama diwajibkan diberikan kepada

istri dengan dua syarat; akad tersebut sah dan penyebutannya benar.

Apabila mas kawin itu disebutkan dalam akad yang sah dengan

sebutan yang bener maka yang disebutkan itu wajib dibayar walaupun

jumlahnya besar. Tapi, kewajiban ini suatu saat bisa gugur semuanya

atau sebagian.26

Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaanya, mahar

musamma harus diberikan secara penuh apabila:

1) Telah bercampur (bersenggama)

2) Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma‟.

Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami

telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan

sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau

dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.27

b. Mahar Mitsil (Sepadan)

Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya

pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang

diukur dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat,

agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial,

kecantikan dan sebagainya.28

Mahar mitsil itu menjadi wajib kerena

beberapa sebab berikut:

1) Apabila akad nikahnya batal

26

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah (Solo: Era

Intermedia, 2005), h. 220-221. 27

H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet.

Pertama), h. 92-93. 28

H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat h. 93.

Page 32: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

18

2) Apabila mahar tersebut batal karena adanya perdebatan antara

suami istri dalam penyebutan atau ukurannya.29

4. Jumlah Mahar

Dalam hal penentuan jumlah mahar tidak ada batasan minimal atau

maksimal. Semuanya yang bisa disebut harta atau yang sebanding dengan

harta, boleh dijadikan mahar, baik sedikit maupun banyak, tunai ataupun

utang, atau yang berupa kemanfaatan, seperti sajadah, uang 50 ribu, atau

mengajarkan Al-Qur‟an.30

para Fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu

tidak ada batas tertinggi.31

Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas terendahnya Imam

Syafi‟I, Ahmad Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan

tabi‟in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala

sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan

mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan

pengikut Imam Malik. Sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa

mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya

mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni,

atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding

berat mas dan perak tersebut.32

Adapun ketentuan mahar dalam yang telah diatur dalam Kompilasi

Hukum Islam yaitu:

a. Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon

mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya, disepakati oleh

kedua belah pihak.

b. Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan

yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

29

Musthafa Dib al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 (Yogyakarta: Darul Uswah, 2008), h.

671. 30

Musthafa Dib al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 h. 666. 31

H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet.

Pertama), h. 88-89. 32

H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet.

Pertama), h. 88-89.

Page 33: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

19

c. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak

itu menjadi hak pribadinya.

d. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Apabila calon mempelai

wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik

untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan

penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.

e. Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam

perkawinan. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu

akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula

halnya dalam keadaan mahar masih terhutang tidak mengurangi

sahnya perkawinan.

f. Suami yang menalak isterinya qabla al-dukhul wajib membayar

setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Apabila

suami meninggal dunia qobla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum

ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

g. Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti

dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan

barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai

dengan harga barang mahar yang hilang.

h. Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang

ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.

i. Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang

tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimahya tanpa

syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. Apabila istri menolak

untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya

dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum

diserahkan, maka mahar dianggap masih belum dibayar.33

33

Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2017, Cet. Kedua), h.

49-50.

Page 34: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

20

5. Pelaksanaan Pembayaran Mahar

Dalam tata cara pembayaran mahar Imam Abu Hanifah

berpendapat bahwa kaedah pembayaran boleh dibuat mengikut amalan

masyarakat (urf) setempat jika tidak ada penentuan cara pembayaran

mahar. Berpandukan kaedah fiqh:

Maksudnya: “sesuatu yang umum diketahui pada urf samalah

seperti yang disyariatakan dalam sesuatu syarat”

Maka dari itu apabila amalan yang dibuat dalam kalangan

masyarakat setempat selalu membayar mahar sepenuhnya hendaklah

dibayar sepenuhnya. Namun apabila masyarakat setempat selalu

membayar setengahnya maka hendaklah dibayar setengahnya pula

sebelum bercampur.34

Beberapa fuqaha juga berpendapat, jika di dalam nas tidak terdapat

tatacara pembayaran mahar sama dengang berhutang atau tunai, maka

tatacara pembayaran dipulangkan ke hukum asal yaitu dibayar tunai.

Mahar wajib dibayar semuanya kepada isteri sebelum mereka bercampur

karena mahar merupakan bagian daripada akad perkawinan tersebut.

Suami wajib memberikan mahar sebaik akad perkawinan sah. Dengan

demikian, tiada sebab-sebab tertentu yang boleh menangguhkan pemberian

mahar dalam akad yang sah. Namun, apabila wujudnya syarat-syarat

tertentu yang boleh menangguhkan pemberian mahar maka ia boleh

ditangguhkan. Tetapi jika tiada syarat-syarat tertentu yang boleh

menangguhkan maka ia mengikut kepada hukum yang asal, yaitu mesti

dibayar dengan tunai.35

Para ulama mazhab juga sepakat bahwa mahar boleh dibayar

kontan dan boleh dihutangkan, baik itu sebahagian maupun seluruhnya,

dengan syarat harus diketahui secara detail. Misalnya si laki-laki

mengatakan; “saya mengawinimu dengan mahar seratus dirham uang

emas, yang lima saya bayar kontan, sedangkan sisanya saya bayar

34

Safitrah ”Konsep Mahar dan Hantaran Menurut Islam”( Malaysia: UM 2018), h. 48 35

Safitrah ”Konsep Mahar dan Hantaran Menurut Islam”( Malaysia: UM 2018), h. 44-46

Page 35: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

21

setahun”. Atau bisa diketahui secara global, misalnya pengganti laki-laki

mengatakan; “maharnya saya hutang, dan akan saya bayar ketika saya

mendapatkan pekerjaan”. Cara hutang seperti ini Imam Syafi‟i

melarangnya.36

6. Tujuan dan Hikmah Mahar

Adapun tujuan mahar:

a. Menjadikan jalan istri menjadi senang dan ridha menerima kekuasaan

suaminya kepada dirinya.

b. Menumbuhkan tali kasih sayang dan memperkuat dalam hal cinta

mencintai.

c. Bentuk usaha untuk memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita,

yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya.37

Adapun hikmah dari pemberian Mahar adalah sebagai berikut:

a. Menunjukkan kesungguhan cinta suami dalam menggauli istrinya

dengan cara yang mulia dan untuk menciptakan kehidupan rumah

tangga yang harmonis.38

b. Mengangkat derajat perempuan dan memberikan hak kepemilikannya.

Sehingga diberi hak menerima mahar dari suaminya saat menikah, dan

menjadikan mahar sebagai kewajiban bagi suami untuk menghormati

perempuan dengan memberikan mahar tersebut.

c. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya,

karena mahar itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh al-

Qur‟an diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan),

bukan sebagai pembayar harga wanita.

d. Menunjukkan kesungguhan diri karena menikah dan berumah tangga

bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.

36

Muhammad Iqbal. “Konsep Mahar Dalam Perspektif Mazhab Imam Syafi‟i”, Al-

Mursalah, volume 1, nomor 2, (Desember, 2015,), h. 16. 37

Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2017, Cet. Kedua), h.

48. 38

Musthafa Dib al-Bugha, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 (Yogyakarta: Darul Uswah, 2008), h.

665.

Page 36: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

22

e. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga

dengan memberikan nafkah, karena laki-laki adalah pemimpin atas

wanita dalam kehidupan rumah tangganya dan untuk mendapatkan hak

itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus

lebih bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap

isterinya.39

B. Uang panaik

1. Pengertian Uang panaik

Uang panaik atau biasa disebut dengan uang belanja adalah biaya

yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam rangka

pelaksanaan pesta pernikahan tersebut.40

pemberian Uang panaik

merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh laki-laki

ketika akan melansungkan perkawinan dimana ditentukan setelah adanya

proses lamaran.41

Uang panaik merupakan syarat yang mengikat untuk

berlangsung atau tidaknya perkawinan, dimana Uang panaik ini menjadi

kewajiban calon mempelai perempuan dan orang tuanya untuk membiayai

segala hal-hal yang berkaitan dengan pesta perkawinan.42

2. Sejarah Munculnya Uang panaik

Simbolik dui menre atau Uang panaik adalah simbolik untuk

warga masyarakat Sulawesi selatan khususnya untuk suku Bugis. 43

Sejarah

Uang panaik ini yaitu pada masa kerajaan Bone dan Gowa Tallo,

Kabupaten Gowa merupakan daerah wilayah inti kerajaan Gowa yang

dimana diketahui dalam sejarah pada abad ke XVII kerajaan Gowa

mencapai puncak kejayaanya di bawah pemerintahan Sultan Muhammad

Said Tumenangari Ball‟ Pangkana. Pada masa itu kerajaan Gowa

39

Abd Kohar, Kedudukan dan Hikmah Mahar dalam Perkawinan. h. 49. 40

Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone

( Bone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007,), h. 16. 41

Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum dan Syariah,

volume 6, nomor 2, (Desember, 2017,), h. 48. 42

Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada Press

Jakarta, 2016), h. 112. 43

Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe

Page 37: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

23

memegang Hegemoni dan supremasi didaerah Sulawesi Selatan, bahkan

didaerah Indonesia bagian timur. Dimana ketika seseorang laki-laki ingin

meminang keluarga dari kerajaan atau keturunan raja maka dia harus

membawa seserahan yang menunjukkan kemampuan mereka untuk

memberikan kesejahteraan dan kenyamanan bagi istri dan anak-anaknya

kelak dengan kata lain lelaki tersebut diangkat derajatnya dan isi seserahan

itu berupa Uang panaik yang menjadi syarat wajib dan mutlak untuk

mereka penuhi, Uang panaik kemudian berkembang hingga lapisan kasta

bawah bila ingin menikahi anak gadis dari masyarakat suku Bugis,

anggapan mereka tentang Uang panaik yang tinggi akan bertujuan untuk

mengetahui kesungguhan laki-laki yang ingin menikahi anak gadisnya. 44

Uang panaik dalam tradisi Bugis merupakan sejumlah uang yang

diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita sebagai

sebuah penghargaan dan realitas penghormatan terhadap norma dan strata

sosial. Bagi pria lokal atau yang juga berasal dari Suku Bugis , memenuhi

jumlah Uang panaik di pandang sebagai siri‟ jadi perempuan yang bener-

bener dicintainya merupakan motivasi untuk memenuhi jumlah Uang

panaik sebagai simbol akan ketulusan untuk meminang sang gadis.

Simbolik Uang panaik adalah simbolik untuk warga masyarakat

Sulawesi Selatan khususnya pada suku Bugis dimana pada

perkembangannya sekararang Uang panaik dijadikan sebagai syarat

mutlak dalam adat pernikahan adat Bugis.45

Kompleksitas budaya pernikahan pada masyarakat sulawesi

Selatan merupakan nilai-nilai yang tak lepas dipertimbangkan dalam

pernikahan seperti status sosial, ekonomi, dan nilai-nilai budaya dari

masing-masing keluarga pria dan wanita. Di Sulawesi Selatan satu hal

yang menjadi khas dalam pernikahan yang diadakan yaitu Uang panaik

atau oleh masyarakat setempat disebut doi‟ panai‟.

44

Andi Aminah Riski dkk, ”Money Shopping(Uang panaik) In Marriage Bugis Reteh

District Community Indragiri Hilir”, (Jom.unri.ac.id 2017), h. 4. 45

Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum Dan

Syariah, volume 6, nomor 2, (Desember, 2017,), h. 46.

Page 38: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

24

Pernikahan pada suku Bugis bagi sebagian orang sangat

memberatkan mengingat besarnya jumlah doi‟panai‟ atau uang belanja

bagi pihak mempelai pria harus dibayarkan kepada mempelai wanita.

Mestinya bukan mahalnya yang dipersoalkan namun hakikatnya nikah

suku Bugis adalah mempertemukan dua keluarga besar dengan segala

identitas dan status sosial, selain itu juga melestarikan garis silsilah di

masyarakat.

Uang panaik untuk menikahi gadis bugis terkenal tidak sedikit

jumlahnya tergantung pada tingkat starata sosial dan pendidikan dari sang

gadis, adapun pengambilan keputusan akan besarnya Uang panaik

terkadang dipengaruhi oleh keputusan keluarga perempuan (saudara ayah,

ataupun saudara ibu) oleh karena besarnya Uang panaik yang terkadang

tidak mampu diberikan oleh sang lelaki kepada sang perempuan membuat

sang pasangan yang telah saling mencintai ini melakukan tindakan diluar

tradisi Bugis yaitu kawin lari(silariang).

Uang puluhan juta atau bahkan sampai pada ratusan juta menjadi

nominal yang lumrah terlebih lagi jika calon mempelai perempuan adalah

keturunan darah biru punya gelar adat seperti, Karaeng, Andi, Opu, Puang,

dan Petta ataupun tingkat pendidikan calon mempelai perempuan adalah

S1, S2, PNS, Haji, dan lain-lain. Maka Uang panaik akan berpuluh-puluh

bahkan sampai ratusan juta , semakin tinggi nominal Uang panaik maka

semakin tinggi juga citra diri keluarga mempelai dimata masyarakat, itu

fakta yang sekarang terjadi.

Jika jumlah Uang panaik mampu dipenuhi oleh calon mempelai

pria maka hal itu akan menjadi suatu kehormatan bagi bagi pihak keluarga

perempuan. Kehormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa

penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada calon

mempelai perempuan yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta

yang megah untuk pernikahannya melalui Uang panaik tersebut.

Suku Bugis yang menjadi ciri khas dalam pernikahan adalah

pemberian Uang panaik yang bervariasi, tapi jangan menganggap bahwa

Page 39: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

25

pemberian Uang panaik itu sudah termasuk mahar yang diberikan calon

mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan, melainkan Uang

panaik dan mahar adalah dua hal yang wajib dipenuhi ketika ingin

menikahi perempuan-perempuan Bugis.

Tapi sebenarnya jika dilihat berdasarkan realitas yang ada, arti

Uang panaik ini sudah bergeser dari arti yang sebenarnya, Uang panaik

sudah menjadi ajang gengsi atau pamer kekayaan. Tak jarang untuk

memenuhi permintaan Uang panaik tersebut calon mempelai pria bahkan

harus berhutang.46

3. Tahapan- tahapan Penyerahan Uang panaik

a. Pihak keluarga laki-laki mengirimkan utusan kepada pihak keluarga

perempuan untuk membicarakan perihal jumlah nominal uang panaik,

pada umumnya yang menjadi utusan adalah tomatoa (orang yang

dituakan)

b. Setelah utusan pihak keluarga laki-laki sampai di rumah tujuan,

selanjutnya pihak keluarga perempuan mengutus orang yang dituakan

untuk menemui pihak dari keluarga laki-laki. Setelah berkumpul maka

pihak keluarga perempuan menyebutkan harga Uang panaik yang

dipatok. Jika pihak keluarga calon suami menyanggupi maka

selesailah proses tersebut, akan tetapi jika merasa terlalu mahal maka

terjadilah tawar menawar berapa nominal yang disepakati antara

kedua belah pihak.

c. Setelah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maka tahapan

selanjutnya membicarakan tanggal kedatangan pihak keluarga laki-

laki untuk menyerahkan sejumlah Uang panaik yang telah disepakati.

d. Tahap selanjutnya adalah pihak keluarga laki-laki datang kerumah

pihak keluarga perempuan pada waktu yang telah disepakati sebelum

menyerahkan Uang panaik tersebut.

46

Rheny Eka Lestari, Mitos dalam Upacara Uang panaik Masyarakat Bugis Makassar.

Skripsi (Jember: Universitas Jember, 2016), h. 6

Page 40: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

26

e. Setelah Uang panaik diserahkan selanjutnya membahas mahar apa

yang akan diberikan kepada calon istrinya nanti. Adapun masalah

mahar tidak serumit proses uang panaik. Mahar pada umumnya

disesuaikan kesanggupan calon suami yang akan lansung disebutkan

pada saat itu. Dalam perkawinan suku Bugis pada era sekarang ini

mahar pada umumnya tidak berupa uang akan tetapi berubah barang

seperti tanah, rumah, dan perhiasan.47

C. Perbedaan Mahar dengan Uang panaik

Mahar dan Uang panaik dalam perkawinan adat suku Bugis adalah

suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua

hal tersebut memiliki posisi sama dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi.

Walaupun Uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai

suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan.

Sehingga jumlah nominal Uang panaik lebih besar dari jumlah mahar.

Apabila kisaran Uang panaik biasa mencapai ratusan juta rupiah

karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, justru sebaliknya mahar yang tidak

terlalu dipermasalahkan sehingga jumlah nominalnya diserahkan kepada

kerelaan suami yang biasanya berbentuk barang yaitu tanah, rumah, atau satu

set perhiasan. Hal tersebut dapat dilihat ketika prosesi akad nikah yang hanya

menyebutkan mahar dalam jumlah kecil.48

Secara sederhana kedua istilah di atas memang memiliki pengertian

yang sama yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika

dilihat dari sejarah yang melatar belakanginya, pengertian kedua istilah

tersebut jelas berbeda. Mahar adalah kewajiban dalam tradisi Islam,

47

Rheny Eka Lestari, Mitos dalam Upacara Uang panaik Masyarakat Bugis Makassar.

Skripsi (Jember: Universitas Jember, 2016), h. 4. 48

Moh Ikbal, Tinjauan Hukum Islam Tentang Uang panaik Dalam Perkawinan Adat Suku

Bugis Makassar Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar. Skripsi (Surabaya:

IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012), h. 20.

Page 41: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

27

sedangkan Uang panaik adalah kewajiban menurut adat masyarakat

setempat.49

Dalam adat perkawinan Bugis, terdapat dua istilah yaitu sompa dan

uang panaik. Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta

dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya

perkawinan menurut ajaran Islam. Sedangnkan Uang panaik adalah uang

antaran yang dimana harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai

laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai

prosesi pesta pernikahan.

Sompa secara harfiah berarti ”persembahan” yang sekarang

disimbolkan dengan sejumlah uang rella‟ ( yakni rial, mata uang Portugis

yang sebelumnya berlaku, antara lain di Malaka). Dimana Rella ini ditetapkan

sesuai status perempuan yang akan menjadi hak miliknya. Akan tetapi, sompa

atau mahar jarang terjadi perdebatan karena hal ini dianggap sebagai hal yang

biasa dan diukur sesuai kemampuan calon mempelai laki-laki.

Pada Lontara milik A. Najamuddin dijelaskan bahwa sompa atau

mahar juga mempunyai tingkatan yang berlaku dalam masyarakat muslim

Bone yaitu sebagai berikut:

1. Sompa bocco

Yaitu sompa yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada seorang

perempuan yang berstatus raja ketika dinikahi, yaitu 14 kati doi yang

disertakan pula dengan ata‟(budak) dan seekor kerbau. Sepanjang sejarah

kerajaan Bone bahwa sompa bocco ini hanya berlaku pada diri Bataritoja

sebagai Raja Bone ke 16 dan ke 20.

2. Sompa ana‟ bocco

Yaitu sompa yang diberikan kepada putri raja yang lahir dan

menikah pada saat ibu atau ayahnya sedang menjadi raja, ketika dinikahi

oleh seorang lelaki, yaitu 7 kati doi lama disertakan pula seorang

ata‟(budak) dan seekor kerbau.

49

Ardianto Iqbal, Uang panaik Sebuah Kajian Antara Tradisi Dan Gengsi, (Bandung,

Mujahidi Grafis: 2016), h. 29.

Page 42: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

28

3. Sompa ana‟ mattola

Yaitu sompa yang diberikan kepada putri raja yang lahir sebelum

dan sesudah ayahnya/ibunya menjadi raja ketika dinikahi oleh seorang

laki-laki, yaitu 3 kati doi lama disertakan pula seorang ata‟(budak) dan

seekor kerbau.

4. Sompa kati

Yaitu sompa yang diberikan kepada putri raja-raja bawahan ketika

dinikahi oleh seorang lelaki, yaitu 1 kati doi lama disertakan pula seorang

ata‟(budak) dan seekor kerbau.

5. Sompa to deceng

Yaitu sompa yang diberikan kepada putrinya ketika dinikahi oleh

seorang lelaki, yaitu ½ kati

6. Sompa to sama

Masyarakat biasa tapi terpandang yang diberikan ketika putrinya

dinikahi oleh seorang lelaki, yaitu ¼ kati

7. Sompa ata‟

Budak 1/8 kati.50

Sedangkan Uang panaik adalah uang antaran pihak laki-laki kepada

pihak keluarga perempuan untuk digunakan dalam pelaksanaan pesta

perkawinan. Besarnya Uang panaik ini ditentukan oleh keluarga perempuan.

Dimana, sekitaran 20 juta hingga ratusan juta tergantung kesepakatan dari

kedua belah pihak pada saat negoisasi.

Uang panaik tersebut pada masyarakat Bone sangat sensitive dan

sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu lamaran dari seorang laki-

laki kepada seorang perempuan.

Tolak ukur tingginya Uang panaik disebabkan beberapa faktor, seperti:

50

Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada Press

Jakarta, 2016), h. 107-108.

Page 43: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

29

1. Status sosial keluarga perempuan apakah dia dari keturunan

bangsawan atau bukan. Namun, untuk sejarang faktor ini sudah tidak

terlalu diperhatikan lagi.

2. Status ekonomi pihak perempuan, semakin kaya calon mempelai

perempuan maka semakin tinggi pula Uang panaik yang dipatok.

3. Jenjang pendidikan, besar kecilnya Uang panaik juga sangat

berpengaruh mengenai jenjang pendidikan calon mempelai perempuan,

apabila tingkat pendidikannya hanya tingkat sekolah dasar maka

semakin kecil pula Uang panaik yang dipatok begitu pula sebaliknya

jika calon mempelai perempuan lulusan sarrjana maka semakin tinggi

pula jumlah Uang panaik yang akan dipatok.

4. Kondisi fisik calon istri, yang dimaksud ialah paras yang cantik, tinggi

badan, kulit putih dll. Semua factor ini tetap saling berhubungan, bila

saja calon istri tidak memiliki paras yang cantic tapi kondisi ekonomi

yang kaya, maka tetap saja Uang panaik akan tetap tinggi.51

5. Perbedaan antara Janda dan Perawan, terdapat perbedaan dalam

penentuan Uang panaik antara perempuan yang janda dan perawan.

Biasanya perawan lebih banyak diberikan Uang panaik dari pada

janda, namun tidak menutup kemungkinan bisa juga janda yang lebih

banyak diberikan jika status sosialnya memang tergolong bagus.52

Perbedaan tingkat sosial masyarakat sangat mempengaruhi terhadap

nilai Uang panaik yang disyaratakan. Hal ini tentulah tidak sejalan

dengan ketentuan dalam agama Islam, dimana Islam tidak membeda-

bedakan status sosial dan kondisi seseorang apakah kaya, miskin,

cantik, jelek, berpendidikan atau tidak. Semua manusia dimata Allah

mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, hal yang membedakan

hanyalah dalam tingkat ketakwaanya.53

51

Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum Dan

Syariah, volume 6, nomor 2, (Desember, 2017,), h. 50-51. 52

Moh. Ikbal . “Uang panaik‟ Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, Al-Hukuma,

volume 6, nomor 1, (Juni, 2016,), h. 203. 53

Moh. Ikbal . “Uang panaik‟ Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”. h. 209.

Page 44: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

30

BAB III

BUDAYA MASYARAKAT BUGIS

DI KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN

A. Masyarakat Bugis Kabupaten Bone

1. Potret Daerah Kabupaten Bone

Kabupaten Bone adalah salah satu kabupaten yang terdapat di

dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Terletak di pesisir Sulawesi

Selatan yang berjarak sekitar 174 Km dari kota Makassar, merupakan

peralihan dari kerajaan tua yang terbesar di Sulawesi pada zaman dahulu,

yaitu kerajaan Bone dengan ibu kota Bone kemudian berubah nama

menjadi Lalebbata dan terakhir menjadi Watampone.54

Daerah terbesar

dan mempunyai garis pantai sepanjang 138 Km dari arah selatan ke arah

utara. Secara astronomis terletak dalam posisi 4013- 5

06 lintas selatan dan

antara 119042- 120

030 bujur timur dengan batas-batas wilayah sebagai

berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Wajo dan Soppeng

b. Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Sinjai dan Gowa

c. Sebelah timur berbatasan dengan dengan teluk Bone

d. Sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Maros, Pangkep, dan

Barru

Kabupaten Bone dengan ibu kotanya Watampone, membagi

wilayah secara administrasi terdiri dari 27 kecamatan, 31 kelurahan, 333

desa, 121 lingkungan, 893 dusun, dengan luas wilayah 4.559 Km. wilayah

kabupaten Bone terkenal sebagai daerah tiga dimensi karena terdapat

gunung-gunung dan hutan yang cukup lebat dengan panorama alam yang

indah, mempunyai daratan rendah yang luas sebagai proyek pertanian

dengan sawah yang terbentang luas termasuk perkebunan rakyat, serta

54

Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada Press

Jakarta, 2016), h. 70.

Page 45: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

31

hamparan empang dan laut yang terbentang luas hasul ikannya yang cukup

terkenal.

Daerah kabupaten Bone juga dikenal yang terletak pada ketinggian

yang bervariasi mulai dari 0 meter (tepi pantai) hingga lebih dari 1.000

meter dari permukaan laut. Daerah kabupaten Bone juga termasuk daerah

yang beriklim sedang.55

kelembapan udara berkisar antara 95%-99%

dengan temperature 260C – 43

0C. Pada periode April- September bertiup

angin timur yang membawa hujan. Sebaliknya pada bulan Oktober-Maret

bertiup angin barat, saat dimana mengalami musim kemarau di Kabupaten

Bone. Selain kedua wilayah yang terkait dengan iklim tersebut, terdapat

juga wilayah peralihan yaitu kecamatan Bontocani dan Kecamatan

Libureng yang sebagian mengikuti wilayah barat dan sebagian mengikuti

wilayah timur. Rata-rata curah hujan tahunan di wilayah Bone bervariasi

yaitu rata-rata, 1.759 mm-2000 mm, 2000-2500 mm dan 2500-3000 mm.56

Bugis merupakan suku bangsa yang mendiami wilayah bagian

selatan pulau Sulawesi yang saat ini dikenal dengan Sulawesi selatan.

Orang Bugis merupakan etnis terbesar dengan prosentase 41,90% dari

jumlah penduduk Sulawesi Selatan. Wilayah yang didiami oleh orang

Bugis meliputi Kabupaten/Kota Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng

Rappang, Pinrang, Luwu, Pare-Pare, Barru dan Sinjai. Sementara

Kabupaten seperti Maros, Pangkajene Kepulauan, Bantaeng dan

Bulukumba didiami oleh orang Bugis dan sebagian Makassar. Adapun

daerah seperti Tana Toraja, orang Bugis merupakan etnis minoritas.

Bagi suku-suku bangsa yang tinggal di sekitar orang Bugis,

mengenal mereka sebagai orang yang berkarakter keras dan menjunjung

tinggi kehormatan. Bahkan demi kehormatan (siri‟), orang Bugis rela

melakukan tindakan kekerasan karena siri‟ ini merupakan harga diri yang

mesti dipertahankan. Karakter keras menjadi label orang Bugis karena

55

Abdul Kadir Ahmad, Tradisi Perkawinan di Sulawesi Selatan Akulturasi dalam

Masyarakat Islam, 2006), h. 115-116. 56

Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada Press

Jakarta, 2016), h. 73.

Page 46: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

32

keteguhan mempertahankan sesuatu dan keberanian menghadapi

tantangan.57

2. Adat Istiadat dan Agama

a. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan pada orang Bugis disebut asseajiangeng.

Perhubungan antara seorang anak terhadap sanak kandung dari bapak

adalah sama dengan perhubungan terhadap ibunya, garis keturunan

berdasarkan ke dua orang tua (bilateral).58

Hubungan kekerabatan yang

demikian ini menjadi sangat luas, karena di samping ia menjadi anggota

keluarga dari pihak ibunya, ia juga menjadi anggota keluarga dari pihak

ayahnya.

Keanggotaan dalam suatu kekerabatan disebut ”seajing” yang

dibedakan atas seajing maruppe (kekerabatan dekat) dan seajing

mabela (kekerabatan jauh). Kerabat dekat merupakan kelompok

penentu dan pengendali martabat keluarga. Oleh karena itu anggota

kelompok ini harus selalu dilibatkan dalam menghadapi masalah-

masalah keluarga seperti masalah perkodohan/pelamaran, warisan dan

masalah solidaritas. Masalah solidaritas keluarga lebih menonjol dan

diwujudkan dalam bentuk kegiatan gotong royong untuk mengerjakan

pekerjaan tertentu seperti turut membantu persiapan perkawinan, biaya

perkawinan dan sebagainya.59

Adapun istilah-istilah kekerabatan yang

terdiri reppek mareppek (saudara dekat) diantaranya:

1) Lakkai (suami)

2) Inang riale (Ibu kandung Ego)

3) Amang riale (Ayah kandung Ego)

4) Kajao riale (Ibu kandung ayah/ibu Ego)

5) Toak riale (Ayah kandung dari ayah/ibu Ego)

57

Jabal Hikmah, repository.umy.ac.id/ handle/2014/07/20/konformitas-islam-dan-adat-

potret-fanatisme-keagamaan-di-kalangan-muslim-bugis 58

Dinas kebudayaan dan pariwisata, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi

Selatan (Makassar, 2013), h. 70. 59

Abd Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat

(Makassar: Indobis Publishing Makassar, 2006), h. 121-122.

Page 47: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

33

6) Anak dara (Saudara-saudara perempuan sekandung ego)

7) Padaorowane (Saudara-saudara laki-laki sekandung ego)

8) Anak riale (Anak kandung dari ego)

9) Eppo riale (Anak-anak kandung dari anak ego)

10) Amaure riale (Saudara-saudara kandung laki-laki dari ayah/ibu

ego)

11) Inaure riale (saudara-saudara kandung perempuan/ayah ego)

Mereka ini adalah sanak keluarga yang dianggap inti, ego tidak

boleh menjadikan salah seorang diantaranya sebagai isteri.60

b. Stratifikasi Sosial

Lapisan sosial tradisional masyarakat Bugis Bone membedakan

status menurut tinggi arunnya (keturunan). Ukuran yang digunakan

adalah soal asal keturunan sebagai unsur primer. Oleh karena itu, perlu

dibedakan terlebih dahulu jenis-jenis keturunan yang terdapat di

kabupaten Bone secara umum dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu:

1) Golongan Bangsawan (arung) yang lapisan keturunannya kerabat

raja, yang bergelar Andi atau Petta.

2) Golongan tau deceng , yaitu keturunan orang baik-baik yang

darahnya belum tercampur dengan golongan hamba sahaya. Pada

dasarnya adalah keturunan bangsawan, yaitu kawin mawin antara

bangsawan atau todeceng dari daerah lain dari keturunan itulah

lahir “todeceng” mereka ini bergelar daeng.

3) Golongan tosama, adalah golongan kebanyakan bukan ata (budak

saat ini tidak dikenal lagi dikalangan masyarakat Bone.

Secara sederhana masyarakat Bone membedakan lapisan Sosial

berdasarkan gelar yang dipakai seseorang. Strata arung dikenal dengan

gelar “Andi” dan nanti setelah kawin mendapat gelar tambahan “petta”,

sehingga seorang bangsawan setelah kawin akan bernama “Andi..

Petta”. Akan tetapi pengawasan terhadap gelar tersebut tidak sekokoh

60

Dinas kebudayaan dan pariwisata , Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi

Selatan (Makassar, 2013), h. 77.

Page 48: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

34

dulu lagi, sehingga kalaupun ada pelanggaran tidak ada sangsi seperti

dulu, paling-paling ada beberapa orang yang mencemooh secara

sembunyi-sembunyi. Di samping itu perkawinan merupakan salah satu

alat untuk meningkatkan status bagi keturunannya, khususnya bagi

orang strata bawah bila kawin dengan orang strata tinggi. Pelapisan lain

juga muncul dengan berkembangnnya nilai-nilai yang dianggap

berharga oleh masyarakat Bone adalah di samping keturunan maka

kekuasaan, kekayaan, pendidikan dan kesaktian telah pula dianggap

berharga.61

3. Islam dan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone

Sebagai salah satu suku dengan komunitas yang besar, suku bugis

dikenal sebagai suku yang memiliki falsafah hidup yang sangat kuat dalam

mengarungi kerasnya kehidupan. Cerita tentang bagaimana nenek moyang

bugis yang dikenal sebagai pelaut ulung yang yang dengan gagah berani

menaklukkan tinggi dan derasnya gelombang dan samudera adalah salah

satu realitas storis yang tidak terbantahkan. Dalam mengahapi berbagai

tantangan kehidupan, nenek moyang bugis memiliki nilai yang menjadi

insppirator penggerak etos kerja mereka yaitu paseng dan pangedereng.

1) Paseng

Paseng dapat diartikan sebagai suatu pesan atau amanah yang

harus dijaga dan pertanggungjawabkan. Menjaga paseng merupakan

suatu pertaruhan harga diri dan kehormatan karena bisa menjadi garis

pembatas antara kemuliaan dan kehinaan seseorang dalam hidupnya.

Secara rinci, paesng dapat dijabarkan menjadi lima bagian yaitu:

2) Lempu

Lempu adalah salah satu paseng dalam nilai Bugis yang

bisa bermakna kejujuran. Menurut Albert Hendra Wijaya,

kejujuran jika diartikan secara baku adalah “mengakui, berkata atau

memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan

61

Abd Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan Di Sulawesi Selatan Dan Sulawesi Barat

(Makassar: Indobis Publishing Makassar, 2006), h. 124-126.

Page 49: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

35

kebenaran”.62

Hal ini mengisyaratkan bahwa seseorang baru bisa

dikatakan jujur apabila ia mampu untuk berkata sesuai dengan

kenyataan. Antitesanya adalah seseorang yang berkata yang tidak

sesuai dengan kenyataan merupakan orang yang tidak jujur yang

dalam pandangan Islam bisa dikatakan sebagai orang munafik.

Dalam perspektif nilai bugis, kejujuran banyak

digambarkan dalam petuah-petuah orang bijak yang dikenal dengan

silasa. Dalam kumpulan Andi Palloge Petta Nabba dikatakan

”Sabbinna Lempu‟e Limai iyanaritu: 1) narekko salai,

naengngangi asalanna, 2) narekko rionroi sala, naddampengi tau

ripassalanna 3) narekko risanresiwi, de‟napacekoyyang, 4)

narekko rirennuangi , de‟napabellieyyang, 5) narekko majjanciwi,

narupaiwi jancinna”. Ungkapan ini menggambarkan bahwa kalau

seorang sudah bisa memahami kesalahannya, maka sekurang-

kurangya ia telah memiliki kejujuran dalam menilai diri sendiri

karena seringkali kesalahan orang lain Nampak lebih jelas daripada

kesalahan diri sendiri.63

3) Getteng

Getteng adalah salah satu paseng dalam nilai bugis yang

bisa bermakna keteguhan, ketegasan, serta kesetiaan pada

keyakinan. Keteguhan hati adalah sifat penting seorang beriman.

4) Ada Tongeng

Ada tonging adalah salah satu paseng dalam nilai bugis

yang bermakna satu kata dengan perbuatan. Dalam kumpulan Andi

Macca Amirullah, dikatakan “pasiceppei‟I lilamu nabatelamu”.

ungkapan ini menggambarkan bahwa ada tonging memeliki perang

sentral dalam mengokohkan harga seorang dalam kehidupan

bermasyarakat. Harga diri seorang ditentukan oleh caranya

menyelaraskan ucapan dan perbuatannya. Semakin selaras antara

62

Albert Hendra Wijaya, Kejujuran, eprints.ung.ac.id. (diunduh pada Rabu, 8 Mei 2019) 63

Syarifuddin Latif. “Meretas Hubungan Mayoritas-Minoritas Dalam Perspektif Nilai

Bugis”, Jurnal Al-Ulum, volume 12, nomor 1, (Juni, 2012,), h. 103-105.

Page 50: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

36

kata dan perbuatannya, maka semakin tinggi harga dirinya,

sementara semakin berbeda antara kata dan perbuatannya, maka

semakin rendah harga dirinya.

5) Sipakatau sipakalebbi

Sipakatau sipakalebbi adalah salah satu paseng dalam nilai

bugis yang bermakna saling menghormati. Ucapan ini cukup

popular di kalangan masyarakat Bugis. Dalam kumpulan Andi

Palloge Petta Nabba disebutkan “tessisampoang uring-lowa‟,

tessisebbokeng pamuttu (tidak saling menutupkan belanga, tidak

saling membocorkan periut). Ungkapan ini menggambarkan bahwa

perlu ada semangat tolong menolong satu sama lain oleh seluruh

komponen dalam kehidupan bermasyarakat yang digambarkan

dengan tidak saling menutupkan belanga. Sementara itu, makna

“tidak saling membocorlan pelanga” bisa berarti saling

menghormati satu sama lain tanpa ada keinginan buruk untuk

merusak tatanan kehidupan kelompok yang lain. paseng sipakatau

sipakalebbi bukanlah berarti suatu nilai bugis yang menempatkan

pelakunya sebagai orang yang berada pada posisi satu tingkat di

bawah orang yang dihormati. Bahkan sebaliknya, menghormati

orang dalam bingkai sipkatau sipakelebbi justru juga turut

meninggikan kehormatan dan kemulian orang yang menghormati.

Dalam kumpulan Haji Andi Ninnong dikatakan “akkai padammu

rupa tau natanrereko (angkatlah sesamamu manusia supaya

engkau juga ditungjang)”.64

Ungkapan ini menggambarkan bahwa

kalau seseorang mengharapkan penghargaan dari orang lain,

hendaknya ia mulai dengan menghargai orang lain terlebih dahulu.

Penghargaan akan datang karena ada sesuatu yang patut dihargai,

dan salah satu yang patut dihargai adalah menghormati dan

menghargai orang lain.

64

A. Hasan Machmud, silasa: Kumpulan Petuah Bugis Makassar (Bakti Centra Baru,) h.

37.

Page 51: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

37

6) Mappesona ri Dewata Seuwwae

Mappesona ri Dewata Seuwwae adalah salah satu paseng

dalam nilai bugis yang bermakna berserah diri pada Tuhan Yang

Maha Esa. Nilai bugis ini merupakan wujud kepasrahan diri

seorang hamba pada Tuhannya. Mappesona ri Dewata Seuwwae

disampaikan oleh Pollipue Matinroe Ritanana dalam lontara Andi

Makkaraka Ranreng Battempola yang mengatakan “narekko engka

kedo ri atimmu, itai siya riyolo‟ cappa‟na muinappa pegau‟i apa‟

duwairitu kedona atie: seu‟wani kedo marenni‟i, maduanna kedo

mawessa‟i narekko kedo marenni‟i, madecengi ritu ripesiga-

sigakiwi pagau‟i sarekko ammeng‟i napajajiwi Dewata‟e deceng.

Narekko kedo mawessai, ammatu-matuwangi kuwammeng‟i

tennapajajiwi Dewatae ja‟ (andaikan ada terlintas dalam hatimu,

tinjaulah dulu akibatnya baru dilaksanakan. Sebab dua macam

gerak dari hati yaitu gerak kecil dan gerak besar. Kalau geraknya

kecil, sebaiknya dipercepat pelaksanaanya semoga Tuhan

merahmati dengan kebaikan. Kalau geraknya besar, perlambatlah,

semoga Tuhan tidak menjadikannya sebagai keburukan).65

5. Pangadereng

Pangadereng adalah sistem budaya dan sistem sosial yang dapat

diartikan sebagai keseluruhan kaidah yang meliputi cara-cara seseorang

bertingkah laku terhadap sesama manusia yang dapat mengakibatkan

adanya gerak kehidupan bermasyarakat.66

Pengertian ini

mengisyaratkan bahwa pangadereng merupakan wujud kebudayaan

yang hadir di tengah-tengah manusia untuk mengatur dan menjaga

stabilitas kehidupan sosial bermasyarakat. Dalam naskah Latoa alinea

65

A. Hasan Machmud, silasa: Kumpulan Petuah Bugis Makassar h. 1-2. 66

Naskah latoa, alinea: 48, 49, dan 68 yang dikutip dari Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem

Pangedereng (Adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam

Lontarak Latoa (Disertasi; Yogyakarta: PPS IAIN Sunang Kalijaga, 1995), h.137.

Page 52: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

38

48-49, digambarkan bahwa Pangedereng mencakup lima komponen

yaitu adek, rapang,bicara, warik, serta sarak.67

1) Adek

Adek (adat) adalah kebiasaan yang menjadi norma

kesusilaan dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Andi

Rasdiyanah, istilah tua di bugis tentang adek adalah beccik (alat

pelurus). Adek merupakan manifestasi aspek kebudayaan yang

dapat berwujud nilai ideal berupa hukum adat yang disebut

sinkerruang, kelakuan-kelakuan yang disebut barangkauk, ataupun

dalam bentuk fisik yang disebut abbarangparangeng, hal ini

mengisyaratkan bahwa adek merupakan aspek pangedereng yang

menjelma dalam berbagai aspek kehidupan sosial bermasyarakat

orang bugis.

2) Rapang (Persamaan Hukum)

Menurut bahasa, rapang adalah contoh, umpama atau

perumpamaan. Makna etimologi ini menunjukkan bahwa rapang

sebagai salah satu pangadereng orang bugis bisa menjadi acuan

dalam pengambilan keputusan sehingga seseorang tidak bisa

mengambil keputusan dalam adek sebelum mengambil

perumpamaan pada kejadian yang serupa pada masa lalu.

Implikasinya, seseorang tidak boleh mengambil landasan baru

apabila sebelum itu telah pernah peristiwa yang sejenis dan terbukti

bermanfaat. Oleh karena itu, Andi Rasdiyanah mengatakan bahwa

rapang bisa berfungsi sebagai stabilitator yang menjaga konsistensi

suatu nilai pada waktu lampau untuk tetap eksis sampai sekarang,

bahan perbandingan yang membandingkan suatu ketetapan di masa

lampau yang pernah terjadi atau semacam yurispudensi. Hal seperti

ini umumnya dilakukan apabila ada suatu kejadian yang belum

termaktub dalam adek, maka rapang bisa menjalankan fungsi kiyas,

67

Naskah latoa, alinea: 48, 49, dan 68 yang dikutip dari Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem

Pangedereng (Adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam

Lontarak Latoa., h. 137-138.

Page 53: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

39

serta alat pelindung yang berwujud pemmali-pemmali (pantangan)

atau pappaseng (pesan-pesan) yang berfungsi melindungi hak-hak

individu atau kelompok dalam kehidupan bermasyarakat.68

3) Bicara (Undang-Undang)

Yang dimaksud dengan bicara dalam pangadereng adalah

semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan, hukum

acara peradilan, serta kadang-kadang juga mencakup musyawarah

dalam menetapkan hukum adat. Dengan demikian, bicara bisa

diartikan sebagai aspek pangadereng yang mempersoalkan hak dan

kewajiban tiap-tiap individu dalam interaksi kehidupan

bermasyarakat.

4) Warik (Pelapisan Sosial)

Warik adalah salah satu unsur yang menjalankan fungsi

pembedaan . warik juga bisa diartikan sebagai ketentuan tentang

pelapisan sosial yang berfungsi mengatur batas-batas antara hak dan

kewajiban individu-individu dalam kehidupan bermasyarakat.

5) Sarak

Sarak adalah unsur pangadereng yang diambil dari ajaran

Islam untuk melengkapi empat unsur pangadereng sebelumnya

yaitu adek, rapang, bicara, dan warik. Dalam kaitannya dengan

pola interaksi adek dengan sarak. Datuk ri Bandang pernah

membuat sebuah piagam sarak yang berbunyi ( persetujuan antara

adat dan sarak, sarak menghormati adat, adat memuliakan sarak,

adat dan sarak tidak saling membatalkan keputusan, kalau sarak

tidak dapat memutuskan suatu perkara, sarak bertanya pada adat,

keduanya tidak akan keliru dalam keputusan).69

68

Naskah latoa, alinea: 48, 49, dan 68 yang dikutip dari Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem

Pangedereng (Adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis dalam

Lontarak Latoa., h. 16. 69

Sewang, Ahmad A., Islamisasi Kerajaan Gowa : Abad XVI sampai Abad XVII (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.145.

Page 54: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

40

B. Prosesi Perkawinan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone

Perkawinan dalam pandangan masyarakat adat, bahwa perkawinan itu

bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga

serta kekerabatan yang rukun dan damai. Dikarenakan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat adat yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut serta

menyangkut terhadap kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan

dalam masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan harus diatur dengan

tata tertib adat agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang

memalukan yang akhirnya akan menjatuhkan martabat, kehormatan keluarga

dan kerabat yang bersangkutan.70

Sesuai dengan kenyataan dalam

masyarakat, suku Bugis yang terbesar menganut agama Islam sehingga

pernikahan bukan saja berarti ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai

suami dengan seorang wanita sebagai isteri, tetapi juga lebih dari itu,

pernikahan merupakan pertalian hubungan kekeluargaan antara pihak pria

dengan pihak wanita yang akan membentuk rukun keluarga yang lebih besar

lagi.71

Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala “saling mengambil

satu sama lain”. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal balik. Walaupun

mereka berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami-isteri mereka

merupakan mitra. Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua

mempelai semata, akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua

keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya untuk

mempereratnya (ma‟pasideppe‟ mabelae atau mendekatkan yang sudah

jauh). Hal ini juga sering ditemukan dua sahabat atau mitra usaha yang

bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka

sejak kecil.72

70

Tolip Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung:

Penerbit Alfabeta, 2013), h. 225. 71

Andi Nurnaga N, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis (Makassar: Cv. Telaga

Zamzam, 2002), h. 3. 72

Cristian Pelras, The Bugis, Penerjemah Rahman Abu dkk.. (Jakarta: Nalar, 2006), h.180.

Page 55: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

41

Pernikahan (mappabotting) bagi suku Bugis dipandang sebagai suatu

yang saklar, religius, dan sangat dihargainya. Oleh sebab itu lembaga adat,

yang telah lama ada, mengaturnya dengan cermat, penuh tata krama, dan

sopan santun serta saling menghargai satu sama lain. Dalam pelaksanannya

terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:

1. Makkapese‟-kapese dan Mattiro

Makkapese‟-kapese‟ maksudnya ialah tahap penjajakan, tahap

dimana perwakilan dari keluarga besar pihak laki-laki mulai menjajaki

(mencari tahu) perempuan mana yang akan disandingkan dengan calon

mempelai laki-laki, lalu kemudian dilanjutkan dengan mattiro dimana

pihak keluarga juga akan mencari tahu tentang calon pengantin

perempuan yang akan dilamar, apakah ia sempurna secara fisik atau

memiliki kekurangan tertentu.

Setelah itu bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan

laki-laki diteliti secara saksama untuk mengetahui status kebangsawanan

mereka sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat pelamar lebih rendah

dari tingkat perempuan yang akan dilamar.73

2. Madduta/Massuro

Melamar atau meminang adalah kelanjutan daripada tahap

pertama (Mappesse-pesse) dengan mmengutus orang yang dituakan dari

kalangan pihak keluarga laki-laki ke rumah orang tua pihak perempuan

untuk menyatakan lamarannya secara resmi. Biasanya diutus 6 orang

yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Apabila lamarannya diterima,

maka sekaligus membicarakan hal-hal yang menyangkut pesta

perkawinan, seperti uang belanja, mahar, leko, pakaian pengantin serta

penentuan hari H. Hal ini juga biasnya dimusyawarahkan sebatas

lingkungan keluarga terdekat saja.74

73

Andi Nurnaga, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, (Makassar: CV, Telaga

Zamzam, 2001), h.19-20. 74

Abdul Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan sulawesi Barat,

(Makassar: Penerbit Indobis, 2006), h. 139-140.

Page 56: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

42

3. Mapettu Ada‟

Mapettu ada‟ ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil

pembicaraan yang diambil pada waktu pelamaran dilakukan, dalam

bahasa Bugis dinamakan “mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko,

maskawin, hari akad nikah, dan lain-lain sebagainya. Jika di Bone

mapettu ada‟ ini dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara

pihak pria dengan juru bicara pihak perempuan.75

Adapun yang

dibicarakan dalam rangkaian acara mapettu ada‟ adalah sebagai berikut;

a) Tanra Esso, penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan

sangat perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti sewaktu-

waktu yang dianggap luang bagi keluarga. Jika keluarga, baik laki-

laki atau perempuan itu petani, biasanya mereka memilih waktu

sesudah panen.76

b) Paenre‟ atau uang panai

c) Leko (seserahan). Adapula hadiah-hadiah yang biasa disebut dengan

leko. Leko ini diberikan pada waktu mengantar pengantin laki-laki ke

rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah.

Biasanya leko ini berisikan seperti kelengkapan untuk pengantin

perempuan yang terdiri dari make up, sepatu, dan lain sebagainya.77

d) Sompa atau sunrang (Mahar)

e) Sompa atau mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada

perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah

satu syarat sahnya pernikahan. Jumlah sompa sebagaimana yang

diucapkan oleh mempelai laki-laki pada saat pernikahan (akad

nikah), menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi menurut

tingkatan kebangsawanan seseorang.78

75

Abdul Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan sulawesi Barat, h.140. 76

Andi Nurnaga, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, (Makassar: CV, Telaga

Zamzam, 2001), h.18. 77

Andi Nugraha, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, h.51. 78

Asmat Riady lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone,

2007. h. 16.

Page 57: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

43

4. Mappabotting

Hari perkawinan dimulai dengan mappaenre‟ balanja, ialah

proses dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum

kerabatnya pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam

makanan, pakaian wanita dan maskawin. Sampai di rumah mempelai

wanita maka dilansungkan upacara pernikahan atau aggaukeng. Pada

pesta itu para tamu yang diundang memberi kado atau uang sebagai

sumbangan (soloreng). Beberapa hari sesudah pernikahan, pengantin

baru mengunjungi keluarga suami dan tinggal beberapa lama disana.

Dalam kunjungan itu isteri harus membawa pemberian-pemberian

untuk semua anggota keluarga suami. Kemudian ada kunjungan ke

keluarga isteri, juga dengan pemberian-pemberian untuk mereka

semua. Pengantin baru juga harus tinggal untuk beberapa lama di

rumah keluarga itu. Barulah mereka dapat menempati rumah mereka

sendiri nalaoanni alena. Hal itu berarti mereka sudah membentuk

rumah tangga sendiri.79

C. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Selatan

Pandangan yang berkembang di kalangan masyarakat Bugis Sulawesi

Selatan, menyebutkan bahwa agama Islam pertama datang ke daerah ini pada

awal abad ke 17. Islam diperkenalkan pertama kalinya oleh para muballig

dari Minang Kabau, Sumatera Barat yang ketika masih berada dibawah

kesultanan Aceh. Mengenai hal ini, Mattulada dalam bukunya Sejarah

masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, menyebutkan bahwa seorang

ulama dari Morainangkabau Tengah, Sumatera Barat, bernama Abdul Kadir

Khatib Tunggal tiba di pelabuhan Tallo pada tahun 1605 dengan menumpang

sebuah kapal perahu. Setibanya di pantai, ia kemudia melakukan shalat yang

mengerangkan rakyat. Ia menyatakan maksud kedatangannya untuk

menhgadap raja. Raja Tallo yang mendengar berita itu lansung bergegas ke

79

Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat,, ed., Manusia dan

Kebudayaan di Indonesia, h. 267-268.

Page 58: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

44

pantai untuk menemui orang yang berbuat aneh itu. Di tengah perjalanan ke

pantai, di pintu gerbang halaman istana Tallo, Raja bertemu dengan seorang

tua yang menanyakan tentang tujuan perjalanan raja. Orang tua itu kemudian

menulis sesuatudi atas kuku ibu jari Raja Tallo. Ternyata adalah tulisan yang

berlafazkan ”Surah alfatihah.80

Peristiwa masuknya Islam Raja Tallo pertama terjadi pada malam

jumat 22 September 1605 atau 9 Jumadil Awwal 1014 H. Melihat sejarah

Islam di Sulawesi Selatan, akan selalu diidentikkan dengan kedatangan tiga

mubalig dari Minangkabau yakni Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk

ri Patimang. Kedatangan mereka pada abad ke-17 dianggap sebagai peletak

dasar ajaran Islam di daerah ini. Tiga muballig ini berhasil mengislamkan

elite-elite kerajaan Gowa Tallo dan menjadikan Islam sebagai agama resmi

kerajaan pada tahun 1607. Menurut pakar Islam Sulsel Prof Ahmad M.

Sewang, keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal abad

XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari

Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang

pada permulaan Abad XVII dari Kota Tangah. Dikenal dengan nama Datuk

Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: Abdul Makmur, Khatib

Tunggal, lebih populer dengan nama Datuk Ri Bandang; Sulaiman, Khatib

Sulung, lebih Populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul Jawad,

Khatib Bungsu, lebih dikenal dengan nama Datuk Ri Tiro. Ketiga ulama

tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk

mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.81

Ketiga ulama tersebut, setiba di Makassar mereka tidak lansung

melaksanakan misinya, tetapi lebih dulu menyusub strategi dakwah. Mereka

memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang waktu itu banyak

tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah

80

Anzar Abdullah. “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”, Paramita,

volume 26, nomor 1, (2012,), h. 87. 81

Herni Amir, ”Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”, artikel diakses pada 17 Mei 2019

dari http:/daerah.sindonews.com/read/881803/29/jelajah-tiga-datuk-di-sulawesi-selatan-

1404994262

Page 59: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

45

Datuk Luwu, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh yaitu Raja Tallo

dan Raja Gowa. Setelah mendapat penjelasan tersebut mereka berangkat ke

Luwu untuk menemui Datuk Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Datuk luwu

adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua

dan tempat asal nenek moyang raja-raja sulawesi selatan.82

Buku “Menyikap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan” oleh

H.A Massiara Dg. Rafi, disebutkan bahwa penyebaran Islam dilakukan

melalui pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Adapun pendekatan

struktural dilakukan oleh kerajaan Gowa Tallo dengan menyebarkan Islam

kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan

lainnya. Adapun cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan

pembesar Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama

antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang

berbunyi antara lain: barang siapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau

daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari

mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.

Sedangkan pendekatan secara kultural dilakukan dengan cara kerajaan

mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah.83

Adat dan Islam menyatu sehingga sulit untuk membedakan atau

memilah antara keduanya. Sementara pernikahan dipandu dengan ajaran

agama, pengiriman undangan, penghormatan terhadap orang tua, pemilihan

pasangan, jamuan makan dan persiapan menjadi pasangan keluarga baru,

semuanya dilangsungkan dengan spirit Islam. Adapun implementasi dan

prosesi yang ada semata-mata menggunakan cara pandang orang Bugis

terhadap lingkungannya. Dalam hal ini Islam diterima sebagai pegangan

hidup walaupun tidak menggunakan tata cara yang digunakan dalam tradisi

Arab. Ini menunjukan bahwa sejak awal orang Bugis sudah memiki cara

hidup tersendiri yang sesungguhnya tetap tidak di tolak dalam pelaksanaan

hukum Islam.pernikahan cara orang Bugis tetap dipertahankan dalam

82

Herni Amir, ”Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”. 83

Herni Amir, ”Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi Selatan”.

Page 60: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

46

lingkungannya masing-masing, bahkan ketika jauh dari tanah leluhur tata cara

dan upacara yang menjadi warisan turun-temurun di tanah Bugis juga

dilakukan di tanah rantau.84

84

Ismail Suwardi Wekke. “Islam dan Adat Dalam Pernikahan Masyarakat Bugis di Papua

Barat”, Thaqafiyyat, volume 13, nomor 2, (desember 2012,), h. 329

Page 61: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

47

BAB IV

MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Pandangan hukum Islam terhadap Mahar dan Uang panaik

Masyarakat suku Bugis adalah suku yang bedomisili di Sulawesi

Selatan, ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat istiadatnya,

suku Bugis tergolong kedalam suku Melayu, setelah migrasi pertama kali dari

daratan Asia, kata Bugis berasal dari kata To Ugi, yang artinya orang Bugis,

dalam perkembangannya, masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan

kebudayaan dan bahasa. Suku Bugis sangat menjunjung tinggi harga diri dan

martabat sehingga ada istilah siri‟ (harga diri) yang dimana dipergunakan

untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau menginjak harga

dirinya jadi, suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang

mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang.85

Di dalam masyarakat suku Bugis juga mengenal beberapa kerajaan

salah satunya kerajaan Bone. Selain kerajaan di dalam masyarakat Bugis juga

mengenal beberapa tradisi adat yaitu, tradisi tujuh bulanan, kematian dan

perkawinan. Khususnya perkawinan di Kabupaten Bone memiliki tradisi

tersendiri dalam hal pelaksanaan perkawinan yaitu adanya kewajiban dari

pihak mempelai laki-laki untuk memberikan uang panaik. Pada zaman dahulu

uang panaik itu dikatakan sebagai ”pengelli darah” maksudnya ketika

seorang perempuan mengatakan lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki dari

segi status sosialnya maka untuk tidak menolak tapi sama dengan menolak

dipatoklah harga tinggi kalau pihak laki-laki kemudian menyanggupi maka

dinamakanah “melli darai”.86

pada masa sekarang dijadikan sebagai syarat

untuk terlaksananya sebuah perkawinan. Dalam pelaksanaan tradisi

perkawinan Bugis terdapat tahap-tahap yang wajib dilakukan oleh masyarakat

yang ingin melansungkan perkawinan, adapun tahap-tahapnya yaitu:

85

Hajra Yansa dkk. “Uang panai‟ dan Status Sosial Perempuan dalam Perspektif Budaya

siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan”, Jurnal Pena, volume 3, h. 3.

86

Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh adat), 27 Mei 2019.

Page 62: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

48

a. Mappesek-pesek, yaitu suatu acara untuk mengetahui apakah si gadis

yang telah dipilih tersebut belum ada yang mengikatnya dan apakah ada

kemungkinan untuk diterimah dalam pinangan tersebut setelah diketahui

bahwa perempuan tersebut belum ada yang mengikatnya maka pihak

laki-laki mengutus beberapa orang keluarganya untuk datang

menyampaikan lamarannya.

b. Madduta, Mengirim utusan untuk mengajukan lamaran dari seorang laki-

laki untuk seorang perempuan tersebut, setelah lamaran diterima maka

berlanjut pada tahap selanjutnya.

c. Mappettu ada, Musyawarah untuk merundingkan segala sesuatu yang

berhubungan dengan pelaksanaan upacara perkawinan seperti penentuan

melakukan perkawinan (Tanra esso) penentuan hari perkawinan, dimana

hari yang ditentukan harus dihubungkan dengan hari yang paling baik.

Sebab, ada kepercayaan pada masyarakat Bugis tentang kesuksesan dan

kelancaran dalam melaksanakan prosesi perkawinan. Uang panaik (uang

balanca) dan mahar (sompa). Di tahap inilah keluarga pihak laki-laki

melakukan musyawarah terkait besaran Uang panaik jadi, disini juga

memperlihatkan bagaimana kepintaran menyampaikan bahasa yang tidak

menyinggung perasaan keluarga pihak perempuan ketika seandainya

Uang panaik yang telah dipatok tidak sesuai dengan permintaan keluarga

pihak perempuan.87

Jika salah satu tahap tersebut tidak dilaksanakan perkawinan itu

dianggap kurang lengkap bahkan dapat mengakibatkan batalnya perkawinan.

Dan dibalik semua tahap-tahap tradisi itu semua memiliki nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Salah satu tradisi dalam masyarakat Bugis yang

dibahas dalam skripsi ini adalah tentang pemberian ”Uang panaik”adapun

nilai yang terkandung.

a. Nilai sosial, Uang panaik mengandung nilai sosial yang sangat

memperhatikan derajat sosial atau strata sosial seseorang, sebagai tolak

87

Imam Ashari ”Makna Mahar Adat dan Status Sosial Perempuan dalam Perkawinan Adat

Bugis di Desa Penengahan Kabupaten Lampung Selatan”( Bandar Lampung: Skiripsi UNILA,

2016)., h. 20-21

Page 63: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

49

ukur dari uang panaik. Nilai derajat sosial sangat mempengaruhi tinggi

rendahnya uang panaik. Karena nilai sosial tersebut maka hubungan

antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak perempuan menciptakan

keluarga yang bervariasi dan kaya akan perbedaan namun sama akan

tujuan;

b. Nilai kepribadian, Uang panaik memiliki nilai atau pandangan pribadi

masyarakat yang menurut sebagian besar masyarakat adalah sebagai

bentuk bersatunya dua insan dalam pernikahan yang mewah. Ada

kepuasan tersendiri dalam diri masyarakat yang mempunyai panaik

tinggi, untuk pihak laki-laki tidak lagi menjadi beban karena semuanya

dapat terpenuhi, dan bagi pihak perempuan tidak akan mengalami

kesusahan serta berjalan lancar dan dapat mengundang keluarga besar,

sanak keluarga, sahabat, dll ketika Uang panaik mencukupi persiapan

pernikahan tersebut;

c. Nilai religious, Uang panaik bukan merupakan bagian yang ada dalam

ajaran agama, tetapi merupakan sebuah budaya. Sebagai sebuah budaya,

Uang panaik memiliki dampak yang yang ditimbulkan, segi positif dari

adanya Uang panaik yaitu berjalan lancarnya suatu pernikahan. Selain itu

dengan adanya Uang panaik pihak-pihak dapat berbagi satu sama lain,

sehingga salah satu sunnah rasul dapat dilaksanakan karena bernilai

ibadah;

d. Nilai pengetahuan, Pengetahuan dari Uang panaik dapat menambah

wawasan masyarakat dalam memaknai dan menjadi pelajaran bagi

perempuan, serta motivasi bagi laki-laki sebab makna sesungguhnya dari

Uang panaik adalah bentuk penghargaan pihak laki-laki kepada pihak

perempuan dengan usaha dan kerja keras. Sebagai pelajaran dalam

mengambil keputusan yang tidak hanya memangdang dari strata sosial

masyarakat namun dari usaha dan kerja keras laki-laki.88

88

Hajra Yansa dkk. “Uang panai‟ dan Status Sosial Perempuan dalam Perspektif Budaya

siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan”, Jurnal Pena, volume 3, h.7-9.

Page 64: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

50

Penulis juga menemukan beberapa istilah kebudayaan Bugis yang

menjelaskan makna dibalik penetapan Uang panaik dalam masyarakat Bugis.

Tokoh adat maupun tokoh agama mengatakan bahwa makna filosofis yang

terkandung dalam ketentuan mahar dan Uang panaik tersebut merupakan

representasi dari prinsip budaya (Sipakatau, sipakalebbi, sipakainge) yang

dipegang teguh oleh masyarakat Bugis. Makna dari ketiga ungkapan tersebut

yaitu.

a. Sipakatau, Dapat kita pahami sebagai ungkapan memanusiakan manusia

yaitu setiap orang harus paham posisinya seperti apa, harus tau diri dalam

hal apapun yang nantinya akan tercipta hidup yang harmonis. Tidak ada

tindakan yang merendahkan, mencibir atau hal lain yang membuat sakit

hati dan sebagainya;

b. Sipakalebbi,, Sifat manusia yang selalu ingin dihargai. Maka sifat ini

adalah wujud apresiasi dimana sifat yang mampu melihat sisi baik dari

orang lain dan bertutur kata yang baik juga;

c. Sipakainge, Maksudnya ialah saling mengingatkan yang dimana hal ini

berkaitan dengan kesolidaritan, saling menasehati jangan sampai seseorang

terjebak dalam hal-hal yang negative.89

Dari pemaparan di atas ternyata ada juga masyarakat yang tidak

setuju dengan praktek pemberlakuan uang panaik yang masih dipertahankan

karena dapat menimbulkan efek-efek sosial (seperti terjadi kawin lari akibat

seorang pemuda harus mengeluarkan biaya-biaya yang terkadang dianggap

tidak masuk akal), atau bahkan sampai ada yang melakukan bunuh diri karena

ketidakmampuan menunaikan uang panaik yang dipatok oleh pihak calon

mempelai perempuan yang terlalu tinggi. Contoh kasus yang terjadi di

Jeneponto antara Isa dan Ramli dimana keluarga Isa mematok uang panaik

sebesar 15 juta, sedangkan dari pihak keluarga Ramli hanya mampu

memberikan uang panaik sebesar 10 juta, dan pihak keluarga Isa-pun tetap

tidak menirima kesanggupan pemberian uang panaik dari pihak keluarga

Ramli tersebut. Akhirnya mereka nekat melakukan kawin lari, namun

89

Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh adat), 27 Mei 2019.

Page 65: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

51

beberapa waktu kemudian Ramli sempat kembali pulang kekeluarga Isa dan

mengakhiri kawin larinya untuk mengupayakan kembali memberi uang

panaik kepada keluarga Isa, namun si Ramli-pun tetap ridak mampu

memenuhi permintaan pihak keluarga perempuan dan akhirnya Isa merasa

putus asa kemudian melakukan upaya bunuh diri dengan meminum racun

rumput.90

Mahar dan Uang panaik dalam perkawinan adat Bugis adalah suatu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal

tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban dan harus dipenuhi.

Akan tetapi uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai

suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan.

Sehingga jumlah uang panaik yang ditentukan oleh pihak keluarga

perempuan biasanya lebih banyak daripada jumlah mahar yang diminta dan

biasanya sudah menjadi kebiasaan sebagian orang menentukan uang panaik

itu melihat dari segi strata sosial.91

Idealnya dalam Islam sebenarnya uang panaik itu jangan ditentukan

jumlahnya atau sampai melihat kebeberapa faktor untuk menentukan tinggi

rendahnya uang panaik tersebut. Yang penting ada dan sesuai kemampuan

laki-laki karena sesungguhnya uang panaik ini bukan standar melainkan

kesepakatan bersama dimana uang panaik ini atau yang biasa disebut dengan

uang belanja adalah adat bukan agama, yang agama itu adalah mahar dan

mahar tidak pernah membatalkan pernikahan karena mahar tidak mengatakan

seratus juta dan sebagainya melainkan apa saja yang bisa dijadikan mahar

asal bernilai.92

Walaupun kenyataannya sekarang terbalik, justru uang panaik yang

tinggi sementara mahar atau orang bugis Bone menyebutnya sompa

penentuannya itu diserahkan kepada calon memepelai lak-laki dan tidak

90Https://m.detik.com>news>berita “Tragedi Cinta Ramli/Isa Bunuh Diri Karena Uang

Panai Ditolak Kelurga” diakses pada tanggal 6 agustus 2019. 91

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amir ( Ketua MUI Kabupaten Bone), 27 Mei

2019. 92

Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei

2019.

Page 66: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

52

terlalu dipermasalahkan jumlah nominalnya. Akan tetapi, perlu diketahui

bahwa di Kabupaten Bone mahar itu biasanya tanah, bukan wajib melainkan

sudah menjadi budaya turun temurun nenek moyang kita dulu ketika sampai

pada tahap pembahasan mahar maka seorang nenek pasti keluar dan

mengatakan “moa sipallekkungeng tedoanmoa narekko engkamo tanah

disompanganngi anak eppoku” biar luasnya sekubangan kerbau tanah itu

asalkan tanah, sebenarnya tidak mungkin tapi itulah istilahnya bukan wajib

dan kalau memang tidak ada tidak usah diperhitungkan lagi tapi itu budaya

yang terkadang membuat seseorang juga merasa berat dalam hal

pelaksanaannya.93

Pemberian uang panaik dalam perkawinan adat Bugis merupakan

pemberian sejumlah uang untuk membiayai pesta perkawinan. Hal ini sesuai

dengan ketentuan dalam Islam tentang walimah. Walimah ini adalah salah

satu bentuk rasa syukur setelah diadakannya akad nikah dengan jamuan

makan bagi para tamu undangan, kerabat dan sanak keluarga. Akan tetapi

dalam Islam pun dalam hal melakukan sesuatu seperti walimah juga dilarang

untuk berlebih-lebihan.94

Rasulullah SAW bersabda kepada „Abdurrahman

bin „Auf ketika dia mengabarkan bahwasanya dia telah menikah (bahasa arab

awlim walau bisyatim) “Adakanlah walimah walau hanya dengan membeli

seekor kambing” 95

Islam mengajarkan kepada orang yang melaksanakan

pernikahan untuk mengadakan walimah, tetapi tidak memberikan bentuk

minimum atau maksimum dalam walimah itu. Hal ini tentunya memberi

isyarat kepada semuanya bahwa walimah diadakan sesuai dengan

kemampuan seseorang yang melaksanakan pernikahannya, dengan catatan,

agar dalam pelaksanaanya tidak ada pemborosan lebih-lebih disertai dengan

sifat angkuh dan membanggakan diri.

93

Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei

2019. 94

Wawancara Pribadi dengan Muslihin Sultan (Tokoh Agama Kabupaten Bone), 28 Mei

2019. 95

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah.

2004, h. 230.

Page 67: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

53

Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda:

بمذيه مه شعير. البخارى اولم الىبي ص على بعض وسائ

“Rasulullah Saw. Mengadakan walimah untuk sebagian istrinya

dengan dua mud gandum.” (HR Bukhari).96

Hadis di atas menunjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan

dengan makanan apa saja, sesuai kemampuan. Hal ini ditunjukkan oleh Nabi

Saw bahwa perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan membedakan atau

melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan

keadaan ketika sulit atau lapang yang paa zaman sekarang walimah itu

diartikan sebagai pesta perkawinan. Hal ini sehubungan dengan penyediaan

sejumlah uang panaik untuk membiayai jalannya pesta perkawinan.

Selama uang panaik itu tidak mempersulit terjadinya perkawinan

maka hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam karena bisa

dikatakan bahwa pemberian uang panaik ini sebagai bentuk wata‟awanu alal

birri (dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan) dimana

pemeberian tersebut sangat membantu keluarga pihak perempuan dalam hal

melaksanakan pesta perkawinan. Akan tetapi terkadang uang panaik ini juga

bertentangan dengan ajaran Islam ketika uang panaik yang dipatok terlalu

tinggi sehingga menjadi beban bagi laki-laki yang kurang bercukupan

sehingga banyak kejadian yang tidak diinginkan seperti yang terjadi di

Kolaka seorang perempuan harus rela melepas kekasih hatinya demi

perempuan lain bukan tanpa alasan, laki-laki yang menikah dengan

perempuan lain ini dulunya sempat melamar sang perempuan, namun uang

panaik yang dipasang pihak keluarga perempuan dinilai terlalu tinggi. Pihak

laki-laki merasa keberatan dan akhirnya lamaran mereka dibatalkan.97

Hal

yang paling penting dalam pemberian uang panaik adalah jangan sampai ada

unsur keterpaksaan memberikan uang panaik yang akan memicu terjadinya

96Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim an-Nukhai, Sahih Bukhari. Cetakan Ibnu

Jauzi, no hadis 5172, h. 633 97

Https://www.grid.id “Tragis! Gara-Gara Minta Mahar Terlalu Besar, Wanita ini Justru Berakhir Jadi Tamu Undangan” diakses pada tanggal 7 agustus 2019.

Page 68: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

54

perbuatan yang tidak baik karena ingin menghalalkan berbagai cara untuk

mendapatkan uang.98

Ada prinsip dalam masyarakat Bugis yang perlu diubah sedikit demi

sedikit yaitu terkadang orang tua pihak perempuan yang ditunggu hanyalah

uang panaik tersebut yang akan digunakan untuk pesta. Padahal sebagaimana

yang kita ketahui bahwa kewajiban orang tua ada tiga kepada anaknya. Yang

pertama adalah berikanlah nama yang baik, kedua berikanlah pendidikan

yang baik, ketiga adalah menikahkan anaknya. Jadi sewajarnya orang tua juga

menyediakan uang untuk perkawinan anaknya kelak. Jadi tidak hanya

mengandalkan uang panaik yang nanti diberikan. Bahkan seharusnya orang

tua juga tidak menggunakan semua uang panaik yang diberikan oleh pihak

laki-laki tapi uang panaik itu diberikan kepada anaknya untuk kebutuhannya

setelah berkeluarga.99

Agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak menyukai

penentuan mahar yang memberatkan pihak laki-laki untuk melangsungkan

perkawinan, demikan pula uang panaik dianjurkan agar tidak memberatkan

bagi pihak yang mempunyai niat suci untuk menikah. Perkawinan sebagai

sunnah Nabi hendaknya dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan tidak

berlebih-lebihan sehingga tidak ada unsur pemborosan di dalamnya. Dalam

hukum Islam dikenal prinsip mengutamakan kemudahan dalam segala urusan.

Terlebih lagi dalam urusan perkawinan prinsip ini sangat ditekankan.100

Para wanita tidak diperkenankan meminta hal yang justru

memberatkan pihak laki-laki karena hal ini mempunyai beberapa dampak

negative, diantaranya:

a. Menjadi hambatan ketika akan melansungkan perkawinan terutama bagi

mereka yang sudah serius dan saling mencintai.

98

Wawancara Pribadi dengan Makmur (Hakim Pengadilan Agama Watampone), Mei

2019. 99

Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei

2019. 100

Wawancara Pribadi dengan Muslihin Sultan (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei

2019.

Page 69: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

55

b. Mendorong dan memaksa laki-laki untuk berhutang demi mendapatkan

uang yang disyaratkan oleh pihak wanita

c. Mendorong terjadinya kawin lari dan terjadinya hubungan diluar nikah.

Selain tersebut di atas dampak lain yang bisa ditimbulkan adalah

banyaknya wanita yang tidak kawin dan menjadi perawan tua karena para

lelaki mengurungkan niatnya untuk menikah disebabkan banyaknya tuntutan

yang harus disiapkan oleh pihak laki-laki demi sebuah pernikahan.

Perbedaan tingkat sosial masyarakat sangat mempengaruhi terhadap

nilai uang panaik yang disyaratkan. Di antaranya adalah status ekonomi

warga yang akan dinikahi, kondisi fisik, jenjang pendidikan, jabatan,

pekerjaan, dan keturunan.

a. Ekonomi. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun pihak

dari perempuan yang berasal dari keluarga yang memiliki ekonomi

mapan maka jumlah uang panaik yang diminta pun bisa sangat tinggi.

b. Pendidikan dan pekerjaan. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-

laki maupun pihak dari perempuan memiliki pekerjaan misalnya seorang

PNS atau bergelar S1 atau S2 maka permintaan uang panaik juga tinggi.

c. Keturunan. Jika salah satu pihak baik itu pihak dari laki-laki maupun

pihak perempuan yang berasal dari keturunan bangsawan maka

permintaan uang panaik juga tinggi.

d. Kondisi fisik. Jika calon mempelai perempuan memiliki paras yang

cantik, kulit putih, maka jumlah uang panaik yang diminta pun bisa

sangat tinggi.101

Agama Islam tidak membeda-bedakan status sosial dan kondisi

seseorang apakah kaya, miskin, cantik jelek, berpendidikan atau tidak. Semua

manusia dimata Allah mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, hal

yang membedakan hanyalah ketaqwaanya. Sesungguhnya yang telah

dijelaskan dalam firman Allah surah al-Hujurat ayat 13.

101

Wawancara Pribadi dengan Muh.Marzuki (Kepala KUA Kecamatan Palakka), 27 Mei

2019.

Page 70: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

56

Al„adatu muhakkamah adat itu bisa diterima dan bisa menjadi hukum

ketika sudah menjadi kesepakatan. Hukum Islam mengakui adat sebagai

sumber hukum karena sadar akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah

mendapatkan peran penting dalam mengatur hubungan sosial di kalangan

anggota masyarakat. adat sebagai tatanan yang disepakati oleh masyarakat

yang tidak tertulis tapi tetap dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan

kesadaran hukum sendiri.

Sebelum Nabi Muhammad saw diutus adat kebiasaan sudah banyak

berlaku pada masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Adat kebiasaan yang

dibangun oleh nilai-nilai yang dianggap baik dari masyarakat itu sendiri, yang

kemudian diciptakan, dipahami, disepakati, dan dijalankan atas dasar

kesadaran. Nilai-nilai yang dijalankan terkadang tidak sejalan dengan ajaran

Islam dan ada pula yang sudah sesuai dengan ajaran Islam. Agama Islam

sebagai agama yang penuh rahmat menerima adat dan budaya selama tidak

bertentangan dengan Syari‟at Islam dan kebiasaan tersebut telah menjadi

suatu ketentuan yang harus dilakukan dan dianggap sebagai aturan yang yang

harus ditaati.

Adat dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam jika memenuhi

syarat. Seperti kaedah yang mengatakan;

إوما تعتبر العادة ارا طرد ت فإ ن اطربت فال

Artinya: adat kebiasaan dianggap patokan hukum ketika sudah

berlaku umum, jika menyimpang maka tidak bisa dijadikan sebagai salah satu

patokan hukum.102

Keberadaan ketentuan mengenai uang panaik memang terjabarkan

dalam adat istiadat setempat, namun paradigma sebagian masyarakat sudah

bergeser, terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menyatakan kepada

pihak keluarga laki-laki perihal jumlah uang panaik untuk tidak dipaksakan,

melainkan cukup sesuai dengan kemampuan, pada zaman dahulu memang hal

ini merupakan suatu yang pasti, jika tidak mampu memenuhinya maka pihak

laki-laki tidak dapat lagi melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan.

102

Agung Setiyawan. “Budaya Lokal dalam Perspektif Agama, Esensia, volume XIII No.2

Juli 2012 , h. 215.

Page 71: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

57

Namun karena wawasan masyarakat sudah semakin terbuka, besaran uang

panaik sangat variatif, tidak boleh dipaksakan dan tergantung kemampuan.103

Dalam pengamatan penulis ketentuan mengenai besaran uang panaik,

meskipun dilihat dari beberapa faktor seperti strata sosial calon mempelai

perempuan, namun dalam hal ini berdasarkan beberapa keterangan informan,

penulis mengamati bahwa besaran uang panaik sebenarnya juga ditentukan

bagaimana pihak keluarga laki-laki melobi keluarga pihak perempuan karena

hal tersebut bisa dikompromikan atau dikomunikasikan secara baik-baik.104

Lain halnya dengan besaran mahar yang cenderung baku dan tidak dapat

dikompromikan akan tetapi perlu diketahui bahwa di Kabupaten Bone sendiri

umumnya mahar ini adalah tanah yang terkadang juga memberatkan bagi

pihak laki-laki yang tidak bisa memenuhi penentuan mahar tersebut.105

Adat dan kebiasaan selalu berubah-ubah dan berbeda-beda sesuai

dengan perubahan zaman dan keadaan. Realitas yang ada dalam masyarakat

berjalan terus menerus sesuai dengan kemaslahatan manusia karena

berubahnya gejala sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, kemaslahatan

manusia menjadi dasar setiap macam hukum. Maka sudah menjadi kewajaran

apabila terjadi perubahan hukum karena disebabkan perubahan zaman dan

keadaan serta pengaruh dari gejala masyarakat itu sendiri.

Seperti itulah pemberian uang panaik di Kabupaten Bone tidak dapat

ditinggalkan dan sudah menjadi tradisi turun temurun dalam diri masyarakat.

pemberian uang panaik pada masyarakat tersebut walaupun tidak diatur

secara tertulis. Pemberian uang panaik merupakan tradisi yang bersifat

umum, dalam artian berlaku pada setiap orang yang bersuku Bugis khususnya

di Kabupaten Bone. Walaupun pemberian uang panaik tidak secara gambling

diatur dalam hukum Islam, namun pemberian uang panaik sudah merupakan

103

Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei

2019. 104

Wawancara Pribadi dengan Muslihin Sultan (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei

2019 105

Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh Adat Kabupaten Bone), 27 Mei

2019.

Page 72: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

58

tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini

tidak bertentangan dengan akidah dan syariat maka hal itu diperbolehkan.

B. Implementasi Uang panaik pada Pernikahan Masyarakat Bugis di

Kabupaten Bone

Prosesi kehidupan manusia secara kategoristik dapat dikelompokkan

menjadi 3(tiga) prosesi, yaitu: kelahiran, perkawinan, dan kematian. Ketiga

prosesi dari kehidupan tersebut, senangtiasa menarik untuk dibicarakan dari

aspek tinjauan. Di antara ketiga prosesi tersebut, maka masalah

perkawinanlah yang senantiasa menuntut adanya perhatian khusus dalam

mengangkat dan mengkaji serta menganalisisnya, karena perkawinan

merupakan monumen kehidupan yang harus dilaksanakan berdasarkan

budaya, agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga

mempunyai aspek yang sangat penting dalam membangun kehidupan

manusia dalam masyarakat.106

Perkawinan menurut hukum adat bersangkut paut dengan urusan

keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi, berbeda halnya dengan

perkawinan pada masyarakat Barat yang modern yang hanya merupakan

urusan mereka yang kawin itu saja.107

Adapun perkawinan adat dalam suku

Bugis yang disebut appabotingeng merupaka ritual yang sangat sacral yang

dimana ritual ini harus dijalani oleh semua orang akan tetapi sebelum prosesi

appabotingeng dilaksanakan, ada beberapa tahap yang harus dilalui oleh

calon mempelai laki-laki. Salah satu diantaranya adalah assuro. Assuro

adalah proses peminangan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki

kepada pihak calon mempelai wanita, sekaligus penentuan pemberian Uang

panaik dimana merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Tidak

ada Uang panaik berarti tidak ada perkawinan. Kebiasaan inilah yang berlaku

106

Syarifuddin Latif, Fiqih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada

Press Jakarta, 2016), h. 4. 107

Syarifuddin Latif, Fiqih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe

Page 73: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

59

pada masyarakat suku Bugis sejak lama dan turun temurun dari satu periode

ke periode selanjutnya sampai sekarang.108

Mahar dan Uang panaik adalah pemberian pihak laki-laki kepada

perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu

syarat pernikahan. Jumlah uang panaik sebagaimana yang telah menjadi

kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, menurut ketentuan

adat jumlahnya bervariasi menurut tingkatan starata sosial atau simbol status

sosialnya seseorang.109

Uang puluhan juta atau bahkan sampai pada ratusan

juta menjadi nominal yang lumrah terlebih lagi jika calon mempelai

perempuan adalah S1,S2, PNS, Haji, dan lain-lain. Maka uang panaik akan

berpuluh-puluh bahkan sampai ratusan juta, semakin tinggi nominal uang

panaik juga semakin tinggi citra diri keluarga mempelai dimata masyarakat.

Maka dari itu penulis berpendapat berkaitan dengan dengan ketentuan

jumlah mahar dan uang panaik yang terbilang tinggi dalam masyarakat

Bugis, memang seolah-olah memiliki kontradiksi dengan salah satu hadis

Nabi bersabda:

خير الىكاح أيسري

Makna dibalik hadis ini adalah supaya manusia tidak merumitkan

pernikahan.110

Dibalik aturan adat mengenai jumlah mahar dan uang panaik yang

diberikan berdasarkan strata sosial pihak pengantin perempuan memiliki

maksud atau nilai-nilai tertentu seperti yang telah penulis jelaskan

sebelumnya mengenai nilai yang terkandung di dalam penetapan jumlah

mahar dan uang panaik khususnya dalam masyarakat Bugis yaitu; adanya

budaya siri‟, sipakalebbi dan sipakainge. Meskipun siri‟ disini sebenarnya

memiliki makna yang luas akan tetapi jika dikaitkan dengan pemberian uang

108

Moh Ikbal. “Uang panaik Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar ”, Al-Hukama,

volume 06, nomor 01, (Juni, 2016,), h.192-193. 109

Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis

Bone, (Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, 2007), h.16. 110

Sulaiman Ibn Asyats Abi Daud As-Sajastani, Sunan Abi Daud. Cetakan Ibnu Jauzy qahirah, no hadis 2117, h. 250

Page 74: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

60

panaik yaitu dimana seorang laki-laki yang berilmu yang tentunya beriman

dan bertaqwa tidak sepantasnya memberikan uang panaik dengan jumlah

yang tidak pantas atau bahkan sangat minim karena akan mencederai siri‟

pihak laki-laki maupun pihak perempuan.

Namun demikian kita bisa memahami bahwa agama Islam adalah

agama Rahmatan Lil Alamin, agama yang sangat menjunjung tinggi

perdamaian dan ketenangan. Tujuan beribadah adalah untuk mendekatkan diri

kepada Allah SWT agar menjadi pribadi yang baik dan tenang. Allah SWT

menurunkan agama Islam bukan untuk mempersulit pemeluknya, akan tetapi

pemeluknyalah yang terkadang menyulitkan hal-hal ibadah tersebut. Rasul

mengatakan barang siapa yang tidak mengikuti ketentuan Allah dan ketentuan

Rasul, maka buatlah ketentuan-ketentuan sendiri dan ajak penolong-

penolongmu, sesungguhnya kamu tidak akan mampu. Terlalu sering

membuat syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan baru, padahal Allah SWT

dan Rasul-Nya sudah memiliki ketentuan-ketentuan yang seharusnya diikuti

oleh umat manusia.

Adat yang dikenal baik dan dijalankan secara terus menerus dan

berulang-ulang serta dianggap baik oleh mereka, maka tidak bisa diharamkan

baik oleh Islam maupun hukum yang berlaku.

Dalam Islam setidaknya ada 5 hukum syara‟yang disepakati yaitu

wajib, haram, makruh, mubah, dan sunnah. Adapun penjelasannya sebagai

berikut:

a. Wajib, yakni sebuah tuntutan yang pasti untuk mengerjakan perbuatan.

Apabila dikerjakan mendapat pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka

berdosa.

b. Sunnah, yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak pasti.

Apabila dikerjkan mendapat pahala, namun apabila tidak dikerjakan tidak

berdosa.

c. Mubah, artinya boleh dikerjakan boleh juga ditinggalkan. Apabila

dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala

atau pun disiksa.

Page 75: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

61

d. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti untuk meninggalkan

perbuatan tertentu. Apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila

ditnggalkan akan mendapatkan pahala.

e. Haram, yakni tuntutan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu. Apabila

dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila

ditinggalkan akan mendapat pahala.

Hukum dari pemberian uang panaik itu sendiri penulis berpendapat adalah

mubah ketika hal itu dijadikan sebagai alat untuk saling tolong menolong

untuk meringankan keluarga pihak perempuan dalam hal melangsungkan

perkawinan. Karena ada kaedah dalam hukum Islam. Hukum itu berputar

sesuai kondisi. Pemberian uang panaik merupakan tradisi yang bersifat

umum, dalam artian berlaku pada setiap orang yang bersuku Bugis khususnya

kabupaten Bone. Walaupun pemberian uang panaik ini tidak secara gamblang

diatur dalam hukum Islam, namun pemberian uang panaik sudah merupakan

suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal

ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari‟at maka hal itu diperbolehkan.

Page 76: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya

maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Di dalam hukum Islam mahar merupakan pemberian seorang laki-laki

kepada perempuan yang dinikahinya, selanjutnya akan menjadi hak milik

istri secara penuh. Seseorang bebas menentukan bentuk dan jumlah yang

diinginkan karena di dalam hukum Islam tidak ada ketentuan jumlah atau

batasan mahar namun disunnahkan mahar itu disesuaikan dengan

kemampuan pihak laki-laki (calon suami) bahkan dalam Islam dianjurkan

untuk tidak memberatkan calon suami atau pihak laki-laki dalam hal

pemberian mahar.

2. Di dalam hukum Islam tidak ada ketentuan yang mengatur tentang jumlah

atau batasan uang panaik. Namun demikian hukumnya mubah(dibolehkan)

sebagai salah satu bentuk tolong menolong dan diserahkan pada tradisi

masyarakat setempat sesuai dengan kesepakatan bersama kedua belah

pihak.

3. Masyarakat Bugis di Kabupaten Bone memahami bahwa uang panaik

merupakan salah satu pra syarat yang harus dilaksanakan oleh pihak calon

mempelai laki-laki. Jika itu tidak dilakukan maka kemungkinan besar

lamaran itu ditolak karena uang panaik sebagai salah satu status sosial dan

kebanggaan pihak calon mempelai wanita jika uang panaiknya tinggi,

ditambah adat yang berlaku di masyarakat Bugis Kabupaten Bone juga

menerapkan tanah sebagai mahar yang terkadang bagi sebagian orang

menganggap hal demikian juga memberatkan namun demikian mengingat

perkembangan dan pemahaman masyarakat Bugis di Kabupaten Bone

dewasa ini sedikit mengalami pergeseran tergantung kesepakatan kedua

belah pihak( calon suami dan calon istri) dan hal tersebut sebagai bentuk

wata‟awanu alal birri (dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan

kebajikan).

Page 77: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

63

B. Rekomendasi

1. Para tokoh agama dan ormas Islam hendaknya mensosialisasikan atau

memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat Bugis di

Kabupaten Bone mengenai mahar dalam perkawinan.

2. Para tokoh agama dan adat sebaiknya memberikan pemahaman kepada

masyarakat Bugis di Kabupaten Bone mengenai ststus uang panaik dalam

perkawinan. Bahwa uang panaik itu hendaknya jangan dijadikan alasan

utama dalam perkawinan.

3. Sebaiknya masyarakat Bugis di Kabupaten Bone memahami betul tentang

hukum mengenai mahar dan terkhusus uang panaik hendaknya jangan

dijadikan faktor utama dalam menentukan sahnya perkawinan. Namun lebih

utama kesepakatan bersama antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.

Page 78: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

64

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ahmad A, Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa : Abad XVI sampai Abad XVII,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Ahmad, Abd Kadir, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat,

Makassar: Indobis Publishing Makassar, 2006.

Ahmad, Abdul Kadir, Tradisi Perkawinan di Sulawesi Selatan Akulturasi dalam

Masyarakat Islam, 2006.

Ardianto, Iqbal, Uang panaik Sebuah Kajian Antara Tradisi Dan Gengsi,

Bandung: Mujahidi Grafis, 2016.

Dib al-Bugha, Musthafa. dkk. Fikih Manhaji Jilid 1, Yogyakarta: Darul Uswah,

2008.

Dinas kebudayaan dan pariwisata, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah

Sulawesi Selatan, Makassar, 2013.

Ghazaly, H. Abd. Rahman Fiqh Munakahat , Jakarta: Prenada Media, 2003.

Goffar, Abdul. Fiqih Wanita , Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.

Lamallongeng, Asmat Riady Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat

Bugis Bone, Bone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2007.

Latif, Syarifuddin, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe, Tangsel: Gaung

Persada Press Jakarta, 2016.

Machmud, A. Hasan silasa: Kumpulan Petuah Bugis Makassar, Bakti Centra

Baru.

Mahmud Mathlub, Abdul Majid. Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo: Era

Intermedia, 2005.

Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.

Nurnaga N, Andi, Adat Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, Makassar: Cv.

Telaga Zamzam, 2002.

Pelras, Cristian The Bugis, Penerjemah Rahman Abu dkk. Jakarta: Nalar, 2006.

Page 79: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

65

Raco, J.R. Metode Penulisan Kualitatif, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, 2010.

Setiady, Tolip, Intisari Hukum Adat Indonesia: Dalam Kajian Kepustakaan,

Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT Rajagrafindo

Yusuf, A.Muri. Metode Penulisan Kuantitatif, Kualitatif dan Penulisan

Gabungan, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Mandiri, 2014.

JURNAL

Ikbal, Moh. “Uang panaik‟ Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, Al-

Hukuma, volume 6 Nomor 1, Juni 2016.

Abdullah, Anzar “Islamisasi di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah”,

Paramita, volume 26 Nomor 1, 2012.

Aini, Noryamin. “Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan

Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia” AHKAM: Jurnal Ilmu

Syariah. Volume 17 Nomor 1, Juli 2014.

dkk, Andi Aminah Riski. ”Money Shopping(Uang panaik) In Marriage Bugis

Reteh District Community Indragiri Hilir”, Jom.unri.ac.id 2017.

Eka Lestari, Rheny Mitos dalam Upacara Uang panaik Masyarakat Bugis

Makassar. Skripsi (Jember: Universitas Jember, 2015).

Hajra Yansa, Yayuk Basuki. “Uang Panai‟ dan Stasus Sosial Perempuan dalam

Perspektif Budaya Siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi

Selatan”, Volume 3 Nomor 2.

Hikmah, Jabal repository.umy.ac.id/ handle/2014/07/20/konformitas-islam-dan-

adat-potret-fanatisme-keagamaan-di-kalangan-muslim-bugis.

Hikmah, Nurul “Problematika Uang Belanja Pada Masyarakat” ojs.unm.ac.id,

2015.

Hutami Adiningsih, A.Mega ”Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui Menre dalam

Perkawinan Adat Bugis”( Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin,

2016).

Page 80: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

66

Ikbal, Moh “Uang panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, The

Indonesian Journal Of Islamic Family Law”, 06, Juni 2016.

Ikbal, Moh. Tinjauan Hukum Islam Tentang Uang panaik Dalam Perkawinan

Adat Suku Bugis Makassar Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya

Kota Makassar. Skripsi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012).

Iqbal, Muhammad. “Konsep Mahar Dalam Perspektif Mazhab Imam Syafi‟i”, Al-

Mursalah, volume 1 Nomor 2, Desember 2015.

Juwaini, M. ”Nilai-Nilai Moral Dalam Ritual Adat Pernikahan Masyarakat Bugis

Dan Relavansinya Dengan Nilai-Nilai Pendidikan Islam”( Yogyakarta:

Tesis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2018).

Kohar, Abd. Kedudukan dan Hikmah Mahar Dalam Perkawinan. Jurnal IAIN

Raden Intan Lampung, 2016.

Latif, Syarifuddin “Meretas Hubungan Mayoritas-Minoritas Dalam Perspektif

Nilai Bugis”, Jurnal Al-Ulum, volume 12 Nomor 1, Juni 2012.

Marling, Nashirul Haq “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum Dan

Syariah, volume 6 Nomor 2, Desember 2017.

Naskah latoa, alinea: 48, 49, dan 68 yang dikutip dari Andi Rasdiyanah, Integrasi

Sistem Pangedereng (Adat) dengan Sistem Syariat sebagai Pandangan

Hidup Orang Bugis dalam Lontarak Latoa (Disertasi; Yogyakarta: PPS

IAIN Sunang Kalijaga, 1995).

Nur Ikram, Muhammad repository. Ar-raniry Banda Aceh.ac.id/2018/pengaruh

tingginya-uang-hantaran-terhadap-penundaan-perkawinan.

Ridha Jafar, Ahmad ”Uang Panai‟ Dalam Sistem perkawinan Adat Bugis

Makassar Perspektif Hukum Islam”( Yogyakarta: Skripsi Universitas

Islam Indonesia, 2016).

Setiyawan, Agung “Budaya Lokal dalam Perspektif Agama, Esensia, volume XIII

Nomor 2, Juli 2012.

Wibisana, Wahyu “Pendidikan Agama Islam-Ta‟lim”, Volume 14 Nomor 2,

2016.

Page 81: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

67

Yansa, Hajra dkk. “Uang panai‟ dan Status Sosial Perempuan dalam Perspektif

Budaya siri‟ pada Perkawinan Suku Bugis Makassar Sulawesi Selatan”,

Jurnal Pena, volume 3.

WEBSITE

https://books.google.co.id Albert Hendra Wijaya, Kejujuran, eprints.ung.ac.id.

(diunduh pada Rabu, 8 Mei 2019)

https://daerah.sindonews.com Herni Amir, ”Jelajah Tiga Datuk di Sulawesi

Selatan”, artikel diakses pada 17 Mei 2019 dari daerah.sindonews.

https://makassar.tribunnews.com /2014/10/28/ternyata-gadis-bulukumba-ini-

korban-uang-panai, diakses pada tanggal 9 April 2019, pukul 23.33 WIB

WAWANCARA

Wawancara Pribadi dengan Abdul Rasyid (Hakim Pengadilan Agama

Watampone), Mei 2019.

Wawancara Pribadi dengan Andi Najmuddin (Tokoh adat), 27 Mei 2019.

Wawancara Pribadi dengan Makmur (Hakim Pengadilan Agama Watampone),

Mei 2019.

Wawancara Pribadi dengan Muh.Marzuki (Kepala KUA Kecamatan Palakka), 27

Mei 2019.

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amir ( Ketua MUI Kabupaten Bone), 27

Mei 2019.

Wawancara Pribadi dengan Muslihin Sultan (Tokoh Agama Kabupaten Bone), 28

Mei 2019.

Page 82: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

68

Page 83: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

69

HASIL WAWANCARA DENGAN KEPALA KUA KECAMATAN

PALAKKA KABUPATEN BONE

Nama: Muhammad Marzuki

Pekerjaan: Kepala Kua Kabupaten Bone

Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?

Jawaban : uang panaik sebenarnya itu adalah tradisi orang bugis yaitu uang

belanja dimana masyarakat bugis itu menggunakan uang belanja

ini untuk melansungkan pernikahan sesuai tradisi budaya yang ada

dimana penentuan uang panaik tersebut dirundingkan dengan

keluarga besar laki-laki dan perempuan dengan jumlah sesuai

kesepakatan bersama.

Pertanyaan : bagaimana kaitan uang panaik dengan mahar ?

Jawaban : sebenarnya antara uang panaik dengan mahar itu berbeda kalau

uang panaik itu adalah adat yang dimana penentaunnya

berdasarkan kesepakatan sedangkan mahar itu sendiri atau disebut

juga sompa dalam bahasa bugis dalam hal penentuannya

diserahkan kepada pihak laki-laki meskipun pada umumnya di

kabupaten Bone ini maharnya adalah tanah.

Pertanyaan : sebenarnya apa tujuan adanya uang panaik itu sendiri ?

Jawaban : sebenarnya tujuan adanya uang panaik disini yaitu untuk

membiayai kelansungan pernikahan tetapi yang menanggung

adalah mempelai laki-laki.

Pertanyaan : berapa besaran uang panaik yang biasanya diterapkan ?

Jawaban : Besaran uang panaik itu memang bisa dikatakan berpengaruh

dengan fisik seseorang, stratifikasi sosial, tingkat Pendidikan dll.

Biasanya orang bugis ketika mau melamar seorang perempuan

dilihat dulu bagaimana status sosial perempuan tersebut karna itu

Page 84: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

70

berpengaruh dengan penentuan jumlah uang panaik, meskipun

tidak semua saat ini menerapkan hal tersebut apalagi ketika si

calon perempuan dan calon laki-laki sudah saling mengenal.

Pertanyaan : Bagaimana tata cara pembayaran uang panaik ?

Jawaban : uang panaik dibayarakan atau diberikan oleh calon pengantin

laki-laki kepada calon pengantin perempuan ketika telah disepakati

oleh keluarga besar atau biasa disebut pada waktu mappettu ada.

Pertanyaan : Pandangan bapak tentang tingginya uang panaik ?

Jawaban : Tinggi rendahnya uang panaik sebenarnya tidak menjadi masalah

ketika calon mempelai laki-laki mampu, yang menjadi masalah

ketika uang panaik ini memberatkan calon pengantin laki-laki

karena dalam Islam pun sebenarnya uang panaik ini tidak diatur

yang ada hanya tentang mahar. Jadi ketika uang panaik menjadi

penghalang atau memberatkan saya secara pribadi tidak setuju,

yang terpnting ketika mau melansungkan pernikahan yaitu rukun

dan syaratnya terpenuhi.

Pertanyaan : Apakah perlu uang panaik ini diberlakukan ?

Jawaban : karna uang panaik ini sudah menjadi adat sejak dulu yang harus

tetap kita jaga dan laksanakan akan tetapi tidak memberatkan dan

perlu dipersiapkan juga oleh orang tua pihak perempuan uang

untuk menikahkan anaknya jadi tidak hanya mengandalkan uang

panaik sehinnga pada akhirnya memberatkan pihak laki-laki karna

hanya itu yang ditunggu.

Page 85: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

71

HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH ADAT KABUPATEN BONE

Nama: Andi Najmuddin

Pekerjaan : Anggota Lembaga Adat Kabupaten Bone

Pertanyaan : Apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?

Jawaban : jadi dahulu sebenarnya tidak ada istilah doi balanca karena dulu

tidak ada uang yang dinaikkan sebelum nikah, uang belanja itu

resiko bagi kita laki-laki, karna taruhlah bahasa kasarnya seseorang

mau merusak seorang gadis, kita mau menikahinya hilanglah

keperawanannya. jadi ketika kamu mau merusak kamu harus

membeli kedua, maknanya uang yang dinaikkan itu dapat

dijadikan sebagai persiapan untuk mengundang tamu-tamu apakah

banyak atau tidak tetapi itu tidak menjadi standar kadang kala ada

juga yang mengatakan dulu saudaranya sekian juta kenapa

saudaranya lagi sekian saja ini juga bukan standar. Jadi, uang naik

itu adalah uang belanja yang bukan standar melainkan tergantung

kesepakatan Bersama diaman uang belanja ini adalah adat bukan

agama yang agama itu adalah mahar dan mahar tidak pernah

membatalkan pernikahan karna mahar tidak mengatakan serratus

juta melainkan apa saja bias dijadikan mahar asal bernilai.

Pertanyaan : Bagaimana kaitan uang panaik dengan mahar ?

Jawaban : mahar itu yang bernilai. apa saja dan tidak menjadi penghalang

tetapi itu wajib dalam bahasa arab dikatakan mahar, dalam bahasa

bugis dikatakan sompa dan dalam bahasa makassar dikatakan

sunrang. Indonesia umumnya jawa menyebutnya maskawin tetapi

kalau di Bone yang biasa dijadikan mahar adalah tanah bukan

wajib tapi budayanya biasa minta tanah sebab bagaimana karena

memang turung temurung nenek kita dulu setelah dibahas sampai

pada tahap mahar maka nenek itu keluar mengatakan ”moa

sipallekkungeng tedoanmoa narekko engkamo tanah

Page 86: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

72

disompanganngi anak eppoku” biar luasnya sekubangan kerbau

tanah itu asalkan tanah sebenarnya tidak mungkin tapi itulah

istilahnya tetapi bukan wajib dan kalua memang tidak ada tidak

usah diperhitungkan lagi tapi itu budaya. Jadi uang panaik itu

adalah budaya kita pertama-pertama harus laki-laki yang

menanggung resiko kedua, perempuan itu mau pesta besar-besaran

apalagi kalua banyak keluarga jadi itulah uang panaik sebenarnya

tergantung situasi dan kondisi saat itu dan keluarga pada saat itu

kalau dulu ada uang naik itu dikatakan “pengelli darah” contoh saja

seorang mengatakan lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki

status sosialnya maka untuk tidak menolak tapi sama dengan

menolak kalau jadi berarti dinamakanlah “melli darai” jadi uang

naik tergantung saja kesepakatan Bersama kemudia dilihat yang

biasa membedakan kadang kala terlalu banyak kalau dirasa tidak

sepenuh hati untuk menerimanya artinya kalau memang laki-laki

itu bisa ya jadilah tapi kalau memang tidak jadi juga tidak apa-apa

jadi dulu ada istilah terlalu banyak uang belanja karena ”dipengelli

darawi” sekarang sudah tidak ada yang sekarang ini hanya melihat

bagaimana status ekonomi perempuan atau Pendidikan. Jadi, di

Bugis itu ada tatanan sistematika perkawinan adat bugis Bone

artinya saya tidak berani lansung melamar kepada seseorang

sebelum ada rintisan atau dalam bahas bugis ”mabbaja laleng”

membuka jalan sebab kalau saya dating melamar terus orang

tuanya mengatakan de‟pa masikolah monpi atau mengatakan sudah

ada yang duluan itu sebabnya kita merintis meminta tolong kepada

sesorang yang tau persis baik tetangga atau yang dapat

dipercayakan untuk dating yang namanya “Mappese pese”

membuka jalan menanyakan bahwa itu perempuan dia sedang

sekolah tetapi jika ada yang melamar apakah dia mau atau tidak

dan kalau saya mengatakan juga kenapa uang panaik juga terlalu

mahal sekarang karen memang bukan pilot(pilihan orang tua) jadi

Page 87: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

73

memang uang panaik itu adalah budaya yang bukan agama tetapi

itu memang diiizinkan sebenarnya bukan menjual itu untuk kita

gunakan dalam pesta dan kemudian resiko bagi pihak laki-laki

yang harus menanggung.

Pertanyaan : apakah uang panaik bisa membatalkan pernikahan ?

Jawaban : itu salah sekali sekarang terutama ketika kita sudah tau. Ada

kewajaran bisa saja dipertahankan kalau ada kewajaran

maksudnya anaknya tidak saling mengenal tapi ketika sudah ada

hubungan misalnya satu kuliahan, satu tempat kerja kemudian

tidak mau diterima maka itu maslahnya orang tua dan hal itu tidak

boleh dilakukan. Agama sudah meluruskan bahwa kenapa

menghalangi jadi ketika ada sesuatu negative yang terjadi maka

salahnya orang tua bukan lagi kesalahan pada anak kelihatanny

anak yang salah tapi dari segi proses orang tualah yang membuat

semua itu terjadi karena tidak menerima padahal sudah ada

hubungan kecuali memang kalau sudah tidak seagama tetapi ketika

sudah seagama apa salahnya suku apapun ataupun apa yang

penting sudah seagama. Dahulu memang susah kalau tidak

sekeluarga apalagi jika sudah suku lain akan tetapi di Bone ini

sudah tidak menerapkan itu jadi yang penting sekarang adalah

agama kemudian Pendidikan dan sekarang saya rasa sudah tidak

ada kesulitan cuman yang biasa menjadikan susah itu memang

uang panaik dan memang perlu orang yang pintar bicara yang

datang melamar, yang pintar perasaan kadang kala bisa terjadi

pihak perempuang sudah merasa tersinggung ketika ditawarkan

contoh 1 m orang yang datang melamar ketika tidak mengetahui

pasti mengatakan kelewatan sehingga tersinggunglah pihak laki-

laki, tetapi ketika orang yang pintar berbicara mengerti perasaan

mengatakan wajar karena memang perempuan mau memasang

Page 88: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

74

yang tinggi tetapi kita pihak laki-laki dibawah kita pukul nanti

ditengah-tengah ketemu.

Pertanyaan : perlu tidaknya diberlakukan uang panaik ?

Jawaban : sekarang di Bone itu sudah pembauran tidak memandang lagi

suku ini dan suku itu dan yang saya katakana asal sudah seagama

dan kemudian sudah bisa dikatakan pendidikannya dan disana suda

tau situasi dan kondisi tidak boleh lagi berpatokan pada pola lama

karna merugikan dan menimbulkan banyak sesuatu negative dan di

Bone sekarang sudah tidak berpatokan dengan itu yang penting

yang pertama agama, Pendidikan dan termasuk akhlak karna adat

istiadat itu juga kalau.

Page 89: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

75

HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH AGAMA KABUPATEN BONE

Nama: Muslihin Sultan

Pekerjaan : Dosen IAIN Bone

Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?

Jawaban : uang panaik adalah satu hal yang tidak disebutkan sebagai mahar

karna di bone ini lazimnya mahar itu berupa tanah dimana suatu

kehormatan ketika seorang laki-laki mampu memberikan mahar

berupa tanah meskipun hanya sedikit sedangkan uang panaik

adalah uang belanja yang merupakan bagian prosesi dan tradisi

perkawinan masyarakat Bugis di Bone dimana uang panaik

menempati posisi prestisius ada harkat dan martabat seorang laki-

laki. Saya melihat bukan persolan perempuannya tetapi persoalan

laki-laki bahwa keluarga laki-laki memberi kehormatan pada calon

istrinya dengan uang panaik apakah besar atau kecil sesuai

apresiasi bagaiamana dia memberikan penghargaan terhadap calon

permpuan dan uang panaik ini sebenarnya yang menentukan

adalah pihak laki-laki dan mendapatkan persetujuan dari pihak

perempuan dimana sebagai objek penerima ketika ia menerima

dan uang panaik ini juga sebagai bentuk gambaran kemampuan

pihak laki-laki dalam menghargai dan menghormati pihak

perempuan.

Pertanyaan : besaran uang panaik ?

Jawaban : jadi uang panaik itu dipengaruhi tingkat kebangsawanan, status

social kemudian Pendidikan jadi di Bone masih ini yang pertama

dilihat ketika hendak melakukan pernikahan.

Pertanyaan : pandangan bapak tentang tingginya mahar dan uang panaik ?

Jawaban : Sebenarnya tidak menjadi persoalan selagi disepakati.

Page 90: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

76

Pertanyaan : apakah sejauh ini uang panaik menjadi penghalang pernikahan ?

Jawaban : saya kira juga uang panaik bukanlah tujuan utama karena hal ini

merupakan kesepakatan dan kemampuan pihak keluarga laki-laki

meloby keluarga pihak perempuan dan ketika terjadi pembatalan

karena uang panaik biasanya ada keluarga perempuan yang terlalu

ngotot untuk mempertahankan dimana dia memandang uang

panaik sebagai prestise yaitu suatu kebanggan.

Pertanyaan : apakah uang panaik masih harus dipertahankan ketika lebih

banyak mendatangkan mudarat dibandingkan manfaat ?

Jawaban : meskipun memang adat dimana uang panaik ini berkaitan dengan

pesta disatu sisi memang ada anjuran agama bahwa ketika engkau

akan melakukan pernikahan hendaknya ada pesta persaksian

intinya salah satu hikma uang panaik meskipun bukan rukun dan

syarat akan tetapi melengkapi meksipun sifatnya adat mesti harus

dipertahnkan tetapi masalah pestanya rame atau tidak sekira ajaran

agama kita juga melarang kita berlebih-lebihan jadi, saya juga

secara pribadi tidak setuju ketika uang panaik yang berlebih-

lebihan.

Page 91: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

77

HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA MUI KABUPATEN BONE

Nama: H. M. Amir HM

Pekerjaan: Ketua MUI Kabupaten Bone

Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?

Jawaban : uang panaik itu uang belanja di Bone, ini yang tinggi uang

panaik bahkan menjadi kebiasaan juga sebagian orang mengambil

uang panaik itu melihat dari segi strata sosial yang dimana

sebenarnya ini agak melenceng dengan agama.

Pertanyaan : besaran uang panaik ?

Jawaban : jadi uang panaik itu dipengaruhi tingkat kebangsawanan, status

social kemudian Pendidikan jadi di Bone masih ini yang pertama

dilihat ketika hendak melakukan pernikahan.

Pertanyaan : pandangan bapak tentang tingginya mahar dan uang panaik ?

Jawaban : Mahar dan Uang panaik dalam perkawinan adat Bugis adalah

suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam

prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam

hal kewajiban dan harus dipenuhi. Akan tetapi uang panaik lebih

mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat

menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan. Sehingga

jumlah uang panaik yang ditentukan oleh pihak keluarga

perempuan biasanya lebih banyak daripada jumlah mahar yang

diminta dan biasanya sudah menjadi kebiasaan sebagian orang

menentukan uang panaik itu melihat dari segi strata sosial

Pertanyaan : apakah sejauh ini uang panaik menjadi penghalang pernikahan ?

Jawaban : saya kira juga uang panaik bukanlah tujuan utama karena hal ini

merupakan kesepakatan dan kemampuan pihak keluarga laki-laki

memberikan pemahaman keluarga pihak perempuan dan memang

Page 92: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

78

ada beberapa kasus uang panaik menjadi pembatalan pernikahan

yaitu ditolaknya lamaran pihak laki-laki karena tidak mampu

memberikan uang panaik yang dipatok keluarga pihak perempuan.

Pertanyaan : apakah uang panaik masih harus dipertahankan ketika lebih

banyak mendatangkan mudarat dibandingkan manfaat ?

Jawaban : uang panaik ini adalah adat yang dari sejak dulu sudah dijalankan

oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Bone. Dalam hal ini uang

panaik yang menjadi adat masih harus tetap dijalankan dengan

catatan tidak mempersulit bagi siapa saja yang punya niat untuk

melakukan pernikahan dan di Lembaga MUI sendiri itu sudah

menjadi tugas kami para untuk memberikan pemahaman

dimasyarakat tentang penetapan uang panaik yang terkadang

menjadi penghalang pernikahan.

Page 93: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

79

HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA

KABUPATEN BONE

Nama: Abd. Rasyid

Pekerjaan: Hakim Pengadilan Agama

Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?

Jawaban : uang panaik itu digunakan biasanya untuk biaya pesta

perkawinan yang dibebani oleh calon mempelai laki-laki itulah

budaya yang umumnya di Sulawesi selatan Bugis pada khusunya.

Pertanyaan : bagaimana kaitan uang panaik dengan mahar ?

Jawaban : mahar itu tersendiri beda dengan uang panaik, di Bone ini uang

panaik sejumlah uang sedangkan mahar itu biasanya itu berbentuk

tanah.

Pertanyaan : besaran uang panaik ?

Jawaban : sangat bervariasi tergantung dengan kondisi ekonomi, biasanya

juga dilihat dari status social masyarakat itu dan seringnya status

social ini sangat berpengaruh dengan jumlah uang panaik itu

sendiri.

Pertanyaan : perlu tidak uang panaik ini diberlakukan ?

Jawaban : ini kan termasuk adat masalah besar kecilnya itu tergantung

kesepakatan tetapi masih harus dipertahankan karena ini

merupakan adat yang harus dipertahankan.

Pertanyaan : pandangan bapak tentang tingginya mahar dan uang panaik ?

Jawaban : masalah tinggi rendahnya uang panaik tidak menjadi persoalan

ketika kedua belah pihak menyetujui hal tersebut.

Page 94: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

80

Nama: Makmur

Pekerjaan: Hakim Pengadilan Agama

Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang uang panaik ?

Jawaban : uang panaik itu awalnya semacam bantuan perkawinan bagi

calon perempuan tapi lama kelamaan bukan lagi sebagai bantuan

karena sudah menjadi hal yang wajib karena bisa saja pernikahan

tidak terjadi karena tidak disepakatinya uang panaik.

Pertanyaan : bagaimana kaitan uang panaik dengan mahar ?

Jawaban : kalau mahar itu wajib dan antara mahar dengan uang panaik itu

berdiri sendiri tetapi wajib ada.

Pertanyaan : besaran uang panaik ?

Jawaban : saya tidak setuju ketika besaran uang panaik itu dilihat dari segi

status sosial karena ketka kita bertahan disitu kita masuk ke hukum

BW bahwa perrkawinan ini adalah transaksi jual beli.

Pertanyaan : perlu tidak uang panaik ini diberlakukan ?

Jawaban : ketika uang panaik yang menjadi adat tentu masih harus

dipertahankan akan tetapi perlu memberikan pemahaman mengenai

status uang panaik itu sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus yang

tidak diinginkan karena uang panaik..

Pertanyaan : pandangan bapak tentang tingginya mahar dan uang panaik ?

Jawaban : masalah tinggi rendahnya uang panaik tidak menjadi persoalan

ketika kedua belah pihak menyetujui hal tersebut namun menjadi

masalah ketika uang panaik ini menghalangi niat seseorang untuk

melakukan pernikahan.

Page 95: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

81

Nomor : 01

Lampiran : -

Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara

Kepada Yth,

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

di

Jakarta

Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:

Nama : Nur Avita

NIM : 1150440000025

Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997

Semester : VII (Delapan)

Jurusan : Hukum Keluarga

Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone

Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka

tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam

Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.

Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana

mestinya.

Bone, 27 Mei 2019

Narasumber

Page 96: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

82

Nomor : 01

Lampiran : -

Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara

Kepada Yth,

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

di

Jakarta

Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:

Nama : Nur Avita

NIM : 1150440000025

Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997

Semester : VII (Delapan)

Jurusan : Hukum Keluarga

Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone

Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka

tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam

Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.

Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana

mestinya.

Bone, 27 Mei 2019

Narasumber

Page 97: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai
Page 98: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

84

Nomor : 01

Lampiran : -

Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara

Kepada Yth,

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

di

Jakarta

Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:

Nama : Nur Avita

NIM : 1150440000025

Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997

Semester : VII (Delapan)

Jurusan : Hukum Keluarga

Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone

Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka

tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam

Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.

Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana

mestinya.

Bone, 27 Mei 2019

Narasumber

Page 99: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

85

Nomor : 01

Lampiran : -

Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara

Kepada Yth,

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

di

Jakarta

Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:

Nama : Nur Avita

NIM : 1150440000025

Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997

Semester : VII (Delapan)

Jurusan : Hukum Keluarga

Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone

Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka

tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam

Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.

Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana

mestinya.

Bone, 27 Mei 2019

Narasumber

Page 100: MAHAR DAN UANG PANAIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47687/1/NUR AVITA-FSH.pdf · yang harus dilaksanakan oleh pihak calon mempelai

86

Nomor : 01

Lampiran : -

Hal : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara

Kepada Yth,

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

di

Jakarta

Kami sebagai narasumber/informan dengan ini menerangkan bahwa:

Nama : Nur Avita

NIM : 1150440000025

Tempat/Tgl. Lahir : Tacipi, 10 Mei 1997

Semester : VII (Delapan)

Jurusan : Hukum Keluarga

Alamat : Desa Cinennung Kecamatan Palakka kabupaten Bone

Benar-benar telah melakukan wawancara dan pencarian data dalam rangka

tugas penelitian skripsi yang berjudul Mahar dan Uang Panaik Dalam

Tradisi Perkawinan Masyarakat Bugis Di Kabupaten Bone.

Demikan surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana

mestinya.

Bone, 27 Mei 2019

Narasumber