muhammad nuh jurusan bimbingan dan penyuluhan...
TRANSCRIPT
PERAN PENYULUH AGAMA
DALAM MEMBINA AKHLAK UMAT
DI KEMENTERIAN AGAMA RI KANTOR KOTA TANGERANG
Muhammad Nuh
107052003811
Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2012
i
ABSTRAK
Muhammad Nuh
Peran Penyuluh Agama Dalam Membina Akhlak Umat di Kementerian Agama RI Kantor
Kota Tangerang
Pembinaan akhlak merupakan bagian pendidikan terpenting untuk melestarikan aspek-
aspek sikap. Nilai keagamaan harus dioperasionalkan secara konstruktif dalam masyarakat,
keluarga, dan diri sendiri. Masyarakat Indonesia belakangan ini sedang mengalami krisis, dan
sebenarnya bukan krisis ekonomi, politik atau lainnya. Tetapi karena masyarakat Indonesia
sedang mengalami krisis moral. Semakin banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki
moral atau etika yang baik. Hal ini terbukti dengan adanya fenomena-fenomena yang terjadi di
masyarakat kita belakangan ini. Didasari dari permasalahan-permasalahan yang disampaikan di
atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berhubungan dengan “Peran Penyuluh
Agama Dalam Membina Akhlak Umat di Kementerian Agama RI Kantor Kota Tangerang”.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana peran penyuluh di Kementrian Agama dalam
membina akhlak umat pada masyarakat Kota Tangerang dan metode apa yang digunakan
penyuluh di Kementrian Agama dalam membina akhlak umat pada masyarakat Kota Tangerang.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Kualitatif.
Adapun desain penelitiannya menggunakan jenis penelitian desain deskriptif yaitu metode yang
bertujuan membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-
sifat serta hubungan fenomena yang diteliti. Subjek pada penelitian ini yaitu penyuluh agama di
Kementrian Agama Kota Tangerang. Sedangkan objek penelitian ini adalah pendekatan-
pendekatan atau penerapan metode penyuluhan Islam yang digunakan penyuluh pada kegiatan
penyuluhan dalam membina akhlak umat pada masyarakat Kota Tangerang. Analisis data yang
dilakukan adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Peran Penyuluh Agama Dalam Membina Akhlak Umat di Kementerian Agama RI Kantor
Kota Tangerang adalah sebagai animasi sosial, pembangkit kesadaran masyarakat, dan sebagai
penyampai informasi. Metode yang digunakan oleh penyuluh Kementerian Agama dalam
membina akhlak umat pada masyarakat Kota Tangerang adalah yang pertama secara dialog
langsung dengan masyarakat, yang kedua penyuluh memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk bertanya kepada sang penyuluh, dan yang ketiga dengan cara ceramah umum. Dan
tentunya sesuai dengan metode dakwah bil lisan, dakwah bil hal, dan dakwah bil hikmah. Faktor
pendukung dalam pembinaan akhlak pada masyarakat Kota Tangerang ini adalah masyarakat
yang sangat antusias dalam mengikuti kegiatan pembinaan akhlak tersebut sehingga
memudahkan sang penyuluh dalam menyampaikan sesuatu. Sedangkan untuk faktor
penghambatnya menurut peneliti tidak ada. Karena masyarakat terlihat menghormati dan
membutuhkan sang penyuluh.
ii
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadhirat Allah subhanahu
wata’ala karena atas kuasa-Nyalah penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.
Sholawat serta salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad
sholallahu ‘alaihi wassallam, juga kepada keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya sampai kepada kita hingga yaumil akhir.
Skripsi yang berjudul “Peran Penyuluh Agama Dalam Membina Akhlak
Umat Pada Kementerian Agama Kantor Kota Tangerang” ini disusun untuk
menempuh sidang akhir sarjana pada jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam,
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, di antaranya sebagai berikut:
1. Yang terhormat Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr.
Arief Subhan, M.Ag, bersama Pembantu Dekan I Drs. Wahidin Saputra,
M.Ag, Pembantu Dekan II Drs. H. Mahmud Jalal, MA, Pembantu Dekan
III Drs. Study Rizal LK, MA;
2. Yang terhormat Ketua Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Dra. Rini
Laili Prihatini, M.Si serta selaku dosen pembimbing skripsi ini yang selalu
sabar memberikan arahan dan masukan serta memotivasi penulis dalam
penulisan skripsi ini. Terima kasih atas semua kebaikannya;
iii
3. Yang terhormat Sekretaris Jurusan Drs. Sugiharto, MA yang selalu
memberikan arahan dan motivasi kepada penulis;
4. Yang terhormat dosen penasehat akademik Drs. M. Luthfi, MA yang
senantiasa memberikan arahan dan masukan serta memotivasi penulis
dalam penulisan skripsi ini;
5. Seluruh pengajar Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang senantiasa tulus dalam mengajar, mendidik,
membimbing dan bersedia mengamalkan ilmu-ilmunya kepada seluruh
mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya penulis;
6. Kedua orang tua yang telah sabar menanti dan senantiasa mendoakan,
mencurahkan kasih sayang, memberikan motivasi kepada penulis untuk
segera menyelesaikan penulisan skripsi ini;
7. Saudara satu-satunya, Kanda H. Mohammad Nazarullah yang senantiasa
mendoakan dan menjadi motivasi penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan skripsi ini;
8. Sahabat seperjuangan (Dian Putra, Zulkarnain Fadli, Nurhasanuddin,
Hapsari Retno, Ade Nurzaman, Muhammad Syahid dan Wiwit Fatimah)
yang senantiasa mendoakan, memberikan motivasi dan menghibur penulis
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini;
9. Seluruh karyawan staf administrasi, staf perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan staf pepustakaan utama Universitas
iv
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis
untuk mendapatkan berbagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini;
10. Kementerian Agama Kota Tangerang yang telah mengizinkan penulis
untuk melakukan penelitian tentang Peran Penyuluh Di Kementerian
Agama Dalam Membina Akhlak Umat Pada Masyarakat Kota Tangerang.
KH. Hasan Basri yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai
dan kepada seluruh staf bagian Penamas yang telah membantu penulis;
11. Semua pihak yang telah ikhlas membantu dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini.
Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan balasan atas segala jasa
dan bantuan serta kebaikan yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis.
Seluruh isi skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis. Oleh sebab itu,
isi skripsi ini sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang membutuhkan pada umumnya dan Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam pada khususnya.
Jakarta, 04 Juni 2012
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………....... i
KATA PENGANTAR……………………………………………………….... ii
DAFTAR ISI………………………………………………………...……..….. v
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...…... viii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……...………………………........... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah……………………………... 6
C. Tujuan Penelitian………………………………………...….. 7
D. Manfaat Penelitian…………………………………………... 8
E. Tinjauan Pustaka…………………………………………….. 8
F. Sistematika Penulisan……………………………………….. 12
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Peran Penyuluh Agama……………………………………... 14
1. Pengertian Peran……………………………………….... 14
2. Pengertian Penyuluh…………………………………….. 15
3. Pengertian Penyuluh Agama……………………………. 16
vi
4. Peran Penyuluh Agama…………………………………. 17
5. Pengertian Agama………………………………………. 19
B. Akhlak……………………………………………………… 21
1. Pengertian Akhlak………………………………………. 21
2. Metode Pembinaan Akhlak……………………………... 26
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukkan
Akhlak…………………………………………………... 27
C. Masyarakat………………………………………………….. 29
1. Masyarakat Madani……………………………………... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ………………..…………………….. 34
B. Lokasi dan Jadwal Penelitian…...…………………………... 36
C. Subjek dan Objek Penelitian.…………………………….…. 36
D. Teknik Pengambilan Data…………………………………... 37
E. Sumber Data………………………………………………… 39
F. Fokus Pertanyaan Penelitian………………………………... 39
G. Konsep Operasional Menurut Informan...…………………... 40
H. Asumsi Peneliti……………………………………………... 41
I. Teknik Analisa Data……………………………………….... 42
J. Teknik Pemeriksaan Data…………………………………... 43
vii
BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kementerian Agama Kota Tangerang…... 45
B. Tipologi Masyarakat Kota Tangerang……………………… 51
BAB V HASIL DAN ANALISA DATA
A. Peran Penyuluh Di Kementerian Agama Kota Tangerang…. 54
B. Metode Penyuluhan KH. Hasan Basri……………………… 58
C. Bentuk Pembinaan Akhlak Oleh Penyuluh Pada Masyarakat
Kota Tangerang……………………………………………... 61
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan…………………………………………………. 64
B. Saran………………………………………………………... 65
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 67
LAMPIRAN
viii
DAFTAR GAMBAR
1. Struktur Organisasi Kementerian Agama Kantor Kota Tangerang…….. 51
1.A Struktur & TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) Seksi
Pendidikan Keagamaan Pada Masyarakat dan Pemberdayaan
Masjid Kementerian Agama Kantor Kota Tangerang……………….…. 51
2. KH. Hasan Basri sedang menyampaikan materi pembinaan akhlak
3. Kegiatan Pembinaan Akhlak
4. Materi Pembinaan Akhlak
5. Kegiatan Pembinaan Akhlak
6. Kantor PENAMAS Kementerian Agama Kota Tangerang
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Bimbingan Skripsi
2. Surat Izin Penelitian/ Wawancara
3. Surat Keterangan Penelitian dari Kementerian Agama Kota Tangerang
4. Daftar Wawancara
5. Dokumentasi (foto-foto)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah sebuah Negara yang mempunyai masyarakat Islam
terbanyak di antara Negara-negara di dunia. Dari sekitar 178 juta penduduk,
hampir 90% adalah pemeluk agama Islam yang taat. Karena itu perhatian
pemerintah banyak diarahkan kepada upaya-upaya pembangunan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan rohaniah keagamaan di samping kesejahteraan
lahiriah.
Agama memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Sebab agama
merupakan motivasi hidup dalam kehidupan serta merupakan alat pengembangan
dan pengendalian diri yang amat penting. Oleh karena itu agama perlu dipahami
dan diamalkan oleh manusia agar dapat menjadi dasar kepribadian (akhlak)
sehingga ia menjadi manusia yang utuh.
Agama juga mengatur hubungan manusia dengan khaliknya, hubungan
manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia
dengan dirinya yang dapat menjamin keselarasan, keseimbangan dan keserasian
dalam hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat
dalam mencapai kemajuan lahiriah.
Masyarakat Indonesia belakangan ini sedang mengalami krisis, dan
sebenarnya bukan krisis ekonomi, politik atau lainnya. Tetapi karena masyarakat
2
Indonesia sedang mengalami krisis moral. Semakin banyak masyarakat Indonesia
yang tidak memiliki moral atau etika yang baik. Hal ini terbukti dengan adanya
fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat kita belakangan ini.
Penyebab utama dari masalah-masalah yang terjadi di masyarakat kita
menurut pandangan saya adalah karena masyarakat di Indonesia khususnya umat
Islam belum seluruhnya memiliki akhlak yang baik. Karena umat Islam di
anjurkan untuk berakhlak dengan akhlak yang disyariatkan bagi setiap muslim,
seperti:
Jujur
Bertanggung Jawab
Menjaga Kesucian
Malu
Berani
Dermawan
Menepati Janji
Menjauhi seluruh yang diharamkan Allah
Berlaku baik dengan para tetangga
Membantu orang-orang yang memerlukan bantuan, sesuai kemampuan1
Dan akhlak-akhlak lainnya yang dijelaskan dalam Al Quran dan As Sunnah
sebagai akhlak yang disyariatkan.
1 Mudzakkir Muhammad Arif, Beberapa Pelajaran Penting Untuk Segenap Umat, (Saudi Arabia:
Direktorat Bidang Penerbitan dan Riset Ilmiah Departemen Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam)
h. 27-28.
3
Bila ajaran Islam sudah menjadi pedoman dan pilihan hidup, maka
pengaruhnya akan terlihat dalam sikap dan perilaku sehari-hari, serta diharapkan
dapat membentengi hidup dari berbagai persoalan yang timbul sebagai bagian dari
proses perjalanan hidup. Oleh karena itu, dengan Islam penyuluh agama bertugas
mengarahkan umat agar masuk ke dalam ajaran Islam secara utuh, menyeluruh
dan universal.
Pembinaan akhlak merupakan bagian pendidikan terpenting untuk
melestarikan aspek-aspek sikap. Nilai keagamaan harus dioperasionalkan secara
konstruktif dalam masyarakat, keluarga, dan diri sendiri. Maka, pembinaan akhlak
harus mempunyai tujuan yang berintikan tiga aspek, yaitu aspek iman, ilmu, dan
amal yang merupakan sendi yang tidak terpisahkan. Tujuan yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
1. Menumbuh suburkan dan mengembangkan serta membentuk sikap positif dan
disiplin terhadap agama dalam berbagai kehidupan siswa yang nantinya
diharapkan menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta taat kepada perintah-Nya.
2. Ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya merupakan motivasi intrinsik
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang harus dimiliki siswa. Berkat
pemahaman tentang pentingnya agama dan ilmu pengetahuan, maka anak
akan menyadari keharusan menjadi seorang hamba Allah SWT yang beriman
dan berilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam mencari keridhoan Allah dan
menambahkan ketakwaan.
3. Menumbuhkan dan membina keterampilan beragama dalam semua lapangan
hidup dan dapat memahami serta menghayati anjuran agama Islam secara
4
mendalam dan bersifat menyeluruh. Sehingga dapat digunakan sebagai way
of life, baik dalam hubungan dirinya dengan Allah melalui ibadah shalat
umpamanya, sedangkan dalam hubungannya sesama manusia yang tercermin
dalam akhlak perbuatan serta dalam hubungan dirinya dengan alam sekitar
melalui cara pemeliharaan dan pengolahan serta memanfaatkan hasil
usahanya.2
Didasari dari permasalahan-permasalahan yang disampaikan di atas,
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berhubungan dengan “Peran
Penyuluh Agama Dalam Membina Akhlak Umat di Kementerian Agama RI
Kantor Kota Tangerang”.
Secara umum, istilah penyuluhan dalam bahasa sehari-hari sering
digunakan untuk menyebut pada kegiatan pemberian penerangan kepada
masyarakat, baik oleh lembaga pemerintah maupun oleh lembaga non-pemerintah.
Istilah ini diambil dari kata dasar suluh yang searti dengan obor dan berfungsi
sebagai penerangan.
Istilah penyuluhan sebenarnya terkait dengan istilah bimbingan, yaitu
Bimbingan dan Penyuluhan disingkat BP, terjemahan dari istilah dalam bahasa
Inggris guidance and counseling salah satu istilah dari cabang disiplin ilmu
psikologi.3 Dalam masyarakat akademik dua istilah ini, yaitu penyuluhan dan
konseling, tetap dipakai, bahkan lebih dikenal dengan istilah penyuluhan. Jadi
penyuluh adalah orang yang memberi penyuluhan atau penerangan tersebut.
2 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. Ke-2,
h. 89. 3 Isep Zainal Arifin, Bimbingan Penyuluhan Islam (Pengembangan Dakwah Melalui Psikoterapi
Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009) h. 49.
5
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang
berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada
di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah, disengaja, mendarah daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran
Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat
universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak Islam yang universal ini
diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang
terkandung dalam ajaran etika dan moral.4 Al-Qur’an Firman Allah dalam Surat
Shaad, Ayat 71-72 :
Artinya :
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya
aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadaNya". (QS. Shad : 71 – 72)5
Allah SWT mengingatkan, bahwa bentuk penciptaan manusia secara
lahiriah terdiri atas unsur tanah dan air, sedangkan batiniahnya terdiri dari roh
ciptaan-Nya. Dan berkat akhlak yang baik, maka kondisi batin pun menjadi baik.
4 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 147.
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Darus Sunnah,
2002), h. 741.
6
Jika sifat-sifat tercela disingkirkan, maka sebagai gantinya muncul sifat-sifat yang
terpuji. Dan itulah yang disebut dengan akhlak yang baik.
Allah SWT pun telah memerintahkan kita untuk senantiasa memiliki
akhlak yang baik, dalam firman-Nya :
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90).6
Uraian tersebut di atas telah menggambarkan bahwa Islam menginginkan
suatu masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia ini demikian
ditekankan karena disamping akan membawa kebahagiaan bagi individu, juga
sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata
lain bahwa akhlak utama yang ditampilkan seseorang, manfaatnya adalah untuk
orang yang bersangkutan.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Batasan Masalah
Untuk membatasi pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis perlu
memberikan batasan-batasan yang akan diteliti. Untuk itu penulis akan membatasi
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Darus Sunnah,
2002)., h. 415.
7
pada peran penyuluh agama dalam membina akhlak umat di Kementerian Agama
RI Kantor Kota Tangerang. Khususnya di lingkungan masyarakat kecamatan
Priuk Tangerang.
Peran yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini adalah peran
fasilitatif yaitu yang meliputi mediasi dan negoisasi, dan peran edukasional yaitu
yang meliputi membangkitkan kesadaran masyarakat.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran penyuluh agama dalam membina akhlak umat di
Kementerian Agama RI Kantor Kota Tangerang ?
2. Metode apakah yang digunakan penyuluh agama dalam membina akhlak
umat di Kementerian Agama RI Kantor Kota Tangerang ?
3. Bagaimana bentuk pembinaan akhlak oleh penyuluh di Kementerian
Agama pada masyarakat Kota Tangerang ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran penyuluh agama dalam
membina akhlak umat di Kementerian Agama RI Kantor Kota Tangerang.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis metode yang digunakan penyuluh
agama dalam membina akhlak umat di Kementerian Agama RI Kantor
Kota Tangerang.
8
3. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk pembinaan akhlak oleh
penyuluh di Kementerian Agama pada masyarakat Kota Tangerang.
D. Manfaat Penelitian
1. Ilmu Pengetahuan, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan
baru pada Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam.
2. Akademis, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
referensi dalam peningkatan wawasan dakwah, lebih khusus bagi Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Jurusan BPI yaitu melalui
kegiatan praktikum mikro dan makro, serta sebagai pijakan dalam
melakukan penelitian selanjutnya.
3. Kementrian Agama Kota Tangerang, diharapkan dari hasil penelitian ini
dapat menjadi acuan mendasar khususnya bagi pihak Kementrian Agama
Kota Tangerang atau elemen lainnya terutama dalam menumbuh
kembangkan nilai-nilai keagamaan terhadap seseorang agar memiliki
akhlak yang lebih baik.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis menemukan beberapa tema yang sama dengan penelitian yang
ditulis oleh penulis sendiri, yaitu sebagai berikut :
1. Nama Penulis : Rike Aryana (2010)
Judul Penelitian : Peran Penyuluh Agama Dalam Pembinaan Akhlak
Bagi Anak Pemulung Di Yayasan Media Amal Islami Lebak Bulus Jakarta
9
Selatan. Hasil penelitiannya adalah : peran penyuluh agama dalam
pembinaan akhlak bagi anak pemulung di Yayasan Media Amal Islami
sebagai proses perubahan perilaku, sebagai inisiator, sebagai fasilitator,
sebagai motivator, sebagai teladan dan sebagai pemimpin. Metode yang
digunakan oleh penyuluh agama adalah dengan dakwah bil lisan, dakwah
bil haal, dakwah bil hikmah dan pendekatan persuasif. Faktor pendukung
dalam pembinaan akhlak bagi anak pemulung adalah para penyuluh
agama yang tidak pernah menyerah dalam melakukan dakwahnya, sarana
dan prasarana yang menunjang untuk kelancaran proses kegiatan
pembinaan tersebut. Sedangkan faktor penghambatnya yaitu faktor
internal yaitumulai dari anak-anak pemulung yang malas dan tidak
adanya standarisasi untuk tenaga penyuluh agama. Sedangkan faktor
eksternal yaitu ada pihak non muslim yang punya kepentingan untuk
memanfaatkan situasi dan kondisi dari anak-anak pemulung, faktor cuaca,
kurangnya peran aktif dari pemerintah dan financial yang tersendat.
Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah sasaran
dan tempat penelitian yang ada dalam penelitian ini.
2. Nama Penulis : Sofha Jamil (2009)
Judul Penelitian : Peranan Pembimbing Agama Dalam Mewujudkan
Kemandirian Bagi Anak-Anak Yatim Di Pondok Pesantren Yatim Al-
Akhyar Kelurahan Beji-Kota Depok. Hasil penelitiannya adalah : Peranan
Pembimbing Agama Dalam Mewujudkan Kemandirian Bagi Anak-Anak
Yatim Di Pondok Pesantren Yatim Al-Akhyar adalah : sebagai pengganti
orang tua asuh, sebagai pendidik, dan sebagai motivator. Dan juga
10
peranan pembimbing tersebut sesuai dengan keinginan masyarakat, yaitu
sebagai pengganti orang tua dalam sisi kehidupannya, dan sebagai
pendidik, baik pendidikan formal ataupun non formal. Adapun perbedaan
penelitian di atas dengan penelitian ini adalah penelitian ini lebih fokus
kepada Peran Pembimbing dalam mewujudkan kemandirian bagi anak-
anak yatim, sedangkan penulis fokus kepada peran penyuluh agama dalam
membina akhlak umat.
3. Nama Penulis : Husnul Chotimah (2010)
Judul Penelitian : Pembinaan Akhlak Siswa Di Madrasah
Tsanawiyah (M.Ts) Jihadul Khair Segaramakmur-Tarumajaya Bekasi.
Hasil penelitiannya adalah: metode yang digunakan adalah ceramah,
praktek shalat dhuha, diskussi, dan bimbingan mengaji Al-Quran, materi
yang digunakan oleh para Pembina adalah materi tajwid, fiqih, tauhid,
akhlak serta materi dzikir dan istighosah. Sedangkan faktor pendukung
dalam pembinaan akhlak ini adalah merasa senang dan tertarik untuk
menikuti pembinaan akhlak. Adapun perbedaan penelitian di atas dengan
penelitian ini adalah penelitian ini memiliki fokus penelitian pada metode
yang digunakan dalam pembinaan akhlak tersebut. Sedangkan pada skripsi
penulis, penulis tidak hanya fokus kepada metodenya saja.
4. Nama Penulis : Rachmawati (2008)
Judul Penelitian : Pembinaan Akhlak Remaja Melalui Dzikir Di
Majelis Taklim Mahabbatur Rasul Menteng Atas Jakarta Selatan. Hasil
penelitiannya adalah : Dzikir yang digunakan disini berupa tahlil,
pembacaan ratib, surat yasin serta shalawat yang mana dengan dzikir
11
tersebut remaja akan merasakan ketenangan dalam jiwa mereka sehingga
mereka mampu berpikir dengan jernih dan melakukan hal yang baik.
Dzikir yang dilakukan berpengaruh terhadap akhlak dan kehidupan
remaja yang aktif menikuti majelis. Selain pembacaan dzikir ersebut para
remaja perlu diajarkan pelajaran fiqih dan hadits agar adanya
keseimbangan didalam hidup mereka. Metode yang digunakan dalam
berdzikir yakni murid mengikuti apa yang diucapkan oleh guru,
sedangkan dalam memberikan pelajaran menggunakan metode ceramah
dan Tanya jawab yang dimaksudkan agar jamaah bisa bertanya apabila
tidak paham. Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini
adalah bahwa penelitian ini lebih mengedepankan dzikir dalam pembinaan
akhlak tersebut. Sedangkan penelitian yang penulis buat adalah tidak
hanya pada dzikir saja, tetapi dengan pendekatan-pendekatan yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW termasuk dzikir.
5. Nama Penulis : Maulana Irmawan (2007)
Judul Penelitian : Pengaruh Bimbingan Akhlak Terhadap Akhlak
Santri Di Madrasah Diniyah Awwaliyah Baitussalam Yayasan
Baitussalam Kramat Jati Jakarta Timur. Hasil penelitiannya adalah :
Melalui wawancara, observasi dan perhitungan statistic dengan SPSS
diketahui bahwa kondisi akhlak santri kelas satu lebih baik dari pada
santri-santri kelas lainnya. Hal itu sebenarnya sudah membuktikan bahwa
tidak ada pengaruh bimbingan akhlak santri, tetapi peneliti ingin
mengetahui datanya dengan lebih akurat, oleh karena itu peneliti
menggunakan uji korelasi Kruskal Wallis. Ternyata setelah diadakan
12
perhitungan secara statistic dengan tes Kruskal Wallis menunjukkan
bahwa tidak ada pengaruh antara bimbingan akhlak terhadap akhlak
santri. Skripsi ini mempunyai subjek yaitu pada santri-santri di Madrasah
tersebut dan penelitiannya fokus kepada pengaruh bimbingan akhlak
tersebut. Sedangkan subjek penelitian dari skripsi penulis adalah seorang
Penyuluh Agama.
Menarik dan penting dari penelitian yang dilakukan untuk penulisan
skripsi ini adalah penelitian ini berhubungan dengan lembaga pemerintahan yaitu,
Kementrian Agama. Menurut penulis itu adalah salah satu lembaga yang sangat
memiliki peran penting dalam menumbuh kembangkan pendidikan agama di
Negara Republik Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teori mengenai peran dan fungsi penyuluh agama yang
meliputi : pengertian peran, pengertian penyuluh, pengertian
agama, pengertian penyuluh agama, dan peran penyuluh agama.
Pembinaan akhlak yang meliputi : pengertian akhlak, faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan akhlak.
BAB III : Dalam bab ini dijelaskan tentang metodologi penelitian yang
mencakup : lokasi dan jadwal penelitian, subjek dan objek
13
penelitian, model penelitian, teknik pengambilan data, sumber data,
dan teknik analisa data.
BAB IV : Dalam bab ini menjelaskan tentang: profil kementerian agama Kota
Tangerang, tipologi masyarakat Kota Tangerang.
BAB V : Dalam bab ini menjelaskan hasil dan analisa data penelitian,
dengan penguraiannya tentang: peran dan fungsi penyuluhan di
kementerian agama Kota Tangerang, metode penyuluhan, bentuk
pembinaan akhlak oleh penyuluh pada masyarakat Kota Tangerang.
BAB VI : Penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran terhadap
pembahasan bab-bab sebelumnya.
14
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Peran Penyuluh Agama
1. Pengertian Peran
Peranan kata dasarnya adalah “peran” yang berarti perangkat
tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam
masyarakat.1 Dalam kamus modern, peran diartikan sesuatu yang menjadi
kegiatan atau memegang pemimpin yang utama.2 Sedangkan dalam kamus
ilmiah populer, peran mempunyai arti orang dianggap sangat berpengaruh
dalam kelompok masyarakat dan menyumbangkan pemikiran maupun tenaga
demi suatu tujuan.3
Teori peran (Role Theory) adalah teori yang merupakan perpaduan
berbagai teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Dalam teorinya Biddle &
Thomas membagi peristilahan dalam teori peran dalam empat golongan, yaitu
istilah-istilah yang menyangkut:
a. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial
b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut
c. Kedudukan orang-orang dalam perilaku
d. Kaitan antara orang dan perilaku4
1 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-2,
h. 854.
2 Wjs. Poerwadarminta, Kamus Modern, (Jakarta: Jembatan, 1976), Cet. Ke-2, h. 473.
3 Media Center, Kamus Ilmiah Populer, (Jakarta: Mitra Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 251.
4 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), cet ke VII, h. 215.
15
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan peran adalah sesuatu yang menjadi kegiatan atau memegang
pemimpin yang utama yang mengambil bagian dalam interaksi sosial.
2. Pengertian Penyuluh
Penyuluh adalah orang yang memberikan sesuluh atau penerang
kepada masyarakat. Tidak mungkin orang yang gelap berjiwa tidak baik akan
memberikan penerang kepada masyarakat, sehingga tanggung jawab seorang
penyuluh bukan hanya memberikan penerang kepada masyarakat, akan tetapi
yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memberikan sesuluh kepada
dirinya, keluarganya, kemudian masyarakat sekitar.5
Secara etimologi kata penyuluhan berasal dari bahasa Inggris
concelling, yang berarti pimpinan, bimbingan, pedoman, dan petunjuk”.6
Sedangkan secara terminologi yang dijelaskan oleh para ahli diantaranya H.
M. Arifin dalam bukunya “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan
Penyuluhan Agama”. Menerangkan bahwa concelling adalah kata kerja dari
to councell yang memilki arti memberikan nasihat atau memberikan anjuran
pada orang lain secara berhadapan langsung.7
5 Surudin, “Pembinaan Penyuluh Agama Di Sragen”, artikel diakses pada 26 September
2011 dari
http://depagsragen.co.cc/index.php?option=com_content&view=article&id=52:pembinaan-
penyuluh-agama-islam-dan-peran-serta-dalam-membangun-masyarakat-sragen-
&catid=36:penamas&itemid=50 6 John M. Echole dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia,
1995) Cet. Ke-1, h. 283. 10
M. Arifin, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta:
PT. Bima Aksara, 1998), Cet. Ke-5, h. 168.
16
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyuluh berasal dari kata
“suluh” yang artinya barang yang dipakai untuk menerangi (biasa dibuat dari
daun kelapa yang kering dan damar); obor. Sedangkan pengertian penyuluh
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemberi penerangan; penunjuk
jalan.8
Seorang penyuluh dipandang sebagai tempat berlindung dari segala
kesalahan batin. Seorang tokoh ulama yang berkharisma, dapat juga berfungsi
sebagai penyuluh kehidupan beragama dalam masyarakat sekitarnya, karena
ia mempunyai pribadi yang stabil, tenang menentramkan orang lain yang
berada di dekatnya. Apalagi bila ia memberikan petuah-petuah dengan nada
ucapan dan gaya yang menyejukkan hati, maka orang yang mendengarnya
seperti tersiram air sejuk.9
3. Pengertian Penyuluh Agama
Istilah Penyuluh Agama mulai disosialisasikan sejak tahun 1985
yaitu dengan adanya Keputusan Menteri Agama nomor 791 Tahun 1985
tentang honorarium bagi Penyuluh Agama. Istilah Penyuluh Agama
dipergunakan untuk mengganti istilah Guru Agama Honorer (GAH) yang
dipakai sebelumnya di lingkungan kedinasan Departemen Agama. Sesuai
dengan peraturan pemerintah nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan
Fungsional Pegawai Negeri Sipil antara lain dinyatakan bahwa untuk
8 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), edisi ketiga, h. 1100.
9 Khairul Umam dan H. A. Achyar Aminudin, Bimbingan Dan Penyuluhan, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1998), h. 76.
17
meningkatkan mutu profesionalisme dan pembinaan karir pegawai negeri
sipil perlu ditetapkan jabatan fungsional.10
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut diatas, dikeluarkan
keputusan Presiden nomor 87 Tahun 1999 tentang rumpun jabatan fungsional
pegawai negeri sipil yang antara lain menetapkan bahwa penyuluh agama
adalah jabatan fungsional pegawai negeri yang termasuk dalam rumpun
jabatan keagamaan. Mengacu pada peraturan diatas, pengertian Penyuluh
Agama adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan
wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan
kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui
bahasa agama.11
Maka dapat disimpulkan bahwa Penyuluh Agama adalah orang
yang memberikan bimbingan atau penerangan kepada orang lain untuk
meningkatkan pengertian dan kemampuan dalam menghadapi dan
memecahkan masalah melalui bahasa Agama.
4. Peran Penyuluh Agama
Berkaitan dengan peran (baik dari organisasi pemerintah maupun
organisasi non pemerintah), sebenarnya ada berbagai peran yang dapat
dilaksanakan, di mana masing-masing terdapat peran-peran yang lebih
spesifik yang lebih mengarah pada teknik-teknik antara lain:12
10 Pelaihari KP, “Kompetensi Dasar Penyuluh Agama Tingkat Fungsional”, artikel
diakses pada tanggal 26 September 2011 dari
http:/penemasdramaga.blogspot.com/2010/10/sejarah-pengertian-dan-tupoksi-penyuluh.html
11
Pelaihari KP, “Kompetensi Dasar Penyuluh Agama Tingkat Fungsional”.
12
Isbandi Rukminto Adi, “Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan
Sosial”. (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI,2002), h. 196.
18
1. Peran-peran Fasilitatif
a. Animasi Sosial
Animasi sosial menggambarkan kemampuan petugas sebagai agen
perubah atau pemberdaya masyarakat untuk membangkitkan energi,
inspirasi, antusiasme masyarakat, termasuk di dalamnya
mengaktifkan, menstimuli dan mengembangkan motivasi masyarakat
untuk bertindak.
b. Mediasi dan Negoisasi
Agen perubah dalam melakukan upaya intervensi sosial (perubahan
sosial yang terencana) kadangkala bertemu dengan situasi dimana
terjadi konflik minat dan nilai dalam komunitas. Berkaitan dengan hal
tersebut agen perubah harus dapat menjalankan fungsi mediasi
ataupun menjadi mediator guna menghubungkan kelompok-kelompok
yang sedang berkonflik agar tercapai sinergi dalam komunitas
tersebut. Peran sebagai mediator ini tentu saja terkait dengan peran
negoisator. Karena ditengah kelompok yang sedang berkonflik, tidak
jarang seorang agen perubah harus mampu menengahi dan mencari
titik temu yang dapat dikerjakan bersama oleh kelompok-kelompok
yang sedang berkonflik tersebut.
c. Pemberi Dukungan
Dalam kaitan dengan peran sebagai pemberi dukungan bahwa salah
satu peran dari agen perubah adalah untuk menyediakan dan
mengembangkan dukungan terhadap masyarakat yang mau terlibat
dalam struktur dan aktifitas komunitas tersebut. Dukungan itu sendiri
19
tidak selalu bersifat ekstrinsik ataupun material, tetapi dapat juga
bersifat intrinsik seperti pujian, penghargaan dalam bentuk kata-kata,
ataupun sikap dan perilaku yang menunjukkan dukungan dari agen
perubah terhadap apa yang dilakukan masyarakat, seperti
menyediakan waktu bagi masyarakat bila mereka ingin berbicara
dengan agen perubah guna membahas permasalahan yang mereka
hadapi.
2. Peran-peran Edukasional
a. Membangkitkan Kesadaran Masyarakat
Upaya membangkitkan kesadaraan masyarakat berawal dari upaya
menghubungkan antara individu dengan struktur yang lebih makro
(seperti struktur sosial dan politik). Hal ini bertujuan untuk membantu
individu melihat permasalahan, impian, aspirasi, penderitaan ataupun
kekecewaan mereka dari perspektif sosial politik yang lebih luas.
b. Menyampaikan Informasi
Dalam upaya memberdayakan masyarakat tidak jarang juga harus
menyampaikan informasi yang mungkin belum diketahui oleh
sasarannya. Dengan hanya memberikan informasi yang relevan
mengenai suatu masalah yang sedang dihadapi komunitas sasaran tidak
jarang dapat menjadi peran yang bermakna terhadap komunitas
tersebut.
Oleh karena itu, dengan Islam penyuluh agama bertugas mengarahkan
umat agar masuk ke dalam ajaran Islam secara utuh, menyeluruh dan universal.
20
5. Pengertian Agama
Secara etimologi agama berasal dari kata sangkrit, kata “Ad-dien”
yang dari bahasa Arab dan “Religi” dalam bahasa Eropa.13
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, agama berarti prinsip kepercayaan kepada Tuhan
dan ajaran-ajarannya dan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan
kepercayaan itu.14
Dalam Kamus Sosiologi, pengertian ada tiga macam, yaitu (1)
kepercayaan pada hal-hal yang spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan
praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3)
ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supra natural. Sementara itu, Thomas
F. O’Dea mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana-sarana
supra empiris untuk maksud-maksud non empiris atau supra empiris.
Dari beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama
merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-
hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang
supra natural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang
non empiris.15
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama
dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dimasyarakat yang tidak
dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan
ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan penyuluh agama menjalankan
13 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1987), Cet
V, Jilid I, h. 9.
14
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1992), edisi 2, h. 10.
15
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2002). h. 129-
130.
21
fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan
sebagainya.
Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu:
1. Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi
2. Sarana hubungan transcendental melalui pemujaan dan upacara ibadat
3. Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada
4. Pengkoreksi fungsi yang sudah ada
5. Pemberi identitas diri, dan
6. Pendewasaan agama
Fungsi agama yang dijelaskan oleh Hendropuspito lebih ringkas
lagi, tetapi intinya sama. Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif,
penyelamatan pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan
transformatif.16
Agama dapat dipandang sebagai doktrin yang diyakini secara
mutlak kebenarannya. Metodologi penelitian agama dalam konteks ini
merupakan berbagai pendekatan yang dilakukan untuk memahami agama
tersebut. Selain itu, masuk kedalam konteks ini ialah sejarah perkembangan
kajian keagamaan; proses terbentuknya rumusan-rumusan hukum agama; dan
sejarah intelektual kajian agama.
Namun demikian, agama sebagai doktrin diduga memberikan
kontribusi terhadap dinamika dan tatanan sosial, politik dan ekonomi. Sistem
pelapisan masyarakat sedikit banyak dipengaruhi doktrin-doktrin agama yang
diyakini, sehingga agama melahirkan kenyataan empiris sebagai gejala
16 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2002).. h.130
22
keagamaan. Sikap dan keterikatan pemeluk agama terhadap ajaran agama
juga merupakan gejala keagamaan yang menjadi obyek kajian. Selain itu,
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap dan keterikatan pada ajaran
agama seperti pendidikan, lingkungan dan status sosial merupakan salah satu
telaahan dalam penelitian agama.17
B. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Akhlak, menurut konsep Ibnu Maskawih, ialah suatu sikap mental
atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan
pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur,
yakni unsur watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan.18
Setengah dari mereka mengartikan akhlak ialah “kebiasaan
kehendak”. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka
kebiasaannya itu disebut akhlak. Dan bila kebiasaan itu membiasakan
memberi, kebiasaan ini ialah akhlak dermawan. Dekat dari batas arti ini,
perkataan setengah dari mereka: Akhlak ialah menangnya keinginan dari
beberapa keinginan manusia dengan langsung berturut-berturut. Maka
seorang dermawan ialah orang yang menguasai keinginan memberi, dan
keinginan ini selalu ada padanya bila terdapat keadaan yang menariknya
kecuali didalam keadaan yang luar biasa; dan orang kikir ialah orang yang
17 M. Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama (Pendekatan Teori & Praktek). (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002). h. 19.
18 Zar Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 135
23
dikuasai oleh suka harta, dan mengutamakannya lebih dari
membelanjakannya.19
Dengan keterangan ini nyata bahwa orang yang baik ialah orang
yang menguasai keinginan baik dengan langsung berturut-turut, dan
sebaliknya orang jahat atau durhaka.
Adapun orang yang tidak dikuasai oleh keinginan yang tertentu
dengan terus menerus, maka ia tidak berbudi; orang yang ingin memberi, lalu
memberi satu kali, dan ingin menyimpan didalam suatu keadaan yang
seharusnya memberi lalu ia kikir, maka ia bukan orang dermawan dan bukan
orang kikir, dan dia tidak mempunyai akhlak yang tetap. Banyak dari manusia
yang tidak mempunyai budi dengan arti ini, berbeda-beda keinginan mereka
dan perbuatan mereka dari satu waktu kewaktu yang lain: Mereka berjumpa
orang yang dermawan yang menarik perhatian mereka sifat kedermawanan
lalu mereka memberi, dan mereka bertemu dengan orang yang kikir, yang
mengajak mereka kepada kekikiran maka mereka lalu kikir.20
Dengan ini kita mengerti bahwa budi itu sifat jiwa yang tidak
kelihatan. Adapun akhlak yang keliatan itu ialah “kelakuan” atau
“muamalah”. Kelakuan ialah gambaran dan bukti adanya akhlak, maka bila
kita melihat orang yang memberi dengan tetap didalam keadaan yang serupa,
menunjukkan kepada kita akan adanya akhlak dermawan didalam jiwanya.
Adapun perbuatan yang terjadi satu atau dua kali, tidak menunjukkan akhlak.
Aristoteles menguatkan bentukan adat kebiasaan yang baik, yakni dalam
membentuk akhlak yang tetap yang timbul dari padanya perbuatan-perbuatan
19 Ahmad Amin. Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 62.
20
Ahmad Amin. Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 63.
24
yang baik dengan terus menerus. Sebagaimana pohon dikenal dengan
buahnya, demikian juga akhlak yang baik diketahui dengan perbuatan baik
yang timbul dengan teratur.21
Artinya :
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik”. (QS. Al Baqarah : 195).22
Artinya :
“(Tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri
kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati”. (QS. Al Baqarah : 112).23
Ayat-ayat tersebut di atas dengan jelas menggambarkan
keuntungan dari akhlak yang mulia, yang dalam hal ini beriman dan beramal
saleh. Mereka itu akan memperoleh kehidupan yang baik, mendapatkan
21 Ahmad Amin. Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 63.
22
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Darus Sunnah,
2002), h. 47.
23
Departemen Agama RI, hal. 30.
25
rezeki yang berlimpah ruah, mendapatkan pahala yang berlipat ganda di
akhirat dengan masuknya ke dalam surga.
Aristoteles telah berkata: bila akhlak seseorang melebihi batasnya.
Maka supaya diluruskannya dengan keinginan pada sebaliknya. Dan bila
seorang terasa dirinya melampaui batas di dalam hawa nafsu, maka supaya
dilemahkan keinginan ini dengan zuhud (tidak mementingkan dan ketarik
kepada keduniaan). Hendaknya menjadi perhatian kita bahwa sebaiknya bagi
manusia bila ia akan melepaskan dirinya dari akhlak yang buruk, supaya
janganlah selalu memikirkannya. Bahkan bekerja dengan sungguh untuk
mewujudkan ditempatnya akhlak baru yang luhur, karena bila
memperpanjang fikiran terkadang mendatangkan kelemahan jiwa dan kurang
percaya kepada dirinya. Adapun bila ia menimbulkan barang baru yang baik
ditempat lama yang buruk, semangatlah jiwanya dan terbuka dihadapannya
pintu pengharapan. Maka barang siapa menjadi peminum umpamanya,
janganlah panjang memikirkan akan keadaannya, kecuali sekedar apa yang
dapat merubah perbuatan itu; lalu menghadapkan keinginannya kepada
perbuatan yang baharu seperti membaca buku yang menarik atau melakukan
perbuatan besar yang dapat memenuhi fikirannya dan melupakan miumnya.
Dan siapa yang biasa menyia-nyiakan waktunya ditempat permainan maka
supaya merencanakan bagi dirinya tindakan baharu yang berguna, dengan
demikian keinginan yang buruk berubah menjadi keinginan yang baik.24
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan
hewani dan manusiawi. Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri
24 Ahmad Amin. Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 66.
26
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara
itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas
pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. Sebagai contoh,
perbuatan makan bisa dikategorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi
perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk
memenuhi keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani.
Namun, apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara
kehidupan dalam mencapai keutamaan dalam hidup, perbuatan tersebut jatuh
pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung
pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang
bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan
bermotifkan rasio (akal) maka dinamakan perbuatan manusiawi.25
2. Metode Pembinaan Akhlak
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan pertama dalam Islam. Hal
ini dapat dilihat dari salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. yang
utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.26
Asep Umar Ismail dalam bukunya Tasawuf menjelaskan metode
mengembangkan potensi kebaikan yaitu :27
1. Metode al-sima’
25 Zar Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 137
26 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010),
h. 158.
27
Asep Umar Ismail,dkk, Tasawuf, (Jakarta : Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 18.
27
Metode ini mengembangkan potensi kebaikan pada diri anak dengan
mengkondisikan anak sedemikian rupa agar senantiasa mendengar aktif
dan menyimak kalimat tayyibat, ungkapan yang santun, tutur kata yang
lembut, serta bahasa yang indah. Ketika anak baru dilahirkan, Rasulullah
SAW menganjurkan agar dibacakan adzan di telinga kanan dan iqamat di
telinga kiri. Anjuran Rasulullah SAW tersebut mengisyaratkan dua prinsip
penting. Pertama, bahwa al-sima’ yakni menyimak atau mendengar aktif
merupakan prinsip dalam pengembangan potensi anak. Kedua, bahwa
yang didengar itu dikondisikan sedemikian rupa agar yang tayyibat, yaitu
yang bernilai dan bermutu tinggi.
2. Metode al-abhsar
Metode ini mengembangkan potensi kebaikan pada diri anak dengan
mengkondisikan anak sedemikian rupa agar senantiasa menyaksikan
contoh-contoh perilaku yang baik dari orang dewasa di sekitarnya. Metode
ini sangat menekankan adanya uswah atau keteladanan dalam pendidikan
akhlak.
3. Metode al-fu’adah
Metode ini mengembangkan potensi kebaikan pada diri anak dengan
mengkondisikan anak sedemikian rupa agar: (1) mendapat pengertian dan
pemahaman yang benar tentang kebiasaan-kebiasaan positif yang didengar
dan disaksikannya dalam pengalaman hidup sehingga pemikiran anak
terbimbing dengan baik. (2) mendapat pengalaman berharga dari apa yang
didengar dan disaksikannya dalam pengalaman hidup sehingga perasaan
28
anak memiliki kepekaan dalam menyikapi dan merespon keadaan
disekitarnya dengan tindakan yang cepat dan tepat.
4. Metode amaliah
Metode ini mengembangkan potensi kebaikan pada diri anak dengan
mengkondisikan anak sedemikian rupa agar melakukan kebaikan-kebaikan
yang diharapkan menjadi akhlak anak. Tugas orang dewasa mengajak dan
melibatkan anak sedini mungkin dalam berbagai aktifitas ibadah, kegiatan
sosial dan keseharian yang positif yang dipadukan secara sinergi dengan
mengembangkan potensi kebaikan pada diri anak melalui metode al-sima’,
al-abshar, al-fu’adah.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Abudin Nata dalam bukunya akhlak tasawuf menjelaskan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak pada khususnya dan pendidikan
pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah dipopulerkan. Pertama aliran
nativisme, kedua aliran empirisme, ketiga aliran konvergensi.28
Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling mempengaruhi
terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor bawaan dari dalam yang
bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika
seseorang sudah memiliki pembawaan dan kecenderungan kepada yang baik,
maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.
28 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2000), h. 154-155
29
Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang
memperhitungkan peranan pembinaan dan pendidikan, karena tampaknya
begitu yakin terhadap potensi batin yang ada pada diri manusia.
Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar,
yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan yang diberikan, jika pembinaan
dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu baik maka baiklah anak itu,
begitu juga sebaliknya. Aliran ini tampak begitu percaya kepada peranan
yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.
Aliran konvergensi berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi
faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu
pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi
dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan kearah yang baik yang
ada di dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode.
Bila ajaran Islam sudah menjadi pedoman dan pilihan hidup, maka
pengaruhnya akan terlihat dalam sikap dan perilaku sehari-hari, serta
diharapkan dapat membentengi hidup dari berbagai persoalan yang timbul
sebagai bagian dari proses perjalanan hidup.
C. Masyarakat
Masyarakat merupakan kelompok manusia yang selama ini
dianggap sebagai hambatan antara hubungan yang terjadi didalam diri.
Hubungan sosial ada di masyarakat terdapat dengan tekanan kuat pada
molding, controlling, dan conditioning dalam ekspresi disposisi. Masyarakat
30
adalah bentuk partisipatif kehidupan terhadap orang lain dan mempunyai
kesamaan dalam hubungan self-awareness (kesadaran pribadi), ideas,
affaction, dan keinginan.29
Masyarakat terbagi menjadi beberapa tipe yang dapat
membedakannya antara golongan masyarakat yang lain, yaitu :
1. Masyarakat-masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral
Masyarakat-masyarakat yang mewakili tipe pertama adalah masyarakat
yang kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan teknik
mereka rendah dan pembagian kerja atau pembidangan kelas-kelas sosial
mereka relative masih kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang
paling penting dan spesialisasi pengorganisasian kehidupan pemerintahan
dan ekonomi masih amat sederhana. Dan laju perubahan sosialnya masih
lambat.
2. Masyarakat-masyarakat pra-industri yang sedang berkembang
Masyarakat tipe kedua ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat,
lebih luas daerah-daerahnya dan lebih besar jumlah penduduknya, serta
ditandai dengan tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari
pada masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri-ciri umumnya adalah
pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam, serta
adanya kemampuan tulis baca sampai tingkat tertentu.
3. Masyarakat-masyarakat industri sekuler
29
Wardi Bactiar, M.S. Sosiologi Klasik. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),
h. 161-162.
31
Terdapat sejumlah sub-sub tipe di dalam kelompok masyarakat tipe ketiga
yang tidak dapat diutarakan secara memadai menurut tripologi kami.
Deskripsi di bawah ini jelas agak condong kepada masyarakat perkotaan
modern di Amerika Serikat. Akan tetapi yang disebut terakhir ini, karena
tingginya tingkat sekulerismenya, bisa dianggap sebagai salah-satu contoh
yang paling mirip dengan masyarakat tipe ketiga ini. Masyarakat-
masyarakat ini sangat dinamik. Teknologi semakin berpengaruh terhadap
semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian
terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian
dalam hubungan-hubungan kemanusiaan mereka sendiri.30
Masyarakat Madani
Wacana masyarakat madani dewasa ini semakin luas diperbincangkan oleh
banyak kalangan. Diberbagai forum ilmiah, konsep masyarakat madani
diperkenalkan sebagai wacana baru dalam khazanah Islam modern, yang
berimplikasi pula pada wacana politik kontemporer. Istilah masyarakat madani
sendiri oleh pengamat sosial dan politik tergolong baru, sebagai padanan dari
istilah “civil society” yang sebelumnya telah berkembang di Barat.31
Masyarakat madani belum termasuk tipe masyarakat ideal. Karena
tampaknya, sejumlah wacana yang dicoba diketengahkan sejumlah ahli tentang
apa yang dinamakan tipe masyarakat ideal terkesan sangat abstrak, idealis, bahkan
kadang utopis. Konsep-konsep yang mereka sajikan menampilkan modifikasi dan
30 Elizabeth K. Nottingham. Agama dan Masyarakat (Suatu Pengantar Sosiologi Agama).
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 49-60.
31
Nurcholish Madjid, Membangun Masyarakat Madani Melalui Khutbah dan Ceramah,
(Jakarta: Nuansa Madani, 1999) hal. Vii.
32
kombinasi beberapa tipe yang pernah ada. Dengan demikian, sebagaimana
dikatakan Akbar S. Ahmed, tipe masyarakat Islam ideal hanya merupakan ide
tentang suatu kenyataan, bukan wujud kenyataan itu sendiri.
Dengan hal ini, menurut Akbar S. Ahmed, dalam Islam ada dua unsur
utama yang saling menunjang dan saling melengkapi. Unsur pertama berasal dari
kitab dan unsur kedua bersumber dari kehidupan. Kitab yang dimaksud adalah
AlQur’an yang merupakan satu-satunya kitab orang Muslim, sedangkan
kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan Muhammad, yang disebut sunnah.
Kedua unsur tadi mengarahkan, memberi semangat, dan mempengaruhi
kehidupan orang Muslim sejak ia lahir ke dunia hingga meninggalkan dunia.
Dengan demikian, orang Muslim tidak hanya memiliki pedoman cara
pandang terhadap dunia (sebagaimana dituntunkan kitab suci), melainkan juga
tuntunan hidup di dunia (sebagaimana diteladankan oleh Rasul Allah yang agung,
Muhammad SAW).32
Menurut penulis, karakteristik masyarakat Kota Tangerang termasuk ke
dalam kategori masyarakat modern. Karena menurut pengalaman dan pengamatan
yang saya alami selama ini, masyarakat Kota Tangerang secara umum bersifat
rasional, bersikap terbuka, dan berpikir obyektif.
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan
masyarakat sebagai pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hidup
bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu). Sedangkan
modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian secara
32 Nanih Machendrawaty, Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 17.
33
harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di
suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.33
Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan dari
masyarakat tradisional. Deliar Noer misalnya menyebutkan ciri-ciri modern
sebagai berikut :
1. Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada
pendapat emosi. Sebelum melakukan pekerjaan selalu dipertimbangkan lebih
dahulu untuk ruginya, dan pekerjaan tersebut secara logika dipandang
menguntungkan.
2. Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah
yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
3. Menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang
sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
4. Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik,
gagasan dan perbaikan dari manapun datangnya.
5. Berpikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan
kegunaannya bagi masyarakat.34
33 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010),
h. 279.
34
Deliar Noer, Pembangunan Di Indonesia, (Jakarta : Mutiara. 1987), h. 24.
34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan Kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan paradigma ilmiah.
Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa kenyataan-kenyataan empiris
terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural yang saling terkait satu sama lain.
Karena itu, menurut paradigma alamiah setiap fenomena sosial harus di
ungkap secara holistic. Sebaliknya penelitian kuantitatif menggunakan
paradigma ilmiah. Paradigma ini bermula dari positivisme yang menegaskan
bahwa segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara
obyektif. Karena itu, paradigma ilmiah melahirkan berbagai bentuk
percobaan, perlakuan, pengukuran, dan uji-uji statistic yang berlatar belakang
laboraturium.1
Adapun desain penelitiannya menggunakan jenis penelitian desain
deskriptif yaitu metode yang bertujuan membuat gambaran, lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan
fenomena yang diteliti.2
Penelitian desktiptif ialah sebuah penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan gejala sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam
1 M. Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama (Pendekatan Teori & Praktek). (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002). h. 59.
2 Sandjaja dan Albertus Heriyanto, Panduan Penelitian, (Jakarta: PrestasiPustakarya,
2006), h. 110.
35
penelitian agama, penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala
keagamaan.
Penelitian deskriptif berbeda dengan penelitian eksploratif.
Penelitian eksploratif belum memiliki variebel yang menjadi fokus
pengamatan, karena peneliti belum banyak memperoleh informasi tentang
gejala keagamaan tersebut. Sedangkan penelitian deskriptif sudah memiliki
variabel yang menjadi fokus pengamatan. Dalam penelitian deskriptif,
variabel yang menjadi fokus pengamatan boleh lebih dari satu, sesuai minat
peneliti.3
Penelitian ini tidak harus ada batas waktu, agar peneliti bisa fokus
dengan objek penelitian. Karena penelitian seperti ini cukup memerlukan
banyak waktu. Teknik Pengumpulan data yang digunakan adalah observasi
dan wawancara (hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam
memperoleh data yang valid dari responden).
Istilah deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian dilakukan
semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena-fenomena
yang secara empiris untuk memecahkan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian
(seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain).
Dalam penelitian deskriptif memiliki beberapa cara yang dimana
dalam skripsi ini hanya dengan melakukan survei. Menurut Notoatmodjo
yang dimaksud dengan survei adalah suatu penelitian yang dilakukan
terhadap sekelompok objek dalam waktu tertentu dengan tujuan untuk
3
M. Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama (Pendekatan Teori & Praktek). (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002). h. 22.
36
menilai kondisi atau penyelenggaraansuatu program dan hasil penelitiannya
digunakan untuk menyusun suatu perencanaan demi perbaikan program
tersebut.4
B. Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kementrian Agama Kota Tangerang
yang berlokasi di Kota Tangerang. Khususnya di lingkungan masyarakat
kecamatan Priuk Tangerang.
Adapun alasan penulis memilih lokasi penelitian ini disasari oleh
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Keberadaan penyuluh agama mempunyai arti penting dalam membangun
karakter umat, dan yang lebih berkewajiban dalam membimbing umat
adalah para penyuluh di Kementrian Agama, karena Kementerian Agama
memiliki tugas untuk membimbing masyarakat.
2. Lokasi penelitian tersebut cukup strategis, dekat dengan rumah penulis,
mudah dijangkau, hemat biaya dan tenaga.
C. Subjek dan Objek Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini yaitu penyuluh agama di Kementrian Agama
Kota Tangerang.
4 Sandjaja dan Albertus Heriyanto, Panduan Penelitian, (Jakarta: PrestasiPustakarya,
2006), h. 111
37
2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah pendekatan-pendekatan atau penerapan metode
penyuluhan Islam yang digunakan penyuluh pada kegiatan penyuluhan dalam
membina akhlak umat pada masyarakat Kota Tangerang.
D. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam
sebuah penelitian, karena tujuan utama dari penelitian tersebut adalah
memperoleh data.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan:
1. Observasi
Observasi adalah berusaha untuk memperoleh dan mengumpulkan data
dengan melakukan pengamatan terhadap sesuatu kegiatan secara akurat,
serta mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan
antara aspek dalam fenomena tersebut.5 Dalam hal ini peneliti
mengadakan penelitian langsung terhadap proses kegiatan penyuluhan
dilokasi penelitian tersebut. Dalam observasi ini, apa yang dialami oleh
peneliti yang berhubungan dengan proses penyuluhan akan di catat dan di
tuangkan kedalam skripsi sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
2. Wawancara
Peneliti memperoleh data dari sang penyuluh dengan cara wawancara
mendalam, tanya jawab secara langsung atau tatap muka dengan penyuluh
5 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006), Cet. Edisi Refisi, h. 37.
38
tersebut untuk dijadikan sebagai data primer. Dan semua pembicaraan
direkam di dalam sebuah handphone.
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.
Wawancara secara garis besar dibagi dua, yakni wawancara tak terstruktur
dan wawancara terstruktur. Wawancara tak terstruktur sering disebut juga
wawancara mendalam, wawancara intesif, wawancara kualitatif, dan
wawancara terbuka (openended interview), wawancara etnografis;
sedangkan wawancara terstruktur sering disebut juga wawancara baku
(standardized interview), yang susunan pertanyaannya sudah ditetapkan
sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan jawaban yang juga
sudah disediakan.6
Wawancara mendalam adalah percakapan yang dilakukan secara
mendalam yang diarahkan pada masalah tertentu, dengan tujuan tertentu
dan dengan bertanya secara langsung kepada sejumlah responden.7
3. Peneliti mengumpulkan, membaca dan mempelajari berbagai macam data
seperti yang tertulis, pengambilan photo, data statistik dan data-data di
perpustakaan atau instansi terkait lainnya yang dapat dijadikan analisa
untuk hasil dalam penelitian ini.8
6 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
Dan Ilmu Sosial Lainnya), (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 180.
7 Lexi J. Moleong, h. 38.
8 Ibid., h. 39.
39
E. Sumber Data
1. Data Primer
Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, tanya
jawab secara langsung atau tatap muka dengan informan, yaitu penyuluh
agama dan masyarakat kota Tangerang. Khususnya di lingkungan
masyarakat Kecamatan Priuk Tangerang.
2. Data Sekunder
Data yang diperoleh melalui catatan-catatan atau dokumen yang berkaitan
dengan penelitian baik dari instansi pemerintah-swasta atau berbagai
referensi buku, majalah, surat kabar yang bersangkutan dalam penelitian
ini.
F. Fokus Pertanyaan Penelitian
1. Peran penyuluh agama
a. Sebagai agen perubahan
b. Sebagai penemu solusi
c. Sebagai pendamping
d. Sebagai perantara
2. Metode pembinaan akhlak
a. Pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung kontinyu
b. Memberi teladan
40
G. Konsep Operasional Menurut Informan
1. Peran penyuluh adalah sebagai agen perubahan kepada masyarakat untuk
lebih siap menerima perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik untuk
memberdayakan dan memperkuat kemampuan mereka melalui proses
kegiatan pembinaan, agar terjadi perubahan perilaku pada diri
stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam
proses pembinaan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya,
mandiri, dan partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan
diharapkan mereka dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Penyuluh sebagai perantara adalah orang yang mampu membantu
masyarakat agar mereka mau berpartisipasi dalam kegiatan pembinaan,
orang yang mampu mendengar dan memahami aspirasi masyarakat,
mampu memberi dukungan, mampu memberikan fasilitas.
2. Metode pembinaan akhlak merupakan tumpuan pertama dalam Islam.
Pembinaan akhlak yang baik yaitu pembinaan akhlak yang disertai
dengan contoh, karena jika sudah ada contoh yang baik masyarakat akan
lebih mudah mengikuti dan dakwah yang baik itu adalah dengan dialog.
Karena dengan dialog, dakwah akan lebih mudah diterima oleh
masyarakat. Dan masyarakat pun akan lebih leluasa untuk bertanya secara
mendalam kepada penyuluh mengenai masalah-masalah yang sedang
mereka hadapi dalam kehidupannya.
41
H. Asumsi Peneliti
Peneliti dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa peran
penyuluh agama di masyarakat khususnya di Kecamatan Priuk, Cimone dan
Cipondoh adalah sebagai pembangkit kesadaran masyarakat. Hal tersebut
didasarkan pada pengamatan peneliti di lokasi penelitian, belakangan ini
ternyata masyarakat banyak yang tergerak untuk lebih bersosialisasi di
lingkungan masyarakat karena ada dorongan dari sang penyuluh. Dan
masyarakat menjadi lebih peduli kepada sesama, bukan hanya kepada sesama
umat muslim saja melainkan juga kepada masyarakat yang beragama non
muslim.9
Mengapa baru belakangan ini masyarakat muslim lebih
bersosialisasi di masyarakat, peneliti menduga bahwa masyarakat merasa
canggung untuk lebih bersosialisasi di lingkungan masyarakat karena
mayoritas penduduk di lokasi penelitian adalah masyarakat yang beragama
non muslim. Oleh karena itu masyarakat butuh dorongan dari sang penyuluh
agar tidak canggung dan ragu-ragu untuk bersosialisasi di lingkungan
masyarakat khususnya pada lingkungan yang mayoritas penduduknya adalah
umat non muslim.
Peneliti dalam penelitian ini juga mengasumsikan bahwa peran
penyuluh agama di masyarakat khususnya di Kecamatan Priuk, Cimone dan
Cipondoh selain sebagai pembangkit kesadaran masyarakat yaitu juga sebagai
penyampai informasi. Hal tersebut didasarkan pada pengamatan dan
wawancara peneliti di lokasi penelitian, ternyata masih banyak masyarakat
9
Hasil pengamatan dan wawancara peneliti saat mengunjungi lokasi di Perumahan
Cimone Mas Permai pada tanggal 12 Februari 2012.
42
yang buta terhadap ilmu agama. Karena ketika diadakan sesi tanya jawab,
masyarakat sangat antusias dan bertanya sangat detail kepada sang penyuluh.
Dan pertanyaan-pertanyaan itu menurut saya adalah termasuk ke dalam dasar-
dasar agama Islam. Bahkan ada beberapa masyarakat yang menyampaikan
masalah di kehidupannya agar dapat mendapat pencerahan atau solusi dari
permasalahan yang dialaminya itu. Jadi masyarakat masih masih sangat
membutuhkan pendidikan dan informasi dari para penyuluh, khususnya para
penyuluh dari Kementrian Agama.10
I. Teknik Analisa Data
Setelah penulis mendapatkan data-data dan informasi yang
dibutuhkan, maka dalam analisisnya teknik yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang
muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan sejak
pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode,
menelusuri tema, membuat gugus, menulis memo, dan lain sebagainya
dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan, dan
mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang
terkumpul dapat diverifikasi.
2. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun
yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
10 Hasil pengamatan dan wawancara peneliti saat mengunjungi lokasi di Perumahan
Cimone Mas Permai pada tanggal 5 Februari 2012.
43
pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam teks
naratif. Penyajian juga dapat berbentuk matriks, grafik, jaringan, dan
bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang
tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami.
3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir
penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dari
verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang
disepakati oleh subjek tempat penelitian itu dilaksanakan. Makna yang
dirumuskan peneliti dari data harus diuji kebenaran, kecocokan dan
kekokohannya.11
J. Teknik Pemeriksaan Data
Teknik pemeriksaan data memiliki sejumlah kriteria tertentu, yaitu:
1. Derajat kepercayaan, yaitu melaksanakan penelitian sedemikian rupa
sehingga tingkat kepercayaannya dapat dicapai. Atau dengan kata lain
mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan
pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.
Artinya peneliti melakukan penelitian sedemikian rupa dengan melakukan
observasi, wawancara, catatan lapangan terhadap penyuluh agama
berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan pada kenyataan-
kenyataan di lapangan.
2. Keteralihan, yaitu seorang peneliti hendaknya mencari dan
mengumpulkan kejadian empiris data dan kesamaan konteks. Artinya
11 Husnaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), cet 1 edisi 2, h. 85-87.
44
sampel yang peneliti teliti diharapkan mampu menggenalisir, sehingga
penemuan penelitian yang diperoleh oleh sampel yang secara
representative mewakili populasi pemulung dengan mencari dan
mengumpulkan kejadian-kejadian yang diamati untuk mencari kesamaan
konteks.
3. Kebergantungan, yaitu peneliti bergantung kepada kemampuan peneliti
sendiri untuk melakukan penelitian terhadap penyuluh agama secara
berulang-ulang sehingga mencapai suatu kondisi yang sama dan hasil
secara esensi sama pula.
4. Kepastian peneliti dengan responden berharap memiliki kesepakatan apa
yang diinginkan peneliti terhadap apa yang ditelitinya terhadap responden
dengan tidak menyampingkan data yang diperoleh dari hasil observasi,
wawancara, catatan lapangan maupun dokumentasi sehingga mampu
dipertanggung jawabkan dan dapat dipastikan kebenarannya serta faktual.
45
BAB IV
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Profil Kementerian Agama Kantor Kota Tangerang1
1. Sejarah Kementerian Agama
Pada masa penjajahan Belanda urusan agama ditangani berbagai
instansi atau kementerian, pada masa kemerdekaan masalah-masalah
agama secara resmi diurus satu lembaga yaitu Departemen Agama.
Keberadaan Departemen Agama dalam struktur pemerintah Republik
Indonesia melalui proses panjang. Sebagai bagian dari pemerintah negara
Republik Indonesia ; Departemen Agama (awalnya bernama Kementerian
Agama) didirikan pada 3 Januari 1946. Dasar hukum pendirian ini adalah
Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor I/SD tertanggal 3 Januari 1946.
Apabila pada zaman penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang
masalah-masalah Agama, terutama Islam, menjadi bagian dari
pemerintahan penjajah, maka wajar dan dapat dipahami jika umat Islam
pada masa kemerdekaan menuntut adanya lembaga yang secara khusus
menangani masalah-masalah agama dalam bentuk Kementerian Agama.
Mohammad Yamin adalah orang yang mula-mula mengusulkan
dalam salah satu sidang BPUPKI agar pemerintah Republik Indonesia, di
samping mempunyai kementerian pada umumnya, seperti luar negeri,
dalam negeri, keuangan, dan sebagainya, membentuk juga beberapa
1 http://kemenag.go.id/
46
kementerian negara yang khusus. Salah satu kementerian yang
diusulkannya ialah Kementerian Islamiyah, yang katanya memberi
jaminan kepada umat Islam (masjid, langgar, surau, wakaf) yang di tanah
Indonesia dapat dilihat dan dirasakan artinya dengan kesungguhan hati.
Tetapi meskipun beberapa usulnya tentang susunan negara bisa diterima
dan menjadi bagian dan UUD 1945, usulnya tentang ini tidak begitu
mendapat sambutan. Mungkin karena ketika ia mengajukan usul ini
Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dengan tujuh kata bertuah yang
merupakan kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan telah
tercapai. Ucapan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya telah mencakup semuanya, hanya saja setelah
Proklamasi Kemerdekaan telah diucapkan dan konstitusi harus disyahkan
dalam rapat yang diadakan pada tanggal 18 Agustus, atas usul Bung
Hatta, yang didukung oleh beberapa tokoh Islam, PPKI mengganti tujuh
kata bertuah itu, dengan Ketuhanan yang Maha Esa.
Dalam rapat tersebut, Latuharhary, seorang tokoh Kristen dari
Maluku, mengusulkan kepada rapat agar masalah-masalah agama diurus
Kementerian Pendidikan. Abdul Abbas, seorang wakil Islam dari
Lampung, mendukung usul agar urusan agama ditangani Kementerian
Pendidikan. Iwa Kusumasumatri, seorang nasionalis dari Jawa Barat,
setuju gagasan perlunya Kementerian Agama tetapi karena pemerintah itu
sifatnya nasional, agama seharusnya tidak diurus kementerian khusus. Ia
sependapat dengan pikiran Latuharhary. Ki Hadjar Dewantoro, tokoh
pendidikan Taman Siswa, lebih suka urusan-urusan agama mejadi tugas
47
Kementerian Dalam Negeri. Dengan penolakan beberapa tokoh penting
ini, usul Kementerian Agama akhirnya ditolak. Hanya enam dari 27
Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang setuju
didirikannya Kementerian Agama.
Ketika Kabinet Presidential dibentuk di awal bulan September
1945, jabatan Menteri Agama belum diadakan. Demikian halnya, di bulan
Nopember, ketika kabinet Presidential digantikan oleh kabinet
parlementer, di bawah. Perdana Menteri Sjahrir. Usulan pembentukan
Kementerian Agama pertama kali diajukan kepada BP-KNIP (Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal 11 Nopember
1946 oleh KH. Abudardiri, KH. Saleh Suaidy, dan M. Sukoso
Wirjosaputro, yang semuanya merupakan anggota KNIP dari Karesidenan
Banyumas. Usulan ini mendapat dukungan dari Mohammad Natsir,
Muwardi, Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo yang semuanya juga
merupakan anggota KNIP untuk kemudian memperoleh persetujuan BP-
KNIP.
Kelihatannya, usulan tersebut kembali dikemukakan dalam sidang
pleno BP-KNIP tanggal 25-28 Nopember 1945 bertempat di Fakultas
Kedokteran UI Salemba. Wakil-wakil KNIP Daerah Karesidenan
Banyumas dalam pemandangan umum atas keterangan pemerintah
kembali mengusulkan, antara lain; Supaya dalam negara Indonesia yang
sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya
disambillalukan dalam tugas Kementerian Pendidikan, Pengajaran &
48
Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya, tetapi hendaknya
diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri.
Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh
Islam yang hadir dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa pemungutan
suara, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden
Mohamad Hatta, yang kemudian menyatakan, bahwa Adanya
Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah. Sebagai
realisasi dari janji tersebut, pada 3 januari 1946 pemerintah mengeluarkan
ketetapan NO.1/S.D. yang antara lain berbunyi: Presiden Republik
Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama.
Keputusan dan penetapan pemerintah ini dikumandangkan di udara oleh
RRI ke seluruh dunia, dan disiarkan oleh pers dalam, dan luar negeri,
dengan H. Rasjidi BA sebagai Menteri Agama yang pertama.
Pembentukan Kementerian Agama segera menimbulkan
kontroversi di antara berbagai pihak. Kaum Muslimin umumnya
memandang bahwa keberadaan Kementerian Agama merupakan suatu
keharusan sejarah; Ia merupakan kelanjutan dari instansi yang bernama
Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada masa pendudukan Jepang, yang
mengambil presiden dari Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor
untuk Urusan Pribumi Islam pada masa kolonial Belanda. Bahkan
sebagian Muslim melacak eksistensi Kementerian Agama ini lebih jauh
lagi, ke masa kerajaan-kerajaan Islam atau kesultanan, yang sebagiannya
49
memang memiliki struktur dan fungsionaris yang menangani urusan-
urusan keagamaan.
Tetapi argumen ini dibantah oleh dokumen resmi yang diterbitkan
pemerintahan Soekarno. Dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid
VII, dinyatakan bahwa di zaman kolonial Belanda, soal-soal yang
bertalian dengan urusan agama diurus terpencar-pencar dalam beberapa
departemen. Sebagai contoh soal urusan haji, perkawinan, pengajaran
agama diurus oleh Departement van Binnenland sche Zaken sic, atau
Departemen urusan-urusan Dalam Negeri. Soal Mahkamah Islam Tinggi,
Raad Agama (peradilan agama) serta penasihat Pengadilan Negeri diurus
oleh Departement van justitie dan lain sebagainya. Kemudian di zaman
penjajahan Jepang, urusan agama itu dipegang oleh Shumubu, sebagai
bagian dari Gunseikanbu, sedang di daerah-daerah diurus oleh Shumuka
sebagai bagian dari pemerintah keresidenan. Oleh karena itu, keberadaan
Departemen Agama adalah suatu departemen yang baru, yang tidak ada
hubungannya dengan zaman penjajahan, karena ia dilahirkan seiring
dengan Proklamasi Rakyat Indonesia menentang penjajahan itu. Ia
ditampilkan ke tengah-tengah forum perjuangan oleh rakyat yang
berjuang itu sendiri sebagai cermin jiwa dan kehendak aspirasi rakyat
terbesar.
Dengan dukungan penuh dan sambutan positif dari segenap umat
beragama maka kiprah Departemen Agama dapat berjalan dengan lancar,
hingga akhirnya dapat membentuk instansi Departemen Agama di daerah-
50
daerah tingkat I (Provinsi) di seluruh wilayah Indonesia termasuk Kota
Tangerang.
2. Visi dan Misi Kementerian Agama Kota Tangerang
a. Visi
Menjadikan masyarakat Kota Tangerang mempunyai moral dan SDM
yang baik.
b. Misi
1. Menciptakan pegawai di lingkungan Kandepag Kota Tangerang
yang berpendidikan dan agamis
2. Meningkatkan kualitas SDM
3. Meningkatkan pelayanan pada masyarakat
4. Meningkatkan pelayanan prima
5. Meningkatkan kerukunan umat beragama
3. Fungsi Kementerian Agama
Berikut ini adalah fungsi Kementerian Agama Republik Indonesia yang
diberlakukan juga di Kementerian Agama Kota Tangerang, yaitu:
a. Memberi bimbingan, pemahaman, pengamalan, dan pelayanan
kehidupan beragama
b. Menanamkan penghayatan moral dan etika keagamaan
c. Membina kualitas pendidikan umat beragama
d. Membina kualitas penyelenggaraan ibadah haji
e. Memberdayakan umat beragama dan lembaga keagamaan
51
4. Struktur Organisasi
STRUKTUR ORGANISASIKEMENTERIAN AGAMA KANTOR KOTA TANGERANG
KMA NOMOR: 373 TAHUN 2002 TIPOLOGI 1.A
KEPALA KANTOR
Drs. H. ZAENAL ARIFIN, MM
NIP. 195911111987031001
GAMBAR 1
KEPALA SEKSIURUSAN AGAMA ISLAM
Drs. H. M. NASHARUDDIN, M.AgNIP. 195804051982031003
KEPALA SEKSI PENYELENGGARA HAJI DAN UMRAH
Drs. H. ARIEF FACHRUDIN, M.PdNIP. 195904301990031001
KEPALA SEKSIMADRASAH DAN PENDIDIKAN ISLAM
PADA SEKOLAH UMUM
Drs. H. YAHYA ISKANDAR, M.PdNIP. 196003121991031001
KEPALA SEKSIPENDIDIKAN KEAGAMAANDAN PONDOK PESANTREN
H. MUDINI S, S.Sos.INIP. 196104041994031001
KEPALA SEKSIPENDIDIKAN PADA MASYARAKAT
DAN PEMBERDAYAAN MASJID
Drs. H. A. NACHROWI, M.PdNIP. 195810091987031002
PENYELENGGARAZAKAT DAN WAKAF
H. SAMSUDIN, S.Ag, MMNIP. 196902222000031002
KEPALA SUBBAGIAN TATA USAHA
Drs. H. M. NAJIB, M.SiNIP. 196706030994031002
STRUKTUR & TUPOKSI
(TUGAS POKOK DAN FUNGSI)
SEKSI PENDIDIKAN KEAGAM AAN PADA M ASYARAKAT DAN PEM BERDAYAAN M ASJID
KEM ENTERIAN AGAM A KANTOR KOTA TANGERANG
R IZ K I WA L U D IN
N IP. 1 9 7 0 1 0 0 6 2 0 0 3 1 2 1 0 0 3
U ra ia n Tug a s
Pen g elo la D IPA
Pen g elo la PA H
Pen g elo la B an tu an
A H M A D SA N U SI
N IP.
U ra ia n Tug a s
E n try D ata
Su ra t M en y u ra t
Pen g arsip an
PE N Y U L U H A G A M A ISL A M
(PN S)
U ra ia n Tug a s
M em b er ik an Pen y u lu h an
K eag am aan Pad a
M asy arak a t
K E PA L A SE K SI PE N A M A S
D rs. H . A . N A H R O W I, M .Pd
N IP. 1 9 5 8 1 0 0 9 1 9 8 7 0 3 1 0 0 2
D E W I WA H Y U N I
N IP. 1 9 7 2 0 6 0 2 2 0 0 5 0 1 2 0 0 3
U ra ia n Tug a s
B en d ah ara Pem b an tu Pen g elu aran (B PP)
Pen g elo la I jin T PQ , T K Q , M T
R ek o m en d asi Saran a Ib ad ah
Pelap o ran
GAM BAR 1.A
B. Tipologi Masyarakat Kota Tangerang
Menurut penulis, karakteristik masyarakat Kota Tangerang
termasuk ke dalam kategori masyarakat modern. Hal ini dikarenakan
berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang penulis alami selama ini,
52
masyarakat Kota Tangerang secara umum bersifat rasional, bersikap terbuka,
dan berpikir obyektif.
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan
modern. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta
mengartikan masyarakat sebagai pergaulan hidup manusia (himpunan orang
yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu).
Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan
demikian secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang
yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang
bersifat mutakhir.2
Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan
dari masyarakat tradisional. Deliar Noer misalnya menyebutkan ciri-ciri
modern sebagai berikut :
1. Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada
pendapat emosi. Sebelum melakukan pekerjaan selalu dipertimbangkan lebih
dahulu untuk ruginya, dan pekerjaan tersebut secara logika dipandang
menguntungkan.
2. Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah
yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
3. Menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang
sangat berharga dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
4. Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik,
gagasan dan perbaikan dari manapun datangnya.
2 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2010), h. 279.
53
5. Berpikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan
kegunaannya bagi masyarakat.3
Ciri-ciri di atas menurut penulis sudah mencerminkan masyarakat
Kota Tangerang khususnya Kecamatan Priuk. Karena berdasarkan dari
pengamatan yang peneliti lakukan selama penelitian, masyarakat Kota
Tangerang secara umum bersifat rasional, bersikap terbuka dan berpikir
positif. Hal ini dibuktikan dengan ketika ada masalah dengan keyakinan
jamaah yang berbeda aliran, masyarakat tidak mempermasalahkan itu karena
menurut masyarakat selama masih mengacu kepada Al Quran dan Al Hadits,
itu semua masih termasuk kepada Islam. Selanjutnya masyarakat selalu
datang lebih awal ketika pembinaan akhlak, hal ini membuktikan bahwa
masyarakat sangat menghargai waktu dan masyarakat selalu berpikir untuk
masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat
sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.4
3 Deliar Noer, Pembangunan Di Indonesia, (Jakarta : Mutiara. 1987), h. 24.
4 Berdasarkan hasil observasi peneliti di lokasi penelitian, Mesjid Al Quba Perumahan
Cimone Mas Permai pada tanggal 12 Februari 2012.
54
BAB V
HASIL DAN ANALISA PENELITIAN
A. Peran Penyuluhan Agama Di Kementerian Agama Kota Tangerang
Peran penyuluh di kementerian agama Kota Tangerang adalah
sebagai agen perubahan kepada masyarakat untuk lebih siap menerima
perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan
memperkuat kemampuan mereka melalui proses kegiatan pembinaan, agar
terjadi perubahan perilaku pada diri stakeholders (individu, kelompok,
kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembinaan, demi terwujudnya
kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin
sejahtera secara berkelanjutan diharapkan mereka dapat memecahkan
masalah yang sedang dihadapi. Penyuluh sebagai perantara adalah orang yang
mampu membantu masyarakat agar mereka mau berpartisipasi dalam
kegiatan pembinaan, orang yang mampu mendengar dan memahami aspirasi
masyarakat, mampu memberi dukungan, mampu memberikan fasilitas.
Penyuluh di Kementerian Agama belum seluruhnya menjalankan
perannya dengan sebenar-benarnya. Hal ini disebabkan kebanyakan dari
penyuluh hanya sekedar menjalankan kewajiban atau pekerjaan, masih sangat
sedikit penyuluh yang benar-benar memikirkan perkembangan masyarakat
muslim di Kota Tangerang khususnya. Bahkan beberapa dari masyarakat ada
yang tidak tahu bahwa penyuluh itu adalah penyuluh yang ditugaskan dari
Kementerian Agama Kota Tangerang. Mungkin hal ini seperti yang dikatakan
oleh KH. Hasan Basri, pria kelahiran Tangerang 17 Agustus 1958 ketika
55
diwawancarai dengan saya. Beliau adalah seorang penyuluh dari kementerian
agama Kota Tangerang yang mengenyam pendidikan D3 Tarbiyah. Beliau
berkata bahwa penyuluh-penyuluh di Kementerian Agama banyak yang
masih minder atau tidak percaya diri ketika berdakwah, karena di lingkungan
masyarakat itu sendiri banyak ustadz-ustadz dan ulama yang ikut bergabung
ke dalam majelis sehingga para penyuluh banyak yang merasa tidak percaya
diri. Berikut kutipan wawancara dengan narasumber.
“Yang saya liat para penyuluh mereka jarang melakukan
pendekatan kepada masyarakat, apa alasannya, yang tadi itu
karena keilmuannya kurang, sedangkan di masyarakat banyak
alim ulama, tokoh masyarakat, terkadang mereka mau bicara
saja bingung kan, karena ilmu yang dimiliki masih kalah banyak
dari masyarakat, kadang-kadang jadi minder. Jadi masih kurang
sekali penyuluhan dari kementrian agama, dan dari masyarakat
juga ada pesantren yang kualitasnya lebih hebat gurunya, lebih
hebat pimpinannya dari penyuluh tadi. Jadi mereka kurang
menguasai, kurang mau menambah ilmu, kurang mau
melakukan pendekatan kepada masyarakat, kurang mau turun
menyampaikan informasi kepada masyarakat”.1
Menurut KH. Hasan Basri, seorang penyuluh itu harus bisa
memberikan peranan yang jelas kepada masyarakat. Harus bisa memberikan
penerangan kepada masyarakat, walaupun di lingkungan masyarakat sudah
ada mubaligh, ada pimpinan pesantren, dan lain sebagainya, penyuluh pun
harus terjun ke masyarakat. Jadi tidak boleh minder dan merasa tidak percaya
diri, karena masyarakat sangat membutuhkan penerangan dari seorang
penyuluh. Berikut kutipan wawancara dengan KH. Hasan Basri.
“Penyuluh itukan dari kata suluh, suluh berarti penerang,
seorang penyuluh harus bisa memberi peranan yang jelas kepada
masyarakat. Tentang ibadah, sholat segala macam, jelas
ucapannya dipahami oleh masyarakat dan juga ditopang oleh
1 Wawancara pribadi dengan KH. Hasan Basri, Kementerian Agama Kota Tangerang, 4
Maret 2012.
56
dalil. Yang seperti itu yang bagus, jadi jangan cuma dengan
ngomong, tapi harus diikuti dengan dalil, Al Quran dan hadits.
Yang kedua bicara harus jelas, harus transparan supaya
masyarakat paham dari ucapan kita. Jadi asal katanya dari suluh,
yaitu orang yang harus melakukan penerangan kepada
masyarakat di bidang agama disamping ada para mubaligh, ada
pimpinan pesantren, penyuluh pun harus terjun ke masyarakat.”2
Peneliti dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa peran
penyuluh agama di masyarakat khususnya di Kecamatan Priuk, Cimone dan
Cipondoh adalah sebagai pembangkit kesadaran masyarakat. Hal tersebut
didasarkan pada pengamatan peneliti di lokasi penelitian, belakangan ini
ternyata masyarakat banyak yang tergerak untuk lebih bersosialisasi di
lingkungan masyarakat karena ada dorongan dari sang penyuluh. Dan
masyarakat menjadi lebih peduli kepada sesama, bukan hanya kepada sesama
umat Muslim saja melainkan juga kepada masyarakat yang beragama non
Muslim.3
Peneliti dalam penelitian ini juga mengasumsikan bahwa peran
penyuluh agama di masyarakat khususnya di Kecamatan Priuk, Cimone dan
Cipondoh selain sebagai pembangkit kesadaran masyarakat yaitu juga sebagai
penyampai informasi. Hal tersebut didasarkan pada pengamatan peneliti di
lokasi penelitian, ternyata masih banyak masyarakat yang buta terhadap ilmu
agama. Masih banyak masyarakat yang tidak bisa membaca Al Quran, ketika
sang penyuluh menyuruh masyarakat membaca Al Quran secara bergantian
ternyata banyak masyarakat yang masih belum bisa membaca Al Quran.
Bahkan ada seorang jamaah yang bertanya mengenai rukun Islam, yang
2 Wawancara pribadi dengan KH. Hasan Basri, Kementerian Agama Kota Tangerang, 4
Maret 2012.
3 Hasil pengamatan peneliti saat mengunjungi lokasi di Perumahan Cimone Mas Permai
pada tanggal 12 Februari 2012.
57
seharusnya sudah menjadi dasar pengetahuan mereka. Selanjutnya ketika
diadakan sesi Tanya jawab, masyarakat sangat antusias dan bertanya sangat
detail kepada sang penyuluh. Dan pertanyaan-pertanyaan itu menurut saya
adalah termasuk ke dalam dasar-dasar agama Islam. Bahkan ada beberapa
masyarakat yang menyampaikan masalah di kehidupannya agar dapat
mendapat pencerahan atau solusi dari penyuluh atas permasalahan yang
dialaminya itu. Jadi masyarakat masih sangat membutuhkan pendidikan dan
informasi dari para penyuluh, khususnya para penyuluh dari Kementrian
Agama.4
Dalam teori peran penyuluh agama dikenal dengan istilah penyuluh
sebagai fasilitator yaitu animasi sosial menggambarkan kemampuan petugas
sebagai agen perubah atau pemberdaya masyarakat untuk membangkitkan
energi, inspirasi, antusiasme masyarakat, termasuk di dalamnya
mengaktifkan, menstimuli dan mengembangkan motivasi masyarakat untuk
bertindak.5 Dalam upaya memberdayakan masyarakat tidak jarang juga harus
menyampaikan informasi yang mungkin belum diketahui oleh sasarannya.
Dengan hanya memberikan informasi yang relevan mengenai suatu masalah
yang sedang dihadapi komunitas sasaran tidak jarang dapat menjadi peran
yang bermakna terhadap komunitas tersebut.6 Dalam hal ini membantu
masyarakat mengenali diri sendiri, mendiagnosa masalah dan menetapkan
tujuan yang ingin dicapai. Membantu masyarakat dalam memperoleh sumber-
4 Hasil pengamatan peneliti saat mengunjungi lokasi di Perumahan Cimone Mas Permai
pada tanggal 5 Februari 2012. 5Isbandi Rukminto Adi, “Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan
Sosial”. (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2002), h. 199. 6Isbandi Rukminto Adi, “Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan
Sosial”. (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2002), h. 209.
58
sumber informasi, sarana dan prasarana dalam mengevaluasi kemanfaatan
suatu solusi dalam memenuhi kebutuhan mereka dan mengantisipasi
permasalahan yang mungkin akan timbul di masa yang akan datang.
Dari keterangan di atas peneliti menyimpulkan, bahwa peran
penyuluh di Kementerian Agama dalam membina akhlak umat pada
masyarakat Kota Tangerang adalah sebagai fasilitator, sebagai animasi sosial,
pembangkit kesadaran masyarakat, dan sebagai penyampai informasi. Namun
demikian, tidak dipungkiri bahwa secara fakta, penyuluh dari Kementerian
Agama yang menjadi pelaksana teknis program penyuluhan di masyarakat,
sejauh ini masih dihadapkan pada sejumlah problem, sebagaimana sejumlah
problem yang terjadi dalam program penyuluhan yaitu persoalan sikap mental
dan pengetahuan serta keterampilan, seperti: budaya kerja lemah, kurang
inisiatif dan lebih banyak menunggu perintah, dan kurang kesungguhan
dalam pekerjaan, orientasi pada pencapaian hasil dalam pelaksanaan tugas
masih kurang.
B. Metode Penyuluhan KH. Hasan Basri
Metode pembinaan akhlak merupakan tumpuan pertama dalam
Islam. Pembinaan akhlak yang baik yaitu pembinaan akhlak yang disertai
dengan contoh, karena jika sudah ada contoh yang baik masyarakat akan
lebih mudah mengikuti dan dakwah yang baik itu adalah dengan dialog.
Karena dengan dialog, dakwah akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Dan masyarakat pun akan lebih leluasa untuk bertanya secara mendalam
59
kepada penyuluh mengenai masalah-masalah yang sedang mereka hadapi
dalam kehidupannya.
Kegiatan pembinaan akhlak pada masyarakat Kota Tangerang
khususnya di Kecamatan Priuk sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan
kegiatan-kegiatan ceramah Islam di masyarakat pada umumnya. Tetapi
pembinaan akhlak yang dilakukan oleh KH. Hasan Basri cukup menarik dan
dapat membuat masyarakat menjadi lebih semangat mengikuti pembinaan
akhlak tersebut. KH. Hasan Basri selalu memberikan makalah pada setiap
pembinaan akhlak, hal itu dilakukan agar masyarakat tahu dan mengerti apa
yang sedang penyuluh jelaskan kepada mereka dan agar masyarakat yang
terlambat menghadiri pembinaan akhlak bisa membaca pembahasan awal dari
makalah tersebut.7
Metode yang digunakan KH. Hasan Basri itu ada tiga macam, yang
pertama secara dialog langsung, yang kedua Tanya jawab, dan yang ketiga
ceramah umum. Selanjutnya menurut KH. Hasan Basri metode tersebut
sangat disenangi masyarakat terutama dengan adanya makalah yang
disiapkan KH. Hasan Basri untuk dibagikan kepada masyarakat setiap
pembinaan akhlak. Berikut kutipan wawancaranya.
“Ada tiga, di suraat 16:125. Yang pertama secara dialog
langsung, yang kedua Tanya jawab, dan yang ketiga ceramah
umum. Rata-rata metode yang saya sampaikan seperti saya
ngajar pakai photo copy, saya terangkan, Tanya jawab itu
disenangi. Jadi metode yang saya terapkan dengan cara saya
alhamdulillah bisa diterima, diresapi oleh mereka. Yang kedua
mereka itu dengan ada materi yang saya tulis dan saya photo
7 Hasil pengamatan peneliti saat mengunjungi lokasi di Perumahan Cimone Mas Permai
pada tanggal 5 Februari 2012.
60
copy paling tidak dibawa pulang dan ada kenang-kenangan, dan
paling tidak bisa mereka pelajari lagi di rumah.”8
Metode seperti ini pun disenangi oleh masyarakat Kota Tangerang
khususnya masyarakat di Kecamatan Priuk. Mereka berbondong-bondong
menghadiri pembinaan akhlak tersebut, dan bahkan tidak sedikit masyarakat
yang mengajak anak remaja mereka untuk mengikuti pembinaan akhlak
tersebut dengan harapan anaknya itu bisa memiliki akhlak yang baik. Salah
seorang masyarakat juga menyampaikan bahwa metode yang digunakan oleh
KH. Hasan Basri adalah yang paling baik, berikut wawancara penulis dengan
narasumber yang bernama H. Mansur, lahir di Kuningan 9 November 1947.
Beliau adalah jamaah sekaligus ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di
Masjid Al-Muhajirin Perumahan Cimone Mas Permai, beliau mengatakan:
“Metode.. jadi gimana yaa ini jawabnya.. Dia sih selalu..
metodenya selalu berpedoman pada Al Quran dan Hadits yang
saya tau ya.. jadi dan dia memberikan juga apa namanya..
sebelum dia tausiyah sebelum dia ceramah dia berikan
makalahnya kemudian dia jelaskan itu dan semua dia yang
photo copy.. Menurut saya baik.. karena sebelum
menyampaikan ceramah seperti itu tadi memberikan catatan-
catatan mengenai inti yang akan dijelaskan... dan Bapak KH.
Hasan Basri paling baik.”9
Tidak hanya di perumahan Cimone Mas Permai saja metode
tersebut disenangi masyarakat, di perumahan Bugel Mas Indah pun demikian.
Salah seorang jamaah masjid Al Furqon juga merasa senang dengan metode
yang disampaikan oleh KH. Hasan Basri. Hal ini disampaikan oleh ustadz
8 Wawancara pribadi dengan KH. Hasan Basri, Kementerian Agama Kota Tangerang, 4
Maret 2012.
9 Wawancara pribadi dengan ustadz H. Mansur, di Masjid Al-Muhajirin Perumahan
Cimone Mas Permai, tanggal 5 Februari 2012.
61
Haetami, pria yang lahir di Serang 10 Januari 1960. Beliau mengatakan
bahwa metode yang digunakan oleh KH. Hasan Basri adalah sesuai dengan
yang diinginkan masyarakat. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan
narasumber.
“Memang sesuai dengan kebutuhan di sini, kebutuhannya
memang seperti itu, ceramah Tanya jawab masyarakat di sini
memang senengnya ceramah Tanya jawab, kalau kajiannya
ilmiah malah masyarakat di sini kurang suka.”10
Jadi metode yang digunakan oleh penyuluh di Kementerian Agama
dalam membina akhlak umat pada masyarakat Kota Tangerang adalah yang
pertama secara dialog langsung dengan masyarakat, yang kedua penyuluh
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bertanya kepada sang
penyuluh, dan yang ketiga dengan cara ceramah umum. Dan tentunya sesuai
dengan metode dakwah bil lisan, dakwah bil hal, dan dakwah bil hikmah.
C. Bentuk Pembinaan Akhlak Oleh Penyuluh Pada Masyarakat Kota
Tangerang
Dalam kegiatan pembinaan akhlak pada masyarakat, penyuluh dari
Kementerian Agama menggunakan metode yang efektif. Peneliti melihat
metode yang digunakan penyuluh dalam pembinaan akhlak ini yaitu dengan
mencontohkan dalam kehidupan sehari-hari, dan dengan berbagai cara seperti
dakwah bil-lisan, dakwah bil-haal, dan dakwah bil-hikmah untuk mengajari
dan membina mereka. Dan menyesuaikan dengan apa yang dibutuhkan dan
disenangi masyarakat, karena menurut KH. Hasan Basri dakwah itu tidak
10 Wawancara pribadi dengan ustadz Haetami, di Masjid Al-Furqon perumahan Bugel
Mas Indah, tanggal 4 Februari 2012.
62
dipaksakan jadi harus menyesuaikan dengan yang masyarakat inginkan.
Berikut petikan wawancara pribadi dengan narasumber.
“Pembinaan akhlak yang bagus itu yang pakai contoh, seorang
tua menyuruh seorang anak, orang tuanya harus melakukannya
terlebih dahulu. Kalau seorang ibu menyuruh pakai jilbab,
ibunya harus memakai jilbab terlebih dahulu. Karena susah
kalau kita menyuruh orang tetapi kitanya belum
melaksanakannya terlebih dahulu. Dakwah yang paling baik itu
adalah dialog. Dengan dialog memperdalam saya untuk
menggali lagi, yang kedua memberikan pelajaran buat saya,
membuat saya jadi tau apa kekurangan saya.
Perencanaannya siih saya melihat situasi dari masyarakat, dan di
masyarakat ini apa yang sedang tumbuh di masyarakat, misalnya
perjudian dan minuman keras, itu yang saya berikan, materi
tentang bagaimana agar bisa mencegahnya menurut pandangan
agama. Kemudian ada satu daerah juga yang mereka tidak
terlalu suka dengan Al Quran, saya bikin suatu materi yang bisa
menyenangkan mereka, bagaimana caranya untuk bisa menyeret
mereka kepada Al Quran pedoman kita supaya pass, kalau
bertolak belakang mereka senangnya Al Quran tapi kita
berikannya yang lain ga akan kena sulit dicerna mereka. Contoh
seperti yang pernah ente ikuti di Muhajirin, mereka sangat
senang Al Quran”.11
Ketika pembinaan akhlak di Masjid Al-Muhajirin Perumahan
Cimone Mas Permai, masyarakat memang benar-benar antusias ketika
penyuluh membahas Al Quran. Walaupun ada beberapa dari mereka yang
kurang lancar dalam membaca Al Quran, tetapi itu tidak mengurangi
semangat mereka untuk bisa memahami Al Quran. Bahkan ada beberapa
jamaah yang bercerita dengan saya bahwa KH. Hasan Basri itu sangat berjasa
terhadap umat Muslim di daerahnya yaitu di daerah Cimone Mas Permai.
Karena selain beliau menguasai ilmu agama, beliau juga telah lama
berdakwah di daerah itu, kurang lebih sekitar sepuluh tahun.
11 Wawancara pribadi dengan KH. Hasan Basri, Kementerian Agama Kota Tangerang, 4
Maret 2012.
63
Dalam teori, metode bil lisan dan bil haal dikenal dengan metode
amalia. Metode ini mengembangkan potensi kebaikan pada diri anak
sedemikian rupa agar melakukan kebaikan-kebaikan yang diharapkan
menjadi akhlak anak. Tugas orang dewasa mengajak dan melibatkan anak
sedini mungkin dalam berbagai aktifitas ibadah, kegiatan sosial dan
keseharian yang positif yang dipadukan secara sinergi dengan
mengembangkan potensi kebaikan pada diri anak melalui metode al-sima’,
al-abshar, al-fu’adah.12
Jadi bentuk pembinaan akhlak pada masyarakat Kota Tangerang
yaitu dengan menyesuaikan terhadap apa yang disenangi oleh masyarakat.
Dan pembinaan akhlak yang baik itu adalah yang dilakukan dengan cara terus
menerus. Baik dengan cara pembinaan melalui orang lain maupun pembinaan
diri sendiri tanpa harus dituntun orang lain. Karena hidup ditengah krisis
kehidupan seperti sekarang ini, pembinaan akhlak memang harus lebih gencar
dilakukan agar tidak terjebak di dalam keterpurukan moral dan agar dapat
menjadi individu yang berakhlak mulia.
12
Asep Umar Ismail,dkk., Tasawuf, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 19-20.
64
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah peneliti melakukan penelitian langsung dan mengetahui
peran penyuluh agama di Kementerian Agama dalam membina akhlak umat
pada masyarakat Kota Tangerang khususnya kecamatan Priuk, maka peneliti
dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Peran penyuluh di Kementerian Agama dalam membina akhlak umat pada
masyarakat Kota Tangerang adalah sebagai animasi sosial, pembangkit
kesadaran masyarakat, dan sebagai penyampai informasi.
2. Metode yang digunakan oleh penyuluh Kementerian Agama dalam
membina akhlak umat pada masyarakat Kota Tangerang adalah yang
pertama secara dialog langsung dengan masyarakat, yang kedua
penyuluh memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bertanya
kepada sang penyuluh, dan yang ketiga dengan cara ceramah umum. Dan
tentunya sesuai dengan metode dakwah bil lisan, dakwah bil hal, dan
dakwah bil hikmah.
3. Bentuk pembinaan akhlak pada masyarakat Kota Tangerang yaitu dengan
menyesuaikan terhadap apa yang disenangi oleh masyarakat. Dan
pembinaan akhlak yang baik itu adalah yang dilakukan dengan cara terus
menerus. Baik dengan cara pembinaan melalui orang lain maupun
pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun orang lain. Karena hidup
65
ditengah krisis kehidupan seperti sekarang ini, pembinaan akhlak memang
harus lebih gencar dilakukan agar tidak terjebak di dalam keterpurukan
moral dan agar dapat menjadi individu yang berakhlak mulia.
B. Saran
Saran yang dapat peneliti berikan benrkenaan dengan penelitian
peran penyuluh di Kementerian Agama dalam membina akhlak umat pada
masyarakat Kota Tangerang adalah:
1. Bagi pihak Kementerian Agama, diharapkan agar lebih memperhatikan
terhadap apa yang sedang terjadi pada masyarakat ini. Karena belakangan
ini banyak masalah-masalah yang terjadi di masyarakat seperti tauran
antar sekolah, antar kampus, bahkan dikalangan petinggi Negara pun
masih banyak yang bersilat umum di depan umum. Peneliti hanya
mengharapkan agar pihak Kementerian Agama lebih peka terhadap situasi
yang ada, agar masyarakat Indonesia kedepannya semakin baik dan
berakhlak mulia.
2. Bagi pihak Kementerian Agama, diharapkan bisa lebih memberikan ciri
khas dalam memberikan penyuluhan terhadap kepada masyarakat, agar
masyarakat bisa tau bahwa yang sedang memberikan penyuluh itu adalah
penyuluh dari Kementerian Agama. Karena menurut pengamatan penulis
selama penelitian, kegiatan pembinaan akhlak yang dilakukan oleh
penyuluh dari Kementerian Agama tidak terlalu berbeda dengan ceramah-
ceramah agama pada umumnya.
66
3. Bagi pihak Kementerian Agama, diharapkan bisa lebih merangkul anak-
anak jalanan yang belakangan ini mulai menyebar luas di daerah Kota
Tangerang. Alangkah lebih baiknya jika pihak Kementerian Agama bisa
mempertimbangkan mereka, karena biar bagaimanapun juga mereka
adalah anak-anak bangsa yang memiliki hak mendapatkan pendidikan
khususnya pendidikan agama agar bisa menjadi penerus bangsa yang
berakhlak mulia.
4. Bagi masyarakat luas, diharapkan tidak malu bertanya jika sedang
mengikuti kegiatan pembinaan akhlak dimanapun. Karena seperti yang
pepatah bilang, “malu bertanya sesat di jalan”. Oleh karena itu
manfaatkanlah kegiatan pembinaan akhlak tersebut untuk memperdalam
keilmuan kita tentang agama, agar kita bisa menjadi manusia yang
berakhlak mulia.
67
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arifin, M., Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama,
Jakarta: PT. Bima Aksara, 1998.
Ali, M. Sayuti, Metodologi Penelitian Agama (Pendekatan Teori & Praktek).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Arif, Mudzakkir Muhammad, Beberapa Pelajaran Penting Untuk Segenap Umat.
Saudi Arabia: Direktorat Bidang Penerbitan dan Riset Ilmiah Departemen
Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam.
Adi, Isbandi Rukminto. “Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial”. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI,2002.
Arifin, Isep Zainal. Bimbingan Penyuluhan Islam (Pengembangan Dakwah
Melalui Psikoterapi Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995.
Bachtiar, Wardi, M.S. Sosiologi Klasik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: CV. Darus
Sunnah, 2002.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Echole, John M. dan Hasan Sadily. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia, 1995.
Ismail, Asep Umar, dkk, Tasawuf. Jakarta : Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2002.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif (Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004.
Moleong, Lexi J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
68
Media Center, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Mitra Press, 2002.
Machendrawaty, Nanih, Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Madjid, Nurcholish, Membangun Masyarakat Madani Melalui Khutbah dan
Ceramah, Jakarta: Nuansa Madani, 1999.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Noer, Deliar. Pembangunan Di Indonesia. Jakarta : Mutiara. 1987. Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1992.
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat (Suatu Pengantar Sosiologi
Agama). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press,
1987.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Poerwadarminta, Wjs., Kamus Modern. Jakarta: Jembatan, 1976.
Sandjaja dan Albertus Heriyanto, Panduan Penelitian. Jakarta:
PrestasiPustakarya, 2006.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006.
Sirajuddin, Zar, Filsafat Islam: filosof dan filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Usman, Husnaini dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Umam, Khairul dan A. Achyar Aminudin, Bimbingan Dan Penyuluhan. Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1998.
69
Internet
http://kemenag.go.id/
Pelaihari KP, “Kompetensi Dasar Penyuluh Agama Tingkat Fungsional”, artikel
diakses pada tanggal 26 September 2011 dari
http:/penemasdramaga.blogspot.com /2010/10 sejarah - pengertian - dan -
tupoksi - penyuluh. html
Surudin, “Pembinaan Penyuluh Agama Di Sragen”, artikel diakses pada 26
September 2011 dari http://depagsragen.co.cc/index.php?option=com
content&view=article&id=52:pembinaan-penyuluh-agama-islam-dan-
peran-serta-dalam-membangun-masyarakat-sragen-
&catid=36:penamas&itemid=50