ltm pbl 1 mpkt a
DESCRIPTION
LTM PBL 1 MPKT ATRANSCRIPT
Dengan ini saya menyatakan telah mengerjakan tugas ini secara individu dan tidak mencontek tugas orang lain.
LTM PBL 1
Latar Belakang Seseorang Melakukan Tindakan Korupsi
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan Negara
(Kartono,1999:80). Delik korupsi menurut KUHP adalah kejahatan atau kesalahan, ataupun
perbuatan-perbuatan yang bisa dikenai tindak dan sanksi hukum. Jadi, korupsi merupakan
gejala: salah pakai dan salah urus dari kekuasaan demi keuntungan pribadi, salah urus
terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan kekuatan-kekuatan formal
untuk memperkaya diri. Lebih jelasnya menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara
gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 jo.
UU No.20 Tahun 2001 (KPK,2006:19). Seseorang yang melakukan tindakan korupsi disebut
koruptor.
Korupsi menjadi salah satu penyakit utama yang menggerogoti bangsa ini. Mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bahkan menyatakan bahwa menurut data
Kementrian Dalam Negeri (Kemdagri) Republik Indonesia, 318 dari 460 kepala daerah Kota
atau Kabupaten se-Indonesia melakukan tindak pidana korupsi, lalu 16 dari 33 gubernur di
seluruh provinsi wilayah Indonesia juga melakukan tindakan tersebut. Data tersebut dapat
menggambarkan betapa korupsi telah mengakar dan bahkan menjadi suatu kebudayaan di
negara kita walaupun menjadi suatu pelanggaran hukum.
Dari kenyataan yang telah dikemukakan tadi, terbesit sebuah pertanyaan besar. Apa
saja yang menjadi latar belakang koruptor melakukan tindakan korupsi di Indonesia? Berikut
ini akan dijelaskan lima poin yang menjadi latar belakang utama dari koruptor dalam
melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara dan rakyat.
Nama : Rayhan Hafidz Ibrahim
NPM : 1306409362
Prodi : Teknik Kimia
Kelas MPKT A -11 FTUI
Dengan ini saya menyatakan telah mengerjakan tugas ini secara individu dan tidak mencontek tugas orang lain.
1. Balas dendam atas penderitaan dari penjajahan untuk kepentingan diri sendiri.
Secara historis, bangsa Indonesia adalah bangsa yang dahulunya dijajah. Dengan
statusnya yang dijajah itu, bangsa pribumi hidup dalam keadaan yang serba terbatas,
termasuk terbatas memiliki kekayaan. Padahal kekayaan alam Indonesia sangat melimpah
ruah. Pada jaman penjajahan itu, kekayaan yang melimpah itu dikeruk dan dibawa ke negara
asal penjajah. Sehingga pada saat bangsa Indonesia menggapai kemerdekaannya dari para
penjajah, ambisi orang-orang untuk menguasai kekayaan Indonesia begitu besar, khususnya
bagi orang-orang yang memiliki akses dan kesempatan. Sayangnya, ambisi tersebut
dilakukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atau golongan, bukan untuk
kepentingan rakyat banyak. Akan salah jika ambisi untuk memiliki kekayaan yang melimpah
ruah itu dilakukan dengan cara-cara yang korup.
2. Terjadinya modernisasi yang membawa pergeseran nilai-nilai luhur.
Dulu orang akan menganggap dirinya bernilai ketika ia hidup dengan jujur,
memperoleh kekayaan dengan kerja keras. Namun kini orang merasa berharga jika ia
memiliki kekayaan dan sejumlah materi tertentu, seperti memiliki rumah, kendaraan yang
mewah, mampu melakukan gaya hidup yang hedonis, dan lain-lain apapun cara yang
dilakukannya. Hal tersebut akan mendorong orang untuk menghalalkan semua upaya untuk
memperkaya diri, termasuk dengan melakukan korupsi.
3. Stigma masyarakat yang keliru dalam menghormati orang.
Di zaman ini masyarakat memberikan prestise, memuliakan atau menghormati orang
yang kaya raya tanpa mau tahu dari mana kekayaan itu diperoleh. Dengan kondisi seperti itu,
tidak heran jika semua orang, terutama para penyelenggara negara dan pejabat-pejabat tinggi
saling berlomba-lomba untuk mendapatkan kekayaan sebesar-besarnya. Mereka akan
melakukan berbagai usaha untuk mengumpulkan banyak harta dan uang demi memperoleh
kehormatan di masyarakat, seperti memanfaatkan setiap peluang melakukan korupsi
walaupun hal tersebut merugikan negara dan rakyat.
4. Iklim politik di Indonesia yang tidak sehat dan mendorong terjadinya korupsi.
Apa yang para pendiri negara inginkan menyangkut gagasan Indonesia sebagai negara
hukum jelas tertuang dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan “Negara Indonesia
adalah Negara hukum”. Tetapi, dalam kenyataannya Indonesia adalah negara berdasarkan
kekuasaan uang. Hukum rimba berlaku di negara kita, dimana yang kuat atau memiliki uang
akan menang dari yang lemah atau yang tidak memiliki uang. Contohnya, Pemilu di
Dengan ini saya menyatakan telah mengerjakan tugas ini secara individu dan tidak mencontek tugas orang lain.
Indonesia dengan sistem multipartai dan pemilihan langsung menyebabkan partai dan
politikus harus mengeluarkan biaya politik yang besar untuk meraih suara yang banyak.
Tentu saja yang memiliki kekuatan finansial lebih akan memenangkan pemilu dan
mendapatkan jabatan. Konsekuensinya, para pejabat terpilih ini akan melakukan segala upaya
untuk mengembalikan ongkos politik secepatnya. Korupsi pun menjadi marak dilakukan oleh
para pejabat. Penegakkan hukum yang tegas dan tidak pandang bulu seharusnya dapat
ditegakkan untuk memberantas hal tersebut demi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
5. Memudarnya keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Indonesia merupakan negara yang religius. Apalagi di dalam dasar negara Indonesia,
Pancasila, pada sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti negara
Indonesia menjunjung tinggi dan menaati nilai-nilai keagamaan yang dianut sesuai dengan
kepercayaan masing-masing. Jika seseorang percaya dan beriman dengan sungguh-sungguh
kepada Tuhan-Nya, tidak mungkin ia akan tergoda untuk melakukan korupsi, yang
merupakan pelanggaran terhadap peraturan agama karena merugikan banyak orang. Ia tentu
akan menjadi orang terus menerus bersyukur atas apa yang di dapat dari usaha halalnya tanpa
harus memperkaya diri dengan segala upaya, termasuk dengan korupsi.
Korupsi di Indonesia telah berkembang secara sistemik. Menurut sebagian besar
pejabat yang tidak memiliki hati nurani di negara ini, korupsi tidak lagi dipandang sebagai
suatu pelanggaran hukum, dan justru telah dianggap sebagai sebuah kebiasaan yang sudah
membudaya. Diperlukan aksi nyata dan kerjasama yang saling bersinergis antara para pejabat
pemerintahan, anggota dewan, penegak hukum, dan rakyat Indonesia untuk bersama-sama
memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.