ltm naufalia pbl1
DESCRIPTION
dsssadddsTRANSCRIPT
Pencegahan dan Pengobatan Tubercolosis Paru
Oleh Naufalia Zulfa Ad’hania*, 1406544734 / FG 3/ KD 2 D
*Mahasiswa S1 Reguler FIK UI 2014, Email : [email protected]
Tubercolosis merupakan salah satu penyakit gangguan pernapasan yang diakibatkan
karena infeksi bakteri Mycobacterium tubercolosis. Penyakit ini merupakan penyakit menular
yang penyebarannya melalui udara dan umumnya didapatkan dengan inhalasi partikel kecil
yang mencapai alveolus (Black & Matassin, 2002). Orang-orang yang mudah terpajan
biasanya adalah orang-orang yang sering kontak dengan klien seperti perawat dan anggota
keluarga klien.
Pencegahan yang bisa dilakukan untuk menghindari terkena penyakit TBC yaitu
melakukan vaksinasi dengan Bacillus Calmette Guerin (BCG). Menurut Smeltzer, et al
(2010) terdapat pencegahan penyebaran penyakit TBC di lingkungan pelayanan kesehatan
yaitu melakukan
1. Identifikasi awal dan pengobatan bagi klien yang sudah divonis TB aktif
2. Pencegahan penyebaran nuklei droplet dan mengurangi kontaminasi mikroba di
udara. Dengan cara klien dengan TB aktif diisolasi di di ruangan khusus yang
memiliki lampu ultraviolet dan partikulat udara efisiensi tinggi (HEPA) dan pekerja
kesehatan yang memasuki ruangan isolasi TB harus menggunakan perlindungan
pribadi, partikulat respirator yang berguna untuk menyaring nuklei droplet.
3. Pengawasan penyebaran TB dengan memeriksa orang yang pernah kontak dengan
klien (perawat, tenaga kesehatan , pengunjung) dengan diperiksa uji kulit tuberkulin
dan rontgen dada untuk mengevaluasi infeksi TB.
Setelah upaya pencegahan, tentu ada upaya pengobatan penyakit TBC yang bertujuan
untuk mengobati individu klien dan meminimalisir penyebaran Mycobacterium tubercolosis.
Pengobatan penyakit TBC biasanya dengan meminum obat selama kurang lebih enam bulan,
yang dibagi menjadi fase induksi dan fase lanjutan (Black & Matassin, 2002). Fase induksi
dengan menggunakan empat obat pada lini pertama yaitu isoniazid, rifampin, pirazinamid
dan etambutol. Tujuannya yaitu menghancurkan sebagian besar mikoorganisme yang
berkembang cepat dengan jangka waktu dua bulan bagi klien yang belum pernah diterapi
sebelumnya. Fase lanjutan biasanya menggunakan kombinasi dua obat untuk mengeliminasi
basilus yang tersisa.
Obat anti tubercolosis (OAT) dibagi menjadi dua kelompok yaitu obat lini pertama
dan obat lini kedua. Obat lini pertama terdiri dari empat jenis obat (Black & Matassin, 2002).
a. Isoniazid (INH)
Obat ini merupakan obat yang paling penting dalma terapi TB. Obat ini sering
diberikan per oral atau intramuskular dan intravena. INH bersifat bakterisidal
dengan bentuk tablet, umunya harganya cukup murah. Dosis pemakaian bat ini
yaitu dewasa (max): 5mg/ kg (300mg) satu hari, 15 mg/ kg (900mg) satu, dua,
atau tiga kali seminggu. Anak-anak (max) : 10-15 mg/ kg (300)mg satu kali
sehari, 20-3- mg/kg (900mg) dua kali seminggu. Efek samping dari obat ini adalah
reaksi hipersesitivitas, hepatitis, diare, muntah dan mual.
b. Rifampin (RIF)
Obat ini bersifat bakterisida dan diberikan per oral atau intravena. RIF dapat
dikombinasi dengan INH untuk melawan mikroorganisme yang aktif, lambat dan
tumbuh intermiten. Dosis pemakaian RIF adalah Dewasa (max) : 10mg/kg
(6oomg) 1x sehari/ 2x/ 3x sehari. Anak-anak (max) : 10-20 mg/kg (600mg) 1x
sehari/ 2x sehari. Efek samping dari obat ini adalah membuat cairan tubuh urine,
keringat, liur) berwarna orange, mual, hepatoksitas, dll.
c. Pirazinamid
Obat ini digunakan untuk mengurangi resiko resitensi bakteri terhada suatu jenis
obat, dan bersifat bakterisid serta baketeriostatik. Dosis pemakaian obat ini adalah
dewasa: 20-25 mg/kg per hari, anak-anak (max) : 15-30 mg/kg (2 gr) per hari, 50
mg/kg 2x/mgg. Efek sampingnya adlaah hepatoksisitas, gout arthriris akut,
dematitis, dll.
d. Etambutol
Etambutol digunakan apabila diduga sudah ada resitensi. Dosis pemakaian
etambutol yaitu dewasa : 15-20 mg/kg per hari, anak-anak (max) : 15-20 mg/kg
(2,5 gr) per hari.
Selain obat lini pertama, ada juga obat lini kedua yang digunakan apabila organisme
resisten telah tumbuh. Beberapa obat lini kedua yaitu floroquinolones, aminosalicylic acid,
amikacin dan kanamycin, streptomycin, ethionamide, cylcoserine dan capreomycin (CDC,
2003).
Penggunaan obat anti tubercolosis (OAT) harus dilakukan sesuai dengan prosedur,
karena apabila tidak sesuai akan menimbulkan resitensi. Menurut Smeltzer, et al (2010) jenis
resitensi dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Primary drug resistance yaitu resisten pada salah satu OAT lini pertama pada
individu yang belum pernah menjalani pengobatan sebelumnya.
2. Secondary / acquired drug resistance yaitu resisten pada salah stau / lebih OAT pada
pasien yang sedang menjalani pengobatan.
3. Multidrug resitance yatu resisten terhadap dua agen yaitu INH dan Rifampin.
Populasi yang sering mengalaminya adalah mereka yang menderita HIV dan tunawisma.
Contohnya yaitu pada kasus, pasien yang menjalankan pengobatan hanya selama 3 bulan
karena dirasa sudah tidak batuk, padahal hal itu bisa menyebabkan multidrug resitance,
dan pengobatan harus diulang dari awal dengan menghindari obat yang pernah
dikonsumsi sebelumnya karena dimungkinkan bakteri dalam tubuh klien sudah resisten
terhadap obat tersebut.
Dibawah ini adalalah peta konsep tentang pengobatan dan pencegahan penyakit tubercolosis.
REFERENSI
Black, JM., Mattassin E. (2002). Medical Surgical Nursing, Clinical Management for
Continuity of Care. JB. Lippincott
Centers for Disease Control and Prevention. (2003). Threatment of Tubercolosis Vol
52. No 11. Retieved from http://www.cdc.gov/tb/topic/treatment/tbdisease.htm 22 September
2015, 16.00
Doengoes, ME., Moorhouse, MF., Murr, AC. Nursing Care Plans : Guidelines for
Individualizing Client Care Across the Life Span 8th ed. Philadelphia: Davis Company.