ltm 4

Upload: hanifisp45

Post on 14-Oct-2015

40 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

LTM fkui

TRANSCRIPT

Genetic Basis of Cancer and CarcinogenesisPendahuluan

Pemahaman mengenai kanker dan karsinogenesis telah berkembang dengan sangat pesat dalam tiga puluh tahun terakhir. Tiga puluh tahun yang lalu, penyebab dan patofisiologi pasti dari kanker belum diketahui meskipun berbagai hipotesis telah diajukan. Namun hari ini, sebagian besar mekanisme dan perjalanan penyakit kanker secara umum telah diketahui, terutama setelah identifikasi proto-onkogen, tumor supressor gene dan mekanisme epigenetik pemicu kanker pada tahun 1970an hingga 1980an. Dalam LTM ini akan dijelaskan secara singkat mengenai tumor supressor gene, mekanisme epigenetik pemicu kanker dan mekanisme imortalisasi sel-sel kanker.

Isi

A. Tumor Suppressor genePada sekitar tahun 1970 1980an, model multistep tumorigenesis telah disepakati secara luas sebagai model patogenesis tumor secara umum. Model ini mengindikasikan bahwa sebuah sel hanya dapat bertransformasi menjadi ganas apabila membawa dua gen mutan.1,2 Meski demikian, serangkaian eksperimen yang dilakukan pada masa itu sulit membuktikan hipotesis tersebut. Kebanyakan eksperimen hanya menunjukkan bahwa sel-sel yang bertransformasi menjadi ganas memiliki onkogen mutan seperti Ras dan Myc tanpa ditemukan onkogen kedua pada sel tersebut. Hal ini kemudian membawa pada sebuah konsekuensi logis, yaitu keberadaan sebuah kelas gen baru diluar onkogen yang berperan penting dalam patogenesis kanker.2,3Pada saat yang sama, peneliti lain mulai mengidentifikasi berbagai gen kandidat yang bekerja dengan mekanisme yang berlawanan dengan onkogen yang telah banyak diidentifikasi pada masa itu. Kandidat-kandidat gen ini nampaknya memainkan peranan penting dalam menghambat, bahkan menghantikan patogenesis kanker. Eksperimen hibridisasi sel yang diinisiasi oleh Henry Harris yang dipublikasikan pada tahun 1971 merupakan eksperimen pertama yang mengindikasikan keberadaan tumor supressor gene.1 Dalam eksperimen ini, Harris menggabungkan dua sel yang berbeda. Sel gabungan tersebut akan memiliki sitoplasma yang sama, namun memiliki materi genetik berupa hybrid genome yang merupakan kombinasi dari materi genetik kedua sel. Pada sebuah eksperimen, Harris menggabungkan materi genetik sel kanker dengan sel normal. Hasilnya, berbeda dengan ekspektasi banyak pihak, sel hibrid tersebut lebih sering tidak menunjukkan fenotipe tumor. Hal ini mengindikasikan bahwa gen yang dimiliki oleh sel normal mendominasi luaran fenotipe daripada gen yang dibawa oleh sel kanker. Dengan kata lain, terdapat gen-gen penghambat patogenesis kanker yang bersifat dominan dibanding onkogen. Gen-gen baru ini kemudian dikenal sebagai tumor supressor gene (TSGs).1-3 Alel-alel TSG yang terinaktivasi (null mutation) dapat ditemukan secara konstan pada sel-sel yang menunjukkan fenotipe kanker. Sebaliknya, alel onkogen yang mengalami hiperaktivasi dapat ditemukan pada sel-sel tumor.Selain penelitian tersebut, investigasi yang dilakukan oleh Alfred Knudson pada patogenesis retinoblastoma juga membawa kemajuan besar bagi pemahaman patogenesis tumor. Knudson mendapatkan banyak informasi setelah membandingkan dua bentuk retinobalstoma, retinoblastoma sporadis, yang nampaknya muncul akibat mutasi somatik acak, dan retinoblastoma familial yang muncul akibat adanya penurunan gen mutan dari parental.3 Setelah melaukan analisis kinetik onset retinoblastoma, Knudson kemudian menemukan bahwa pada retinoblastoma sporadis, sel-sel di retina harus mengalami dua mutasi somatik. Di sisi lain, pada retinoblastoma familial, sebuah sel hanya perlu mendapatkan satu mutasi somatik untuk bertransformasi menjadi ganas.3 Knudson kemudian berspekulasi bahwa pada retinoblastoma familial gen pertama diturunkan oleh orangtuanya dalam bentuk mutan. Di kemudian hari, analisis kariotipik pada pasien retinoblastoma menunjukkan bahwa terdapat delesi interstisial pada pita q14 pada kromosom 13 yang mengakibatkan hilangnya sebuah gen. Gen yang hilang tersebut kemudian diberi nama gen Rb. Investigasi lanjutan pada gen tersebut kemudian menemukan bahwa gen Rb mutan memiliki sifat resesif. Artinya, ledakan proliferasi sel hanya terjadi setelah kedua alel gen Rb bermutasi. Penemuan gen Rb ini dikemudian hari menjadi acuan dalam upaya pencarian gen TSG lain antara lain gen Apc yang bentuk mutannya merupakan faktor predisposisi kanker kolon dan gen TP53 yang bentuk mutannya merupakan faktor predisposisi berbagai jenis kanker.3,4

Gambar 1. Aspek genetik perkembangan retinoblastoma1Meski keberadaan TSG telah teridentifikasi, masih terdapat sebuah pertanyaan yang belum terjawab. Pada kasus retinoblastoma, penurunan sebuah alel gen Rb mutan dapat meningkatkan resiko retinoblastoma hingga 90%. Tidak diketahui bagaimana sebuah alel mutan resesif dapat mempengaruhi fenotipe sebuah sel dengan sangat dominan.1 Penelitian-penelitian berikutnya kemudian menemukan bahwa alel kromosom yang memiliki gen TSG inaktif dapat memicu inaktivasi gen TSG aktif pada alel antar kromosom homolog. Pertukaran materi genetik inilah yang pada akhirnya memicu loss of heterozigosity (LOH) yang dapat berakhir pada kemunculan fenotipe kanker.

Gambar 2. Rekombinasi genetik yang dapat mengakibatkan LOH3Kemajuan dalam identifikasi berbagai gen TSG ternyata juga mendorong pemahaman yang lebih mendalam bagaimana onkogen yang dibawa oleh virus dapat memicu kemunculan kanker. Pada akhir tahun 1980an, telah diketahui bahwa berbagai onkoprotein berikatan dengan produk-produk gen TSG yang paling penting, yaitu pRB dan p53. Sebagai contoh, onkoprotein T yang dimiliki oleh SV40 diketahui berikatan dengan dan mengganggu ekspresi protein p53 dan pRB. Sementara itu protein E6 dan E7 pada human papilloma virus berturut-turut juga memiliki kemampuan untuk mematikan aktivitas protein p53 dan pRB.B. Mekanisme Epigenetik Pemicu Kanker

Patogenesis kanker ditandai oleh adanya kelainan gen dan fungsi gen. Meski demikian, kelainan gen tersebut tidak harus terjadi melalui perubahan genetik. Salah satu mekanisme yang telah diketahui dapat memicu patogenesis kanker adalah adanya metilasi gen-gen tertentu yang dapat berakibat pada deregulasi ekspresi protein tertentu yang dapat berakibat pada kanker.4 Dalam keadaan fisiologis, di dalam sel terdapat protein DNA methylase yang bertugas menambahkan gugus metil pada residu sistein pada sekuens dinukleotida CpG (C-phospate-G). Metilasi semacam ini pada akhirnya akan mematikan ekspresi gen-gen disekitarnya.5 Adanya kelainan DNA methylase ini pada faktanya mengakibatkan inaktivasi gen dengan probabilitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan mutasi somatik acak. Karena itulah inaktivasi TSG lebih sering terjadi akibat metilasi DNA dibanding akibat mutasi somatik acak.4-5C. Mekanisme Proliferasi Imortal Sel KankerSalah satu fenotipe paling menarik yang dimiliki oleh sel kanker adalah kemampuan proliferasinya yang tidak terbatas. Sel-sel dengan kemampuan ini, termasuk sel kanker, seringkali disebut dengan sel-sel imortal.1 Dalam kondisi fisiologis setiap sel memiliki batasan jumlah tertentu untuk berproliferasi, yang dikenal sebagai Hayflick limit. Dapat dikatakan, sel memiliki mekanisme internal yang mencatat berapa banyak proliferasi telah dilakukan. Seiring dengan banyaknya proliferasi yang dilakukan, sel-sel tersebut akan mulai menua dan memasuki fase krisis sebelum akhirnya mati.

Keberadaan Hayflick limit ini merupakan sebuah batasan yang harus dilampaui oleh sebuah sel untuk membentuk tumor dengan ukuran makroskopik. Sejauh ini telah diketahui bahwa mekanisme internal sel yang mencatat adanya penuaan pada sel pada prinsipnya berupa bagian ujung materi genetik, yang dikenal sebagai telomer, yang memendek setiap kali proliferasi berlangsung. Ketika mencapai Hayflick limit, telomer telah habis dan tidak dapat memendek lebih jauh lagi.5Sel-sel kanker ternyata memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim yang dapat bekerja memperpanjang telomer setiap proliferasi berlangsung. Akibatnya, telomer pada sel kanker tidak memendek meskipun sel kanker melakukan proliferasi berkali-kali. Hal inilah yang menyebabkan sel kanker memiliki kemampuan berproliferasi tanpa batas. Peningkatan ekspresi protein telomerase dapat ditemukan pada kurang lebih 90% tumor. Disamping itu, jumlah telomerase dalam sel-sel normal biasanya sangat rendah, bahkan tidak terdeteksi.4,5

Gambar 3. Mekanisme kerja telomerase Daftar Pustaka

1. Weinberg RA. Cancer: a Genetic Disorder. Dalam: Molekular Basis of Cancer. Edisi ke 3. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.2. Croce CM. Oncogenes and cancer. N Engl J Med. 2008; 358(5): 50211.3. Knudson AG. Two genetic hits (more or less) to cancer. Nature Reviews Cancer. 2001; 1(2): 15762.

4. Baylin SB, Ohm JE. Epigenetic gene silencing in cancer - a mechanism for early oncogenic pathway addiction?. Nature Reviews Cancer. 2006; 6(2): 10716.

5. Jacinto FV, Esteller M. Mutator pathways unleashed by epigenetic silencing in human cancer. Mutagenesis. 2007; 22(4): 24753.

7