lp icp

26
LAPORAN PENDAHULUAN MONITORING ICP Nama :Reni Nurhidayah Ruang : R.13 NIM : 0810720057 Tanggal Praktik : 25-30 Maret 2013 A. Anatomi Fisiologi Cerebral Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : 1. Dura mater Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri- arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

Upload: addiarto

Post on 01-Dec-2015

72 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

LP

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN

MONITORING ICP

Nama :Reni Nurhidayah Ruang : R.13

NIM : 0810720057 Tanggal Praktik : 25-30 Maret 2013

A. Anatomi Fisiologi Cerebral

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

1. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan

lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan

ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak

melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial

(ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering

dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang

berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau

disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan

subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan

sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan

hebat.

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium

(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi

pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering

mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis

(fosa media).

2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang

meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut

spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh

liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat

cedera kepala.

3. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk

kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh pia mater.

Gambar 1. Lapisan Meningen

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar

14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari

serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak

belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan

fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan

dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori

tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan

pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan

kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum

bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 2. Anatomi Otak

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan

produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen

monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan

direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada

sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid

sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial.

Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan

dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

B. Definisi ICP

Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan

biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler, 2006).

Peningkatan tekanan intra kranial (TIK) akan menurunkan perfusi serebral dan

menyebabkan komplikasi iskemia sekunder. Selain mempengaruhi Cerebral Perfusion

Pressure (CPP), peningkatan tekanan intra kranial dapat menyebabkan terjadinya herniasi.

Meskipum batasan yang pasti tidak ditemukan, tetapi peningkatan TIK > 30 mmHg

berkaitan dengan peningkatan resiko herniasi trantentorial atau herniasi batang otak. Maka

monitoring dengan pengukuran dan penanganan TIK adalah hal yang penting. Banyak

Faktor yang dapat mempengaruhi tekanan intra kranial diantaranya : peningkatan volume

jaringan didalammnya, peningkatan aliran darah ke otak, kelainan dari aliran cairan, dan

penambahan efek massa.

C. Faktor Yang Mempengaruhi TIK

Orang dewasa normal menghasilkan sekitar 500 mL cairan serebrospinal (CSF)

dalam waktu 24 jam. Setiap saat, kira-kira 150 mL ada di dalam ruang intrakranial. Ruang

intradural terdiri dari ruang intraspinal ditambah ruang intrakranial. Total volume ruang ini

pada orang dewasa sekitar  1700 mL, dimana sekitar 8% adalah cairan serebrospinal,

12% volume darah, dan 80% jaringan otak dan medulla spinalis. Karena kantung dura

tulang belakang tidak selalu penuh tegang, maka beberapa peningkatan volume ruang

intradural dapat dicapai dengan kompresi terhadap pembuluh darah epidural tulang

belakang . Setelah kantung dural sepenuhnya tegang, apapun penambahan volume

selanjutnya akan meningkatkan salah satu komponen ruang intrakranial yang harus

diimbangi dengan penurunan volume salah satu komponen yang lain.  Konsep ini dikenal

dengan fisiologi otak  dari doktrin Monro-Kellie.

Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika terdapat

penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian yang memilik

kapasitas dalam mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus

venosus dan terjadi perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di

atas sudah maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada

kompartemen (seperti pada massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan

intracranial (ICP/TIK).

 V CSF + V darah+ Votak = V konstan

Gambar 3. Mekanisme Pengaturan Kompensasi Cerebral

Jadi dengan peningkatan patologis pada satu komponen, sedikitnya salah satu dari

yang lain harus turun untuk menjaga volume konstan. Jika komponen yang

mengakomodasi penurunan volume sama dengan volume yang ditambah, maka tekanan

tidak berubah Yang paling efektif dan yang merupakan kompensasi awal adalah

perpindahan CSF dari ruang kranial ke dalam ruang spinal (terjadi kompresi vena

epidural), diikuti oleh reabsorpsi CSF di vili arakhnoid (proses kompensasi ini tidak

cepat). Saat ICP naik, tingkat produksi CSF mulai menurun,sehingga ikut membantu

kompensasi. Kompensasi utama kedua adalah perpindahan volume darah intrakranial

ke sinus-sinus vena. Kompensasi terakhir, otak itu sendiri dapat dikompresi untuk

mengkompensasi peningkatan volume. Hal ini ditunjukkan pada kasus hidrosefalus akut, di

mana otak dikompresi oleh CSF yang menyebabkan pembesaran ventrikel, atau pada

kasus hematoma epidural akut, ketika otak secara akut dikompresi dan terdistorsi oleh

massa hematoma.

Gambar 4. Hubungan antara penambahan isi dalam kepala dan tekanan di

dalamnya

D. Etiologi Peningkatan TIK

Kenaikan tekanan intra kranial dapat diakibatkan berbagai sebab, diantaranya :

Tabel1. Penyebab Peningkatan Tekanan Intrakranial

Penyebab Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Intrakranial (primer) Tumor, Trauma (SDH,EDH,kontusio)

Perdarahan intraserebral non trauma

Stroke iskhemik, hidrosephalus

Idiopatik/benigna hipertensi intracranial

Lain-lain ( pseudomotor,

pneumoencehpalus, abses)

Ekstrakranial

(sekunder)Obstruksi airway, hipoksia, hiperkarbia

Hipertensi, batuk, nyeri, hipotensi

Postur tubuh, hiperpireksia, kejang, obat-

obatan

Pasca operasi Mass lesion (hematoma, edema)

Vasodilatasi, gangguan aliran LCS

E. Proses Terjadinya Peningkatan TIK

Nilai normal TIK masih ada perbedaan diantara beberapa penulis, dan bervariasi

sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg masih dianggap normal untuk bayi, nilai kurang

dari 15 mmHg masih dianggap normal untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari

20 mmHg dan sudah menetap dalam waktu lebih dari 20 menuit dikatakan sebagai

hipertensi intra cranial. Tekanan intra kranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral

(CPP / Cerebral perfusion pressure). CPP dapat dihitung sebagai selisih selisih antara

rerata tekanan arterial (MAP) dan tekanan intracranial (ICP/TIK).

CPP = MAP – ICP atau MAP –JVP

JVP = tekanan vena jugularis. Ini dipakai ketika cranium sedang terbuka (saat

operasi) dan ICP-nya nol. Jadi perubahan pada tekanan intra cranial akan mempengaruhi

tekanan perfusi cerebral, dimana ini akan berakibat terjadinya iskemia otak. Pada pasien

dengan cedera medulla spinalis, tekanan perfusi pada medulla spinalis dapat dihitung

dengan selisih antara MAP dan tekanan LCS. Meskipun sebagian besar pasien cedera

medulla spinalis menunjukkan gambaran lesi komplit, gangguan anatomi jarang

ditemukan, dan menjaga perfusi tetap adekuat adalah penting untuk mempertahankan

fungsi medulla spinalis pada daerah proksimal dari tempat cederanya.

Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan

cepat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini

dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari ronga tengkorak ke

kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena

berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal

dengan complience. Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus

meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah tekanan tinggi

intrakranial.

Pendapat lain dikatakan bahwa komplians intrakranial ditentukan dengan

pengukuran perubahan TIK terhadap respon perubahan volume intrakranial. Normalnya,

peningkatan volume pada awalnya terkompensasi baik. Sebuah batas secepatnya

tercapai, namun, peningkatan yang berlanjut menyebabkan peningkatan TIK. Mekanisme

kompensasi mayor yaitu (1) perpindahan awal CSS dari kranial ke kompartemen spinal, (2)

peningkatan absorpsi CSS, (3) penurunan produksi CSS, (4) penurunan volume darah

serebral total (terutama vena).

Gambar 5. Proses Kompensasi Terhadap Peningkatan TIK

gambar 6. Patofisiologi Peningkatan TIK

F. Manifestasi Klinik Peningkatan TIK

Kenaikan tekanan intra cranial sering memberikan gejala klinis yang dapat dilihat

seperti :

a. Nyeri Kepala

Nyeri kepala terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering pada

anak-anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena

selama tidur PCO2 arteri serebral meningkat sehingga mengakibatkan

peningkatan dari serebral blood flow dan dengan demikian mempertinggi lagi

tekanan intrakranial. Juga lonjakan tekanan intrakranial sejenak karena batuk,

mengejan atau berbangkis akan memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang

dari 10-12 tahun, nyeri kepala dapat hilang sementara .

b. Muntah

Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan biasanya

disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat penekanan di fossa

posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau tidak dan sering tidak

disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang untuk sementara waktu.

c. Kejang

Kejang umum/fokal merupakan gejala permulaan pada lesi supratentorial pada

anak sebanyak 15%.

d. Papil edema

Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi intrakranial.

Karena tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan oklusi vena sentralis

retina, sehingga terjadilah edem papil.

e. Penurunan Kesadaran (GCS)

f. Gejala lain yang ditemukan:

False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral, respons ekstensor

yang bilateral, kelainann mental dan gangguan endokrin

G. Indikasi, Kontraindikasi Monitoring TIK

Pada umumnya, monitoring TIK diindikasikan pada semua pasien yang koma

dengan cedera kepala , dan pada pasien dengan penurunan status neurologi dengan CT-

Scan abnormal. Seperti yang telah disebutkan di atas, banyak pertimbangan

dibutuhkannya monitoring TIK pada pasien cedera kepala sedang yang membutuhkan

perpanjangan prosedur operasi di bawah pengaruh general anestesi. Sebagai tambahan,

beberapa senter melakukan monitoring TIK post-operasi secara rutin mengikuti prosedur

major neurosurgical. Satu-satunya kontraindikasi monitoring TIK adalah adanya

koagulopati yang tidak terkoreksi. Terlepas dari alat monitoring ICP, terkait dengan jumlah

alat maka pemeriksaan neurologis jangan pernah digantikan, bahkan ketika pemeriksaan

tersebut terbatas akibat sesuatu misalnya koma atau sedasi.

Tabel 2 : Indikasi monitoring tekanan intracranial

Indikasi Kriteria dan Rasio

Trauma GCS </= 8

Tidak mampu mengikuti pemeriksaan neurologis atau

memerlukan sedasi atau anestesi

Perdarahan

intracranial

Ketika terjadi ekspansi perdarahan akan menyababkan

intervensi pembedahan, monitoring dapat menyediakan

informasi segera.

Maanjemen ICP secara umum

Neoplasma

intracranial

Pasien yang terjadi edema otak selama operasi reseksi

atau penutupan, monitoring dapat berguna pada periode

perioperatif

Paska operasi AVM Reseksi AVM menyebabkan redistribusi aliran darah dan

sering edema paska operasi membutuhkan pemulihan

yang bertahan dari anestesi dan sering sedasi paska

operasi

Tabel 3: Kontraindikasi Monitoring Tekanan Intrakranial

Kontraindikasi rasio/komentar

Koagulopati kateter ventrikuler dihindarkan paa kasus

trombositopenia (platelet < 100.0000) atau INR > 1,2.

tehnik monitoring lain mempunyai resiko lebih kecil tapi

pasien sebaiknya dikoreksi koagulopatinya lebih dulu

sebelum pemasangan monitor

Immunosupresi pasien dengan gangguan status imunologi punya resiko

lebih tinggi untuk terjadinya infeksi sehingga merupakan

kontraindikasi relatif

gambaran klinis yang

tidak relevan

seharusnya tidak digunakan pada pasien dengan

prognosis tidak dapat bertahan (nonsurvivable)

H. Metode Invasif Monitoring TIK

Monitoring dan pengobatan agresif pada peningkatan TIK dapat meminimalis

iskemik sekunder dan meningkatkan outcome. Sehingga, penggunaan peralatan

intrakranial untuk pengukuran TIK secara kontinyu menjadi praktek standar dalam

merawat pasien neurologi yang mempunyai masalah dengan peningkatan TIK.

Peralatan ini meliputi kateter intraventrikuler, subarachnoid bolt, epidural systems dan

peralatan fiberoptic intraparenchymal. Kateter ventrikulostomi umumnya dijadikan gold

standard untuk monitoring ICP. Kateter jenis ini mempunyai kelebihan tambahan yaitu

dapat menjadi drainage CSF untuk menurunkan ICP.

Gambar 7. Metode monitoring TIK

1. Ventrikulostomi

Kateter intraventrikel yang selain digunakan untuk monitoring ICP juga

berfungsi untuk terapi drainase CSF. Kateter intraventrikel merupakan metode

standar emas monitoring ICP. Digunakan pertama kali tahun 1960. Sebuah kateter

plastic dimasukkan ke ventrikel lateral dan dihubungkan dengan tranduser eksternal.

Kateter intraventrikel mengukur ICP dan juga sebagai terapi drainase CSF. Hal ini

direkomendasikan sebagai monitor awal, setelah terjadi trauma pada pasien untuk

mengantisipasi peningkatan ICP. Pada kondisi trauma, ukuran ventrikel sering

mengecil berbanding terbalik degan peningkatan ICP, menyebabkan insersi kateter

ventrikel secara blind lebih sulit. Bila ventrikel tidak dapat dikanulasi pada usaha

yang ketiga maka tehnik alternative monitoring ICP harus dicoba untuk mengurangi

terjadinya komplikasi terkasit percobaan pemasangan berulang.

Gambar 8. Kateter Ventrikel

Potensi masalah akibat ventrikulostomi adalah sumbatan,salah meletakkan

kateter ke dalam struktur yang menyebabkan kerusakan jaringan otak, hematoma

intraserebral, perdarahan intraentrikuler, dan infeksi. Robabilitas akan tersumbatnya

kateter ventrikel meningat bila kateter tersebut dibiarkan terbuka saat ventrikel

dalam kondisi sedang kolaps. Pada kondisi ini tidak dapat digunakan untuk

memonitor ICP ketika ventrikulostomi dibiarkan terbuka yang saat itu berfungsi

sebagai drain. Pada kondisi trauma kami merekomendasikan satu sampai dua menit

untuk mendrainase ketika ICP > 20 mmHg, kemudian kateter diklemp lagi bila sudah

tidak digunakan sebagai drain. Hal ini memunkinkan CSF membentuk ventrikel serta

dapat mengukur ICP.

2. Baut Richmond

Baut Richmond (subdural-subarakhnoid) biasanya terdiri atas sekrup

berongga yang ujungnya melewati dura dan masuk 1-2 mm dibawah lapisan dalam

tengkorak dan menempati/menempel pada arakhnoid yang menutupi permukaan

otak. Jika baut terletak terlalu superficial, maak ada resiko salah posisi/longgar dan

kehilangan tekanan. Tetapi bila terlalu dalam maka permuakan otak dapat

penetrasimenuju kea rah herniasi masuk ke dalam sekrup berongga dan menyumbat

proses sistem.

Gambar 9. Baut Richmoid

Keuntungan baut Richmond adalah kemudahan insersi dan penetrasi yang

sedikit terhadap jaringan otak. Tetapi dilain sisi, baut Richmond tidak bias digunakan

untuk menurunkan ICP dengan cara drainase, dapat menyebabkan infeksi,

perdarqahan epidural, dan kejang fokal. Selain itu dapat terjadi penumbatan pada

tubingnya, sehingga rekaman yang diperoleh berkurang atau hilang. Memang salah

satu kelemahan baut Richmond adalah mudahnya tersumbat oleh debris luka, darah

dan atau dura.

3. Monitor Tekanan Intrakranial Epidural

Dua tipe monitor ICP epidural telah dikembangkan. Satu menggunakan

sensivitas tekanan membran yang kontak dengan dura, sedang yang satu lagi

menggunakan sensivitas perubahan tekanan udara yang merubah bentuk dura.

Meskipun resiko infeksi otak lebih rendah karenapenempatannya di ekstradura, akan

tetapi ada beberapa kerugian termasuk kesulitan tehnik, perdarahan, kalibrasi yang

sulit setelah penempatan baut, dan ketidakmampuan untuk drainase CSF untuk

terapi.

4. Monitor Tekanan Intrakranial Intraparenkim

Alat intraparenkim misalnya monitor ICP Camino ( Camino Laboratories, San

Diego, California USA) menggunakan kateter yang dimasukkan kedalam substansia

grissea sehinga dapat mengukur secara langsung tekanan jaringan otak.

Sebagai perbandingan terhadap ventrikulostomi, monitor Camino lebih

mudah dimasukkan dan probe intraparenkim mempunyai ukuran diameter lebih kecil,

sehingga kerusakan neulorogis jarang terjadi. Keuntungan alat ini adalah infeksi

minimal dan kebocoran serta sumbatan kateter tidak terjadi. Sebagai tambahan,

kesalahan akibat salah posisi tranduser juga minimal. Kerugian utama alat ini adalah

tidak dapat dikalibrasi ulang setelah alat ini dimasukkan, kemungkinan bergeser

juga ada yang mengharuskan penggantian probe fiber optik dalam kondisi steril.

Keterbatasan yang bermakna dari alat ini adalah tidak mampu digunakan sebagai

terapi drainase CSF.

Pada kondisi trauma, ketika ICP meningkat dan ventikel terdesak, hanya

sebagian kecil jalan keluar CSF yang terlihat selama penempatan ventrikulostomi.

Hal ini terjadi pada ventrikel sekitar kateter kolaps, dan bila tidak dikenali lagi, kateter

mungkin saja tertarik. Bila terjadi maka tidak mungkin dilakukan rekanulasi ventrikel.

Pada kondisi ini kateter dibiarkan ditempat dan monitor kedua misalnya Camino

harus ditempatkan untuk memantau ICP. Ketika kateter itraventrikuler mulai

mendrainase CSF yang bertumpuk dalam ventrikel, salah satu dari dua monitor

tersebut dapat ditarik tergantng pada situasi klinis.9

gambar 10. monitor Intraparenkim otak

Bentuk gelombang Tekanan Intrakranial

Bentuk gelombang ICP yang normal adalah pulsatil dan sejalan dengan

irama jantung. Tetapi nilai dasar akan naik turun sesuai dengan siklus pernapasan

(seperti yang terjadi pada semua bentuk gelombang yang fisiologis). Fluktuasi

normal gelombang ICP dikarakteristikan mempunyai tiga puncak tekanan. Yang

pertama, merupaakn puncak paling tinggi (P1) terjadi akibat pulsasi arteri yang

ditransmisikan menuju parenkim otak dan CSF. Puncak yang kedua (P2)

diterjemahkan sebagai gelombang tidal atau rebound dan komplien reflek

intrakranial. Puncak ketiga (P3) yang hamper selalu lebih rendah dari P2, dan

disebut gelombang dikrotik mewakili pulsasi vena yang ditransmisikan menuju otak.

Pada kondisi komplien otak normal besarnya gelombang adalah kecil, sedangkan

pada otak yang ketat, perubahan tekanan yang diikuti dengan perubahan volume

adalah besar. Selain mempunyai karakter tiga puncak, gelombang ICP yang terjadi

sesuai siklus jantung, perubahan tambahan pada semua nilai dasar yang terjadi

akan mengubah komplien intrakranial. Lebih lanjut lagi, perubahan dasar terkait

ventilasi adalah sebagai berikut: pada napas spontan, inhalasi menurunkan tekanan

intrathorakal dan menaikkan drainase vena (menurunkan ICP). Dimana ekshalasi

menyebabkan penurunan outflow vena dari cranium sehingga ICP meningkat.

Sebaliknya akan terjadi bila digunakan ventilasi tekanan positif. Bila ICP meningkat

dan komplien serebral menurun (dengan berbagai penyebab), komponen vena

menghilang dan pulsasi arteri menjadi lebih jelas.

Pada tahun 1960, lundberg melaporkan hasil monitoring ICP secara langsung

dengan menggunakan ventrilkulotomi pada 143 pasien. Dia menyebutkan

patofisiologi dan tanda klinis yang bermakna dari tiga gelomang patologis ICP yang

ditandai dengan gelombang A, gelombang B, dan gelombang C.

Gelombang Lundberg A, juga dikenal dengan gelombang plateu dicirikan

dengan elevasi tajam ICP samapi >50 mmHg, setidaknya untuk 2 menit dampai 20

menit diikuti penurunan mendadak ke level ICP awal. Biasanya nilai dasar baru

akabn sedikit lebih tinggi setelah timbul gelombang A. Gelombang A ini akan muncul

lagi dengan meningkatkan frekuensi, durasi, dan amplitude dan sering terjadi pada

peningkatan simultan dari tekanan arteri rerata. Lundberg mengenali gelombang ini

sebagai pertanda ICP tidak terkontrol, yang mungkin dihasilkan dari sebuah

kelelahan kapasitas buffering dan komplien intracranial.

Gelombang Lundberg B juga dikenal pulsasi tekanan, dicirikan dengan

peningkatan ICP 10 sampai 20 mmdalam waktu 30 detik sampai 2 menit.

Gelombang ini bervariasi sesuai tipe periode napas dan lebih sering terlihat pada

kondisi peningkatan ICP dan penurunan komplien intracranial. Sebagai catatan

bahwa hubunan ini tidak semuanya konsisten dan mewakili temuan kualitatif selama

peningkatan ICP.

Gelombang Lundberg C, merefleksikan gelombang arteri Traube-Hering yang

ditandai peningkatan ICP berbagai variasi dengan frekuensi empat sampai delapan

kali per menit. Gelombang ini mungkin saja mewakili status preterminal dan kadang

terlihat pada puncak gelombang plateu. Sama seperti gelombang B, mereka bersifat

sugesti tapi bukan patognominis akan peningkatan ICP.

Akhir-akhir ini ditekankan pada pengenalan dini serta pengobatan yang

berhasil akan peningkatan ICP. Oleh karena itu, gelombang patologis Lundberg (A,

B, C) jarang terlihat. Namun ketika mereka terlihat pada pasien yang telah

diintervensi terapeutik, maka mereka diramalkan mempunyai outcome yang buruk.9

I. Metode Non Invasif Monitoring TIK

Penurunan status neurologi klinis dipertimbangkan sebagai tanda peningkatan TIK,

Bradikardi, peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi pupil normalnya dianggap tanda

peningkatan TIK.

Transkranial dopler, pemindahan membran timpani, teknik ultrasound “time of

flight” sedang dianjurkan. Beberapa peralatan digunakan untuk mengukur TIK melalui

fontanel terbuka. Sistem serat optik digunakan ekstra kutaneus.

Dengan manual merasakan pada tepi kraniotomi atau defek tengkorak jika ada

fraktur.

J. Komplikasi Monitoring TIK

Table 4: Komplikasi monitoring tekanan intracranial

Komplikasi Rasio/komentar

Infeksi Penempatan monitor ICP dapat menyebabkan luka

infeksi local, meningitis, ventrikulitis, dan abses otak.

resiko meningitis dan ventrikulitis lebih besar pada

kateter ventrikuler.

masih belum jelas diketahui bila pemasangan ulang

rutin dilakukan

Perdarahan komplikasi penempatan monitor dengan morbiditas

terbanyak.

dapat diakibatkan trauma langsung (intraserebral atau

intraventrikuler) atau overdrainase CSF (subdural)

resiko paling besar pada kateter ventrikuler (1/70-100)

salah pengukuran bila alat tidak terpasang dan terkalibrasi dengan akurat,

maka kessalahan pengukuran dapat menyebabkan

intervensi dan terapi yang tidak tepat.

K. Manajemen Peningkatan TIK

Tabel 5 : Penanganan Konvensional Peningkatan TIK

Penanganan konvensional

1. Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena

2. Peningkatan MAP (jika perlu)

3. Pa CO2 30−35 mmHg, atau 25−30 mmHg jika terdapat tanda-tanda herniasi

4. Manitol 0,5−1,0 g/kg tiap 6 jam (jika perlu) dan furosemide 20 mg (jika

perlu). Pertahankan osmolalitas serum <320.

5. Mempertahankan kondisi hipovolemia, awasi CVP jika memungkinkan.

6. Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan.

7. Pamberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine dan/atau propofol

8. Penyesuaian kadar PEEP, jika memungkinkan

9. Mempertahankan normovolemia.

Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan penanganan

konvensional)

1. Induksi hipotermi pada 33-34 °C

2. Supresi EEG maksimal dengan induksi koma propofol atau barbiturate

3. Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg (monitor SjvO2 atau PbrO2)

4. Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50 ml/jam); monitor

kadar natrium serum

Penanganan ekstrim

1. Kraniektomi dekompresi

2. Eksisi jaringan infark ± lobektomi

Penurunan Volume Darah Serebral

Elevasi Kepala

Elevasi kepala pada tempat tidur dengan membentuk sudut 20−30°

menurunkan ICP dengan mengoptimalkan aliran balik vena (venous return). Akan

tetapi, pada pasien hipovolemik, elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan dari

CPP. Jika keadaan normovolemi dipertahankan, elevasi sampai 30° telah terbukti

menurunkan TIK tanpa mempengaruhi CPP atau CBF pada pasien cedera kepala.

Perawatan seharusnya dilakukan untuk mencegah obstruksi pada venous

return serebral dengan cervical collars atau memasang endotrakeal tube (ET) dan

menjaga kepala tetap berada pada posisi netral. Pada pasien dengan autoregulasi

serebralnya terjaga (stabil), peningkatan MAP akan menyebabkan vasokonstriksi

kompensatorik dengan disertai penurunan ICP.

Hiperventilasi

Karena sensitivitas yang tinggi dari CBF terhadap PaCO2, hiperventilasi

dapat menurunkan CBF dan disertai penurunan volume darah serebral (CBV),

menyebabkan penurunan mendadak (akut) dari TIK. Meskipun penurunan mendadak

TIK dan perbaikan CPP secara teoritis diharapkan, dan hiperventilasi telah dipakai

sejak dahulu sebagai modalitas terapi, tetapi pada beberapa tahun terakhir ini

kekhawatiran akan terjadinya iskemik serebral telah berkurang dengan penggunaan

metode ini. Penelitian tentang CBF telah menunjukkan bahwa meskipun

“hiperventilasi sedang” dapat meningkat pada regio otak dengan CBF dibawah

ambang batas iskemik. Penurunan konsentrasi oksigen vena jugularis (SjvO2) dan

jaringan otak PO2 (PbrO2) yang telah berulang kali dibuktikan pada penelitian

terhadap pasien dengan cedera kepala.

Kenaikan Tekanan Darah

Pada pasien dengan autoregulasi yang intak dan penurunan compliance

intrakranial, penurunan tekanan darah sistemik akan menyebabkan vasodilatasi

kompensatorik dan peningkatan CBV. Hal ini akan semakin menurunkan CPP,

dengan efek “spiraling downhill” dan penurunan progresif perfusi serebral. Hal

sebaliknya, pasien dengan autoregulasi serebral yang terganggu dapat menunjukkan

peningkatan TIK dengan peningkatan tekanan darah. Karena itulah tidak mungkin

memprediksi ada atau tidaknya autoregulasi, tetapi penting untuk mendapat

gambaran tentang respon TIK.

Reduksi Massa pada Otak

Karena adaya sawar darah otak (blood-brain barrier), yang relatif impermiabel

terhadap ion natrium dan klorida, perpindahan air keluar dan masuk sel otak

terutama tergantung pada gradien osmotik. Obat diuretik osmotik yang efektif dipakai

untuk mengatasi peningkatan TIK adalah manitol 20%. Diberikan bolus 0,5-1.0 g/kg,

bekerja dengan onset yang cepat, tetapi puncaknya didapat dalam 30 menit dan

berakhir setelah 90 menit. Sedangkan diuretik ‘loop’ yaitu furosemide akan

meningkatkan kerja manitol, juga dapat memberikan efek langsung menurunkan TIK

dan sering digunakan sebagai terapi adjuvant (tambahan). Efek manitol terhadap

hemodinamik adalah kompleks dengan mereduksi resistensi vaskuler sistemik, lalu

diikuti dengan ekspansi volume intravaskuler yang dapat disertai hipertensi sistemik.

Pasien dengan fungsi jantung yang jelek dapat terjadi edema pulmo akut pada

pemberian infus manitol. Dengan onset diuresis, penyusutan volume intravaskuler

yang terjadi akan meyebabkan hipotensi jika pemberian cairan penggantinya tidak

adekuat. Komplikasi dari terapi manitol adalah overload cairan, dehidrasi dan gagal

ginjal.

Reduksi Volume LCS

Dua puluh lima persen pasien dengan perdarahan subaraknoid yang berasal

dari rupture aneurisma akan berkembang menjadi hidrosefalus akut dengan

peningkatan TIK. Insersi ventrikulostomi dengan drainase kontrol LCS merupakan

terapi efektif peningkatan TIK. Beberapa pasien ini terkadang membutuhkan shunt

ventrikulo-peritoneal (VP-shunt). Pemasangan drainase pada daerah subaraknoid

lumbal juga dapat menurunkan LCS, tetapi dapat meningkatkan resiko herniasi otak.

Hal ini kurang berguna pada pasien cedera kepala, karena ventrikel sering tertekan

sehingga membuat drainase sulit masuk ke ventrikel dan menjadi kurang efektif.

Sedasi dan Paralisis

Sedasi yang adekuat adalah penting bagi semua pasien dengan peningkatan

TIK untuk mengurangi agitasi (kondisi gelisah) dan gerakan-gerakan pasien serta

untuk mempermudah toleransi terhadap ET (endotrakeal tube). Batuk atau sumbatan

pada ET atau selama trakeobronkial suction dapat meningkatkan TIK. Paralisis

neuromuskular secara efektif dapat dicegah dengan cara pemberian obat ini tetapi ini

dapat menghambat pemeriksaan neurologik yang dilakukan untuk memonitor kondisi

pasien. Sebagai tambahan, blokade farmakologi yang dilakukan terus menerus

dapat menyebabkan miopati dan paralisis persisten. Pemberian obat penghambat

neuromuscular (NBMs) hanya dipakai pada pasien yang mendapat sedasi adekuat

dengan tujuan untuk mencegah paralisis saat pasien yang sadar. Dosis intermiten

dan pemberian secara periodik, disertai dengan monitoring seksama terhadap

derajat blokade neuromuskuler, sebaiknya dilakukan untuk memungkinkan penilaian

neurologic secara teratur.

Pelumpuh otot non depolarisasi pankuronium dan vekuronium tidak

mempengaruhi juga ADO, laju metabolism terhadap oksigen dan tekanan tekanan

intracranial. Pankuronium meningkatkan laju nadi dan tekanan darah sehingga tidak

menguntungkan pada hipertensi cranial, sebaliknya vekuronium tidak menyebabkan

histamine release, tidak menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan darah.

Sedang atracurarium mempunyai efek ADO, CMRO2, TIK dan hasil metabolismenya

laudanosine akan melewati sawar otak dan dapat menyebabkan kejang.

Propofol

Obat sedasi yang menurunkan TIK melalui efek terhadap metabolisme

serebral dan CBF seperti pada sebagian besar obat anestesi intravena lainnya

kecuali ketamine. Semuanya memiliki efek depresan susunan saraf pusat,

menyebabkan dosis ini berkaitan dengan penurunan tingkat kesadaran dan tingkat

metabolisme.

Kraniektomi Dekompresi

Kraniektomi dekompresi (decompressive craniectomy) diindikasikan untuk

pasien yang mempunyai peningkatan TIK dan sulit disembuhkan dengan pengobatan

medikal. Pada pasien dengan pembengkakan unilateral yang mengikuti evakuasi

hematoma atau reseksi tumor, hemikraniektomi atau pemindahan sejumlah besar

flap cranial dengan penambalan duramater, telah sukses menurunkan ICP. Pada

pasien dengan edema cerebral pada kedua himisfer, mungkin memerlukan bilateral

kraniektomi. Jarang sekali, pengangkatan jaringan yang telah rusak atau lobektomi

mungkin dilakukan sebagai usaha akhir untuk mengurangi isi intrakranial pada

kebanyakan kasus berat hipertensi intrakranial. Prosedur ini tampak efektif untuk

trauma cedera kepala, sebaik untuk pembengkakan sekunder pada stroke atau

subarachnoid hemoragik. Sebuah percobaan multicenter dalam rangka menilai

keuntungan kraniektomi dekompresi sebagai pengobatan awal untuk trauma cedera

kepala akan menetapkan peran kraniektomi dekompresi di masa depan sebagai

pengobatan definitif untuk hipertensi intrakranial.

Daftar Rujukan

Suarez J I, Eccer M, Cerebral Oedem and Intracranial Dynamics : Monitoring and management of intracranial pressure, In : Critical Care Neurology and Neurosurgery, ed. Suarez J I, New Jersey : 2004, 100-47

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Neurophysiology & Anesthesia, in Clinical Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,

Anne J. Moore, David W. Newell. Neuroanesthesia and Neurosurgical Intensive Care, In : Neurosurgery Principles and Practise. London : Springer 2005. p 104 – 71.

Harahap S, Barbiturates and Neuromuscular Blocking Agent ; Still Valueble to Treat Intracranial Hypertension, In : Proceeding Book 9th National Congress of Indonesian

Society of Anesthesiology, ed. Nasution A H, Solihat Y, USU Press Medan : 2010, 57-46

Seubert C N, Mahla M E, Neurologic Monitoring, In : Miller’s Anesthesia Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,

Drummond J C, Patel P M, Neurosurgical Anesthesia, In : Miller’s Anesthesia Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,

Drummond J C, Patel P M, Cerebral Physiology and the Effects of Anesthetic Drugs, In : Miller’s Anesthesia, 7th Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,

Kincaid MS, Lam AM, General Considerations : Neurophysiologic Monitoring, In : Handbook of Neuroanesthesia, 4th Edition, ed. Newdield P, Cotrell J E, Lippincott Williams & Wilkins : 2007, P 57-37

Attaallah AF, Kofke WA, SECTION C: Monitoring Considerations for Trauma and Critical Care ; Neurological Monitoring, In : Trauma Critical Care, Volume 2, ed. Wilsson CW, Grande MC, Hoyt DB, Informa Healt care, New York : 2007, 204-125

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Anesthesia for Neurosurgery, in Clinical Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,

Kalmar AF, De Ley G, Broecker VD, Aken V, Struys MM, Influence Of An Increased Intracranial Pressure On Cerebral And Systemic Haemodynamics During Endoscopic Neurosurgery: an animal model, British Journal of Anaesthesia 102 (3): 361–8 (2009)

Steiner LA, Andrews PJ. Monitoring the injured brain: ICP and CBF. British Journal of Anaesthesia 97 (1): 26–38 (2006)