lp icp
DESCRIPTION
LPTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
MONITORING ICP
Nama :Reni Nurhidayah Ruang : R.13
NIM : 0810720057 Tanggal Praktik : 25-30 Maret 2013
A. Anatomi Fisiologi Cerebral
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis
(fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
Gambar 1. Lapisan Meningen
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar
14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan
pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
Gambar 2. Anatomi Otak
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial.
Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
B. Definisi ICP
Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan
biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler, 2006).
Peningkatan tekanan intra kranial (TIK) akan menurunkan perfusi serebral dan
menyebabkan komplikasi iskemia sekunder. Selain mempengaruhi Cerebral Perfusion
Pressure (CPP), peningkatan tekanan intra kranial dapat menyebabkan terjadinya herniasi.
Meskipum batasan yang pasti tidak ditemukan, tetapi peningkatan TIK > 30 mmHg
berkaitan dengan peningkatan resiko herniasi trantentorial atau herniasi batang otak. Maka
monitoring dengan pengukuran dan penanganan TIK adalah hal yang penting. Banyak
Faktor yang dapat mempengaruhi tekanan intra kranial diantaranya : peningkatan volume
jaringan didalammnya, peningkatan aliran darah ke otak, kelainan dari aliran cairan, dan
penambahan efek massa.
C. Faktor Yang Mempengaruhi TIK
Orang dewasa normal menghasilkan sekitar 500 mL cairan serebrospinal (CSF)
dalam waktu 24 jam. Setiap saat, kira-kira 150 mL ada di dalam ruang intrakranial. Ruang
intradural terdiri dari ruang intraspinal ditambah ruang intrakranial. Total volume ruang ini
pada orang dewasa sekitar 1700 mL, dimana sekitar 8% adalah cairan serebrospinal,
12% volume darah, dan 80% jaringan otak dan medulla spinalis. Karena kantung dura
tulang belakang tidak selalu penuh tegang, maka beberapa peningkatan volume ruang
intradural dapat dicapai dengan kompresi terhadap pembuluh darah epidural tulang
belakang . Setelah kantung dural sepenuhnya tegang, apapun penambahan volume
selanjutnya akan meningkatkan salah satu komponen ruang intrakranial yang harus
diimbangi dengan penurunan volume salah satu komponen yang lain. Konsep ini dikenal
dengan fisiologi otak dari doktrin Monro-Kellie.
Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika terdapat
penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian yang memilik
kapasitas dalam mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus
venosus dan terjadi perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di
atas sudah maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada
kompartemen (seperti pada massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial (ICP/TIK).
V CSF + V darah+ Votak = V konstan
Gambar 3. Mekanisme Pengaturan Kompensasi Cerebral
Jadi dengan peningkatan patologis pada satu komponen, sedikitnya salah satu dari
yang lain harus turun untuk menjaga volume konstan. Jika komponen yang
mengakomodasi penurunan volume sama dengan volume yang ditambah, maka tekanan
tidak berubah Yang paling efektif dan yang merupakan kompensasi awal adalah
perpindahan CSF dari ruang kranial ke dalam ruang spinal (terjadi kompresi vena
epidural), diikuti oleh reabsorpsi CSF di vili arakhnoid (proses kompensasi ini tidak
cepat). Saat ICP naik, tingkat produksi CSF mulai menurun,sehingga ikut membantu
kompensasi. Kompensasi utama kedua adalah perpindahan volume darah intrakranial
ke sinus-sinus vena. Kompensasi terakhir, otak itu sendiri dapat dikompresi untuk
mengkompensasi peningkatan volume. Hal ini ditunjukkan pada kasus hidrosefalus akut, di
mana otak dikompresi oleh CSF yang menyebabkan pembesaran ventrikel, atau pada
kasus hematoma epidural akut, ketika otak secara akut dikompresi dan terdistorsi oleh
massa hematoma.
Gambar 4. Hubungan antara penambahan isi dalam kepala dan tekanan di
dalamnya
D. Etiologi Peningkatan TIK
Kenaikan tekanan intra kranial dapat diakibatkan berbagai sebab, diantaranya :
Tabel1. Penyebab Peningkatan Tekanan Intrakranial
Penyebab Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Intrakranial (primer) Tumor, Trauma (SDH,EDH,kontusio)
Perdarahan intraserebral non trauma
Stroke iskhemik, hidrosephalus
Idiopatik/benigna hipertensi intracranial
Lain-lain ( pseudomotor,
pneumoencehpalus, abses)
Ekstrakranial
(sekunder)Obstruksi airway, hipoksia, hiperkarbia
Hipertensi, batuk, nyeri, hipotensi
Postur tubuh, hiperpireksia, kejang, obat-
obatan
Pasca operasi Mass lesion (hematoma, edema)
Vasodilatasi, gangguan aliran LCS
E. Proses Terjadinya Peningkatan TIK
Nilai normal TIK masih ada perbedaan diantara beberapa penulis, dan bervariasi
sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg masih dianggap normal untuk bayi, nilai kurang
dari 15 mmHg masih dianggap normal untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari
20 mmHg dan sudah menetap dalam waktu lebih dari 20 menuit dikatakan sebagai
hipertensi intra cranial. Tekanan intra kranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral
(CPP / Cerebral perfusion pressure). CPP dapat dihitung sebagai selisih selisih antara
rerata tekanan arterial (MAP) dan tekanan intracranial (ICP/TIK).
CPP = MAP – ICP atau MAP –JVP
JVP = tekanan vena jugularis. Ini dipakai ketika cranium sedang terbuka (saat
operasi) dan ICP-nya nol. Jadi perubahan pada tekanan intra cranial akan mempengaruhi
tekanan perfusi cerebral, dimana ini akan berakibat terjadinya iskemia otak. Pada pasien
dengan cedera medulla spinalis, tekanan perfusi pada medulla spinalis dapat dihitung
dengan selisih antara MAP dan tekanan LCS. Meskipun sebagian besar pasien cedera
medulla spinalis menunjukkan gambaran lesi komplit, gangguan anatomi jarang
ditemukan, dan menjaga perfusi tetap adekuat adalah penting untuk mempertahankan
fungsi medulla spinalis pada daerah proksimal dari tempat cederanya.
Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan
cepat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini
dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari ronga tengkorak ke
kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena
berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal
dengan complience. Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus
meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah tekanan tinggi
intrakranial.
Pendapat lain dikatakan bahwa komplians intrakranial ditentukan dengan
pengukuran perubahan TIK terhadap respon perubahan volume intrakranial. Normalnya,
peningkatan volume pada awalnya terkompensasi baik. Sebuah batas secepatnya
tercapai, namun, peningkatan yang berlanjut menyebabkan peningkatan TIK. Mekanisme
kompensasi mayor yaitu (1) perpindahan awal CSS dari kranial ke kompartemen spinal, (2)
peningkatan absorpsi CSS, (3) penurunan produksi CSS, (4) penurunan volume darah
serebral total (terutama vena).
Gambar 5. Proses Kompensasi Terhadap Peningkatan TIK
gambar 6. Patofisiologi Peningkatan TIK
F. Manifestasi Klinik Peningkatan TIK
Kenaikan tekanan intra cranial sering memberikan gejala klinis yang dapat dilihat
seperti :
a. Nyeri Kepala
Nyeri kepala terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering pada
anak-anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena
selama tidur PCO2 arteri serebral meningkat sehingga mengakibatkan
peningkatan dari serebral blood flow dan dengan demikian mempertinggi lagi
tekanan intrakranial. Juga lonjakan tekanan intrakranial sejenak karena batuk,
mengejan atau berbangkis akan memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang
dari 10-12 tahun, nyeri kepala dapat hilang sementara .
b. Muntah
Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan biasanya
disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat penekanan di fossa
posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau tidak dan sering tidak
disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang untuk sementara waktu.
c. Kejang
Kejang umum/fokal merupakan gejala permulaan pada lesi supratentorial pada
anak sebanyak 15%.
d. Papil edema
Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi intrakranial.
Karena tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan oklusi vena sentralis
retina, sehingga terjadilah edem papil.
e. Penurunan Kesadaran (GCS)
f. Gejala lain yang ditemukan:
False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral, respons ekstensor
yang bilateral, kelainann mental dan gangguan endokrin
G. Indikasi, Kontraindikasi Monitoring TIK
Pada umumnya, monitoring TIK diindikasikan pada semua pasien yang koma
dengan cedera kepala , dan pada pasien dengan penurunan status neurologi dengan CT-
Scan abnormal. Seperti yang telah disebutkan di atas, banyak pertimbangan
dibutuhkannya monitoring TIK pada pasien cedera kepala sedang yang membutuhkan
perpanjangan prosedur operasi di bawah pengaruh general anestesi. Sebagai tambahan,
beberapa senter melakukan monitoring TIK post-operasi secara rutin mengikuti prosedur
major neurosurgical. Satu-satunya kontraindikasi monitoring TIK adalah adanya
koagulopati yang tidak terkoreksi. Terlepas dari alat monitoring ICP, terkait dengan jumlah
alat maka pemeriksaan neurologis jangan pernah digantikan, bahkan ketika pemeriksaan
tersebut terbatas akibat sesuatu misalnya koma atau sedasi.
Tabel 2 : Indikasi monitoring tekanan intracranial
Indikasi Kriteria dan Rasio
Trauma GCS </= 8
Tidak mampu mengikuti pemeriksaan neurologis atau
memerlukan sedasi atau anestesi
Perdarahan
intracranial
Ketika terjadi ekspansi perdarahan akan menyababkan
intervensi pembedahan, monitoring dapat menyediakan
informasi segera.
Maanjemen ICP secara umum
Neoplasma
intracranial
Pasien yang terjadi edema otak selama operasi reseksi
atau penutupan, monitoring dapat berguna pada periode
perioperatif
Paska operasi AVM Reseksi AVM menyebabkan redistribusi aliran darah dan
sering edema paska operasi membutuhkan pemulihan
yang bertahan dari anestesi dan sering sedasi paska
operasi
Tabel 3: Kontraindikasi Monitoring Tekanan Intrakranial
Kontraindikasi rasio/komentar
Koagulopati kateter ventrikuler dihindarkan paa kasus
trombositopenia (platelet < 100.0000) atau INR > 1,2.
tehnik monitoring lain mempunyai resiko lebih kecil tapi
pasien sebaiknya dikoreksi koagulopatinya lebih dulu
sebelum pemasangan monitor
Immunosupresi pasien dengan gangguan status imunologi punya resiko
lebih tinggi untuk terjadinya infeksi sehingga merupakan
kontraindikasi relatif
gambaran klinis yang
tidak relevan
seharusnya tidak digunakan pada pasien dengan
prognosis tidak dapat bertahan (nonsurvivable)
H. Metode Invasif Monitoring TIK
Monitoring dan pengobatan agresif pada peningkatan TIK dapat meminimalis
iskemik sekunder dan meningkatkan outcome. Sehingga, penggunaan peralatan
intrakranial untuk pengukuran TIK secara kontinyu menjadi praktek standar dalam
merawat pasien neurologi yang mempunyai masalah dengan peningkatan TIK.
Peralatan ini meliputi kateter intraventrikuler, subarachnoid bolt, epidural systems dan
peralatan fiberoptic intraparenchymal. Kateter ventrikulostomi umumnya dijadikan gold
standard untuk monitoring ICP. Kateter jenis ini mempunyai kelebihan tambahan yaitu
dapat menjadi drainage CSF untuk menurunkan ICP.
Gambar 7. Metode monitoring TIK
1. Ventrikulostomi
Kateter intraventrikel yang selain digunakan untuk monitoring ICP juga
berfungsi untuk terapi drainase CSF. Kateter intraventrikel merupakan metode
standar emas monitoring ICP. Digunakan pertama kali tahun 1960. Sebuah kateter
plastic dimasukkan ke ventrikel lateral dan dihubungkan dengan tranduser eksternal.
Kateter intraventrikel mengukur ICP dan juga sebagai terapi drainase CSF. Hal ini
direkomendasikan sebagai monitor awal, setelah terjadi trauma pada pasien untuk
mengantisipasi peningkatan ICP. Pada kondisi trauma, ukuran ventrikel sering
mengecil berbanding terbalik degan peningkatan ICP, menyebabkan insersi kateter
ventrikel secara blind lebih sulit. Bila ventrikel tidak dapat dikanulasi pada usaha
yang ketiga maka tehnik alternative monitoring ICP harus dicoba untuk mengurangi
terjadinya komplikasi terkasit percobaan pemasangan berulang.
Gambar 8. Kateter Ventrikel
Potensi masalah akibat ventrikulostomi adalah sumbatan,salah meletakkan
kateter ke dalam struktur yang menyebabkan kerusakan jaringan otak, hematoma
intraserebral, perdarahan intraentrikuler, dan infeksi. Robabilitas akan tersumbatnya
kateter ventrikel meningat bila kateter tersebut dibiarkan terbuka saat ventrikel
dalam kondisi sedang kolaps. Pada kondisi ini tidak dapat digunakan untuk
memonitor ICP ketika ventrikulostomi dibiarkan terbuka yang saat itu berfungsi
sebagai drain. Pada kondisi trauma kami merekomendasikan satu sampai dua menit
untuk mendrainase ketika ICP > 20 mmHg, kemudian kateter diklemp lagi bila sudah
tidak digunakan sebagai drain. Hal ini memunkinkan CSF membentuk ventrikel serta
dapat mengukur ICP.
2. Baut Richmond
Baut Richmond (subdural-subarakhnoid) biasanya terdiri atas sekrup
berongga yang ujungnya melewati dura dan masuk 1-2 mm dibawah lapisan dalam
tengkorak dan menempati/menempel pada arakhnoid yang menutupi permukaan
otak. Jika baut terletak terlalu superficial, maak ada resiko salah posisi/longgar dan
kehilangan tekanan. Tetapi bila terlalu dalam maka permuakan otak dapat
penetrasimenuju kea rah herniasi masuk ke dalam sekrup berongga dan menyumbat
proses sistem.
Gambar 9. Baut Richmoid
Keuntungan baut Richmond adalah kemudahan insersi dan penetrasi yang
sedikit terhadap jaringan otak. Tetapi dilain sisi, baut Richmond tidak bias digunakan
untuk menurunkan ICP dengan cara drainase, dapat menyebabkan infeksi,
perdarqahan epidural, dan kejang fokal. Selain itu dapat terjadi penumbatan pada
tubingnya, sehingga rekaman yang diperoleh berkurang atau hilang. Memang salah
satu kelemahan baut Richmond adalah mudahnya tersumbat oleh debris luka, darah
dan atau dura.
3. Monitor Tekanan Intrakranial Epidural
Dua tipe monitor ICP epidural telah dikembangkan. Satu menggunakan
sensivitas tekanan membran yang kontak dengan dura, sedang yang satu lagi
menggunakan sensivitas perubahan tekanan udara yang merubah bentuk dura.
Meskipun resiko infeksi otak lebih rendah karenapenempatannya di ekstradura, akan
tetapi ada beberapa kerugian termasuk kesulitan tehnik, perdarahan, kalibrasi yang
sulit setelah penempatan baut, dan ketidakmampuan untuk drainase CSF untuk
terapi.
4. Monitor Tekanan Intrakranial Intraparenkim
Alat intraparenkim misalnya monitor ICP Camino ( Camino Laboratories, San
Diego, California USA) menggunakan kateter yang dimasukkan kedalam substansia
grissea sehinga dapat mengukur secara langsung tekanan jaringan otak.
Sebagai perbandingan terhadap ventrikulostomi, monitor Camino lebih
mudah dimasukkan dan probe intraparenkim mempunyai ukuran diameter lebih kecil,
sehingga kerusakan neulorogis jarang terjadi. Keuntungan alat ini adalah infeksi
minimal dan kebocoran serta sumbatan kateter tidak terjadi. Sebagai tambahan,
kesalahan akibat salah posisi tranduser juga minimal. Kerugian utama alat ini adalah
tidak dapat dikalibrasi ulang setelah alat ini dimasukkan, kemungkinan bergeser
juga ada yang mengharuskan penggantian probe fiber optik dalam kondisi steril.
Keterbatasan yang bermakna dari alat ini adalah tidak mampu digunakan sebagai
terapi drainase CSF.
Pada kondisi trauma, ketika ICP meningkat dan ventikel terdesak, hanya
sebagian kecil jalan keluar CSF yang terlihat selama penempatan ventrikulostomi.
Hal ini terjadi pada ventrikel sekitar kateter kolaps, dan bila tidak dikenali lagi, kateter
mungkin saja tertarik. Bila terjadi maka tidak mungkin dilakukan rekanulasi ventrikel.
Pada kondisi ini kateter dibiarkan ditempat dan monitor kedua misalnya Camino
harus ditempatkan untuk memantau ICP. Ketika kateter itraventrikuler mulai
mendrainase CSF yang bertumpuk dalam ventrikel, salah satu dari dua monitor
tersebut dapat ditarik tergantng pada situasi klinis.9
gambar 10. monitor Intraparenkim otak
Bentuk gelombang Tekanan Intrakranial
Bentuk gelombang ICP yang normal adalah pulsatil dan sejalan dengan
irama jantung. Tetapi nilai dasar akan naik turun sesuai dengan siklus pernapasan
(seperti yang terjadi pada semua bentuk gelombang yang fisiologis). Fluktuasi
normal gelombang ICP dikarakteristikan mempunyai tiga puncak tekanan. Yang
pertama, merupaakn puncak paling tinggi (P1) terjadi akibat pulsasi arteri yang
ditransmisikan menuju parenkim otak dan CSF. Puncak yang kedua (P2)
diterjemahkan sebagai gelombang tidal atau rebound dan komplien reflek
intrakranial. Puncak ketiga (P3) yang hamper selalu lebih rendah dari P2, dan
disebut gelombang dikrotik mewakili pulsasi vena yang ditransmisikan menuju otak.
Pada kondisi komplien otak normal besarnya gelombang adalah kecil, sedangkan
pada otak yang ketat, perubahan tekanan yang diikuti dengan perubahan volume
adalah besar. Selain mempunyai karakter tiga puncak, gelombang ICP yang terjadi
sesuai siklus jantung, perubahan tambahan pada semua nilai dasar yang terjadi
akan mengubah komplien intrakranial. Lebih lanjut lagi, perubahan dasar terkait
ventilasi adalah sebagai berikut: pada napas spontan, inhalasi menurunkan tekanan
intrathorakal dan menaikkan drainase vena (menurunkan ICP). Dimana ekshalasi
menyebabkan penurunan outflow vena dari cranium sehingga ICP meningkat.
Sebaliknya akan terjadi bila digunakan ventilasi tekanan positif. Bila ICP meningkat
dan komplien serebral menurun (dengan berbagai penyebab), komponen vena
menghilang dan pulsasi arteri menjadi lebih jelas.
Pada tahun 1960, lundberg melaporkan hasil monitoring ICP secara langsung
dengan menggunakan ventrilkulotomi pada 143 pasien. Dia menyebutkan
patofisiologi dan tanda klinis yang bermakna dari tiga gelomang patologis ICP yang
ditandai dengan gelombang A, gelombang B, dan gelombang C.
Gelombang Lundberg A, juga dikenal dengan gelombang plateu dicirikan
dengan elevasi tajam ICP samapi >50 mmHg, setidaknya untuk 2 menit dampai 20
menit diikuti penurunan mendadak ke level ICP awal. Biasanya nilai dasar baru
akabn sedikit lebih tinggi setelah timbul gelombang A. Gelombang A ini akan muncul
lagi dengan meningkatkan frekuensi, durasi, dan amplitude dan sering terjadi pada
peningkatan simultan dari tekanan arteri rerata. Lundberg mengenali gelombang ini
sebagai pertanda ICP tidak terkontrol, yang mungkin dihasilkan dari sebuah
kelelahan kapasitas buffering dan komplien intracranial.
Gelombang Lundberg B juga dikenal pulsasi tekanan, dicirikan dengan
peningkatan ICP 10 sampai 20 mmdalam waktu 30 detik sampai 2 menit.
Gelombang ini bervariasi sesuai tipe periode napas dan lebih sering terlihat pada
kondisi peningkatan ICP dan penurunan komplien intracranial. Sebagai catatan
bahwa hubunan ini tidak semuanya konsisten dan mewakili temuan kualitatif selama
peningkatan ICP.
Gelombang Lundberg C, merefleksikan gelombang arteri Traube-Hering yang
ditandai peningkatan ICP berbagai variasi dengan frekuensi empat sampai delapan
kali per menit. Gelombang ini mungkin saja mewakili status preterminal dan kadang
terlihat pada puncak gelombang plateu. Sama seperti gelombang B, mereka bersifat
sugesti tapi bukan patognominis akan peningkatan ICP.
Akhir-akhir ini ditekankan pada pengenalan dini serta pengobatan yang
berhasil akan peningkatan ICP. Oleh karena itu, gelombang patologis Lundberg (A,
B, C) jarang terlihat. Namun ketika mereka terlihat pada pasien yang telah
diintervensi terapeutik, maka mereka diramalkan mempunyai outcome yang buruk.9
I. Metode Non Invasif Monitoring TIK
Penurunan status neurologi klinis dipertimbangkan sebagai tanda peningkatan TIK,
Bradikardi, peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi pupil normalnya dianggap tanda
peningkatan TIK.
Transkranial dopler, pemindahan membran timpani, teknik ultrasound “time of
flight” sedang dianjurkan. Beberapa peralatan digunakan untuk mengukur TIK melalui
fontanel terbuka. Sistem serat optik digunakan ekstra kutaneus.
Dengan manual merasakan pada tepi kraniotomi atau defek tengkorak jika ada
fraktur.
J. Komplikasi Monitoring TIK
Table 4: Komplikasi monitoring tekanan intracranial
Komplikasi Rasio/komentar
Infeksi Penempatan monitor ICP dapat menyebabkan luka
infeksi local, meningitis, ventrikulitis, dan abses otak.
resiko meningitis dan ventrikulitis lebih besar pada
kateter ventrikuler.
masih belum jelas diketahui bila pemasangan ulang
rutin dilakukan
Perdarahan komplikasi penempatan monitor dengan morbiditas
terbanyak.
dapat diakibatkan trauma langsung (intraserebral atau
intraventrikuler) atau overdrainase CSF (subdural)
resiko paling besar pada kateter ventrikuler (1/70-100)
salah pengukuran bila alat tidak terpasang dan terkalibrasi dengan akurat,
maka kessalahan pengukuran dapat menyebabkan
intervensi dan terapi yang tidak tepat.
K. Manajemen Peningkatan TIK
Tabel 5 : Penanganan Konvensional Peningkatan TIK
Penanganan konvensional
1. Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena
2. Peningkatan MAP (jika perlu)
3. Pa CO2 30−35 mmHg, atau 25−30 mmHg jika terdapat tanda-tanda herniasi
4. Manitol 0,5−1,0 g/kg tiap 6 jam (jika perlu) dan furosemide 20 mg (jika
perlu). Pertahankan osmolalitas serum <320.
5. Mempertahankan kondisi hipovolemia, awasi CVP jika memungkinkan.
6. Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan.
7. Pamberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine dan/atau propofol
8. Penyesuaian kadar PEEP, jika memungkinkan
9. Mempertahankan normovolemia.
Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan penanganan
konvensional)
1. Induksi hipotermi pada 33-34 °C
2. Supresi EEG maksimal dengan induksi koma propofol atau barbiturate
3. Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg (monitor SjvO2 atau PbrO2)
4. Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50 ml/jam); monitor
kadar natrium serum
Penanganan ekstrim
1. Kraniektomi dekompresi
2. Eksisi jaringan infark ± lobektomi
Penurunan Volume Darah Serebral
Elevasi Kepala
Elevasi kepala pada tempat tidur dengan membentuk sudut 20−30°
menurunkan ICP dengan mengoptimalkan aliran balik vena (venous return). Akan
tetapi, pada pasien hipovolemik, elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan dari
CPP. Jika keadaan normovolemi dipertahankan, elevasi sampai 30° telah terbukti
menurunkan TIK tanpa mempengaruhi CPP atau CBF pada pasien cedera kepala.
Perawatan seharusnya dilakukan untuk mencegah obstruksi pada venous
return serebral dengan cervical collars atau memasang endotrakeal tube (ET) dan
menjaga kepala tetap berada pada posisi netral. Pada pasien dengan autoregulasi
serebralnya terjaga (stabil), peningkatan MAP akan menyebabkan vasokonstriksi
kompensatorik dengan disertai penurunan ICP.
Hiperventilasi
Karena sensitivitas yang tinggi dari CBF terhadap PaCO2, hiperventilasi
dapat menurunkan CBF dan disertai penurunan volume darah serebral (CBV),
menyebabkan penurunan mendadak (akut) dari TIK. Meskipun penurunan mendadak
TIK dan perbaikan CPP secara teoritis diharapkan, dan hiperventilasi telah dipakai
sejak dahulu sebagai modalitas terapi, tetapi pada beberapa tahun terakhir ini
kekhawatiran akan terjadinya iskemik serebral telah berkurang dengan penggunaan
metode ini. Penelitian tentang CBF telah menunjukkan bahwa meskipun
“hiperventilasi sedang” dapat meningkat pada regio otak dengan CBF dibawah
ambang batas iskemik. Penurunan konsentrasi oksigen vena jugularis (SjvO2) dan
jaringan otak PO2 (PbrO2) yang telah berulang kali dibuktikan pada penelitian
terhadap pasien dengan cedera kepala.
Kenaikan Tekanan Darah
Pada pasien dengan autoregulasi yang intak dan penurunan compliance
intrakranial, penurunan tekanan darah sistemik akan menyebabkan vasodilatasi
kompensatorik dan peningkatan CBV. Hal ini akan semakin menurunkan CPP,
dengan efek “spiraling downhill” dan penurunan progresif perfusi serebral. Hal
sebaliknya, pasien dengan autoregulasi serebral yang terganggu dapat menunjukkan
peningkatan TIK dengan peningkatan tekanan darah. Karena itulah tidak mungkin
memprediksi ada atau tidaknya autoregulasi, tetapi penting untuk mendapat
gambaran tentang respon TIK.
Reduksi Massa pada Otak
Karena adaya sawar darah otak (blood-brain barrier), yang relatif impermiabel
terhadap ion natrium dan klorida, perpindahan air keluar dan masuk sel otak
terutama tergantung pada gradien osmotik. Obat diuretik osmotik yang efektif dipakai
untuk mengatasi peningkatan TIK adalah manitol 20%. Diberikan bolus 0,5-1.0 g/kg,
bekerja dengan onset yang cepat, tetapi puncaknya didapat dalam 30 menit dan
berakhir setelah 90 menit. Sedangkan diuretik ‘loop’ yaitu furosemide akan
meningkatkan kerja manitol, juga dapat memberikan efek langsung menurunkan TIK
dan sering digunakan sebagai terapi adjuvant (tambahan). Efek manitol terhadap
hemodinamik adalah kompleks dengan mereduksi resistensi vaskuler sistemik, lalu
diikuti dengan ekspansi volume intravaskuler yang dapat disertai hipertensi sistemik.
Pasien dengan fungsi jantung yang jelek dapat terjadi edema pulmo akut pada
pemberian infus manitol. Dengan onset diuresis, penyusutan volume intravaskuler
yang terjadi akan meyebabkan hipotensi jika pemberian cairan penggantinya tidak
adekuat. Komplikasi dari terapi manitol adalah overload cairan, dehidrasi dan gagal
ginjal.
Reduksi Volume LCS
Dua puluh lima persen pasien dengan perdarahan subaraknoid yang berasal
dari rupture aneurisma akan berkembang menjadi hidrosefalus akut dengan
peningkatan TIK. Insersi ventrikulostomi dengan drainase kontrol LCS merupakan
terapi efektif peningkatan TIK. Beberapa pasien ini terkadang membutuhkan shunt
ventrikulo-peritoneal (VP-shunt). Pemasangan drainase pada daerah subaraknoid
lumbal juga dapat menurunkan LCS, tetapi dapat meningkatkan resiko herniasi otak.
Hal ini kurang berguna pada pasien cedera kepala, karena ventrikel sering tertekan
sehingga membuat drainase sulit masuk ke ventrikel dan menjadi kurang efektif.
Sedasi dan Paralisis
Sedasi yang adekuat adalah penting bagi semua pasien dengan peningkatan
TIK untuk mengurangi agitasi (kondisi gelisah) dan gerakan-gerakan pasien serta
untuk mempermudah toleransi terhadap ET (endotrakeal tube). Batuk atau sumbatan
pada ET atau selama trakeobronkial suction dapat meningkatkan TIK. Paralisis
neuromuskular secara efektif dapat dicegah dengan cara pemberian obat ini tetapi ini
dapat menghambat pemeriksaan neurologik yang dilakukan untuk memonitor kondisi
pasien. Sebagai tambahan, blokade farmakologi yang dilakukan terus menerus
dapat menyebabkan miopati dan paralisis persisten. Pemberian obat penghambat
neuromuscular (NBMs) hanya dipakai pada pasien yang mendapat sedasi adekuat
dengan tujuan untuk mencegah paralisis saat pasien yang sadar. Dosis intermiten
dan pemberian secara periodik, disertai dengan monitoring seksama terhadap
derajat blokade neuromuskuler, sebaiknya dilakukan untuk memungkinkan penilaian
neurologic secara teratur.
Pelumpuh otot non depolarisasi pankuronium dan vekuronium tidak
mempengaruhi juga ADO, laju metabolism terhadap oksigen dan tekanan tekanan
intracranial. Pankuronium meningkatkan laju nadi dan tekanan darah sehingga tidak
menguntungkan pada hipertensi cranial, sebaliknya vekuronium tidak menyebabkan
histamine release, tidak menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan darah.
Sedang atracurarium mempunyai efek ADO, CMRO2, TIK dan hasil metabolismenya
laudanosine akan melewati sawar otak dan dapat menyebabkan kejang.
Propofol
Obat sedasi yang menurunkan TIK melalui efek terhadap metabolisme
serebral dan CBF seperti pada sebagian besar obat anestesi intravena lainnya
kecuali ketamine. Semuanya memiliki efek depresan susunan saraf pusat,
menyebabkan dosis ini berkaitan dengan penurunan tingkat kesadaran dan tingkat
metabolisme.
Kraniektomi Dekompresi
Kraniektomi dekompresi (decompressive craniectomy) diindikasikan untuk
pasien yang mempunyai peningkatan TIK dan sulit disembuhkan dengan pengobatan
medikal. Pada pasien dengan pembengkakan unilateral yang mengikuti evakuasi
hematoma atau reseksi tumor, hemikraniektomi atau pemindahan sejumlah besar
flap cranial dengan penambalan duramater, telah sukses menurunkan ICP. Pada
pasien dengan edema cerebral pada kedua himisfer, mungkin memerlukan bilateral
kraniektomi. Jarang sekali, pengangkatan jaringan yang telah rusak atau lobektomi
mungkin dilakukan sebagai usaha akhir untuk mengurangi isi intrakranial pada
kebanyakan kasus berat hipertensi intrakranial. Prosedur ini tampak efektif untuk
trauma cedera kepala, sebaik untuk pembengkakan sekunder pada stroke atau
subarachnoid hemoragik. Sebuah percobaan multicenter dalam rangka menilai
keuntungan kraniektomi dekompresi sebagai pengobatan awal untuk trauma cedera
kepala akan menetapkan peran kraniektomi dekompresi di masa depan sebagai
pengobatan definitif untuk hipertensi intrakranial.
Daftar Rujukan
Suarez J I, Eccer M, Cerebral Oedem and Intracranial Dynamics : Monitoring and management of intracranial pressure, In : Critical Care Neurology and Neurosurgery, ed. Suarez J I, New Jersey : 2004, 100-47
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Neurophysiology & Anesthesia, in Clinical Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,
Anne J. Moore, David W. Newell. Neuroanesthesia and Neurosurgical Intensive Care, In : Neurosurgery Principles and Practise. London : Springer 2005. p 104 – 71.
Harahap S, Barbiturates and Neuromuscular Blocking Agent ; Still Valueble to Treat Intracranial Hypertension, In : Proceeding Book 9th National Congress of Indonesian
Society of Anesthesiology, ed. Nasution A H, Solihat Y, USU Press Medan : 2010, 57-46
Seubert C N, Mahla M E, Neurologic Monitoring, In : Miller’s Anesthesia Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
Drummond J C, Patel P M, Neurosurgical Anesthesia, In : Miller’s Anesthesia Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
Drummond J C, Patel P M, Cerebral Physiology and the Effects of Anesthetic Drugs, In : Miller’s Anesthesia, 7th Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
Kincaid MS, Lam AM, General Considerations : Neurophysiologic Monitoring, In : Handbook of Neuroanesthesia, 4th Edition, ed. Newdield P, Cotrell J E, Lippincott Williams & Wilkins : 2007, P 57-37
Attaallah AF, Kofke WA, SECTION C: Monitoring Considerations for Trauma and Critical Care ; Neurological Monitoring, In : Trauma Critical Care, Volume 2, ed. Wilsson CW, Grande MC, Hoyt DB, Informa Healt care, New York : 2007, 204-125
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Anesthesia for Neurosurgery, in Clinical Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,
Kalmar AF, De Ley G, Broecker VD, Aken V, Struys MM, Influence Of An Increased Intracranial Pressure On Cerebral And Systemic Haemodynamics During Endoscopic Neurosurgery: an animal model, British Journal of Anaesthesia 102 (3): 361–8 (2009)
Steiner LA, Andrews PJ. Monitoring the injured brain: ICP and CBF. British Journal of Anaesthesia 97 (1): 26–38 (2006)