lestarikan tradisi kelola komunikasi

338
LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF DIREKTORAT JENDERAL INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIK KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Upload: dishubkominfobartim

Post on 21-Jan-2016

1.774 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISIKELOLA KOMUNIKASI

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

DIREKTORAT JENDERAL INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIKKEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Page 2: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISIKELOLA KOMUNIKASI

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Ismail Cawidu

Nurlaili1. Rosmiati2. Lukman Hakim3. Marulak Simangunsong4. Enung Dahliawati5. Fera Setia Nurana6. Yudi Syahrial

7. Dewi Farida Simatupang8. Aditya Ranadireksa9. Wasi Andono10. Triani Setyowati11. Rokayah12. Sri Mulyani

SuprawotoNursodik GunarjoM. T. HidayatDesign / Layouter :

Page 3: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

i

SAMBUTAN

Apabila buku ini sampai di tangan pembaca, setidak-tidaknya upaya kami untuk mendokumentasikan hasil diskusi para ahli di bidang seni tradisi sebagian sudah sampai pada tujuan. Kami

selaku Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kement-erian Komunikasi dan Informatika, sampai saat ini sudah berusaha memberikan ruang dengan cara mementaskan seni tradisi komunikatif di berbagai tempat di Indonesia, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Dalam setiap pementasan, antusiasme masyarakat untuk menonton seni tradisi masih sangat tinggi. Terbukti setiap pementasan selalu di-penuhi penonton sampai pertunjukan selesai. Namun apakah antusi-asme penonton tersebut akan tetap bertahan dan langgeng? Kumpulan hasil diskusi ahli di bidang seni tradisi ini sengaja kami bukukan agar bisa memberikan informasi, dan siapa tahu justru menumbuhkan gai-rah untuk memberikan perhatian lebih terhadap seni tradisi, sehingga bisa tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Buku ini tentunya tidak akan terwujud tanpa kontribusi bebe-rapa pihak. Untuk itu kami perlu menyampaikan terima kasih, utamanya kepada para narasumber Diskusi Pemetaan Media Tradisional yang Komunikatif di lima kota, yakni Solo (Jawa Tengah), Denpasar (Bali), Bukittinggi (Sumatera Barat), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat).

Page 4: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

Demikian juga kepada para seluruh peserta diskusi yang menunjukkan antusiasme yang sangat tinggi selama diskusi berlangsung.

Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Monumen Pers Solo, kawan-kawan Dinas Infokom dan Humas serta Balai Monitoring yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Kerja keras kawan-kawan semua ikut menyukseskan pelaksanaan dikusi yang men-jadi bahan penyusunan buku ini. Khusus rekan-rekan di Sekretariat dan Biro Umum Kementerian Komunikasi dan Informatika, terima kasih atas dukungan dalam pelaksanaan diskusi ahli.

Tiada gading yang tak retak. Kritik dan saran demi perbaikan pener-bitan buku selalu kami harapkan.

Jakarta, September 2011

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik

Freddy H. Tulung

endereeeeeeeee alaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaamuniiiiniiiiiiiniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiniinnnininninniikasisssssssssssssssssssssssssss Pu

ddyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy H. Tu

Page 5: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

iii

PENGANTAR

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau, 485 suku bangsa dan 583 bahasa daerah. Kenyataan itu sungguh sangat fantastis. Dengan begitu beragamnya suku bangsa, bahasa,

dan adat istiadat, setiap masyarakat memiliki keunikan tersendiri. Seb-agaimana dinyatakan Louise Grenier (1998), setiap masyarakat memi-liki kearifan lokal yang secara tradisional terus dipelihara dan dikem-bangkan untuk mempertahankan diri ketika menghadapi perubahan dan tantangan dari lingkungannya.

Dalam kearifan lokal itu biasanya terdapat sistem informasi dasar yang memfasilitasi komunikasi dan pengambilan keputusan komunitas atau masyarakat. Sistem informasi tersebut umumnya bersifat dinamis karena dipengaruhi kreativitas internal maupun pembelajaran masyara-kat terhadap pengetahuan eksternal yang disosialisasikan secara ber-kesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Flavier et al. 1995: 479).

Sejalan dengan perkembangan teknologi, tantangan terbesar adalah bagaimana membangun sistem komunikasi yang berkualitas dengan memadukan tiga aspek yang disebut Giddens dalam The Constitution of Society (1980) menjadi bagian tak terpisahkan dalam masyarakat saat ini, yaitu globalisasi, detradisionalisasi, dan social refl exivity.

Page 6: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

iv

Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia pada setiap aspek kehidupan. Komunikasi dan transportasi telah meng-hubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon dan internet membuat orang “bertemu” tanpa susah payah bertatap muka.

Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan “diciptakan”, tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pem-buatan keputusan. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertim-bangan dari sumber lain.

Hal terakhir berkaitan dengan social refl exivity merupakan pro-ses pengambilan keputusan. Manusia modern menghadapi banyak infor-masi, akan tetapi juga bebas menyeleksi informasi mana yang dibu-tuhkan. Arus (tepatnya: banjir) informasi memang membuat bingung, namun individu dapat menolak sebuah informasi semata-mata karena ia tidak suka atau tidak cocok.

Inilah sebagian kenyataan yang dihadapi semua seni dan media tra-disional di Indonesia saat ini. Menjadi tugas kita bersama untuk senan-tiasa berupaya meningkatkan kualitas pemanfaatan seni dan media tra-disional agar bisa berpadu dengan perkembangan teknologi serta dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Media tradisional komunikatif diharapkan dapat mengambil peran dalam posisi ini. Dalam perkembangan sebelumnya peran media tra-disional komunikatif demikian besar. Bagaimana perkembangan saat ini dan ke depan perlu pembahasan yang mendalam. Oleh karena itu, kami mencoba menghadirkan para pakar di bidang seni pertunjukan tra-disional dalam merumuskan sinergi dan pemanfaatan media tradisional yang komunikatif.

Kepada para pakar yang telah berkenan memberikan sumban-gan pemikiran dalam bentuk tulisan serta wacana dalam diskusi kami sampaikan terima kasih. Buku ini sengaja kami hadirkan un-tuk memantik pemikiran baru guna lebih memberikan sumban-gan terhadap pengembangan media tradisional yang komunikatif.

Jakarta, September 2011 Suprawoto Editor

Page 7: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

v

DAFTAR ISI

SAMBUTAN ................................................................... vPENGANTAR EDITOR ................................................................... viiDAFTAR ISI ........................................................................... ix

PENDAHULUAN .......................................................................... 1 Meningkatkan Peran Media Tradisional ........................... 3

SINERGI SENI TRADISI DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK PENDIDIKAN PUBLIK ....................... 9 Prof. Dr. Musa Asy’arie, anggota Dewan Pengawas TVRI Mencari Model Pertunjukan Seni Tradisi dengan Teknologi dan Komunikasi untuk Pendidikan Publik ........................... 11

Prof. Endang Caturwati, MS, Pakar Pertunjukan dan Kajian Budaya STSI Bandung Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa Barat ........................................................ 17

Prof. Dr. Sri Hastanto, S.Kar, Pakar Etnomusikologi ISI Surakarta Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa Timur ........................................................ 43

F. Hari Mulyatno, S.Kar, M.Hum, Pakar Bidang Akademis Seni Tari, Dosen ISI Surakarta Peran Seni Budaya Tradisional Kalimantan dalam Dimensi Informasi/Komunikasi Pembangunan ................... 55 Prof. Dr. Darsono, M.Sn. Pakar Ilmu Estetika Ketua LPPM Dosen ISI Surakarta Peran Seni tradisi Komunikatif dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa Tengah dan DI Jogjakarta ........................ 71

Page 8: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

vi

MENGGUBAH SENI TRADISI DAN PERTUNJUKAN YANG KOMUNIKATIF UNTUK PERCERDASAN RAKYAT ................. 91 Dr Ni Made Wiratini, SST, MA, Ahli Seni Tari, Dosen ISI Denpasar Mencerdaskan Rakyat dengan Seni Tradisi dan Pertunjukan Komunikatif .................................................. 93 Dr I Nyoman Catra, SST, MA, Ahli Seni Pertunjukan, Dosen ISI Denpasar Seni Pertunjukan Populer sebagai Media Pencerdasan Rakyat: Potensi Tari Topeng dan Teater Bali .................................... 107

Dr I Nyoman Suarka M Hum, Pakar Sastra, Dosen Sastra Universitas Udayana Aktivitas Pasantian dan Sastra Bali sebagai Media Pencerdasan Rakyat .............................................. 123 I Nyoman Murtana, S Kar, M Hum, Dosen Kajian Budaya Universitas Udayana Pertunjukan Wayang Kulit Bali: Media Komunikasi Pencerdasan Rakyat ......................................................... 135

I Nyoman Windha, S Kar, MA, Komposer, Ahli Seni Karawitan, Dosen ISI Denpasar Seni Musik Bali dan Gamelan Gong Kebyar sebagai Media Pencerdasan Rakyat .................................. 145

MENGEMAS SENI TRADISI SUMATERA UNTUK MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL ........................................... 159 Prof. Dr. Daryusti, M.Hum, Ketua STSI Padang Panjang Ragam Kemasan Seni Tradisi Sumatera Barat dalam Komunikasi Sosial Rakyat dan Pemerintah ............. 161

Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn, Dosen Jurusan Seni Teater STSI Padang Panjang Seni Tradisi Populer Aceh sebagai Media Komunikasi Sosial ................................................. 181

Drs. Hajizar, M.Sn, Dosen Jurusan Seni Karawitan STSI Padang Panjang Penggunaan Seni Tradisi dalam Media Komunikasi Sosial di Sumatera Utara .................... 197

Page 9: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

vii

Nirwana Murni, S.Kar., M.Pd, Dosen Jurusan Seni Tari STSI Padang Panjang Strategi Kemasan Seni Tradisi sebagai Media Komunikasi Sosial di Sumatera Barat ..................... 221

Asril, Muchtar S.Kar., M.Hum, Dosen Jurusan Seni Karawitan STSI Padang Panjang Upacara Tabuik dan Tabot di Pesisir Barat Sumatra .......... 235

MENGEMAS SENI TRADISI NUSA TENGGARA UNTUK MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL ........................................ 255 Kongso Sukoco, Ketua Dewan Kesenian Provinsi NTB Memfungsikan Teater Tradisi Amaq Abir sebagai Media Komunikasi Tradisional ............................. 257 Mustakim Biawan, Mantan Kepala Taman Budaya NTB Seni Tradisi NTB dalam Proses Kreatif Menuju Media Komunikasi Sosial ...................................... 277 Dr. Kadri M.Si, Pakar Komunikasi IAIN Mengemas Seni Tradisional Komunikatif NTB untuk Media Komunikasi Sosial ........................................ 293

PENUTUP ........... ........................................................................... 305 Lestarikan Media Tradisi ..................................................... 307 Nasib Seni Tradisi Senjakala Sang Penenang Kalbu ............................................ 317

Page 10: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi
Page 11: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

P E M E T A A N M E D I A T R A D I S I O N A L K O M U N I K A T I F

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

PENDAHULUAN

1

Page 12: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

2

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Page 13: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

3

Meningkatkan Peran Media Tradisional

Indonesia memiliki keragaman budaya yang sangat luas. Dalam masing-masing sistem budaya tersebut terdapat pola kesenian, me-dia kesenian, dan posisi seniman yang beragam. Seniman misalnya,

ada yang profesional atau menjadikan seni sebagai profesi namun ada pula seniman yang memiliki profesi-profesi lain, seperti petani, nelay-an, pedagang, guru dan pemuka adat.

Keragaman itu juga mempengaruhi bentuk maupun isi. Oleh kare-na itu, seni tradisional tidak bisa dilihat hanya dari satu pendekatan atau hanya berdasar pada prinsip umum (universal) yang diberlakukan untuk semua. Untuk melihat makna dan fungsi suatu kesenian, harus dilakukan pendekatan sesuai dengan karakteristik masyarakat di mana kesenian dan tradisi itu hidup dan berkembang (Limbeng, 2009).

Konsep media tradisional seringkali dipertukarkan dengan seni tradisi atau bahkan seni pertunjukan tradisional. Padahal, media ko-munikasi pada dasarnya merupakan sarana yang dipergunakan untuk memproduksi, mereproduksi mendistribusikan atau menyebarkan dan menyampaikan informasi (Suranto, 2005). Sementara seni tradisi jauh lebih luas dari media komunikasi, meskipun fakta menunjukkan bahwa sebagian seni tradisional bisa digunakan dan seringkali dikembangkan menjadi media komunikasi.

Kesenian tradisional pada dasarnya memiliki pola atau pakem yang

Page 14: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

4

membuat kesenian itu menjadi khas, berbeda dari kesenian jenis lain-nya. Akan tetapi, pakem tersebut bukanlah suatu aturan “mati”, me-lainkan potensi yang dapat berkembang, berubah, dan bercampur satu sama lain. Walhasil, seni tradisi secara alami mampu mengakomodasi perubahan isi sesuai dengan kepentingan situasi.

Oleh karena pemanfaatan seni tradisi sebagai sebuah media komu-nikasi akan sangat berkaitan dengan aspek (1) bentuk, pola, atau pak-em, (2) daya atau potensi untuk berubah, dan (3) muatan-muatan atau pesan-pesan yang berisikan pendidikan kultural, spiritual, dan komen-tar sosial. Dalam tiga aspek itulah sesungguhnya terletak kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi keindahan, yang pada gilirannya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media ko-munikasi tradisional.

Menggali PotensiDari inventarisasi yang telah disusun tahun 1978-1979 oleh Direk-

torat Penerangan Rakyat, Departemen Penerangan, terdapat 118 jenis kesenian tradisional yang telah dibuat deskripsi singkatnya dan kurang lebih 292 jenis yang diketahui namanya tanpa diketahui deskripsinya (Siswojo, 1984). Hanya saja sejak Departemen Penerangan dibubar-kan, kini tidak ada lagi instansi pemerintah yang secara bersungguh-sungguh menangani media tradisional ini. Akibatnya, pemberdayaan dan pengembangan kesenian-kesenian tradisional menjadi terabaikan.

Realitas seperti itu sangat dirasakan oleh para kelompok seni per-tunjukkan tradisional, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah-wilayah pedesaan. Inisiatif Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, sejak tahun 2008, untuk memberikan bantuan sosial bagi maestro seni tradisi dengan kriteria tertentu, mungkin bisa memberikan dukungan moral dan fi nansial bagi para seniman. Akan tetapi, berkesenian atau unjuk seni tradisi tidak hanya bergantung pada seniman semata, me-lainkan pada pesan moral atau nilai tradisi, pemilihan media dan kha-layak yang menjadi penikmat atau peminat seni tradisi tersebut.

Sebagai media komunikasi tradisional yang telah populer, seni per-tunjukkan rakyat mampu menciptakan hubungan antara komunikan dan komunikator. Melalui pertunjukkan ini terdapat pertemuan langsung antara komunikan dan komunikator, dimana komunikator dapat men-gungkapkan ide dan gagasannya kepada komunikan melalui cerita-ceri-

Page 15: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

5

ta yang dibawakannya. Seperti pada beberapa pertunjukkan wayang, seorang dalang dapat menyebarluaskan gagasan dan pesan informasi dari pemerintah melalui cerita-cerita yang telah ada.

Kendatii demikian, kita mengakui bahwa tidak semua seni pertun-jukkan rakyat dapat menjadi media penyaluran pesan informasi secara efektif dan komunikatif. Mungkin hanya media tradisional yang verbal dan komunikatif-dialogis saja yang cocok dalam penyampaian pesan kepada khalayak. Seni tradisi yang lain, misalnya yang mengandalkan gerak atau nyanyian dalam batas tertentu sulit digunakan sebagai media penyampai informasi. Oleh karena itu dibutuhkan pemetaan seni tradisi yang bisa digunakan sebagai media penyampaian pesan dan media in-formasi yang komunikatif.

Melestarikan Media TradisionalTantangan yang dihadapi dalam menghadirkan media tradisional

adalah bagaimana menempatkannya di antara konstelasi proses mediasi masyarakat. Hal ini penting, karena keberadaan media tradisional tidak dapat dilepaskan dari masyarakat/komunitas budaya pendukungnya. Tanpa adanya dukungan warga, keberadaan media tradisional tidak ada artinya.

Ciri dari setiap media tradisional adalah partisipasi warga, melalui keterlibatan fi sik atau psikis. Media tradisional tidak hanya sebagai obyek hiburan (spectacle) dalam fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat, tetapi dimaksudkan untuk memelihara keberadaan dan identitas suatu masyarakat. Budaya tradisional pada hakekatnya berfungsi dalam memelihara solidaritas suatu masyarakat budaya, karenanya bersifat eksklusif. Setiap masyarakat budaya memiliki mitos yang khas yang menjadi perekat kelompok/komunitas.

Perlunya mengangkat suatu budaya tradisional sekaligus dengan media yang mengampunya, adalah untuk fungsi konservasi. Sementara untuk mengusung suatu media tradisional dalam dalam konteks lintas budaya, secara praktis hanya dapat dilakukan jika secara substansial budaya dan media dimaksud sudah mengalami transformasi sebagai spectacle.

Dalam formatnya yang asli, media tradisional hanya relevan secara eksklusif bagi masyarakat budaya pendukungnya. Begitu pula peman-faatan media tradisional sebagai wahana bagi isu-isu kontemporer bagi

Page 16: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

6

suatu masyarakat budaya pendukungnya, akan relevan manakala media tersebut sudah tidak lagi sebagai sumber mitos budaya tertentu.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dalam konteks penyebaran informasi, sudahkah kesenian tradisional di Indonesia saat ini benar-benar diposisikan sebagai “media”, bukan sekadar sebagai spectacle? Pertanyaan ini sangat penting, karena dalam banyak kasus, sulit men-empatkan dua fungsi (hiburan dan media penyebaran informasi) secara berimbang. Jika kesenian tradisional terlalu dipaksakan untuk berfung-si sebagai media penyebaran informasi aktual, maka ia akan kehilangan karakteristik utamanya sebagai sumber mitos bagi masyarakat. Seba-liknya, jika porsi hiburan terlalu banyak, maka fungsinya sebagai me-dia penyebaran informasi dengan sendirinya akan menurun.

Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah, sudahkah media tra-disional mentransformasikan diri sebagai spectacle yang bisa dinikmati masyarakat di luar komunitas pendukungnya? Seperti diketahui, salah satu kendala dari media tradisional adalah sifatnya yang eksklusif dan lingkupnya yang lokal, sehingga cenderung hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Karakteristik eksklusif semacam ini tentu kurang menguntungkan apabila ditinjau dari teori media, karena salah satu ciri dari media yang baik adalah kemampuan-nya menjangkau massa dalam jumlah besar.

Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana mentrasfor-masikan media tradisional agar bisa menjadi general spectacle, ton-tonan yang bisa dinikmati dan diterima oleh masyarakat dalam jumlah lebih besar dan dalam wilayah teritorial yang lebih luas. Inovasi dalam hal ini bisa dilakukan, sepanjang tidak mendekonstruksi wujud dan karakter asli dari kesenian tradisional dimaksud.

Tentang Buku IniPemetaan media tradisonal yang komunikatif ini dilakukkan dengan

tiga tahapan, pertama tahapan pengumpulan data awal, kedua tahapan diskusi ahli, ketiga tahapan penulisan laporan dan penyu-sunan buku. Secara keseluruhan kegiatan akan berlangsung mulai bulan Maret hing-ga Juni 2010.

Kegiatan pertama atau pengumpulan data awal mencakup penjaja-gan dan penelusuran dokumen untuk mengidentifi kasi aspek dan un-sur kebijakan komunikasi serta pemetaan potensi seni tradisional yang

Page 17: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

7

ada di Indonesia. Untuk kebutuhan kegiatan ini, akan dibagi dalam tiga wilayah, yakni Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur.

Kedua, diskusi ahli adalah kegiatan yang dikemas dalam bentuk diskusi kelompok terbatas yang melibatkan para ahli, pengamat seni tradisional, pegiat seni tradisi, pemuka pendapat, serta unsur pemerin-tah daerah. Kegiatan ini diarahkan untuk mendapatkan gambaran opini dan ekspektasi stakeholders seni tradisi tentang potensi seni dan media komunikasi tradisional, pada masa dulu, sekarang dan yang akan agar dapat digunakan untuk kepentingan pendidikan publik dan komunikasi sosial.

Tahapan ketiga penulisan laporan yang merupakan kompilasi dari hasil pemetaan, diskusi terbatas (focus group discussion), serta reko-mendasi kegiatan diskusi. Hasil kompilasi juga akan dibukukan dengan kemasan ilmiah populer agar dapat dijadikan sebagai acuan peman-faatan seni tradisional.*

Page 18: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

8

Page 19: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

P E M E T A A N M E D I A T R A D I S I O N A L K O M U N I K A T I F

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

SINERGI SENI TRADISI DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN

KOMUNIKASI UNTUK PENDIDIKAN PUBLIK 2

Page 20: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

10

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof.Dr. H. Musa Asy’arie adalah seorang fi losof, cendikiawan, budayawan, seka-ligus seorang pengusaha. Ia adalah pencetus gagasan Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan. Musa Asy’arie dilahirkan tanggal 13 Desember 1951, di desa Pekajangan Pekalongan, sebuah desa yang kental dengan budaya santri yang entrepreneurship. Ia besar dalam lingkungan masyarakat pengusaha. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah Ambukembang, Ia melanjutkan ke SMPMuhammadiyah di Pekajangan, namun tidak sampai selesai.

Ayahnya memindahkan Musa ke pondok pesantren Tremas Pacitan Jawa timur. Ling-kungan pondok pesantren inilah mengubah sikap dan cara pandangnya dalam menapaki kehidupan. Setelah menyelesaikan pendidikan di lingkungan pondok pesantren, Musa menempuh pendidikan kesarjanaannya di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yo-gyakarta jurusan Filsafat. Musa menikah dengan Muslihah teman kuliah satu fakultasnya di IAIN Sunan Kalijaga.

Sebagai Guru Besar Filsafat Islam UIN Yogyakarta, sekaligus birokrat dan pengusa-ha ikut mewarnai pemikirannya bahwa berpikir an sich adalah bebas sebebas-bebasnya. Berpikir yang salah bukan suatu kejahatan, tidak kriminal, sehingga tidak perlu ditakuti. Dalam disertasinya “Konsep Manusia Sebagai Pembentuk Kebudayaan dalam Alquran” yang dipertahankannya dalam ujian disertasi 26 Januari 1991, Musa Asy’arie menolak pandangan dualisme (jasmani dan rohani) manusia yang selama ini mempengaruhi cara berpikir mayoritas umat Islam.

Guru Besar Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kali-jaga Yogyakarta ini pernah menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informa-tika, bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat, Kabinet Indonesia Bersatu. Saat ini menjadi anggota Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia.

Page 21: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

11

Prof. Dr. Musa Asy’arie, Anggota Dewan Pengawas TVRI

Mencari Model Pertunjukan Seni Tradisi dengan Teknologi dan Komunikasi

untuk Pendidikan Publik

Seni adalah karya keindahan. Bicara tentang keindahan, manusia juga merupakan bentuk keindahan karya agung Tuhan. Jika dili-hat dari dalam pemikiran fi lsafat, seni adalah perwujudan kreatif

nilai-nilai estetika. Kesenian berkaitan dengan semua aspek kehidupan masyarakat,

baik itu seni suara, tari, patung , arsitektur, politik, dan bahkan seni agama. Banyak hal seni punya besar dalam kehidupan agama terutama jika bersentuhan dengan nilai rasa keindahan karena Tuhan juga memi-liki nilai keindahan. Jika tuhan diabaikan dalam keindahan maka akan ada fenomena radikalisme.

Sayangnya ada stagnasi kalau kita bicara seni agama. Ajaran agama seringkali mempengaruhi hal ini. Misalnya yang kita percayai bahwa dalam Islam melukis benda bernyawa itu tidak boleh. Boleh melukis tapi jangan sampai seperti hidup. Namun secara umum seni dan agama saling mendukung.

Seni juga masuk ke seluruh kehidupan. Di dekat kekuasan juga ada seni, misalnya cerita 1001 malam, ada Abunawas yang bisa mengemas kritik dalam bentuk seni. Di sini kita bisa melihat bahwa kemasan seni itu bisa melakukan kritik.

Saya kira berkaitan dengan seni tradisi dan soal teknologi ini adalah persoalan membangun model. Dalam perspektif kebudayaan nilai-ni-

Page 22: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

12

lai itu merupakan wujud kesatuan dari (1) nilai logika, atau yang me-nyangkut benar dan salah, (2) berkaitan dengan pemikiran atau nilai etika yakni baik dan buruk, dan (3) berkaitan dengan perilaku atau nilai estika yaitu indah dan jelek.

Seni pada dasarnya berkaitan dengan perasaan atau rasa atau emosi. Oleh karena itu, dalam setiap karya seni tidak bisa dilepaskan dari aspek nilai logika dan etika. Kebenaran dan kebaikan menyatu dalam karya estetika. Bahkan mendasarinya. Oleh karena itu, aspek nilai seni tak boleh dipisahkan dari logika etika dan estetika. Artinya semua ben-tuk seni ini jadi dasar bagaimana mengemas sosialisasi melalui seni.

Dalam Kisah Baratayudha misalnya, dialog antara Puntadewa den-gan Arjuna itu adalah dialog yang menarik bagaimana bisa memisah-kan pikiran dan rasa. Jika diterapkan dalam kehidupan masa kini, juga masih relevan. Misalnya bagaimana dialog tentang pembangunan dan kemiskinan? Di situ ada dampak buruk, tapi jika kemanfaatan lebih banyak dari hal yang buruk, maka diambil kemaslahatan yang banyak.

Jadi saya kira, dalam pandangan saya, seni tidak bisa dipisahkan dari logika dan etika. Kesenian tradisional juga menyampaikan etika dan nilai. Karya seni menyatu dengan etika dan logika. Pertautan itu membuat seni berperan dalam peradaban. Puncak pengalaman religius adalah estetis dalam dunia sufi . Dimensi estetik merupakan dimensi ter-tinggi dalam pengalaman religius.

Komunikasi seni dalam masyarakat pada dasarnya hendak menyam-paikan nilai kebenaran yang berkembang dalam dunia ilmu pengeta-huan. Nilai kebaikan yang berkembang dalam adat istiadat, moral dan agama, lantas diekspresikan melalui karya keindahan. Sehingga pesan kebenaran dan kebaikan akan terasa indah untuk diresapi dan dihayati oleh publiknya.

Di situ dapat dilihat bahwa seni punya publiknya sendiri. Kita ke-tahui bahwa logika berpikir orang itu punya tingkatan. Nanti kita bisa lihat bagai segmentasi masyarakat akan berkaitan dengan kemampuan untuk menerima seni ini. Sedangkan tradisi adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilestarikan secaraturun temurun dalam suatu kehidu-pan masyarakat tertentu. Oleh karena itu kita bisa menemukan tradisi masyarakat agraris, industri, pedalaman, kota, akademik, kelas bawah hingga tradisi masyarakat elit.

Jika bicara tradisi, semua punya tradisi. Misalkan masyarakat aga-

Page 23: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

13

raris dan kota. Bagaimana tradisi kota? Bagaimana tradisi masyarakat industri? Ada pula masyarakat kota, desa dan akademik. Memakai toga, itu misalnya bagian dari tradisi akademik. Di kampus dipertahankan, karena kalau tidak pakai toga terasa hambar meski kita tak tahu apa di balik toga itu.

Permasalahan terjadi jika kesatuan nilai-nilai itu tidak tercermin lagi dalam karya estetika. Sehingga karya seni terlepas dari konteks nilai yang dianut oleh masyarakat. Dampaknya karya seni tidak bisa dimengerti secara utuh oleh masyarakatnya sendiri sehingga komu-nikasi karya estetika itu terputus dari masyarakatnya. Oleh karena itu, pembaharuan dalam karya seni tidak bisa dilepaskan dari pembaharuan nilai dalam kehidupan masyarakat.

Setiap tradisi memiliki masing-masing karakter dan publiknya sen-dri dan tradisi pedalaman dan pesisiran misalnya untuk orang-orang pinggiran dan elit untuk kalangan keraton. Saya kira semua masyara-kat punya tradisi. Tradisi ini hendak dipetakan dan sudah dipetakan bagaimana tradisi yang dipetakan oleh Kominfo harus punya nilai logi-ka, etika dan estetika.

Saya pernah ikut acaranya Kementerian Kominfo di Gunung Kidul. Ada pertunjukan wayang yang disiarkan oleh RRI dan TVRI. Kalau pejabat dari Kominfo sedang menyanyi di tengah acara limbukan way-ang, itu bisa jadi saingannya Mus Mulyadi. Tapi satu hal yang menarik adalah bahwa sms yang masuk dari masyarakat cukup banyak. Jadi itu efektif sekali untuk menyampaikan informasi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana tiga hal itu dan dikemas jadi satu kesatuan? Karena ketika masyarakat berubah, maka logika itu yang harus diubah dan di-naikkan sesuai dengan perubahan masyarakat.

Demikian pula dengan estetika, ya harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Sementara etika diaktualisasikan sesuai dengan kebutuhan jaman. Setiap seni dikemas dengan baik agar tak menyinggung orang. Yang ingin saya katakan adalah bahwa perlu kreativitas untuk bisa mengemas agar sesuai dengan tradisi masyarakat. Sehingga diketahui mana yang komunikatif bagi masyarakat dan mana yang tidak komuni-katif terkait pesan yang disampaikan.

Saya kira perlu ada pembaruan sesuai dengan perkembangan ma-syarakat. Perlu kreativitas atau seni tradisi akan ditinggalkan dan hanya akan dikenang. Tapi jika bisa dikemas dengan baik, seni tradisi mung-

Page 24: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

14

kin juga bisa memacu perubahan sosial. Dalam masyarakat seperti ini, kemasan logikanya seperti apa? Dalam masyarakat pesisir itu logikanya seperti apa? Kreativitas juga termasuk bagaimana memasukkan etika dan logika dalam kemasan estetika? Tentu akan menyesuaikan dengan kondisi penontonnya.

Saya kira dalang yang pentas di Mahkamah Konstitusi atau RRI, juga akan mengemas dengan logika yang berbeda. Itu tingkat etika dan logikanya jadi tinggi dan waktunya pun menyesuaikan dengan kondisi penontonnya. Ada yang cuma dua atau tiga jam, bukan lagi semalam suntuk.

Di media konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) faktor waktu juga penting. Ada kelas, ada tradisi yang ada. Hal penting kalau dilihat dalam sisi komunikasi adalah bicaralah pada masyarakat sesuai dengan kadar akalnya. Logikanya harus bertahap, ini yang perlu dilakukan secara kreatif. Kalau itu dikemas, peran seni akan luar biasa.

Persoalannya kembali pada bagaimana karya estetik diberi ruh den-gan logika dan etika. TIK adalah produk ilmu pengetahuan dan teknolo-gi yang berbasis pada nilai logika. TIK lahir dari proses perkemban-gan masyarakat agraris menuju masyarakat industri dan membentuk masyarakat informasi.

Dalam kaitan dengan karya estetika telah terjadi perkembangan pula estetika agraris berkembang dalam estetika industri menuju es-tetika informasi. Di sinilah kemudian muncul problem. Karena kalau gunakan TIK yang kini konvergen, maka ruangnya jadi beda. Selama ini seni dipanggungkan di tengah lapangan bola, misalnya. Namun ke-tika bergabung dengan TIK, maka bukan lagi menggunakan alun-alun tapi menggunakan ruang maya, dinamis dan tidak simpel. Persoalan mengemasnya juga menjadi tidak sederhana.

Dalam masyarakat informasi, model pertunjukan seni tradisi, mau tidak mau, pasti berubah. Dalam era konvergensi TIK, pertunjukan seni tradisi tidak lagi berada dalam ruang fi sik yang dibatasi dinding atap dan kaca, akan tetapi bergerak dalam ruang maya yang berlang-sung cepat dan dinamis. Bahkan bisa disebarluaskan dari suatu wilayah ke wilayah yang lainnya. Melalui benda kotak yang menyatukan dunia yang sarat pluralitas, konfl ik, perubahan dan pembaharuan.

Ini saya kira pekerjaan yang harus dilakukan oleh Kominfo. Bagaimana TIK jadi forum pengembangan kreatifi tas resmi yang

Page 25: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

15

gabungkan etika dan estetika. Misalkan Wayang Suket Slamet Gundo-no, bisa ditampilkan berapa jam? Kalau dengan TIK jadi kemasan yang perlu kreativitas tinggi. Di TVRI, wayang kulit semalam suntuk tidak bisa ditampilkan begitu saja. Apalagi jamnya ketat dan menyesuaikan dengan layar dan waktu. Namun pengemasannya pun tak boleh lepas dari etika dan logika. Karena kalau lepas dari itu maka tak bisa mem-bentuk peradaban.

Pertunjukan seni tradisi harus mencari model yang dinamis sesuai perkembangan masyarakat, entah itu pada kategori masyarakat agraris, industri, dan informasi. Dalam masyarakat Indonesia, ketiga masyara-kat itu tetap ada dan tidak saling menafi kan. Sehingga model pertunju-kan seni tradisi seharusnya menyesuaikan dengan realitas masyarakat-nya. Tetapi di Indonesia ketiga kategori masyarakat itu masih ada.

Di Wonogiri model masyarakat seperti itu masih ada, di Solo juga ada. Mungkin kemasan itu yang akan menyesuaikan. Model itu me-nyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Tentu waktunya akan berubah, semua memerlukan kemasan tersendiri. Dan untuk mengemas itu adalah pekerjaan luar biasa yang harus tetap menjaga bahwa karya seni tak boleh dilepaskan dari etika logika dan estetika.

Jika ruangnya TIK, maka harus menjadi dasar penyesuaian. Hal itu harus dilakukan terus-menerus agar seni tetap hidup. Kecende-rungan sekarang ini, sebagian seni tradisi mulai ditinggalkan dengan pertum-buhan masyarakat lantaran tak semua seni tradisi bisa menjawab pe-rubahan. Saya kira masyarakat perlu model yang tepat untuk pengema-san seni tradisi. *

Page 26: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

16

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof. Dr. Endang Caturwati, S.ST. M.S dilahirkan di Bandung, 25 Desember 1956. Lulus S-3 Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Program Studi Pengkajian Seni Rupa dan Seni Pertunjukan, tahun 2006, meru-pakan doktor pertama di STSI Bandung dan Guru Besar bidang Seni Pertunjukan Indonesia di Jawa Barat (2007).

Aktivitasnya sebagai pengajar mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia, Sejarah Tari, Literatur Tari, Sosiologi Seni, Kapita Selekta, Kajian Gender, dan Manajemen Objek Daya Tarik Wisata Daerah, baik, di STSI, UPI (Pariwisata), UNPAD, maupun beberapa per-guruan tinggi lainnya, juga aktif menulis artikel di beberapa mass media, Jurna Ilmiahl dan buku. Buku-buku karyanya antara lain berjudul: Tata Rias Busana Tari Sunda; Tjetje Somantri Tokoh Pembaru Tari Sunda; Lokalitas, Gender dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat, ed; Seni dalam Dilema Industri, Kariaan: Tari Anak-anak di Daerah Subang Jawa Barat, Pengantar Seni Pertunjukan Indonesia; Tari di Tatar Sunda; Gugum Gumbira dari Jaipongan ke Cha Cha, ed., Tari Anak-anak dan Permasalahannya, ed, Pesona Perem-puan dalam Sastra dan Seni Pertunjukan, ed., dan Tradisi Sebagai Tumpuan Kreativitas Seni, ed. , Sinden Penari di Atas dan Di Balik Panggung.

Jabatan yang pernah diemban antara lain, Kepala Pengabdian Masyarakat; Sek Hubungan Kelembagaan; dan Ka Humas, Protokoler dan Penerbitan. Sebagai Kepala Humas Endang mempromosikan Lembaganya tidak saja di tingkat regional, tetapi juga ke berbagai manca negara di antaranya Malaysia, Jepang, India, Thailand, China, Itali, Australia, dan Belanda. Kesibukan lainnya, selain sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STSI Bandung, masih disibukkan sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Ilmiah Seni dan Budaya ‘Panggung’ STSI Bandung (terakreditasi), Pimpinan Penerbitan Sunan Ambu Press, Dewan Redaksi di beberapa Penerbitan Jurnal Ilmiah dan Artikel Ilmiah di Jawa Barat dan Jakarta, serta Organisasi Seni dan Budaya, dan Organisasi Sosial Masyarakat Sunda hingga masa kini.

Beruntung, penulis pernah menjadi pelaku pada grup-grup seni tradisi yang dipimpin para tokoh seni terkenal, seperti Mang Koko (Ganda Mekar 1973-1978), Nano.S, (Gen-tra Madya (1973-1978), Dadang Sulaeman (Mayang Binekas 1973-1978), baik sebagai penari, pemain pada drama suara atau sebagai penabuh Degung. Antara lain Gending Karesmen dengan lakon Si Kabayan, Pahlawan Samudra dan Gondang Samagaha pada Grup Ganda Mekar: Degung pada Grup Mayang Binekas, Gentra Madya, Longser Grup STSI Bandung (2005-2008), dan beberapa seni pertunjukan tradisional lainnya.*

Penulis (kedua dari kiri) bersama Tati Saleh penari Jai-pongan, Gugum Gumbira pencita Jaipongan, dan Sistriarji Sutradara Longser STSI

Page 27: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

17

Jawa Barat dikenal dengan berbagai seni pertunjukan dengan berb-agai bentuk serta fungsi, baik sebagai upacara ritual, hiburan, mau-pun penyajian estetis. Di berbagai daerah bermunculan proses

reinterpretasi, seleksi, dan eksperimentasi seni, serta melahirkan ber-bagai genre seni pertunjukan yang terbukti mampu bertahan terhadap kuatnya arus perubahan dinamika sosial dan budaya masyarakat. Kon-disi ini bisa diamati dari kehadiran berbagai genre seni pertunjukan, antara lain dengan munculnya berbagai seni pertunjukan yang didu-kung oleh para elite birokrat, serta berbagai pertunjukan yang tidak saja berkembang di kalangan rakyat, akan tetapi juga di kalangan masyara-kat menak serta pengusaha dan petani kaya, baik di perkotaan maupun di perdesaan.

Bentuk seni tradisi yang banyak difungsikan masyarakat, selain untuk kepentingan ritual, hiburan, dan tontonan atau apresiasi este-tis. Seiring dengan berjalannya waktu, berperan juga sebagai sarana pendidikan, penerangan, penyebaran agama, atau media politik, ajang gensi, ajang prestise, bahkan kini telah banyak yang menjadikan seb-agai ajang ekonomi sebagai seni industri.

Pada dasarnya seni pertunjukan memang mempunyai fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer, dalam arti, bahwa seni pertunjukan me-miliki tiga fungsi, yaitu (1) sebagai sarana upacara; (2) sebagai ungka-

Peran Seni Tradisi Komunikati f dalam Diseminasi Informasi

di Wilayah Jawa BaratEndang Caturwati ,Pakar Pertunjukan dan Kajian Budaya STSI Bandung

Page 28: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

18

pan pribadi; dan (3) sebagai presentasi estetis1. Adapun fungsi sekunder apabila seni pertunjukan bertujuan bukan untuk dinikmati, tetapi untuk kepentingan yang lain, atau multifungsi, antara lain sebagai pengikat kebersamaan, media komunikasi, interaksi, ajang gengsi, ajang bisnis dan mata pencaharian.

Sebagai media komunikasi, seni pertunjukan memiliki progresivi-tas dalam berkembangnya ragam dan format sajian untuk mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan masyarakat pendukungnya. Progresivi-tas seni pertunjukan sebagai media komunikasi dapat diamati dengan ‘pelebaran’ wilayah pertunjukan. Artinya ‘format sajian’ disesuaikan dengan fungsi dan kondisi, atau fungsi sosial yang belum tentu abadi dari waktu ke waktu2.

Memang, pada dasarnya setiap seni pertunjukan yang otentik, adalah tumbuh sebagai ekspresi masyarakat pendukungnya, yang bisa memenuhi sebuah fungsi sosial, berarti nilai kualitatifnya tidaklah le-nyap di dalam fungsinya3. Seni pertunjukan yang berkembang di Jawa Barat, pada kenyataannya banyak yang tumbuh sebagai ekspresi ma-syarakat, yang lebih komunikatif serta sarat dengan interaktif, terutama pada kesenian rakyat seperti sandiwara, longser, wayang golek, pan-tun, calung, reog, beluk, kemudian gending-gending kreasi baru atau wanda anyar karya Mang Koko, kemudian karya Nano dan garap tari dan Karawitan Jaipongan karya Gugum Gumbira, yang berkembang tidak saja di wilayah Priangan, tapi menyebar ke wilayah Jawa Barat, dan kemudian muncul para generasi penerus para koreografi muda dan komposer muda yang akhir-akhir ini semakin variatif coraknya, menunjukkan kecenderungan dalam melakukan reinterpretasi, seleksi dan eksperimentasi budaya berbasis pada tradisi seni pertunjukan lokal. Mereka melahirkan ‘karya-kaya kreatif’ yang bersumber dari lokal 4 .

Bahkan muncul berbagai pertunjukan yang merupakan langkah-langkah baru dalam konsep penciptaan, dengan berbagai medium,

1 R.M. Soedarsono, Metode Penelitian Seni Pertunjukan (Bandung: Masyarakat Seni Pertunju-kan Indonesia, 2001), 170.

2 Anya Peter Royce, The Antropology of Dance (Bloomington and London: Indiana University Press, 1980), 57.

3 Arnold Hauser, The Sociology of Art (Chicago and London: The University Of Chicago Press, 1985), 308.

4 Bambang Pudjasworo, “Dialektika Seni Pertunjukan Tradisi”, Seminar Revitalisasi, Transfor-masi, dan Globalisasi Seni, Dewan Kesenian Kabupaten Sleman Yogyakarta, 2004, 3.

Page 29: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

19

berbagai kolaborasi, baik antara etnik, atau negara lain yang disa-jikan tidak saja di gedung pertunjukan atau tempat pertunjukan seperti pendapa, amphyteater, atau berupa helaran (arak-arakan). Akan tetapi juga kini banyak pertunjukan yang tampil di tepi sungai, di sawah, di terminal, di halaman, di tempat sampah, hutan, candi, danau, dan tempat-tempat lain sesuai dengan konsep dari sang seniman, yang lebih banyak menghabiskan dana daripada memperoleh dana, serta hanya dalam waktu temporer (tidak berlaku ulang atau dipertunjukkan kem-bali di tempat yang sama).

Dalam hal ini dapat dibedakan, seniman-seniman yang menyajikan karyanya, dalam rangka sesaat untuk ‘ekspresi diri’, tanpa memperhi-tungkan dana yang diperoleh, serta seniman-seniman seni pertunjukan yang memikirkan seni bukan hanya sekadar ekspresi, tetapi juga seb-agai tuntutan ekonomi, yang harus memperhitungkan nilai uang.

Akan tetapi dalam proses globalisasi, sebagian dari sistem lama yang berlaku dalam masyarakat perlu mendapatkan penafsiran kembali untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya budaya baru. Dalam persaingan budaya dan kepentingan masyarakat semakin beragam, di-perlukan suatu sintesa agar kelangsungan hidup seni pertunjukan etnik bisa tetap survive. Sebagaimana yang sering diungkapkan oleh para sesepuh Sunda, bahwa “urang kudu bisa ngigel, ngigelkeun, jeung ngi-geulan zaman” (kita harus bisa menari, menarikan, dan merespon tar-ian zaman). Terlebih dengan zaman yang sarat dengan informasi, yang lebih menuntut hal-hal yang komunikatif, tanpa harus meninggalkan nilai-nilai etika dan estetika.

Kondisi Masa LaluSeni pertunjukan, adalah bagian dari totalitas kehidupan, yang men-

jadi ciri manusia sebagai makhluk khusus, dan karena itu sekaligus merupakan wilayah kegiatan yang bisa merasuk pada penggalian nilai-nilai manusia yang tidak akan pernah habis.

Berdasarkan dari hasil-hasil penelitian yang ada, di Jawa Barat sela-ma masa Orde Baru berkuasa hingga Orde Reformasi mengisyaratkan, bahwa seni pertunjukan tradisional, merupakan sesuatu yang bukan hanya diartikan sebagai sekadar media hiburan atau alat komunikasi, melainkan sebagai ekspresi diri dan sumber inspirasi gerakan spriritual

Page 30: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

20

sebuah komunitas lokal5. Pada tahun 1960-an, Jawa Barat dikenal dengan berbagai seni per-

tunjukan yang menjadi prestise para pejabat dan dapat berkembang di masyarakat, baik berupa seni tari, karawitan, drama, maupun arak-ara-kan atau helaran. Seni pertunjukan tersebut, tetap masih mempertah-ankan nilai-nilai edukatif, etika, dan estetika. Kendatipun di dalamnya bermuatan pesan-pesan agama, pendidikan, nilai-nilai moral, spriri-tual, informasi pemerintah berupa penanggulangan kesehatan dan per-tanian, atau komentar sosial, tetap saja dikemas melalui simbol-simbol, baik verbal maupun non verbal secara etis dan estetis.

Bentuk seni pertunjukan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah Priangan, wilayah Cirebon dan Indramayu, dan wilayah Pantai Utara atau dikenal dengan sebutan Pantura. Masing-masing wilayah memiliki ciri khas, sesuai dengan tradisi daerah para pendukungnya, yang bisa dilihat dari bentuk, gaya, bahasa, serta busana yang dikenakan. Seni tradisi yang berkembang di Jawa Barat, memang unik dan spesifi k.

1. Wilayah PrianganDi wilayah Priangan dikenal dengan berbagai pertunjukan tra-

disional yang di dalamnya bermuatan media dialog, lagu, gerak tari, bahkan pencak dan lawak. Masing-masing bentuk sajiannya memiliki kekhasan yang sangat unik, baik busana, cengkok lagu, gerak tari, irin-gan musik, properti, maupun stuktur pertunjukannya. Pertunjukan yang memiliki unsur bertutur, baik dialog ataupun syair lagu, antara lain se-bagai berikut:

1) Sandiwara Sunda (Priangan) Sandiwara Sunda merupakan pertunjukan yang berkembang

di kalangan rakyat dengan ceritera yang diambil dari ceritera Wayang, Roman (kehidupan sehari-hari), Babad, dan Ceritera Desik (atau kisah-kisah dari ceritera seribu satu malam seperti Sang Kuntala, Lampu Aladin). Adanya muatan pesan-pesan pen-didikan sangat dominan dengan ditampilkannya tokoh, protago-nis, antagonis dan tritagonis, serta suasana eros dan chaos, den-gan tidak menggurui, tetapi sifatnya menghibur.

5 Jeninfer Linsay , “ Cultural Policy an Performing Arts in Soteasst Asia”, dalam Biddragen, 151.

Page 31: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

21

Yang paling menarik, adalah setting layar dan kostum disesuaikan dengan tema. Sebagai contoh, ketika menampilkan ceritera Wayang, kostum, dialog, serta gerak, sebagaimana tokoh dan adegan dalam pewayangan. Begitu pula pada cerita Babad sebagaimana tokoh dalam ceritera sejarah Sangkuriang, atau se-jarah Pajajaran, dan lain-lainnya.

Media komunikasi antara pemain dengan penonton sangat dominan, dari dialog-dialog para pemain dan lagu-lagu yang di-lantukan penyayi. Grup yang paling dikenal pada tahun 1960-an di kota Bandung, antara lain, Sri Murni dan Sri Mukti.

2) Wayang Golek (Jawa Barat)Wayang Golek merupakan pertunjukan teater boneka yang

sangat popular di Jawa Barat. Wayang Golek memiliki lakon-lakon galur dan carangan yang bersumber dari ceritera besar Ramayana dan Mahabrata. Bahasa yang digunakan dalah bahasa Sunda dan diringi gamelan Sunda berlaras Pelog dan Salendro, dengan vokal yang dibawakan oleh sinden. Pertunjukan wayang golek sangat menarik, karena pada tahun 1960-an pernah terjadi adanya peran dalang yang tergeser oleh sinden yang kemudian dikenal sebagai sinden legendaris Titim Fatimah, dan Upit Sari-manah yang bisa mengubah struktur pertunjukan menjadi domi-nan penampilan sinden dengan saweran uang.

Perkembangan selanjutnya, kemudian beralih menjadi per-tunjukan yang mandiri tanpa dalang dan wayang, sebagai Klin-ingan Bajidoran yang dominan menampilkan sinden yang juga menyanyi dan menari, tidak hanya satu atau dua orang sinden, tapi 10 hingga 20 orang sinden, yang kini masih berkembang di daerah Subang dan Karawang sebagai seni hiburan yang menjadi andalah daerahnya. Adapun Wayang Golek mulai bangkit kemba-li setelah kehadiran Dalang Asep Sunandar Sunarya sekitar tahun 1980-an dengan kemasan baru, terutama dengan munculnya to-koh ‘si Cepot’ sebagai ikon dominan pada setiap pertunjukannya dengan dialog-dialog dan gerak yang lucu.

Pertunjukan Wayang bahkan menjadi pertunjukan prestise di daerah-daerah tertentu dengan dalang-dalang favorit setem-pat, antara lain untuk daerah Cilangkap Sumedang Dalang Asep

Page 32: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

22

Sunandar Sunarya, daerah Buah Dua Sumedang Dalang Dede Amung, dan lain-lainnya. Pada musim pemilihan umum dan pencalonan Presiden, Wayang Golek sering dijadikan sebagai media kampanye yang pesan-pesannya dititipkan melalui dialog tokoh Wayang.

3) Gending Karesmen (Priangan) Gending Karesmen (Drama Suara) merupakan drama yang

dialognya berupa syair yang dilagukan, yang terkadang diselingi dengan gerak tari. Lakon-lakon yang ditampilkan pada umumnya dari kisah sejarah atau legenda. Gending karesmen yang terkenal di Jawa Barat, antara lain lakon Pangeran Jayakarta, Si Kabay-an, Nyai Dasimah, Gesan Ulun, Lutung Kasarung, Samagaha, Pahlawan Samudra, Raja Kecit, dengan sutradara seniman yang piawai dalam bidangnya, yaitu Koko Koswara. Ceritera yang dib-awakan mengenai pesan moral dan sosial yang tentu saja bermua-tan pendidikan.

Gending Karesmen, pernah berjaya di tahun 1970-an, kend-atipun awalnya diiringi dengan gamelan pelog-salendro yang lengkap, akan tetapi yang berkembang di masyarakat terutama pada perayaan-perayan HUT Proklamasi Indonesia, berupa dra-ma suara minimalis dengan diiringi kecapi, kendang dan gong.

4) Degung (Priangan)Degung merupakan sajian karawitan (musik tradisi) dan vokal

dengan diringi gamelan degung. Pada awalnya lagu-lagu Degung berupa instrumental yang sangat khas yang tabuhannya sangat unik, dinamakan Lagu-lagu Ageng, seperti Pajajaran, Bima Mo-bos, Galatik Manggut, Kinteul Buek, Beber Layar, Manintin, dan lain-lainnya. Perkembangan selajutnya degung berkembang men-jadi lagu-lagu sawilet seperti Catrik, Kulu-kulu yang bias mengir-ingi berbagai lagu dengan syair yang sarat dengan pesan-pesan atau informasi mengenai pendidikan, cinta tanah air, cinta ibu, menabung, dan lain-lain. Degung sering ditanggap pada acara-acara resmi atau hajatan-hajatan pernikahan dan sunatan.

Grup-grup yang terkenal pada tahun 1970-an adalah Para-hiayangan pimpinan E Tjarmedi, Ganda Mekar pimpinan Mang

Page 33: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

23

Koko, Mayang Binekas pipmpinan Dadang Sulaeman, Gentra Madya pimpinan Nano. S, Dewi Permanik pimpinan Euis Ko-mariah, Grup Ujang Suryana, Damas (Daya Mahasiswa Sunda), serta grup-grup di tingkat daerah, sekolah-sekolah dan Pergu-ruan Tinggi. Yang tidak kalah penting, adalah Nano. S dengan grup Gentra Madyanya, membuat banyak lagu Degung dengan introduksi dan arasement tersendiri yang dapat menaikkan omset rekaman kasetnya, seperti lagu Kalangkang, Anjen, Cinta Ke-tok Magic, oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1984 dan 1986). Bahkan pada tahun 1980-an di luar Indonesia, pengem-bangan Degung dilakukan oleh perguruan tinggi Seni dan beber-apa musisi, antara lain Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santra Cruz-USA); musisi Lou Harrison (USA) beserta para mahasiswanya; Rachel Swindell (London-Inggris); Paraguna (Jepang); Evergreen dan John Sidal (Kanada).

5) Longser (Bandung) Longser merupakan teater rakyat, selain menyajikan ceritera

rakyat, unsur yang disukai oleh penonton adalah hadirnya bodor-an atau lawakan serta para penari Ketuk Tilu Ci-keruhan dan Pen-cak Silat. Gerak tari yang sangat khas, adalah gerak ‘uyeg’ pada Ketuk Tilu dengan sebutan khas ‘keplok cendol’ yang dibawakan oleh para penari perempuan yang disebut ronggeng. Kesenian ini sebagai perkembangan dari pertunjukan Doger dan Ketuk Tilu yang mulai tidak disukai oleh masyarakat yang muncul sebagai teater keliling dengan penyajian di arena terbuka, kebun bambu, tanah lapang atau tempat-tempat yang berhalaman luas dengan penerangan oncor (obor) berkaki lima yang diletakkan di tengah arena pertunjukan.

Sebagai pertunjukan rakyat Longser memiliki fungsi sosial, terutama karena setiap pertunjukannya, masyarakat dari berbagai tempat bertemu di satu tempat untuk bersama-sama menyaksikan cerminan dari kehidupan mereka sendiri. Konsep melodramatik mendasari ceriteta-ceritera tersebut karena selalu diakhiri dengan happy ending.

Selain media komunikasi berupa dialog, gerak dan syair lagu yang diiringgi gamelan salendro. Yang sangat menarik adalah,

Page 34: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

24

adanya dialog interaktif dengan penonton. Dalam hal ini untuk lebih menghidupkan suasana penonton diajak terlibat pada ade-gan-adegan tertentu.

Selain dialog, sindiran yang termuat pada syair sinden pun merupakan pesan yang handal untuk media komunikasi, berupa pesan spriritual, maupun sosial. Lagu yang sangat komunikatif pada masyarakat Jawa Barat, adalah lagu Kulu-kulu Sadunya dan Es Lilin, karena syairnya sangat fl eksibel dapat diisi dengan ber-bagai muatan pesan dan informasi, sebagai berikut.

Contoh syair Lagu Kulu-Kulu Sadunya: Kulu-Kulu Sedunia Dewi Sinta Dewa-dewa Rama Kasasarmah di alas roban, geuning Mikacinta-mikacinta ka sasama Hiji dasar kabangsaan Indonesia, ‘Pancasila’ Jaya (Dewi Sinta Dewa-dewa Rama Yang kesasar di hutan rimba Mencitai-mencintai kepada sesama Satu dasar kebangsaaan Indonesia, ‘Pancasila’ Jaya)

Lagu Senggot: Lagu Es Lilin Es lilin mah ceuceu kalapa muda Dibantunmah ceceu ke Kota Bandung Jangan lupa ceceu dan anak muda Narkoba sangat merusak penerus bangsa

Longser yang paling dikenal pada zamannya tahun 1960-an adalah Longser Bang Tilil dan Longser Ateng Japar. Bang Tilil menguasai pertunjukan di daerah kota Bandung ( Stasiun, Alun-alun, Tegal Lega, Cikawao, Cicadas dan wilayah kota Bandung), Sedangkan Longser Ateng Japar menguasai daerah Bandung Se-latan, Pangalengan, Cililin, Banjaran, Soreang, serta daerah seki-tarnya).

6) Beluk (Cianjur, Bandung, Bogor, Ciamis) Beluk, ialah satu jenis Tembang Sunda yang mempergu-

Page 35: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

25

nakan nada-nada tinggi, dan biasa diselenggarakan pada waktu syukuran bayi berumur 40 hari. Beluk dibawakan oleh 4 orang dan dibantu seorang juru ilo dan diselenggarakan pada malam hari. Setiap penyanyi berusaha melantunkan suaranya yang pal-ing nyaring, tinggi, melengking, serta enak didengar, sebab itu-lah yang menjadi ukuran terbaik. Sehubungan banyak para pe-nyanyi Beluk yang tidak bisa membaca, maka naskah dibacakan oleh juru ilo, kemudian dinyanyikan oleh penyayi Beluk. Lagu yang dibawakan, antara lain menggunakan pupuh Asmarandana, Dangdanggula, Sinom, dan Kinanti. Antara pembaca naskah dan penyayi terkadang tidak sama misalnya “ Ada raja mengem-bara” dinyanyikan menjadi “ Ada raja tidak bercelana”. Hal ini supaya penonton ketawa dan kantuknya hilang, Perkembangan berikutnya Beluk sering ditanggap pada acara-acara syukuran di perkawinan, atau sebagai pertunjukan. Namun demikian semen-jak populernya radio dan adanya TV, populasi Beluk kian hilang. Pada masa kini di Jawa Barat hanya tinggal beberapa kelompok grup yang masih hidup.

7) Gondang (Jawa Barat)Merupakan seni pertunjukan yang berkembang di masyarakat

dengan tampilan ‘drama suara mini’. Adapun unsur pertunjukan yang mendukung, adalah properti ‘lesung dan alu’ diiringi kaca-pi, kendang dan gong, tampilan para mojang (gadis) menumbuk padi dan para jajaka yang mencari cinta. Irama dentuman lesung para mojang yang membentuk irama atraktif, menjadikan para je-jaka (pemuda) datang memburu. Tampilan para jajaka sangat ko-cak dan terjadi dialog yang terkadang romantis, kocak, dan segar.

8) Reog (Jawa Barat) Pertunjukan Reog, merupakan pertunjukan yang dimainkan

oleh para laki-laki dengan membawa alat tepuk berupa dogdog yang dilitkan di bagian perutnya, mulai dari mulai ukuran besar hingga kecil, yang dibawakan oleh lima orang. Perkembangan berikutnya dilakukan pula oleh para pemain Reog perempuan, terutama dengan adanya festifal-festifal Reog bermunculan grup-grup yang berada di wilayah Jawa Barat. Penyajian pertunjukan

Page 36: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

26

Reog kolaborasi antara dialog, vocal dan gerak tari. Dialog yang dibahas seputar fenomena masyarakat, khususnya isu-isu penting di selingi dengan bodoran segar. Reog sering dijadikan sebagai media penerangan hal-hal yang penting oleh pemerintah.

9) Calung (Jawa Barat)Calung merupakan pertunjukan Sunda dengan menyajikan

alat waditra (instrumen) bambu yang dijinjing oleh lima orang pemain, sebagai prototipe angklung, dengan nada pentatonis pelog atau salendro. Bedanya cara membunyikannya tidak di-goyang seperti angklung, akan tetapi dipukul dengan tabuh stik bambu. Pertunjukan Calung diilhami dari pertunjukan Reog yang memadukan unsur-unsur dialog, tabuh, gerak, dan lagu. Lima orang pemain, masing-masing mempunyai peran sebagai melodi, pengisi ritme, bas, kenong, dan goong. Perkembangan Calung di Jawa Barat begitu pesat dengan adanya festival-festival Calung, baik di tingkat daerah, maupun perguruan tinggi, terutama Uni-versitas Padjadjaran (UNPAD) merupakan lembaga yang men-sosialisasikan pertunjukan Calung sebagai seni pertunjukan yang sarat hiburan dan informasi (penyuluhan). Perkembangan selan-jutnya pada penyajiannya. Selain waditra Calung ada penam-bahan beberapa alat musik, seperti kosrek, kacapi, piul (biola) bahkan organ dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga bermunculan vokalis Calung terkenal seperti Adang Cengos dan Hendarsonya. (Darso). Perkembangan masa kini per-tunjukan Angklung lebih dominan lagu-lagu vokalnya daripada dialognya.

10) Pantun (Ciamis, Bandung, Bogor)Seni Pantun, adalah seni yang berusia cukup tua. Dalam nas-

kah Siksa Kandang Karesian, yang ditulis pada 1518 M, disebut-kan babwa Pantun telah digunakan sejak zaman Langgalarang, Banyacatra, dan Siliwangi. Ceritera Pantun pun berkisar pada kisah-kisah Anggalarang, Banyacatra, dan Siliwangi. Perkem-bangan berkutnya lakon yang disajikan ditambah dengan naskah yang dianggap bernilai tinggi, antara lain ceritera Lutung Kasa-rung, Ciung Wanara, Mundinglayadikusumah, Sumur Bandung,

Page 37: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

27

Ratu Bungsu Kamajaya, dan lain-lainnya. Seni pantun disajik-an oleh juru Pantun berupa ceritera tutur dengan diiringi oleh kacapi berlaras pelog, perkembangan selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro. Ada dua bentuk seni Pantun yang biasa disajikan oleh masyarakat Sunda, sebagai sajian hiburan dan acara ritual (ruwatan). Dalam sajian hiburan ceritera yang diambil dari salah satu ceritera pantun yang dikuasai Juru pantun atau atas permintaan penanggap, sedangkan untuk acara ruwatan, (tolak bala), ceritera yang ditampilkan sama dengan pertunjukan Wayang, seperti Batara Kala, Kama Salah Murwakala.

Sebagai seni yang hidup di tatar Sunda sejak zaman Hindu sampai Islam dan menjadi anutan masyarakat, tak heran jiga ungkapan dan ajaran (petuah) ki juru Pantun, adalah merupakan pembauran kedua zaman tersebut. Selain terdapat kata isthigfar (islam), tertangkap juga ucapan ka dewata, ka pohaci, para karu-hun, para buyut, nama raja, dan lain-lain.

11) Blantek (Parung Bogor)Blantek adalah sebutan dari pertunjukan Sandiwara Rakyat

Parung Bogor, dengan iringan rebana, tahyan dan kecrek. Ceri-tera-ceritera yang dipertunjukkan antara lain: Bodoh pinter, Ke-tiban Duren, Salah Colek, Si Jampang Jago Betawi. Lagu-lagu yang dibawakannya adalah yang bernafaskan Islam, antara lain lagu Al Fiah, Aisyah, dan Maulana, sedangkan lagu-lagu, antara lain Bangket, Kicir-Kicir, dan Jali-jali, Lagu Karawangan, antara lain Oncom Lele, Balo-balo, dan Lagu Bogor, antara lain Palere-dan, Rendeu, dan Sang Bango. Blantek merupakan perpaduan seni daerah Bogor, Karawang dan Jakarta. Para pelawak Topeng Blantek di Bogor yang dikenal masyarakat, Acung, Koyok, Ke-dung, Tompel.

Selain jenis pertunjukan-pertunjukan yang telah diuraikan, di atas terdapat berbagai pertunjukan yang komunikatif, dalam arti menggunakan media komunikasi verbal, baik dialog dan lagu serta gerakan tari yang atraktif, yang pernah mengalami kejayaan pada masanya, antara lain adalah Ronggeng Gunung (Ciamis), Beluk, Ubrug, Reak, Surak Ibra, Angklung Bungko, Dogdog Lo-jor, dan Topeng Cisalak. Pertunjukan-petunjukan tersebut pada

Page 38: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

28

masa kini masih berkembang, tapi secara frekuensi pertunjukan-nya semakin jarang tampil karena jarang ditanggap atau difungsi-kan oleh masyarakat pendukungnya.

2. Di Wilayah Cirebon dan Indramayu

1) Tarling Tarling merupakan pertunjukan yang menggunakan paduan

gitar, suling, kendang dan gong, serta penyayi sinden (perem-puan) atau penyayi laki-laki. Oleh karena instrumen yang mendo-minasi gitar dan suling, jadi nama pertunjukan diambil dari kedua alat tersebut. Perkembangan Tarling pada tahun 1960-an cukup pesat dengan lagu andalan Kiser (lakon yang dinyanyikan), sep-erti Saida-Saeni, Pegat Balen, Lahir Batin, juga lagu Banyu Mata, Mbrebes mili, Padang Wulan, Pasrah Mati Njaluk Urip. Grup Tarling yang paling terkenal di Cirebon pada tahun 1966, adalah grup Tarling Nada Budaya dan Putra Sangkala, dengan ciptaan lakon drama, seperti Marta Bakrun, Baridin, Saida Saini, dan lain-lain.

2) SintrenSintren merupakan pertunjukan yang unik, dengan adanya

properti kurungan ayam, yang pemainnya (perempuan) dima-sukkan pada kurungan ayam dengan mata ditutup kain, serta mengenakan kacamata hitam. Sintren pada awalnya digunakan sebagai media dalam upacara tertentu, seperti ruwatan, nebus weteng, naeken suhunan, bersih desa, ngunjung. Beberapa makna yang mampu memberikan kekuatan, terdapat pada kesenian Sin-tren antara lain, makna mistis karena memiliki hubungan dengan perolehan magi simpatetis, yang tercermin lewat lagu-lagu yang disajikannya dengan monoton dan sederhana. Makna teatrikal Sintren yang digambarkan, ialah dengan tampilnya pawing, sin-tren dan kurungan, yang membuat adegan simultan. Musik pen-giring Sintren, adalah buyung, lodong bambu, kecrek (dari sapu lidi), hihid (sekarang diganti oleh karet bahan sandal), dengan lagu Turun Sintren, Kembang Tarate, Simbar Pati, dan lain-lain,

Page 39: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

29

yang dilantunkan oleh Sinden. Ditengah-tengah pertunjukan sering ditampilkan bodoran/lawakan, dengan dialog-dialog yang lucu tapi bermuatan sosial.

3) Topeng Cirebon Grup Penari Topeng dari desa Slangit Palimanan, lebih tepat

apabila disebut grup keluarga. Bermula dari Pak Krian seorang dalang Topeng, diturunkan kepada anaknya Arja (1879-1954). Pada Arjalah Topeng Slangit mulai dikenal, selain lengkap ko-reografi nya, gerakannya lebih indah dibanding daerah lain di Ci-rebon. Para penarinya juga dapat menabuh waditra. Arja pernah mendapat surat pengangkatan sebagai penari Kraton Cirebon, dan semua anak-anaknya bisa menari yang kemudian sebagai penerus generasi, seperti Sutia, Suparta, Suparti, Sujaya, Sujana, dan Keni. Kini yang masih melanjutkan Topeng Cirebon gaya Slangit tinggal Keni, (yang lainnya sudah almarhum) dan anak-anak Keni (Yono, Nunung), serta Inu Kertapani anak Sujana. Pertunjukan Topeng Cirebon sarat dengan pendidikan dan budi pekerti, Penggunaan lima buah kedok (berwarna merah, jingga, kuning, gading, putih), yaitu Klana, Jingga Anom, Tumenggung, Rumiang, Pamindo, Panji, dengan tingkatan karakter, menggam-barkan sifat manusia (lima nafsu). Topeng terdapat beberapa gaya sesuai dengan nama daerah di antaranya, Topeng Losari, Topeng Palimanan, Topeng Dermayon (Indramayu). Dalam per-tunjukannya, dimulai dengan menampilkan tari Panji, dilanjutkan dengan Pamindo, Rumiang, Tumenggung, kemudian Klana. Di tengah- tengah pertunjukan biasanya diselingi dengan bodoran si Pentul atau Tembem dengan dialog yang segar dan lucu, berisi muatan pendidikan dan masalah sosial.

4) Wayang Kulit Cirebon dan IndramayuWayang Kulit Cirebon dan Indramayu pada dasarnya tidak

banyak bedanya dengan Wayang Kulit Jawa, Perbedaannya yang menonjol hanya pada bahasa yang digunakan. Hanya saja di dae-rah Indramayu, dikabarkan sejarahnya, Wayang sering dipakai sebagai media dakwah Wali Sunan Kalijaga atas perintah Sunan Gunung Jati. Salah satu fungsi pertunjukan Wayang di Indramayu

Page 40: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

30

dan Cirebon, adalah sebagai sarana Ngaruat, yaitu membersihkan dari hal-hal yang dapat mencelakakan manusia.

5) Sandiwara CirebonSandiwara Cirebon di kalangan masyarakat Jawa Barat dike-

nak dengan sebutan ‘Masres’. Pada tahun 1970-an Sandiwara Cirebon mengalami masa kejayaannya, maka tidak heran, jika pada masa itu bermunculan grup-grup Sandiwara di setiap desa dan kecamatan. Sebagaimana juga Sandiwara Sunda, Sandiwara Cirebon juga menyajikan kesenian yang lebih menonjolkan unsur dialog dengan bahasa Cirebon. Adapun ceritera yang disajikan mengambil dari babad Cirebon, antara lain Nyi Mas Gandasari, Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, Tandange Ki Bangus Ran-gin, dan Pusaka Golok Cabang. Pertunjukannya dilakukan pada malam hari, dengan strutur pertunjukan, sebagai berikut: musik pembuka (sebagai tatalu); adegan gimmick (surprise dengan trik panggung kembang api); tarian pembuka; pertunjukan lakon; penutup dengan musik dan epilog pimpinan sandiwara.

6) Sandiwara IndramayuPerkembangan Sandiwara di Indramayu tidak terlepas dari

perkembangan Ketoprak dan Sandiwara Cirebon. Bedanya menggunakan bahasa Cirebon, serta banyak menggunakan spec-tacle-spectacle dan musik Dangdut Cerbon-Dermayon. Grup Sandiwara yang jadwal panggungnya penuh dan dikenal di ma-syarakat, adalah Grup Darma Saputra, Aneka Tunggal, Gema Nu-santara, Sang Putra Darma, dan Panca Tunggal.

3. Di Wilayah Pantai Utara (Pantura)1)Kliningan Bajidoran (Jaipongan Pantura)

Kliningan Bajidoran, adalah sajian pertunjukan hiburan kalangenan dengan menampilkan sinden-penari dan sinden-pe-nyanyi sebagai media pertunjukannya. Pertunjukan model ini merupakan perkembangan dari pertunjukan yang menyajikan unsur karawitan (musik tradisi) dengan menggunakan gamelan Pelog-Salendro, yang kemudian berkembang dengan adanya tar-ian hiburan, yang selanjutnya dikenal dengan nama Kliningan

Page 41: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

31

Bajidoran, yang mengutamakan adanya interaksi sinden-penari atau penyanyi dengan para pengibing.

Pertunjukan ini sangat digemari oleh masyarakat, dan difung-sikan sebagai tanggapan yang wajib disajikan pada hajatan ma-syarakat Subang, sebagai ajang prestise, ajang interaksi, ajang komunikasi, bahkan ajang ekonomi, baik bagi seniman, penang-gap, dan para pedagang yang selalu hadir di manapun Bajidoran idolanya ditanggap. Di Subang tercatat pada tahun 1999 terdapat 158 grup. Namun demikian semenjak adanya musik Organ Tung-gal dan Dangdut, populasi tersebut makin berkurang, terutama dengan munculnya grup-grup Kliningan Bajidoran yang dip-impin oleh para perempuan.

2)Topeng Banjet Karawang Topeng Banjet , adalah Tetater khas Karawang dengan cirri

yang paling dominan pada gerak tari yang cenderung erotis, yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan ‘Goyang Karawang ’ , yaitu goyang pinggul dan bokong yang aduhai. Selain tariannya yang erotis, juga lawakannya cenderung lugu, apa adanya. Ceri-tera yang dimainkanpun sangat akrab, merupakan persoalan ma-syarakat Karawang. Banjet identik dengan dengan Doger, yang menunjuk pada sebuah tontonan yang menampilkan ronggeng dan diringi gamelan yang dinamis.

Sebagaimana umumnya teater rakyat, Banjet memiliki waktu pertunjukan yang hampir sama dengan tetaer lainnya (Longser, Sandiwara Sunda, Sandiwara Indramayu, Matres, dll). Pertuju-kannya dimulai sekitar pukul 21.00 hingga pukul 05.00 dini hari, dengan menggunakan iringan gamelan yang sederhana (mudah dibawa) serta bahasa Sunda yang dicampur dengan bahasa In-donesia dialog Betawi. Topeng Banjet hingga sekarang masih dipertunjukan oleh masyarakat Karawang terutama di desa-desa sebagai sarana pelengkap upacara hajat Bumi, atau upacara per-putaran waktu, yaitu waktu musim turun nyambut (membajak sawah), nyambut cai (menjemput air dari irigasi), juga syukuran seperti hajat perkawinan, sunatan, dll.

Banjet mempunyai sebaran yang cukup luas, antara lain ke Bekasi, Bogor Utara, Purwakarta, Subang, bahkan, Priangan.

Page 42: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

32

Kelompok Banjet sebagaimana juga pertunjukan Longser, dalam perjalanan sejarahnya (sebelum tahun 1960-an) aktif mengalami tradisi ngamen, dari daerah-ke daerah. Walaupun kemudian ter-jadi pasang-surut.

Tokoh Banjet, antara lain Bang Seli (Tambun), bang Enjin (Subang), Bang Nasmi Pagaden Subang, Bang Jiun dan Mak Kinang (Cijantung), Mang Dalih (Cimanggis Bogor), Bang Kacrit (Bekasi) serta Bang Ali Syaban dan Bang Awing (Karawang). Se-jalan dengan perkembangan zaman Kelompok yang bertahan dan cukup popular, antara lain Kelompok Topeng Banjet Asmu atau Pendul (sekarang Pendul Putra), Dasim menjadi Topeng Banjet Reman, Topeng Banjet Tinggal menjadi Topeng Banjet Baskom, Topeng Banjet Sapar menjadi Topeng Banjet Alisyaban (seka-rang menjadi dua, yakni Kelompok Ijem dan Askin)

Kondisi Masa SekarangPada era komunikasi yang serba canggih, masyarakat Jawa Barat

dihadapkan pada banyak pilihan. Faktor-faktor yang terjadi didasari pertimbangan, dalam menentukan pilihan, di antaranya: selera, status, prestise, dan sebagainya. Dalam hal ini, masih banyak seni pertunjukan lokal yang hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang me-nyebut dirinya sebagai masyarakat modern. Tidak dapat dimungkiri, dalam era globalisasi, seni pertunjukan tradisional di Jawa Barat ban-yak mengalami perubahan. Sebagian di antaranya ada yang berubah fungsinya, sementara yang lain mengalami perubahan bentuk, atau bah-kan orientasi nilai budaya. Bahkan banyak yang hilang seiring dengan bergulirnya zaman.

Namun demikian beberapa seni pertunjukan yang hingga kini masih berkembang dan difungsikan oleh masyarakat pendukungnya, bahkan dijadikan ajang prestise, adalah, sebagai berikut:

1) Wayang Golek, Wayang Golek masih difungsikan di masyarakat, kendatipun

secara frekuensi pertunjukannya tidak sebanyak pada tahun 1960-an dan tahun 1990-an pada masa Dalang Asep Sunandar Sunarya, Ade Kosasih (alm), serta Dede Amung. Kondisi diakibatkan ber-bagai faktor, terutama juga tarif yang tinggi atau terlalu mahal.

Page 43: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

33

Untuk para dalang-dalang kahot, seperti Asep Sunandar Suna-rya, dan Dede Amung (untuk dalang Asep Sunandar Sunarya berkisar Rp 50 juta rupiah, dan Dede Amung berkisar Rp 40 juta rupiah). Pada masa kini masyarakat perkotaan dan perdesaan se-bagaian besar berpikir praktis dan ekonomis, daripada Rp 50 juta hanya untuk sebuah pertunjukan Wayang Golek, lebih memilih untuk menambah membeli mobil atau ibadah Haji, dll. Hanya orang-orang yang berduit serta beberapa kelompok organisasi parpol (sebagai ajang kampanye), dan lembaga-lembaga terten-tu yang masih mampu menanggap dalang-dalang kahot. Akan tetapi dengan munculnya para dalang muda seperti Hedi Riskon-da, Asep Koswara Dede Amung, Wawan Dede Amung Sutarsa, Dadan Sunandar Sunarya (putra Asep Sunandar Sunarya), serta Deden Sunandar Kosasih (putra Ade Kosasih Sunandar Sunarya) yang tarifnya berkisar Rp 20 juta (dalam kota), Wayang Golek dengan dalang-dalang muda ini masih bertahan digunakan untuk masyarakat-masyarakat tertentu.

2) Longser (Bandung)Adapun Longser yang masih bertahan, antara lain adalah, di

daerah Bandung selatan pimpinan putra Ateng Japar, Longser-longser yang berkembang pada masa kini adalah, Longser Antar Pulau yang para pemainnya para alumni STSI Bandung, serta Longser Sasagon campuran Alumni STSI Bandung yang mela-hirkan artis-artis yang sering manggung di TV seperti Sule, Rina, Argo, Ki Daus dll.

3)Teater Sunda Kiwari (Bandung) Kelompok Teater yang menggunakan bahasa Sunda,didirikan

tahun 1975 dengan koordinator Hidayat Suryalaga. Ceritera yang ditampilkan naskah karya Saini KM, Wahyu Wibisana, Yosep Is-kandar yang diterjemahkan oleh Eti RS ke dalam bahasa Sunda. Stuktur pertunjukan sebagaimana pertunjukan Teater berbahasa Sunda lainnya.

4) Calung dan ReogAdapun seni Calung dan Reog, pada masa kini mulai kem-

Page 44: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

34

bali digalakkan dengan cara diselenggarakannya ajang festival antar daerah se Jawa Barat yang diikuti oleh Grup Reog laki-laki dan Grup Reog Perempuan Calung Remaja. Grup Reog Gem-bol Perempuan dari Kota Bandung yang mendapat juara, sering mendapat tawaran manggung pada acara-acara pesta rakyat.

Selain seni-seni tradisi, bermunculan pula seni-seni baru, pengem-bangan dari seni tradisi yang sifatnya menghibur, antara lain:

5) GlamorGlamor, asal kata dari, gerak, lagu, dan humor. Tampilannya

sungguh memukau karena dialognya yang kocak, diiringi tampi-lan lagu-lagu daerah Sunda, Batak, Minang, Jawa, dll, yang dikolaborasikan dengan lagu pop Indonesia dan Barat, Dangdut, Keroncong, serta geraknya tarinya yang membuat geli serta dia-log plesetan yang membuat suasana segar. Penyajiannya diringi kecapi elektrik, biola, kendang dan gong, bertangga nada diato-nis, salendro dan pelog dengan pemain enam orang, dan pe-musik empat orang. Glamor berdomisili di Kota Bandung dengan pimpinan Atang Warsita, di Jalan Buah Batu Bandung. Pada acara kampanye parpol, Glamor sering diminta untuk manggung keliling daerah dengan tarif lokal berkisar Rp 10 - 15 juta.

6) Jenaka Sunda Grup Jenaka Sunda ‘Kanca Panglima’, merupakan kelompok

seni pertunjukan yang bergerak di bidang seni komedi, dengan menitikberatkan pada garap vokal tradisi Sunda dan dilengkapi dengan dengan garap vokal kekinian. Keunikan grup ini adalah pada vokal yang dijanyikan oleh Tarjo yang bernada tinggi, mengelu-ngelu sebagai duplikasi kesenian ‘Beluk’ yang hampir punah (karena salah satu vokalisnya (mang Ukok) yang telah al-marhum), serta gerak dan mimik ekspresi muka yang lucu dari para pemainnya membuat para penonton terhibur. Grup Jenaka Sunda dimainkan oleh lima orang pemain serta 3 orang pemain musik kacapi, kendang dan gong, dengan memasang tarip lokal berkisar Rp 10 juta. Grup Jenaka Sunda Panglima beralamat di Bandung pimpinan Lili Suparli, di Komplek Panyileukan Band-ung.

Page 45: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

35

Adapun di wilayah Pantura hingga saat ini seni pertunjukan yang masih eksis antara lain:

1) Kliningan Bajidoran atau Jaipongan Pantura Pertunjukan model ini di daerah Subang dan Karawang masih

menjadi primadona. Bahkan dengan munculnya grup-grup yang dipimpin oleh perempuan, kini secara populasi lebih banyak grup yang dipimpin oleh perempuan yang banyak manggung daripada yang dipimpi laki-laki, antara lain Kliningan Bajidoran di daerah Subang, Grup Giler Kameumeut, Ati Grup, Cineur Grup, Cabe Rawit, Cicih Cangkurileung, Ipah Gebot, Titin Dongkrak, Linda Grup, dan Euis Oray. Untuk daerah Karawang Suwanda Grup, Namin Grup, dan Euis Dongkrak.

2) Topeng BanjetTopeng Banjet yang masih bertahan pada masa kini, adalah

Kelompok Ijem dan Askin, itupun hanya ditanggap pada hajatan-hajatan perkawinan di kampung-kampung, serta lembaga-lemba-ga seni dan budaya sebagai apresiasi Seni masyarakat.

Budaya Lokal dan Tantangan Masa Depan

Barangkali bisa dijadikan referensi, di beberapa negara maju sep-erti Jepang, selain industrinya terdepan dibandingkan dengan negara-negara lain, ternyata penghargaan masyarakat terhadap seni pertunju-kan tradisionalnya (teater tradisional) Kabuki, dapat diacungi jempol. Selain Kabuki, seni sastra serta seni lukisnya pun maju. Begitu pula nilai-nilai etika yang masih sangat dijunjung tinggi. Selain Jepang, negara yang masih menjujung tinggi budayanya antara lain adalah Chi-na. China dikenal memiliki berbagai Gedung Seni Pertunjukan yang representatif yang ditangani secara profesional dengan melibatkan 200 orang seniman, baik berupa seni pertunjukan Opera, juga seni Pertun-jukan Akrobatik dengan kolaborasi teknologi canggih. Selain dikenal dengan peninggalan budaya, seni pertunjukan dan bangunan-bangunan bersejarah, China pun dikenal dengan ramu-ramuan pengobatan tradis-ional. Dan yang paling dikenal dunia, serta dapat di temui di belahan dunia manapun, adalah makanan tradisional khas China.

Malaysia, memiliki gedung Seni Pertunjukan yang modern lengkap

Page 46: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

36

dengan panggung sistem hidrolik (lighting, artistik, dll), dengan seni-man tari, musik, dan seniman lainnya, sekitar 250 orang. Pertunjukan pun disajikan secara periodik, baik pada festival-festival; lomba-lomba balap mobil, sepeda, dll; TV-TV Swasta dan Pemerintah; Wisuda per-guruan tinggi yang wajib diiringi gamelan, serta radio-radio yang me-nyiarkan musik tradisional (di antaranya juga Keroncong Indonesia).

Bahkan di Malyasia, dalam arena balap sepeda, selain digelar per-tunjukan budaya Malaysia juga digelar pertunjukan Indonesia hampir di setiap antar Kota, seperti tari Kuda Lumping, tari Piring, tari Ran-tak Minang, serta pertunjukan Angklung, yang dikunjungi masyarakat pewisata baik negara asal, maupun mancanegara. Lambat-laun dunia mengakui, bahwa penyajian seni pertunjukan tersebut, adalah milik negara Malaysia, karena di negara asalnya Indonesia jarang ditemui dalam event/event terbuka. Amerika Serikat sebagai negara adikuasa, ternyata masyarakatnya sangat menghargai musik rakyat, sastra, dan produk kesenian rakyat lainnya. Demikian pula dengan Jerman, Inggris, dan Perancis, selain mengedepankan teknologi juga tidak mengesamp-ingkan seni pertunjukan milik negaranya.

Masyarakat Indonesia, terutama Jawa Barat agaknya justru menjauhi seni tradisi, dan cenderung mengedepankan teknologi dan ekonomi ke-masan yang baru (yang sebelumnya tidak ada). Atas dasar uraian yang telah dipaparkan, akhirya dapat disimpulkan, bahwa tantangan masa depan seni pertunjukan tradisional dapat dipilah menjadi dua, yaitu : (1) Sumber Daya Manusia (SDM seniman yang kreatif), serta (2) Moti-vasi berbagai pihak terkait untuk memberdayakannya (memfungsikan).

Kebijakan pemerintah dalam menumbuhkembangkan seni pertunju-kan tradisional sebagai kekuatan lokal, hendaknya ‘bersifat simbiotis’. Begitu pula program-program konservasi, pengembangan dan pembi-naan seni perunjukan tradisional, haruslah bersifat komprehensif dan berkesinambungan. Bukan hanya bersifat kesementaraan dengan hanya berpedoman ‘SPJ’, atau menghabiskan dana proyek daripada hangus.

Tidak adanya ‘ruang’ 6 publik yang dapat digunakan sebagai ajang kreativitas para seniman, serta mensosialisasikan dengan dana yang murah , merupakan salah satu kendala untuk berkembangnya seni tra-disi di Jawa Barat. Padahal kesenian yang paling lokal, jika benar-benar merupakan ekspresi artistik dan mengungkapkan kedalaman naluri ma-nusia, akan memiliki daya tarik yang universal. 6 Ruang, tidak berarti hanya sekadar ‘ tempat’, tetapi juga aktivitas-aktivitas seni pertunjukan.

Page 47: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

37

Terlepas dari itu semua kini diperlukan bukan hanya melihat satu persatu, atau ruang-ruang yang terpisah, akan tetapi merupakan tang-gungjawab kita semua. Kita perlu memiliki kesadaran global, yakni pemahamam (pengakuaan, kepercayaan) terhadap kesalinghubungan semua pihak yang terkait, tanpa sekat-sekat ruang komunikasi. Semua tersebut di atas dapat terwujud apabila ada kerjasama ‘teks dan kon-teks’, serta adanya ‘Ruang bagi seniman dan karya seni pertunjukan lo-kal.’ Semua lokal merupakan bagian dari global, dan sebaliknya dunia yang berupa bola (globe) menuntut kepedulian lokal-lokal.

Kerjasama yang dimaksud, secara teks dan konteks, antara lain se-bagai berikut.

1. Kerjasama semua pihak antara pemerintah, pihak swasta, dan lembaga-lembaga terkait, serta masyarakat;

2. Kebijakan Pemerintah untuk menyusun Perda, khususnya den-gan makin banyaknya mall, supermaket, dan hotel berbintang, diwajibkan adanya ‘ruang’, selain menyajikan makanan tradis-ional, interior tradisional, kerajinan tradisional, juga pertunju-kan tradisional, baik yang mewakili daerah khususnya, Indone-sia pada umumnya;

3. Adanya sinergi, khususnya program-program konservasi, pengembangan, serta pembinaan seni dan budaya, dari lembaga terkait, sesuai dengan kebutuhan di lapangan;

4. Kurikulum yang sinergis, khususnya ‘materi terapan’ untuk kepentingan konservasi budaya serta kepentingan pengemban-gan, dan pembinaan budaya /kepentingan masyarakat (STSI, STISI, UPI-Jurusan Sendratasik UPI, Program studi Pariwisata, Sekolah-sekolah Pariwisata, UNPAD program studi Pariwisata dan Budaya) ;

5. Kurikulum Muatan Lokal (Seni) di sekolah-sekolah yang diso-sialisasikan secara menyeluruh;

6. Penulisan buku-buku serta penelitian seni tradisi yang didanai khusus oleh lembaga-lembaga terkait,

7. Diadakannya berbagai Festival Seni Tradisi oleh lembaga-lem-baga terkait;

8. Pembuatan fi lm dokumenter sebagai arsip kekayaan daerah;9. Difungsikan oleh masyarakat, atau pihak-pihak terkait dengan

dipertunjukkannya pada acara-acara penting di berbagai event,

Page 48: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

38

terutama acara-acara penting, baik di daerah regiaonal, maupun nasional.

10. Dibuatnya undang-undang dan didanai khusus, setiap lembaga pemerintah atau swasta untuk mempertunjukkan seni tradisi minimal 1 tahun 2 kali pertunjukan.

Penutup Dengan demikian, apabila semua itu telah terwujud, berarti ma-

syarakat Jawa Barat atau lembaga-lembaga terkait telah memahami arti dari pelestarian dan pengembangan budaya dengan makna yang sesungguhnya. Pelestarian seni tradisi sebagai warisan budaya bangsa yang bukan hanya merupakan obsesi, untuk menghantarkan kembali masyarakat ke koridor sejarah masa lalu. Keyakinan historis, bahwa tradisi merupakan akar budaya serta kekuatan lokal, serta Ekspresi Bu-daya Lokal tidak hanya sekadar memberikan kebanggaan, tetapi juga kesetiaan untuk memelihara dan merekayasa nilai-nilai luhur dan tra-disi besar bangsanya. Sebagaimana julukan Indonesia yang dikenal di dunia sebagai bangsa yang sangat berbudaya. Itu berarti, bahwa kebu-dayaan nasional yang dibangun harus berfungsi sebagai instrumen yang mengakomodasi masa kini dan membuka pintu masa depan, bahkan sepanjang zaman.

Sebagaimana yang tersurat dalam “Amanat Galunggung” yang ber-bunyi: “Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula, aya nu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ay-euna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna”. Ada dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tak ada pokok kayu tak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada cabang-nya (Saleh Danasasmita, dkk., 1987: 130).

Daftar PustakaBrandon, James R. Theatre in Southeast Asia. Cabridge, Massachusetts: Ha-

vard University Press, 1967.Endang Caturwati, Pertunjukan Indonesia, Bandung: Sunan Ambu STSI Press

2007.

Page 49: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

39

_______________, ed. Seni dalam Tumpuan Tradisi, Bandung: Sunan Ambu Press, 2009.

Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Jakarta: Pustaka Jaya, 2000. Harian Pikiran Rakyat, 7 Januari, 2008. Hauser, Arnold. The Sociology of Art ( Chicago and London: The University Of Chicago Press, 1985).Heikkila, Lori Waltz, http.www.centralhome.com/ballroomcountry/wallz.htm

,copyright.1996-2004.Pudjasworo, Bambang. “Dialektika Seni Pertunjukan Tradisi”, Seminar Re-

vitalisasi, Transformasi, dan Globalisasi Seni, Dewan Kesenian Kabupaten Sleman Yogyakarta, 2004.

Soedarsono, R.M. Metode Penelitian Seni Pertunjukan . Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001.

Page 50: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

40

ALAMAT KELOMPOK SENI TRADISI JAWA BARAT

No Nama Grup Seni

Jenis Seni Alamat Pimpinan

1 Jenaka Sunda Kanca Panglima

Hiburan Lagu, dialog dan humor

Komplek Bumi Panyileukan Blok FI No 11 RT 01 RW 05 Bandung

Lili Su-parli

2 Glamor Gerak , Lagu dan Humor

Jalan Buah Batu Bandung

Atang Warsita

3 Beluk Tembang & Tutur

Ciapus Banjaran Bandung

Oyib

4 Longser Antar Pulau

Teater Tradisi Jalan Buah Batu Bandung

Herman Efendi

5 Topeng Aninin-grum

Topeng Cire-bon

Desa Slangit Klangenan Cirebon

Keni Arja

6 Topeng Panji Asmara

Topeng Cire-bon

Desa Slangit Klangenan Cirebon

Inu Ker-tapati

7 Jati Suara Wayang Kulit Cirebon

Kalianyar Arjawi-nangun Cirebon

Amud

8 Langgeng Putra Topeng Cire-bon

Desa Slangit Klangenan Cirebon

Sanija

9 Sandiwara Dhar-ma Samudra

Sandiwara Cirebon

Dr Cangkring Kec. Plered Ci-rebon

Umar Karsiyan

10 Wayang Golek Hedi Putra

Wayang Golek Sunda

Jl. Mohamad Toha

Hedi Ris-konda

Page 51: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

41

11 Prakpilinkung (Keprak, Ke-capi, Suling, Ang-klung)

Hiburan Lagu, dialog dan humor

Jl. Moh Toha Nano. S.

12 Longser Pan-cawarna

Teater Tradisi Banjaran Bandung

Areng Japar Putra

13 Banjet Ijem Teater Tradisi Karawang IjemNo Nama Grup

Seni Jenis Seni Alamat Pimpinan

14 Calung Darso Musik, dialog, lagu, Humor

Bandung Darso

15 Reog Gembol Reog Perem-puan

Ujung Berung Bandung

Euis Gembol

16 Asep Dede Amung Muda

Wayang Golek

Bandung Asep Ko-swara

17 Wawan Dede Amung Muda

Wayang Golek

Bandung Wawan Dede Amung Sutarsa

18 Dadan Asep Sunandar Muda

Wayang Golek

Jelekong Bandung

Dadan Sunandar Sunarya

19 Deden Ade Kosasih Muda

Wayang Golek

Jelekong Bandung

Deden Sunandar Kosasih

Page 52: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

42

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof. Dr. Sri Hastanto. S.Kar. Pria kelahiran Jombang, 22 De-sember 1946 ini adalah Guru Besar Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta. Lulusan S3 Etnomusikologi University of Durham Ing-gris (1985) ini pernah menjadi Direktur Akademi Seni Karawitan

Indonesia (ASKI) Surakarta (1986–1988), Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta (1988–1997), Direktur Kesenian Departemen Pendidik an dan Kebudayaan (1998–2000), Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (2000–2006), Chairman ASEAN bidang Culture and Information (COCI) pada tingkat nasional Indonesia (2003–2006) dan tingkat regional ASEAN (2005–2006). Sejak tahun 2009 aktivitasnya lebih banyak mengajar di Program Pendidikan Pasca-sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta (sejak 2009).

Alamat Kantor : Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Jln. Ki Hadjar Dewantara 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126.Telepon/Faks : 0271-647658; 638974 / 0271-638974.Alamat Rumah : Jln. Bimasakti III/1 Kaplingan RT 05 RW 20 Jebres Surakarta 57126.Telepon/HP: 0271-664014 / 0813-88808037; 0813-29954762.E-mail : [email protected]

Page 53: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

43

Makalah dengan judul seperti tertera di atas (judul pemberian panitia) itu ditulis dalam rangka tema yang lebih besar yaitu: “Sinergi Seni Tradisi dengan Teknologi Informasi dan Ko-

munikasi untuk Pendidikan Publik” Tema sejenis pernah melandasi kegiatan yang diadakan oleh almarhum Departemen Penerangan pada masa itu. Pada saat itu, dan berkali-kali dalam berbagai kesempatan saya melontarkan kritik bahwasanya “sinergi” itu hanya berjalan se-pihak yaitu: Hanya seni tradisi yang terus-menerus dijadikan wahana penerangan, tetapi tidak pernah kekuatan penerangan itu digunakan un-tuk menyelamatkan kehidupan seni tradisi.

Saya sangat mengharapkan kali ini tidak seperti yang sudah-sudah. Satu sisi seni tradisi digunakan sebagai wahana penyampaian informasi untuk pendidikan publik, di sisi lain teknologi informasi dan komuni-kasi digunakan sebagai wahana penyelamat kehidupan seni tradisi yang notabene sebagai perangkat pendidikan publik. Saya percaya dengan demikian masing-masing akan memetik manfaatnya sehingga kegiatan itu akan dilaksanakan secara ikhlas.

Substansi InformasiKita sadar semua bahwa kini masyarakat rawan melakukan demon-

Sri HastantoPakar Etnomusikologi ISI Surakarta

Peran Seni Tradisi Komunikati f dalam Diseminasi Informasi

di Wilayah Jawa Timur

Page 54: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

44

strasi yang menurut perkiraan mereka sebagai wujud dari warga negara yang kritis. Tetapi sering gerakan unjuk rasa ini lebih dipicu oleh emosi dibandingkan oleh pikiran kritis. Hal ini perlu pendidikan publik.

Kita juga sadar bahwa ditengah-tengah terengah-engahnya rakyat mencari nafkah untuk hidup, di sana ada berbagai tingkatan Pilkada yang juga sering berujung pada gejolak masa. Ini juga diperlukan pendi-dikan publik. Kita sadar pula gejolak masyarakat yang kini mengendap tetapi dapat meletus sewaktu-waktu berhubungan dengan lumpur Lap-indo. Hal ini pemerintah harus benar-benar berpihak kepada rakyat dan keberpihakannya itu harus diinformasikan kepada rakyat dan sampai ke alamat yang dituju. Juga masalah-masalh yang berhubungan den-gan terorisme dan lain sebagainya. Mungkin kesenian tradisi dapat pula ambil bagian dalam pendidikan publik sehubungan dengan hal ini. Sub-stansi itu masih banyak lagi.

Sifat dan Matra InformasiSifat informasi akan sangat menentukan matranya. Secara sederhana

saya membagi matra ini ke dalam dua golongan, yang pertama adah matra yang bermuatan konsep; dan kedua matra yang bermuatan infor-masi ringan, fi sik, atau verbal.

Masalah yang berkaitan dengan pilkada sampai dengan pemilihan presiden informasi pendidikan publiknya tidak cukup hanya dengan yang bersifat fi sik atau verbal. Misalnya menanamkan slogan-slogan jurdil, atau penjelasan tentang caranya menyontreng, atau pesan mengi-hindari serangan fajar dan lain sebagainya.

Permasalahan ini juga diperlukan informasi untuk pendidikan pub-lik yang bersifat konseptual, misalnya penjelasan tentang arti dan dam-pak “legawa” dan sebaliknya penjelasan tentang tidak legawa dan dam-paknya. Kedua jenis matra tersebut dapat dibawakan oleh seni tradisi secara sabtun dan tidak vulgar tergantung seniman serta penikmatnya.

Seni Tradisi Komunikati fSebenarnya semua seni bila senimannya cukup matang dan penik-

matnya cukup mempunyai bekal, maka semua seni adalah komunikatif. Tetapi dalam konteks tema besar tertera di atas seni tradisi komunikatif ini tentu diartikan khusus, yaitu seni tradisi yang dapat secara verbal menyampaikan informasi dengan substansi yang berkaitan dengan pen-

Page 55: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

45

didikan publik. Di Jawa Timur seni tradisi semacam itu sangat banyak tetapi ada

yang bersifat sangat lokal sepertimisalnya Remo di Madura, dan ban-yak pula yang sudah tidak bekegiatan alias mati. Untuk itu dalam rang-ka ini saya hanya akan mengutarakan empat jenis kesenian yang teba jangkauan penikmatnya cukup luas: Pertama Kentrung; kedua Wayang Kulit; ketiga Ludruk dan keempat Ngremo

KentrungSetelah hampir 1 jam nyerocos menceritakan bagaimana kesaktian

Patih Batik Madrim (ceritera Anglingdarmo) dengan diiringi kendang dan terbang mbah dalang kentrung yang umurnya merayap ke satu abad itu membuat selingan dengan masih diiringi kendang dan rebana trung ... trung ...trung. Selingan itu masih menggunakan metrum yang sama seperti induk ceritanya:

tontonen punggawa desaterampil ngopeni warganggarap KTP gak tambah redanakabeh wis siap rampung sedina

Lihatlah itu pamong desa terampil melayani warga Mengerjakan KTP tanpa tambah biaya Semua siap selesai dalam sehari

Mendengar lantunan pujian terhadap punggawa desa itu ratusan pe-nonton yang berkerumun di dekat panggung bergeredeng, dan tiba-tiba seorang penonton berteriak: “ngapusi kuwi mbah” (bohong itu mbah).

“Lho piye kok ngapusi” (Lho bagaimana kok bohong), dalang kentrung balik bertanya dengan bahasa dialog biasa tidak dilagukan walaupun masih dibingkai dengan iringan kendang dan rebana.

“Wis sesasi KTP-ku ra dadi, mangka wis mbayar lho mbah” (sudah sebulan KTP-ku belum jadi, padahal sudah bayar mbah)

“O” kata dalang kentrung, lalu dilanjutkan dengan masih tanpa di-lagukan. “Kowe ki bakul apa buruh” (Kamu itu pedagang atau buruh) tanya dalang kentrung. ”Aku nelayan je mbah” (Aku seorang nelayan

Page 56: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

46

mbah). Langsung dalang kentrung tertawa terkekeh, lalu ujarnya (kini menggunakan lagu mengikuti irama kendang dan rebana:

Lha dhuwitmu mambu amisLha wong ambumu iya amis – wong nelayan – dhuwitmu digondhol kucingKTP-mu ya digondhol kucing (Uangmu berbau amis Karena kamu juga amis – maklum nelayan – Uangmu digondol kucing KTP-mu juga digondol kucing)

Spontan penonton tepuk tangan dan bersorak sebab dalang kentrung dengan sigap menanggapi respon penonton tadi sambil menyentil kelakuan punggawa desa yang senang berjudi. Kata “kucing” itu salah satu nama kartu cina yang dipakai berjudi mereka, artinya uang KTP itu telah ludes di meja judi. Dialog ini terjadi spontan dan tidak dirancang. Walaupun demikian karena jam terbang mbah dalang kentrung meng-hadapi publik telah sangat tinggi, maka dengan lancarnya ia menyu-sun teks spontan dan mengandung banyak muatan, muatan sastra, juga muatan kritik sosial. Itulah hebatnya kentrung.

Seni kentrung adalah seni tutur yang dilagukan dibingkai dengan iringan bermatra metrik oleh kendang dan rebada. Ceritera yang dib-awakan adalah berbagai legenda, dongeng, yang hidup di masyarakat. Kentrung dapat berceritera mulai dengan jenis Suminten Edan, sampai dengan Runtuhnya Majapahit. Dalam berceritera dalang kentrung sering melakukan selingan diantara babak satu dengan lainnya. Selingan itu dapat berupa apa saja, bahkan sering dalang kentrung membawakan current afair atau sekadar banyolan untuk meredakan ketegangan dan membuat refreshing perhatian penonton. Dengan keluwesannya itu kentrung sangat efektif untuk menyampaikan informasi ringan, atau hal-hal yang bersifat verbal lainnya.

Seni Kentrung kini dalam keadaan sekarat dalang kentrung hanya tinggal tidak lebih dari jari sebelah tangan kita. Padahal kentrung mem-punyai muatan yang sangat positif bagi bangsa ini. Ia dapat berfungsi sebagai agen transfer nilai-nilai, karena substansi yang dilantunkan adalah berbagai ceritera rakyat dan legenda yang sarat dengan nilai ke-hidupan manusia. Ia juga dapat berfungsi sebagai wahana kontrol sosial

Page 57: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

47

secara santun, seperti yang telah dicontohkan di atas.Apa yang dapat kita perbuat. Sinergi seni tradisi dengan teknologi

informasi dan komunikasi kiranya jangan hanya berjalan satu arah yai-tu: Seni tradisi digunakan sebagai wahana penyampai informasi saja. Tetapi juga bagaimana teknologi informasi dan komunikasi ini dapat menyelamatkan seni tradisi yang nota bene sebagai wahana pendidikan publik seperti tema besar pertemuan ini, dalam hal ini menyelamatkan kentrung dari kepunahan.

Dari berbagai berita bahwasanya beberapa radio swasta niaga telah berusaha mengadakan siaran kentrung walaupun terbatas pada setiap ulang tahunnya yang tentu saja tidak berbekas di hati masyarakat. Para petugas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten dan Kota juga telah berusaha mementaskan kentrung tetapi sekali lagi sepi pe-nonton. Jadi juga tidak berbekas.

Perguruan tinggi Seni seperti Institut Seni Indonesia dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia mestinya kapabel melangsungkan kehidupan kentrung dengan konsep yang matang. Tetapi hal ini belum berhasil mendapatkan tanggapan dari yang berwenang untuk mendapatkan dana yang pantas. Saya percaya Kementerian Koninfo dan Pendidikan Tinggi Seni dapat saling bersimbiose mutualistis menghadapi hal-hal semacam ini. Sekali lagi hal ini dilandasi dengan semangat ‘Sinergi Seni Tradisi dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pendi-dikan Publik” secara timbal balik jangan hanya berjalan satu arah yai-tu: Seni tradisi digunakan sebagai wahana penyampai informasi saja. Tetapi juga bagaimana teknologi informasi dan komunikasi ini dapat menyelamatkan seni tradisi yang notabene sebagai wahana pendidikan publik.

Wayang KulitWayang kulit gaya Jawa Timuran relatif masih lebih murni diband-

ing dengan wayang kulit yang kini laku di Jawa Tengah. Wayang kulit Jawa Tengah banyak yang kini telah menjadi tontonan yang meladeni selera masyarakat. Jadi jika selera masyarakatnya rendah maka sajian wayang kulitnya juga menjadi dangkal. Sebagian besar waktunya han-ya untuk “banyolan” kalau tidak “cengengesan” saat adegan Limbuk-Cangik dan Goro-goro. Wayang Jawa Timuran belum tertular virus ini, porsi alur cerita masih merupakan prioritas.

Page 58: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

48

Pak Suleman dari Waru dan murid-muridnya seperti Mas Wardono dan kawan-kawan masih membatasi diri menyisipkan hiburan ringan. Dalam adegan punakawan memang sering ada hiburan ringan seperti pilihan pendengar. Pada adegan inilah pesan-pesan propaganda dangkal dan yang bersifat verbal dapat dilontarkan.

“. . . E thole mula pada diwaspada, yen ana wong anyar nyal-awadi, apike enggal dilaporake marang sing berwajib, aja malah dipek mantu.

Durung nganti putune lair kowe ganti sebutan, dadi maratu-wane teroris. Apa ra cilaka. . .”

Pesan pendidikan publik semacam ini mudah sekali disipkan pada waktu yang tepat. Apa lagi bila teksnya disusun oleh seniman yang mempunyai wawasan luas, maka kadar kesantunan dan bobot informa-sinya akan dapat dipertanggungjawabkan

Pesan semacam itu tentunya untuk konsumen masyarakat yang ber-pendidikan menengah ke bawah. Untuk para petinggi daerah tentunya harus disajikan “masakan” lain yang lebih bergizi. Celakanya kalau sang petinggi itu malah tidak dapat menerima informasi yang lebih bersifat konseptual tetapi sudah merasa bahagia dapat mencerna infor-masi dangkal semacam itu. Kalau hal itu terjadi sebenarnya sang pe-tinggi belum saatnya jadi petinggi.. Berikut ini sebuah contoh informasi yang lebih bermartabat:

Ketika Raden Narasoma (kelak ia bergelar Prabu Salya) ma-sih muda, ia diculik oleh pendeta raksasa bernama Bagaspati. Ia nekat menculik Narasoma karena anaknya yang sangat cantik Dewi Pujawati, bermimpi bertemu dengan Narasoma dan jatuh cinta. Ia kemudian memaksa ayahnya mencari Narasoma sampai ketemu. Tadinya Narasoma menolak bahkan sempat perang tand-ing dengan Sang Begawan tetapi kalah. Setelah melihat kejelitaan Pujawawati iapun jatuh hati. Dinikahkanlah mereka.

Dalam “pakem” diceritakan bahwa Narasoma kemudian malu mempunyai mertua seorang Raksasa, maka ia membunuh sang mertua. Kebetulan sang mertua mempunyai Aji Candhabirawa yang luar biasa kekuatannya, maka atas kehendak Bagaspati Aji Candhabirawa agar masuk ke dalam tubuh Nrasoma dan men-jadi miliknya. Tetapi sebagai bagian dari kreatifas dalang berhak

Page 59: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

49

melakukan sanggit cerita. Bagaspati tetap mati tetapi kandungan nulai dari peristiwa itu sangat berbeda. Inilah sanggit itu:

Setelah malam pertama, Norasoma dipanggil Bagaspati, apak-ah dia mencintai Dewi Pujawati. Narasoma menjawab: “Ya”. Ka-lau demikian Narasoma sanggup tidak menterlantarkan Pujawati di kemudian hari. Narasoma menjawab “Sanggup” Seandainya Bagaspati mempunyai permintaan khusus apa Narasoma mau memenuhinya, Narasoma menjawab “Ya, dengan segala kemam-puanku”. . . .

“Raden, aku minta engkau berkenan menerima warisan Aji Candhabirawa . . .” Lalu Bagaspati menceritakan bagaimana kekuatan aji tersebut. Bagaspati juga berkata bahwa aji itu tidak lagi berguna bagi dirinya karena sudah tua dan sudah sepantasnya dimiliki oleh yang muda, agar dapat diamalkan untuk kebaikan manusia selanjutnya. Hati Narasoma bersorak, memang ia mem-butuhkan “sipat kandel” nanti setelah ia menjadi raja Mandaraka, maka jawabnya “. . . Ya Bapa saya dengan senang hati akan aku terima warisan Bapa . . .” “Tetapi ada syaratnya Raden . . .” “Saya sanggup memenuhi syarat-syarat itu. “Syaratnya Raden harus membunuh aku, sebab aji itu telah menyatu dalam tubuhku, han-ya dengan kematianlah aku dapat mewariskannya kepada Raden.

Karena telah sanggup. Dengan bercucur air mata Narasoma menghunus kerisnya dan dengan serta merta Bagaspati menu-bruk keris itu dan menghunjamkannya di ulu hatinya, mangkatlah Bagaspati, dan Aji Candhabirawa pindah raga yaitu raga Nara-soma.

Garapan seperti ini juga merupakan informasi untuk pendidikan publik, bagi mereka yang mempunyai bekal pengetahuan lebih luas. In-formasi itu memberi pemahaman bagaimana seorang tua yang legawa kedudukannya dilengser oleh yang muda. Info itu bila dicerna cukup dalam akan mempermalukan mereka yang setelah merasakan enaknya duduk di kursi lalu tidak mau turun walaupun sebenarnya sudah wak-tunya. Dalam ingar-bingar pilkada di mana penjabat lama dipandang sudah waktunya turun, kiranya garapan ini relevan untuk disajikan.

Demikian wayang kulit dapat menjadi wahana pendidikan publik “agal-alus” jadi tidak hanya pesan verbal saja. Di Jawa Timur sebe-

Page 60: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

50

lum pergelaran wayang dilaksanakan biasanya didahului dengan Tari Ngremo oleh seorang penari tau lebih. Penari ini biasanya wanita yang nanti akan bertindak sebagai pesinden dalam wayangan semalam sun-tuk. Dalam Tari Ngremo selalu ada bagian yang disebut “Nggandhang” yaitu sang penari berhenti menari tetap dalam sikap tari dan melantunk-an nyanyian yang disebut Kidungan. Dalam pertunjukan Ldruk juga demikian. Dalam tulisan ini akan dibahas “kidungan”nya yanmg meru-pakan wahana ampuh untuk melontarkan infrormasi pendidikan publik yang ringan-ringan. Hal ini akan dibahas setelah pembahasan Ludruk.

LudrukTidak banyak yang dapat saya utarakan perihal Ludruk ini. Ludruk

adalah teater daerah Jawa Timur dan yang terkenal adalah Ludruk Surabaya. Peranan wanitanya selalu dimainkan oleh pria (waria) yang biasanya sangat cantik. Hal itulah salah satu penyebab mengapa ban-yak orang menyenangi Ludruk. Ceriteranya bisa apa saja kalau perlu cerita Romeo and Juliet. Apapun ceriteranya sutradara berhak membuat “sanggit” seperti dalam wayang kulit tadi. Bedanya Ludruk lebih lel-uasa menggarap sanggit-nya. Sayangnya belum bayak kaum intelektual yang mau menggarap Ludruk sehingga pesan ceritanya dapat digunak-an sebagai pendidikan publik yang memadai.

KidunganSeperti telah saya singgung bahwa kidungan terdapat di dalam per-

tunjukan Tari Ngrema yang sering mengawali pertunjukan Wayang Ku-lit maupun Ludruk. Teks dalam kidungan sering sekali menggunakan bahasa klise yang menyanjung program pemerintah secara vulgar. Mis-alnya:

Pembangunan (dulur) kudu dipentingnaMarga pembangunan kanggo kabeh kitaAyo kanca padha aja tidha-tidhaMbantu pemerintah urun tenaga

Tetapi bila si penari mempunyai latar belakang mendidikan yang memadai, kidungan ini dapat sangat efektif digunakan sebagai wahana pendidikan publik. Misalnya: Ketika kita sedang dipusingkan dengan adanya tawuran antar fakultas dan bahkan antar kampus di banyak kota

Page 61: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

51

beberapa tahun yang lalu sempat disentil dalam kidungan oleh seorang penari ngrema pada sebuah hajatan di Mojokerto, sebagai berikut:

Manuk cocak (dulur), ngoceh neng tegalanOcehe panjang kaya huruf palawaDadi tukang becak (dulur) aja seneng dha tukaranYen seneng tukaran, ndhak kaya mahasiswa

Sentilan ini luar biasa, kocak dan konyol tetapi tepat dan sempat membuat kaum menengah keatas berfi kir tentang ulah mahasiswa yang sudah keterlaluan. Si tukang kidung menempatkan martabat rekannya para tukang becak yang kala itu melihat pementasannya jauh lebih tinggi dibanding dengan martabat mahasiswa.

Sinergitas Seni Tradisi dan KominfoBagaimana seni tradisi dapat dijadikan wahana pendidikan pub-

lik telah saya paparkan di depan. Sekarang apa yang dapat dilakukan Koninfo untuk menghidupi partnernya itu. Pertanyaan ini biasanya di-jawab dengan mengucuran dana. Tapi saya berpikir lain. Sebab kalau diberi dana maka kehidupan seni tradisi bagaikan mayat hidup, demiki-an dana habis, matilah mereka dan menyodorkan tangan lagi untuk me-minta.

Seperti kita ketahui bersama bahwa di dalam dunia seni tradis-ional belum tumbuh budaya kritik. Padahal fungsi kritik itu menyam-bung karya seni dengan penikmatnya yang kurang bekal. Dalam kri-tik dijelaskan apa yang kuat dan apa yang lemah sehingga penikmat akhirnya mengerti kesenian itu. Kritik bukannya mencela karya seni, tetapi kritik mendudukkan karya seni pada proporsi yang semestinya, sehingga dapat membantu penghayat menghayatinya untuk mendapat-kan keluasan pandangan dan kekayaan imajinasi hayatan. Kritik seni adalah karya ilmiah yang berdiri di antara karya seni dan penghayat. Kepada penghayat kritik memberikan penjelasan hal-hal yang kurang jelas dan kepada karya seni kritik menginformasikan bagian mana dari karya itu yang kuat dan yang lemah, sehingga baik penghayat maupun seniman akan meningkat kualitasnya. Peningkatan kualitas baik peng-hayat maupun seniman inilah yang akan mendorong seni tradisi hidup, sebab konsumennya telah dipersiapkan oleh kritik.

Saya akan berterus-terang sesuatu yang saya usulkan, berilah ru-

Page 62: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

52

ang kepada intelektual seni untuk untuk menulis kritiknya dan dapat dibaca oleh banyak orang baik secara regional maupun nasional. Per-tunjukan Kentrung di sudut kota Tuban akan merambah Jakarta, Medan Surabaya, Solo. Jogya dan sebagainya. Kidungan di pelosok Mojokerto juga akan dinikmati secara nasional. Berilah sebuah sudut untuk kritik seni tradisi di koran nasional, dan koran-koran daerah tentu saja dengan honornya yang memadai maka karya kritik seni tradisi akan bertumbuh dan itulah wujud sinergi yang sesungguhnya.

Mangan kupat (dulur) lalape timun,Ditambah gula rujake deganManawi lepat (dulur) lha nggih kajengipunWong dhasare kula niku dhagelan.*

Page 63: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

53

Page 64: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

54

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

F. Hari Mulyatno S.Kar, M. Hum. Dosen Seni Tari ISI – Surakarta ini akrab dipanggil Hari Genduk di kalangan komunitas seni. Saat ini tinggal di Bonoroto, Plesungan, Gon-dangrejo, Karanganyar.

Aktif dalam berbagai organisasi antara lain Pendiri/Ketua Umum Lembaga MENTARI SEGARA ANAKAN, Pendiri/Anggota Lembaga SOLO KOBAR, Perintis Padepokan PAN-DAWA (kawasan wisata religius), Anggota MOYO TIRTO, Pengging dan Pendiri/Pemilik padepokan LESUNG, semua di Surakarta.

Mahasiswa S3 Universitas Gadjah Mada Jurusan Kajian Budaya ini juga aktif dalam berbagai kegiatan penyadaran masyarakat melalui Seni Budaya Tradisional di Jawa Ten-gah, Jawa Timur, Bengkalis (Sumatera), Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Lulusan S2 UGM Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukkan Indonesia juga pernah pen-tas di luar negeri untuk Unjuk Budaya yang dilakukan oleh Pura Mangkunegaran (Sura-karta), Sardono Dance Company Jakarta, STSI/ ISI Surakarta, dan Pemda Kutai Barat dan Pemprop Kaltim.

Page 65: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

55

Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Allah Yang Maha Bijaksana, bahwa pada hari ini saya diperkenankan menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang Peran Seni Budaya Tradisional Kalimantan Se-

bagai Dimensi Informasi Publik. Saya juga berterima kasih kepada panitia/penyelenggara yang memberikan kesempatan untuk memberi masukan tentang seni dan budaya masyarakat Kalimantan-Indonesia yang majemuk kepada peserta diskusi dan pemerintah pusat, dalam hal ini jajaran Kementerian Kominfo, yaitu bagaimana seni dapat dipergu-nakan untuk menyampaikan informasi pembangunan, khususnya yang berada di wilayah peradapan masyarakat Kalimantan.

Saya sadar bahwa sebenarnya kurang tepat bahwa saya yang duduk dan menyampaikan pandangan dan informasi tentang seni budaya Ka-limantan yang begitu luas, dalam dan beragam. Saya menyadari bahwa sebagai salah satu pemerhati kebudayaan Kalimantan, merasa perlu dan mempunyai kepentingan tersendiri untuk menyampaikan pandangan pada forum diskusi pada hari ini dan pada Pemerintah Pusat, tentang peran seni budaya tradisional Indonesia khususnya dari belahan pulau Kalimantan untuk sama-sama mengkaji seni dalam Dimensi Informasi dan Komunikasi Pembangunan Indonesia.

Pada kesempatan diskusi hari ini, apa yang saya sampaikan adalah

F. Hari Mulyatno, S.Kar, M.HumDosen Seni Tari ISI Surakarta

Peran Seni Budaya Tradisional Kalimantan dalam Dimensi Informasi/

Komunikasi Pembangunan

Page 66: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

56

suatu pandangan dari hasil pengamatan dan pengalaman pribadi seb-agai insan pemerhati Kalimantan dalam bingkai penguatan sikap ke-bangsaan dan ketahanan masyarakat Indonesia melalui media seni dan budaya tradisional di Kalimantan sejak tahun 2006 sampai sekarang, khususnya di Kaltim dan di Kalteng. Sedangkan Kalbar dan Kalsel baru dalam proses awal penjajagan, mulai awal 2009.

Oleh sebab itu apabila pada kesempatan diskusi pada hari ini, apa yang saya sampaikan kurang atau tidak mencapai sasaran dari tujuan panitia, maka mohon maaf apabila naskah dan presentasi saya ini kurang atau tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, dan saya ber-sedia melengkapi informasi-informasi atau data-data tambahan yang diperlukan setelah forum diskusi ini. Saya juga mohon tanggapan dan masukan dari peserta diskusi tentang pandangan saya terhadap peran seni dalam Dimensi Informasi (non estetis), untuk langkah kerja saya lebih lanjut di dalam mendarma baktikan kemampuan saya di bidang seni untuk penyadaran masyarakat yang bangga menjadi Warga Negara dan Bangsa Indonsia pada masyarakat Kalimantan khususnya dan ma-syarakat Indonesia pada umumnya.

Pandangan Umum tentang SeniPada dasarnya seni adalah sarana komunikasi/sarana pengungkapan

pengalaman dan kebutuhan jiwa manusia kepada sesama manusia, ma-nusia kepada alam semesta raya dan manusia kepada makhluk yang dipercaya ada di alam lain. Blawing Barek, ketua Adat Besar Suku/Etnik Bahau dan ketua Adat Besar Dayak-Borneo, menjelaskan bahwa seni budaya Kalimantan (Dayak) itu sarana komunikasi antara makhluk bumi dengan sesama makhluk bumi, dan komunikasi makhluk bumi dengan makhluk langit,serta komunikasi makhluk bumi dengan makh-luk di atas langit. Artinya bahwa menurut pandangan masyarakat Ka-limantan (Dayak), seni dipandang mampu menjadi sarana komunikasi lintas batas kemampuan akal pikir (rasional) manusia. Yang dimaksud makhluk langit yaitu para leluhur dan makhluk Tuhan yang pernah di-lahirkan di bumi dan telah meninggal dunia, ataupun yang tidak pernah dilahirkan di bumi yaitu makhluk alam gaib yang masih dapat dijang-kau. Makhluk di atas langit adalah kekuatan luar biasa yang tidak dapat dijangkau oleh indra manusia pada umumnya secara langsung seperti para Dewa, Malaikat dan Tuhan.

Page 67: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

57

Sifat ungkap atau komunikasi seni adalah sifat ungkap simbolik, jadi bukan komunikasi verbal. Kalaupun toh ada seni yang menggunakan media bahasa verbal, akan tetapi itu hanya materi ungkapan, bukan inti atau esensi komunikasi. Oleh sebab itu para seniman dan budayawan seyogyanya lebih bijaksana di dalam memaknai seni untuk dipergunak-an sebagai media penyampaian pesan-pesan verbal. Apabila kita tidak bijaksana dalam mempergunakan seni untuk media propaganda atau seni sebagai penyampai informasi, bisa jadi sebaliknya dan masyarakat penonton tidak mengerti atau tidak paham inti pesan yang disampaikan, bahkan masyarakat bias menjadi apriori terhadap pesan-pesan penting melalui jasa seni, sehingga penyampaian pesan tidak dapat efektif, ti-dak efi sien dan tidak tepat sasaran. Hal ini memang tugas berat bagi kreator dan para motivator dan atau pemilik gagasan utama yang akan disalurkan melalui media seni. Kalau kita ingin menyampaikan infor-masi tanpa memerlukan proses penghayatan atau perenungan yang leb-ih mendalam, maka dari itu sebaiknya penyampaian informasi cukup menggunakan media bahasa verbal yaitu dengan bahasa lisan ataupun bahasa tulis saja, dan bukan bahasa kesenian

Bahasa SeniBahasa seni itu bahasa simbolik, jadi suatu media ungkap yang efek-

tif untuk menancapkan pesan yang sudah terlebih dahulu terekam di dalam pikiran, kemudian ditancapkan lebih lanjut ke dalam lubuk hati yang paling dalam untuk menjadikan sebuah perenungan, kemudian akan berlanjut pada pembentukan sikap dan perilaku yang bertanggung jawab bagi penghayat di kemudian hari, setelah mendapat sentuhan hati melalui media seni. Menurut saya lebih baik seni tidak untuk menyam-paikan informasi yang bersifat verbal, tetapi informasi bersifat simbo-lik, sehingga setelah mendapatkan informasi yang terekam di pikiran kemudian informasi tersebut ditancapkan di dalam lubuk hati sanubari yang paling dalam (rasa), kemudian akan tumbuh sikap dan perilaku lanjutan pasca penghayatan seni yaitu menindaklanjuti pesan-pesan pendidikan dan pembangunan yang telah diterimanya dengan tulus me-lalui media seni tersebut. Artinya isi informasi disampaikan terlebih da-hulu melalui media-media verbal, kemudian baru didalami lebih lanjut melalui media seni, agar isi informasi dapat terekam dengan baik, dan kemudian isi informasi tersebut akan diaplikasikannya dengan baik di

Page 68: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

58

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Fungsi Seni Saya lebih suka memaknai fungsi seni dari pengertian seni untuk

hidup. Oleh karena kebutuhan manusia itu beragam, maka fungsi seni juga beragam. Seni dapat dipergunakan sesuai konteks kebutuhan hidup manusia tersebut. Menurut saya, pada dasarnya kebutuhan hidup manu-sia itu meliputi kebutuhan jasmani (makan, minum, sehat), kebutuhan psikologis (tahu, mengerti, paham, senang, bangga) dan kebutuhan ro-hani/spiritual (nyes, plong, sreg, manteb dll).

Seni budaya didalam konteks seni yang dipergunakan untuk sarana penyampaian informasi, ini berarti menempatkan seni sebagai sarana penyampaian pesan-pesan pendidikan dan pembangunan, dan bukan pesan-pesan estetik. Jadi dengan demikian masyarakat penonton atau pelaku seni menjadi lebih paham dan apa yang dipesankan melalui me-dia seni tersebut, sehingga pesan dapat diterimanya secara tulus lahir dan batin.

Cara Menghayati SeniAda beberapa cara masyarakat di dalam menghayati dan menikmati

seni, sesuai dengan situasi dan kondisi serta latar belakang kebudayaan masyarakat di daerah tersebut. Ada seni budaya yang cara menikmatin-ya dengan cara dilihat dan di dengar, ada pula yang dengan cara dilaku-kan sendiri, ada juga yang hanya mendengar atau melihat saja, dan ada yang melibatkan diri di luar pentas. Seni Film, Pentas Musik, Teater, Wayang, lebih tepat seni-seni tersebut dinikmati dengan cara dilihat dan didengar karya seni tersebut. Seni Tayub dan Musik Rock, dan se-ni-seni pergaulan lainnya, lebih tepat dinikmati dengan cara mengikuti atau melibatkan diri dengan cara menari-menyanyi atau berjingkrak-jingkrak. Termasuk jenis-jenis seni religius cara penghayatannya den-gan ikut serta menjadi pelaku seni secara aktif. Ada cara lain bagi ma-syarakat pangombyong atau anggota kesenian di wilayah kebudayaan lereng Merapi, Merbabu, Sindoro dan, Sumbing Jawa Tengah. Mereka didalam menghayati seni di lingkungan komunitasnya, dengan cara ikut serta mendatangi pergelaran pentas seni dari kelompok anggota/grup mereka. Masyarakat pangombyong tersebut di dalam sebuah peristiwa pergelaran seni tanpa melihat kesenian tersebut secara langsung, mere-

Page 69: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

59

ka seperti orang berkenduri di dalam rumah sambil menunggui pemain yang sedang berhias. Pada umumnya para pangombyong atau anggota tersebut terdiri dari kaum laki-laki yang sudah tua dan mantan pemain kesenian tersebut.

Oleh sebab itu dalam menggarap kesenian pada konteks seni sebagai sarana informasi, maka para motivator dan kreator seni harus pandai-pandai memilih materi dan cara penggarapan seni yang sesuai dengan lingkungan budaya masyarakat setempat, yang dipilih untuk menjadi objek sasaran penyampaian informasi. Jadi dengan demikian antara subjek motivator dan kreator seni, dan pemilihan media seni yang akan digarap harus tepat sesuai dengan latar belakang budaya berkesenian masyarakat bagi tersebut. Apabila subjek penyampai informasi salah dalam memilih media dan tidak memperhitungkan latar belakang ke-hidupan masyarakat sebagai objek, maka akan dapat melenceng dari sasaran dan menjadi lebih boros biaya penyelenggaraan.

Bentuk Seni Bentuk seni-budaya tradisional di Indonesia pada umumnya dan di

Kalimantan khususnya cukup beragam. Ada seni visual seperti seni tari, seni lukis, seni pahat, seni tato dan tindik, seni teater, dan seni pertunju-kan. Ada pula seni audio berupa musik tradisional, seni pantun, dan seni vokal lainnya. Di Kalimantan khususnya bagi masyarakat etnik Dayak dan Melayu, kebiasaan berkesenian mereka berkaitan erat dengan tata upacara adat dari etnik-etnik tersebut. Seni yang dapat dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan itu bukan hanya seni “komunikatif” sejenis teater daerah dan wayang saja, melainkan semua seni dapat dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan pemban-gunan secara efektif. Semua seni termasuk tari (gerak), musik (suara), teater daerah (wayang dan sejenisnya), lukisan, patung, adat istiadat dan upacara-upacara tradisional, semua itu dapat dipergunakan untuk media informasi dan komunikasi secara efektif apabila tepat didalam memilih media, untuk golongan masyarakat apresian tertentu. Hal ini sangat tergantung dari kemauan motivator (pemerintah-lembaga pem-beri motivasi ) dan kepiawaian para kreator (penggarap), serta kekua-tan ungkap aktor (daya pangaribawa pemain). Keberadaan masyarakat sebagai obyek termotivasi, latar belakang budaya masyarakat dan ke-beradaan patron sebagai pengukuh/penguat.

Page 70: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

60

Dalam konteks seni budaya sebagai media informasi/komunika-si yang perlu dipehatikan adalah kecerdasan kreator sebagai pribadi ataupun kreator tangan panjang dari pemerintah. Kepiawaian mereka tersebut adalah unsur utama dalam penggarapan seni untuk informasi pembangunan, jadi bukan bentuk keseniannya yang diutamakan seb-agai media komunikasi. Oleh sebab itu para penggarap harus memper-hitungkan akar budaya masyarakat setempat untuk menentukan bentuk seni macam apa yang tepat dan sesuai dengan sasaran objek yang dituju.

Kemudian diperlukan pengukuh, baik itu dalam bentuk lembaga ataupun pribadi-pribadi yang kharismatik. Pengukuh tersebut sebai-knya berupa lembaga dan atau pribadi tokoh panutan yang sangat dike-nal, misalnya lembaga kabupaten, propinsi, pemerintah pusat (Jakarta). Sosok pribadi yang dapat dipergunakan sebagai patron atau panutan masyarakat diantaranya; Seniman, Pendeta, Kyai, Ketua Adat/Ketua Suku, Pejabat Kepala Daerah, Raja dan orang-orang terpandang lain-nya.

Seni tradisional Indonesia, khususnya di Kalimantan merupakan bagian dari perilaku budaya masyarakat adat, dan biasanya seni ter-kait dengan upacara-upacara adat masyarakat setempat. Oleh sebab itu, menurut saya seni dan budaya dalam konteks pemanfaatan seni sebagai media informasi dan komunikasi itu harus melekat dengan adat istiadat setempat pula. Seni yang keluar dari rangkaian upacara adat biasanya seni tradisi yang sudah menjadi komersial, oleh sebab itu seyogyanya berhati-hati di dalam memperlakukan seni dan memilih bentuk seni yang tepat sesuai dengan sasaran yang akan dituju agar dapat menjadi lebih efi sien,efektif, dan tepat guna.

Seni Sebagai Media InformasiSeni budaya menempati salah satu fungsinya yaitu sebagai media

informasi dan sebagai media pendidikan atau propaganda. Seni budaya seperti yang telah di sebutkan di depan, semua itu dapat menjadi efektif dan efi sien untuk dipergunakan menyampaikan pesan, apabila digarap dan diolah secara tepat, dan yang paling penting adalah keseimbangan antara subjek pemberi pesan, alat atau media penyampai pesan dan ob-jek penerima pesan. Prasyarat penggunaan seni untuk sarana penyam-paian pesan/informasi-informasi pembangunan adalah sebagai berikut :

a. Pemilik ide (pemerintah, budayawan, negarawan, para pemikir)

Page 71: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

61

b. Motivator, sebagai seniman yang menyalurkan pesan (aktivis)c. Kreator Seni, sebagai seniman penggarap seni untuk pesanan

(seniman kreator)d. Aktor/bahan kesenian, sebagai alat untuk mewadai pesan dan

mengeluarkan daya pesan (seniman pelaku)e. Masyarakat/penonton kesenian, sebagai penerima pesan dan ap-

likasi lanjutan (penghayat seni)f. Patron, sebagai pengukuh (penguat)g. Aplikasi Lanjutan sebagai bentuk tindakan nyata (dampak)

Dengan demikian terjadilah proses penyampaian informasi yang efektif, dan yang tidak boleh dilupakan bahwa seni bukan untuk kon-sumsi penalaran atau akal pikir semata melainkan untuk konsumsi indra rasa/batin. Walaupun prosesnya tetap melalui penalaran tetapi penalaran bukanlah tujuan. Adapun tujuannya adalah menghantarkan sebuah perenungan dan aplikasi atas isi dan inti pesan pasca menikmati seni budaya.

Selayang Pandang tentang KalimantanKalimantan secara garis besar terbagi dalam tiga kawasan yang ber-

beda kedaulatan yaitu di sebelah utara dibawah kedaulatan Kesultanan Brunai Darussalam dengan doktrin kedaulatan negara Islami. Di bagian utara membentang dari barat ke timur pulau Kalimantan di bawah ke-daulatan Negara Kerajaan Malaysia, yaitu di wilayah Malaysia Timur ialah sub Kerajaan Sabah dan Serawak. Masyarakat daerah ini di bawah doktrin Negara Islam Melayu, namun demikian di wilayah Sabah dan Serawak ini eksistensi masyarakat Dayak mendapatkan kemerdekaan yang lebih longgar.

Di bagian Kalimantan sebelah selatan sampai tengah, bahkan lebih menjulang ke utara dari garis tengah Pulau Kalimantan di bawah ke-daulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan doktrin Negara Pancasila dan UUD ‘45 .

Di Negara Indonesia dengan doktrin Pancasila ini memberi warna tersendiri dan menjadi berbeda dengan warga Kalimantan di wilayah Malaysia Timur, dan warga di Kalimantan Brunai Darussalam.

Kalimantan Indonesia secara garis besar dihuni oleh masyarakat mayoritas etnik Dayak dan etnik Melayu. Gambaran secara garis besar

Page 72: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

62

etnik penghuni Kalimantan Indonesia ialah, Dayak 30%, Melayu 25%, Banjar 10%, Cina 5%, Jawa 10%, dan selebihnya adalah Bugis,Sunda, Madura, Batak, dan lain-lain sebanyak 20%.

Masyarakat Dayak mayoritas hidup di daerah pedalaman, jauh dari keramaian kota dan jauh dari peradaban yang serba modern. Masyara-kat Melayu mayoritas hidup di daerah pesisir pulau Kalimantan, ma-syarakat Jawa di kota-kota besar dan kota-kota kecil pedalaman dan daerah perkebunan (daerah transmigrasi). Etnis Jawa, Cina dan Me-layu menguasai daerah perdagangan dan persawahan serta pemerintah-an. Masyarakat Dayak menguasai daerah hutan dan perkebunan yang maha luas. Masyarakat Dayak tersebar di belantara Pulau Kalimantan dan terbagi dalam berbagai sub kultur Dayak, dan tidak kurang dari 500 anak sub kultur Dayak Kalimantan Indonesia, yang hidup berkelompok dalam ikatan kelompok-kelompok kecil dan kuat.

Seni Budaya Kalimantan Secara Garis Besar Secara garis besar kesenian Kalimantan tumbuh dan berkembang

berdasarkan akar budaya asal dari masing-masing etnik. Seni dari akar masyarakat etnis Cina , Jawa dan Melayu tidak terlalu beragam.Artinya masih dapat dipahami seperti seni dalam bingkai budaya asalnya. Mis-alnya Reog Ponorogo Kalimantan, sama dengan Reog Ponorogo Jawa. Barongsai Kalimantan sama dengan Barongsai di Hongkong dan Cina. Zapin di Kalimantan sama dengan Zapin yang ada di Melayu Malaysia dan Sumatra. Berbeda dengan seni dalam bingkai budaya Dayak.

Beda suku beda bentuk dan beda makna, karena beda bingkai dasar kebudayaannya. Kesenian dari etnik Dayak selalu berkaitan dengan upacara-upacara adat tradisi masyarakat setempat. Sebagai contoh Tari Hudoq berkaitan dengan upacara tanam padi. Tari Ngerangkau (Tari upacara kematian) berkaitan dengan upacara Kwangkai (Ritual kema-tian), tari Gantar berkaitan dengan upacara panen padi.

Kesenian Barongsai di komunitas Cina khususnya masyarakat Ka-bupaten Singkawang Kalimantan Barat yang mayoritas di huni etnik Cina, pergelaran Barongsai ditampilkan pada waktu upacara tahun baru Cina. Dan upacara-upacara hari besar etnik Cina. Sedangkan se-ni-seni masyarakat etnik Jawa dan etnik Melayu lebih beragam fungsi dan waktu pergelarannya, terutama disajikan pada waktu-waktu jumpa komunitas seperti dalam acara pengajian, arisan, hajatan kemudian

Page 73: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

63

di sajikan seni Rodad-Salawat-Zapin-Hapsi-Reog-Jathilan-Jaran Dor Sentherewe-Ledek dan lainnya.

Kesenian masyarakat Cina-Melayu-Jawa dan etnik lainnya selain etnik Dayak memiliki pemain dan penonton. Maksudnya, ada seniman pemain/peraga, ada panitia penyelenggara, dan ada masyarakat penon-ton. Sedangkan seni dalam masyarakat adat Dayak hanya ada forum (adat/upacara) – ada penyelenggara (lembaga adat) dan ada peserta (pelaku adat), jadi dengan demikian penontonnya adalah para pemain / pelaku adat itu sendiri.

Oleh sebab itu dalam konteks seni untuk sarana infomasi pemban-gunan harus diperlakukan lebih arif dan bijaksana, serta tepat sesuai dengan bingkai kebudayaan mereka. Dengan demikian, bagi masyara-kat Kalimantan pada umumnya, penggunaan seni sebagai media komu-nikasi lebih baik disusun sebuah karya kemasan khusus, yaitu garapan baru yang menggunakan perabot seni tradisi setempat untuk garapan kemasan seni propaganda untuk informasi publik.

Lembaga-Lembaga Potensial untuk Jaringan Penyampaian Seni Sebagai Media Informasi

Lembaga-lembaga yang potensial untuk menjadi agen mitra kerja dalam penyampian informasi pembangunan dari pemerintah kepada masyarakat ada beberapa pilihan, tinggal pemilik ide / isi informasi (pemerintah) sebagai pemilik informasi, memilih lembaga jaringan mana yang dipandang cocok untuk dipergunakan sebagai mitra jarin-gan agar sesuai dengan program penyampaian informasi yang telah ditetapkan oleh lembaga (pemerintah) tersebut.

Di Kalimantan ada dua lembaga besar yang potensial sebagai lem-baga jaringan penyampai pesan, yaitu Lembaga Adat dan Kerajaan atau Kasultanan. Lembaga-lembaga adat di Kalimantan meskipun kecil-kecil akan tetapi mereka memiliki ikatan yang kuat dengan lembaga besarnya, dalam jumlah sub kultur yang sangat banyak. Pemimpinnya biasa disebut Ketua Adat Besar dan Ketua Adat Besar ini memiliki kedudukan seperti seorang Raja di Jawa-Bali. Masyarakat etnik Mela-yu-Jawa dan Bugis lebih akrab dengan Instansi atau Lembaga Kerajaan bila dibandingkan dengan kedekatanya dengan masyarakat Adat. Oleh sebab itu Kerajaan atau Kasultanan adalah lembaga jaringan informasi yang potensial untuk diperankan sebagai lembaga jaringan informasi

Page 74: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

64

melalui Seni Budaya. Lembaga Adat dan Kerajaan tersebut mendudu-ki peringkat utama dalam menentukan jaringan penyampai informasi melalui Seni Budaya, dari pihak Pemerintah Pusat kepada masyarakat di daerah khususnya di daerah pedalaman yang susah dijangkau den-gan transportasi dan jaringan komunikasi apapun. Adapun kegiatannya akan direalisasikan melalui gelar seni Budaya dan tata upacara-upacara adat/tradisi masyarakat setempat.

Lembaga jaringan di peringkat kedua adalah Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata ditingkat Kabu-paten maupun tingkat Provinsi, Dinas Pendidikan memiliki jaringan siswa dan guru serta tenaga administrasi di sekolah yang sangat banyak dan mudah dikendalikan secara sistematis. Dalam satu jaringan dinas ini telah terikat ribuan manusia yang terkait di dalam sistem kelem-bagaan tersebut secara formal. Dinas Pariwisata memiliki jaringan Sanggar-sanggar Seni/Padepokan Seni, Kantong-kantong Seni dan ter-masuk Lembaga-lembaga Adat di wilayah kerja Dinas Pariwisata terse-but khususnya di tingkat kabupaten-kabupaten.

Lembaga yang tidak kalah pentingnya untuk diperhitungkan adalah Lembaga Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Tinggi Seni seperti Insti-tut Seni, Akademi Seni dan Sekolah Tinggi Seni baik Negri maupun Swasta. Lembaga Perguruan Tinggi tersebut memiliki jaringan Dosen, Mahasiswa, Alumni, dan masyarakat daerah tempat penelitian-peneli-tiannya dilakukan di daerah-daerah pedalaman tersebut. Lembaga Pen-didikan Tinggi memiliki potensi untuk menyambung jaringan dengan sesama Lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia, untuk melaksanakan program-program pengabdian masyarakat di Indonesia. Lembaga Pen-didikan Tinggi ini, pada konteks tertentu dapat menempatkan diri atau ditempatkan oleh pihak Pemerintah menjadi lembaga penyambung jar-ingan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, dan lemba-ga-lembaga Adat di daerah pedalaman Kalimantan. Dalam hal ini posisi Perguruan Tinggi dapat sejajar dengan Lembaga Adat dan Keraton / Kasultanan.

Lembaga jaringan pada peringkat ke-tiga adalah Gereja, Pondok Pesantren, Paguyuban Etnik pendatang dan Sanggar Seni. Lembaga-lembaga di peringkat ke-tiga ini meskipun kecil-kecil akan tetapi aktifi -tas, kreatifi tas dan produktifi tas tergolong sangat tinggi apabila diband-ingkan dengan lembaga-lembaga di peringkat pertama maupun yang

Page 75: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

65

kedua. Produktifi tas kecil-kecil itulah yang dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus berproduksi maka akan membentuk kristal-kristal pemahaman.

Langkah-Langkah Strategis Pemanfaatan sebagai Media InformasiPemerintah atau Lembaga yang memiliki gagasan untuk menyam-

paikan pesan-pesan pendidikan dan pembangunan melalui media seni budaya tradisional, perlu menentukan langkah-langkah strategis, agar maksud dan tujuan yang telah digagas sebelumnya dapat tersampai-kan secara baik. Apabila tidak ditetapkan pilihan strategi yang telah ditentukan, tidak menutup kemungkinan nantinya justru mempersulit diri sendiri, misalnya akan munculnya gejala atau kecenderungan dari golongan masyarakat dan seniman tertentu, menempatkan program Pe-nyadaran Masyarakat ini menjadi sebuah proyek yang ditunggu. Selain daripada itu, kegiatan kurang dapat bermanfaat dan pengelolaan dana / biaya akan menjadi lebih besar daripada capaian hasil yang hendak di-tuju. Menurut pendapat saya, ada beberapa langkah yang perlu di tetap-kan untuk landasan strategis yaitu :

1) Penetapan isi informasi, yaitu suatu gagasan untuk menyam-paikan informasi tertentu, sekaligus memperhitungkan harapan atau target capaian selama program itu dilakukan.

2) Menetapkan sasaran, yaitu pihak panitia penggagas melakukan pengelompokan-pengelompokan sasaran. Dari beberapa kelom-pok kategori sasaran, mana yang lebih dahulu di prioritaskan. Sasaran-sasaran yang dituju nantinya akan menjawab ide/gaga-san awal.

3) Memilih dan menetapkan lembaga jaringan kerja sama, untuk melakukan tindakan teknis agar dapat efi sien, efektif dan tepat sasaran sesuai dengan yang hendak dituju, dan diharapkan pe-kerjaan dapat tercapai lebih ringan dan mencapai target yang telah ditetapkan.

4) Memilih dan menetapkan kreator seni sebagai agen penggarap media seni untuk penyampaian informasi publik melalui seni tradisi. Tentu saja pilihan seniman kreator ini berkaitan erat den-gan materi seni apa yang akan dipergunakan untuk media infor-masi publik tersebut.

5) Memilih dan menetapkan media seni, yang dipandang sesuai

Page 76: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

66

dengan konteks kebutuhannya. Tentu saja pilihan ini berkaitan dengan keadaan masyarakat sebagai objek dan kekuatan media seni yang tepat untuk menyentuh objek tersebut.

6) Memilih dan menetapkan materi seni dan seniman pelaku, untuk mewadahi isi pesan yang akan dituangkan melalui sebuah karya seni untuk menyentuh hati nurani masyarakat penonton (apre-sian). Pemilihan materi seni dan pemilihan peraga seni harus juga tepat, agar pesan dapat dengan mudah diterima masyarakat.

7) Memilih dan menetapkan lembaga kontrol sebagai tim pen-gamat, apakah langkah yang telah ditetapkan ini sudah sesuai atau tidak. Lembaga kontrol ini bertugas untuk mengkritisi dan memberikan penilaian kepada langkah kerja pemilik gagasan (pemerintah), dan lembaga ini seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sejenis dengan programnya.

8) Memilih dan menetapkan waktu penyampaian informasi (ge-lar seni) agar masyarakat sasaran dapat terlibat lebih maksimal karena tidak terganggu kebutuhannya. Misalnya musim ujian sekolah, tidak tepat untuk melakukan kegiatan-kegiatan berke-senian yang berhubungan dengan siswa.

9) Membuat atau menyusun model bentuk media seni seperti apa yang cocok untuk suatu masyarakat tertentu, dan juga dapat di-hayati masyarakat lain yang tidak di prioritaskan. Model-model ini dapat digarap di Perguruan Tinggi Seni kemudian disosia-lisasikan pada seniman daerah untuk dikaryakan di daerahnya tersebut.

10) Mengukur tingkat keberhasilan melalui kajian-kajian atau pene-litian, apa betul program yang dulu dilakukan dapat mencapai sasaran atau tidak. Apabila pola kerja sudah dinilai betul, maka tinggal menindak lanjuti dan apabila salah akan segera dapat merevisi.

Forum Yang Paling Efekti f untuk Penyampaian Informasi Melalui Seni

Di Kalimantan pada umumnya, baik Kalimantan Indonesia, Malay-sia maupun Brunai Darussalam memiliki forum berupa kegiatan bu-daya seperti upacara-upacara akbar yang melibatkan banyak hadirin sebagai peserta maupun penonton dalam upacara tersebut. Upacara-

Page 77: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

67

upacara besar pada masyarakat Dayak dikenal nama-nama upacara yai-tu Gawai Dayak, Dangai, Erau, Dahau yang artinya pesta dan upacara besar. Dalam acara ini berbagai etnik Dayak besar dan sub etnik Dayak, keluar tampil bersama-sama etnik Dayak yang lain untuk melakukan upacara dalam bentuk gelar seni budaya (seperti di Jawa, dikenal istilah Grebeg). Upacara-upacara besar tersebut belakangan ini sudah mulai dikemas menjadi objek seni wisata dan kemasan wisata oleh Pemerin-tah Daerah setempat, dalam hal ini Dinas Pariwisata tingkat Provinsi.

Pada masyarakat etnik Melayu memiliki beberapa forum be-sar di antaranya lebaran Idul Fitri, lebaran Haji dan Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) di tiap-tiap kabupaten, kemudian seleksi ini akan dilan-jutkan ditingkat propinsi dan akan dilanjutkan pada Musabaqoh Tilawa-til Qur’an (MTQ) tingkat nasional. Forum STQ-STQ tersebut mampu menghadirkan ribuan bahkan jutaan manusia yang hadir dalam forum akbar tersebut, dengan demikian Forum akbar ini dapat dibidik menjadi ajang penyaluran informasi publik melalui gelar seni. Gawai Dayak dan STQ tersebut dilakukan tiap tahun. Ditingkat Kabupaten dilakukan se-cara berpindah-pindah tempat pentasnya sesuai hasil rapat panitia tahun sebelumnya. Belakangan ini muncul forum sejenis STQ bagi masyara-kat Kristiani yaitu Pusparawi / Pusparani yang juga mulai dibesarkan pada tiap tahunnya dengan disertai gelar seni budaya di acara pembu-kaan dan penutupan serta disela-sela acara kompetisi, demikian juga fo-rum STQ bahwa gelar seni dilakukan untuk pembukaan dan penutupan serta disetiap hari menjelang gelar kompetisi.

Lembaga dan Pribadi Sebagai Agen Penyampai PesanDi Kalimantan yang begitu luas tidaklah mudah untuk memilih

lembaga atau pribadi yang mampu mewadahi gagasan-gagasan atau in-formasi melalui media seni untuk publik, namun demikian saya punya pandangan untuk langkah awal yang mungkin lebih efektif, untuk men-jaring pribadi-pribadi sebagai agen penyampai pesan yaitu :

1. Blawing Barek, Ketua Adat Besar Suku Bahau dari alur keluarga Dayak Long Gelaat / Apo Kayan, dia juga diangkat oleh tokoh-tokoh adat Dayak Kalimantan (Dayak Borneo) untuk memimpin keutuhan suku-suku Dayak yang tersebar di Kalimantan besar. Blawing Barek adalah seorang tokoh adat yang kharismatik dan sebagai penari serta pemusik yang piawai. Anak-anak dan cucu-

Page 78: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

68

cucunya juga seniman yang cukup disegani dilingkungan ko-munitasnya. Pengaruhnya melampaui lintas batas propinsi bah-kan lintas batas Negara. Tokoh semacam ini potensial menjadi pribadi agen penyampai informasi publik melalui seni budaya. Dia tinggal di Jalur hulu sungai sampai Hilir sungai Mahakam Kalimantan Timur. Posisi rumah di hulu Mahakam di daerah Long Pahangai, di bagian tengah di kampung Melak Sendawar, sedangkan di hilir Mahakam ada di Samarinda.

2. Pangeran Muashidin Syah, Pangeran dari Kasultanan Kotawar-ingin, adik Sultan Alidin Syah yang memiliki kharisma kepe-mimpinan yang luar biasa. Dia sangat dihormati dan disegani oleh Raja-raja komunitas Kalimantan kemudian diangkat men-jadi penasehat Kerajaan dan Kesultanan Kalimantan, belakan-gan ini juga di daulat untuk menjadi penasehat Asosiasi Raja dan Sultan (Rasul). Di wilayah Kalimantan dan Sumatra di Ka-limantan membawahi lima belas (15) kerajaan dan di Asosiasi Raja dan Sultan membawahi enam belas(16) kerajaan Islam. Dapat dibayangkan berapa orang yang terjaring dalam ikatan garis karisma pribadinya tersebut.

3. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, lembaga ini memiliki ja-ringan dengan UNS-UMS-UNISRI dan lain-lain, dan lembaga tersebut memiliki para ahli dan kreator seni yang patut diperhi-tungkan dan diperankan. Insan akademis baik itu dosen ataupun mahasiswa dan alumni dapat menjadi Tim Ahli dalam bidang olah seni dan gelar seni untuk penyadaran masyarakat .Lembaga ISI dapat menyentuh jalur Adat dan lembaga Kerajaan sekaligus menyentuh Sanggar-sanggar seni dan Komunitas seni di Kali-mantan.

Inti sari1. Semua seni dapat diperankan sebagai media penyampai infor-

masi publik.2. Motivator dan kreator seni adalah unsur utama dalam program

penyadaran masyarakat melalui seni.3. Jaringan utama penyalur gagasan /informasi pada masyarakat

Kalimantan adalah lembaga adat dan kerajaan.4. Bahasa seni adalah bahasa simbol.

Page 79: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

69

5. Fungsi seni untuk kehidupan manusia.6. Ada tujuh prasarat ideal untuk memanfaatkan seni sebagai me-

dia informasi.

Demikian sekelumit kata tentang seni sebagai media penyampaian informasi, semoga dapat menjadi bahan diskusi dan dapat menjadi ma-sukan untuk menyumbang kebutuhan informasi di jajaran Kementerian Kominfo, khususnya mengenai seni tradisional dan adat budaya ma-syarakat Kalimantan.

Daft ar PustakaFrans Jiu Luai 2002 HUDOQ SEBUAH LEGENDA (TARIAN) HUDOQ PADA

ADAT DAYA MODANG/ LUNG GELAAT, Airlangga Press, SurabayaFrans Jiu Luay 2009 Adat Nemlaai-Lung Gelaat, Pemda Kutai Barat,SerduwarLiah Luhat,S 2002 PAKAIAN ADAT (tradisional) KAYAAN MEKAAM (Bahau),

Airlangga Press, SurabayaPamung 2003 PELULUKNG, Tata Cara Pengesahan Perkawinan Orang

Dayak Benoak, Airlangga Press, SurabayaSujarni Alloy 2008 MOZAIK DAYAK, KEBERAGAMAN SUB SUKU DAN BAHASA

DAYAK DI KALBAR, Ford Foundation-Insitut Dayakologi, PontianakYohanes Bonoh 2003 ADAT PERKAWINAN SUKU DAYAK TUNJUNG, Airlangga

University. Surabaya.

Page 80: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

70

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof. Dr. Dharsono, MSn (Sony Kartika), Guru besar Bi-dang Ilmu Estetika. Sebagai ilmuwan menawarkan beberapa konsep estetika sebagai alternatif penulisan kajian dan penga-matan seni budaya sebagai salah satu model penelitian dan penulisan karya ilmiah. Lahir di Klaten, 14 Juli 1951, mendapat-kan gelar doktor pada Sekolah Pasca sarjana ITB 2005, Dosen Pasca Sarjana ISI Surakarta, Dosen Luar Biasa Pascasarjana

Universitas Trisakti JakartaSaat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Ma-

syarakat ISI Surakarta; Ketua Lembaga Pengkajian dan Konservasi Budaya Nusantara di Surakarta; Ketua Litbang SNKI (Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia) Di Jakarta.

Beberapa buku yang pernah dipublikasikan antara lain: Pengantar Estetika, Band-ung: Rekayasa Sain 2004; Seni Rupa Modern, Bandung: Rekayasa Sain 2004; Budaya Nusantara (Kajian Pohon Hayat pada Batik), Bandung: Rekayasa Sain 2006); Estetika Barat dan Timur, Bandung: Rekayasa Sain 2007; Kritik Seni, Bandung: Rekayasa Sain 2007; Tinjauan estetika Nusantara, STSI Press, 2008

Tinggal di Jl.Pembangunan I/13 Perum UNS Jaten Karanganyar 57731. 08122656566, e-mail: [email protected]

Page 81: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

71

Seni tradisi dipakai dan dimanfaatkan oleh sistem sosial tertentu, maka muncul kelompok-kelompok penggagas budaya tertentu (perekayasa budaya) yang memanfaatkan kesenian tradisi sebagai alat propaganda politik maupun propaganda sosial, yang kemudian terkenal dengan media komunikasi dengan

tujuan tertentu. Pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas lewat-lewat pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan maesenas. Seni tradisi yang layak untuk diangkat dan dimanfaatkan sebagai media komunikasi yang efektif adalah seni tradisi yang dapat dikemas

sebagai bentuk tontonan yang komunikatif-dialogis. Kesenian tradisi yang mampu mewadahi ungkapan gagasan dalam seni dan sekaligus cocok untuk

digunakan sebagai media komunikasi untuk penyampaian pesan kepada khalayak sesuai dengan kebutuhan maisenas.

Pendahuluan

Kondisi kesenian tradisi kita, baik yang “klasik” maupun yang”rakyat”, disebut tradisi karena “tradisi” itu, telah terbing-kai dalam satu pigura waktu. Adapun waktu tersebut adalah

waktu yang telah menyelesaikan suatu putaran dialektika budaya. Musik dan tari Jawa terbingkai dalam sistem kekuatan monarki-absolut yang berdialektika dengan sistem-sistem lainnya di waktu itu. Sedang kesenian tradisi “rakyat” kita terbingkai dalam dialektika budaya masa

Dharsono (Sony Karti ka)Pakar Ilmu Esteti ka Ketua LPPM Dosen ISI Surakarta

Peran Seni tradisi Komunikati f dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa

Tengah dan DI Jogjakarta

Page 82: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

72

lampau kita di mana sistem ekonomi pertanian tradisi dan sistem so-sial. Kini budaya kita terbingkai oleh pranata sosial yang bermuara pada industri kreatif, akibatnya kesenian tersebut akan dipakai dan di-manfaatkan oleh sistem sosial yang berorientasi pada industri kreatif, maka muncullah kelompok-kelompok kesenian yang memanfaatkan kesenian rakyat sebagai alat propaganda sosial, sebagai emplementasi globalisasi ekonomi dalam trasformasi kapitalisme konsumen.

Penyajian karya seni merupakan salah satu bentuk aktivitas yang memberi kemungkinan terjadinya interaksi dialog tiga komponen an-tara seniman, karya dan pengamatnya, dalam menembus keterbatasan. Penyajian karya seni merupakan rekayasa yang dirancang dan disaji-kan untuk pengamat seni , secara lebih luas dan efektif dan diharapkan dapat menemukan maknanya yang hakiki, yang dirasakan baik oleh seniman maupun pengamatnya.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi dalam sebuah pertunju-kan/sajian seni, kita dihadapkan kepada dua komunitas, yaitu komu-nitas pengamat dan penikmat (penonton). Proses pengamatan tidak sama dengan penikmatan. Pengamatan atau apresiasi cenderung di-mensi logis, sedang penikmatan sebagai proses cenderung masuk pada demensi psikologis. Yang menjadi sasaran topik dalam makalah ini adalah bagaimana kita mensiasati penonton, dan kekaligus untuk dia-jak bersama-sama menangkap pesan yang disampaikan. Untuk itu perlu memetakan seni pertunjukkan tradisi yang mampu menjadi media pe-nyaluran pesan informasi secara efektif dan komunikatif.

Pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi akan sangat berkaitan dengan rekayasa budaya yang dikemas lewat pesan-pesan ter-tentu, sesuai dengan kebutuhan maisenasnya (dalam halini Pemerintah, dan atau lembaga pemesan tertentu). Namun demikian pelaku seni se-baiknya tetap diharapkan untuk menjaga kareakter, sesuai kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi. Pemetakan seni tradisi seyogyanya dipilih terhadap kesenian tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi yang efektif dan in-formatif.

Kesenian tradisi sebagai eksprsi kebudayaanKondisi budaya Indonesia telah mengalami proses transformasi bu-

daya sejak jaman prasejarah. Proses tersebut mencerminkan adanya

Page 83: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

73

perkembangan budaya etnik (walaupun tidak semua). Adanya perkem-bangan budaya tersebut, terutama perkembangan sejarah kesenian In-donesia mempunyai ciri yang menonjol, yang kemudian merupakan cermin keragaman budaya, sebagai salah satu identitas dan jati-diri bangsa Indonesia. Ciri menonjol dari kesenian Indonesia ialah bentuk yang plu-ralistis yang tersebar hampir di kawasan Nusantara. Ciri-ciri tersebut mencerminkan keanekaragaman kebudayaan sesuatu bangsa yang mendiami daerah yang terpisah. Tiap daerah memiliki akar buda-ya prasejarah sebagai dasar dari tradisi kesenian Indonesia yang sampai sekarang ada yang masih dipertahankan (Wiyoso, 1996:1).

Kebudayaan hasil ekspresi masarakat Jawa (sekarang Indonesia), dari berbagai macam budaya-seni menurut daerahnya masing-masing merupakan modal dasar pembangunan, perlu adanya kajian dan peng-galian sebagai satu usaha pelestarian. Seni tradisi perlu dilestarikan keberadaannya, terutama untuk memberikan satu aset budaya dalam pembangunan dewasa ini. Usaha untuk mengenal kesenian Jawa terma-suk mencoba untuk menggali latar belakang budaya masyarakat Jawa. Kebudayaan Jawa ini melahirkan berbagai bentuk seni klasik dalam bentuk karawitan, tari, keris, batik, arsitektur, interior, dan wayang dan sebagainya.

Kesenian tradisi sebagai salah satu produk budaya sejak zaman dulu merupakan salah satu bentuk seni Jawa tradisional yang mengalami proses tranformasi. Misalnya “wayang” sebagai produk perkembangan kesenian Indonesia Hindu-Budha, merupakan proses perkembangan seni tradisi masa lalu. Proses perkembangan yang berkesinambungan antara budaya tradisi masa lalu dengan tradisi selanjutnya terus ber-langsung hingga kini. Keempuan para Wali dan Raja dalam mengolah unsur–unsur wayang; menghasilkan wayang baru. Ini mengisyaratkan terjadinya proses kesinambungan kesenian tradisi (terutama wayang ) dilihat dari aspek seni rupa maupun pertunjukannya (Wiyoso, 1993:41).

Kesinambungan tradisi seni memang pernah terputus sehingga per-intisan untuk mencapai bentuk kesenian baru terhalang bahkan terhenti sama sekali. Akibat dari kesenjangan proses perkembangan kesenian Indonesia hanya mengharapkan pelestarian tradisi seni semata-mata tanpa upaya pengembangan untuk mencapai tradisi baru. Kesenjangan itulah yang terjadi pada saat lesunya kebudayaan pada masa pemerin-tahan kolonial Hindia-Belanda, ketika pamor budaya kerajaan Indone-

Page 84: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

74

sia-Islam mulai memudar. Di saat itulah kesadaran tradisi bangsa yang terjajah terdesak yang berakibat kurangnya daya cipta untuk menemu-kan bentuk ekspresi baru yang mencerminkan kekuatan tradisi seni masa lampau.

Makin menipisnya kesadaran tradisi berakibat pula surutnya daya apresiasi seni karya cipta bangsa sendiri. Hanya di pusat-pusat kesenian lama kesadaran tradisi tersebut masih tersisa untuk sekadar melestari-kan nilai seni yang diwariskan dari para pencipta pendahulunya. Salah satu bentuk kesenian lama yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang masih sempat berkembang pada pemerintahan kolonial adalah wayang, baik dilihat dari sudut pertunjukan maupun dari seni rupa (Wiyoso, 1986:41). Namun kini kesenian tradisi diminati kembali sebagai salah satu alternatif sebagai sumber inspirasi penciptaan dan rekayasa budaya dan dimanfaatkan sebagai propaganda sosial. Hal ini dapat dikatakan sebagai bukti adanya proses kontinuitas dalam upaya pelestarian tra-disi, dan merupakan salah satu cermin adanya transformasi budaya, dalam proses mencari format budaya Indonesia.

Kesenian sebagai media apresiasiKegaiatan seni akan selalu dihadapkan oleh dua komunitas; komu-

nitas pengamat dan komunitas penikmat. Sajian seni merupakan salah satu bentuk aktivitas yang memberi kemungkinan terjadinya interaksi dialog tiga komponen antara seniman, karya dan pengamat, dalam men-embus keterbatasan. Sajian seni merupakan rekayasa yang dirancang dan disajikan untuk penghayat seni secara lebih luas dan efektif dan diharapkan dapat menemukan maknanya yang hakiki, yang dirasakan baik oleh seniman maupun penghayatnya. Sedang penikmatan yang di dalamnya sarat dengan demensi psikologi yang sangat subyektif dan mengabaikan dimensi logis. Itulah sebabnya sangat dibutuhkan had-irnya pengamat seni dan atau kritisi seni, yang mampu menterjemahkan beragam bahasa visual dalam ragam bentuk dan ragam makna yang terbentuk oleh pengalaman emosional.

Proses pengamatan dalam pelaksanaannya adalah apresiasi. Apr-esiasi seni merupakan proses sadar yang dilakukan pengamat dalam menghadapi dan memahami karya seni. Apresiasi adalah proses untuk menafsirkan sebuah makna yang terkandung dalam karya seni. Seorang pengamat yang sedang memahami karya sajian maka sebenarnya ia ha-

Page 85: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

75

rus terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar pe-nyusunan dari karya yang sedang dihayati. Apresiasi seni merupakan proses sadar yang dilakukan penghayat dalam menghadapi dan meng-hargai karya seni. Proses dalam pengenalan nilai karya seni, merupak-an hasil tafsir makna (arti) yang terkandung di dalamnya. Apresiasi menuntut ketrampilan dan kepekaan estetik untuk memungkinkan ses-eorang mendapatkan pangalaman estetika dalam mengamati karya seni. Pengalaman estetik bukanlah sesuatu yang mudah muncul atau mudah diperoleh, karena untuk semua itu memerlukan pemusatan atau perha-tian yang sungguh-sungguh. Pengalaman estetika dari seseorang diper-soalkan bagaimana seseorang pengamat menanggapi atau memahami suatu benda indah atau karya seni? Seseorang tidak lagi hanya memba-has sifat-sifat yang merupakan kualitas dari benda estetik, melainkan juga menelaah kualitas abstrak dari benda estetik, terutama usaha men-guraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan karya seni (Liang Gie 1978:51).

Penikmatan berbeda dengan pengamatan (pemahaman). Pengamatan atau pemahaman nerupakan proses dimensi logis, sedang penikmatan merupakan proses dimensi psikologis, proses interaksi antara aspek intrinsik seseorang terhadap sebuah karya estetik. Hasil dari interaksi proses tersebut merupakan ultimatum senang atau tidak senang terha-dap keberlangsungan terhadap karya seni. Relativitas kajian tersebut tergantung dari tingkat relativitas seseorang dalam menghadapi sebuah karya sajian. Tingkatan relativitas tersebut juga tergantung dari tingkat intelektual seseorang dan latar budayanya.

Tingkatan tersebut menurut Steppen C. Pepper dalam bukunya berjudul The Principles of Appreciation memberikan empat tingka-tan ultimatum kesenangan berdasarkan tingkat relativitas seseorang. Tingkatan pertama disebut tingkat subyektif relativitas, dimana ses-eorang dalam memberikan ultimatum senang dan tidak senang karena adanya keputusan subjektivitas, misalnya; “Saya senang karena fi lm itu dimainkan oleh ....”, ultimatum tersebut berdasarkan keputusan yang berorientasi pada selera pribadi, lepas sebelum atau setelah menikmati karya tersebut. Keputusan senang dan tidak senang lahir dari akibat pengaruh aspek psikologis secara instrinsik. Tingkatan kedua disebut tingkat relativitas budaya, tingkat relativitas ini merupakan ultimatum senang atau tidak senang atas keputusan sikap psikologis karena ika-

Page 86: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

76

tan latar belakang budaya. Tingkatan ini selalu berorientasi terhadap sikap budaya dimana mereka hidup. Misalnya: ”saya senang karena karya seni yang disajikan merupakan kebudayaan daerah ...”. Alasan yang menyangkut atas budaya kesukuan, kebangsaan, dan semua yang menyangkut tentang adanya orentasi budaya yang sepihak terhadap bu-dayanya, akan mempengaruhi ultimatum senang dan tidak senang terh-adap karya seni setelah ataupun sebelum karya seni tersebut dinikmati.

Tingkatan ketiga disebut tingkat biological relativity, dimana ultima-tum senang dan tidak senang didasari atas keputusan yang berdasarkan atas intrinsik yang muncul setelah menikmati karya tersebut. Ultima-tum tersebut hampir mendekati proses apresiasi, namun masih banyak menggunakan aspek psikologis dibanding logika pemahaman estetik. Keputusan senang dan tidak merupakan proses penikmatan karya este-tika yang sedang disajikan. Hal itu biasanya dilakukan pada penikmat yang tidak sepihak terhadap subyektivitas ataupun budaya simpatik. Tingkatan keempat merupakan tingkatan relativitas yang disebut ab-solut, artinya ultimatum senang atau tidak senang bukan dari intrinksik tetapi cenderung kepada sikap ekstrinsik. Ultimatum didasarkan atas pengaruh dari luar. Misal: Semua seni itu indah, tanpa berusaha menik-mati dengan segala kekuatan aspek psikologis yang ia punyai.

Semua tingkat relativitas tersebut menunjukkan adanya tingkat rela-tivitas yang dipunyai oleh seorang penikmat. Tingkat tersebut meru-pakan proses interaksi psikologis seorang penikmat, sehingga untuk pe-nyajian karya seni diperlukan penikmat atau penonton sesbagai audien pertunjukan. Ini yang oleh penggagas rekayasa seni budaya sebagai salah satu dasar untuk mampu membangun pertunjukan/kegiatan seni yang sarat akan pesan-pesan yang komunikatif tetapi tetap punya kapa-bilitas seni sebagai ekspresi dan berkarakter.

Seni tradisi sebagai rekayasa budayaKetika seni tradisi dipakai dan dimanfaatkan oleh sistem sosial ter-

tentu, maka muncul kelompok-kelompok kesenian yang memanfaatkan kesenian rakyat sebagai alat propaganda politik maupun propaganda sosial. Kesenian sebagai ajaran rokhani yang wigati (lihat seni sebagai tuntunan dan tontonan) terpinggirkan oleh kekuatan global secara ver-tikal horisantal. Ajaran kebudayaan yang telah berakar di bumi pertiwi yang kita cintai ini, telah tergadaikan dan tergantikan dengan kebuday-

Page 87: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

77

aan asing akibat pendidikan populer. Kebudayaan populer yang men-jadi ujung tombak menejemen kapitalisme konsumen mulai menggeser kearifan lokal yang menjadi ”ruh” dari kebudayaan, mulai terancam krisis demensi. Politik, ekonomi, hukum, dan bahkan kesenian, agama, mulai tercabut dari akar kebudayan dan berjalan sendiri-sendiri, seperi kereta tanpa masinis. Jadi janganlah heran apabila antara politik, hu-kum, ekonomi, agama dan seni saling bertabrakan.

Rekayasa sebagai media budaya populer Seni budaya masa yang sering disebut budaya populer atau seni

populer, merupakan rekayasa budaya yang berorientasi dari perluasan kontinuitas pada seni rakyat atau seni yang berkembang dari masyara-kat. Seni rakyat berkembang dari arus bawah, sedang populer art atau mass culture (budaya massa) berkembang sesuai dengan rekayasa klas atas. dikatakan demikian karena produk budaya massa dibuat oleh tek-nisi-teknisi yang disewa oleh para pengusaha; audiennya merupakan konsumen yang pasif, partisipasinya bukan karena adanya ikatan ni-lai sosio-cultural seperti pada seni rakyat tetapi partisipan dihadapkan pada alternatif membeli atau tidak...

Kini, masyarakat di mana pertumbuhan gaya hidup semakin menin-gkat, memikat dan mengundang hasyrat, seperti perkembangan terakhir ini. Masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tampaknya tumbuh dan beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan trasformasi kapital-isme konsumen yang ditandahi dengan menjamurnya pusat pembela-jaan bergaya semacam Shopping Mall, industri waktu luang, industri mode atau fayen, industri kecantikan, industri koliner, industri nasehat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, real estate, gencarnya iklan barang-barang supermakket dan liburan wisata ke luar negeri, berdirinya sekolah-sekolah mahal (dengan label plus), kegandrungan terhadap merek asing, makanan serba instan (fast food), telepon seluler (HP), dan serbuan gaya hidup lewat industri iklan dan telivisi yang su-dah masuk ke ruang-ruang pribadi dan bahkan mungkin sudah masuk ke relung-relung jiwa kita yang paling dalam... (Idi Subandi 2007).

Tak disangsikan lagi, bahwa yang bertindak sebagai agen public re-lation dari kaum selibritis adalah media populer dan terutama televisi. Telivisi dengan kuatnya pada aspek hiburan ini bagi sebagaian kalan-gan bahkan dianggap mengkolonisasi waktu luang. Saluran musik te-

Page 88: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

78

livisi non-stop 24 jam seperti MTV tidak hanya menghibur anak muda diberbagai penjuru Asia dengan video klip lagu-lagu dari grup-grup yang lagi in, tetapi juga menghibur mereka dengan pesan-pesan komer-sial, dan ini secara tidak lasung menanamkan nilai dan kesadaran akan betapa bahagianya kalau dapat mengisi luang dengan dengan bersenang dan bersantai bersama keluarga. Sementara pabrik gaya hidup yang sekian lama didominasi iklan kini dipercanggih dengan lewat rekayasa citra yang melahirkan para praktisi public relation dalam dunia bisnis, tontonan, dan juga politik. Dalam abad media, citra adalah segalanya, bahkan untuk menjadi bintang, orang tidak perlu sehebat Gandhi, Soek-arno. Untuk menjadi hero, orang tidak perlu susah melakukan hal-hal yang luar biasa atau mesti menciptakan karya besar. Orang-orang yang dianggap besar kini adalah orang-orang biasa yang tenar dan ditenar-kan oleh media; selibriti menurut media jurnalistik sekarang lebih asyik tokoh, bintang atau selibriti, untuk kemudian sewaktu-waktu meng-enyahkannya dan menggantikannya dengan yang baru. Seperti siklus mode atau fashion dalam dunia bintang. Akhirnya kita hanya mampu menggaruk-garuk kepala, betapa hebatnya dunia ini.

Rekayasa sebagai media komunikasiKesenian tradisi rakyat yang pernah berkembang di daerah, perlu

kita pikirkan sebelum punah dimakan jaman. Seni rakyat dengan berb-agai ragam bentuk dan ragam budaya daerah yang merupakan kekayaan bumi nusantara perlu ada rekayasa kultural sesuai dengan perkemban-gan teknologi dan informasi yang semakin global. Peningkatan sumber daya manusia yang menitik beratkan pada kekayaan daerah, mau tidak mau akan menoleh terhadap ragam seni tradisi rakyat yang berkembang di daerah sebagai alternatif garap yang mengarah pada seni komoditas, itu tak mungkin dapat dielakkan. Selanjutnya kita harus berfi kir bah-wa kesenian rakyat adalah merupakan aset budaya daerah, yang perlu dikembangkan dan dilestarikan dengan sebuah rekayasa budaya yang arif.

Rekayasa yang punya kearifan, apabila sebuah pelestarian budaya merupakan upaya untuk mengangkat kembali warisan budaya lokal sebagai langkah nyata dari kelompok masyarakat dalam membangun kembali warisan budaya leluhurnya, serta menatap masa depan, den-gan penuh keyakinan tentang kekuatan diri di tengah peradaban yang

Page 89: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

79

kian mengglobal. Budaya tradisi lokal merupakan kesenian warisan yang menjadi unggulan daerah dan kemudian menjadi ikon daerahnya, maka perlu dilindungi dan dilestarikan keberadaannya, sebagai bentuk ketahanan budaya. Ketahanan budaya akan menjadi cermin atas ketah-anan nasional. Maka sebaiknya pelestarian budaya sebaiknya dikonsen-trasikan dengan mengambil ikon warisan budaya secara aktual. Aktu-alisasi terhadap karya-karya tersebut sebaiknya dibangun dengan basic warisan budaya yang disesuaikan dengan perkembangan kini tanpa me-ninggalkan nilai essensinya.

Ketika seni tradisi dipakai dan dimanfaatkan oleh sistem sosial ter-tentu, maka muncul kelompok-kelompok penggagas budaya tertentu (perekayasa budaya) yang memanfaatkan kesenian tradisi sebagai alat propaganda politik maupun propaganda sosial, yang kemudian terkenal dengan media komunikasi dengan tujuan tertentu.

Indonesia memiliki keragaman budaya yang sangat luas. Dalam ma-sing-masing budaya tersebut terdapat pola kesenian, media kesenian, dan posisi seniman yang beragam. Keragaman itu juga mempengaruhi bentuk maupun isi. Oleh karena itu, seni tradisional tidak bisa dilihat hanya dari satu pendekatan atau hanya berdasar pada prinsip umum (universal) yang diberlakukan untuk semua. Untuk melihat makna dan fungsi suatu kesenian, harus dilakukan pendekatan sesuai dengan kara-kteristik masyarakat di mana kesenian dan tradisi itu hidup dan berkem-bang (Limbeng, 2009).

Kesenian tradisi pada dasarnya memiliki pola atau pakem yang membuat kesenian itu menjadi khas, berbeda dari yang lainnya. Namun sebenarnya pakem tersebut bukanlah suatu aturan “mati”, melainkan punya potensi untuk dikembangkan, berubah, dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, bahkan mampu mengakomodasi perubahan isi ses-uai dengan kepentingan (misal: propaganda politik ataupun propaganda sosial), Ini yang kemudian dikatakan sebagai rekayasa budaya sebagai rekayasa kepentingan.

Pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas lewat-lewat pesan-pesan ses-uai dengan kebutuhan maesenas. Namun demikian tetap tergantung kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi namun tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi le-wat seni tradisi .

Page 90: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

80

Seni tradisi sebagai media komunikasi, maka perlu dipilih bentuk-bentuk seni tradisi yang telah populer, seni pertunjukkan rakyat yang punya kemampuan untuk menciptakan hubungan antara seni dan ma-syarakatnya. Maka melalui seni tradisi sebagai media komunikasi yang komunikatif adalah (di Jawa-Tengah) melalui pertunjukkan seni tradi-si: wayang, teater tradisi (ketoprak, wayang orang). Kesenian tersebut mampu membangun dialog langsung antara pelaku dan komunitasnya.Pelaku seni. Para dalang dan pelaku seni dapat mengungkapkan ide dan gagasannya kepada komunitasnya, maka akan terjadi dialog interak-tif disela-sela cerita-cerita yang dibawakannya. Seorang dalang atau sutradara dapat mengungkapkan gagasan dan sekaligus menyampai-kan pesan yang dikemas sebagai bentuk informasi yang diracik dalam satu rangkaian cerita, maka ungkapan seni dan pesan dari maisenasnya secara holistik.

Pemetakan seni tradisi sebagai media komunikasiPemetaan kegiatan Seni tradisi yang layak untuk diangkat dan di-

manfaatkan sebagai media komunikasi yang efektif adalah seni tradisi yang dapat dikemas sebagai tontonan yang komunikatif-dialogis. Kes-enian tradisi yang mampu mewadahi ungkapan gagasan dalam seni dan sekaligus cocok dalam penyampaian pesan kepada khalayak.

Meski semua seni tradisi merupakan ajaran dan tontonan, namun tidak semua seni pertunjukkan tradisi dapat menjadi media penyaluran pesan informasi secara efektif dan komunikatif. Mungkin hanya me-dia seni tradisi yang verbal dan komunikatif-dialogis saja yang co-cok dalam penyampaian pesan kepada khalayak. Seni tradisi yang lain, misalnya yang mengandalkan gerak atau nyanyian dalam batas tertentu sulit digunakan sebagai media penyampai. Oleh karena itu dibutuhkan pemetaan seni tradisi yang bisa digunakan sebagai media penyampaian pesan dan media informasi yang komunikatif.

Pemerintah dalam halini lewat Kementrian Komunikasi dan Infor-matika, Pemerintah daerah tingkat propinsi ataupun kabupaten/Kota diharapkan mampu mewadahi potensi kesenian tradisi tersebut sebagai satu daya untuk mendorong aktivitas budaya, dan sekaligus mampu di-manfaatkan sebagai media komunikasi.

Page 91: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

81

1. Wayang Kesenian wayang, merupakan jenis kesenian yang pada dasarnya

menggunakan sosok wayang sebagai tema, sumber dan gagasan. Peng-gunaan sosok tersebut dapat saja merupakan media ekspresi secara murni ataupun penggambaran tematik tertentu. Sehingga kesenian wayang ini juga dapat disebut sebagai pertunjukan dengan menggu-nakan wayang sebagai sosok utama. Sosok wayang tersebut dapat tidak terbatas pada wayang kulit, tetapi juga wayang beber, wayang golek, wayang reka (termasuk wayang suket (Pedepoan Wayang Suket), way-ang kampung (Komunitas Wayang Kampung Sebelah) dan sebagainya dan sebagainya.

1

wayang

Wayang Reka

Wayang beber

Wayang purwa

Wayang krucil

Wayang wahyu

Wayang golek

Wayang kampung

Wayang Suket

Wayang bhuda

Wayang suluh

Wayang reka yang lain

2

Page 92: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

82

Wayang merupakan seni tradisi layak untuk diangkat dan diman-faatkan sebagai media komunikasi yang efektif adalah seni tradisi yang dapat dikemas sebagai tontonan yang komunikatif-dialogis. Pemilihan kesenian wayang yang efektif dan komunikatif untuk wilayah Jawa-Tengah dan DIJ, adalah wayang purwa, wayan kampung dan wayang suket Pilihan ini sudah digarap oleh keompok seni maupun komunitas peduli wayang.

1.1. Wayang PurwaWayang Purwa, sebagai wayang klasik tradisional tersebut di

atas merupakan karya local-genius yang kaya akan perlambangan kehidupan. Hal ini karena adanya pandangan kosmis-magis yang mendasari penciptaan wayang. Pengaruh kebudayaan dari luar tak menggoyahkan pandangan hidup itu, tetapi justru memperka-ya kualitas yang tercermin lewat perlambangan pada setiap ujud rupa wayang. Hal tersebut membuktikan adanya kesinambungan bentuk wayang pada masa Indonesia Hindu dan Islam. Hal ini merupakan cerminan adanya kekuatan kosmologi yang mampu memberikan dasar dalam mengejawantahkan bentuk wayang se-bagai perlambangan kehidupan manusia.

Wayang dalam bentuknya realistis akibat pengaruh budaya India melalui agama Hindu, kemudian teradaptasi dengan bu-daya Jawa yang kental dengan kekuatan kosmis-magis dalam kosmologi Jawa. Perubahan bentuk realistis pada budaya Hin-du kemudian menjadi bentuk non-realistik pada budaya Islam. Kekentalan kosmis-magis kemudian merupakan satu kekuatan yang menjadi landasan munculnya local-genius. Kelanjutan pada kebudayaan Islam, kekuatan perlambangan justru lebih mem-perkaya kualitas, yang tercermin pada setiap unsur rupa wayang. Wayang mulai meninggalkan kepengaruhan budaya India yang realistik ke bentuk non-realistik. Kemudian wayang kulit Purwa yang non realistik tersebut merupakan wayang kulit klasik tradis-ionil yang mampu memberikan jatidiri bangsa Indonesia. Sekal-igus merupakan bukti munculnya local-genius bangsa Indonesia. Wayang purwa kemudian merupakan sarana dahwah agama isla-miah , namun dilihat dari segi bentuknya maka nampak adanya kesinambungan bentuk wayang pada masa hindu dengan masa

Page 93: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

83

agama Islam, hanya mengalami distorsi-stilasif pada wayang pur-wa. Hal ini merupakan pertimbangan para wali, sebagai sarana adaptasi seperti yang telah disinggung di depan. Kesinambungan tradisi mendorong para empu wayang untuk melestarikan dan mengembangkan wayang dengan fungsi yang sama yaitu seb-agai media pendidikan dan sebagai sarana seni pertunjukan yang bersifat lokal. Wayang sebagai karya seni pertunjukan ini men-gandung berbagai nilai karena sifatnya yang mixmedia

Pertunjukan Wayang Purwa Pertunjukan Wayang Purwa di halaman balai Kota Surakarta

(Dokumen Komunitas Ronggo Winter Wisma Seni TBS Surakarta 2010)

Pertunjukan dengan menggunakan sosok wayang purwo di atas, merupakan pemanfaatan seni tradisi sebagai media ko-munikasi. Pertunjukan wayang tersebut akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas lewat-lewat pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan maesenasnya. Namun demikian pertunjukan tersebut tetap tergantung terhadap kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi namun tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi

1.2. Wayang RekaWayang Reka merupakan wayang alternatif garaf yang beori-

entasi pada konsepsi wayang purwo, tetapi dikonsentrasikan ga-

Page 94: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

84

rap tematik dan mengacu pada funsi gara tertentu. Wayang reka ini di diJawa Tengah dan DIJ telah lahir karya wayang alterna-tif antara lain: wayang kampung, wayang budha, wayang suket, wayang suluh, dan lain sebagainya.

1.2. 1. Wayang KampungWayang kampung reka garapnya berorientasi terhadap wayang

purwa. Apabila perjalanan wayang purwa kemudian merupakan sarana dahwah agama islamiah, wayang kampung direka dengan sosok orang kampung dan dufungsikan sebagai penebaran nilai-nilai kearifan lokal. Wayang kampung ini secara fi gur garap me-nyerupai wayang suluh, bedanya wayang suluh fi gur-fi gur yang dibangun berorientasi pada tokoh-tokoh pejabat tnggi waktu itu; bung Karno, Bung Hatta, Suharto, Nasution, para menteri, para Bupati dan sebagainya, dan berfungsi sebagai penyuluhan de-partemen Penerangan saat itu.

Pertunjukan Wayang Kampung Pertunjukan wayang kampung dengan ki Dalang Drs. Jliteng Suparman,

Wayang Kampung Sebelah di Serambi Museum Radya Pustaka dan di halaman Kampung Baluwarti (Dokumen Komunitas Ronggo Winter Wisma Seni TBS

Surakarta 2010)

Pertunjukan dengan menggunakan sosok wayang reka (way-ang kampung) di atas, merupakan pemanfaatan seni tradisi alter-

Page 95: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

85

natif sebagai media komunikasi. Pertunjukan wayang tersebut akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas lewat-le-wat pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan maesenasnya. Namun demikian pertunjukan tersebut tetap tergantung terhadap kapa-bilitas penyaji sebagai media ungkap atau ekspresi dan sekal-igus tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi. Sesuai dengan fungsinya yaitu untuk penebaran nilai kearifan lokal.

1.2.2. Wayang SuketWayang Suket Slamet Gundono komunitas Wayang Suket

merupakan pertunjukan wayang alternatif, secara eksitensi me-mang seolah lepas dari pakem, namun secara konsepsi masih ber-orientasi pada wayang konvensi pada wayang purwa

Sosok wayang atau Boneka wayang yang dibuat dari kulit, yang biasa digunakan untuk pertunjukan wayang kulit, di tan-gan Slamet Gundono bisa diubah dengan apa saja. Pertunjukan wayang seperti itu, tentu saja sudah sangat menjauh dari pakem pertunjukan wayang kulit konvensional. Jika pertunjukan Slamet Gundono harus diberi istilah, dengan pertunjukan teater wayang. Dikatakan teater, karena pertunjukan ini juga melibatkan aktor-aktor lain yang bermain di panggung, dan dalam beberapa adegan para aktor itu berinteraksi dengan wayang yang dimainkan.

Pertunjukan gado-gado seperti itu sudah merebak di Tanah Air. Banyak yang melakukannya. Namun, ada satu kekuatan yang dimiliki Slamet dan kawan-kawannya sehingga pertunjukannya tetap memikat dan enak ditonton. Setidaknya ada empat unsur yang menjadi kekuatan dalam pertunjukan Slamet. Pertama, Slamet Gundono selalu memasukan unsur humor namun tidak dengan maksud melawak. Kedua, sebagaimana layaknya dalang konvensional yang pandai menembang, Slamet Gundono yang setiap kali pentas selalu ditemani ukulele, pandai menembang dengan suara yang merdu. kepandaiannya ini membuat narasi yang disampaikan, jadi lebih memikat, dengan tingkat peng-hayatan yang tepat. Ketiga, sekalipun lakon yang dibawakan bernuansa surealis, namun alur cerita yang dibangun masih ada benang merahnya, sehingga penonton dapat mengikuti jalan ceri-

Page 96: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

86

ta yang dibentangkan. Keempat, Slamet selalu mengusahakan pertunjukannya berlangsung secara komunikatif. Ada interaksi antara pemain dengan penonton seperti yang terdapat dalam per-tunjukkan teater tradisional, misalnya Lenong, Longser, Ludruk, Ketoprak, Makyong. (www.tamanismailmarzuki.com Garibaba’s Strange World 2009)

Pertunjukan Wayang SuketBeberapa adegan dalam wayang suket, dalang dan sutradara Slamet Gun-

dono, Komunitas Wayang Suket Mojosongo Surakarta (Dokumen Esha Kardus ,2009)

Pertunjukan dengan menggunakan sosok wayang reka oleh Komunitas Wayang Suket (Slamet Gundono) dirakit seadanya Wayang suket merupakan teater tradisi alternatif sebagai me-dia komunikasi antara aktor sekaligus dalang Slamet gundono. Pertunjukan wayang tersebut merupakan ekspresi seniman se-cara intuitif garap dan dikemas lewat-lewat pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan maesenasnya. Namun demikian pertunjukan tersebut tetap tergantung terhadap kapabilitas penyaji sebagai media ungkap atau ekspresi dan sekaligus tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi.

Page 97: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

87

2. Teater TradisiTeater tradisi di Jawa (seperti; ketoprak, wayang orang, sandi-

woro), telah mengalami proses transformasi budaya sejak jaman prasejarah. Proses tersebut mencerminkan adanya perkembangan budaya etnik (kesenian rakyat). Adanya perkembangan teater tra-disi, mempunyai ciri yang menonjol, yang kemudian merupakan, sebagai salah satu seni punya identitas dan karakter jati diri bang-sa. Teater tradisi sebagai salah satu produk budaya merupakan salah satu bentuk seni Jawa tradisional yang mengalami proses tranformasi budaya. Seputar 1960-1970-an teater tradisi yang muncul sebagai budaya masa di tengah masyarakat (ketoprak, wayang orang, sandiworo radio), tidak hanya digemari tetapi sangat populer pada masyarakat. Kini ketoprak ataupun wayang orang (panggung) ditinggalkan penggemarnya dan beralih ke layar kaca, maka ketoprak dan wayang orang yang dulu mengala-mi kejayaan sebagai budaya populer. Ketoprak dan wayang orang kini menjadi budaya kelangenan.

Pertunjukan ketoprakBeberapa adegan dalam ketoprak, Parede ketoprak sse Jawa tengah dan DIJ,

Taman Budaya Jawa-Tengah TBS Surakarta (Dokumen Esha Kardus, 2009)

Pertunjukan Ketoprak (di atas) merupakan pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi. Pertunjukan ketoprak terse-

Page 98: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

88

but akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas secara tematik garap.. Namun demikian pertunjukan tersebut tetap ter-gantung terhadap kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi. Ketoprak sepert di atas ada peluang untuk tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komuni-kasi.

Penggagas ketoprak, ataupun wayang panggung, kini kurang diminati, tetapi sebenarnya masih punya penggemar yang baik. Kotoprak dan wayang orang kini mulai merambah ke gedung pertemuan, pendapa, di halaman-halaman, sebagai alternatif. Catatan terakhir muncul fragmen ketoprak/wayang orang, yang dikemas sebagai; fragmen wayang orang, wayang orang garap, ketoprak petilan, guyon maton, ketoprak gremeng, dan lain seb-againya.

Rekomendasi1. Perlu diingat bahwa seni tradisi merupakan ajaran dan tontonan,

maka maisenas dalam halini “pemerintah” (Kementrian Komunika-si dan Informatika, Pemerintah daerah ataupun lembaga lain) perlu selektif memilih seni tradisi dapat menjadi media penyaluran pesan informasi secara efektif dan komunikatif-dialogis saja yang cocok dalam penyampaian pesan kepada khalayak. Oleh karena itu dibu-tuhkan pemetaan seni tradisi yang bisa digunakan sebagai media penyampaian pesan dan media informasi yang komunikatif.

2. Seyogyanya para penggagas/pemrakarsa perlu memilih bentuk-bentuk seni tradisi yang telah populer, dan punya kemampuan un-tuk menciptakan hubungan antara seni dan masyarakatnya. Maka melalui seni tradisi sebagai media komunikasi tersebut mampu membangun dialog langsung antara pelaku dan komunitasnya. Se-hingga para pelaku seni, dapat mengungkapkan ide dan gagasannya sekaligus mampu membangun dialog interaktif disela-sela cerita-cerita yang disajikan.

3. Pemakaian dan pemanfaatan seni tradisi sebagai media komuni-kasi. Harus mampu membangun rekayasa budaya yang dikemas secara tematik garap, namun tetap berpegang terhadap kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi, sehingga kesenian tersebut masih punya karakter.

Page 99: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

89

Daft ar PustakaClaire Holt; 1973 Art in Indonesia: Continuties and Change, New York Ithaca:

Cornell University Press.Haryono Haryoguritno; 1993 Wayang Purwa Gagrak Surakarta Ditinjau dari As-

pek Rupanya. Makalah Pengantar, Rupa Wayang dalam Seni Rupa Kon-temporer Indonesia, Pameran Seni Rupa Kontemporer dalam Rangka Pekan Wayang Indonesia VI.

The Liang Gie; 1976 Garis Besar Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Penerbit Karya.

Wiyoso Yodoseputro; 1993 Kesinambungan Tradisi dan Sumber Pengilhaman. Makalah Pengantar, Rupa Wayang dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Pameran Seni Rupa Kontemporer Pekan Wayang Indonesia VI.

Wiyoso Yodoseputro; 1996 Seni Prasejarah di Indonesia, Diktat Kuliah, Bandung: Seni Rupa PPS-ITB.

Adi Subandi Ibrahim (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi (Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer). Jogyakarta:Jalasutra

Dharsono (Sony Kartika) (2007), Estetika, Bandung: Rekayasa SainGeertz, Clifford (1960), The Religion of Java. New York: The Free Press.Irianto, Asmujo J (1999), Kria Dalam Pendidikan Tinggi, Makalah Seminar Na-

sional Seni Rupa Tradisi Nusantara Topik: Implementasi Konsep Kriya dalam Pendidikan Tinggi Surakarta:STSI

Jose an Miriam Arguelles (1972), Mandala, Boelder and London: ShambalaKoentjaraningrt (1985), Javanese Culture. New York: Oxford University PressMulder, Niel (1984), Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta,

Gadjah Mada University PressSimuh, (1996), Sufi sme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa., Yog-

yakarta, yayasan Bentang BudayaSubagyo, Rahmat, (1981), Agama Asli Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan dan

Yayasan Cipta Loka CarakaSoedarsono, RM (1999), Seni Indonesia (kontinuitas dan Perubahan, Terjema-

han Clare Holt dalam Art in Indonesian Continuities and Change, Corne; Uni-versity (1967), Yogyakarta:ISI

Sumardjo, Jakob, TTh, Memahami Seni. Bandung, Diktat PascaSajana ITB (tidak diterbitkan)

Wiryamartana, I. Kuntara, 1990. Arjunawiwaha: Tranformasi Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa, Yogyakarta, Duta Wacana University Press.

Page 100: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi
Page 101: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

P E M E T A A N M E D I A T R A D I S I O N A L K O M U N I K A T I F

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

MENGGUBAH SENI TRADISI DAN PERTUNJUKAN YANG

KOMUNIKATIF UNTUK PENCERDASAN RAKYAT 3

Page 102: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

92

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Lahir di Singapadu, Bali, 12 April 1948. Mulai belajar menari pada usia 11 tahun dari ayahnya sendiri. Lulus Sarjana Muda dari ASTI Denpasar tahun 1973, kemudian, melan-jutkan ke ASTI Yogyakarta, lulus tahun 1975, mendapatkan gelar PhD dari University of California, Amerika Serikat pada tahun 1992. juga mendapatkan gelar guru besar bidang koreografi dari STSI Denpasar pada tahun 1999.

Sebagai penari, ia sering mengikuti pentas baik di dalam negeri maupun luar negeri. Lawatan pentasnya di luar negeri di lakukan antara lain di Iran (1969), Jerman (1975), Hongkong (1977), serta Singapura (1977). Sedangkan pentasnya di dalam negeri antara lain, Dramatari Calonarang Katundung Ratnamanggali”(Yogyakarta, 1974), Dramatari Sunda Upasunda (Yogyakarta, 1975), Dramatari Cak Subali Sugriwa”(Denpasar, 1975), Dramatari Cak DewaRuci”(1982), Sendratari Abimanyu Gugur”(Denpasar, 1976) dan Dramatari Apa”(Denpasar, 1977).

Pemimpin sanggar tari Bali Waturenggong di Denpasar ini, pernah bekerja sama dengan beberapa seniman tari, diantaranya dengan I Made Bandem MA, menyusun Dra-matari Topeng Puputan Badung”(Denpasar, 1977), dengan Ikranagara menata drama Rimba Triwikrama (Jakarta, 1978), serta dengan Keith Terry memproduksi tarian terkenal Tjak (1990).

Beberapa buku pernah ia tulis, antara lain, Catatan Beberapa Seni Pertunjukan Bali”(sebuah karya bersama ASTI Denpasar, 1977), Perkembangan Seni Tari Bali” (Proyek Sasana Budaya Bali-Denpasar) dan Pengantar Karawitan Bali (ASTI Denpasar, 1978).

Sering juga berkunjung ke berbagai lembaga pendidikan untuk bertukar pengeta-huan tentang dunia seni khususnya seni tari, salah satu tempat yang ia kunjungi adalah Holy Cross College in Worcester, New England, Amerika Serikat. Baru-baru ini, bersama dengan beberapa seniman Bali, ikut memprotes pemerintah Malaysia atas klaimnya ter-hadap tari Pendet.

Page 103: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

93

Pengantar

Seni, apapun media ungkapnya, adalah suatu perwujudan ekspresi artistik yang diikat oleh nilai-nilai budaya. Lahir dari berbagai konsepsi yang dimiliki manusia tentang sesuatu yang ada di seki-

tar mereka, seni merupakan suatu sistem budaya. Dengan ini dimak-sudkan bahwa seni tidak berdiri sendiri melainkan selalu terkait dengan unsur-unsur budaya lainnya1.

Indonesia adalah negara multi-etnis yang memiliki beraneka ragam warisan kesenian. Setiap kelompok etnis, yang tersebar di seluruh tanah air, menggunakan kesenian tersebut dengan cara dan maksud yang ber-beda-beda sesuai kebiasaan yang berlaku setempat. Di Bali, masyarakat Hindu Bali memperlakukan kesenian bukan saja sebagai sarana upaca-ra ritual melainkan juga sebagai hiburan masyarakat. Dalam fungsinya sebagai persembahan kepada Tuhan (niskala) dan manusia (sekala), ke-senian menjadi sarana komunikasi sekaligus edukasi bagi masyarakat.

Belakangan ini, sajian kesenian di Bali, seperti yang juga terjadi di daerah lain, cenderung lebih mengutamakan unsur hiburan dan menga-baikan unsur pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian, seperti yang dikatakan Bambang Sugiharto (Dosen Universitas Katolik Parahy-1 Clifford Geertz, Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropopogy, New York,

Basic Books Inc, 1983, h.94-120.

I Wayan DibiaAhli Seni Tari, Dosen ISI Denpasar

Mencerdaskan Rakyat dengan Seni Tradisi dan Pertunjukan Komunikati f

Page 104: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

94

angan) diadakan hanya untuk membuat hati senang dan pikiran tenang, membantu kita untuk sejenak melarikan diri dari persoalan.”2 Untuk menyenangkan penonton dan membuat mereka tertawa, para seniman seringkali memasukkan adegan-adegan lucu, melalui sajian gerak dan dialog-dialog yang dapat memancing ketawa penonton. Tidak sedikit pelaku kesenian yang secara tidak sadar telah memasukan lelucon kasar dan vulgar, jorok dan porno, serta informasi-informasi lainnya yang ti-dak benar ke dalam sajian kesenian mereka. Walaupun mungkin bisa menghibur, kesenian seperti ini tidak akan mampu mencerdaskan ma-syarakat.

Untuk menjadikan kesenian tradisi sebagai sistem budaya yang lebih strategis dalam kehidupan masyarakat kita, kiranya diperlukan adanya upaya-upaya revitalisasi terhadap unsur-unsur pendidikan di dalam ke-senian tradisi yang ada. Dengan menjadikan kesenian tradisional Bali, khususnya seni pertunjukan, sebagai fokus, tulisan ini mencoba untuk membahas kondisi seni pertunjukan tradisional Bali dewasa ini serta mencari berbagai kemungkinan untuk mengembalikan keseimbangan muatannya, agar seimbang antara aspek tontonan dengan tuntutannya. Dengan menjadikan Arja, Topeng, Wayang Kulit, Gong Kebyar, dan Pesantian sebagai obyek material, tulisan ini bertu-juan untuk menjelas-kan bahwa jika sajian kesenian sudah diseimbangkan muatan tontonan dan tuntunannya maka kesenian tersebut akan mampu memberikan pencerahan untuk mencerdaskan masyarakat.

Seni Tradisi dan Pertunjukan Komunikati f di BaliDi tengah-tengah pergeseran nilai-nilai sosio-kultural masyarakat

Pulau Dewata belakangan ini, sebagai akibat dari masuknya unsur-unsur budaya global, sejumlah kesenian tradisional Bali masih tetap eksis dan bertahan di masyarakat. Arja, Topeng, Wayang Kulit, Gong Kebyar, dan Pesantian adalah beberapa kesenian tradisional Bali yang hingga kini masih memperoleh tempat cukup istimewa di dalam ke-hidupan masyarakat Hindu-Bali.

Patut dipahami bahwa kesenian Bali, terutama seni pertunjukan dra-matik, menawarkan komunikasi artistik berkualitas bayu-sabda-idep, yaitu sajian seni yang mampu secara holistik membangkitkan energi, bunyi, dan daya pikir. Secara singkat dapat dikatakan bahwa gerak dan 2 Ignatius Bambang Sugiarto, “Seni, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban” (Pidato Pengukuhan

Guru Besar), Bandung, 16 Desember 2006, hal. 5

Page 105: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

95

Idep Sabda

Bayu

tari, termasuk unsur visual lainnya, yang bisa dicerap lewat mata, ter-masuk aspek bayu. Sajian bunyi-bunyian, musik (vokal dan instrumen-tal), serta unsur-unsur aural lainnya, yang dapat dicerap dengan telinga, termasuk aspek sabda. Pesan-pesan etika dan moral, pandangan hidup maupun gagasan-gagasan lainnya, yang disajikan dalam bentuk lakon dengan berbagai narasinya, yang dapat merangsang pikiran penonton, termasuk aspek idep. Interaksi dan totalitas dari ketiga unsur inilah menghasilkan kenikmatan artistik yang berkualitas bayu-sabda-idep3.

Keterkaitan yang dinamis dari ketiga aspek di atas dalam seni per-tunjukan Bali dapat dituangkan ke dalam suatu bagan berupa lingkaran dalam segi tiga. Lingkaran di tengah adalah seni pertunjukan sedan-gkan segi tiga menggambarkan ke tiga aspek, bayu, sabda, dan idep, yang mengikat seni pertunjukan. Secara bergantian, masing-masing aspek bisa berada di atas untuk menunjukkan dominasinya terhadap kedua aspek yang lainnya. Ketika sajian gerak dan tari yang mendo-minasi suatu pertunjukan, maka bayu akan berada di atas. Ketika sajian musik yang mendominir maka aspek sabda akan berada di atas. Aspek idep akan berada di posisi atas ketika bagian-bagian suatu pertunjukan didominasi oleh sajian lakon dengan berbagai pesannya. Ketika satu aspek berada di atas, dua aspek lainnya tetap memberikan dukungan. Hal ini menunjukkan adanya interaksi total antara ke tiga aspek (gerak, bunyi, dan pesan) dalam suatu peristiwa pertunjukan Bali.

Pada bagan di bawah ini, aspek bayu berada di atas, didukung oleh aspek sabda dan idep, untuk menunjukkan bagian seni pertunjukan Bali yang tengah didominasi oleh sajian gerak dan tari.

3 Baca: I Wayan Dibia, “Arja : A Sung Dance-Drama of Bali; A Study of Change and Transforma-tion” (disertasi) Los Angeles : University of California, Los Angeles (1992).

Page 106: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

96

Di Bali, kesenian merupakan produk budaya komunal yang lahir melalui hasil kerja bersama dan atau yang melibatkan banyak orang. Dengan demikian, kesenian bukan saja menjadi ekspresi artistik yang bersifat kolektif melainkan juga sebagai wadah interaksi dan komuni-kasi sosial di antara mereka yang ikut terlibat dan masyarakat penonton.

Telah dikemukakan di atas bahwa sejumlah kesenian tradisional Bali seperti Arja, Topeng, Wayang Kulit, Gong Kebyar, dan Pesantian hingga kini masih digemari oleh masyarakat setempat. Kesenian-kes-enian ini dapat digolongkan sebagai kesenian komunikatif karena oleh masyarakat kesenian-kesenian tersebut bukan saja dijadikan sarana un-tuk menyebarkan atau menyampaikan informasi melainkan yang lebih penting lagi adalah sebagai media komunikasi.

2.1 Arja dan TopengArja dan Topeng adalah dua dramatari tradisional Bali yang

hingga kini masih digemari masyarakat Bali. Keduanya meru-pakan seni pertunjukan dramatik yang sangat dekat dengan ma-syarakat. Karena hidup dan mati kesenian ini sangat tergantung pada dukungan sosial dan fi nancial masyarakat, Brandon mema-sukkan kedua kesenian ini ke dalam seni pertunjukan rakyat4.

Arja adalah sebuah dramatari yang menggunakan dialog ber-bentuk bahasa bertembang (tembang macapat). Lakon-lakon yang dibawakan pada umumnya bersumber pada cerita Panji (Malat) yang diajukan dalam seni drama yang tragic-komedi. Struktur pertunjukan Arja sangat diikat oleh prinsip rwa-bhineda; manis dan buduh, alus dan keras.

Dramatari ini diperkirakan muncul pada tahun 1825, yaitu pada jaman pemerintahan raja Klungkung I Dewa Agung Sakti. Namun demikian belum ada data-data tertulis yang mengungkap secara pasti kemunculan dan keberadaan Arja pada zaman itu. Tiga fase penting yang mewarnai sejarah perkembangan Arja adalah munculnya Arja Doyong (tanpa iringan dan dimainkan oleh satu orang), Arja Gaguntangan (yang memakai gamelan Ga-guntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang), dan Arja Gede (yang dibawakan oleh antara 10 sampai 11 orang pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada

4 James R. Brandon, Theatre in Southeast Asia, Cambridge-Massachusetts, Harvard University Press, 1967, h.80.

Page 107: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

97

sekarang. Lakon apapun yang dibawakan, Arja selalu menampilkan

peran-peran utama (stock characters) yang meliputi inya, galuh, desak, limbur, liku, panasar (manis dan buduh), dan mantri (ma-nis dan buduh). Agar pertunjukan Arja bisa lebih komunikatif, sudah menjadi kebiasaan para pemain untuk menyelipkan pesan-pesan keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi, ke dalam lakon yang dibawakan. Dengan selipan pesan-pesan aktual seperti ini masyarakat merasa dekat dengan kejadian-kejadian yang digam-barkan dalam lakon.

Topeng adalah dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad. Topeng (berwajah manusia) men-jadi elemen utama dari dramatari ini, dan keberhasilan pertunju-kan Topeng sangat tergantung dari kemampuan para pemainnya memainkan topeng yang digunakan. Diperkirakan dramatari ini muncul sekitar abad XVIII5.

Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng yang menutup seluruh bagian muka penari (topeng bungkulan), sebagian muka--dari dahi hingga rah-ang atas (topeng sibakan), dan yang hanya bagian tertentu seperti dahi, hidung, atau mulut (topeng kepehan). Semua tokoh yang mengenakan topeng bungkulan atau penuh tidak berdialog lang-sung, sedangkan semua tokoh yang memakai topeng sibakan dan topeng kepehan sebagian memakai dialog berbahasa Kawi dan Bali. Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng Tua), Pana-sar (Kelihan—yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih), dan Bondres (rakyat).

Jenis-jenis Dramatari Topeng yang ada di Bali adalah: Topeng Pajegan yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat didalam lakon yang dibawakan, Topeng Panca yang dimainkan oleh empat atau lima orang penari yang memainkan peranan yang berbeda-beda sesuai tuntutan la-kon, Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang di ambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari

5 I Made Bandem and Frederik Eugene deBoer, Kaja and Kelod; Balinese Dance In Transition, Kuala- lumpur, Oxford University Press, 1981, h.49.

Page 108: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

98

Dramatari Arja, dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.

2.2 Wayang KulitWayang Kulit adalah seni pertunjukan tradisional Bali yang

hingga kini masih digemari oleh masyarakat setempat. Pertunju-kan Wayang Kulit, terutama oleh dalang-dalang ternama, di kota maupun di desa, selalu dibanjiri oleh penonton.

Dalam tradisi budaya Bali, pertunjukan wayang kulit diperki-rakan sudah ada sejak abad IX. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun caka 818 atau 896 Masehi, dari zaman pemer-intahan Raja Ugrasena, diketemukan sejumlah istilah seni per-tunjukan yang salah satunya adalah parbwayang yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang. Dalam prasasti Gurun Pai Desa Pandak Bandung, juga dikete-mukan beberapa istilah, salah satunya adalah aringgit yang berarti bermain wayang6.

Berdasarkan wilayah geografi dan budayanya, seni pewayan-gan Bali dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu Bali Utara (Bule-leng) dan Bali Selatan (Badung, Gianyar, Tabanan, dan lain-lain). Perbedaan cukup mendasar Wayang Kulit dari kedua wilayah ini terlihat dari status sosial dalangnya, bentuk wayangnya, jum-lah pelakunya. Di Bali Utara, seorang dalang berstatus mangku dalang sehingga harus berbusana putih-putih sebagaimana lay-aknya seorang rohaniawan, lebih dari seorang seniman. Berbeda dengan dalang di Bali Selatan yang lebih diperlakukan sebagai seorang seniman. Dengan busana seperti ini, prilaku dalang di Bali Utara berada pada pertemuan dunia spiritual dan dunia seni (teatrikal), sementara dalang Bali Selatan lebih banyak di wilayah teatrikal. Di lihat dari bentuknya, secara umum dapat dikatakan bahwa ornamen ukiran Wayang Kulit Bali Utara lebih sederhana dari pada wayang-wayang Bali Selatan yang cenderung lebih ru-mit. Bentuk empat punakawan inti: Malen, Merdah, Delem, dan Sangut, di kedua wilayah budaya ini juga sangat berbeda. Per-bedaan ini bisa dilihat, misalnya, pada bagian kepalanya; Malen Bali Selatan mengggunakan kuncir berbentuk tanduk, sedangkan

6 Lihat: Serba Neka Wayang Kulit Bali, (Denpasar: Proyek Pencetakan/Penerbitan Naskah-Naskah Seni Budaya dan Pembelian Benda-benda Seni Budaya, Denpasar, 1975), h.. 5-6.

Page 109: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

99

Malen Bali Utara biasanya dengan kepala gundul. Pelaku per-tunjukan Wayang Kulit di Bali Utara, seperti yang terlihat pada Wayang Parwa, pada umumnya terdiri atas 2 (dua) orang penabuh gender dengan seorang dalang. Di Bali Seletan, penabuh gender pada umumnya berjumlah 4 (empat) orang. Satu hal lagi, dalam tehnik olah vokal, suara ngelur atau jeritan keras oleh dalang, walaupun sama-sama menggunakan suara kerongkongan namun ada perbedaan dalam proyeksi suara. Jika di Bali Selatan suara ngelur diproyeksikan ke luar, di Bali Utara suara ngelur diarah-kan ke dalam.

2.3 Gong KebyarGong Kebyar adalah sebuah ensambel yang diciptakan untuk

memainkan musik-musik Kakebyaran. Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini, yaitu Kebyar yang berarti suara keras dan menggelegar yang datang secara tiba-tiba, gamelan ini menghasilkan musik-musik keras yang dinamis. Hasil-hasil penelitian selama ini menunjukkan Gong Kebyar muncul di Bali Utara sekitar tahun 19157.

Desa yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Gong Ke-byar adalah Bungkulan walaupun kemudian Gong Kebyar Jaga-raga yang lebih berkembang di Bali Utara. Perkembangan Gong Kebyar mencapai salah satu puncvaknya pada tahun 1925 den-gan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Ketut Marya (Mario) dari Tabanan ke Bali Utara yang kemudian menciptakan sebuah tarian yang lebih banyak dilakukan dalam posisi duduk atau jongkok sambil memainkan instrumen terompong. Tarian ini kemudian disebut tari terompong (kebyar terompong).

Secara estetik, musik Gong Kebyar adalah perpaduan antara Gender Wayang, Gong Gede, dan Palegongan. Baik rasa musikal maupun jalinan melodi serta tehnik pukulan Gong Kebyar ada kala- nya terasa Gender Wayang yang lincah, Gong Gede yang kokoh dan agung, atau Palegongan yang melodis. Pola gineman Gender Wayang atau pukulan Kakenyongan Gong Gede muncul dalam berbagai tabuh Gong Kebyar8.

7 Colin McPhee, Music in Bali; A Study in Form and Instrumental Organization in Balinese Or-chestral Music, New Haven, Yale University Press, 1966, h. 328.

8 Dalam album Bali 1928; Gamelan Gong Kebyar Blaluan, Pangkung, Busungbiu, oleh Edward Herbst 2009, rasa tabuh-tabuh Palegongan terasa sangat dominan dalam tabuh-tabuh Gong

Page 110: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

100

Dewasa ini Gong Kebyar merupakan kesenian yang paling populer di Bali. Hampir setiap sekolah, perguruan tinggi, dan kan-tor-kantor pemerintah memiliki gamelan ini, dan hampir setiap Kecamatan, jika tidak di semua desa pakraman, di Bali, memiliki sedikitnya satu barungan Gong Kebyar. Selain untuk mengiringi untuk mengiringi tari-tarian dan memainkan tabuh-tabuh kebyar, gamelan ini juga bisa digunakan untuk memainkan tabuh-tabuh lelambatan untuk mengiringi upacara adat dan agama.

2.4 PesantianPesantian adalah pembacaan (pertunjukan) karya-karya sastra

klasik bertembang yang ditulis dalam metrum sekar agung dan sekar madya. Menyanyikan lagu-lagu pemujaan Tuhan (makid-ung) memang tidak pernah lenyap dari kegiatan upacara dewa yadnya, atau membacakan karya-karya sastra bermetrum sekar agung (makakawin) untuk manusa yadnya dan pitra yadnya, me-nyanyikan tembang-tembang macapat di luar konteks seni drama, merupakan suatu hal yang baru di Bali. Kini, semuanya itu bisa terdengar dalam pesantian.

Belakangan ini masyarakat Bali, di desa maupun di kota, menjadi semakin bergairah terhadap aktivitas pesantian (dari kata santi yang berarti damai). Dewasa ini, hampir tidak ada upa-cara adat dan agama Hindu di Bali yang tanpa dimeriahkan oleh pesantian. Pada masa-masa sebelumnya, misalnya di tahun 1970-an, sangat jarang sebuah upacara seperti tiga bulan bayi, upacara hari kelahiran, atau peminangan yang dimeriahkan oleh pesantian seperti yang terjadi belakangan ini. Fenomena seperti ini muncul bukan saja di kalangan masyarakat golongan menengah ke atas, melainkan juga di kalangan masyarakat bawah.

Munculnya fenomena pesantian ini sedikit banyak didorong oleh adanya kerinduan terhadap nilai-nilai budaya masa lalu. Di sisi lain, semaraknya aktivitas pesantian seperti sekarang menun-jukkan adanya revitalisasi dari berbagai jenis wirama, kidung, atau pupuh-pupuh yang selama ini hampir dilupakan masyarakat Bali modern.

Untuk sekian lama, persepsi masyarakat terhadap pesantian, Kebyar.

Page 111: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

101

terutama makakawin/mawirama, adalah kegiatan orang tua yang bermuka kriput, dengan tubuh yang sudah mulai bungkuk, sam-bil mengunyah sirih (nginang). Karena kegiatan ini melibatkan pembacaan pustaka-pustaka lontar yang disucikan, banyak orang yang melihatnya sebagai sebuah kegiatan yang hanya boleh di-lakukan oleh orang-orang yang telah memiliki proses penyucian serta kesiapan batin. Oleh sebab itu, para generasi muda cend-erung menjauh dari aktivitas ini. Kenyataan yang ada sekarang sungguh sangat berbeda. Kini para pelantun kakawin (juru baca) termasuk penerjemahnya (juru basa) adalah orang-orang dewa-sa setengah baya yang masih ganteng atau cantik dan bertubuh tegak, bahkan sering kali juga dari golongan remaja. Nampak-nya kegiatan Utsava Dharma Gita, dan lomba-lomba makakawin, yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap munculnya keg-airahan pesantian ini. Akhir-akhir ini kegiatan pesantian sudah menjadi sema-kin meriah dan menarik untuk dinikmati dengan digunakannya gamelan pengiring berupa ensambel kecil seperti Gender Wa-yang dan gamelan Geguntangan. Walaupun penggunaan irin-gan musik dari barungan kecil ini lebih banyak sebagai ilustrasi (background), kehadirannya sangat memperkaya aroma dan aural dari pesantian. Bagi warga masyarakat yang ingin hiburan ringan yang sekaligus dapat memeriahkan suasana pelaksanaan dari upacara adat dan agama mereka lakukan, pesantian yang diiringi gamelan, baik Gender Wayang maupun Geguntangan, menjadi pilihan yang sangat tepat.

Masyarakat Bali pada umumnya sudah tidak asing lagi den-gan kesenian yang telah disebutkan di atas. Masyarakat setem-pat cukup tahu dengan struktur pertunjukan, tata penyajian dari masing-masing kesenian, serta bahasa yang digunakan oleh para pemainnya (bahasa Bali). Hal ini menunjukkan bahwa kesenian-kesenian tradisional tersebut di atas telah memiliki “jembatan ko-munikasi” dengan masyarakat penonton. Potensi seperti ini, dari kesenian tradisional, patut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencerdaskan masyarakat.

Page 112: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

102

Mencerdaskan Rakyat Dengan KesenianSeni, apapun media ungkapnya, pada dasarnya adalah hasil sebuah

kreativitas yang mengandung sekumpulan pengetahuan. Menurut Har-old Taylor, pakar pendidikan, untuk memahami suatu produk karya seni dibutuhkan kemampuan otak untuk memikirkan konsep-konsep yang terkandung di dalamnya9. Ahli teater Barat, Robert Cohen, per-nah mengatakan bahwa seni (teater) dapat mempertajam daya pikir dan menyatukan rasa10. Apa yang dikatakan Cohen dan Taylor menunjuk-kan bahwa kesenian sangat potensial untuk mencer-daskan rakyat (ma-syarakat). Kesenian yang mencerdaskan bukan saja yang mengibur me-lainkan yang mampu membangkitkan interaksi intelektual, kontemplasi estetis, kesadaran budaya (termasuk kepekaan rasa), kesadaran identi-tas dan jati diri, serta yang mampu meningkatkan keluhuran budi, baik pada masyarakat penonton maupun para pelakunya.

Untuk membuat kesenian mereka mampu mencerdaskan rakyat, pelaku seni harus senantiasa berupaya untuk melakukan penggarapan dan pengkemasan terhadap beberapa bagian dari kesenian mereka. Pengkemasan terhadap kesenian-kesenian tradisional dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti menyehatkan muatan dramatik (lakon), memadatkan durasi pentas, memperkaya elemen pertunjukan, dan memperbarui teknik penyajian. Satu hal yang patut diingat bahwa upa-ya penggarapan dan pengkemasan ini harus dilaksanakan tanpa meru-sak identitas kesenian yang ada.

Keberhasilan sebuah pertunjukan seni drama (Arja, Topeng) dan teater (Wayang Kulit) sering kali sangat bergantung kepada muatan dramatiknya yaitu lakon yang dibawakan. Masyarakat pada umumnya akan tertarik untuk menyaksikan sebuah pertunjukan jika mereka tahu adanya lakon baru yang akan dipentaskan. Oleh sebab itu, para seni-man seni drama perlu terus berupaya untuk menampilkan lakon-lakon baru dalam sajian mereka. Para seniman Arja misalnya harus berani menampilkan lakon-lakon di luar cerita Panji, jika perlu mengambil lakon-lakon Barat atau mengangkat karya-karya sastra modern. Dalam membawakan suatu lakon, dari manapun sumbernya, para seniman ha-rus senantiasa berpegang teguh kepada sumber literatur yang digunak-an. Hal ini menjadi sangat penting ketika berhadapan dengan penonton 9 Harold Taylor, Art and The Intellectual, New York, The Museum of Modern Art, 1960, h.9.10 Robert Cohen, Theatre (Third Edition), Mountain View-California, Mayfi eld Publishing Com-

pany, 1994, h. 16-17.

Page 113: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

103

yang sudah mulai melek baca seperti masyarakat Bali di zaman modern ini.

Ada kecenderungan bahwa dewasa ini penonton kurang tertarik dengan sajian seni drama yang terlalu serius. Mereka menjadi cepat bosan mendengar adegan-adegan serius yang dijejali oleh dialog-dialog bermuatan fi losofi s berat. Oleh sebab itu, muatan dramatik yang kiran-ya bisa diterima oleh penonton pada zaman ini adalah yang berisikan adegan-adegan serius dan lucu, antara yang mendidik dan menghibur, secara relatif berimbang, yang biasa disebut dengan pada misi.

Durasi pentas merupakan salah satu unsur pertunjukan kesenian tradisional yang memerlukan penanganan yang serius. Masyarakat di zaman modern pada umumnya sudah ”sadar waktu” sehingga mereka tidak bisa menghabiskan waktu terlalu lama untuk menyaksikan per-tunjukan. Agar suatu pertunjukan kesenian tradisional seperti Arja, To-peng, atau Wayang Kulit, tidak sampai ditinggalkan penonton, maka dibutuhkan adanya pemadatan durasi pentas.

Pementasan kesenian semalam suntuk kiranya sudah semakin jarang terjadi di zaman ini. Masyarakat cenderung tidak bisa menghadari per-tunjukan seni dengan durasi pentas melebihi dari 3 sampai 4 jam. Oleh sebab itu, para pelaku kesenian tradisional harus rela menyesuaikan waktu pertunjukan mereka dengan kondisi yang ada.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah meniadakan pengu-langan bagian-bagian pertunjukan yang terlalu sering diulang-ulang. Atau meniadakan bagian-bagian yang tidak penting. Namun demikian, pemadatan durasi pentas hendaknya jangan sampai menghilangkan bagian-bagian penting dari suatu kesenian. Bagian-bagian esensial dari suatu pertunjukan hendaknya tetap dipertahankan karena jika tidak akan bisa jadi pemadatan durasi akan justru merusak identitas kesenian yang bersangkutan.

Gong Kebyar dan pesantian adalah dua kesenian tradisional Bali yang telah banyak melakukan pengayaan terhadap elemen-elemen per-tunjukan. Dalam beberapa kali Festival Gong Kebyar se Bali, misalnya dalam rangka Pesta Kesenian Bali, kedua kesenian ini telah tampil den-gan elemen-elemen pertunjukan yang baru. Dalam Gong Kebyar kita bisa melihat berbagai penambahan instrumen untuk melahirkan rasa musikal yang lebih menarik dan sesuai dengan selera zaman sekarang. Hal yang sama juga terlihat pada pesantian yang kini sudah biasa meng-

Page 114: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

104

gunakan gamelan pengiring (Gender Wayang atau Gaguntangan). Di mata masyarakat luas, kesenian tradisional memiliki teknik peny-

ajian yang sudah baku. Jika teknik pementasan itu dirubah maka akan menghilangkan jati diri dari kesenian yang bersangkutan. Anggapan seperti ini sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Dalam kenyataan-nya, semenjak tahun 1960-an, jika tidak sebelumnya, hampir semua kesenian tradisional Bali mengalami perubahan tehnik pementasan, dari kalangan tradisional yang berbentuk arena menjadi panggung tapal kuda atau semi proscenium. Dari yang menggunakan lampu petromak atau obor menjadi lampu elektrik yang modern, dari yang tidak meng-gunakan pengeras suara menjadi berpengeras suara.

Seiring dengan kemajuan teknologi, teknik pementasan kesenian tra-disional Bali sudah sepatutnya diperbaharui. Temuan-temuan teknologi baru di bidang tata cahaya, set dan dekorasi, kiranya dapat digunakan dalam pertunjukan tradisional. Namun demikian, penggunaan teknolo-gi modern ini hendaknya diupayakan sedemikian rupa agar jangan sampai merupak unsur-unsur esensial dari kesenian yang bersangkutan. Sebagai contoh, bagaimana penggunaan tata lampu agar jangan sampai membunuh warna topeng yang digunakan penari Topeng, atau peng-gunaan microphone agar jangan sampai merusak tembang penari Arja.

Penutup Semua yang telah diurai di atas menunjukkan potensi besar dari

kesenian tradisional dan pertunjukan komunikatif, yang dimiliki oleh bangsa ini, dalam mencerdaskan rakyat. Jika diberdayakan dengan baik dan benar, kesenian tradisi, yang selama ini hanya dipandang sebagai sumber hiburan, dapat digunakan sebagai sarana pencerdasan masyara-kat. Agar upaya-upaya pencerdasan melalui kesenian ini bisa terwu-jud maka dibutuhkan upaya-upaya pengkemasan dari para pelaku dan pemilik kesenian itu sendiri. Bagi masyarakat seniman pertunjukan di Bali, mereka harus senantiasa berupaya untuk menyeimbangkan segi-segi tontonan dan tuntunan dan memperhatikan konsep bayu-sabda-idep dalam sajian mereka. Hanya dengan cara seperti ini sajian kesenian mereka akan bermanfaat bagi upaya peningkatan kualitas kemanusiaan masyarakat kita.

Page 115: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

105

Daft ar PustakaBandem, I Made; deBoer, Frederik Eugene. 1981. Kaja and Kelod; Balinese

Dance In Transition, Kuala Lumpur, Oxford University Press.Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Cambridge: Harvard Uni-

versity Press.Cohen, Robert .1994 [1981]. Theatre (Third Edition). Mountain View-California:

Mayfi eld Publishing Company.Dibia, I Wayan. 1992. “Arja : A Sung Dance-Drama of Bali; A Study of

Change and Transformation” (disertasi) Los Angeles : University of California, Los Angeles.

Geertz, Clifford. 1983.Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthro-pology. New York: Basic Books Inc. Publisher.

Herbst, Edward. 2009. Bali 1928; Gamelan Gong Kebyar Blaluan, Pangkung, Busungbiu (CD), Arbiter.

McPhee, Colin. 1966. Music in Bali; A Study in Form and Instrumental Organiza-tion in Balinese Orchestral Music. New Haven: Yale University Press.

Proyek Pencetakan/Penerbitan Naskah-Naskah Seni Budaya dan Pembelian Benda-benda Seni Budaya. 1975. Serba Neka Wayang Kulit Bali, Denpasar: Proyek Pen-cetakan/Penerbitan Naskah-Naskah Seni Budaya dan Pembelian Benda-benda Seni Budaya.

Sugiharto, Ignatius Bambang. 2006. Seni, Ilmu Pengetahun, dan Peradaban. Pi-dato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Katolik Parahyangan (Bandung).

Taylor, Harold. 1960. Art and the Intellect. New York: The Museum of Modern Arts.

Page 116: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

106

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

I Nyoman Catra. Lahir di Denpasar, 31 Desember 1954. Dosen Jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasarini lulus sarjana muda (BA) Seni Tari ASTI Denpasar Tahun 1987.

Gelar S1 (SST) Seni Tari diselesaikan tahun 1983 di ASTI Yogyakarta. Sementara gelar master (MA) Teater diambil di Emerson Collega Boston USA (1996) dan memper-oleh gelar Doktor Ethnomusicology dari Wesleyan University Middleton Connecticut USA (2005).

Saat ini menjabat Sekretaris dan Ketua Jurusan Tari/Karawitan dan Pedalangan ASTI Denpasar. Sebelumnya juga pernah menjadi Pembantu Ketua I Bidang Akademis STSI Denpasar, Kapuslit Bidang Seni Tradisional LP2M ISI Denpasar, Sekretaris LP2M ISI Denpasar, dan ikut dalam Litbang Yayasan Saba Budaya Hindu Bali.

Sejak tahun 2004 mengelola Sanggar Seni Citta Usadhi Kabupaten Badung sebagai ketua dan hingga kini memegang posisi ketua Himpunan Seniman Kabupaten Badung (HSKB).

Alamat Rumah: Jalan Nangka, Gang Kenari VI No. 6 Denpasar BaliTlp. (0361) 262193 HP. 081338265446Alamat Kantor:Jalan Nusa Indah Denpasar Tlp. (0361) 227316

Page 117: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

107

Pendahuluan

Misteri kehidupan yang sering memunculkan kebingungan me-nyelimuti insani manusia - yang dikatakan sebagai mahluk tertinggi diantara mahluk hidup - dalam memahami tujuan

hakiki menjalani hidup dan kehidupan ini, belum pernah mendapat-kan jawaban tuntas. Menurut kepercayaan Hindu tujuan hidup manu-sia adalah untuk mencapai “Moksartham Jagadhita ya ca Iti Dharma” yakni pendakian pencapaian kebahagiaan abadi manunggal dengan si-fat asali, di samping memperoleh kebahagiaan duniawi di dunia fana ini, dengan senantiasa mengedepankan dharma.

Dalam kaitan berbangsa dan bernegara, pemerintah dalam mening-katkan kwalitas anggota masyarakatnya memiliki tujuan untuk mem-bentuk Manusia Indonesia seutuhnya, sejahtera lahir batin dengan pe-menuhan kebutuhan jasmani dan rohani secara berimbang, sebuah visi yang menjadi idaman bersama.

Manusia sebagai perwujudan dunia kecil (mikrokosmos) beraviliasi dengan dunia besar/jagadraya (makrokosmos) berelemen dari panca maha bhuta yakni lima unsur yang terdiri dari; tanah (pertiwi), air (apah), sinar/panas (teja), angin (bayu), dan ether (akasa). Dari panca maha bhuta terlahirlah panca tan matra yakni lima unsur pendorong ke-hendak manusia yang terdiri dari sparsa, rasa, rupa, ganda, dan sabda.

Seni Pertunjukan Populer sebagai Media Pencerdasan Rakyat:

Potensi Tari Topeng dan Teater BaliI Nyoman CatraAhli Seni Pertunjukan, Dosen ISI Denpasar

Page 118: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

108

Digambarkan dalam mitos peredaran bumi bahwa Hyang Siwa menciptakan dunia dan alam semesta ini dengan tarian sakralnya se-bagai wujud proses kreatif berkesinambungan. Tarian kosmik Hyang Siwa disebut dengan Siwanataraja. Dunia dan alam semesta ciptaan Beliau bergerak secara ritmis, indah dalam keteraturan. Unsur panca maha bhuta dipadu dengan sifat unsur panca tan matra, membentang luas pada perputaran kosmik, di bumi berputarnya seluruh penjuru mata angin dengan istana dewa dan dewinya, sifat bhuta, senjata, sastra, neptu, warna, suara, dan unsur lainnya (pangider bhuana), merupakan elemen pergolakan kreativitas dalam siklus; uttpeti, stiti, pralina (triko-no) yang berproses secara alami terus menerus penuh intensitas dalam perjalanan peredaran waktu yang tak terhitung.

Sepuluh fomulasi aksara suci (dasa aksara) yang terpilah menjadi dua dikenal denga panca tirta dan panca geni (Sa, Ba, Ta, A, I; Na, Ma Si, Wa, Ya), kedua formulasi ini bergolak mempengaruhi perangai ma-nusia, yang dipercayai terlahir telah membawa karma dari hasil perbua-tan manusia pada kehidupan sebelumnya (punarbawa). Disadari bahwa unsur-unsur tersebut sebagai elemen jasad dan jiwa perwujudannya dari bendawi yang kasatmata sampai pada yang bersifat maya termasuk jiwa dan sifat kehendak/ego manusia.

Dua kekuatan sifat yang bertentangan ini yang dikenal dengan sebu-tan rua-bineda merupakan dialektik yang tak terpisahkan dalam alam raya ini termasuk pada diri manusia, yakni adanya sifat: baik–buruk, sekala–niskala, purusa–predana, cetana–acetana, positif–negatif, gelap–terang, suka–duka, timur–barat, atas–bawah, dan sifat lain yang bertentangan, senantiasa bergolak tarik-menarik, berpengaruh pada din-amika kehidupan setiap insan sebagai mahluk individu maupun dalam kaitannya sebagai mahluk sosial. Untuk memahami misteri kehidupan tersebut, manusia tumbuh dan berkembang mendapat pendidikan dari orang tua, pendidikan formal, pendidikan regulasi pemerintahan dan pendidikan masyarakat/alam lingkungannya.

Pendidikan formal lebih menekankan pada pembentukan kecer-dasan intelektual, pengasahan akan rasio dari kerja otak. Sementara pencerdasan yang dilakukan melalui pengalaman agama dan seni, lebih ditekankan pada pencerdasan rasa. Kecerdasan rasio dan rasa seyog-yanya saling melengkapi dalam memahami hidup ini. Seni pertunjukan merupakan media ampuh untuk promosi penyampaian pesan, media

Page 119: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

109

propaganda, yang berkaitan dengan logika berdasar pada rasa. Penggambaran dunia dengan berbagai permasalahannya didalam

arena pentas, merefl eksikan dunia kehidupan maya secara luas, baik yang menyangkut rentang waktu, sistem kehidupan, konfl ik internal dan eksternal tokoh yang mengemuka tanpa batas, bertautan dengan ke-hidupan masyarakat. Dengan kata lain pendidikan budi pekerti menjadi muatan isian dramatisasi seni pertunjukan, sebagai cermin pembekalan masyarakat tentang pemaknaan hidup, pada berbagai jenjang usia, sta-tus sosial, tugas dan kewajiban profesi.

Mencerdaskan masyarakat mengandung pengertian sebagai upaya ”mengusahakan supaya sempurna akal budinya.” Cerdas berarti ”sem-purna perkembangan akal budinya (untuk berfi kir, mengerti dsb.” (Ka-mus Besar BI: 164)

Topeng dan berbagai jenis dramatari lainnya, wayang, sebagai var-ian genre seni pertunjukan, kehadirannya memiliki peran yang sangat penting, tidak saja sebagai pemberi hiburan juga sebagai pencerahan masyarakat penontonnya. Dikatakan penting mengingat kehadirannya memiliki tugas dan fungsi sebagai legitimasi keberhasilan sebuah ritual keagamaan. Sebagai kesenian popular kebanyakan seni pertunjukan dramatari Bali, memiliki format sajian yang sangat fl eksibel, adaptatif dengan situasi, dan kondisi.

Peran Tari Topeng dan Teater Bali di tengah masyarakatnyaMasyarakat menyadari arti penting dan memberikan ruang kepada

seni pertunjukan seperti topeng, wayang dan berbagai dramatari lain-nya, sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam menjalani ritual ke-agamaan. Ritual keagamaan yang domainnya dikategorikan kedalam panca yadnya1, dimana dalam tingkatan tertentu seni pertunjukan to-peng pajegan dan wayang lemah menjadikan bagian tak terpisahkan melengkapi kesempurnaan tatacara upacara yang digelar. Persembahan pengagungan karunia Tuhan melalui karma sandyasin melibatkan tata-cara dan elemen persembahan yang megah, indah, lengkap walau tetap 1 Panca Yadnya: Lima domain peruntukan persembahan yadnya yang digelar oleh masyarakat

Hindu yakni: Dewa Yadnya persembahan diperuntukkan kehadapan Tuhan dengan berbagai manifestasinya; Bhuta Yadnya, persembahan diperuntukkan membangun keharmonisan den-gan alam semesta; Rsi Yadnya persembahan untuk menghormati para pendeta; Pitra Yadnya, persembahan diperuntukkan menghormati leluhur; dan Manusa Yadnya, persembahan untuk memuliakan manusia itu sendiri.

Page 120: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

110

memperhatikan pada tingkatan kemampuan nista, madya, dan utama, merupakan upaya pembayaran hutang hidup (tri rnam).

Fungsi kesenian berlakon di Bali seperti topeng, arja, calonarang, wayang, drama gong, dan sejenisnya, membentang dari keterkaitan-nya dengan peristiwa sakral (wali), utamanya sebagai pencerahan ma-syarakat dalam kategori bebeali, dan secara luas memiliki rambahan peruntukannya sebagai seni hiburan sekuler (balih-balihan). Oleh kare-nanya sangat strategis dan memiliki peran yang sangat potensial seb-agai pencerahan masyarakat pemirsanya lewat sentilan-sentilan yang menghibur dengan nilai-nilai kebijaksanaan sebagai kandungan isian dramanya. Tujuan tontonan dan tuntunan, dua dimensi tujuan perge-laran yang saling melengkapi dibutuhkan dalam pengalaman estetik masyarakat penontonnya.

Ketika sebuah upacara keagamaan digelar yang melibatkan anggota masyarakat secara luas; seniman seni pertunjukan (praregina/dalang2) yang ikut meligitimasi ritual tersebut memiliki peran yang sangat pent-ing. Orang yang bertanggungjawab pelaksanaan upacara (yajyamana), orang ahli pembuat upakara (niniwedya), dan sang sulingih yang ber-tugas menghaturkan upakara tersebut sesuai tujuan dan peruntukannya dengan mengelar sang catur weda (yogiswara), tidak memiliki kuasa untuk memaparkan dan menerangkan kehadapan khalayak, berkenaan dengan makna dan arti dari tata upacara dan upakara beserta fi lsafat yang melatarbelakangi-nya. Seniman mempunyai ruang terbuka untuk memberi pemaknaan terhadap apa yang sedang berlangsung dan untuk tujuan apa upacara tersebut diselenggarakan.

Seni pertunjukan dramatari Gambuh yang ditengarai sebagai sum-ber utama munculnya tari/dramatari lainnya di Bali. Gambuh seb-agai sebuah dramatari yang menekankan pada kemegahan/keagungan pemerintahan raja-raja, memiliki seting penokohan yang besar dengan varian tingkatan hirarkinya. Koreografi tari yang komplek, tata struktur musik yang megah, dengan permaianan patet dari alunan ritmik aran-semen instrumen perkusi, disamping melodis melankolis sapta nada dialunkan dengan sejumlah suling berukuran besar. Tata busana dan rias mencerminkan kemegahan regalia penampilan tokoh dari kalangan

2 Sebutan pragina diberikan kepada seseorang yang memiliki profesi sebagai seniman tari, baik sebagai penyaji pada tarian murni maupun para actor dalam dramatari Bali. Sebutan dalang diperuntukkan pada seniman yang piawi dalam memainkan wayang.

Page 121: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

111

bangsawan. Sebagai sebuah dramatari total teater (Bandem & deBoer 1995: 27) gambuh memiliki kontribusi penting di dalam tarian Bali karena pengaruhnya pada bentuk dramatari lainnya pada perkemban-gan berikutnya; sebagai sumber dan model pada berbagai jenis perunju-kan dramatari seperti Topeng, Wayang Wong, Arja, Legong, dan Baris Melampahan.

Koreografer Bali moderen sangat kuat bertumpu pada Gambuh dalam pendekatan struktur, karakterisasi, arti dari dramatisasinya, el-emen komposisi, busana, repertoar musikalnya, dan elemen lainnya. Secara tematis dan sajian dramatari gambuh memberikan refl eksi ke-megahan sebuah negara dan keindahan alunan lebut gerak tari tokoh protagonis yang mampu menaklukkan gerakan kasar dari tokoh antago-nis dalam balutan kisah cinta dan kekuasaan. Dramatari gambuh masih didominasi dengan penggunaan bahasa Jawa Kuno (kawi) dan adanya pengulangan kata-kata sebagai korus kekuatan kebersamaan yang de-wasa ini tidak banyak dimengerti kontent dan konteksnya. Gambuh yang mengambil kisah pengembaraan cinta dan kekuasaan, dimana tokoh Panji sebagai tokoh protagonis digambarkan sebagai pahlawan kebudayaan.

Pendidikan seni kepada generasi penerus pelaku kesenian menun-tut penguasaan pada unsur-unsur seni sebagai preservasi kekayaan khasanah bangsa. Seorang seniman setidaknya dituntut agar mengua-sai beberapa cabang ilmu seni untuk memperkuat identitas keseni-manannya. Terbuka luas pengusaan berbagai cabang seni yang sudah tentu memperkuatan profesi kesenimannnya. Wayan Dibia (2004: 119) memberikan identifi kasi wilayah kiprah pragina menekuni profesi ber-keseniannya ke dalam: pragina nugur, pragina naduin, dan pragina ngerangkep. Tingkat penguasaan sebagai pemeran satu tokoh dengan baik/sempurna, dikategorikan sebagai pragina nugur. Seniman naduin untuk mereka yang memiliki kemampuan penguasaan lebih pada satu jenis kesenian yang sering juga disebut ngiwa. Sementara seniman ngerangkep diperuntukkan bagi seseorang yang memiliki multi talenta sebagai seniman serba bisa. Disamping penguasaan secara cabangnya yang demikian banyak seniman juga ditutut dalam kreativitas kemasan tari, gamelan, olah sastra, tembang dan retorika antawacana sebagai preservasi keragaman seni tradisi memperkokoh budaya bangsa.

Dalam seni pertunjukan dramatri seperti: topeng, arja, calon arang,

Page 122: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

112

wayang wong, termasuk wayang kulit, dimana peran penasar yakni ad-anya tokoh sisipan lokal genius yang selalu hadir sebagai panakawan, berpihak pada tokoh protagonis, antagonis, termasuk diantaranya men-jadi pendamping tokoh tritagonis. Panakawan menggunakan bahasa daerah/lokal dengan varian dialeknya, menjadikan pertunjukan terse-but sebagai bagian dari kisah yang dialami masyarakat penikmatnya. Kendati ceriteranya mengambil dari kisah-kisah epos, legende, sejarah/babad masa silam, dimana hadirnya tokoh utama kebanyakan berba-hasa kawi, yang kurang dapat dipahami oleh kebanyakan masyarakat umum. Namun dengan hadirnya penasar yang bertugas sebagai pener-jemah, komentator, pemberi wejangan, mengelaborasikan topik pem-bicaraan dan mengembangkannya dengan memasukkan petuah tentang nilai-nilai kebijaksanaan, menjadikan pertunjukan tersebut bisa dibuat bersentuhan langsung dengan persoalan masyarakat sekitar. Sambil melontar selingan lelucon yang mengundang gelak ketawa sebagai bukti perhatian penonton penuh terhadap dinamika dramatik adegan berlangsung, merupakan momen baik untuk menyisipkan pesan-pesan kebijaksanaan.

Seniman praktisi menyadari bahwa penonton yang hadir dari kalan-gan anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, yang sudah barang tentu memiliki kesenangan nutrisi kejiwaan yang berbeda. Oleh karenanya seniman dituntut secara sadar mempertimbangkan keragaman dialog panakawan (kandan penasar) yang dapat menutrisi masyarakat penga-presiasi pada tingkatan perbedaan umur, status sosial dan profesinya.

Secara pemaknaan hidup, perwujudan fi gur penasar dalam wayang yakni Tualen, Merdah, Delem dan Sangut, secara fi losofi s memiliki avi-liasi dengan ista dewata nawasanga dalam kosmik buana agung. Wayang Kayonan diposisikan di tengah, sementara keempat penasar diposisikan pada empat penjuru mata angin selaras dengan sifat dan karakterisasi tokoh. Sekala dan niskala cara pandang masyarakat Hindu pada ke-nyataan hidup ini, sehingga posisi wayang penasarpun dijadikan ikon sakral dalam pemaknaan hidup ini. Dalam Dharma Pewayangan (lihat Hooykass 1973: 130) posisi penasar dalam stananya menurut arah mata angin dibahas secara komprehensif. Dengan demikian penasar adalah tokoh misteri yang penuh dengan pemaknaan dan memiliki aviliasi dengan kanda pat berkaitan dengan paralel posisi tata letak baik di buana alit, maupun di buana agung.

Page 123: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

113

Tokoh Tualen yang secara kasat mata berwarna gelap/hitam be-ravilisasi dengan stana Wisnu berada di Utara. Namun secara fi lsafati sebagai purusa sumber asali dia dikatakan memiliki darah putih, be-raviliasi dengan stana Dewa Iswara yang menempati posisi di Timur. Timur-laut adalah arah ke hulu (luanan) berada diantara warna hitam dan putih. Dalam penempatan warna pangider buwana arah di timur-laut ditandai dengan warna biru, adalah tune warna untuk jangkauan luas tak terbatas. Langit berwarna biru, laut berwarna biru, keduanya mencerminkan keluasan bidang yang ujungnya tak terjangkau oleh pandangan mata manusia, yang memiliki keterbatasan.

Ada ke abu-abuan pemahaman kita dalam memandang arah manad-ala timur laut yang dikatakan sebagai arah hulu (luanan), arah menuju sorga. Ketiga tone warna ini (hitam, abu-abu, dan putih) adalah warna magis, sebagai pencerminan gelap, abu-abu, dan terang merupakan busana dari penasar Tualen. Kesedehanaan tokoh Tualen memliki simbolik yang sangat dalam. Oleh karenanya dalam upacara ruwatan, pembuatan air suci (ngarga tirta) dalam pertunjukan wayang upacara, tokoh Tualen seorang abdi kebanyakan yang sesungguhnya memiliki sifat asali, bersama tokoh Siwa, Acintya dan Kayonan dijadikan ikon untuk proses dimaksud.

Pada masa pergolakan partai politik di tahun 1965an pertunjukan dramatari janger menjadi komuditas politik, corong partai ajang kom-panye dalam pengumpulan masa. Yel-yel penggugah semangat masa dengan pekikan propaganda fl atform partai, dikumandangkan oleh ko-rus kecak dan janger, sungguh menggugah, menjadikan kesenian pop-uler ini seakan identik dengan kesenian partai politik. Lirik-lirik lagu janger membangkitkan semangat partisipan partai dan pengikutnya un-tuk mempersatukan masanya. Dominasi warna tertentu, formasi huruf, dan pembentukan lambang partai dengan gerak maknawi, menjadi kon-fi gurasi menarik mengangkat ideologi partai lewat simnol-simbol.

Pada era pemerintahan Orde Baru, kesenian tradisional terutamanya yang memakai lakon dijadikan corong penerangan sosialisasi program pemerintah. Munculnya kesenian popular seperti Topeng Bondres men-dominasi perhelatan politik di samping berbagai jenis kesenian tradisi lainnya seperti topeng, arja, prembon dan termasuk wayang, dijadikan wahana ampuh menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Format yang sama masih terasa pada perhelatan pemilihan, anggota legislatif,

Page 124: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

114

pimpinan politis pemerintahan pada masa reformasi, yang membutuh-kan dukungan masa banyak. Dengan menyerap pesan yang ingin dis-ampaikan dari institusi, kelompok ataupun perorangan yang bertindak sebagai tuan rumah (host) dicerna dan diformat ke dalam bahasa pentas oleh seniman penyaji. Ini membuktikan betapa peran kesenian memi-liki arti strategis sebagai pencerdasan masyarakat akan kesadaran ber-politik, berbangsa dan bernegara.

Tari Topeng dan Teater Bali sebagai Media Pencerdasan Rakyat.Dalam format pertunjukan dramatari Bali konvensional tokoh ”pe-

nasar” yang merupakan tokoh sisipan namun menjadi esensial fi gur selalu hadir pada setiap pertunjukan termasuk dalam pertunjukan way-ang. Pertunjukan yang mengambil kisah dari dunia kedewataan, dunia mithos, epos, purana, kisah raja-raja pada jaman feodal, maupun kisah kerakyatan dari bentangan spektrum waktu tanpa batas, melalui peran penasar dapat diaktualisasikan menjadi kisah kekinian. Penasar yang berfungsi sebagai penerjemah bahasa tokoh utama yang kurang dipaha-mi oleh kebanyakan penonton, sangat ampuh sebagai wahana menga-komudir pesan-pesan kebijaksanaan sebagai pencerahan dan menjem-batani kisah dari dunia kedewataan, dunia dari alam gaib, yang seakan peristiwa tersebut berlangsung dewasa ini.

Menjadi seorang pregina/dalang dituntut memiliki multi talenta un-tuk bisa mentranformasi diri tiga kali lebih besar dari dirinya. Trans-formasi diri menjadi tokoh yang diperankan, kemudian secara pengua-saan isian drama menuntut kecerdasan dan berbekal dengan kedalaman sastra, ditambah lagi memiliki kekuatan karismatik penyatuan dengan kekuatan ekstasi magis sebagai tampilan yang memukau (mataksu). Transformasi tokoh dapat diwujudkan dengan estetika dan kaidah-kaid-ah gerak yang sesuai dengan karakterisasi. Agem, tandang, tangkis dan tangkep yang dibalut dengan olah wiraga, wirama, dan wirasa, menja-dikan unsur-unsur yang akan mematangkan profesinya.

Secara fi gura desain tubuh penari di arena pentas, membentuk de-sain-desain tubuh yang dinamis. Dengan posisi badan miring menjauh dari pusat grafi tasi dalam kemiringan kesamping, menjadi tuntutan wu-jud keindahan pakem tari. Ibarat bandul jarum metronum yang ayun-mengayun, samping-menyamping, terus menerus, menjadi tuntutan yang mesti di capai melalui pelatihan panjang. Posisi badan yang terbi-

Page 125: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

115

las dalam liukan postur tubuh, ditekuk pada bagian-bagian ruas angota badan, dengan tahanan berat badan pada tumpuan satu kaki secara ber-gantian, menentukan bobot keindahan bentuk. Estetika ini memberikan pandangan bahwa kemiripan pergolakan pencaharian keseimbangan dalam tari seperti mengingatkan kita pada kenyataan hidup yang saling tarik menarik dari dua kepentingan yang berlawanan. Menari dan juga hidup adalah upaya yang tak berkesudahan ”mencari keseimbangan di dalam ketidakseimbangan.”

Seorang penulis essay dramawan Barat Antonin Arturd yang hanya menyaksikan pertunjukan lawatan grup Bali di Paris tahun 1931 (1958: 61), memberikan pandangannya bahwa spektakuler dramatari Bali dibangun dari kompleksitas image murni panggung, menghadirkan se-cara komprehensif bahasa ungkap baru yang diciptakan para penari/pregina memanipulasi pemanfaatan busana menyusunnya menjadi hidup melalui berbagai perubahan bentuk, hieroglyphs yang bergerak. Hieroglyphs3 tiga dimensional tersebut berubah menjadi brokat dengan sejumlah gesture, simbol yang mistirius, yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui, menakjubkan, dan realitas tersembunyi yang menurutnya di dunia Barat hal seperti itu sepenuhnya ditindas.

Pregina/dalang dituntut memiliki referensi yang cukup untuk ditu-ang sebagai kandungan isian drama persembahannya. Alam semesta dan lingkungan hidup manusia sendiri sudah memberi materi isian drama yang tak pernah kering sebagai acuan pementasan. Terlebih lagi kedalaman sastra, baik satra tutur maupun sastra tulis kebijaksanaan, ajaran agama, disamping masalah pemerintahan, pendidikan dan sosial kemasyarakatan termasuk retorika politik merupakan teba luas dinami-ka perubahan dunia konfl ik kehidupan.

Seorang yogi, fi lsuf, seniman, memiliki kesamaan bahwa kerja kre-atif menjadikan jantung kerisauannya dalam mengungkap misteri jaga-draya ini. Para fi lsuf mengendapkan pikirannya lewat tulisan, para yogi mengembangkan sabda Tuhan dengan pencerahannya, sementara seni-man membangun dunia panggung dengan konfl ik permasalahannya se-bagai refl eksi gejolak konfl ik dunia itu sendiri, merupakan pergolakan literatur hidup dengan mengusung hyang tiga jnyana yakni sanghyang guru reka, sanghyang saraswati dan sanghyang kawiswara sebagai pu-3 Hieroglyphs Gambar atau simbul digunakan dalam tulis-menulis khususnya dalam sistem

penulisan dari jaman Mesir Kuno (Webster’s Contemporary American Dictionary: of English Language :335)

Page 126: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

116

saran kreatif. Sesungguhnya ceritera itu sendiri sudah memberikan gambaran pili-

han yang mesti untuk disikapi dalam memahami diri. Secara tematik pergolakan dulisme baik buruk menjadi tema sentral kemasan pertun-jukan dengan memberi peluang kepada penonton untuk memilih dan memilah yang mana baik dan yang mana buruk sebagai pedoman ber-fi kir, berucap dan bertindak menjalai swadarma. Kisah Ramayana yang menggambarkan perebutan kekuasaan dan keserakahan Raja Rahwana, memaksakan kehendak dengan menculik Dewi Sita untuk dijadikan istrinya, akhirnya mengorbankan seluruh kerajaannya yang amat terke-nal mewah, menjadi hancur mendapat gempurna dari Ramadewa yang hanya berwadwakan pasukan kera.

Epos Mahabharata memberikan gambaran penderitaan panjang Pan-dawa mesti dijalani untuk meperoleh kembali haknya yang dirampas secara kasar oleh saudara sepupunya sendiri yakni, Duryodana dengan satus Korawanya. Perang saudara tersebut mengorbankan seluruh kelu-arga Korawa, para Porohita kerajaan, Guru-rurunya, Raja-raja sahabat (prakanti); termasuk anak-anak kecil yang tidak berdosa ikut meneri-ma akibat dari peperangan tersebut. Pada akhir perjalanan kisahnya di Sorgaloka pun, para Korawa tetap mengejek penderitaan para Pandawa yang terjerumus ke dalam kawah neraka sebagai pahala dari perbuatan-nya ketika masih hidup.

Keadaan baru menjadi terbalik, ketika Yudistira menceburkan diri menemani saudara-saudaranya di dalam penderitaan luapan panas la-har neraka, yang berubah menjadi sorga, sementara para Korawa terje-rumus ke dalam luapan panas kawah neraka. Secara keseluruhan alur ceritera mendidik kita bahwa kemenangan akhir dari perjalanan panjang mesti tetap diupayakan, dengan mengedepankan ajaran dharma. Secara episodik penggalan ceritera yang dijadikan lakon (bantang satwa) pada suatu pementasan juga mengakomudir pergolakan rua-bineda tersebut. Demikian juga halnya dengan ceritera-ceritera lainnya seperti Purana, ceritera Panji, ceritera Rakyat, Legenda, ceritera Binatang, pendikan moral menjadikan pilihan pencerahan akal budi sebagai cermin dalam menyikapi hidup ini yang penuh dengan persoalan.

Pemenuhan tuntutan jasmani dan rohani manusia sebagai mahluk individu, muasal internal konfl ik yang mesti diselaraskan. Terlebih lagi ketika manusia berkumpul sebagai komunitas kelompok sosial yang

Page 127: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

117

sering juga memiliki kepentingan berbeda dengan kelompok sosial lainnya, menjadikan hidup ini penuh dengan ketegangan. Pada kenyata-annya, sampai dewasa ini konfl ik antar bangsa yang dicarikan solusi pemecahannya tidak jarang harus berhadapan dengan pernyataan per-ang yang tidak sedikit menelan korban jiwa. Mereka sesungguhnya sa-dar bahwa hidup rukun berdampingan dengan sesama menjadi idaman menjalani kehidupan ini. Namun atas nama martabat, kekuasaan, harta/materialistis, cinta, dan tuntutan lainnya tidak bisa cair dari kebekuan sikap kukuhnya, sehingga konfl ik seperti itu selalu ada.

Gejala alampun dapat memporak porandakan kehidupan manusia akibat dari ekploitasi alam secra berlebihan sehingga ekosistem tidak seimbang. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah seperti inilah yang menjadikan isian drama (dramatic content) pencerahan masyarakat pe-nontonnya. Kritik tajam tentang sosial kemasyarakatan, tutur kebijak-sanaan, yang dibalut dengan humoris dapat mengingatkan masyarakat-nya sebagai pendidikan moral dan budi pekerti.

Format seni pertunjukan konvensional Bali sangat fl eksibel untuk dimodifi kasi sesuai dengan kebutuhan lakon, casting penari, tujuan pe-runtukan pergelarannya, durasi waktu, tempat pementasan dan keadaan yang mesti diatasi. Dalam hal ini peran seniman yang dijuluki sebagai seorang ”guru loka” dengan mengusung sanghyang tiga jnyana sebagai kebebasan kreativitas, merupakan kelenturan sifat dan penampilannya dalam membentuk drama. Cara ungkapnya yang spontan terkadang menjadi liar setelah menerima respond dari penonton. Yoga sebagai seorang pregina terletak pada kecerdasannya mengimbangi pasangan mainnya dalam pergulatan dialog. Oleh karenanya, bila ada pesanan sisipan yang mesti diakomudasi dalam pementasannya, bisa terealisasi dengan baik dengan tetap mempertimbangkan alur dramatiknya.

Pesan-pesan sisipan seperti itu pada umumnya diolah dengan ba-hasa simbol yang memiliki image ganda dan dapat dimengerti oleh pe-nontonnya. Ungkapan yang bersifat fulgar sebisanya dihindari, karena sering melenceng dengan babon ceritera, yang kiranya tidak cocok dengan plot lakon. Tidak demikian halnya dengan jenis pertunjukan bondres yang memang memiliki keterbukaan untuk dikisahkan secara kontemporer.

Sajian solo seperti topeng pajegan, dalang wayang kulit, lebih me-milih pada media topeng/wayang sebagai media ungkapnya untuk di-

Page 128: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

118

sisipi pesan-pesan pencerdasan masyarakatnya. Pengujian di atas pen-tas untuk dialog antar tokoh oleh sejumlah pemain dalam membangun struktur drama menuntut kepekaan dan refl ek yang spontan dibingkai oleh estetika dan pakem-pakem yang tidak boleh dilanggar.

PenutupPemahaman konsepsi simbol tampakdara (+) yang terbangun dari

persilangan garis sederhana namun memiliki kedalaman makna sebagai fi lsafat kehidupan setiap individu dan kelompok masyarakat, menjadi landasan dasar kehidupan dalam mencapai keseimbangan. Swastika simbol agama Hindu berdasar kepada tampakdara yang pada imple-mentasinya membentang pada bhuwana sarira, bhuwana alit dan bhu-wana agung. Keseimbangan secara horizontal, membangun kedamaian hidup berdampingan dengan sesama, saling menghormati. Secara vertikal membangun kesadaran hubungan manusia dengan berbagai manifestasi Tuhan dan keEsaanNya, serta menjaga keharmonisan alam semesta sebagai ekosistem pemberi kehidupan dalam arti luas. Dalam memahami guliran perjalanan hidup, manusia membutuhkan pengua-saan dan pemahaman intelektual, disamping bercermin pada tuntunan kehidupan yang digambarkan melalui kisah-kisah kehidupan dikemas dalam dunia estetik dalam berbagai bentuk dan tatacara sajiannya.

Sarana upakara merupakan media mendekatkan diri dan menyatakan terima kasih akan kelimpahan karunia Tuhan, dibarengi dengan pema-haman secara fi losofi s dengan kedalaman jnyana, sehingga unsur seka-la dan niskala tersebut menyatu dalam kerja karma. Seni pertunjukan memiliki akses luas pada penjabaran semua itu untuk lebih mudah di-fahami melalui menyimak gambaran kompleksitas dinamika kehidupan lewat kemasan seni pertunjukan seperti: tari, topeng, wayang dan teater lainnya. Pergolakan baik buruk perseteruan yang tak berkesudahan dari daya tarik menarik kepentingan sifat yang bertentangan, rua-bineda, perlu diseimbangkan sebagai sifat alami yang sulit ditampik oleh setiap orang.

Secara tematik dunia seni pertunjukan selalu mengajarkan pergo-lakan dharma versus adharma yang pada kesimpulannya dimenangkan oleh dharma. Tiga kerangka yang mengkemas ajaran agama dengan berelemenkan kandungan fi lsafat (tatwa), etika dan tata cara (susila), dan sarana dan prasarana laku estetika (upakara/upacara) terbangun

Page 129: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

119

pada mantra, tantra dan yantra tak terpisahkan dari konsepsi idep, sabda dan bayu, keseimbangan ide/gagasan, wujud/bentuk sajian, dan greget penampilan yang memukau mataksu merupakan kekuatan yang dicari oleh para penyaji dan masyarakat pengapresiasi.

Pencerdasan masyarakat penikmat lebih ditekankan pada peningka-tan olah rasa dalam memaknai kehidupan ini. Nilai-nilai ajaran kebijak-sanaan lebih menjadi kandungan dramatik dari sebuah pementasan. Ke-wajiban seorang pragina, dalang, yang memangku tugas sebagai guru loka, lebih menuntun masyarakat pemirsanya dengan ajaran-ajaran pemahaman diri berkaitan dengan rasa syujud dengan Tuhan, pendidi-kan moral, kepemimpinan, termasuk gejolak sosial sebagai bagian tak terpisahkan dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini.

Percepatan pergerakan dan konsumerisme masyarakat moderen sep-erti dewasa ini membuat setiap orang sibuk untuk mengejar material-istik pemenuhan kebutuhan hidupnya. Beberapa dekade belakangan ini ada kecendrungan pergeseran kecintaan masyarakat penonton pada je-nis-jenis pertunjukan konvesnsional seperti arja, wayang, drama gong yang gelombang kehidupannya mengalami masa surut, dibanding pada era sebelumnya.

Terobosan kreatif bagi seniman penyaji dituntut untuk merevitalisa-si jenis kesenian seperti itu agar tetap eksis dengan nafas dan kemasan yang lebih segar. Kemajuan teknologi informasi seperti televisi, video, internet, belum banyak digarap sebagai media penyampaian pesan-pesan kebijaksanaan yang dapat diakses ke rumah-rumah dengan jang-kauan pemirsa yan sangat luas. Sebuah tantangan bagi seniman untuk menjawab masa depan tugas dan fungsi seni sebagai pencerdasan ma-syarakatnya.

Daft ar Pustaka Artaud, Antonin. 1958. The Theater and Its Double (translated from French by

Mary Caroline Richards). New York: Grove Weidenfeld.Bandem, I Made dan Fredrick Eugene deBoer. 1995 [1981]. Balinese Dance in

Trasition: Kaja and Kelod. Kualalumpur: Oxford University Press.Brandon, James R. 1974 [1967]. Theatre in Southeast Asia. Cambridge Massa-

chusetts. Harvard University Press.Brett Hough. 1999. “Education for the Performing Arts: Contesting and Mediat-

ing Identity in Contemporary Bali” in Staying Local in the Global Village: Bali

Page 130: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

120

in the Twentieth Century. (ed. by Raechelle Rubinstein & Linda H. Connor). Honolulu: University of Hawai’i Press.

Catra, Nyoman. 2005. “Penasar: A Central Mediator in Balinese Dance Drama” (unpublished dissertation). Middletown CT: Wesleyan University.

Dibia, I Wayan. 2004. Pragina: Penari, Aktor dan Pelaku Seni Pertunjukan. Ma-lang: Sava Media.

Hooykass. C. 1973. Kama and Kala: Materials for Study Shadow Theater in Bali. Amsterdam, London: North Holland Publishing Company.

Jenkins, Ron. 1994. Subversive Laughter: The Liberating Power of Comedy. New York: Free Press.

Jenkins, Ron & I Nyoman Catra. 2008. The Invisible Mirror - Siwalatrikalpa: Ba-linese Literature in Performance – Sastra Bali dalam Seni Pertunjukan. Den-pasar: International Translation Center ISI Denpasar.

Pendit, Nyoman S. 2009. Mahabharata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.Spies, Walter and Beryl deZoete 2002 [1938]. Dance and Drama in Bali. Hong-

kong – Singapore: Periplus Editions.Subramania, Kamala.2004. Ramayana. Surabaya: Paramita. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa - Departe-

men Pendidikan dan Kebudayaan. 1990 [1988]. Kamus Besar Bahasa Indo-nesia. Jakarta: Balai Pustaka.

The American Heritage Dictionary (William Moris editor). Webster’s Contempo-rary American Dictionary: of the English Language. Woodbury, New York: Bobley Publishing Corp.

Zurbuchen, Mary Sabina. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

Page 131: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

121

Page 132: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

122

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. aktif mentransliterasi lontar dari aksara Bali ke da-lam tulisan latin Bahasa Kawi dan menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Laki-laki kelahiran Cekik-Berembeng, 12 Pebruari 1961ini mengasuh berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan Sastra, Kesusastraan Hindu, Estetika, Stilistika, dan Sosiologi Sastra, pada Program Magister (S2) dan Program Doktor (S3) Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Univer-sitas Hindu Indonesia.

Doktor lulusan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ( 2 0 0 7 ) bidang Ilmu Sastra dan Filologi juga menjadi pengajar di Fakulas Sastra Universitas Udayana, Jurusan PGSD Universitas Terbuka,Fakultas Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali dan STIKES “WIRA MEDIKA PPNI BALI”.

Banyak karya ilmiah Ketua Tim Penyusunan Tema Pesta Kesenian Bali yang dipub-likasikan, terutama yang berkaitan dengan sastra bali. Lulusan Program Pascasarjana UGM Yogyakarta (1997) ini juga aktig sebagai penatar bagi generasi muda Hindi dan calon Pinandita/Pemangku di Bali.

PNS yang juga sering menjadi juri berbagai lomba ini saat ini menjabat Ketua Pusat Pengkajian dan Pelayanan Lontar, Fakultas Sastra Unud dan Sekretaris I Yayasan Sabha Budaya Hindu Bali, serta Sekretaris Umum Widyasabha Dharmagita Provinsi Bali Alamat kantor: Jl. Nias 13 Denpasar, Telp. 224121Alamat rumah: Jl. Gunung. Lumut V/2A Denpasar Barat 80117 Telp. (0361) 734363 HP. 08123770885 e-mail: [email protected]

Page 133: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

123

Pengantar

Pangdening kali mūrkaning jana wimoha matukar-arěbut kawiryawān,Tan wring rātnya makol lawan bhratara wandhawa ripu kinayuh pakāśrayan,Dewādrěwya wināśa dharma rinurah kabuyutan-inilan padhāsěpi,Wyarthang śāpatha supraśāsti liněbur těkaping-adhama mūrka ring jagat.

Wwang mahyun ri kawehaning dana darīdra krěpana dumadak dhaneśwara,Wwang dūrātmaka dīrghajīwita sirang sujana dumadak-alpakāmrěta,Wwang duśśila suśila durnaya wiweka kujana sujanāwibhāgana,Sang rājā siwiteng sushena ta ya sang madum-amilih-ulah wiparya. (Kakawin Nitisastra, IV, 10—11)

Terjemahannya:Dampak masa krisis telah menyebabkan manusia kebingungan, berkelahi, berebut kekuasaan.Manusia tidak lagi mengenal dunianya, bergulat sesama sanak saudara, dan lawan dijadikan kawan.Benda-benda suci dihancurkan, tempat ibadah leluhur dirusak, orang-orang dilarang ke tempat ibadah hingga sepi.Sumpah tak berguna, piagam perjanjian dilanggar oleh para penjahat di du-

I Nyoman SuarkaPakar Sastra, Dosen Sastra Universitas Udayana

Akti vitas Pasanti an dan Sastra Bali Sebagai Media Pencerdasan Rakyat

Page 134: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

124

nia.Orang-orang hanya ingin diberi uang, orang miskin mendadak menjadi orang kaya,Penjahat menjadi panjang umur, sedangkan orang saleh menjadi pendek usia,Orang jahat berlagak arif, orang bodoh berlagak pintar, bajingan berlagak saleh, mereka sulit dibedakan,Raja tunduk kepada panglima, pemegang keadilan cenderung berlaku tidak adil.

Bilamana kita mencermati tanda-tanda zaman krisis yang dilukis-kan seorang pujangga tak dikenal pada enam abad yang lampau, seperti tersebut di atas, dengan tanda-tanda zaman yang diala-

mi masyarakat Indonesia saat ini, barangkali tidak jauh berbeda. Dulu bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang beradab, ramah, sopan, berbudi pekerti luhur. Namun kini, masyarakat kita sekan-akan telah kehilangan kendali dan cenderung bertindak biadab, kasar, sewenang-wenang, destruktif, anarkis.

Berbagai kasus ketidakadilan dan kasus suap yang dilakukan para markus di kalangan penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan kini mencuat ke permukaan. Para elite politik lebih ban-yak bertengkar bahkan saling adu jotos, lebih suka memamerkan diri daripada memikirkan nasib rakyat yang semakin melarat. Kerapkali sekelompok masyarakat cenderung bertindak arogan atas nama agama. Bencana alam pun datang silih berganti, mulai dari gempa bumi, tsu-nami, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, dan sebagainya. Ber-bagai krisis politik, hukum, sosial, ekonomi, moral telah memberikan dampak negatif kepada perilaku masyarakat kita. Era krisis atau zaman Kali yang konon dipenuhi oleh Bhutakala membuat masyarakat kita mengalami kebutaan, bukan hanya buta aksara tetapi juga buta hati, membuat pikiran dan hati gelap (awidya).

Guna mengantisipasi berbagai fenomena tersebut di atas, ada bai-knya pada kesempatan ini kita mencoba memberdayakan potensi buda-ya, yakni pasantian dan sastra Bali sebagai sumber pembangkitan budi, pencerdasan pikiran, dan pencerahan nurani.

Page 135: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

125

Hakikat Pasanti anSecara etimologis, kata pasantian berasal dari kata dasar ”śānti”

yang berarti ’ketenangan, ketentraman, kedamaian pikiran’ (Zoetmul-der, 1995:1017), dan mendapat konfi ks ka-an menjadi pasantian, yang berarti ’tempat atau wadah untuk mendapatkan ketenangan, ketentra-man, kedamaian pikiran’. Karena itu, aktivitas pasantian dilakukan dan diarahkan dengan tujuan mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kedamaian bagi para pelakunya.

Ada lima peran dalam aktivitas pasantian, yang sering disebut panca siksaning angaji, yaitu pendengar (pamiarsa), pembaca (pangwacen), penerjemah (paneges), penanya (pamitaken), dan nara sumber (nara-wakya). Masing-masing peran tersebut dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup sesuai bidang masing-masing, dan semua peran menunjukkan adanya sikap bhakti.

Pendengar (pamiarsa) yang dimaksud adalah pendengar yang baik, yang mendengarkan dengan setia setiap teks yang dilagukan, diter-jemahkan, dan diulas oleh peran-peran yang lain. Pembaca yang baik adalah pembaca (pangwacen), yang dituntut memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup dalam penguasaan pasang aksara Bali (tata tulisan Bali), bahasa teks (bahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa Tengahan, bahasa Bali dalam berbagai tingkatan), dan kaidah metrum yang digu-nakan (sekar macapat, sekar madya, dan sekar ageng), serta kualitas suara yang memadai.

Tanpa kemampuan dan pengetahuan yang cukup, seorang pembaca (pangwacen) akan merasa kesulitan membaca dan menembangkan teks yang dihadapi. Kesulitan pembaca bukan hanya berpengaruh kepada pembaca sendiri tetapi juga berpengaruh terhadap penerjemah (pan-eges) yang juga akan merasa kesulitan dalam menerjemah-kan teks. Jika pembaca (pangwacen) salah membaca, maka ada kemungkinan besar pula penerjemah mengalami kesalahan dalam menerjemahkan. Dengan demikian, peserta mabebasan secara keseluruhan pun pada akhirnya mengalami kesalahan dalam penafsiran teks.

Sementara itu, penerjemah (paneges) juga dituntut kemampuan dan pengetahuan-nya seluas mungkin dalam penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran. Di samping memahami kode sastra, penerjemah wa-jib memahami kode bahasa dan kode budaya teks yang sedang dibaca. Tanpa kemampuan dan pengetahuan yang cukup bagi penerjemah, ten-

Page 136: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

126

tu akan merasa kesulitan dalam menerjemahkan dan menafsirkan teks sumber ke dalam bahasa sasaran. Sebagaimana diketahui bahwa setiap bahasa memiliki kaidah bahasa, kosa kata, dan kode budaya sendiri. Tidak setiap kata dalam bahasa sumber dapat dicarikan padanannya se-cara tepat dalam bahasa sasaran. Di sinilah dituntut kepekaan seni, ke-mampuan yang memadai, dan pengetahuan yang luas bagi penerjemah. Dengan demikian, maka semakin banyak penerjemah memiliki bekal pengalaman baca, maka ia akan semakin mudah melaksanakan tugas-nya dan tentu pula akan membuahkan hasil yang semakin memuaskan.

Penanya (pamitaken) juga dituntut memiliki kemampuan dan pen-getahuan serta kepekaan sastra yang cukup. Apabila penanya (pami-taken) tidak memiliki kepekaan sastra, maka dapat dipastikan bahwa apa yang dibaca atau dilagukan oleh pembaca (pangwacen) dan apa yang diterjemahkan oleh penerjemah (paneges) akan menjadi sebuah dagelan, banyolan atau senda gurau belaka.

Pasantian pun akan menjadi pasif, tidak ada dialog yang berarti. Teks yang dengan susah payah dibaca atau dilagukan oleh pembaca dan diterjemahkan oleh penerjemah akan hilang begitu saja tanpa me-ninggalkan bekas di dalam pikiran peserta pasantian. Oleh karena itu, seorang peserta atau pendengar dalam pasantian setidaknya dituntut memiliki horison harapan.

Dengan berbagai horison harapan, pendengar akan dapat berperan aktif, menjadi dinamisator dalam aktivitas pasantian. Semakin kaya pendengar dengan horison harapan, maka semakin banyak hasil in-terpretasi yang muncul. Tercapai atau tidaknya horison harapan para peserta atau pendengar itu akan sangat mempengaruhi keberlangsungan aktivitas pasantian tersebut.

Peran nara sumber (narawakya) sangat memegang peranan penting, terutama dalam menuntun peserta mabebasan untuk membaca, men-erjemahkan, dan mengulas makna teks yang sedang diapresiasi. Nara sumber yang baik tentu dapat memberikan penjelasan-penjelasan yang memuaskan kepada setiap peran dalam aktivitas mabebasan. Oleh kare-na itu, nara sumber harus mempunyai kepekaan sastra yang cukup, me-miliki penguasaan bahasa, dan keterampilan mengulas serta menguasai dengan baik materi yang sedang diapresiasi.

Aktivitas pasantian meliputi tiga bidang, yaitu wirama, wiraga, dan wirasa. Wirama adalah kegiatan membaca teks sambil melagukannya

Page 137: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

127

menurut kaidah metrum yang digunakan dalam teks, misalnya sekar alit, sekar madya, sekar agung, palawakya, dan sloka. Wiraga adalah aktivitas menerjemahkan teks dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, yakni dari bahasa Kawi, bahasa Tengahan ke dalam bahasa Bali ataupun membuat parafrase jika teks sumber menggunakan bahasa Bali. Wirasa adalah aktivitas penghayatan dan apresiasi secara men-dalam untuk mendapatkan makna teks yang dibaca melalui diskusi an-tar peserta.

Lebih jauh dapat dipahami bahwa ketiga aktivitas pasantian itu pada hakikatnya tindakan belajar sambil bernyanyi atau bernyanyi sambil belajar (malajah sambilang magending, magending sambilang mala-jah). Dalam kegiatan pasantian, para peserta akan belajar mengenai bahasa, aksara, aturan metrum dan pupuh, konsep-konsep budaya dan yang terpenting adalah belajar menghayati nilai-nilai yang dikandung dalam naskah lontar. Pembaca (pangwacen) belajar aksara Bali (je-nis dan pasang aksara Bali) karena teks ditulis dengan menggunakan aksara Bali. Di samping itu, pembaca (pangwacen) juga mempelajari bahasa (bahasa Kawi, Jawa Tengahan, bahasa Bali) serta mempelajari kaidah metrum (uger-uger guru laghu, pada lingsa, laras) dan memaha-mi konsep-konsep yang terkandung dalam teks sambil bernyanyi atau melagukan teks. Demikian pula penerjemah (paneges) akan mempela-jari bahasa teks dan kaidah bahasa sasaran (sor singgih basa, lelengutan basa) serta nilai-nilai yang tersurat dan tersirat di dalam teks.

Dalam pasantian, di samping membaca (menembangkan, bernyanyi) dan menerjemahkan teks, para anggota pasantian mendiskusikan teks yang dibaca. Dalam diskusi itu dapat diciptakan kondisi yang memung-kinkan berkembangnya penalaran dan logika interpretasi setiap peserta. Cerita yang dibaca bukan hanya dipahami sebagai sebuah cerita (satua), tetapi lebih sebagai sebuah metode penyampaian gagasan moral, ide-ide, norma-norma, nilai-nilai lewat karya sastra yang tokoh dan lakuan-nya dimaksudkan sebagai pelambang peri kehidupan yang sebenarnya (tattwa). Karena itu, penafsiran selalu dimungkinkan dengan hasil yang beraneka ragam sesuai dengan bekal pengalaman dan horison harapan peserta. Dengan demikian, maka akan terjadi keharmonisan antara kecerdasan pikiran (hasil belajar), kecerdasan emosional (hasil ber-nyanyi), dan kecerdasan sosial (hasil diskusi).

Page 138: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

128

Hakikat Sastra BaliTradisi Bali memiliki keunikan dalam peristilahan sastra. Umumnya,

penamaan sastra didasarkan pada bahasa yang digunakan dalam karya sastra, misalnya sastra Jawa adalah sastra yang menggunakan bahasa Jawa; sastra Sasak menggunakan bahasa Sasak; sastra Sunda meng-gunakan bahasa Sunda; sastra Melayu menggunakan bahasa Melayu; sastra Indonesia menggunakan bahasa Indonesia; sastra Inggris meng-gunakan bahasa Inggris; sastra Jepang menggunakan bahasa Jepang, dan lain-lain. Berbeda halnya dalam tradisi Bali, kita tidak bisa dengan mudah menyebutkan bahwa sastra Bali adalah sastra yang menggunak-an medium bahasa Bali, seperti penamaan sastra di atas.

Dalam tradisi Bali, istilah sastra tumpang tindih dengan aksara. Kata sastra dapat berarti sastra dan aksara atau huruf (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali, 1990: 615). Hal itu dapat dibuktikan dengan munculnya istilah nyastra yang mempunyai arti segala aktivitas ma-nusia Bali yang berhubungan dengan bahasa, sastra, dan aksara Bali. Lagipula, istilah nyastra melingkupi tradisi lisan dan tradisi tulisan se-cara sekaligus. Dalam tradisi nyastra, seolah-olah tidak ada perbedaan antara tradisi lisan dengan tradisi tulisan. Teks lisan ditulis ke dalam naskah, seperti terlihat pada naskah-naskah satua, dan sebaliknya teks tulisan dibacakan atau dipertunjukkan, seperti parwa, kakawin, kidung, gěguritan, babad sebagai teks tulisan dibacakan atau dipertunjukkan dalam kegiatan maběbasan.

Demikian pula, istilah aksara atau huruf dalam tradisi Bali bukan sekadar sebagai lambang bunyi tetapi merupakan simbol budaya. Ak-sara memiliki fungsi sebagai bagian integral dalam tindakan magis dan keagamaan masyarakat Bali. Karena itu, istilah kesusastraan Bali mem-punyai ruang lingkup sangat luas, baik dilihat dari segi bahasa yang digunakan, jenis sastra, maupun aksara yang digunakan dalam menulis-kan karya sastra. Dari segi bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastra, kesusastraan Bali menggunakan bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, bahasa Tengahan, bahasa Melayu, bahasa Sasak, dan bahasa Bali. Ditinjau dari aksara yang digunakan, kesusastraan Bali ditulis dalam aksara Bali dan aksara Latin.

Akti vitas Pasanti an dan Sastra Bali sebagai Media PencerdasanAktivitas pasantian berfungsi membentuk dan menumbuhkan budi

Page 139: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

129

pekerti luhur (budi kaparamartan). Dalam Geguritan Purwasanghara dijelaskan bahwa untuk dapat mengarungi samudra zaman Kali (era keributan) yang penuh badai itu dapat ditempuh melalui kesusilaan budi, yakni keseimbangan antara akal budi dan kepekaan hati nurani. Dalam menyikapi berbagai situasi dan problema kehidupan, baik seb-agai individu maupun masyarakat sosial, penggunaan akal budi harus diimbangi dengan kepekaan hati nurani. Salah satu cara untuk men-gasah kepekaan rasa dan hati nurani adalah dengan membaca, meng-hayati, dan kemudian mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra karena karya sastra diciptakan berdasarkan rasa. Di dalam rasa terjadi sublimasi emosi dari tataran psikologis ke tataran estetik. Dalam proses sublimasi emosi itu, emosi individual ditransformasikan menjadi rasa, yakni pengalaman estetik non-individual, universal, men-gatasi ruang dan waktu. Di situ, pengalaman estetik menjadi identik dengan pengalaman religius.

Dengan demikian, karya sastra yang dibaca dalam aktivitas pasan-tian merupakan perpaduan antara nilai seni (estetik) dan nilai moral. Aspek estetis akan menyantuh budi. Karena itu, apabila pembacaan karya sastra melalui pasantian dilakukan dengan baik dan benar, maka akan dapat menggetarkan hati nurani yang paling suci (budi). Budi nurani suci akan dapat menguasai pikiran atau manah. Pikiran (manah) yang kuat akan mengendalikan nafsu keinginan (indria). Nafsu keingi-nan (indria) yang terkendali dengan baik akan dapat mengarahkan per-buatan kita untuk berpegang pada kebenaran (dharma). Perbuatan yang berpegang pada kebenaran (dharma) akan menghasilkan pahala mulia berupa kehidupan bahagia lahir dan batin (anandam).

Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas pas-antian dan sastra Bali dapat dijadikan salah satu media pencerdasan dan sekaligus sarana untuk mencapai ketenangan, ketentraman, dan ke-damaian dalam mengarungi masa krisis sebagaimana dijelaskan dalam kutipan Kakawin Ramayana berikut.

Guhā pětěng tang mada moha kasmala,Malādi yolanya magöng mahāwisa,Wiśāta sang wruh rikanang jurang kali,Kalinghaning śāstra suluh nikāprabha.

Page 140: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

130

Artinya:Mabuk, bingung, dan segala jenis najis bagaikan goa gelap gulita,noda dan dosa ibarat ularnya yang besar dan berbisa,orang cerdas akan dapat melewati jurang dan kali dengan tenang,dan sastra adalah lampu penerangnya yang terang benderang.

Pada kutipan di atas tampak jelas disebutkan bahwa fungsi sas-tra (kalinghaning śāstra) adalah sebagai lampu penerang yang terang benderang (suluh nikāprabha) dalam meraih perkembangan akal budi yang sempurna atau menjadi manusia cerdas yang dapat berpikir dan mengerti (sang wruh) arti hidup dan kehidupan, sehingga kita dapat melewati berbagai terpaan dan pahit getir kehidupan ini (jurang kali) dengan tenang (wiśāta).

Di samping sebagai media pencerdasan, aktivitas pasantian juga dapat berfungsi atau berperan memberi vibrasi kesucian pada lingkun-gan. Zoetmulder (1985) menjelaskan bahwa kakawin diciptakan oleh penyair melalui beberapa tahapan.

Sang kawi memulai karyanya dengan menyembah dewa pilihannya sebagai dewa keindahan, sebagai asal dan tujuan. Dewa itu dipandang menjelma dalam segala keindahan, baik di alam sakala, sakala-niskala, maupun alam niskala. Guna menemukan dewa keindahan yang menjel-ma di alam sakala, sang kawi mengembara, mengamati pertempuran, kecantikan wanita, menyusuri pantai, menjelajah gunung, hutan, sun-gai, dan lain-lain sambil berlaku tapa.

Dewa keindahan yang berada di alam niskala, berhasil ditemukan berkat laku tapa atau samadi sang kawi. Dewa keindahan berkenan tu-run dan bersemayam di alam sakala-niskala, yakni di atas padma hati atau jiwa sang kawi. Sang kawi berupaya mempersatukan diri dengan dewa tersebut. Persatuan itu merupakan sarana, yakni dengan persatuan itu sang kawi “bertunas keindahan” sehingga ia mampu menciptakan kakawin, dan sekaligus tujuan, dengan menciptakan kakawin sang kawi berharap dapat mencapai kelepasan.

Sejalan dengan itu, maka kakawin merupakan yoga sastra dan yoga keindahan. Dalam rangka yoga itu, kakawin merupakan yantra, sebagai candi tempat semayam dewa keindahan dan objek samadi bagi para pemuja dewa keindahan serta sebagai silunglung, bekal kematian sang kawi.

Page 141: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

131

Sebagaimana telah disebutkan di atas, karya sastra Bali tradisional diciptakan melalui proses perpaduan antara estetika dan religiusitas. Sementara itu, aktivitas pasantian bergulat dengan upaya apresiasi se-mendalam mungkin terhadap karya sastra Bali trandisional tersebut. Tu-juannya adalah untuk mendapatkan ketenangan pikiran, ketentraman, dan kedamaian. Oleh karena itu, pasantian sebagai wujud tradisi lisan atau pelisanan teks-teks suci apabila dilakukan secara meluas dan ber-kesinambungan akan dapat menimbulkan vibrasi kesucian pada ling-kungan. Lingkungan yang tervibrasi oleh kesucian akan dapat mem-bawa masyarakat pada kehidupan yang harmonis dan dinamis dalam mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya.

Kecuali itu, aktivitas pasantian merupakan tempat menumbuhkan kepribadian dan jatidiri. Perlu dikemukakan bahwa masa sekarang sesungguhnya merupakan kelanjutan atau perpanjangan masa lampau. Apabila demikian halnya, maka berbagai persoalan pada masa kini akan sulit dimengerti atau dipahami jika tidak diketahui latar belakang sejarahnya. Sementara itu, dalam aktivitas pasantian teks-teks yang di-baca adalah teks-teks sastra lama yang terekam dalam naskah.

Teks-teks itu merupakan perbendaharaan yang memuat berbagai persoalan, nilai-nilai luhur, buah pikiran, ide, gagasan, renungan, dan hal-hal mulia lainnya yang pernah dialami dan dilakukan serta dija-dikan pedoman dalam kehidupan masyarakat pada masa lampau, baik secara nyata maupun hanya dalam imajinasi. Oleh karena itu, dalam ak-tivitas pasantian, berlangsung pembacaan teks lama oleh pembaca masa kini. Di sinilah pasantian berperanan memediasi masa lampau dengan masa kini. Masa kini diberi tempat justru dalam hubungannya dengan masa lampau dan masa lampau dihargai dalam konteks kekiniannya.

Dalam aktivitas pasantian pada prinsipnya dilakukan beberapa ke-giatan, di samping kegiatan pembacaan, penerjemahan, dan pendis-kusian. Dalam kegiatan pasantian dilakukan upaya pengenalan, peng-galian, pemahaman, dan penghayatan nilai-nilai luhur yang tersurat dan tersirat di dalam teks yang dibaca. Pengenalan dan pemahaman nilai-nilai luhur itu akan dapat meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian, mempertebal rasa harga diri, dan kebanggaan masyarakat.

Kualitas hidup, kepribadian, rasa harga diri dan kebanggaan ma-syarakat, yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kualitas hidup bang-sa, memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan

Page 142: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

132

kebanggaan nasional. Dalam konteks ini, pasantian merupakan usaha terus-menerus yang dilakukan untuk mengapresiasi dan menawarkan berbagai penafsiran baru dengan tanpa meninggalkan akarnya, yang mampu memperkaya jiwa dan semangat baru dalam menjawab tantan-gan zaman globalisasi.

Lebih jauh, aktivitas pasantian merupakan wahana persatuan dan ke-satuan. Secara sosiologis, peran-peran dalam pasantian itu dapat diper-ankan oleh sekelompok orang yang berasal dari berbagai stratifi kasi sosial maupun kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ke-wangsa-an maupun ke-warna-an peserta dalam pasantian. Anggota kelompok pasantian itu bisa saja berasal dari kalangan Brahmana, Ksatria, Wesia maupun Jaba atau juga berasal dari pedagang, petani, buruh, pejabat, ABRI, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, seniman, guru, karyawan, dan lain-lain. Dalam tata-ran inilah terlihat kenyataan bahwa pasantian merupakan wahana untuk menggalang persatuan dan kesatuan masyarakat.

Pasantian sebagai wujud tradisi lisan di Bali menunjukkan ciri kelisanannya yaitu pentingnya kebersamaan, menekankan aspek pen-dengaran yang mempersatukan, yang mengakrabkan sidang pendengar. Dalam tradisi lisan, sastra dianggap sebagai milik bersama sehingga ha-rus dibacakan, dipertunjukkan di hadapan sejumlah orang untuk dapat dinikmati bersama.

Kebersamaan sangat penting artinya dalam menumbuhkan sikap ke-mitraan. Kemitraan akan dapat diwujudkan bila ada rasa toleransi, sal-ing menghormati, dan gotong royong. Setiap anggota pasantian secara demokratis menunjukkan rasa toleransi dan sikap saling menghormati kepada sesama anggota. Hal ini terlihat pada proses berlangsungnya pasantian itu. Pembaca (pangwacen) akan menjalankan tugas dan per-an semaksimal mungkin. Ketika pembaca masih aktif membaca atau melagukan teks, penerjemah tidak akan menyela atau memotongnya begitu saja, tetapi penerjemah mempersilakan pembaca sampai selesai membaca teks. Setelah pembaca selesai membaca, barulah penerjemah melaksanakan tugasnya. Demikian pula, peserta pasantian lainnya, akan senantiasa memberikan kesempatan kepada peserta lain, termasuk kepada pembaca dan penerjemah, untuk melaksanakan tugas masing-masing.

Jalinan kemitraan dibina sedemikian rupa untuk menciptakan ke-

Page 143: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

133

bersamaan dan keharmonisan. Kemitraan dan keharmonisan itu, pada akhirnya akan melahirkan persatuan dan kesatuan. Di sinilah pasantian menunjukkan cirinya sebagai wahana kemitraan, keharmonisan, men-jalin persatuan dan kesatuan para anggotanya dengan penuh dinamika melalui lantunan irama dan keluwesan bahasa. Dengan kata lain, lewat pasantian sebagai wujud tradisi lisan dapat dibina atau dipertahankan solidaritas dan kebersamaan guna menumbuhkan semangat nasional.

PenutupAktivitas pasantian merupakan kegiatan bersastra yang pada prin-

sipnya merupakan kegiatan olah rasa dan sekaligus olah pikiran. Karya sastra diciptakan melalui akal budi pengarang yang dijiwai perasaan yang halus dan indah. Karya sastra itu dibaca, dilagukan, dihayati, dan diapresiasi secara mendalam dalam aktivitas pasantian. Karena itu, aktivitas pasantian dapat menyempurnakan perkembangan akal budi masyarakat sehingga masyarakat mampu berpikir dan mengerti makna kehidupan.

Daft ar PustakaSuarka, I Nyoman. 1998. “MABEBASAN: Wahana Pembauran”. Denpasar._______________. 2007. Kidung Tantri Piśācarana. Denpasar: Pustaka Laras-

an.Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pus-

taka Jaya.Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jilid I dan

II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Ja-

karta: Djambatan.

Page 144: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

134

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. Lahir di Tabanan, 19 April 1958. Dosen STSI Surakarta ini tengah menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) pada Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Dasar kesenimanan bi-dang yang dikuasainya adalah pedalangan, tetapi mengembangkan juga keterampilan menari, teater, dan menabuh gamelan. Lulusan Program Pascasarjana Universitas Gad-jah Mada Yogyakarta Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Pengkajian Seni Pertunjukan (1996) ini juga berpartisipasi dalam pentas wayang kulit, teater, dan tari, baik di dalam maupun di luar negeri.

Sejak tahun 1982 sering menyusun karya-karya baru “wayang layar lebar berbahasa Indonesia” dengan mengaplikasikan konsep pewayangan baru yang berbeda dengan pertunjukan wayang kulit konvensional, untuk berbagai kepentingan. Beberapa kali pen-tas seni di luar negeri, seperti di London, Skotlandia, Jepang, Australia, Thailand, dan Taiwan.

Beberapa penelitian mandiri dan hibah yang dilakukan antara lain “Ideologi Lakon Cupak Ke Swargan oleh Dalang I Made Jangga”(2009); “Konsepsi Kekuasaan Paku Buwana II Pada Kayon Gapuran (1998); “Lakon Gareng Dadi Dewa: Sebuah tinjauan Sosiologis” (2002) “Konsepsi Segara-Gunung dalam Cerita Cupak-Grantang” (2003)dan “Nilai Ajaran Inkarnasi dalam Lakon Purba Sejati” (2005).

Banyak pula publikasi artikel ilmiah luluasan Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta Pedalangan (1986) ini antara lain di “Mudra”, Jurnal Seni Budaya, “LAKON” Jurnal Jurusan Pedalangan STSI Surakarta; Dharmasmrti – Jurnal Ilmu Agama dan Ke-budayaan; Cakra Wisata – Jurnal Pariwisata Budaya, Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat UNS Surakarta.

Alamat : Jl. Durmo No. 193 Perum. RC. Ngringo. 57772 Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Telp. 0271-827708; HP: 081329088782.

Page 145: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

135

Pengantar

Pertunjukan wayang kulit, adalah media komunikasi audiovisual, baik melalui bahasa verbal, bahasa visual, bahasa auditif maupun tanda-tanda simbolik lainnya. Bahasa verbal dalam pedalangan

Bali tampak pada bahasa kawi, bahasa Bali, dan Bahasa Indonesia. Bahasa kawi digunakan oleh para raja, ksatria, pendeta, raksasa, dan dewa. Bahasa Bali dan bahasa Indonesia digunakan oleh para abdi, baik abdi perempuan maupun lelaki.

Bahasa visual dapat dinikmati dari aneka bentuk rupa dan gerak se-luruh fi gur wayang serta bayang-bayang yang ditimbulkan dari sorot lampu blencong yang bersuasana magis. Kelir, layar putih sebagai are-na memainkan seluruh fi gur wayang kulit diandaikan sebagai panggung kehidupan. Selain itu, bahasa auditif dapat dinikmati dari berbagai sua-sana yang dibangun melalui suara gamelan yang mengiringi, irama an-tawacana, dan nyanyian dalang dalam berbagai suasana. Seluruh unsur budaya tersebut dipandang sebagai “bahasa” atau teks. Ia digunakan sebagai sarana untuk membangun satu pertunjukan wayang kulit yang menimbulkan citra estetik tertentu, Dengan cara itu pertunjukan way-ang kulit menjadi menarik dan menggairahkan apresiator.

Selain hal tersebut, cerita yang dimainkan oleh dalang dan seluruh anggota grup pendukung pertunjukan wayang kulit, juga mentransmisi-

Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.Dosen Kajian Budaya Universitas Udayana

Pertunjukan Wayang Kulit Bali: Media Komunikasi Pencerdasan Rakyat

Page 146: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

136

kan berbagai nilai kehidupan manusia, seperti aspek solidaritas sosial untuk mengeksresikan nilai tolerans dan kebersamaan, aspek religius sebagai ekspresi rasa sujud terhadap Tuhan, aspek ideologi politik un-tuk mengekspresikan kepentingan manusia dalam memperjuangkan atau mempertahankan kekuasaan. Seluruh aspek tersebut diramu den-gan berbagai problema sosial dan unsur-unsur budaya yang aktual, baik lokal maupun global, sehingga terbentuk sebuah lakon pertunjukan wayang kulit yang mampu menembus keterbatasan dunia lokal sehing-ga memancarkan sinar mulianya di dunia global.

Berbicara tentang pertunjukan wayang kulit bagaikan membicara-kan secara total kehidupan manusia. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan dibicarakan aspek-aspek tertentu saja dari pertunjukan wayang kulit dalam fungsinya sebagai media pencerdasan rakyat.

Membangun Kecerdasan Struktur SosialPertunjukkan wayang kulit merupakan gambaran tentang kehidu-

pan manusia yang terkait dengan kedudukan, peran, dan fungsi yang berbeda-bedadalam masyarakat. Ada peran raja, kesatria, pendeta, dan abdi atau rakyat. Masing-masing peran memiliki wilayah atau ranah kekuasaan yang berbeda-beda pula. Wilayah atau Ranah itulah yang diperebutkannya. Bourdieu (dalam Fashri, 2007:95), memandang ranah sebagai arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber-sumber daya (modal) demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Dengan demiki-an, ranah menjadi arena pertarungan. Bagi mereka yang menempatinya dapat mempertahankan atau mengubah konfi gurasi kekuasaan yang ada. Struktur ranah membimbing dan memberikan strategi bagi peng-huni posisi tertentu untuk melindungi atau meningkatkan posisi mereka dalam jenjang pencapaian sosial. Oleh karena itu, lakon yang digelar dalam pertunjukan wayang kulit sering merupakan kasus-kasus kekua-saan.

Selain itu, semua unsur budaya Bali yang digunakan oleh dalang sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan-gagasan dalam per-tunjukan wayang kulit, seperti bahasa, rupa, gerak, instrumen musik tradisional (gender wayang), atau perangkat gamelan yang lain, dapat dimaknai sebagai aktivitas politik kebudayaan, terutama jika dikaitkan dengan upaya pelestarian.

Page 147: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

137

Membangun Kecerdasan Atas Konfl ikDalam pertunjukan wayang kulit selalu terdapat perang antara ke-

lompok yang satu dengan yang lain. Perang tersebut merupakan ekspre-si simbolik mengenai konfl ik sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, bahwa problema sosial yang terjadi dalam masyarakat mewarnai proses penciptaan karya pedalangan. Lagi pula, pertunjukan wayang kulit merepresentasikan aneka konfl ik kemanusiaan. Hal itu sesuai den-gan pernyataan Constance Nash (Hamzah, 1985:122), bahwa konfl ik, baik konfl ik horizontal maupun vertikal merupakan kekuatan pengger-ak drama dan hati penonton.

Konfl ik horizontal menyangkut interaksi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, sedangkan konfl ik vertikal menyangkut hubungan sistem keyakinan, baik profane maupun dengan yang sakral. Ketiga bentuk konfl ik itulah yang diwacanakan dalam lakon pertun-jukan wayang kulit melalui perbedaan-perbedaan karakteristik tokoh, pandangan hidup, dan perbedaan kepentingan yang tercermin dalam tindakan-tindakannya. Perbedaan sikap dan perilaku tokoh-tokoh cerita bisa sangat tajam, sehingga menyebabkan pertentangan yang hebat. Menurut Ratna (2004:179), bahwa dalam karya seni yang problematis, tokoh-tokoh cerita justru berfungsi sebagai oposisi ideologis terhadap subjek, bahkan juga sebagai pemberontak yang radikal. Akibat dari itu, sangat dimungkinkan bisa saling bunuh di antara sanak saudara, kera-bat, teman atau kolega, sehingga pertunjukan wayang kulit menampak-kan kekerasan simbolik mengenai kehidupan. Misalnya pertempuran Pandawa dengan Kurawa di Padang Kurukasetra untuk berebut kekua-saan. Cerita Dewaruci mengartikulasikan konfl ik vertikal yang terkait dengan sistem keyakinan hingga Bima bisa bertemu dengan Dewaruci.

Membangun Kecerdasan HumanisDalam konfl ik kehidupan selalu ada pihak-pihak yang kalah, dika-

lahkan, atau mengalah dan mau membuka komunikasi agar segalanya bisa dibicarakan secara baik-baik. Dengan cara tersebut konfl ik-konfl ik dapat dilerai dan semua pihak bisa mengarungi kelangsungan hidup. Hal ini berarti pihak yang kalah dapat menerima kekalahan sebagai ke-menangan dan pihak yang memberi ampun adalah orang yang memiliki kesadaran historis terhadap masa lalu. Apabila dilihat dari fi lsafat pe-rubahan dari Hegel (dalam Aiken, 2009:85-86) bahwa kesadaran his-

Page 148: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

138

toris mampu memahami realitas sebagaimana adanya, yakni sebagai sebuah proses menjadi. Bagi Hegel, sejarah berarti perkembangan. Se-tiap proses historis adalah sesuatu yang baru. Tidak satu pun ada yang sama persis seperti keadaan sebelumnya. Hukum perubahan historis mana pun bukan sebagai rangkaian daur perubahan yang berputar terus secara abadi, tetapi sebagai perkembangan yang progresif bahwa setiap tahapan, atau yang oleh Hegel disebut momea, dipandang sebagai kon-sekuensi niscaya yang sepenuhnya berbeda dari tahapan sebelumnya. Hal ini berlaku bagi struktur masyarakat. Tiap-tiap individu berorien-tasi pada keselarasan. Mereka menemukan identitas diri di posisi yang tepat dalam tatanan masyarakat (Suseno (1992:247).

Sikap mengalah itu menunjukkan implementasi ajaran Tat Twan Asi, yaitu ajaran normatif (Wesnawa, 2004:60) yang memancarkan sinar energi Tuhan dari sikap tokoh-tokoh pemaaf. Dengan begitu, Tat Twam Asi dimaknai sebagai ajaran perilaku humanis yang menerima kehadiran orang lain bagaikan menerima dan mencintai dirinya sendiri. Dalam konteks inilah konsep “the others”—yang lain—memancarkan nilai humanisme sosialnya yang mau peduli terhadap dan untuk orang lain serta tidak hanya berlaku untuk kelompok sosial tertentu, tetapi untuk semua.

Hakikat Tat Twam Asi itu sesuai dengan yang dikatakan oleh Sni-jders (2008:106), bahwa aku dapat hadir pada diriku dengan refl eksi. Aku terbuka untuk pikiran orang lain, dapat berkomunikasi dengan yang lain, dan dapat merasakan pikiran orang lain. Aku terbuka un-tuk sesama, untuk dunia, dan untuk Tuhan. Hal tersebut merupakan pemberitahuan dan ajakan kepada rakyat atau masyarakat untuk sal-ing menghormati. Tiap individu berharap memperoleh kesatuan sosial dengan sesama anggota masyarakat yang lain, dengan dunia yang luas, dan berharap pula memperoleh kesatuan dengan kekuatan yang maha-dahsyat dari maha pengasih dan penyayang segala makhluk, dan yang melebihi segala sesuatu yang ada di dunia, yaitu Tuhan.

Tat Twam Asi—Ajaran cinta kasih yang mengedepankan sikap hidup toleran dan berorientasi demi kebaikan orang lain tersebut, mengingat-kan manusia agar berhati-hati mengelola kekuasaan—sumber kebaha-giaan yang sangat potensial menjadi penyebab kesengsaraan, meskipun dengan dalih meningkatkan kemakmuran. Semua itu merupakan pela-jaran yang bernilai katarsis yang dalam tradisi ritual pemurnian jiwa di

Page 149: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

139

Bali disebut dengan istilah panglukatan, agar manusia dapat berpikir, berujar, dan bertindak dengan baik demi kebaikan dunia.

Berdasarkan prinsip ke-Tuhan-an seperti itu, setiap bentuk kekua-saan tidak lagi dimaksudkan untuk memaksakan kehendak terhadap pihak lain dalam mencapai tujuan. Kekuasaan dibiarkan tersebar dan melekat secara otonomi pada semua yang hadir di alam semesta dengan pancaran energinya masing-masing. Seperti dikatakan oleh Bizawie (2002:66) bahwa kekuasaan adalah ungkapan energi illahi yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Kekuasaan bukanlah suatu gejala khas sosial yang berbeda dari kekuatan-kekuatan alam, melainkan kekuatan kosmis yang dapat memenuhi seluruh kosmos. Kekuasaan adalah reali-tas itu sendiri yang dapat dilihat dari kekuatan-kekuatan yang mengalir dari pada-Nya.

Pertunjukan wayang kulit adalah salah satu wujud kebudayaan tradi-si-onal. Menurut Suseno (1992:247) kebudayaan tradisional merupakan satu kesatu-an yang memiliki unsur-unsur kognitif (pengetahuan), nor-matif (harkat moral norma-norma sosial), dan ekspresif (estetis). Ke-tiga unsur tersebut didasarkan atas satu pandangan dunia yang hampir selalu ditentukan oleh agama. Fisher (1990:231 dan 233) menambah-kan bahwa manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, bermasyarakat, dan memiliki buah pikiran. Hakikat diri tidak hanya berfungsi sebagai proses sosial, tetapi juga bermula sebagai proses sosial; yakni individu hanya dapat mencapai perkembangan diri yang menyeluruh melalui interaksinya dengan orang lain.

Membangun Kecerdasan ReligiusSeorang dalang memformulasikan nilai-nilai keagamaan dalam per-

tunjukan wayang kulit. Dengan menghayati nilai-nilai itu masyarakat dapat memperbaharuai, melakukan revitalisasi, melestarikan kesada-ran kultural dan kesatuan komunitas. Berkaitan dengan hal tersebut Fananie (1994:127) mengatakan, bahwa seni pada hakikatnya merang-kum semua aspek kehidupan manusia. Menurutnya, bahwa peradaban yang meliputi pandangan, tingkah laku, moralitas, dan kepercayaan diawali dari sebuah karya seni. Eisseman, (1989: 322-32) dalam tu-lisannya yang berjudul Sekala & Niskala: Essays on Religion, Ritual, and Art, diuraikan tentang kehidupan agama, upacara, kesenian, dan pertunjukan wayang kulit. Dalang memiliki popularitas dan kedudu-

Page 150: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

140

kan di masyarakat, menempatkan fungsi ritual dan edukasi pertunjukan wayang kulit bagi masyarakat Bali. Pernyataan Eisseman tersebut ko-heren karena hingga kini pertunjukan wayang kulit merupakan bagian yang sistemik dalam berbagai pelaksanaan upacara ritual keagamaan di Bali. Menurut Berata (almarhum), seorang dalang wayang kulit Parwa dari Desa Tunjuk, Tabanan menyatakan, bahwa pertunjukan wayang kulit dan sistem upacara keagamaan bagaikan pasangan suami istri yang dalam kehidupannya saling melengkapi satu sama lain. Pendeta mendoakan keselamatan dunia melalui sesaji dan doa-doa dan dalang menyelamatkan dunia dengan menjelaskannya perilaku baik-buruk to-koh-tokoh wayang dalam konsepsi “rwabhineda” dalam satu peristiwa lakon pertunjukan wayang kulit.

Hal itu sesuai dengan pernyataan Kuntowijoyo (1987:51-52) yang me-ngatakan, unsur-unsur estetis hadir dalam sistem keagamaan dan sebaliknya unsur-unsur agama hadir dalam seni. Artinya, antara nilai-nilai keagamaan dan seni disinergikan dalam pertunjukan wayang kulit, sehingga memancarkan aspek sosial dan kultural yang menarik sebagai wahana komunikasi. Apabila diskemakan proses interaksi situasi sos-ial dan nilai budaya yang dipersiapkan sepanjang masa oleh seorang dalang adalah sebagai berikut.

Keterangan gambar1. Satuan sosial budaya2. Nilai-nilai kultural3. Dalang/transformer4. Masyarakat apresiator/simulasi

Kehadiran nilai-nilai keagamaan dalam pertunjukan wayang kulit merupakan kekuatan teatrikal bagi suatu daya pembangunan bangsa. Teater merupakan sarana yang efektif untuk menanamkan kepribadian. Perjalanan hidup teater “wayang kulit” yang melewati sekian zaman telah membuktikan diri sebagai barometer kepribadian yang telah be-rakar (Hamzah, 1985:114). Dengan demikian pandangan dunia yang diekspresikan dalam pertunjukan wayang kulit, bukan kerajaan-keraja-

2 4

1

3

Page 151: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

141

an dan kekuasaan-kekuasaan dunia lahiriah semata yang tersaji dalam latar utama bagi tindakan manusia, melainkan dunia batiniah dari sen-timen-sentimen dan hasrat-hasrat. Setiap orang harus bersikap seperti kesatria yang terus-menerus memerangi raksasa dan raksasi yang di-andaikan sebagai simbol nafsu-nafsu yang menguasai hidup manusia. Kenyataan dicari bukan di luar diri, melainkan di dalamnya. Komu-nikasi manusia dengan Tuhan dilandasi tiga argumen, yaitu argumen kosmologis megungkapkan bahwa Tuhan harus ada karena kalau tidak akan ada rangkaian kausalitas yang tidak terhingga untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa.

Argumen teologis mengungkapkan, bahwa dari struktur fi nal reali-tas dapat ditarik kesimpulan adanya Sang Pencipta yang menerapkan struktur tersebut. Adapun argumen ontologis mengemukakan bahwa Tuhan ada karena kita memikirkan dan memprediksi eksistensi terh-adapnya (Khuza’i, 2007:109). Oleh karena itu, pertunjukan wayang kulit bukanlah pementasan sebuah politik fi losofi s semata melainkan suatu psikologi metafi sis (Geertz, 1992:60-61). Wayang jika ditafsir-kan secara psikologis dimaksudkan untuk memelihara kecenderungan untuk menemukan realitas tertinggi (Geertz 1983:362).

Cara kerja skema transmisi nilai-nilai itu sesuai dengan identifi kasi yang dilakukan oleh Baudrillard (dalam Budiman, 2002:98) tentang masyarakat sebagai simulasi yang terjadi di era postmodern, yaitu se-buah era informasi dan tanda-tanda yang diatur oleh pelbagai macam model, kode dan sibernetik. Pertunjukan wayang kulit adalah model, kode dan sibernetik atau dunia maya yang mensimulasi nilai-nilai kul-tural yang divisualisasikan dalam wujud-wujud prilaku tertentu tokoh-tokoh pelaku cerita wayang. Simulasi wayang mempengaruhi sikap mental masyarakat. Perilaku tokoh-tokoh wayang kulit ditafsirkan se-bagai referensi dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain Kuntowijoyo (1987:135) menyatakan, bahwa realitas sosial yang diungkapkan lewat tokoh-tokoh imajiner dapat memberi gambaran yang hidup.

Ditinjau dari proses itu, maka dalang adalah orang yang terpelajar atau intelektual. Gramsci menganggap penting para intelektual tradis-ional yang menempati posisi ilmiah, literer, fi losofi s dan religius di masyarakat, termasuk universitas, sekolah, media, lembaga-lembaga agama, medis, penerbit, dan fi rma-fi rma hukum. Mereka bisa datang dari latar seperti status, posisi dan fungsi yang berbeda dan indepen-

Page 152: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

142

den, lepas dari komitmen kelas atau peran ideologis manapun (Barker, 2005:469). Hal itu sesuai dengan sikap masyarakat Bali yang men-dudukkan dalang wayang kulit sebagai “guru loka” yang bersikap inde-penden, karena ia menjadi guru bagi semua golongan sosial.

SimpulanPertunjukan wayang kulit merupakan contoh dari salah satu unsur

kebudayaan yang terjadi karena manusia hendak memuaskan kebutu-han nalurinya akan rasa keindahan dan menjadikan pengalaman estetik sebagai penyeimbang kondisi materiil. Di balik keindahan itu, pertunju-kan wayang kulit menyiratkan ajakan untuk meningkatkan kecerdasan mengenai realitas kehidupan sosial yang antara lain menyangkut kecer-dasan manusia terhadap struktur sosial sebagai ajang untuk melakukan interaksi sosial. Selain itu, pertunjukan wayang kulit juga mencerdas-kan rakyat dalam mengelola konfl ik kehidupan, membangun kecer-dasan humanis, dan memiliki kecerdasan akal budi untuk menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial dan individu yang berketuhanan.

SaranBerdasarkan uraan di atas diperoleh pemahaman, bahwa pertunjukan

wayang kulit berfungsi sebagai ajang peningkatan kecerdasan rakyat. Oleh karena itu, seyogyakan kesenian tersebut dijaga keberlangsun-gan hidupnya dengan cara memberi peluang tampil secara maksimal dalam berbagai kesempatan, dilakukan peningkatan kualitas teknis dan nonteknis secara berkelanjutan. Perlu pula dilakukan reaktualisasi isi garapan lakon dan memposisikan peran serta fungsinya pada struktur sosial budaya masyarakat, sehingga memperoleh daya hidup bersama masyarakat pendukungnya.

Mengingat nilai—nilai edukasi yang terkandung di dalam pertunju-kan wayang kulit demikian penting bagi kehidupan, maka para intelek-tual dan peneliti perlu mengkaji secara berkesinambungan pertunjukan wayang kulit yang hasilnya dapat dijadikan sarana pembelajaran bagi generasi berikutnya dan dapat diacu untuk mengembangkan pertunju-kan wayang kulit sesuai konteks jamannya.

Page 153: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

143

Daftar PustakaAiken, Henry D. 2009. Abad Ideologi: Kant, Fichte, Hegel, Schopenhouer, Comte,

Mill Spencer, Marx, Mach Nietzsche, dan Kierkegaard. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Prakktik. Bandung: Bentang Budiman, Hikmat. 2002. Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan

Krisis Rasionlaitas Menurut Daniel Bell. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Bizawie, Zainul Milal. 2002. Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pikiran dan

Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergugmulan Islam dan Tradisi (1645-1740). Yogyakarta: Samha.

Eisman. Fred B. 1989. “Sekala & Niskala: volume I. Essays on Religion, Ritual, and Art” . Berkeley-Singepore: Periplus Edition

Fananie, Zainuddin. 1994. Pandangan Dunia KGPAA Hamengkoenagoro I alam Babad Tutur: Sebuah Restruturisasi Budaya. Surakarta: Muhammadiyah Uni-versity Press.

Fashri, Fausi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol. Yogyakarta: Juxtapose.Fisher, B. Aubrey. 1990. Teori-Teori Komunikasi:Perspektif Mekanistis, Psikolo-

gis, Interaksional,dan Pragmatis. Penerjemah: Soejono Trimo, MLS. Band-ung: Remaja Rosdakarya.

Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan & Agama: Refl eksi Budaya. Penerjemah: Prancisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.

Hamzah, A. Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: CV Rosda.Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Dari

Strukturalisme hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogya-karta: Pustaka Pelajar.

Snijders, Adelbert. 2008. Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks danSeruan. Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik:Buti-Butir Pemikiran Kritis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wesnawa, Ida Bagus Putu. 2004. Revitalisasi Kebudayaan Hindu untuk Ketah-anan Masyarakat Bali:Pokok-pokok Pikiran Ketua DPRD Bali tentang Pembi-naan dan Pengembangan Kebudayaan Bali. Denpasar: Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Bali.

Page 154: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

144

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

I Nyoman Windha merupakan salah satu musisi terkemuka dan komposer kontem-porer musik gamelan Bali. Lahir di Banjar Kutri, Singapadu, Gianyar, Bali. Lulusan ISI Denpasar, Bali, ini telah menyusun puluhan komposisi untuk gamelan Bali dalam berba-gai genre, tetapi terutama dalam gaya kebyar. Komposisi-Nya, seperti Puspanjali (1989), telah dimasukkan ke dalam repertoar standar kelompok pertunjukan Bali dan banyak yang telah memenangkan penghargaan di kompetisi tahunan gamelan Bali.

Mengajar sejak tahun 1985, Windha terkenal dengan komposisi musik yang ber-melodi indah, penggabungan bentuk-bentuk dan gaya dari gamelan Jawa, serta inovasi penggunaan 3/4 waktu. Penata iringan tari kebesaran ISI Denpasar Ciwa Nataraja ini telah melakukan perjalanan melintas dunia untuk menunjukkan kebolehannya, antara lain ke Australia, Hongkong, Jepang, Eropa dan Amerika.

Page 155: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

145

Pendahuluan

Musik Bali atau yang lazim disebut dengan Karawitan Bali adalah Seni Suara Vokal dan instrumental yang berlaras selendro dan pelog. Sama halnya dengan di Jawa seni suara

vokal di Bali desebut Tembang atau Sekar, yang dapat dikolompokan menjadi 4 kelompok, yaitu: 1. Sekar Ageng (jenis kekawin), 2. Sekar Madia(jenis Kidung, 3. Sekar Alit ( jenis pupuh) dan yang ke 4. Sekar Rare (gending anak_anak). Sedangkan seni seuara instrumental adalah alat Gamelan. Berbicara tentang gamelan, di Bali terdapat sekaitar 30 jenis barungan gamelan, yang jika dilihat dari bahannya ada yang ter-buat dari bahan bambu seperti gamelan Gambang, Rindik , Jegog dan gamelan gandrung dan gamelan yang terbuat dari bahan besi seperti gamelan selunding, yang terakhir gamelan yang dibuat dari bahan per-unggu seperti, gender wayang, angklung, semarpagulingan, gong gede, gong kebyar dan gamelan semarandana.

Masing-masing gamelan diatas memiliki fungsi, karakter dan ben-tuk gending yang berbeda-beda. Seperti misalnya gamelan Gong Gede yang memiliki karakter agung dan berwibawa yang dimainkan berkai-tan dengan upacara dipura-pura. Gamelan Angklung dengan karakter sedih dan biasanya dimainkan pada saat ada upacara kematian. Dian-tara jenis-jenis gamelan diatas, gamelan Gong Kebyar memiliki multi-

Seni Musik Bali dan Gamelan Gong Kebyar sebagai Media Pencerdasan Rakyat

I Nyoman Windha, SSKar, MAKomposer, Ahli Seni Karawitan, Dosen ISI Denpasar

Page 156: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

146

fungsi. Gamelan yang tergolong baru ini sangat digemari oleh masyara-kat Bali mulai dari kalangan anak-anak, dewasa dan kaum Ibu-ibu. Dan dia bahkan menjadi media pembelajaran dalam mengawali belajar bermain gamelan, dimana sebagian besar dari orang Bali mulai melajar megambel dari gamelan Gong Kebyar. Peranan gong kebyar tidak saja mampu mencetak bibit-bibi baru, tapi juga mampu mengadopsi ide-ide kreatif didalam usaha mewujudkan garapan-garapan kreasi baru kake-byaran baik dalam bentuk tari kreasi maupun tabuh kreasi baru.

Asal Mula dan Perkembangan KebyarIstilah kebyar berasal dari bentuk permainan gamelan yang dipu-

kul secara bersamaan yang menghasilkan suara menggelagar “byar” yang kemudian dipergunakan untuk memberi nama kepada ansambel baru dan tari kreasi baru dalam kesenian Bali yang memiliki cirri-ciri keras, dinamis, rumit dan tempo yang cepat. Kedua jenis kesenian ini, baik ansambel maupun tarinya menonjolkan pada pengungkapan emosi yang meluap-luap dan aksi dramatis yang menakjubkan. Ans-ambel yang baru ini desebut gamelan gong kebyar dan tari kreasi baru ini juga disebut tari kebyar. Gamelan gong kebyar dan tari kebyar ini tak bisa dipisahkan satu dengan dengan yang lain, keduanya merupakan ekspresi kesenian yang lahir pada awal abad 20.

Gamelan gong kebyar adalah alat musik perkusi yang instrumen-tasinya terdiri dari: gong, gangsa, reong , terompong, kendang, kajar, jublag, jegogan, penyacah, suling dan rebab.. Kecuali suling dan re-bab yang masing-masing merupakan alat tiup dan gesek, yang lainnya semua alat-alat dari gong kebyar adalan alat perkusi. Gamelan gong kebyar yang dimainkan oleh kurang lebih 25 orang musisi (penabuh) ini diperkirakan muncul pada awal abad ke 20 dan gamelan ini awalnya diciptakan hanya untuk lagu instrumental ( gending petegak). Namun dalam perkembangan selanjutnya berkembang menjadi musik iringan tari, dan tarinya pun disebut dengan tari kebyar. Tari kebyar merupakan sebuah ekspresi individu atau kelompok yang memilki ciri-ciri yang sama dengan gong kebyar.

Kebyar di Masa LampauBerdasarkan informasi yang ada bahwa untuk pertama kalinya gong

kebyar muncul di Bali utara tepatnya didesa Bukulan Buleleng sekaitar

Page 157: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

147

tahun 1914. Saat awal pemunculannya gamelan ini diciptakan untuk menyajikan gending-gending petegak atau lagu-lagu instrumental dan media bagi para pencipta lagu (komposer) untuk mengekspresikan diri, kebebasan mencipatakan lagu baru, membuat aransemen yang rumit sebagai ciri dari kreasi baru. Bentuk awal dari permainan gong kebyar pada saat awal pemunculannya adalah didesa Bungkulan, Buleleng.

Para penabuh gamelan mulai memainkan ritme-ritme unisono bersa-ma, yang disertai dengan entakan-entakan yang tajam, sinkopasi-sinko-pasi yang jarang ditemukan pada jenis-jenis gamelan gong kuna. Mer-eka memasukan “emosi dan aksi dramatis” dalam permainan gamelan yang menjadi bentuk awal dari gong kebyar. Perjalanan gong kebyar selanjutnya diawali dari diperdengarkannya dipuri Subamya, Taban-an oleh seka gamelan dari desa bantiran (Buleleng) pada tahun 1919, dalam rangka upacara pelebon.

Disini belum nampak ada indikasi bahwa gong kebyar itu digunakan untuk mengiringi tari. Awal munculnya tari kebyar adalah ketika I Ma-ria diundang untuk mengajar tari di desa Busungbiu, disana dia men-arikan sebuah lagu gong kebyar secara bebas yang berinteraksi dengan tukang kendang, menari dengan posisi jongkok yang kemudian men-jadi cikal bakal tari Kebyar Duduk dan tari Kebyar Trompong. Baru tahun 1920 terciptalah tari Kebyar Duduk dan tahun 1925 menjadi tari Kebyar Trompong seperti yang kita lihat sekarang, yang konon tabuh pengiringnya diciptakan oleh I Wayan Sukra.

Ketenaran I Maria sebagai penari Kebyar Duduk, masyarakat Bali hampir mulupakan bahwa kebyar itu adalah musik instrumental. Bah-kan hampir tak ada lagi ciptaan instrumental baru dalam lagu gong kebyar. Pada tahun 1928 ditemukanlan rekaman komersial mengenai gamelan Bali, dan baru diketahui bahwa telah tercipta lagu-lagu kebyar seperti Kebyar Ding Sempati, gending Jerebu yang juga ditarikan oleh penari kebyar saat itu seperti I Maria dan murid-muridnya, seperti I Gusti Ngurah Raka dan I Nyong-nyong. Tari Kebyar saat itu masih berkiblat pada tari Kebyar Duduk dengan gerak bebas yang penuh im-provisasi mengikuti aksen-aksen lagu gong kebyar. Demikian juga hal-nya dengan tari Kebyar Legong yang diciptakan oleh Pan Wandres dan I Gde Manik dari Jagaraga , Buleleng yang selanjutnya tari ini menjadi tari Taruna jaya.

Selanjutnya pada era tahun 1930 an munculah Tari Kebyar yang

Page 158: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

148

dibawakan oleh penari wanita. I Nyoman Kaler berhasil mencipatakan beberapa jenis tari kebyar seperti Panji Semirang, Mrgepati, Puspa Warna, Demang Miring, Candra Metu dan Bayan Nginte, yang masih mempergunakan konsep tari tunggal, kendatipun tariannya ditarikan oleh lebih dari seorang penari. Disini nampak terjadi perubahan yang sangat drastis, dimana orientasinya mengarah kepada wanita cantik. Se-bagai dampaknya terjadilah perubahan estetika dari tarian yang bersifat improvisasi kebentuk tarian yang memiliki struktur yang ketat. Sehing-ga antara tari dan musik menjadi satu sebagai sebuah kesatuan.

Selain mengalami perubahan struktur, kehadiran kebyar juga ber-dampak pada perubahan karakter. Munculah sebuah wadah estetika baru, dimana penari cantik membawakan tokoh laki-laki sepeti yang terlihat pada tari-tarian ciptaan I Nyoman Kaler. Kemudian berkuman-danglah sebutan tari babancihan sebagai ciri khas tarian kebyar.

Memasuki zaman kemerdekan mulai ada rasa aman, kebebasan ber-kreativitaspun muncul sehingg pada tahun 1951 terciptalah sebuah tar-ian baru yang berjudul tari Oleg Tambulilinagn, yang merupakan tari duet dengan tema percintaan. Tarian ini diciptakan oleh I Maria. Kon-sep tari kebyar telah berkembang dari konsep tari tunggal laki-laki dan wanita menjadi konsep tari duet laki-laki dan perempuan.

Pada awal tahun 1960-an terjadi lagi sebuah pergeseran, dimana te-ma-tema kebyar yang semula berorientasi pada tari murni dan keindah-an semata dan kini berubah menjadi tarian kebyar programatik, sebagai suatu respon perkembangan sosial politik di Indonesia. Pada dekade 1960 –an lahirlah tari Tani dan tari Nelayan.

Ekspresi realirtas kehidupan mulai diperkenalkan. Bentuk tari ke-lompok lebih diutamakan. Tokoh-tokoh seperti Ketut Merdana ( Bule-leng) dan I Wayan Beratha (Denpasar) muncul sebagai generasi awal dalam katagori ini. Ada nafas baru yang juga muncul pada periode ini, yaitu perkembangan tari kebyar menjadi sendratari. Dalam rangka per-ayaan Hari Ulang Tahun yang pertama KOKAR Bali pada tqhun 1962 Bapak I Wayan Beratha menciptakan sebuah sendratari yang berjudul Jayaprana, yang idenya datang dari I Gusti Bagus Nyoman Panji, pimp-inan KOKAR Bali saat itu.

Penciptaan Sendratari ini distimulasi oleh munculnya sendratari Ra-mayana Prambanan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 1960-an sudah tercipta 4 buah sendratari yaitu sendratari Ramayana, Ja-yaprana, Raja-

Page 159: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

149

pala dan sendratari Maya Danawa. Disamping mengutamakan ungka-pan pantomim dan programatik, sendratari ini juga diungkapkan lewat narasi dalang yang berfungsi sebagai komentator pergelaran itu.

Era 1960 –an adalah masa semaraknya pertumbuhan gong kebyar di Bali. Hal ini dikarenakan oleh adanya diplomasi kebudayaan oleh Pres-iden Republik Indonesia. Soekarno. Pengiriman kesenian keluar negeri seperti ke Thailand, Camboja, Pakistan, Filiphina, China, Korea, Eropa dan Word Fair di New York menjadi kebangaan bagi seniman Indone-sia. Tari kebyar menjadi salah satu primadona dalam misi-misi tersebut.

Kehidupan kebyar semakin semarak, ketika Pemerintah Daerah Bali menyelenggarakan pentas Gong Kebyar kedalam sebuah wadah Mer-dangga Utsawa (Festival Gong Kebyar) pada tahun 1968 yang dimo-tori oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) dalam usaha melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Bali. Seb-agai puncak dari keberhasilan pelestarian dan pengembangan kesenian Bali itu kemudian ditampung dalam sebuah festival seni yaitu Pesta Kesenian Bali (PKB). Oleh pencetusnya Prof. Dr. I.B. Mantra, PKB yang lahir pada tahun 1979 dijadikan strategi pembinaan dan pengem-bangan kebudayaan Bali. Dan sampai sekarang PKB sudah berjalan selama 31 tahun.

Kebyar Masa Kini Gong kebyar maupun tari kebyar sangat popular baik diluar mau-

pun diluar negeri. Di Bali, gong kebyar tidak saja dimiliki oleh banjar-banjar akan tetapi dimiliki oleh perorangan, sehingga keberadaannya sudah mencapai lebih dari 1500 barung. Diluar negeri sekitar 100 ba-rungan gong kebyar tersebar luas di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia, Spanyol, Kanada, India, Thailand dan belum terhitung gong kebyar yang dibawa oleh penduduk Bali yang bertransmigrasi keselu-ruh nusantara. Suatu hal yang menjadi alasan kenapa gong kebyar bisa menyebar luas di seluruh dunia.

Barangkali suatu hal yang perlu diteliti kedepan. Kalau kita lihat dari instrumentasinya, sebagian besar terdiri dari alat perkusi. Kecu-ali Rabab dan suling. Perkusi merupakan jenis instrumen yang sifatnya sangat universal. Hampir diseluruh dunia memiliki alat musik perkusi, dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling rumit. Dalam dunia musik barat juga memiliki perkusi sehingga secara psikologis

Page 160: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

150

para musisi barat merasa dekat dengan instrumen gong kebyar.Gong kebyar memiliki tangga nada pentatonik atau laras pelog lima

nada dengan saih yang berbeda-beda, ada saih gede (tembung) dan ada saih cenik (selisir). Sejalan dengan tuntutan kreativitas kini mun-cul gamelah baru yang disebut dengan gamelan Semarandana, yang merupakan gabungan dari gong kebyar dan gamelan semar pagulingan, gamelan yang lahir tahun 1985 ini bentuk nya mirip dengan dengan gong kebyar, namun jumlah bilahnya lebih banyak yaitu 12 bilah. uru-tan nada-nadanya terdiri dari 5 nada dibagian bawah memakai laras pelog 5 nada, dan 7 nada dibagian atas memakai laras pelog 7 nada. Gamelan yang baru ini mampu memainkan lagu-lagu kekebyaran dan lagu-lagu semarpagulingan serta garapan-garapan baru lainnya.

Tehnik permainan gong kebyar terdiri dari tehnik yang paling seder-hana sampai pada tingkat kerumitan yang tinggi. Sebuah tehnik paniti atau nyacah yang dapat dimainkan oleh semua instrumen melodi yang kemudian dapat dikembangkan menjadi kotekan yang sangat rumit. Permainan trompong yang dapat dimainkan dengan tehnik ngempyung dan ngembat serta kekembangan yang selalu menjadi tantangan men-arik bagi pemain gamelan. Instrumen kendang sebagai alat vital walau-pun sudah memiliki pola yang baku, akan tetapi setiap saat bisa mem-bangun improvisasi. Dan tehnik pukulan gangsa yang disebut dengan kotekan dengan berbagai sistem seperti kotekan telu dan kotekan pat dengan berbagai variasinya selalu menjadi tantangan utama bagi setiap pemain dan hal sangat menarik perhatian mereka untuk mempelajari gong kebyar. Para pemain Rock atau Jazz sangat menyenangi gamelan gong kebyar karena fl eksibelitasnya dalam bentuk maupun bunyi.

Lagu-lagu gong kebyar yang sangat komplek dan kaya dengan rit-me serta dinamis menjadi ketertarikan para pemusik kontemporer du-nia dewasa ini. Pemahaman masyarakat dunia terhadap gong kebyar lebih terbantu dengan terbitnya buku –buku berbahasa asing seperti DeToonkunst van Bali oleh Jaap Kunst (1925), buku Music in Bali oleh Colin McPhee(1966), buku Gamelan gong Kebyar; The Art of Twen-tieth –Century Balinese Music oleh Michael Tenzer (2000). Demikian juga buku_buku tari Bali yang sering memberi deskripsi tari kebyar. Disamping itu rekaman-rekaman audio maupun VCD, DVD dari karya-karya maestro Bali kini mulai mudah diperoleh dan setidak ada 40 volume rekaman STSI Denpasar yang menjadi stimulasi tertariknya

Page 161: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

151

masyarakat dengan kebyar.Dari uraian diatas lelas menunjukan bahwa pakem gong kebyar ber-

beda dengan gamelan lainnya di Bali, dan tersedianya rekaman-reka-man diatas menjadi akses untuk mempelajari gong kebyar . Dilihat dari tehnik permainan, kesederhanaan dan kerumitannya , menjadikan gong kebyar sebagai sebuah ansambel yang bisa menjadi jembatan dalam mempelajari gamelan lainnya di Bali. Dengan beberapa alasan diatas gong kebyar sudah menjadi milik bangsa yang sudah tersebar diseluruh penjuru dunia.

Kebyar Masa Depan 1. Kebyar Sebagai Wadah Kreativitas.

Semula gong kebyar hanya memainkan lagu-lagu ostinato dengan aksen-aksen yang mengagetkan, kini mulai mengadopsi lagu-lagu dari gamelan lainnya seperti gender wayang dan gam-bang. Motif dan tehnik dari gamelan tersebut dijadikan bagian yang penting dalam permainan gong kebyar. Contohnya Gending merak ngelo, yang dijadikan bagian pokok gegenderan pada salah satu bagian dari kreasi kekebyaran, demikian juga gegambangan yang menjadi bagian akhir dari lagu kebyar. Selain gong kebyar, kedua motif lagu diatas juga dipergunakan dalam lagu semarp-aguling dan pelegongan.

Satu contoh lagi tari Kebyar Legong sebagai awal dari tari Taruna Jaya, mengambil bagian pengawak dari legong Kuntir menjadi bagian yang penting dari tarian tersebut. Dimasukannya pengawak Kuntir dalam tari Kebyar Legong untuk membuat pe-rubahan dinamika. keterkaitan antara klasik dan kebyar tetap ter-pelihara dengan baik dan masyarakatpun tidak dikejutkan dengan perubahan-perubahan yang asing baginya.

Bentuk-kreasi kebyar sebagai sajian musik instrumental seper-ti gending Gambang Suling, Ujan Mas, Kapiraja , Swabuana Pak-sa dan Kapiraja lebih menitikberatkan pada demonstrasi kelom-pok – kelompok instrumen tertentu, seperti kendang, cengceng dan reong terutama didalam mengolah ritme. Namun belakangan ini hampir semua kelompok instrumen diberikan kesempatan un-tuk mendemonstrasikan kelompoknya. Bahkan dalam penyajian tabuh kreasi semua kelompok instrumen yang ada dalam gong

Page 162: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

152

kebyar memiliki hak yang sama. Dan ini sangat tergantung dari kepiawian dari seorang komposer dalam menykapi hal tersebut.

Kebyar merupakan sebuah ansambel yang sangat kaya dengan motif dan hiasan-hiasan, sehingga banyak lagu-lagu kebyar di-mainkan dengan media gamelan lain, seperti lagu panyembrama, Mrgapati dan Cendrawasih dimainkan pada gemelan Angklung, Gending Tari Belibis dimainkan pada gamelan Joged dan Jegog, yang sudah barang tentu tehnik permaianannya disesuaikan den-gan tehnik gamelan yang dipakai . Hal ini menunjukan bahwa kebyar menjadi sumber yang kaya bagi gamelan-gamelan lain untuk dipinjamkan lagu-lagunya kedalam tehnik yang baru.

Tari Janger yang biasanya menggunakan iringan Batel dan suling , kini digarap dengan iringan gamelan Genta Pinara Pitu dengan membuat lagu-lagu baru sesuai dengan mode yang di-miliki oleh gamelan tersebut. Kebetulan penulis sendiri sebagai komposernya dan I Nyoman Catra sebagai koreografernya. Gara-pan Janger kreasi baru ini diciptakan pada tahun 1986. Dan say-ang gamelan Genta Pinara Pitu yang satu-satunya di Bali saat itu, sekarang ada di Monash University ,Australia.

Gong Kebyar telah banyak memberi kontribusi terhadap perkembangan gamelan yang lain seperti, angklung, gong suling, drama gong, sendratari dan lain-lain. Dan masih segar dalam in-gatan kita, Adi Mrdangga yang diciptakan tahun 1984 oleh ASTI Denpasar saat itu. Adalah pengembangn dari gamelan Balaganjur yang dikolosalkan, sebagai pengganti Drum Band Barat dalam pembukaan PKB tahun 1984. Dalam Adi Mrdangga ini, selain menonjolkan angsel rumit yang berasal dari kebyar, beberapa motif ritme juga diambil dari Drum Band Barat. Disitulah letak fl eksibelitas gong kebyar yang bisa menerima dan mempengaruhi gamelan lain, sehingga dia dianggap sebagai sumber yang kaya akan melodi, rime, dinamika, harmoni dan aspek musikal lain-nya.

2. Kebyar Menjadi Elemen Musik DuniaKehadiran dari komposer-komposer barat yang pernah bela-

Page 163: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

153

jar gamelan di Bali seperti. Michael Tenzer, Wayne Vitaly, Evan Ziporyn dan Andy Mc Graw, menorehkan sejarah baru bagi perkembangan gong Kebyar baik di Bali maupun di Luar Neg-eri. Michael Tenzer misalnya, dia seorang komposer barat yang lama tinggal di Bali. Pengalamannya tinggal di Bali dan belajar gamelan kebyar pada seniman-seniman andal di Bali seperti: I Gde Manik, I Wayan Tembres dan I Wayan Suweca, membuat dia tidak saja mampu memainkan gong kebyar dengan baik, tapi se-bagai komposer dia sangat lihai memadukan elemen musik Barat dan musik India kedalam tabuh kreasi kebyar. Beberapa dari ha-sil karyanya yang pernah ditampilkan pada ajang PKB seperti, Situbanda, Banyuari, Talakalam dan Puser Belah. Demikian juga halnya dengan Wayne Vitaly , Evan Ziporyn dan Andy Mc Graw, mereka memperdalam Gamelan Gong kebyar baik secara teori maupun praktek, yang sudah barang tentu semua pengalaman yang mereka peroleh dapat memparkaya wawasan mereka dalam melakukan aktivitas musik.

3. Kolaborasi Dengan Musik LainDewasa ini, istilah kolaborasi menjadi istilah yang sangat

ngetren. Banyak komposer yang mencoba membuat komposisi dengan memadukan beberapa alat musik dengan harapan dapat menghasil garapan yang bernafas baru. Dan hal ini banyak di-lakukan oleh mahasiswa Jurusan Karawitan ISI Denpasar, saat mereka menempuh ujian akhir dikampus mereka. .

Penulis sendiri pernah berkolaborasi dengan Evan Ziporyn dalam kreasi Kekembangan , disini Penulis dan Evan meng-gabungkan gamelan gong kebyar dengan alat musik barat Saxo-phone , ketika penulis mengajar grup gamelan Sekar Jaya pada-tahun 1989. Dan pada tahun 1998, Penulis mendapat undangan kekota Basel, Swis untuk membuat iringan tari modern dengan gong kebyar yang dipadukan dengan alat musik biola.

Garapan ini dipentaskan di tiga Negara, Basel, Indonesia (Bali dan Jakarta) dan Singapura. Dan komposisi yang paling besar yang penulis lakukan adalah ketika penulis berkola-borasi den-gan seorang komposer dari Kanada yang bernama Hose Evange-lista dalam sebuah garapan yang berjudul Bali Simponi. Karya

Page 164: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

154

ini mencoba menggabungkan ansambel gong kebyar dengan alat musik orkestra lengkap, yang dimainkan oleh grup Gamelan Sekar Jaya yang bergabung dengan California Simponi. Karya ini pentaskan untuk pertama kalinya di San Fransisico State University, pada tahun 2004.

Pada pelaksanaan PKB tahun 2001 pernah terjadi sesuatu yang sedikit agak ekstrem khususnya dalam materi festival gong kebyar, dimana kretiria festival meharuskan mengguanakan in-strumen tambahan khususnya pada materi tabuh kreasi baru dan penabuhnyapun harus campuran laki-laki dan perempuan den-gan komposisi masing-masing grup diharuskan mempergunakan 10 orang penabuh wanita. Dan khusus pada materi tabuh kreasi seorang penabuh wanita harus memainkan instrumen kendang.

Kebetulan pada saat itu penulis dipercaya oleh wakil Kota Denpasar untuk menggarap meteri tabuh kreasi baru. Dalam proses penggarapannya penulis mencoba mengusung teme per-satuan dan semangat kebangsaan dengan memanfaatkan potensi lingkungan sekitar. Desa Sidakarya yang ditunjuk oleh kota Den-pasar sebagai duta yang letakanya berdekatan dengan kawasan Suwung Batan Kendal sebagai kawasan etnik muslim dengan kesenian rodatnya yang khas, mengingatkan penulis pada peris-tiwa budaya terutama kegiatan upacara di puri Pemecutan Den-pasar, yang selalu melibatkan kesenian Rodat dari desa Suwung-Pemogan. Hal ini disebabkan karena secara budaya masih ada kedekatan emosional dengan kerajaan Badung (Puri Pemecutan) sebagaimana juga terjadi di Karangasem antara keturunan mus-lim Sasak (Islam Waktu Telu) dengan Puri Karangasem.

Situasi kerukunan hidup dengan sikap toleransi yang tinggi penting untuk dikemukakan. Ditengan-tengah suasana disinte-grasi bangsa dan pergolakan politik yang kian carut –marut. Pen-ulis ingin menyingkapi persoalan bangsa itu dengan mengusung tema persatuan. “Lekesan” adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebutkan benda yang berisikan bermacam-macam un-sur dikemas dalam satu ikatan. Dalam konteks garapan “Leke-san” adalah sebuah karya yang beranjak dari kelisahan menyikapi suatu fenomena sosial dalam wadah Negara kesatuan yang teran-cam oleh riak-riak disintegrasi bangsa. Sebagai penggarap penu-

Page 165: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

155

lis melihat fenomena bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika su-dah bergerak diluar relnya, serta perjalanannya mulai tanpa arah terseret arus perubahan. Akibatnya, keragaman suku, agama, ras, dan latar belakang budaya yang luhur mulai terkontaminasi oleh serakahnya kepentingan individu maupun golongan yang sarat dengan muatan politis. Ujung-ujungnya rasa persaudaraan dan tali pengikat persatuan mulai tercabik, benih yang tertanam mulai rapuh.

Beranjak dari situasi seperti itu Penulis melalui konsepsi musikalitasnya ingin menawarkan solusi betapa perbedaan itu akan membentuk suatu kekuatan dan menjadikan hidup ini lebih indah dan bermakna dalam kehidupan, sebagaimana kekuatan keragaman ekspresi musikal bersatu padu membentuk harmoni kedamaian dan keindahan rasa dalam bingkai struktur komposisi yang saling mengisi satu sama lainnya . Esensinya penulis ingin menorehkan pesan keharmonisan hidup dalam wadah persatuan lewat karya sekaligus kritik terhadap fenomena faktual yang se-dang berkembang.

Dalam tabuh kreasi Lekesan ini penulis didalam mengekspre-sikan idenya tetap menggunakan barungan gong kebyar sebagai ansambel pokok yang diwajibkan, namun disana-sini ditambah-kan beberapa instrumen perkusi sesuai dengan kebutuhan gara-pan. Adapun dalam Tabuh Kreasi Lekesan penulis, penulis me-nambahkan barungan gong kebyar dengan 5 buah rebana, 4 buah kendang angklung , 2 buah tamburin dan 10 buah suling. Di-angkatnya instrumen bernuansa muslim dalam pada tabuh kreasi baru Lekesan tak terlepas dari sebuah upaya untuk mengusung tema diatas.

4. Kebyar Dipelajari di Seluruh Dunia Dijalur pendidikan formal keberadan gamelan gong kebyar

sudah merambah keberbagai Universitas yang ada diseluruh dunia seperti, UCLA, CAL ART, MIT, dan banyak lagi gamelan gong kebyar diluar kampus seperti yang dimiliki oleh Kedutaan maupun Konsulat Indonesia yang ada di Amerika Serikat. Dal hal yang sama juga terjadi dinegara-negara lain seperti Jepang, Australia dan Eropa.

Page 166: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

156

Sebuah pertanyaan sering muncul kenapa orang-orang barat khususnya musisi-musisi dunia demikian tertarik dengan gamelan gong kebyar. Dari hasil pengamatan penulis yang pernah menga-jar orang barat baik di Bali maupun diluar negeri, bahwasanya ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan mereka, yaitu gong kebyar memiliki karakter yang unik dan terbuka.

Keunikan terletak pada tangga nadanya yang berlaras pelog lima nada dengan sistem pelarasan menggunakan sistem ngum-bang-ngisep yang tidak dimiliki oleh alat-alat musik lainnya. Memiliki colotomic structure dimana masing-masing instrumen yang terdapat dalam barungan gong kebyar masing-masing me-miliki fungsi yang berbeda. Seperti kendang misalnya yang ber-fungsi sebagai pemangku irama (conductor) dalam dalam musik klasik, instrumen ugal dan trompong berfungsi sebagai pemang-ku melodi, instrumen jublag dan jegogan berfungsi untuk mem-pertegas ruas-ruas lagu, instrumen reong dan gangsa berfungsi untuk mengelaborasi kalima lagu melalui teknik pukulan ngubit, ngotek, norot dan oncang-oncangan, instrumen kajar berfungsi intuk memegang mat lagu, cengceng untuk memperkaya hiasan-hiasan lagu dan instrumen suling dan rebeb berfungsi untuk me-maniskan lagu.

Adanya teknik pukulan “kebyar” yaitu memukul gamelan secara serentak dengan aksi dramatis tanpa seorang conductor atau dirigen, aba-aba datang dari pemain ugal yang tidak ada pada musik dunia lainnya. Satu hal lain yang membuat para musisi barat kagum dengan gong kebyar adalah cara mengajar-kan gamelan kepada penabuh yang memakai sistem meniru dan menghafal, dimana pelatih memberikan contoh dari depan dan penabuh mengikuti dan menghafalkan. Dengan menghafalkan semua elemen yang membentuk musik tersebut dan berusaha bernyanyi dalam hati sambil bermain, maka secara tidak lang-sung kita sudah bermain dengan perasaan dan jika perasaan di-barengi dengan penghayatan disanalah letak jiwa dari lagu yang sedang dimainkan.

Tantangan masa depanUntuk menjawab tantangan masa depan, sangat dibutuhkan pencip-

Page 167: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

157

ta-pencipta yang unggul, mampu mencipta agar kebyar tidak menjadi musik yang ramai (baroque) tanpa melodi yang jelas. Karena melodi merupakan kekuatan dasar dalam permainan gamelan Bali. Perlu ad-anya keberanian untuk berinteraksi dan berkolaborasi dengan musisi-musisi dari dunia lain seperti dari Amerika, Eropa, India dan Jepang yang sudah barang tentu memiliki aliran musik yang berbeda. Berani mengangkat kebyar menjadi musik kontemporer yang serius .

Daftar PustakaBandem, I Made and Fredrik deBoer. Kaja and kelod Balinese Dance in Transi-

tion. Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1981.Covarrubias, Miguel. Islang of Bali. New york: Alfred A. Knopf, 1942Dibia, I Wayan and Rocina Ballinger. Balinese Dance. Drama and Music. Singa-

pore: Periplus Editions, 2005.Mc Phee, Colin. Music in Bali. New Haven and London: Yale University Press,

1966.Tenzer, Michael. Gamelan Gong kebyar : The Art of Twentieth-Century Balinese

Music. Chicago and London: The University of Chicago Press,2000Zoete, Beryl and Walter Spies. Dance and Drama ini Bali. New York : Thomas

Yoselof, 1958.

Page 168: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi
Page 169: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

P E M E T A A N M E D I A T R A D I S I O N A L K O M U N I K A T I F

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

MENGEMAS SENI TRADISI SUMATERA UNTUK

MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL 4

Page 170: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

160

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof. Dr. Daryusti, M.Hum. Lahir di Lubuk Basung, Agam, 28 Desember 1960.Ketua STSI Padangpanjang ini menyelesaikan program Doktor pada Program Studi

Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar (2006).Sejak tahun 1987 menjadi staf Pengajar Jurusan Tari STSI Padangpanjang. Selain itu

juga menjadi Pengajar Luar Biasa Akademi Bahasa Asing (AB) Bukittinggi. Penanggung-jawab Pascasarjana STSI Padangpanjang ini telah cukup banyak melakukan penelitian dan membuat karya seni.

Beberapa buku yang pernah diterbitkan antara lain Fleksibelitas Gerak Dalam Tari (1992), Interdependensi Seni Tari dengan Seni Lainnya (1996), Estetika Tari (1996), Be-berapa Perspektif dalam Tari (2000), Kajian Tari dalam Berbagai Segi (2001), Sistem Penganalisisan dalam Tari (2003), Hegemoni Penghulu Dalam Perspektif Budaya (2006), Etnologi Tari (2006) dan Analisis Tari (2007).

Tulisan dan karya ilmiah Prof. Daryusti juga banyak dipublikasikan di Majalah Berka-la Penelitian Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Majalah Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, Jurnal IDEA Seni Pertunjukan BP. Fasper ISI Yogyakartadan Majalah Jurnal Penelitian STSI Padangpanjang.

Peraih Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya X Tahun (2006) ini pernah merebut penghargaan sebagai Dosen Teladan III ASKI (Akademi Seni Karawitan Indone-sia) (1993) dan Dosen Teladan I STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padangpanjang (1997)..Alamat Kantor: Jln. Bundo Kanduang No. 35 Padangpanjang Sumatera Barat.Alamat Rumah: Jln. Dr. Abu Hanifah No. 26 RT VIII Kel. Guguk Malintang Kec. Padangpanjang Timur Padangpanjang Sumatera Barat.

Page 171: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

161

Ragam Kemasan Seni Tradisi Sumatera Barat dalam Komunikasi Sosial

Rakyat dan Pemerintah

Prof. Dr. Daryusti , M.Hum, Ketua STSI Padang Panjang

Pendahuluan

Sumatera Barat merupakan daerah administrasi pemerintahan Re-publik Indonesia. Daerah Sumatera Barat secara keseluruhan ter-diri atas 19 kabupaten dan 7 kota. Masing-masing kota paling

sedikit memiliki 2 kecamatan dan masing-masing kabupaten memiliki paling sedikit 8 kecamatan. Setiap kecamatan terdiri atau kelurahan atau nagari1. Setiap nagari memiliki seni tradisi. Daryusti (2006) men-gatakan bahwa setiap nagari di Sumatera Barat mempunyai seni tradisi, setiap tradisi tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Dalam hal ini yang menyebabkan perbedaan fungsi tersebut disebabkan adanya faktor agama dan adat setempat. Perbedaan tersebut terlihat dalam ma-syarakat tradisional yang menempatkan kesenian sebagai sesuatu yang memiliki fungsi dan kedudukan yang penting terutama dalam upacara adat.

Seni tradisi dikembangkan oleh masing-masing masyarakat pendu-kungnya. Warisan seni tradisi merupakan modal budaya masyarakat yang terus menerus dipertahankan untuk kepentingan sosial, karena seni mengandung nilai-nilai dan makna di dalamnya. Setiap seni tradisi akan dapat berkomunikasi sosial yang sesuai dengan ukuran pendu-kungnya, karena setiap orang daya serapnya terhadap seni akan ber-1 Nagari adalah gabungan desa-desa yang mempunyai satu kesatuan sosial.

Page 172: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

162

beda. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa seni hadir dalam kehidupan masyarakat sebagai pendukung merupakan bagian terpenting sesuai dengan kebutuhan hidup.

Masyarakat sebagai pendukung seni tradisi dalam kehidupan sehari-hari selalu bertemu dengan berbagai gejala kehidupan dari segi kein-dahan untuk kepuasan batin. Secara berkelompok masyarakat sebagai pendukung seni tradisi akan bekerjasama untuk melestarikan seni yang berada di lingkungannya. Kerjasama tersebut dilakukan dengan komu-nikasi yang efektif melalui simbol dan kesepakatan antar individu dan kelompok. Komunikasi masyarakat atau para pendukung dalam ling-kungan seni tradisi yang ada individu dan kelompok akan dihadapkan kepada masalah-masalah yang dalam situasi untuk disepakati, karena manusia turut serta menciptakan keberadaan seni tradisi di lingkungan-nya.

Kondisi Masa LaluSecara umum ragam kemasan seni tradisi Sumatera Barat dalam ko-

munikasi rakyat dan pemerintah dapat dibagi dua kelompok, yaitu seni pertunjukan dan seni rupa. Seni yang termasuk kelompok seni pertun-jukan adalah seni tari, seni musik, dan seni teater. Seni yang termasuk kelompok seni rupa adalah terdiri dari seni kriya dan seni artistik.

Amir M.S (1997) mengatakan bahwa ajaran tentang “spiritisme-animisme” adalah ajaran yang berhubungan dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang dan kepercayaan terhadap benda yang mempunyai roh. Kepercayaan tersebut memunculkan keanekaragaman bentuk tari di Sumatera Barat, yang sebagian besar berkembang di kalangan ma-syarakat. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sesungguh-nya bentuk seni di Sumatera Barat, dalam hal ini seni tari, lahir di dalam masyarakat dan oleh masyarakat.

Mansoer dkk. (1970) menjelaskan bahwa Islam masuk dan berkem-bang di daerah Sumatera Barat dibawa oleh pedagang-pedagang dari Aceh pada akhir abad ke-16. Dengan masuknya Islam, Amir M.S. (1997) menjelaskan bahwa, baik secara eksplisit maupun implisit orang Minangkabau percaya akan adanya kekuatan gaib. Oleh karena itu, maka upacara-upacara yang berhubungan dengan seni pertunjukan, khususnya pertunjukan tari, yang mengandung unsur bukan Islam, yak-ni yang berupa mitos, sering dipentaskan. Sebagai contoh di Sumatera

Page 173: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

163

Barat pada masyarakat Padang Laweh mitos didasarkan kepada keper-cayaan yang lebih dari fakta. Oleh karena mitos merupakan kesadaran langsung masyarakat tentang realitas yang dipercaya untuk menangkap dunia realitas dengan kepercayaan yang diyakini. Hal ini dapat dili-hat pada pertunjukan tari Alang Suntiang Pangulu dalam masyarakat Padang Laweh.

Tari Alang Suntiang Pangulu menurut kepercayaan masyarakat Na-gari Padang Laweh merupakan tari yang dipertunjukkan untuk ritual upacara penobatan penghulu oleh kaum atau suku. Dalam hal ini di-perkenankannya tari ini dipertunjukkan, yakni ditentukan oleh berbagai aturan. Pertama, sebelum tari Alang Suntiang Pangulu dipertunjukkan salah seorang kemenakan dari penghulu yang akan dinobatkan harus menyediakan sesaji atau jamba yang berisikan siriah langkok (sirih lengkap) dalam carano, dan diletakkan di depan penghulu yang akan dinobatkan. Syarat tersebut sudah merupakan keyakinan masyarakat Padang Laweh sampai saat ini. Dengan demikian, maka mitos dapat dikatakan tidak untuk diukur dan dijelaskan dengan ukuran kebenaran rasional manusia, tetapi untuk dipahami dan dihayati maknanya serta dipercaya. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Imran dkk. (2002) bahwa pemikiran dalam mitos hanya dapat dibaca melalui pengkajian semiotik terhadap simbol-simbol yang digunakan.

Kepercayaan terhadap mitos bercampur dengan agama Islam tertu-ang di dalam bentuk kesenian Sumatera Barat, khususnya seni tari. Hal ini dapat dilihat karena adanya sesaji atau jamba sebagai syarat untuk penyajian tari Alang Suntiang Pangulu. Sementara itu, sesaji atau jam-ba tersebut dibacakan doanya menurut syariat agama Islam.

Uraian di atas menunjukkan bahwa adat dan agama di Sumatera Barat merupakan satu kesatuan yang saling menunjang dan kait-men-gait. Said (2004) menyatakan bahwa adat adalah aturan-aturan tentang kehidupan manusia yang disepakati penduduk dalam suatu daerah ter-tentu untuk mengatur tingkah laku anggota masyarakat sebagai kelom-pok sosial. Selanjutnya, setiap manusia yang berada dalam lingkaran kehidupan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unit so-sial, atau dengan kata lain seluruh mekanisme kehidupan sosial bagi semua anggota dijiwai oleh adat. Oleh karena itu, maka manusia telah menerima adat secara total sebagai sistem kehidupan sosialnya serta percaya bahwa hanya dengan berpedoman pada adatlah ketenteraman

Page 174: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

164

dan kebahagiaan bagi setiap anggota masyarakat dapat terjamin. Di samping itu, adat bagi masyarakat Padang Laweh, yakni untuk menga-tur kehidupan manusia dari hal yang sekecil-kecilnya sampai kepada masalah yang lebih luas dan besar.

Kedua, aturan adat untuk bertingkah laku dalam perbuatan yang sekecil-kecilnya dapat dilihat dari tempat duduknya penghulu yang dinobatkan di rumah gadang (rumah adat) pada saat pertunjukan tari Alang Suntiang Pangulu. Penghulu yang dinobatkan diapit kiri kanan oleh penghulu lainnya. Sementara itu, adat yang mengatur pertunju-kan tari Alang Suntiang Pangulu tentang hal yang lebih besar dan lebih luas, seperti mengatur besarnya kekuasaan penghulu terhadap tari Al-ang Suntiang Pangulu dalam masyarakat Padang Laweh. Dalam kekua-saan penghulu terdapat adat yang mengatur pentingnya mewujudkan persatuan masyarakat Padang Laweh dan tentang dapat atau tidaknya tari Alang Suntiang Pangulu dipertunjukkan. Penghulu yang dinobat-kan duduk diapit penghulu lain; hal ini merupakan pernyataan rasa menghormati dan mencintai penghulu yang dinobatkan. Selain itu, hal ini juga mengatur tentang prinsip persatuan dan kesatuan untuk menca-pai tujuan bersama, di samping telah memegang dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi yang disebut musyawarah dan mufakat.

Perihal untuk kepentingan hidup manusia, Koentjaraningrat (1984) mengatakan bahwa agama erat hubungannya dengan upacara-upacara religius dan menentukan tata alur unsur-unsur acara serta rangkaian alat-alat yang dipakai dalam upacara itu. Dalam hal ini Al-Quranul Karim sebagai sumber hukum dalam Agama Islam yang diwahyukan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW berisi ajaran dan perintah Allah tentang mempelajari alam semesta untuk kepentingan hidup ma-nusia, baik secara peribadi maupun secara mufakat. Pada masyarakat Padang Laweh dapat dilihat, baik secara peribadi maupun pada cara bermusyawarah saat tari Alang Suntiang Pangulu dipertunjukkan un-tuk penghulu yang dinobatkan dan didudukkan di antara penghulu lain. Dalam hal bermasyarakat pada umumnya, masyarakat Padang Laweh mengakui kekuasaan penghulu terhadap tari Alang Suntiang Pangulu.

Berdasarkan uraian adat dan agama yang terkait dalam pertunjukan tari Alang Suntiang Pangulu, maka adat dan agama dalam pertunjukan tari tersebut pada masyarakat Padang Laweh mengandung ajaran pokok sebagai berikut.

Page 175: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

165

1) Aturan yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Tu-han-Nya, yaitu adanya agama.

2) Aturan yang mengatur tentang hubungan antarsesama manusia, yaitu antara penghulu dengan kemenakannya.

3) Aturan yang mengatur tentang membina persatuan dalam ma-syarakat Padang Laweh.

4) Aturan tentang memegang teguh prinsip musyawarah dan mu-fakat antara sesama penghulu.

5) Selanjutnya, hubungan adat dan agama lebih lanjut dalam ma-syarakat Padang Laweh digambarkan dengan simbol kelengka-pan berdirinya sebuah nagari. Simbol nagari adalah balai adat dan masjid. Tidak lengkap dan sempurna suatu nagari apabila salah satu dari dua institusi yaitu balai adat dan masjid tidak ada. Balai adat adalah lembaga kebudayaan tempat penghulu nagari mengadakan rapat atau musyawarah sesama penghulu dan ma-syarakat Padang Laweh. Masjid merupakan lembaga agama tempat sholat dan musyawarah penghulu dengan masyarakat Padang Laweh.

Perpaduan antara keduanya kemudian melahirkan suatu pepatah Minangkabau yang berbunyi, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, artinya ‘adat bersendikan agama, agama bersendikan kitab (Al Quran)’. Dengan demikian, maka tari Alang Suntiang Pangulu di Padang Laweh Sumatera Barat memiliki hubungan yang erat dengan agama Islam.

Ketiga, para penari tari Alang Suntiang Pangulu menari di atas ti-kar yang dibentangkan dalam rumah gadang (rumah adat). Para penari tidak diperbolehkan keluar dari tikar selama menari dan tidak dibenar-kan atau dilarang untuk melintasi arena pertunjukan. Apabila ada yang melintasi penari atau melanggar ketentuan ini, dikenakan denda seekor ayam singgang (daging ayam yang digulai dan dimasak hingga kental kuahnya).

Tari ini biasanya dibawakan oleh dua orang, empat orang, atau pun enam orang laki-laki secara berpasangan. Penari yang berjumlah genap tersebut sudah mentradisi dalam masyarakat Padang Laweh. Di samp-ing itu, pemilihan penari laki-laki dilandasi oleh pandangan perihal tabu bagi wanita untuk menari di depan umum. Di samping itu, tari Alang

Page 176: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

166

Suntiang Pangulu dibawakan dengan iringan musik. Alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari Alang Suntiang Pangulu adalah adok, gandang (gendang), dan talempong pacik. Selain itu, tari ini diir-ingi dengan tepukan tangan dan dendang (vokal).

Keempat, tari ini dapat dibawakan oleh masyarakat dalam lingkun-gan Nagari Padang Laweh. Seandainya ada penari di luar Nagari Padang Laweh yang berkeinginan untuk mempelajari tari Alang Suntiang Pan-gulu, tidak dibolehkan oleh para penghulu dan angku atau rang mudo (gelar yang diberikan kepada seseorang untuk bertukar pikiran dengan para penghulu, yakni pengangkatan angku tersebut sama dengan pen-gangkatan penghulu yang baru diangkat). Selanjutnya, seandainya ada di antara penari yang mengajarkan tari ini pada penari di luar Nagari Padang Laweh, tanpa seizin para penghulu dan angku, maka penga-jar tari tersebut diusir dan dikucilkan dari nagarinya. Mengusir pen-gajar tari tersebut merupakan salah satu bentuk kekuasaan penghulu. Bahkan, faktor sejarah menunjukkan bahwa penghulu pernah mengu-sir atau mengeluarkan Inun Pakiah Bungsu, Wih Sutan Maralauik, dan Tara Jali Sutan Majo Kayo secara adat (pada 1970) karena mengajarkan tari Alang Suntiang Pangulu di ASKI (Akademi Seni Karawitan Indo-nesia) Padangpanjang dalam rangka pertunjukan di Jakarta Fair.

Daryusti (2006) komunikasi akan berhubungan dengan manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia lain-nya. Pada umumnya setiap orang membutuhkan hubungan sosial den-gan orang lain. Kebutuhan akan terpenuhi melalui pertukaran peran dan pikiran yang dapat berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa berkomunikasi den-gan orang lain akan terisolasi.

Interaksi terlihat pada cara-cara berhubungan. Hal ini tampak ke-tika orang perorang dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Dengan interaksi akan muncul proses sosial yang diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama. Interaksi yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarindividu. Dalam hal ini, komunikasi akan tercapai atau sukses apabila bentuk-bentuk hubungan komunikasi menggambarkan upaya yang sadar dari kelompok yang berkomunikasi dengan tujuan mencapai kebutuhan untuk bersatu. Hal ini akan memperlihatkan keharmonisan sosial dalam masyarakat.

Page 177: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

167

Komunikasi terjadi jika ada unsur pesan dan penerima pesan. Dalam hal ini individu dan kelompok akan dihadapkan kepada masalah-ma-salah yang ada dalam suatu situasi karena suatu pesan harus disepakati dalam masyarakat. Dengan kata lain, integrasi dapat mempengaruhi orang yang berkomunikasi.

Soekanto (1993) mengatakan bahwa suatu interaksi tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu adanya kon-tak sosial dan komunikasi. Secara harfi ah, kontak sosial adalah bersa-ma-sama menyentuh, sedangkan secara fi sik, kontak baru terjadi apabi-la terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial, kontak tidak berarti hubungan badaniah. Orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, seperti berbicara dengan pihak lain. Di samp-ing itu, sesuai dengan perkembangan teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu dengan yang lainnya melalui telepon, telegrap, radio, surat, dan lain-lain yang tidak memerlukan sentuhan secara fi sik. Davis (1960) mengatakan bahwa hubungan badaniah tidak perlu men-jadi syarat utama terjadinya kontak.

Dalam hal ini kontak diperlukan antara penghulu dengan angku atau rang mudo atau sesepuh tari Alang Suntiang Pangulu dengan penari dan masyarakat. Di samping itu, mereka telah mengetahui dan sadar akan kedudukannya masing-masing. Hal ini berarti bahwa masing-ma-sing pihak siap untuk mengadakan interaksi sosial, yakni di satu pi-hak, dalam hal ini penghulu dan angku, memberikan instruksi kepada masyarakat, penari, dan pemusik. Kontak sosial pada penghulu dengan masyarakat dan penari akan dapat berlangsung dalam dua bentuk, sep-erti uraian berikut ini.

a. Kontak sosial antara penghulu dengan penari, pemusik, dan ma-syarakat terkait dengan larangan mengajarkan tari Alang Sun-tiang Pangulu di luar Nagari Padang Laweh, Sumatera Barat. Apabila ada penari, pemusik, dan masyarakat yang mengajarkan tari ini di luar Nagari Padang Laweh akan diusir secara adat.

b. Kontak sosial antara penghulu dengan angku. Angku adalah tempat penghulu berkonsultasi tentang kemajuan dan kejadian-kejadian yang ditemui oleh penari, pemusik, dan masyarakat.

Interaksi penghulu dengan kaum atau masyarakat mempunyai be-berapa unsur pokok yang terkait dalam kehidupan masyarakatnya. Hal

Page 178: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

168

ini berkaitan dengan rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, pemujaan, dan kekuasaan tradisional.

Desmawardi (2007) Musik Dikie sangat populer dikalangan yang menamakan dirinya ”kaum kuno” di Sumatera Barat terutama dalam kabupaten Padang Pariaman. Pertunjukan Musik Dikie umumnya dit-ampilkan pada malam hari sesudah shalat Isya sampai menjelang ma-suk waktu Subuh. Sehingga Musik Dikie merupakan nyanyian malam ”kaum kuno”. Teks-teks nyanyian bersumber dari kitab Maulud Sariful Anam berbahasa Arab, teks-teks tersebut bertemakan tentang pemujaan terhadap Allah SWT., dan kisah-kisah para nabi Allah terutama nabi Muhammad SAW. dan manyanjung nabi Muhammad SAW., yang di-yakini sebagai pembawa ajaran Islam dimuka bumi ini. Pada mulanya Musik Dikie merupakan salah satu media untuk mengumpulkan sege-nap orang agar dapat mendengarkan syair-syair Arab yang bertemakan pemujaan kepada sang pencipta serta sanjungan terhadap nabi Muham-mad SAW., dan setelah mereka terkumpul maka sang Ungku2 akan memberikan pelajaran-pelajaran tentang ajaran Islam. Syair-syair Dikie yang disajikan tersebut secara umum tidak dimengerti artinya (bahasa Indonesianya) baik sang si-seniman maupun si-pendengar. Mereka hanya meyakini bahwa yang didendangkan itu adalah hal yang baik dipandang secara ajaran Islam dan melodi yang dimainkan menyentuh jiwanya, sehingga menimbulkan rasa senang, puas, rasa aman dan nya-man, bahagia. Akibat dari perasaan itu sangat kuat, mereka terpaku, terharu, terpesona, serta keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu, walaupun telah dinikmati berkali-kali, sehingga timbullah kesenian yang bernuansa Islam. Dalam pengembangan Islam di Sumatera Barat sering dimulai dari seni musik dan pada akhirnya menjadi musik tradis-ional Sumatera Barat yang bernuansa Islam. Pergeseran nilai menjadi hiburan dan kontemplasi terhadap sang pencipta akan menambah per-bendaharaan seni pertunjukan Sumatera Barat

Musik Dikie yang berkembang pada yang berkembang pada ma-syarakat ”kaum kuno” ini disajikan dalam bahasa Arab tanpa memakai alat musik, mereka bernyanyi dalam bentuk bersahut-sahutan dan pada bagian-bagian tertentu berbentuk koor. Sebelum penyajian Musik Dikie, terlebih dahulu mereka berdoa yang dipimpin oleh seorang Ungku memohon kepada sang pencipta mengharapkan keridhaanNya. Dalam 2 Ungku adalah ulama dari kaum kuno atau ustaz

Page 179: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

169

penyajian Dikie mereka selalu menekankan keharmonisan dalam keber-samaan. Dalam perjalanannya, Musik Dikie merupakan pencerminan dari suatu kultur yang berkembang dari masyarakat kecil yang saling mengenal secara akrab dan komunikatif. Seni tradisi bukan merupakan hasil kreativitas individu-individu, tetapi tercipta secara anonim ber-sama dengan sifat kreativitas masyarakat yang menunjangnya.

Musik Dikie hanya dimainkan oleh para lelaki, dan keterlibatan kaum wanita hanya sebatas menyiapkan hidangan dengan berbagai bentuk dan jenis makanan sesuai dengan konteks penyajian waktu itu. Bila di-perhatikan pada waktu penyajian Dikie dalam Maulud nabi, maka para ibu-ibu harus menyiapkan hidangan yang sangat mewah seperti nasi jamba, berbagai jenis kue dan segala macam jenis buah yang musim saat itu. Kue-kue tersebut dihiasi sangat indah sesuai dengan nilai seni yang dimiliki kaum ibu, begitu juga halnya dengan buah-buahan ditata dengan rapi, sehingga upacara maulud terkesan sangat mewah.

Penyajian Musik Dikie tidak menuntut banyak penonton atau tidak menentukan siapa penontonnya. Para penonton akan datang dan pulang sesuai dengan kehendaknya sendiri-sendiri, mereka tidak diharuskan memakai pakaian tertentu, seperti orang menonton pertunjukan musik Jaz yang harus berpakaian rapi dan kapan perlu memakai dasi. Penon-ton Musik Dikie bebas saja mau duduk atau berdiri, mau ngobrol atau memang benar-benar memperhatikan apa yang dibaca dan dinyanyikan tukang Dikie, semua terserah penonton.

Walau Musik Dikie dapat dimainkan secara individu dan dapat di-iringi dengan alat musik, namun para penyaji musik dikalangan ”kaum kuno” ini tidak membiasakan penampilannya secara individu, bahkan tak pernah mereka lakukan hal ini menggambarkan sifat kegotong royongan yang sangat kental antara sesama pemusik (seniman Dikie). Semakin larut malam penyajian Dikie, membuat suasana semakin melankolis dan konsentrasi pemain semakin tinggi, bahkan tak jarang terjadi mereka menangis bahkan ada yang sampai intren tak sadark-an diri. Menurut pengakuan para tukang Dikie apabila mereka telah mencapai klimaks dalam pertunjukannya, maka mereka akan menangis atau intren, karena saat itu seolah-olah mereka melihat segala kebesa-ran Ilahi.

Pertunjukan Musik Dikie di kalangan ”kaum kuno” biasa disajikan pada saat adanya peristiwa maulud nabi, dan peringatan hari-hari besar

Page 180: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

170

Islam lainnya kemudian peringatan 7 hari, 2 x 7, 40 hari bahkan 100 hari seseorang setelah meninggal dunia yang biasa disebut mando’a.(manujuah hari, manduo kali tujuah, maampek puluah, dan manyara-tuih).

Seni Teater Pada Masa LampauRandai suatu bentuk teater rakyat tradisional Sumatera Barat. Zulki-

fl i (1993) randai sebagai teater rakyat, randai hidup dalam kehidupan rakyat, dimainkan oleh rakyat untuk rakyat itu sendiri. Sebagai kes-enian tradisional, randai hidup bersama tradisi-tradisi yang berlaku dalam masyarakatnya. Ia hadir atau ditampilkan dalam upacara-upa-cara tradisional, waktu pesta penen, helat perkawinan, helat batagak penghulu, dan helat- helat lainnya.

Kehadiran randai dalam upacara-upacara itu hanya sebagai peleng-kap dan penyemarak. Dengan arti kata, tanpa randai upacara-upacara tersebut masih bisa tetap dilaksanakan. Akan tetapi sebagai kesenian tradisional rakyat, randai jelas dapat mempertebal rasa ketradisian dan karakyatan terhadap upacara-upacara tradisional.

Apabila diperhatikan penggarapan randai yang berbentuk teater, padanya terdapat unsur-unsur pokok yaitu, cerita, dialog dan akting, dendang yang disebut gurindam, dan galombang atao gerakan-gerakan tari bersumber pada gerakan-gerakan pencak silat tradisional Sumatera Barat yang dilakukan dalam formasi melingkar oleh pemain- pemain-nya, maka ada benarnya jika randai dikatakan berasal dari andai atau handai, rantai, dan ravan-li-da’i, karena pada kesenian tersebut terdapat unsur-unsur penceritaan yang bersifat kiasan atau pengandaian yang disampaikan oleh para pemain dalam bentuk dialog dan akting.

Cerita yang disajikan dalam randai pada awalnya mengutamakan cerita yang berisi tentang pejaran-pelajaran adat istiadat Sumatera Barat yang bermanfaat untuk publik, penyampaian ajaran-ajaran terse-but dalam bentuk dialog dan akting pada penampilan randai dekat dengan pengertian dakwah dalam Islam. Gerakan-gerakan galombang yang dilakukan oleh para pemain randai dalam formasi melingkar dapat diinterprestasikan berbentuk lingkaran seperti rantai.

Seni Arsitektur Pada Masa LaluRumah gadang (besar) Sumatera Barat dibangun di atas tiang, rumah

Page 181: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

171

gadang mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupak-an arsitektur yang khas serta membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di edaran garis khatulistiwa.

ArsitekturSumatera Barat sebagai suku bangsa menganut falsafah alam ter-

kembang jadi guru, menyelaraskan kehidupannya pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang disebut bakarano bakajadian (bersebab dan beraki-bat), yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan.

Bentuk dasar rumah gadang berbentuk segi empat yang tidak sime-tris yang mengembang ke atas. Garis melintangnya melengkung secara tajam dan juga landai dengan bagian tengahnya lebih rendah. Lengkung pada atapnya tajam seperti garis tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah landai seperti badan kapal.

Garis segi empat yang membesar ke atas dikombinasikan dengan garis yang melengkung rendah di bagian tengah secara estetika meru-pakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat dari sebelah sisi bangunan, maka segi empat yang membesar ke atas ditutup, semuanya memben-tuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup.

Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang merupakan satu kesatuan.

Navis (1986) semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang yang dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus. Semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga se-luruh dinding menjadi penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya.

Ajaran falsafah Sumatera Barat yang bersumber dari alam terkem-bang, sifat ukiran nonfi guratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya tumbu-han merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk lingkaran. Akar berjajaran, berhimpitan, ber-

Page 182: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

172

jalinan, dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah.

Akar itu bervariasi banyak, maka masing-masing diberi nama. Pemeberian nama itu tergantung garis yang dominan pada ukiran. Pada dasarnya nama yang diberikan ialah sebagai berikut.

1. Lingkaran yang berjajar dinamakan ular gerang karena ling-karan itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang sedang melingkar.

2. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena ben-tuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain.

3. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau jarek (jerat) karena mernyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan.

4. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dinamak-an kambang (kembang = mekar).

5. Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk).

6. Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk tingkatan lingkaran itu sama atau tidak sama.

Nama ukiran geometri bersegi tiga pada umumnya disebut dengan pucuk rebung. Nama pucuk rebung diambil karena pucuk rebung me-mang runcing seperti segitiga maknanya adalah ajaran tentang orang yang berguna. Ukiran segi empat genjang dinamakan sayat gelamai karena bentuknya seperti potongan gelamai yang disayat genjang. Sim-bol potongan gelamai ini mengingatkan terhadap makanan khas dari Payakumbuh Sumatera Barat

Seni Kriya Pada Masa Lampau. Yuli (2008) Kelurahan Jalan Baru Pariaman memiliki masyarakat

yang sangat kreatif dan inovatif memanfaatkan dan meningkatkan lim-bah lidi sebagai barang yang berfungsi serta bernilai tinggi, salah sa-tunya cara adalah dengan mengolah bahan lidi dengan menggunakan

Page 183: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

173

teknik anyaman sehingga menghasilkan benda-benda bernilai guna dalam kehidupan sehari-hari denagn berbagai bentuk yang unik dan menarik. Kemunculan anyaman lidi ini juga dilatar belakangi oleh tun-tutan profesi dan tanggung jawab moril Syafruddin sebagai salah satu staf dinas perindustrian kota Pariaman.

Lahirnya ide dalam membuat anyaman lidi merupakan satu anu-grah yang sangat besar yang diilhamkan kepada Syafruddin oleh Allah SWT dan dibantu oleh doa dan restu anggota keluarga, sehingga usaha keluarga tersebut diberi nama “Usaha Anyaman Lidi Ilham”. Dengan semangat dan dukungan dari teman-teman seprofesi, usaha ini berjalan dan berkembang dengan pesatnya, terbukti baru beberapa bulan berja-lan, kriya anyaman lidi milik Syafrudin sudah mendapat tempat di hati masyarakat, baik di dalam maupun di luar wilayah Pariaman.

Benda anyaman lidi yang permukaannya berbentuk lingkaran, ini dapat dilihat dalam beberapa jenis produk antara lain piring, tudung saji, dan carano.

a. Piring Piring yang dimaksud disini bukanlah bentuk piring yang se-

benarnya seperti piring porselen yang biasa di temukan dalam kehidupan sehari-hari di meja makan, akan tetapi piring anyaman ini bentuknya miring layah menyerupai piring makan namun ti-dak bisa difungsikan seperti piring makan biasa, akan tetapi pir-ing yang dimaksud digunakan sebagai alas (tadah) ketika kita akan makan nasi bungkus, seperti yang pernah dilakukan oleh se-bagian penjual nasi sek (nasi tanpa lauk pauk dibungkas dengan daun sebanyak satu kepal) dipinggir pantai Pariaman dan seba-gian penjual pecel lele Wong Solo baik yang ada di kota Pariaman maupun Wong Solo yang ada di kota Padang dan sebagian daerah yang ada di pulau Jawa. Piring-piring ini memiliki ukuran diam-eter 11 cm untuk alas dan 20 cm untuk badan sedangkan tinggi piring 2 cm untuk kaki, dan 3 cm untuk tinggi badan. Ada juga piring ini difungsikan sebagai tempat buah tergantung bagaimana si konsumen menempatkannya. Karena anyaman berbentuk pir-ing ini pernah dipesan oleh Yosa Katering dari Padang, dimana benda tersebut digunakan sebagai wadah tempat buah pada meja tamu di setiap acara pesta.

Page 184: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

174

b. Tudung sajiTudung saji ini digunakan untuk menutup makanan di atas

meja makan. Tudung saji pada umumnya terbuat dari bahan plas-tik dan anyaman rotan, hal itu sudah menjamur dipasaran. Tapi kali ini tudung saji dibuat dari bahan lidi. Tudung saji dibuat den-gan ukuran berdiameter 40 cm dan tinggi 25 cm.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) istilah tudung berarti sesuatu yang diapakai untuk menutup atau melingkupi bagian se-belah atas. Dalam pada itu, masyarakat Padang Magek Sumatera Barat menyebut tudung atau penutup bagian atas dengan tuduang aia. Tuduang aia berguna sebagai penutup makanan dalam talam atau dulang tinggi.

c. CaranoCarano mepunyai peranan yang sangat penting dalam kehidu-

pan masyarakat Sumatera Barat, yang digunakan sebagai tempat sirih dan perlengkapannya, yang disuguhkan pada setiap acara adat. Carano ini biasanya dibuat dari bahan logam atau kuningan, namun kali ini Syafrudin mencoba membuat carano dari anya-man lidi dengan pertimbangan karena keadaan krisis ekonomi semua bahan harganya sudah pasti naik, hal ini berimbasan pada harga jual carano yang terbuat dari logam. Dengan adanya carano dari bahan lidi dapat membantu meringankan beban masyarakat untuk memiliki carano, karena carano dari anyaman lidi harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan carano dari bahan logam atau kuningan.

Carano (cerana), berisikan sesaji daun sirih, pinang, sadah, dan tembakau yang ditutup dengan dalamak untuk pertunjukan tari Alang Sentiang Pangulu. Dalam hal ini carano (cerana) yang digunakan untuk pertunjukan tari Alang Suntiang Pangulu dapat dikatakan sebagai penanda. Dalam kehidupan sehari-hari carano di Minangkabau, Sumatera Barat dikenal sebagai tempat daun sirih, pisang, gambir, sadah, dan tembakau. Carano terbuat dari logam atau pun kuningan dengan permukaan sebelah atas (mu-lutnya) bulat seperti piring dengan diameter ± 33,5 cm, memiliki leher agak panjang dan alasnya berbentuk bulat dengan diameter ± 30 cm, atau lebih kecil dari permukaan sebelah atas carano. Penghubung antara permukaan dengan alas carano (leher cerana)

Page 185: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

175

dapat dipegang dengan tangan. Dalam adat Jawa, bentuk carano hampir sama dengan kecohan (tempat meludah). Sementara itu, di Bali carano hampir sama dengan istilah pengasapan yang di-gunakan untuk membakar dupa atau bubuk cendana oleh ped-anda. Biasanya carano yang telah diisi lengkap ditutup dengan dalamak.

Kondisi Masa SekarangKomunikasi sosial seni tradisi dengan pemerintah dapat dilihat pada

saat fungsi tari Alang Suntiang Pangulu adalah untuk menyambut tamu agung yang datang ke Nagari Padang Laweh, pesta pernikahan, dan khitanan. Dalam hal ini untuk memproduksi tari Alang Suntiang Pan-gulu sebagai ritual khitanan, pesta perkawinan, dan penyambutan tamu agung diperlukan ongkos produksi (production cost). Pada umumnya ongkos produksi (production cost) dibebankan kepada panitia kegiatan. Sebagai contoh, tari Alang Suntiang Pangulu pertama kali disajikan untuk ritual adat dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun Ke-merdekaan Republik Indonesia (1981) di Gedung Triarga Bukittinggi, yakni panitia pelaksananya diketuai oleh Jarmias Kasi Kebudayaan Kota Madya Bukittinggi. Dalam pada itu, tari Alang Suntiang Pangu-lu pada saat sekarang telah dapat disajikan sebagai sajian estetis.pada acara-acara di nagari masyarakat Padang Laweh dan di sekolah-sekolah sekitar nagari tersebut.

Kehadiran Musik Dikie saat ini juga berfungsi sebagai alat komu-nikasi antara rakyat dan pemerintah. Pada malam penampilan Musik Dikie, diundanglah unsur-unsur pemerintah untuk menyaksikan penampilan Musik Dikie tersebut. Diwaktu penampilan Musik Dikie ini disampaikanlah apa yang dimaksudkan oleh masyarakat kepada un-sur pemerintah ini melalui pantun-pantun atau dendang Dikie tersebut. Pantun itu seperti:

Batang aua paantak sawahPangkanyo sarang sipasinPado bapak diadokan sambahIndak madok ka nan lain Ligundi di sawah landai Sariak indak babungo lado Karano jalan kami tabangkalai

Page 186: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

176

Bantulah apo ala kadarnyo (Batang aur penahan sawah Pangkalnya sarang si pasin Kepada bapak terhadap sembah Tidak menghadap pada yang lain Ligundi di sawah landai Sariak tidak berbunga lada Karena jalan kami belum siap Bantulah kami ada adanya)

Keikutsertaan pemerintah Sumatera Barat membina dan mengem-bangkan kesenian randai mengakibatkan munculnya cerita randai yang berisikan pesan-pesan pembangunan seperti masalah KB, pertanian, K3, dan juga cerita yang mengandung nilai-nilai pendidikan Pancasila. Salah satunya dapat lihat dari usaha Dt Bandaro Putiah salah seorang pemuka adat di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam yang menggunakan randai Cindua Mato sebagaimedia penyuluhan pendidi-kan pada masyarakat sekitarnya.

Arsitektur tradisi Minangkabau khususnya bangunan rumah gadang, sekarang dipakai dalam bangunan kantor-kantor dengan memakai ciri atapnya yang berbentuk tanduk kerbau serta ada dinding atau palang atapnya dipakai dengan ukiran khas tradisi. Hal ini akan menampakkan ciri khas bangunan adat Sumatera Barat itu sendiri.

Seni anyaman lidi yang diproduksi dalam berbagai bentuk, pada masa sekarang makin dikembangkan dan makin dipromosikan untuk memajukan industri kecil rumah tangga. Pada zaman dahulu yang dibuat dalam bentuk piring atau yang disebut senggan, pada saat seka-rang dikembangkan dalam bentuk wadah-wadah seperti keranjang bun-ga atau keranjang buah. Sedangkan anyaman dengan bentuk tudung saji yang biasa dipakai untuk penutup makanan, juga sudah makin dikem-bangkan. Sekarang tudung saji dikembangkan dengan membuat hiasan-hiasan dinding atau penutup makanan dengan berbagai variasi sehingga dapat berbentuk cendra mata yang cantik.

Carano yang dikembangkan saat ini juga dikembangkan bentuk dan penggunaannya. Jika ada tamu-tamu resmi yang datang disuguhi den-gan sirih di carano yang dalam perjalanannya sirih dapat diganti dengan permen. Carano juga sekarang sudah diproduksi dengan berbagai ben-

Page 187: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

177

tuk yang dapat dijadikan sebagai cendramata sebagai ciri khas daerah Sumatera Barat.

Kemungkinan Pengembangan di Masa Yang Akan DatangSeni tradisi di Sumatera Barat seperti seni pertunjukan dan seni rupa

hendaknya menyebar dari satu tempat ke tempat lain seiring dengan persebaran masyarakat pendukungnya yang juga tidak selalu menetap di daerahnya, karena sudah banyak juga para pelaku seni tersebut yang merantau ke daerah lain untuk mencari kehidupan yang sesuai menurut mereka.

Dengan melihat pernyebaran masyarakat sebagai pendukung seni pertunjukan dan seni rupa sudah barang tentu kontak-kontak dengan masyarakat lain akan dialami. Upaya pembinaan seni dapat dilakukan dimana saja para pelaku seni tersebut berada. Sudah barang tentu pe-nyebaran seni tersebut akan berkembang pemetaannya.

Di samping itu pemerintah daerah sangat diharapkan peran sertanya untuk pengembangan seni tradisi dimasa datang. Terutama dibidang pembinaan dan pendanaan pada seni pertunjukan. Hal ini dapat dilaku-kan dengan meningkatkan frekwensi festival-festival atau keramaian-keramaian tentang seni, karena seni tradisi tersebut adanya di kantong-kantong setiap nagari yang ada di Sumatera Barat. Pada seni rupa juga diperlukan peningkatan dan komitmen dalam aplikasi banguanan dan pengembangan industri-industri kecil dengan pemberian kredit-kredit untuk pengembangan industri tersebut sebagai modal, serta selalu menggali seni tradisi tersebut.

PenutupRagam kemasan seni tradisi Sumatera Barat dalam komunikasi so-

sial rakyat dan pemerintah dapat dibagi dua kelompok yaitu seni per-tunjukan dan seni rupa. Seni pertunjukan pada umumnya di Sumatera Barat dapat dikatakan seni yang dipertunjukan untuk upacara ritual tertentu dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian ada juga yang dipertunjukan sebagai penyemarak dalam upacara adat seperti randai.

Sementara itu dalam seni rupa terutama dalam arsitektur dan seni kriya dapat dilihat dalam arsitek bangunan rumah gadang atau rumah adat Sumatera Barat yang saat ini digunakan pada bangunan-banguan kantor atau gedung-gedung pertemuan di Sumatera Barat. Dalam pada

Page 188: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

178

itu seni kriya dapat ditemui dalam karajinan-krajinan rakyat yang pada saat sekarang banyak dikembang dalam industri-industri kecil dalam kehidupan masyarakat Sumatera Barat sehingga dapat menambah sum-ber penghasilan masyarakat pengrajin.

Daftar PustakaDaryusti. 2006. Hegemoni Penghulu Dalam Perspektif Budaya. Yogyakarta :

Pustaka.Davis, Kingsley. 1960. Human Society. New York: The macmillan Company.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indone-

sia. Jakarta: Balai Pustaka.Desmawardi. 2007. ”Musik Dikie : Antara Tradisi dan Nilai-Nilai Religius dalam

Realitas Masyarakat ”Kaum Kuno di Nagari Ajo laweh Sumatera Barat”, Jur-nal Ekepresi Seni STSI Padangpanjang, volume 9,No.2.

Imran, Amran., Idris, Asmaniar., Johan, Bahder., Nan Sabatang, Dt. Perpati., Hodgson, Geoffrei A., Hamka., Sumatera Barat, LKAAM., Mansoer, M.D., Hatta, Mohammad., Gani, Rizanur., Soekmono., dan RPSDM, Tim. 2002. Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia dengan LKAAM Sumatera Barat.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.______________. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indo-

nesia Jakarta Press.M.S, Amir. 1977. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Ja-

karta: Mutiara Sumber Widya.Mansoer , MD., Imran, Amrin, Sofwan, Mardanas, Idris, Asmaniar, Buchari, Sidi I.

1970. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bharata.Navis, A.A. 1986. Alam Terkembang jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangka-

bau. Jakarta : Pustaka Grafi tipers.Said, A. A. 2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja dan Pe-

rubahan Aplikasinya pada Desain Modern. Yogyakarta: Ombak.Yuli Marni. 2008. “Deskripsi Kriya Anyaman Lidi di Kelurahan Jalan baru Paria-

man Tengah”, dalam Daryusti, ed. Seni Budaya Berkelanjutan Dalam Kehidu-pan Masyarakat, STSI Padangpanjang Pers.

Zulkifl i. 1993. “Randai Sebagai Teater Rakyat Minangkabau di Sumatera Barat: Dalam Dimensi Sosial Budaya”. Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Page 189: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

179

Page 190: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

180

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

SULAIMAN JUNED Lahir di Gampong (desa) kecil Usi Dayah Kecamatan Mutiara Kab. Pidie, Nangroe Aceh Darussalam, 12 Mei 1965. Kini memiliki istri dan seorang putra laki-laki. Menetap di Padangpanjang, menekuni pekerjaan sebagai Seniman, dosen tetap Jurusan Seni Teater di ISI Padangpanjang Sumatera Barat, Dosen Ahli di FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Daerah di Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat,

Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat, Guru teater di SMA Negeri 1 Padangpanjang Sumatera Barat, Guru Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Sore Padangpanjang. Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih belajar di SLTP. Karya puisi, cerpen, esai, drama, reportase budaya, artikel, kolom di muat di media seperti; Serambi Indonesia, Kiprah, Aceh Post, Aceh Ekspres, Srambi Mekkah Post (ACEH). Analisa, Dunia Wanita, Waspada (MEDAN). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Postmetro, Jurnal Palanta, (SUMATERA BARAT). Riau Post, Metroexpres (RIAU). Indefendent (JAMBI). Lampung Post (LAM-PUNG). Kedaulatan Rakyat, Majalah Seni Gong (YOGYAKARTA). Solo Pos dan Jawa Pos (JAWA TENGAH). Bali Post (BALI). Suara Karya Minggu, Republika, Media Indo-nesia, Kompas, Koran Tempo, Majalah Sastra Horison (JAKARTA). Majalah Bahasa dan Sastera (MALASYIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Jurnal Aswara (MALASYIA).

Antologi puisi tunggal berjudul ‘Riwayat’ mendapat Juara III dalam Lomba Penulisan buku pengayaan sastra tingkat nasional pada Pusat Perbukuan Dinas Pendidikan Na-sional (2007). Lelaki berkumis ini menyelesaikan studi S-1 di jurusan seni teater STSI Padangpanjang dengan yudisium Cumlaude, juga menyelesai Program Pascasarjana di Institut Seni Indonesia Surakarta dengan yudisium Cumlaude. Sering mengikuti seminar sastra, teater dan jurnalistik.

Ia juga sering terlibat dalam dunia musik, sebagai pemusik dan pembaca puisi. Juga sebagai dramatug pertunjukan teater. Soel juga aktif dalam organisasi seni dan pers ser-ta dipercayakan sebagai Dewan Penasehat Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Cabang Padangpanjang (2010-2015). Editor Novel “Cinta di Kota Serambi Karya Irzen Hawer diterbitkan Kufl et Publishing, Komunitas Seni Kufl et Padangpanjang, Sumatera barat (Maret 2010).

Soel sangat aktif dalam dunia teater, baik ketika masih di Aceh maupun kini bermukim di Padangpanjang, ia sudah memainkan 250 judul naskah lakon baik naskah luar negeri maupun dalam negeri, ia berperan jadi aktor menjadi tokoh yang tanpa dialog sampai menjadi tokoh utama. Sudah menyutradarai 152 judul naskah lakon baik dari karya penu-lis dunia-nasional-daerah. Dewasa ini Soel hanya mau menyutradarai naskah lakon yang ditulisnya atau naskah lakon yang diproduksi oleh rekan-rekannya di komunitas Kufl et. Teater-Sastra-Jurnalistik telah membawanya mengelilingi Indonesia; dari Aceh hingga Irian Jaya. Kini menetap di Jl. Dr. A.Rivai No. 146 RT.11 Kampung Jambak, Kelurahan Guguk Malintang, Kecamatan Padangpanjang Timur, Padangpanjang Sumatera Barat.

Page 191: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

181

Pendahuluan

Seni tradisi adalah gambaran kebudayaan suatu masyarakat pada sebuah daerah. Indonesia memiliki keberagaman seni lokalitas yang sangat kaya dengan kearifan lokal. Kekayaan kultur budaya

bangsa dalam seni tradisi secara tidak langsung memiliki karakter etnis yang sangat beragam dan berbeda.

Karya-karya yang dipertunjukan oleh seniman-seniman tradisional, merupakan suatu bukti betapa beragamnya kultur-seni dan budaya ma-syarakat Indonesia. Berdasarkan itulah, ini kali penulis ingin memba-has tiga seni tradisi Aceh sebagai media komunikasi sosial. kesenian Aceh rata-rata memiliki transformasi moral dan sosial. Tiga seni tradisi tersebut; Teater Tutur PM TOH, Sandiwara Keliling Gelanggang Labu, dan Biola Aceh.

Ketiga bidang seni yang penulis paparkan ini, berangkat dari realitas Sastra Aceh (hikayat) menuju realitas seni pertunjukan. Dewasa ini tanpa sengaja berangkat dari perkembangan jaman kesenian tradisi mu-lai bergeser fungsinya, awalnya menjadi alat komunikasi dalam ruang sosial bagi kehidupan bermasyarakat di Aceh. Seni tradisi ini memang masih tetap bertahan di Aceh, walau terasa sudah mulai langka. Hal ini disebabkan oleh terjadinya konfl ik bersenjata yang begitu panjang antara Gerakan Atjeh Merdeka dengan Negara Kesatuan Republik In-

Seni Tradisi Populer Aceh sebagai MediaKomunikasi Sosial

Sulaiman JunedDosen Jurusan Seni Teater STSI Padang Panjang

Page 192: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

182

donesia yang melahirkan kondisi psikologis terhadap masyarakat Aceh. Tindakan sosial yang terjadi di Aceh sebelum dilaksanakan perdamaian saling berinteraksi dan saling melahirkan kekejaman dari pihak-pihak yang bertikai, tentu melahirkan restrukturisasi terhadap tingkah laku masyarakat.

Interaksi sosial melalui seni tradisi membuat prilaku masyarakat Aceh, terwujud dari keharusan normatif yang terlahir dari kesantunan, rasa persaudaraan, pemurah, peramah, dan setia terhadap siapapun. Namun kondisional ini menjadi lenyap karena terjadi tindakan sosial melalui kekerasan yang dilawan pula dengan kekerasan. Rakyat ter-sublima ketakutan dan kecemasan karena setiap detik menyaksikan pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, pembakaran. Muaranya kese-nian tradisi Aceh pun terancam punah. Kondisi inilah yang membuat seni tradisi Aceh terkesan sulit untuk mencarinya. Syukurlah dewasa ini telah di bentuk Qanun (hukum/aturan) di bidang seni, untuk meng-hidupkan kembali seni tradisional Aceh yang kaya nilai-nilai agama, adat, moralitas, dan sosial.

Teater Tutur Aceh: Adnan PM TOH ‘Troubador yang Menulis di atas Angin’

Lima puluh tahun bersolo karier, (Almarhum) Teungku H. Adnan PM TOH berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai dengan Teungku Adnan menghadap sang khalik (meninggal dunia dalam usia 75 tahun, pada tanggal 4 Juli 2006), belum mampu men-emukan penggantinya seperti beliau. Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semacam bakaba di Minangkabau. Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya dang-deria seperti drama monolog atau berbicara sendiri.

Teater Tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan Teung-ku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa’i, pedang, suling (fl ute), bansi (block fl ute) dan mempergunakan properti mainan anak-anak serta kostum. Properti, alat musik serta kostum memperkaya teknik pemeranan seperti metode Brechtian yang memakai teknik mul-tiple set (properti tangan yang banyak fungsinya), dan efek alinasi (me-misahkan penonton dari peristiwa panggung, sehingga mereka dapat

Page 193: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

183

melihat panggung dengan kritis). Teknik ini sekaligus memberi kekua-tan dan dapat mengubah kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari penonton.

Teungku Adnan bermain sendiri, namun mampu menghadirkan be-ratus-ratus tokoh, dengan ekspresi dan karakter vokal yang berubah-ubah. Inilah kelebihan yang dimiliki Teungku Adnan, ia bermain sendi-ri di atas pentas, tetapi penonton laksana menyaksikan ratusan aktor sedang berada di pentas. Hal ini yang membuat Teungku Adnan diju-luki “traubador dunia” oleh Prof. Dr. John Smith seorang peneliti dari Amerika Serikat.

Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama oleh ma-syarakat pendukungnya, sedangkan pekerjaannya disamping sebagai seniman adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan PM TOH oleh Teungku Adnan. “Asal muasal nama itu be-rangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi saya, saya sering me-naiki bus PM TOH ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut membuat saya terkesan. Maka dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba, dan dangderia. Sembari memamerkan kebolehan-nya berteater itu, saya memulainya dengan menirukan bunyi klakson bus PM TOH, masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap saya jual obat, penonton pasti ramai, dagangan saya laris tapi saya harus menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan PM TOH setelah saya pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah PM TOH”. (Wawancara dengan Teungku H. Ad-nan, 14 April 1999, di Blang Pidie-Aceh Selatan)

Ternyata nama teater tutur PM TOH itu merupakan pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun 1970-an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai pembaharu teater tutur Dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal, pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan vokal dalam menyampaikan Hikayat. Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teung-ku Adnan, mereka pasti ramai-ramai mendatanginya karena ingin me-nyaksikan pertunjukan PM TOH.

Page 194: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

184

Andaikan membicarakan tentang teater tutur Aceh, yang tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusas-traan Aceh ‘hikayat’ yang tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutradara menuju realita teater (pertunjukan). “Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu ‘kisah’ (cerita). Bukan saja roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku ba-caan serta cerita lainnya juga dinamakan hikayat jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sajak (puisi) di sebut hikayat, dan ini merupakan hasil sastra yang sangat luas dalam khazanah kesenian Aceh karena menjadi seni pertunjukan” (Budiman Sulaiman, 1983:78).

Hikayat ketika dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan mengha-dirkan berbagai karakter tokoh di atas pentas, baik perubahan suara (vo-kal), kostum. Dialog-dialog yang memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat. Bi-asanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat itu kepada anak-anaknya,

“adapun hikayat yang menyimpan peristiwa sejarah, diantaranya; Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang disebut dengan hikayat undang-undang seperti; sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti; Nalam, Sipheut Dua Ploh. Tentang adat istiadat; Sanggamara. Hikayat tentang dongeng; hikayat Gumbak meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa” (Muhammad Nur, 1988: 38).

Adnan PM TOH melakukan pengembangan menakjubkan lewat teater tutur yang awalnya peugah haba atau dangderia. Ia sanggup menghafal 9 (sembilan) buah Hikayat-hikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku Adnan jika ada un-dangan lalu mempertunjukan PM TOH satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan dalam durasi waktu 7 (tujuh) malam berturut-turut. Tuhan memang Maha Kuasa, Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan, beliau mampu menyampaikan pertunjukan yang

Page 195: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

185

sama di tempat yang berbeda, namun beliau melakukan pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa.

Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang dis-ajikan hanya membaca hikayat (peugah haba). Properti yang digunak-an hanya sebilah pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh. Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu yang diterima dari gurunya Mak Lapee (Seorang Ulama di Aceh Selatan yang lumpuh), lalu dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik dan unik dengan inprovisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur PM TOH, menyaksikan pentas yang di-penuhi aktor secara imajiner, padahal ia bermain sendiri.

Teungku Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja yang mempersunting putri dari khayan-gan, yaitu Puteri Bungsu. Tengku Adnan bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) dikiri dan disebalah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan. Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nu-jum, rakyat kampung, sambil berinprovisasi dengan nyanyian Teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya), vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentifi kasi tokoh yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang cerita yang lain seperti; Zulkifl i, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh sia-papun.

Seorang juru bicara “penyihir” yang mampu memberikan pesona seni peran. Suatu hari dalam Hikayat Malem Dewa ia berubah peran dengan sigap. Lima detik pertama ia mengekspresikan wajah genit, matanya berkedip-kedip. Mengenakan sepotong selendang, sebuah wig, ia pun menjelma menjadi tokoh Puteri Bungsu, putri yang jeli-

Page 196: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

186

ta dari khayangan. Lima detik kemudian, ia berganti peran menjadi pemuda gagah siap bertempur memperebut Puteri Bungsu. Sepotong pedang terhunus di tangan, topi baja melekat di kepala. Sementara mu-lutnya tak putus-putus ia derukan kisah pemuda bernama Malem Dewa yang harus berangkat ke negeri di atas awan untuk menemui kekasih-nya. Berbagai karakter dengan cepat saling berganti di tubuh dan suara Teungku Adnan. Ia dapat menjadi hulubalang, laskar Aceh, jadi nenek penjaga gubuk Buntul Kubu, pemuda yang mencuri baju sang puteri atau seorang anak yang merindukan sang ibu.

Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur PM TOH adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikal-nya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah.

Kini Sang Maestro, seniman ‘Traubador Dunia’ meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti. Suatu waktu, ketika penu-lis masih di Aceh sempat berdiskusi dengan beliau; “Soel, saya per-nah tawarkan program regenerasi kepada Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang Hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. lalu kita tuliskan bagaimana persiapan menjadi ak-tor PM TOH, setelah itu kita sebarkan ke sekolah dasar (SD). Di SD ada mata pelajaran Hikayat dan PM TOH, lalu setiap tahun kita adakan festival menulis hikayat dan PM TOH kalau ini dilakukan pasti akan muncul dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangankan, hanya jawaban basa-basi” (Wawancara, Teung-ku Adnan PM TOH, 20 Januari 1989).

Sekarang Teungku Adnan PM TOH telah meninggalkan kita tanpa mewariskan PM TOH kepada siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun.

Benar Teungku Adnan, bukan hanya Aceh yang kehilangan “Trauba-dur Dunia” seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang rugi sebab tak mau merawat penerus pencerita Aceh. Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang Traubadur. Lalu 900 tahun kemudian

Page 197: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

187

di seluruh dunia hanya di Aceh muncul kembali seorang “traubadur dunia” yakni Teungku Adnan, tapi sayang masyarakat dan pemerintah Aceh tidak mau peduli. Sekarang sang “traubadur” benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi kita harus menunggu untuk kelahi-ran seorang “traubadur seni tradisi yang luar biasa itu. Kesenian Aceh mampu menjadi transformasi moral dan sosial bagi masyarakat Aceh.

Sandiwawara Keliling Gelanggang Labu

Pemain sandiwara keliling gelanggang labu tidak pernah belajar dra-maturgi, ilmu pemeranan, dan penyutradaraan secara formal, mereka memperoleh keahlian secara non-formal namun mampu mensugestif penonton.Luar biasa. Gelanggang Labu merupakan sandiwara keliling tradisional Aceh. Sandiwara ini keliling sudah ada sejak tahun 1950-an. Sandiwara ini mulai tumbuh dari sebuah desa Gelanggang Labu Kecamatan Peukusangan dahulu kabupaten aceh utara sekarang kabu-paten Biureun, NAD. Ketika teater ini mulai merakyat, dan diterima ditengah-tengah masyarakat, dijulukilah dengan istilah Gelanggang Labu. Awal tahun 70-an mulai menjamur grup-grup sandiwara di selu-ruh Aceh, diantaranya yang terkenal; Benteng Harapan, Jeumpa Aceh, Sinar Jeumpa, Sinar Desa, Sinar Harapan, Mutiara Jeumpa, Seulanga Dara, Cakradonya, dan Geunta Aceh.

Ciri-ciri pertunjukan Gelanggang Labu memiliki kesamaan yang kontras dengan ‘Komedi Stamboel’ yang dilakukan August Mahieu (1860-1906). Hal ini dapat dilihat dari reportoar yang dipilih, sama-sama mengangkat cerita 1001 malam dari hikayat-hikayat Aceh (haba), seperti; Buloeh Peurindu, Bawang Mirah Ngoen Bawang Puteh, Ah-mad Rhangmanyang, Putroe Ijoe, dan lain-lain. Ciri-ciri yang men-dasar, sebelum permainan dimulai para aktornya memperkenalkan diri sekaligus dengan peran apa yang dia mainkan. Pembagian babak atau episode dilakukan sangat longgar dengan adanya selingan antara babak yang diisi dengan nyanyian (band), lawak, serta tari-tarian. Adegan-adengan gembira atau sedih dalam gelanggng labu memang dilakukan dengan dialog bukan dengan opera (nyanyian) seperti dalam komedi stamboel.

Cerita-cerita yang akan dimainkan oleh pelakonnya hanya diceri-takan secara garis besarnya saja kepada pemain (berbentuk wos), dan lebih banyak pemain yang melakukan improvisasi. Sebagai aktor di-

Page 198: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

188

pentas sandiwara keliling harus mampu menjadi penyanyi, pelawak dan penari sekaligus.

Sementara bentuk pemanggungannya, sandiwara keliling Gelang-gang Labu sangat sederhana dengan konstruksi panggung berukuran 9X6 meter didirikan menggunakan drum kosong yang diatasnya dil-etakkan papan, seng sebagai atap, batang kayu sebagai penyangga, tri-plek untuk dinding, kain yang dilukis sebagai dekorasi sesuai tuntutan cerita dan lampu refl ektor kecil untuk penerang dan pengubah suasana. Lokasi pertunjukan biasanya dilakukan di tanah lapang, di tengah areal sawah setelah usai panen padi. Grup sandiwara ini hidup dan beranak-pinak di dalam panggung tersebut (berumah), mereka melakukan kelil-ing ke seluruh Aceh, dan berdiam (melakukan pertunjukan) di suatu daerah minimal dua bulan setelah melakukan perjalanan dan menetap di daerah lain.

Umumnya pemain sandiwara keliling Gelanggang Labu tidak per-nah memiliki atau mempelajari dramaturgi secara formal. Semuanya mengalir begitu saja dengan pengetahuan otodidak yang mereka mi-liki. Rata-rata latar belakang pendidikan mereka hanya sampai Seko-lah Dasar. Maka tidak heran bila siang hari mereka bergaul dengan masyarakat dimana mereka melakukan pertunjukan, bahkan ada yang menjadi buruh kasar di tempat itu.

Ibnu Arhas (sekarang mantan Anggota DPRD Kabupaten Pidie), seorang aktor yang pernah melakukan pertunjukan di Takengon, wak-tu siang hari ia berperan sebagai buruh pemetik kopi dengan pakaian kumal. Namun pada malam hari dia tampil sebagai mahabintang di atas panggung, dipuja-puji oleh penonton, setiap dia muncul selalu saja mendapat applaus dari penonton.

Keterbatasan ilmu tentang bermain drama bukanlah suatu halangan bagi mereka untuk tetap terus bertahan. Umar Abdi, Ahmad Harun, Yu-suf Syam, serta Idawati merupakan tokoh-tokoh teater keliling yang sadar betul atas kekurangan mereka, lalu melakukan pembaharuan agar masyarakat penonton tidak bosan. Mereka menciptakan tema-tema cerita baru yang digemari masyarakat, seperti tragedi rumah tangga, pengkhianatan, kemunafi kan, masalah ambisiusnya manusia. Ide atau gagasan rata-rata bertemakan sosial dengan mudah diperoleh sutradara teater keliling, sebab mereka dekat dengan masyarakat sehingga tahu persis tentang peristiwa yang muncul ditengah masyarakat. Sutradara

Page 199: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

189

mengangkat realitas sosial yang tumbuh dan hidup dimana mereka melakukan pementasan, lalu diadopsi menjadi cerita yang menarik le-wat kekuatan improvisasi para aktornya.

Keunggulan inilah yang membuat teater keliling ini mampu bertah-an hidup dan memperoleh sambutan hangat dari penonton di seluruh Aceh. Cerita yang ditampilkan selalu aktual dan kontekstual dengan daerah dimana mereka melakukan pertunjukan. Misalnya, cerita Cut Maruhoi diperankan Ahmad Harun (lelaki yang menjadi wanita) men-gisahkan tentang seorang ibu mertua yang cerewet, jahat dan sadis. Ahmad Harun benar-benar mampu masuk ke dalam penokohan Cut Maruhoi, sehingga nama tersebut begitu melekat dan populer di tengah masyarakat Aceh. Bahkan dalam pergaulan sehari-hari Ahmad Harun sering dipanggil Cut Maruhoi.

Namun gangguan keamanan di Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD) yang mulai pecah pada tahun 1989, sangat terasa dampaknya bagi perkembangan insan seni untuk melakukan kreatifi tas berkese-nian. Aceh yang memiliki teater tradisional atau teater tutur, seperti; PM TOH, Sandiwara keliling Gelanggang Labu, dan Biola Aceh, serta Didong mulai terusik untuk berproses. Kemandekan kehidupan pang-gung keliling sangat terasa karena sering di cekal oleh Pemda dengan cara tidak memberi izin pertunjukan, alasannya gangguan keamanan. Seruan ini dikeluarkan PEMDA Aceh karena beberapa pertunjukan se-belumnya di daerah-daerah rawan konfl ik sering terjadi keributan.

Pertunjukan sirkus di Lhoekseumawe pada tahun 1989 sempat me-nimbulkan kekacauan, dan panggung artis ibukota Dina Mariana pada tahun 1990 sempat dibakar oleh gerombolan tak di kenal. Mengigat hal itulah pertunjukan sandiwara keliling ‘Geunta Aceh’ pimpinan Umar Abdi pada pertengahan tahun 1991 di desa Blang Malu Kecamatan Mu-tiara Pidie, batal melakukan pertunjukan karena izinnya dicabut. Juga karena adanya operasi militer malam. Maka, banyak panggung sandi-wara keliling pada dekade 90-an terpaksa tutup sehingga pemainnya banyak yang menganggur. Sebagian terpaksa pulang kampung menjadi petani atau buruh kasar.

Awal dekade 1992, kondisi keamanan mulai kondusif, empat tokoh seniman teater keliling; Umar Abdi, Yusuf Syam, Ahmad Harun, dan Idawati mencoba kembali membangun panggung keliling. Situasi se-makin membaik, dan pertunjukan di beberapa kota Aceh Utara, Aceh

Page 200: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

190

Besar, Aceh Tengah dan Sabang mulai diizinkan untuk melakukan ak-tivitasnya.

Suasana seperti itu, ternyata tidak bertahan lama. Tahun 1998 den-gan berhasilnya gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa seluruh Indonesia untuk menumbangkan Orde Baru, kenyataannya menjadi lain. Daerah Istimewa Aceh kembali bergolak, dan GAM (Gerakan Atjeh Merdeka) kembali bergerak, mahasiswa serta ulama dayah se-Aceh menuntut referendum. TNI dan POLRI kembali menjalankan operasi. Kondisi Aceh kembali mencekam dan tak menentu, suasana yang tak menentukan itulah menyebabkan izin pertunjukan tidak dapat diberikan kepada sandiwara keliling Gelanggang labu, lagi-lagi dengan dalih keamanan.

Nah, menurut amatan penulis dari tahun 1998 hingga sekarang 2009, tidak pernah terdengar di Aceh ada pertunjukan Sandiwara kelil-ing Gelanggang Labu dipentaskan. Grup-Grup yang pernah jaya, sep-erti hilang di telan bumi, seniman-seniman panggung terpaksa beralih profesi, menjadi penjual ikan, petani, buruh kasar dan lain sebagainya demi menghidupi keluarganya. Kemandekan kehidupan panggung yang disebabkan oleh gangguan keamanan betul-betul membuat para pelakon, kru panggung dengan seluruh awaknya kehilangan pekerjaan tetap yang telah diyakininya berpuluh-puluh tahun pekerjaan itu mam-pu menghidupi keluarganya. Sekaligus mampu membangun realitas so-sial bagi penontonnya.

Sementara disisi lain, daerah Aceh secara tidak langsung telah me-musnahkan kekayaan keseniannya. Betapa tidak, bila hal ini terjadi terus-menerus teater keliling Aceh hanya tinggal nama sebab tak ada lagi pewarisnya. Bila tak ada pemanggungannya secara otomatis para aktor panggung keliling semakin lanjut usia dan tak ada yang mampu mewarisinya untuk melanjutkan grup-grup sandiwara keliling. Sengke-ta yang terjadi di tanah rencong tidak hanya menelan korban manusia, namun yang lebih menyedihkan dapat menelan sisi kebudayaan dan kesenian.jangankan sandiwara keliling Gelanggang Labu, denyut nadi Taman Budaya Aceh juga ikut terkena imbasnya. Taman Budaya Aceh sejak tahun 1970-an sampai 1997 aktif melaksanakan pertunjukan teat-er modern Indonesia di Aceh tiap bulan, seperti; Teater Mata pimpinan Almarhum Maskirbi, Teater Bola pimpinan Almarhum Junaidi Yacob, Teater Gita Pimpinan Junaidi Bantasyam, Teater Kuala Pimpinan Yun

Page 201: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

191

Casalona, Teater Peduli Pimpinan Almarhum Nurgani Asyik, Teater Alam Pimpinan Din Saja, Sanggar Cempala Karya Pimpinan Sulaiman Juned, Teater Kosong Pimpinan T.Yanuarsyah. Namun awal 1998 per-tunjukan teater Modern Indonesia di Aceh mulai hilang denyutnya. Hal ini disebabkan karena gangguan keamanan.

Denyut nadi kesenian Aceh seperti terhenti. Taman Budaya sepi per-tunjukan. Orang-orang tak lagi membicarakan kesenian, orang-orang lebih banyak membicarakan politik, kematian dan keadilan. Hanya seniman sastra (penyair) dan pelukis yang masih terus melakukan pros-esnya. Para pekerja teater banyak yang beralih profesi, ada yang men-jadi penyair, dan cerpenis. Sampai kapan hal ini terus terjadi.

Andaikan situasi Aceh dibiarkan larut tanpa penyelesaian akhir, maka Aceh secara global akan kehilangan seni budayanya yang sangat kaya tersebut. Kita rindu tokoh Cut Maruhoi muncul di atas panggung, rindu lawakan yang menggelitik dari si Ma’e (Ismail) yang mampu melahirkan derai tawa. Rindu Idawati Sri panggung sandiwara kelil-ing yang mampu menjadi aktris, penyanyi sekaligus pelawak bahkan mampu menari. Namun kini dimana mereka para punggawa sandiwara keliling Gelanggang Labu bermuara. Apakah mereka ikut terkena im-bas konfl ik panjang di Aceh, atawa mereka tergerus air raya (tsunami) beberapa tahun yang lalu pada 26 Desember 2004. Konfl iks-Tsunami-sengketa tak pernah reda mengancam seni budaya Aceh pada nadir ke-punahan.

Biola AcehKesenian biola Aceh telah hidup di tengah masyarakat semenjak ja-

man colonial Belanda. Namun berkembang di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Besar dan Pidie sejak tahun 50-an. Penamaan terhadap kesenian ini karena penggunaan instrumen biola sebagai instrumen utamanya. Di Kabupaten Aceh Utara kesenian ini diberi nama Mop-mop sedangkan di Aceh Besar dan Kaputen Pidie, biola Aceh ini di sebut Genderang Kleng. Biola yang digunakan adalah biola violin.

Kesenian ini dimainkan paling banyak 5 (lima) orang pemain, mas-ing-masing satu orang bertindak sebagai violis (syech) yang merangkap vokalis, pemimpin grup sekaligus sebagai sutradara yang menyusun dialog untuk menyanyi. Penabuh gendang, penyanyi, dan dua orang lagi sebagai penari dan pelawak, berperan sebagai Linto Baro dan Dara

Page 202: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

192

Baro (suami Istri atau marapulai kalau di Minangkabau) yang melaku-kan gerak tari dan banyolan sesuai irama Biola dan pukulan Rapa’i. Pertunjukannya membutuhkan panggung hanya 6 X 6 meter.

Ciri khasnya adalah adanya tarian, cerita (dialog), nyanyian lewat berbalas pantun dengan ungkapan-ungkapan lucu, menggelikan, dan penuh humor, serta para pemainnya memakai pakaian yang warnanya kontras. Biola Aceh komunikasi disampaikan lewat kekuatan humor, dan secara tidak langsung terselip nilai kritik sosial melalui pantun-nya yang kocak. Kesenian ini sampai sekarang masih mampu berinter-aksi dengan masyarakarat. Ini terbukti dari setiap kali pertunjukannya mendapat sambutan meriah dari penonton, penyulut tawa adalah pan-tunnya yang jenaka, segar dan menggelitik terkadang terkesan porno.

Meskipun pola dasarnya paduan musik dengan nyanyian, namun magnitumnya justru pada gerak tubuh dan tingkah pemainnya yang ko-cak membuat penonton bertahan sampai dini hari. Pantun dan nyany-ian, serta dialog dari penari berisi cerita lucu tentang perkawinan, dan rumah tangga yang sarat dengan masalah sosial. Juga diselingi cerita mertua atau isteri yang cerewet. Kisah rumah tangga tentang wanita yang bersuami tetapi mencintai pria lain. Sebaliknya pria yang telah memiliki istri namun masih mencari wanita lain. Mari kita nikmati salah satu pantunnya:

Ta ek u glee tajak koh sigeudumLam kayee ruhung umpung ‘nggang damaGajah di dumpek, rimueng di taumLoen dhoe geuliunyeueng, loen jak bak gata.Artinya: Mendaki gunung memotong pohon sigeudumDi lobang kayu, bangau bersarangGakah menguak, harimau mengaumKu tutu telinga, ku datang padamu.

Penonton turut terbahak-bahak menyaksikan bunyi biola yang ter-dengan sumbang, ditingkahi suara gendang, dan disahuti pantun yang jenaka. Apalagi dihadiri penari joget yang adalah lelaki berperan seba-gai wanita. Tampil dengan dandanan menor dan mencolok, terkadang mengenakan rok dan blus, tak jarang memakai kebaya dengan selen-dang berwarna hijau atau merah menutup kepala. Sementara penari pria

Page 203: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

193

mengenakan pakaian biasa, namun baju atau jasnya di pakai terbalik, terkadang juga memakai sepatu yang kebesaran. Jadi menyaksikan pertunjukan biola Aceh, menyaksikan pemain biola, penabuh gendang yang dikombinasikan dengan berpantun, menari, dan melawak. Kes-enian biola Aceh, dalam proses adaptasi menyerap nilai-nilai budaya islam, tampak pada tekhnik memainkannya yaitu mengiringi vokal den-gan mengikuti melodi vokal yang ditambah dengan nada hias. Melodi dasar lagu sama dengan melodi dasar biola, serta digarap secara berva-riasi.

Masyarakat Aceh yang menganut sistem feodal, namun dipengaruhi oleh unsur-unsur agama Islam, terjadi interaksi sosial yang memberikan dampak perubahan terhadap budaya. Bentuk perubahan tersebut adanya adaptasi, akulturasi, asimilasi, dan integrasi dengan kesenian ronggeng yang berasal dari Sumatera Timur. Proses adaptasi terjadi ketika terjadi pertandingan kesenian antara Aceh dengan Sumatera Timur di jaman Belanda. Sumatera Timur kesenian yang ditampilkan ronggeng. Aceh sepulang dari pertandingan tersebut, menciptakan kesenian yang ham-pir mirip ronggeng, diberinama Biola Aceh” (Wawancara Syech Ma’e Pidie, 20 Januari 2005).

Sampai saat ini masih hidup empat orang penggesek biola, yai-tu Syech Abdul Gani Krueng Mane, Syech Maneh, dan Syech Ma’e (Ismail), serta Syech Ali Basyah. Menurut mereka, biola sebagai alat musik instrumen kesenian tradisi Aceh yang berasal dari Mesir, wa-lau biola pertama sekali diperkenalkan di Italia tahun 1719. Sama per-sis seperti alat musik konvensional barat. Perbedaannya terletak pada metode dalam memainkannya, penggesek biola Aceh memainkan bio-lanya secara terbaik. Progresi melodi pada biola aceh membentuk har-moni vertikal dengan interval kwint. Teknik memainkannya sangat mi-rip dengan rabab di Minangkabau, satu nada ditahan sementara nada lainnya bergerak membentuk progesi melodi.

Sudah selayaknyalah kesenian ini perlu dilestarikan. Perkemban-gan Biola Aceh selanjutnya memang jalan ditempat jika tidak mau di-katakan punah. Hal ini, disebabkan h terjadinya konfl ik bersenjata dan tsunami di Aceh. Secara tidak langsung generasi muda mengalami fase a-history, dan kurangnya pengetahuan, bahkan banyak yang tidak men-genal tentang biola Aceh. Di samping itu, perkembangan musik mod-ern mengakibatkan minat generasi muda terhadap biola Aceh menurun.

Page 204: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

194

Padahal, biola Aceh sebagai salah satu seni tradisi yang populer dapat menjadi media komunikasi sosial antara sesama etnis di Aceh yang multi-etnis.

PenutupKesenian memang mampu menjadi perekat antar sesama. Teater-

musik-tari dan kesenian lainnya membuat masyarakatnya luruh dalam ‘kearifan lokal’ menghilangkan perbedaan, dan menumbuhkan keber-samaan. Manusia acap kali saling bersilang pendapat tentang ideal-isme yang mengakar dalam diri. Namun kesenian cenderung merekat-kan keretakan manusia tersebut. Aceh kehilangan juru bicara. Indonesia kehilangan seniman besar. Teungku Adnan PM TOH-Cut Maharuhoi-Idawati-Syech Abdul Gani Krueng Mane-Syech Ma’e-dan Syech Ali Basyah.

Pasca konfl ik dan tsunami, apakah seni-seni tradisional yang maha agung itu akan hidup, atau seni Aceh tersebut akan ikut terkubur bers-ama ratusan ribu rakyat Aceh yang entah dimana makamnya? Generasi muda Aceh sekarang ini pasti banyak yang tidak kenal lagi; Dangderia, Peugah Haba, Poh Tem, Dalupa, Pho, Didong, Guel, Biola Aceh, atau Sandiwara Gelanggang Labu. Seniman, pihak yang terkait, para in-telektual seni, perlu duduk bersama bicarakan pentingnya menghidup-kan kesenian tradisi. Tugas lembaga pendidikan tinggi seni, dinas pari-wisata dan budaya, seniman, atau Kementerian Pendidikan Nasional berkenan menjadikan seni lokal menjadi kurikulum nasional agar seni tradisi populer dapat menjadi media komunikasi sosial. Lokalitas seni sebagai fenomena budaya diletakkan dalam perspektif kehidupan glob-al untuk melakukan kontruksi indentitas diri. Konsep kultural dalam nilai etnisitas keacehan untuk mengidentifi kasikan masyarakat jadi ‘ahli waris’ dari seni tradisi sekaligus sebagai pelaku bagi transformasi identitas lokal yang independen.

Seni pertunjukan seperti teater tutur PM TOH, Sandiwara Gelang-gang Labu, dan Biola Aceh memang kesepian dalam peti, tetapi tetap berinteraksi dengan jamannya. Sebab seni tradisi Aceh selalu bersentu-han secara aktual dan universal lewat konsep kebersamaan, dan mampu mengikuti kemajuan jaman. Seni tradisi Aceh, tak usah memperten-tangkan konsepsi pertunjukan antara tradisi dengan kontemporer. Se-bab pertunjukan seni tradisi Aceh sesungguhnya telah melaksanakan

Page 205: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

195

konsepi pertunjukan dalam tataran kontemporer.Permasalahan yang perlu diselesaikan, bagaimana seni tradisi Aceh

dapat dihidupkan kembali. Oleh karena itu, event-event kesenian ber-taraf nasional dan internasional seperti; Pekan Kebudayaan Aceh, Fes-tival Baiturrahman, dan Diwana Cakradonya perlu dikembangkan. Ke-giatan ini mampu menumbuhkan seni-seni tradisi yang mulai punah. Jika ketiga seni ini hilang maka tanpa kita sadari budaya Aceh yang sarat dengan muatan penyadaran moral, agama, adat dan sosial terkikis dari kehidupan bermasyarakat. Kesenian tradisi di Aceh tidak hanya dianggap sebagai media hiburan semata-mata, tetapi mampu menjadi sebagai media komunikasi. Semoga seni tradisi Aceh ini tetap hidup dan berkembang. Semoga!

Daftar PustakaA.Adjib Hamzah., 1984. Pengantar Bermain Drama. CV Rosda BandungAgus Noor., 2006. Monolog, Aktor di Panggung Teater. Harian Kompas Jakarta: 26 Maret 2006Basri Daham., 2007. Gelitik Biola Aceh Makin Langka. Serambi Indonesia Banda Aceh: 30 Agustus 2008Budiman Sulaiman., 1988. Kesusastraan Aceh. Unsyiah Press Banda AcehEfeendy., 1999. Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek. Bandung: Rosda Karya Herwanfakhrizal., 1996/1997. Ekspresi dalam Seni Teater. Jurnal Ekspresi Seni Program Studi Pascasarjana UGM, 1996/1997Margaret J. Kartomi., 2005. dalam Asvi Warman Adam, Peneliti Musik Aceh Pasca Tsunami, Harian Kompas Jakarta: 18 Desember 2005Mursal Esten., 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Penerbit AngkasaRahman Sabur., 2003. Pengantar Drama Monolog Enam Tuan Arthur S.Nalan Etno Teater BandungSahid, Nur (ed)., 2000. Interkulturalisme Teater. Yogyakarta: Tarawang PersSantosa., 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Ang-

kasa Sulaiman Juned., 1999. Teater Tutur Aceh: Adnan P.M.T.O.H Trobadour yang Menulis di atas Angin. Jurnal Palanta Padangpanjang: STSI Padang Panjang---------------------., 2000. Konfl ik di Aceh: Sandiwara Keliling Gelanggang Labu Terancam Punah. Jurnal Palanta Padangpanjang: STSI PadangpanjangVCD Hikayat Malem Dewa. Produksi Jurusan Teater STSI Padangpanjang, 1998

Page 206: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

196

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Page 207: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

197

Pendahuluan

Membicarakan masalah penggunaan seni tradisi dalam media komunikasi sosial di Sumatera Utara merupakan obyek dis-kusi yang sangat luas, materi seni yang banyak, dan beratus

konteks pertunjukannya, karena propinsi Sumatra Utara didiami oleh banyak etnis yang memiliki konsep budaya, bahasa, dan sistem komu-nikasi sosial yang spesifi k sesuai dengan latar belakang keturunan ne-nek moyang mereka masing-masing.

Sungguh pun begitu, ketersediaan data pendukung yang penulis mi-liki, ditambah dengan pengalaman praktikal selama empat tahun men-jadi pelaku seni di Sumatera Utara, baik seni Melayu, Minang, maupun aneka seni dari etnis-etnis Batak adalah cukup memberikan rasa opti-mis untuk merealisasikan sasaran minimal tema tulisan di atas.

Berlatar kompleksnya sistem kehidupan masyarakatnya, dan berva-riasi konsep seni yang dimiliki mereka membawa penulis untuk me-milih pendekatan “induktif” untuk mengidentifi kasinya. Outline dasar yang menjadi fokus berkisar tentang fungsionalnya suatu genre seni sebagai mediasi untuk pencapaian niat atau maksud diadakannya suatu upacara atau acara yang berhubungan dengan religius/keagamaan, ritu-al adat, atau hiburan oleh suatu etnis di daerah Sumatera Utara.

Setiap etnis asli Sumatera Utara menghendaki keharmonisan dan

Penggunaan Seni Tradisidalam Media Komunikasi Sosial

di Sumatera Utara

Drs. Hajizar, M.SnDosen Jurusan Seni Karawitan STSI Padang Panjang

Page 208: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

198

kelanggengan sistem kemasyarakatan (kekerabatan) dan struktur sos-ial yang diwarisi mereka, serta tercapainya kebahagiaan hidup sesudah mati melalui sistem kepercayaan yang dianut, atau diperolehnya ke-senangan batin melalui hiburan, maka wujudlah aneka upacara ritual adat, upacara religi/keagamaan, dan acara-acara sosial lainnya.

Mayoritas wahana yang dipilih oleh etnis-etnis Sumatera Utara dalam rangka tercapainya pengharapan di atas adalah kesenian. Kes-enian diapresiasi sebagai mediasi yang mujarab untuk menjembatani komunikasi horizontal antar individu, antar kelompok, dan komuniksi vertikal antara manusia dengan supranatural yang gaib, dengan Tuhan atau “Sesuatu” yang dianggap berperan sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa penentu jalannya kehidupan di dunia dan hidup sesudah mati. Sudah sama dipahami, bahwa konteks upacara dan acara-acara sere-moial merupakan suatu produk sosial dan salah satu komunikasi yang wujud di dalamnya adalah komunikasi sosial.

Tulisan ini tidak secara gamblang membicarakan masalah ‘komu-nikasi sosial’ secara konseptual, tetapi berdasarkan penggunaan dan berfungsinya suatu produk seni dalam suatu konteksnya berarti sudah menunjukkan keberhasilan suatu komunikasi, karena keyakinan ter-capainya maksud atau niat pelaksana upacara, atau hiburan pada kon-teksnya adalah setelah terkoneknya maksud itu dengan resepsi obyek upacara tersebut.

Dengan demikian, tulisan ini disajikan dalam empat bagian. Bagian pertama ini berposisi sebagai pembentukan frame pemikiran terhadap kelayakan tema ini menjadi sebuah informasi yang bermanfaat. Bagian kedua memperlihatkan sekilas demografi wilayah dan penduduk Su-matera Utara untuk menggambarkan keadaan hunian yang bersinerji dengan kompleksitas konsep sosial masyarakat yang menghuninya. Sedangkan bagian ketiga merupakan informasi masa silam yang di-fungsikan sebagai landasan penting untuk melihat kondisi kehidupan kesenian masyarakat Sumatera Utara masa sekarang. Bagian keem-pat menfokuskan diskusi kepada dinamika kehidupan masyarakat dan kreativitas seni yang terjadi dalam konteks perubahan di masa sekarang dan prospek keberlanjutannya di masa depan. Kemudian bagian kelima sebagai konklusi dari temuan yang diperoleh dari hasil keseluruhan deskripsi tulisan. Sekilas Demografi dan Wilayah Penduduk

Page 209: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

199

Sumatera Utara sebuah provinsi yang keempat terbesar jumlah pen-duduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Ten-gah. Menurut hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2002, penduduk Su-matera Utara berjumlah 11,85 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara pada tahun 2002 menjadi 165 jiwa per km².

Selain geografi s Propinsi Sumatera Utara yang terbentang dari dae-rah pesisir Timur ke pesisir Barat, dan juga meliputi 419 pulau yang berada di luar pulau Sumatera. Kepulauan Nias yang terletak di lepas pantai pesisir Barat Samudera Hindia merupakan pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Batu yang terletak di Tenggara kepulauan Nias terdiri dari 51 pulau, di antara 4 pulau yang terbesar: Sibuasi, Pini, Tanah Bala, Tanah Masa.

Selain itu terdapat beratus pulau lain di Samudera Hindia yang ter-masuk propinsi di Sumatera Utara, di antaranya pulau Imanna, Pasu, Bawa, Hamutaia, Batumakalele, Lego, Masa, Bau, Simaleh, Makole, Jake, dan Sigata, Wunga. Sedangkan pulau yang terluar dari sekian ratus pulau tersebut, ialah pulau Simuk (kepulauan Nias), dan pulau Berhala di Selat Malaka. Dengan begitu, kondisi alam Sumatera Utara pada dasarnya dapat dibagi atas: Pesisir Timur, Pegunungan Bukit Bari-san, Pesisir Barat, Kepulauan Nias, dan Kepulauan Batu1.

Berlatar luas daerah dan jumlah penduduk Sumatera Utara pada dasawarsa terakhir ini, serta diprovokasi oleh semangat otonomi dae-rah untuk memacu pertumbuhan pembangunan di segala bidang, maka Pemda Tingkat II di Sumatera Utara yang semula berjumlah sekitar 17 kabupaten/kota, telah dimekarkan menjadi 29 Kabupaten/kota (22 kabupaten, dan 7 kota): Kabupaten Angkola Sipirok, Asahan, Batuba-ra, Dairi, Deli Serdang, Humbang Hasundutan, Karo, Labuhan Batu, Langkat, Mandailing Natal, Nias, Nias Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Pakpak Bharat, Samosir, Serdang Bedagai, Simalungun, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir; dan Kota Medan, Binjai, Padang Sidempuan, Pematang Siantar, Sibolga, Tanjung Balai, Tebing Tinggi.

Potensi bumi Sumatera Utara yang luas dan subur telah mewujud-kan perkebunan (karet, coklat, teh, kelapa sawit, kopi, cengkeh, kelapa, kayu manis, dan tembakau) dan pertambangan minyak bumi, gas alam, batu bara. PT. Inalum di Kuala Tanjung Kabupaten Asahan terdapat

1 Sumber Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Page 210: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

200

yang bergerak di bidang penambangan bijih dan peleburan aluminium yang merupakan satu-satunya di Asia Tenggara. PLTA Asahan yang merupakan terbesar di Sumatra terdapat di Kabupaten Toba Samosir.

Di samping itu, bermunculan lagi beraneka pabrik di berbagai kota sehingga kota Medan telah menjadi kota industri utama di Sumatera. Kesemuanya ini telah mengundang pendatang dari etnis lain merantau, mengadu nasib masuk ke daerah Sumatera Utara dan berdomisili sesuai sentra-sentra aktivitasnya masing-masing. Sentra aktivitas pada berb-agai lokasi ini yang bersentuhan langsung dengan sosio-budaya lokal yang beragam pula sebagai lingkungan kerja dan kehidupan mereka.

Setiap etnis (asli dan pendatang) di Sumatera Utara menggunakan Bahasa Ibu masing-masing, dan komunikasi dalam pergaulan umum selalu menggunakan Bahasa Indonesia dialek Melayu. Namun, persoa-lan kepercayaan memiliki fenomena yang menarik dalam kehidupan masyarakat Sumatera Utara yang heterogen tersebut. Agama Islam menjadi agama mayoritas yang dianut oleh suku Melayu, Pesisir Si-bolga, Mandahiling, Minang, Aceh dan Jawa; agama Kristen (Protes-tan dan Katolik) terutama dipeluk oleh suku Batak Toba, Batak Pak-pak Dairi, Batak Simalungun, sebagian Batak Karo, dan suku Nias; Agama Hindu terutama dipeluk oleh keturunan India yang minoritas di perkotaan; Buddha terutama dipeluk oleh suku Tionghoa di perkotaan; Konghucu terutama dipeluk oleh suku Tionghoa di perkotaan. Bah-kan sebagian suku Batak Toba dan Nias masih menganut kepercayaan Animisme yang bernama “Pelebegu Parhabonaron.” Begitu juga masih terdapat sejenis aliran kepercayaan bernama “Parmalim” yang dianut oleh sebagian suku Batak Toba yang berpusat di Huta Tinggi.

Realita di atas telah menjadikan Sumatera Utara didiami oleh multi-etnis yang terdiri dari suku asli dan suku pendatang. Suku asli ialah 1) suku Melayu (Pesisir Timur Sumatera Utara); 2) Pesisir Sibolga (Pesisir Barat Sumatera Utara); 3) suku Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pak-pak Dairi, Angkola, dan Mandahiling); 4) suku Nias. Suku pendatang ialah Jawa, Minang, Aceh, Tionghoa, India Keling, dan lainnya. Den-gan demikian, lengkaplah identitas Sumatera Utara sebagai propinsi multi etnis di Sumatera, dan tentu beraneka pula corak seni tradisional yang berfungsi membentuk komunikasi sosial dalam kehidupan kota-kota di Sumatera Utara.

Page 211: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

201

Identi fi kasi Sosio-Seni Warisan Etnis-Etnis Asli Sumatera Utara

Berdasarkan identifi kasi terhadap tradisi sosial dan seni dari etnis-etnis asli yang mendiami Sumatera Utara dijumpai beraneka ragam aktivitas, baik berbentuk sistem kemasyarakatan yang diwarisinya, maupun berbentuk upacara-upacara tradisional yang diadatkan dalam bentuk seremoni adat masing-masing sebagai konsekuensi dari sistem kemasyarakatan yang dianut mereka. Berikut ini, kita coba melihat sampel genre-genre seni utama dari etnis-etnis asli Sumatera Utara yang berhubungan dengan fungsinya sebagai pembangun komunikasi sosial tradisional dalam kelompok-kelompok etnis masyarakatnya ma-sing-masing.

Pertama, kedudukan musik tradisional Gondang Sabangunan bagi masyarakat Batak Toba dipakai dalam kepentingan upacara religius un-tuk mengatur hubungan antara peserta upacara dengan Tuhan dan du-nia gaib, serta lingkungannya. Melalui penyajian Gondang Sabangunan disampaikan permohonan peserta upacara kepada Tuhan-Nya. Menu-rut Marpaung, bahwa salah satu contoh dari repertoar tersebut adalah “Gondang Debata Sori” yang dalam hal ini adalah nama salah satu dari Tuhan menurut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di dalam masyarakat Batak Toba.

Dengan demikian, gondang-gondang yang dimainkan pada kegiatan religius itu bersifat sakral, dan tidak dapat sembarangan dimainkan2. Begitu pun pada upacara adat, umumnya peranan Gondang Sabangu-nan berfungsi sebagai pengiring tarian (tortor) dari kelompok masyara-kat yang mempunyai marga (clan) yang terkait sistem kekerabatan Da-lihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga).

Pada setiap upacara adat, gondang dan tortor selalu hadir menjadi alat mengekspresikan perasaan dan maksud. Nomor-nomor gondang yang disajikan selalu didahului dengan ungkapan-ungkapan tradisional yang disampaikan oleh partisipan upacara melalui tonggo-tonggo. Apa-bila dikaji secara seksama makna ungkapan-ungkapan tradisional terse-but sifatnya universal dan dapat bertahan sepanjang masa3. Ungkapan-ungkapan itu dapat mengakrabkan pergaulan sehari-hari para peserta 2 Banggal Marpaung, 1994. Ansambel Musik Gondang Sabangunan. Buku Buklet. Jakarta:

Proyek Pembinaan Kesenian Depdikbud; hal 2.3 Banggal Marpaung, 1994. Ansambel Musik Gondang Sabangunan. Buku Buklet. Jakarta:

Proyek Pembinaan Kesenian Depdikbud; hal 3.

Page 212: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

202

upacara, bahkan menjadi sarana penguat identitas dan pembangun rasa solidaritas sesama antar individu dan antar kelompok masyarakat yang seatap dalam suatu upacara adat.

Dalam masyarakat lokal-tradisional Batak Toba, Gondang (“musik”) memiliki peranan yang penting dalam aktivitas kehidupan mereka, ti-dak hanya dalam memenuhi berbagai kebutuhan sosialnya, tetapi juga meliputi berbagai hal terkait dengan hal yang bersifat spiritual. Gon-dang utamanya dimainkan dalam kaitannya dengan berbagai ritual maupun upacara keagamaan, disamping juga dipakai dalam konteks aktivitas seremonial adat. Pentingnya peranan ini dapat dilihat kaitan-nya dengan salah satu fi losofi dasar masyarakat Batak Toba, dimana gondang dianggap menjadi alat utama untuk mencapai dan membangun hubungan antara manusia dan “Sang Pencipta” (Mulajadi Na Bolon)4. Tersirat di sini, bahwa seorang pemusik Batak Toba berfungsi sebagai mediator utama dalam menjalin hubungan antar dunia manusia dengan dunia para dewa. Tentu pemusik gondang dituntut untuk memahami sepenuhnya tentang struktur dan materi sebuah ritual/upacara yang se-dang dimediasinya.

Kedua, etnis Batak Karo memiliki ensambel musik tradisional uta-ma disebut “Gendang Lima Sendalemen.” Kehadiran ensambel musik ini berlatar belakang sebuah mitos yang hidup dalam masyarakat Karo, bahwa: “pada masa dahulu, manusia itu tidak mati-mati. Pada suatu kali terjadi angin topan, badai, kilat, dan banjir, maka matilah anak sang putri tersebut. Secara tiba-tiba bermunculan bermacam suara sebagaimana karakter dan warna suara yang dimiliki oleh Tung-tung, Katak, Kumbang, Cacing, Amphok (burung). Kemudian anak yang mati itu disuruh oleh ibunya untuk menirukan segala bunyi tadi. Tiru-an bunyi itu akan mujarab untuk mencegah matinya segala manusia. Mitos tentang suara-suara inilah yang dipercayai masyarakat Karo un-tuk menemani kehidupan mereka yang diimitasikan melalui musikal instrumen Gendang Lima Sendalemen5.

Menurut adat Karo, bahwa seorang anak boru berkewajiban untuk 4 Rithaony Hutajulu, 2002. “Gondang: Kebudayaan Musik Batak Toba di Sumatera Utara.”

Makalah. Bandung: UPI; hal 3-4.5 Instrumentasi Gendang Lima Sendalemen terdiri dari sarune terbuat dari kayu selantam,

lobangnya 7, dan batangnya dari gelondah berperan sebagai pembawa melodi; Gendang Ind-ung Na, gendang Anak Na, dan ada juga garantung sebagai pembawa ritme variabel, semen-tara Gung, dan penganak berfungsi sebagai pembawa ritme konstan.

Page 213: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

203

mempersiapkan suatu upacara adat pada waktu kematian. Dia harus tahu susunan struktur famili dari orang yang meninggal sewaktu dia-dakan seremonial upacara kematian lengkap dengan ensambel gendan-gnya.

Bagi orang Karo, gendang berguna sebagai ‘basis pengantar’ bagi suatu upacara kematian, yaitu mengundang rasa kemanusiaan dan rasa sedih bagi orang yang ikut upacara. Sebab gendang ini diiringi den-gan nyanyian-nyanyian tradisi berjudul ’Lagu Pengangkat’ --mungkin jenazah ini diangkat ke sorga-- sebagai lagu tradisi untuk mengusung jenazah yang terdiri dari 48 lagu berturut-turut yang dikenal dengan istilah ‘50 - 2’ yang semua teks lagunya berisi magis yang berkaitan dengan kepercayaan.

Salah satu konteks sosial yang paling memasyarakat lagi populer untuk penyajian ensambel Gendang Lima Sendalemen ialah Pesta Gu-ro-guro Aron yang diadakan pada setiap desa di tanah Karo. Guro-guro Aron bermakna suatu upacara syukuran panen bagi suatu desa, karena sewaktu padi berperut, remaja di desa merasa resah, dan agar keresahan itu tidak berlanjut, maka diadakanlah upacara Guro-guro Aron sambil berhibur oleh muda-mudi, sekaligus untuk memberi semangat terhadap para remaja di desa masing-masing.

Ketiga, masyarakat Batak Mandahiling memiliki tiga jenis ensambel musik yang penting dalam tatanan kehidupan sosial mereka, yaitu Gor-dang Sembilan6, Gordang Lima7, dan Gondang dua8. Gordang Sembi-lan digunakan untuk menghormati Mayat Harimau, karena binatang ini dianggap hewan yang beradat. Sedangkan ensambel Gordang Lima memiliki dua fungsi: 1) berfungsi vertikal, untuk memanggil roh-roh melalui Sibaso/Sisaman (dukun). Apabila roh telah menghinggapi diri Sibaso, maka dia ditanyai tentang apa-apa yang perlu, sekaligus minta nasehat; 2) berfungsi horizontal, untuk menghormati raja-raja, boru-boru, atau Dalihan Na Tolu.

Begitu juga halnya tentang masalah hubungan timbal-balik antara musik dengan tor-tor dalam kehidupan masyarakat Batak Mandahiling. 6 2 buah Jangat 1 pemain, 2 buah Udong-Kudong 1 pemain, 2 buah Padua 1 pemain, 2 buah

Patolu 1 pemain, 1 buah Enek-Kenek 1 pemain.7 Cabutan satu-satu buah dari 5 unit Gordang Sembilan.8 Sarune, Suling, Sordam, Salung sebagai pemegang melodi, Ritem Variabel : Gondang,

Momongan, Tali Sasayap, sebagai ritme variabel, Gong, Doal sebagai ritem konstan. Penyany-inya diistilahkan dengan “Parkolong-kolong.’

Page 214: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

204

Terdapat suatu ungkapan masyarakat Mandahiling: “Terter Mulani Gondang, Somba Mulani Tortor (apa kata gendang, itu kata tari).” Secara fungsional tortor Mandahiling dibagi dua:

1. Berhubungan dengan “kepercayaan” kepada roh, karena segala sesuatu di dunia ini berasal dari roh. Penyajian tortor dan musik merupakan suatu kesatuan yang difungsikan untuk mengundang roh. Figur yang berperan menghubungkan manusia dengan roh ini adalah melalui perantaraan ‘Bayo Dato (Sibaso).’ Reper-toar yang biasa dimainkan berhubungan dengan kepercayaan ialah Alap-alap Tondi, Jolo-jolo Turun, dan Sarama Datu.

2. Berhubungan dengan “adat-istiadat” tentang urusan kehidupan dan kematian. Musik dan tortor dimainkan untuk urusan upa-cara suka-cita, seperti pesta kawin atau kelahiran (dimain-kan repertoar ‘Horja Sirizon), dan untuk upacara duka-cita, seperti kematian dimainkan repertoar ‘Horja Silulutan.’ Horja dalam musik tradisional Batak Mandahiling dapat dibagi ke-pada:

a. Tortor Suhut Sihabolon, yaitu tor-tor dan musik langsung berhubungan dengan pihak yang berpesta.

b. Tortor Anak Boru, yaitu urusan pesta yang langsung ber-hubungan dengan famili isteri.

c. Tortor Mora, yaitu urusan pesta yang berhubungan den-gan pihak bapak.

d. Naposo Bulung, yaitu urusan pesta para muda-mudi.

Selain itu, bahwa pada masa dahulu dalam masyarakat Batak Man-dahiling terdapat upacara ‘Mahadongi Hamatian,’ yaitu orang-orang yang menangisi mayat secara bersama, dan waktu mayat berangkat ke kuburan, diiringi dengan repertoar ‘gondang roto.’ Begitu juga pada upacara kematian raja, dipukul canang dan beduk yang terus-menerus dimainkan hingga seluruh famili datang ke rumah duka, dan di sini ditampilkan tortor.

Berdasarkan beberapa sampel di atas, dapat disimpulkan, bahwa segala aspek kehidupan masyarakat Batak Mandahiling selalu diling-

Page 215: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

205

kungi dengan tor-tor dan musik gondang atau gordang. Sewaktu lahir pakai gondang, kawin pakai gondang, dan waktu mati pakai gondang, serta memanggil roh dan menolaknya pun juga pakai gondang.

Keempat, etnis Batak Pakpak Dairi terkenal dengan ensambel Gor-ci9, merupakan seperangkat alat musik yang pemakaiannya berhubun-gan dengan upacara ‘adat istiadat.’ Klasifi kasi upacara adat-istiadat dipertimbangkan oleh Sulang Selima10 berdasarkan sumber penyebab wujudnya upacara tersebut; subyek upacara itu disebut dengan “kerja” yaitu kerja baik, dan kerja njahat, sebagaiman pengertian berikut:

1. Kerja Baik, yaitu pesta yang mempunyai perencanaan yang baik yang mempunyai makna dan cita-cita. Terbagi kepada tiga macam upacara:

a. Mendeger Uruk yaitu suatu pesta atau kerja baik untuk meminta/memohon kepada Debata Guru (Tuhan) “Beras Pati Tana dan Mungkeni Kula, agar seluruh masyarakat mendapat berkat dan taufi k hidayat, hidup sentosa, se-jahtera, adil dan makmur. Untuk upacara ini dipakai Gen-drang 9.

b. Merkata Sipitu yaitu suatu pesta yang diadakan sewaktu padi belum ditanam, agar mendapat hasil yang melimpah. Untuk upacara ini dipakai Gendrang 7.

c. Mre Kemban yaitu suatu pesta yang diadakan untuk me-nyembah berhala, sebelum mengenal agama. Untuk upa-cara ini dipakai Gendrang 2.

2. Kerja Njahat, yaitu pesta sewaktu terjadi keliahan/kemalangan yang tanpa perencanaan sebelumnya, misalnya orang tua yang meninggal pada usia lanjut. Terbagi kepada dua macam upa-cara:

a. Mase Sayur Matua dipakai Gendrang 5.b. Mangokal Tulan dipakai Gendrang 5.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip kehidupan sosial masyarakat Batak Pak Pak Dairi yang selalu dimediasi oleh ensambel gendrang Gorci cukup mirip dengan fungsi gordang dan gendang dari 9 Terdiri dari: Gendrang 9 (dengan 5 pemain), Gendrang 7 (dengan 3 pemain), Gendrang 5

(dengan 3 pemain), Gendrang 2, Gerantung, Kalondang, Kettuk, Gong, Cilat-cilat.10 Sulang Selima yaitu unsur adat yang tertinggi sebagai adat yang menentukan paling akhir

pada setiap pelaksanaan ‘kerja’ dalam masyarakat Pak-Pak Dairi.

Page 216: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

206

masyarakat Batak Mandahiling.Kelima, etnis Batak Simalungun menggunakan musik dan tari un-

tuk kepentingan religi, adat, dan hiburan; tanpa musik, kepentingan-kepentingan itu tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu, musisi mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat, sehingga musisi menem-pati strata yang terhormat dalam masyarakatnya, seperti “Panarunai” lebih tinggi kedudukannya, dan biasanya lebih tua dari penabuh lain-nya. Secara adat, panarunai yang menjadi pimpinan rombongan diberi “ayam, kelapa, dan beras” pada setiap penampilannya sebagai simbol spirit kemasyarakatan mereka.

Selain itu, masyarakat Batak Simalungun memiliki Topeng Huda yang penting sekali artinya bagi rakyat Simalungun. Topeng ini se-lalu dihadirkan pada setiap upacara kematian orang berumur tua yang diiringi dengan Gondrang Si Pitu-pitu. Tiga musisinya mengenakan kostum yang berbeda, yaitu desain pakaian menyerupai kuda, burung enggang. Repertoar musik Simalungun yang terkenal sebagai berikut:

1. Repertoar “Dual Parahot” yang khusus sebagai pembukaan upa-cara yang mempunyai hubungan dengan religi (roh jahat dan roh baik), artinya berguna untuk persembahan dan yang menari han-ya roh-roh baik, sedangkan roh-roh jahat diusir (diiringi tari). Selain dari penabuh dual ini adalah tidak boleh menabuhnya.

2. Repertoar “Dual Rambing-rambing” yang diiringi dengan tari. Dahulu pada dual ini dipakai gondrang si dua-dua, tetapi seka-rang sudah dipakai gondrang si pitu-pitu, merupakan repertoar pendahuluan sesudah repertoar pembukaan.

Keenam, etnis Nias terkenal dengan musik vokal ‘Ho Ho” yaitu kes-enian vokal yang teksnya berbentuk puisi. Nyanyian ini disajikan dalam konsep responsorial, dimana leader (disebut Sandroto) bernyanyi secara solo dengan melodi yang tidak banyak variasi, kemudian direspon oleh kelompok penyanyi ‘Sono Yohi’ untuk menghiasi melodi Sondrono.

Terdapat dua bentuk penyajian Ho Ho, sekaligus berfungsi untuk membedakan materi garapannya, yaitu 1) Ho Ho Ba Fetatoro (duduk); 2) Ho Ho Bame Sidi Ndo (berdiri). Dalam upacara kematian, biasanya dinyanyikan Ho Ho yang menceritakan riwayat hidup orang tua yang meninggal, sedangkan pada upacara ritual keagamaan dinyanyikan “Fo’ Ere (nyanyian pendeta) yang langsung dipimpin oleh Ere (pen-

Page 217: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

207

deta) yang memegang Fondrahi, yaitu sejenis gendang yang dipakai untuk menyampaikan sesuatu maksud dari pendeta.

Ketujuh, upacara “pesta perkawinan” dan kesenian yang melekat padanya menjadi seremoni adat yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Pesisir Sibolga dan sekitarnya. Pesta Perkawinan masyarakat Pesisir Sibolga dibagi atas tiga kelas: 1) pesta keturunan raja dengan memotong kerbau yang berhak memakai kain sampe gala 12; 2) pesta keturunan bangsawan dengan memotong sapi yang berhak memakai kain sampe gala 9; dan 3) pesta keturunan rakyat biasa den-gan memotong kambing, tetapi tidak berhak memakai kain sampe gala. Ketiga kelas upacara pesta perkawinan ini tetap dilaksanakan selama 7 hari 7 malam.

Walaupun pesta perkawinan dilaksanakan selama 7 hari dan 7 malam, tetapi puncak kemeriahannya terjadi pada malam ketiga. Menurut Fad-lin, cs, bahwa upacara basanding duo diadakan pada malam ketiga, dan upacara ini dibuka dengan irama Kapri dan Tari Sapu Tangan, dilan-jutkan dengan irama Kapulo Pinang dan Tari Payung, irama Lagu Duo serta Tari Salendang. Kemudian dengan iringan lagu Dampeng, pen-gantin laki-laki diarak masuk ke dalam ruangan tempat besanding yang langsung disandingkan dengan pengantin wanita yang sudah duduk menanti11. Biasanya hiburan musik Sikambang diadakan pada malam ketiga ini, dimana pengantin duduk di atas pelaminan untuk berinai, namun penggunaan musik Sikambang mesti mendapat persetujuan dari pengetua adat terlebih dahulu.

Apabila seseorang anggota masyarakat Pesisir Sibolga ingin meng-gunakan musik Sikambang pada pesta perkawinan, maka pengetua adat akan mengatur pelaksanaannya sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan, dan telah memenuhi syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut:

1. Menyampe, yaitu suatu tanda kelengkapan adat istiadat dalam bentuk selendang beraneka ragam warna yang dipasang pada langit-langit di atas pelaminan yang disangkutkan dengan bam-bu yang sudah ditata sesuai dengan perlengkapan pelaminan.

2. Galombang 12 adalah suatu permainan pencak silat oleh 24 orang pesilat yang dibagi atas dua kelompok. Kelompok per-

11 Fadlin, Fadlin, cs, 1985. “Tata Cara Adat Perkawinan Pesisir Sibolga.” Laporan Penelitian. Medan: USU; hal 7.

Page 218: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

208

tama mendampingi pengantin pria sebagai panglima atau raja sehari dan kelompok kedua berfungsi sebagai pengawal dari pengantin wanita. Apabila pesta perkawinan akan disempur-nakan dengan penyajian Galombang 12, maka pihak pengantin wanita/pria diharuskan menyembelih kerbau atau lembu sebagai persyaratan dalam peradatan.

Ketangkasan bermain silat sewaktu penyambutan pengantin laki-laki diiringi dengan lagu dampeng. Lagu dampeng adalah lagu vokal yang dinyanyikan oleh laki-laki, yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan antara solo vokal yang teksnya berupa doa’-doa’ kepada Tuhan dan disambut oleh orang ramai yang pada dasarnya menguatkan doa’ yang dinyanyikan oleh solo vokal12.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada waktu ber-hubungan dengan adat, musik Sikambang dimainkan di bawah langit-langit dan pelaminan. Ini merupakan arti tersirat yang tidak boleh dilanggar, kalau dilanggar adalah dianggap melanggar adat dan bagi pelanggar ada sangsi sosial bagi kelompok yang melanggar; jikalau ti-dak sanggup menghadirkan langit-langit dan pelaminan, sebaiknya ti-dak menampilkan kesenian Sikambang.

Kedelapan, kesenian tradisional warisan etnis Melayu. Walaupun falsafah orang Melayu “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabul-lah” tetapi cukup sarat produk sosial dan seninya dibarengi oleh unsur-unsur kepercayaan kepada alam roh, jin, syetan, dewa, di samping ke-percayaan kepada Allah YME.

Misalnya, musik-musik sebelum Hindu/Islam digunakan untuk mengiringi teater-teater tradisional Melayu, seperti wayang kulit, ma-kyong, menhora, mendu, bangsawan, dan lain-lain, sehingga aktivitas berkesenian memang banyak berhubungan dengan kuasa-kuasa gaib yang dimulai dengan jampi-jampi (mantera), lagu bertuah, untuk rasa perdamaian dengan kuasa gaib, seperti hantu jembalang tanah, jembal-ang laut, jin, puaka, mambang dan lain-lain, terutama dipakaikan pada alat-alat musiknya. menjauhkan bencana, mengusir hantu atau setan13.

Salah satu contoh teater tradisi di sini ialah teater Bangsawan. Teater 12 Fadlin, Fadlin, cs, 1985. “Tata Cara Adat Perkawinan Pesisir Sibolga.” Laporan Penelitian.

Medan: USU; hal 6.13 Muhammad Takari, 2005. “Musik Melayu: Akar Budaya, Akulturasi, Perubahan, dan Kontinui-

tas. Makalah. Medan: Etnomusikologi USU; hal 45.

Page 219: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

209

Bangsawan dikenal juga dengan istilah Opera Melayu. Di dalam cerita Bangsawan sudah dipakai cerita-cerita kejadian yang bersumber dari peristiwa-peeristiwa di negeri Barat. Bangsawan merupakan cikal-bakal terjadinya jenis teater —peralihan— ke teater modern dengan dua dimensi, dengan membawakan tema mengenai kesatri-aan seorang tokoh. Pembukaan dan penutup dalam permainan teater Bangsawan juga dibarengi dengan mantera-mantera. Para pemain uta-ma dengan ciri-cirinya sebagai berikut:

1. Tokoh Anak Muda yang berperan sebagai pahlawan.2. Terdapat Sri Panggung yang menjadi primadona dalam cerita.3. Terdapat Tukang Lawak yang selalu menghidupkan suasana

panggung4. Ada Jin Jahat yang berperan untuk merong-rong ide-ide dari

tokoh.

Hal yang menarik dalam teater Bangsawan, di mana Sri Pang-gung dan Anak Muda harus pandai bernyanyi dan menari. Pada daerah Melayu teater Bangsawan muncul secara berkelompok atau kumpulan-kumpulan, di antaranya yang terkenal adalah:

1. Kelompok Indra Ratu (Sultan Serdang)2. Kelompok Stambul3. Kelompok Dardanela

Setelah jaman Jepang perkembangan teater Bangsawan menu-run, tersingkirkan oleh sandiwara-sandiwara modern, karena:

1. Teater bangsawan mahal biayanya, karena sarat sekali dengan perlengkapan-perlengkapan yang harus dipersiapkan.

2. Dialog tidak bisa dipelajari dengan naskah, harus dipelajari dengan meniru tokoh dahulu secara oral tradisi.

3. Baik Anak Muda, maupun Primadona yang mempunyai kara-kater permainan yang baik, tetapi tidak bisa bertahan lama kare-na pemain yang berkualitas akan disabet oleh rombongan lain yang lebih kaya.

Menjelang Perang Dunia II teater bangsawan sudah tidak bisa bersaing lagi dengan kemajuan teknologi (fi lm, TV), dan hilangnya lafal norma-norma bahasa Melayu.

Page 220: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

210

Kemudian, sampel seni dari etnis Melayu Sumatera Utara yang di-pilih ialah lagu-lagu Melayu Deli yang langsung berhubungan dengan tarian. Bagi etnis Melayu Deli ‘Irama’ berhubungan dengan pola ritem gendang yang sekaligus tersangkut di dalamnya pemahaman terhadap “tempo” permainan suatu lagu. Beberapa Irama atau Rentak Musik Melayu Deli sebagai berikut:

1. Rentak Senandung (Malaysia: Rentak Asli); adalah nyanyian hiburan yang umum dinyanyikan di daerah Asahan dan Labu-han Batu. Rentak Senandung berbirama 4/4 dengan tempo lam-bat (andante) tetapi siklus pola ritemnya 8/4. Irama ini diiringi dengan lagu yang memaki pantun nasib, bernada sedih tentang peruntungan yang malang; maka lagu ini sering dilagukan oleh pelaut/nelayan. Rentak Senandung berasal daripada lagu-lagu Senandung, yaitu lagu yang menurut keterangan orang-orang Melayu di Sumatera Timur (kini Sumatera Utara) berfungsi un-tuk memanggil angin di laut sa’at mereka mengalami mati an-gin sewaktu menangkap ikan. Beberapa lagunya yang terkenal, seperti Kuala Deli, Makan Sireh, Dendang Sayang, Damak, dan lain-lain.

2. Rentak Lagu Dua (Malaysia: Rentak Joget); sering disebut juga dengan ‘Lagu Menari’ yang sangat digemari dalam tarian be-bas, sebagaimana tempo Samba, dan Mambo. Berbirama 2/4 dengan membawakan tempo agak cepat, dan mengiringi lagu yang memakai pantun jenaka yang merupakan pantun anak muda. Beberapa lagunya yang terkenal ialah Dua Singapura, Tanjung Katung, Pancang Jermal dan lainnya.

Pola ritem Rentak Lagu Dua sangat populer di tengah-tengah masyarakat Melayu. Tempo tercepat dari Rentak Lagu Dua ini diistilahkan dengan ‘Rentak Pulau Sari’ yang difungsikan untuk pengiring Tari ‘Serampang 12’ yang diciptakan almarhum Guru Sauti dari daerah Perbaungan.

Tarian Serampang 12 mengisahkan percintaan yang diakhiri dengan perkawinan dengan struktur gerak meliputi sejumlah 12 ragam: a. Ragam Permulaan yang artinya pertemuan pertama; b. Ragam Berjalan yang artinya cinta meresap; c. Ragam Pus-ing Tari yang artinya memendam rasa; d. Ragam Gila Kepayang yang artinya mabuk kepayang; e. ragam Berjalan yang artinya

Page 221: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

211

bersifat isyarat tanda-tanda cinta; f. Ragam Gencat-gencat yang artinya balasan isyarat; g. Ragam Sebelah Kaki yang artinya menduga; h. Ragam Langkah Melonjak yang artinya masih belum percaya; i. Ragam Meloncat-loncat yang artinya jawa-ban sudah diterima; j. Ragam Datang Mendatangi yang artinya pinangan dilakukan; k. Ragam Rupa-rupa yang artinya mengan-tar penganten; l. Ragam Sapu Tangan yang artinya pertemuan kasih mereka.

3. Rentak Mak Inang (Malaysia: Rentak Inang); ialah nama yang diberikan kepada wanita pengasuh setengah baya yang menge-palai sejumlah dayang-dayang dan penari di Istana raja. Berbi-rama 4/4 dengan membawakan tempo cepat yang diiringi den-gan lagu yang memakai pantun jenaka.

Tarian Mak Inang biasa dibawakan oleh Mak Inang (dayang pengasuh keluarga kerajaan), yang kemudian dipergunakan pula oleh rakyat awam. Tempo rentaknya sedang (sekitar 100 ketukan dasar per menit), dan kemudian rentak ini diadopsi oleh penari dan pemusik seni pertunjukan ronggeng.

Pada abad ke 20 rentak Mak Inang ini lebih dicepatkan dan lahir-lah lagu dan tari Cek Minah Sayang yang memakai sapu tangan atau selendang untuk penampilannya. Beberapa di antaranya lagunya yaitu Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Kayangan dan sebagainya.

Tempo tercepat dari Mak Inang ialah rentak Patam-patam den-gan memakai birama 4/4 dengan tempo cepat sekali, sehingga tidak diiringi dengan nyanyian/vokal manusia. Pada mulanya irama ini hanya berkembang pada daerah-daerah yang dipenga-ruhi oleh Batak Karo, karena dalam lagu tradisi Batak Karo juga ada lagu patam-patam, seperti daerah Langkat, dan Deli, serta Serdang.

4. Rentak Gubang berasal dari lagu Gubang yang terdapat di dae-rah Asahan. Irama ini mendapat pengaruh dari Arab yang ber-campur dengan pengaruh suku Batak Perdambanan di hulu Sun-gai Asahan.

5. Rentak Ghazal berasal dari perkembangan/pengaruh dari India Utara yang dibawa oleh orang-orang Islam pada awal abad 19 ke Pulau Pinang terus ke Medan. Irama ghazal ini dipakai pada

Page 222: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

212

nyanyian yang mempunyai syair-syair cinta, seperti kisah Laila, atau ada yang mengatakan Laila Majnun yang merupakan pen-garuh dari Arab.

6. Rentak Chalti; merupakan pengaruh dari India Selatan. Berasal dari Irama Chalti inilah berkembangnya pola ritme gendang pop dangdut.

7. Rentak Kelantan; berasal dari daerah Malaysia Utara atau dari daerah Thailand Selatan yang berkembang sampai ke berbagai daerah Melayu. Biasanya irama Kelantan ini dipakai untuk ke-senian dzikir yang berkembang di daerah Melayu Singapura.

8. Rentak Zapin; berkembang merata di seluruh wilayah alam Me-layu Nusantara yang merupakan suatu ritme atau rentak atau ira-ma yang merupakan pengaruh dari irama-irama Timur Tengah.

Berbagai Rentak atau irama Melayu di atas dimainkan sesuai den-gan ciri khas alat musik gendang yang dimiliki oleh masing-masing rentak di atas, seperti Rentak Senandung dilahirkan dengan gendang ronggeng, Rentak zapin dimainkan dengan gendang Marwas, dan lain-nya.

Sebetulnya, di antara kedelapan jenis rentak yang dimiliki etnis Me-layu Deli ini telah menjadi master-piece pada tataran konteks hiburan dalam masyarakat Melayu Sumatera khususnya, dan Melayu Nusan-tara umumnya. Walaupun instrumentasi, konsep musikal dan konsep pertunjukan masing-masing rentak di atas telah mengadopsi konsep harmoni musik Barat, tetapi ciri-ciri khas dalam pembawaan lagu dan melodi tetap didominasi oleh karakter Melayu, bahkan karakter lagu dan melodi Melayu tersebut telah menuntut terjadinya pemodifi kasian progresi akord-akord musik Melayu Deli yang tidak lagi sepenuhnya mengaplikasikan konsep harmoni musik Barat (musik tonal). Dengan demikian, kedelapan jenis rentak Melayu Deli ini termasuk klasifi kasi musik modal yang masuk kategori musik tradisional etnis Melayu di Sumatera Utara.

Kondisi Kehidupan Kesenian Tradisional di Sumatera Utara Dewasa Ini (Perubahan dan Keberlanjutan)

Dahulu areal kabupaten lebih merujuk kepada geografi s yang didi-

Page 223: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

213

ami suatu etnis, sekarang terjadi pemekaran pemerintahan yang berore-antasi kepada luas wilayah dan jumlah penduduk. Analoginya, akan terdapat etnis tertentu yang berada pada daerah kabupaten yang domi-nan didiami oleh etnis lainnya, dan dalam perjalanan waktu, di antara masyarakat dari delapan etnis asli Sumatera Utara juga pergi merantau ke kota-kota propinsi ini bergabung dengan para perantau yang ber-asal dari etnis di luar Sumatera Utara. Oleh karena itu, dijumpailah kondisi kehidupan kesenian pada masing-masing etnis secara homo-gen, dan kondisi kehidupan kesenian pada masyarakat kota-kota di Sumatera Utara yang heterogen dalam membangun komunikasi sosial mereka. Dengan demikian, secara garis besar pembicaraan bagian ini akan terfokus kepada tiga fokus utama terhadap penggunaan kesenian tradisional –yang tetap dan yang berubah-- dalam komunikasi sosial kehidupan masyarakat Sumatera Utara dewasa ini, serta prospek keber-lanjutannya di masa datang.

Mengamati dinamika kehidupan delapan etnis asli Sumatera Utara dewasa ini, ternyata kondisi kesenian tradisional dalam sosio-kehidu-pan masyarakat dari etnis Batak Mandahiling, Batak Pak Pak Dairi, Batak Simalungun, Nias, Pesisir Sibolga, dan Melayu masih tetap dan belum mengalami perkembangan yang berarti. Penilaian ini didasar-kan atas eksistensi kesenian itu di dalam etnisnya masing-masing, dan pengaruhnya terhadap penikmatan seni masyarakat heterogen di kota-kota Sumatera Utara, bahkan pengaruhnya terhadap etnis lain di luar Sumatera Utara.

Sebetulnya, posisi musik dan tari Melayu Deli yang didasarkan ke-pada konsep rentak sebagaimana pembicaraan di atas sangat potensial sebagai musik tradisi etnis Melayu yang bisa membangun komukasi sosial pada tataran pergaulan semua etnis (asli dan pendatang) Suma-tera Utara di masa sekarang dan akan datang. Beberapa alasannya: 1) teks lagu-lagunya menggunakan bahasa Melayu yang beranalogi den-gan bahasa Indonesia; 2) Instrumentasi dan konsep musikalnya telah mengadopsi unsur-unsur musik Barat; 3) konsep pertunjukannya telah meminjam cara-cara pertunjukan musik populer; 4) karakter lagu dan melodinya mudah dicerna dan diterima oleh semua etnis.

Sehubungan dengan itu, sangat disayangkan bahwa potensi ini ti-dak dapat diraih oleh genre musik Melayu Deli ini, karena terjadi ke-mandekan kreativitas para senimannya, sehingga repertoar lagunya

Page 224: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

214

masih nomor-nomor sediakala yang telah usang. Bahkan yang cukup mengiris perasaan, bahwa pertunjukan Musik Melayu Deli dewasa ini adalah dihidupkan oleh musisi-musisi yang sebagiannya berasal dari et-nis Minang, Batak Karo, dan etnis lainnya, karena telah gagalnya semi-man senior mewujudkan kaderisasi generasi mudanya.

Perubahan kondisi kehidupan kesenian yang cukup fenomenal ter-jadi pada etnis Batak Toba dan Batak Karo, sehingga berdampak ter-hadap eksistensi kesenian etnis tersebut di tengah percaturan kesenian, baik di tengah kehidupan etnisnya sendiri, ataupun pada kehidupan kota-kota Sumatera Utara yang heterogen, maupun pada taraf nasional.

Dalam hal ini, Rithaony Hutajulu menjelaskan proses perubahan eksistensi musik gondang dalam kehidupan etnis Batak Toba seb-agaimana berikut, bahwa perubahan yang mendasar terjadi dalam din-amika keberlangsungan kehidupan tradisi seni gondang pada masyara-kat Batak Toba dapat ditandai dengan masuknya agama kristen ke tanah Batak. Misionarisasi Kristen di tanah Batak dimulai sejak tahun 1860-an. Sejak saat itu berbagai pertunjukan tradisi gondang secara praktis dibatasi (restricted) dan dalam beberapa kasus dilarang (prohibited). Pembatasan dan larangan ini khususnya dikenakan pada masyarakat Batak Toba yang telah beralih (converted) ke agama Kristen.

Pembatasan biasanya dilakukan dengan adanya sejumlah kompro-mi; misalnya, musik gondang hanya boleh dimainkan pada acara-aca-ra tertentu yang “hanya” berkaitan dengan aktivitas sosial, misalnya dalam upacara adat, perkawinan, dan harus minta izin pada gereja. Se-dangkan hal yang sama sekali dilarang adalah berbagai elemen ritual atau upacara terkait dengan kepercayaan lama (pra-Kristen), khususnya dalam penyembahan roh (“sipelebegu”). Konsekuensi yang diterima bagi anggota masyarakat Batak Kristen yang tetap melakukannya, mer-eka akan dikeluarkan (“ban”) dari gereja. Sebaliknya, para misionaris Kristen memperkenalkan jenis ensambel musik tiup Barat (brass mu-sic) kepada masyarakat Batak Toba, terutama digunakan dalam aktivi-tas ritual keagamaannya14.

Pada sisi lain, repertoir Gondang Sabangunan yang semata-mata un-tuk tujuan hiburan mempunyai garapan melodis yang lebih luas. Alat musik Gondang Sabangunan sering ditambah dengan musik ringan,

14 Rithaony Hutajulu, 2002. “Gondang: Kebudayaan Musik Batak Toba di Sumatera Utara.” Makalah. Bandung: UPI; hal 11-12.

Page 225: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

215

sarunai etek (sarunai kecil), hasapi lagu (kecapi lagu), sulim (suling), garantung lagu dan garantung bass. Tangga nada yang dipakai jauh lebih luas. Gaya seperti ini lazim dipakai mengiringi lagu daerah Batak Toba dengan kombinasi garapan melodis dengan pendekatan ’modern’. Contoh musik Gondang Sabangunan ditambah musik ringan mengir-ingi lagu-lagu disertai vokal dengan judul “Alai Badogem’15.

Dengan demikian, masyarakat etnis Batak Toba telah menyikapi pergolakan sosio-seni yang terjadi dalam kehidupan beradat dan be-ragama mereka dari format lama ke dalam formulasi baru yang tidak menghilangkan konsep seni tradisinya yang asli, sebagaimana contoh berikut:

Tiga macam klasifi kasi fungsi Gondang Batak Toba yang dahulu:1. Margondang Pesta, untuk mengiringi pesta, upacara adat di

Batak Toba.2. Margondang Sibarang, untuk mengiringi orang mati, orang ti-

dak punya anak, orang tidak kawin.3. Margondang Mamele, untuk mengiringi upacara yang bersifat

keagamaan.

Tiga macam klasifi kasi fungsi Gondang Batak Toba yang sekarang, sebagai berikut:

1. Margondang Hiburan, untuk mencari dana pembangunan ge-dung, gereja dll.

2. Margondang Adat, untuk mengiringi upacara pemberian nama, kematian, perkawinan.

3. Margondang Religi, untuk pesta keagamaan/kepercayaan suku Batak Toba.

Sebaliknya, bila berhubungan dengan selera populer, maka sesuatu modifi kasi dalam bentuk kreativitas bisa terjadi, tetapi nilai-nilai es-tetika tradisional masih tetap dipertahankan, sebagaimana yang din-yatakan oleh Ritha Ony Hutajulu, bahwa fenomena lainnya bisa dilihat adalah kreativitas dari Nortir Simanungkalit, seorang pemusik/kom-poser Batak Toba, yang memiliki latar belakang musik Barat dengan karya eksperimentalnya, yakni menggabungkan/ mengakumulasikan semua jenis alat musik tradisi Batak Toba dalam format “orkestra.” 15 Banggal Marpaung, 1994. Ansambel Musik Gondang Sabangunan. Buku Buklet. Jakarta:

Proyek Pembinaan Kesenian Depdikbud; hal 3-4.

Page 226: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

216

Beberapa hal yang ia kerjakan antara lain: 1) menstandardisasi laras/tuning semua alat musik berdasarkan konsepsi musik diatonis Barat; 2) meluaskan peran musikal tiap alat musik berdasarkan peniruan stan-dar orkestrasi Barat; misalnya, membuat formulasi alat musik hasapi, garantung, sarune etek dan sulim berdasarkan tingkatan soprano, alto, tenor dan bass; dan 3) memainkan lagu-lagu Barat dan populer Batak, tidak dalam kaidah tekstural heterofonis tradisional, tetapi dalam gara-pan harmoni Barat16.

Selanjutnya, perubahan yang cukup mencengangkan juga terjadi pada kesenian tradisional Batak Karo. Seniman Gendang Lima Sen-dalemen etnis Batak Karo membuat sesuatu yang kontroversial dalam masalah penggunaan instrumen Kulcapi. Permainan Kulcapi secara manual yang diperkeras suaranya dengan bantuan mic dikembangkan dengan penggunaan spull mic yang langsung dipasangkan pada badan Kulcapi tersebut. Sebetulnya penggunaan spull-mic inipun sudah ber-masalah terhadap originalitas akustik dari Kulcapi itu sendiri, sehingga karakter bunyinya sudah terbias oleh rambatan bunyi spull-mic terse-but.

Terdorong oleh kemajuan tekonologi elektronik, maka seniman Kulcapi Karo yang terkenal bernama Jasa Tarigan membuat lompatan yang drastis dengan meninggalkan instrumen Kulcapi dan menukarnya dengan alat musik orgen yang mengadaptasikan karakter permainan melodi Kulcapi padanya, sehingga disebut dengan “Kulcapi Orgen.” Ironisnya, permainan Gendang Lima Sendalemen plus Kulcapi Orgen mendapat sambutan baik oleh masyarakat Batak Karo, baik dalam kon-teks upacara Guro-guro Aron dan upacara adat lainnya, maupun dalam konteks musik populer Karo.

Pada sisi lain, terinspirasi oleh permainan Kulcapi Orgen, seniman-seniman pop Karo mengembangkan lagi sayapnya dengan memadukan karakter melodi Kulcapi/Sarune Karo dengan karakter melodi Saluang Minang sebagai aransemen musik pengiring lagu-lagu pop Minang, sehingga lahirlah paket musik pop yang bernama Pop Karmina (Pop Karo Minang), bahkan kombinasi komposisi Kulcapi/Sarune Karo juga terjadi untuk musik Melayu Deli. Walaupun kreativitas ini masih be-rada pada tataran eksperimen, tetapi konsumen etnis Karo, Minang dan

16 Rithaony Hutajulu, 2002. “Gondang: Kebudayaan Musik Batak Toba di Sumatera Utara.” Makalah. Bandung: UPI; hal 16.

Page 227: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

217

Melayu cukup mengapresiasi kehadiran kaset-kaset tersebut.Dampak dari segala kreativitas seniman-seniman Batak Toba di atas,

ternyata karya-karya musik populer Batak Toba yang masih memiliki sentuhan aransemen musiknya dengan instrumentasi Gondang Saban-gunan, Gondang Hasapi dan Uning-uningan telah dikonsumsi oleh ma-syarakat urban kota-kota Sumatera Utara yang heterogen. Begitu juga lagu-lagu populer Batak Karo yang aransemen musiknya mendapat sentuhan Kulcapi Orgen dan Sarune Orgen –walaupun kuantitasnya ti-dak sebanyak musik Batak Toba-- juga telah mendapat sambutan dari masyarakat urban kota di Sumatera Utara tersebut.

Sehubungan hal di atas, sebetulnya usaha membangun komunikasi sosial antar etnis yang mendiami kota-kota di Sumatera Utara melalui kesenian tradisional telah digagas oleh Lembaga Kesenian Universitas Sumatera Utara (LK USU) dalam bentuk paket seni pertunjukan yang terdiri dari kombinasi nomor-nomor seni tradisional dari semua etnis (asli dan pendatang) yang mendiami kota Medan. Paket pertunjukan ini menghadirkan Gondang Sabangunan dan tot-tor dari Toba, Sordam dan Piso Surit dari Karo, Tari Martonun dari Simalungun, Gordang Sembi-lang dari Mandahiling, Gendrang Goci dari Pak Pak Dairi, Sikambang dari Pesisir Sibolga, tari Serampang 12 dari Melayu, Ratoh dari Aceh, dan Tari Rantak dari Minang. Paket ini cukup mendapat perhatian dari pihak pemerintahan, sehingga paket yang khas LK USU ini telah men-jadi model bagi pihak pemerintah dalam mengadakan resepsi-resepsi kesenian, dan misi kesenian atas nama pemerintahan Sumatera Utara. Melalui model paket seperti ini, kesenian tradisional telah memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap bangunan komunikasi sosial, khususnya bagi heterogenitas kota Medan.

KesimpulanBerdasarkan studi kasus seni tradisi dan poluler yang terjadi di Su-

matera Utara dalam membangun media komunikasi sosial di Sumatera Utara, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Musik tradisional dari berbagai etnis asli Sumatera Utara yang tidak mengalami pergolakan kreativitas oleh seniman-seniman-nya ternyata eksistensinya masih tetap berada pada lingkaran kehidupan etnisnya sendiri sehingga tidak banyak diapresiasi oleh masyarakat urban kota-kota Sumatera Utara yang hetero-

Page 228: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

218

gen, kecuali oleh etnisnya masing-masing yang merantau ke kota tersebut.

2. Etnis asli Sumatera Utara Batak Toba dan Batak Karotelah mengalami dinamika perubahan yang cukup fenomenal untuk era dewasa ini. Walaupun permasalahan agama (Kristen) telah mengintervensi eksistensi kesenian tradisional Batak Toba ter-hadap konteksnya yang religius, namun masyarakat Batak Toba telah menyikapinya dengan bijaksana. Etnis ini telah mengada-kan peninovasian, penukaran instrumentasi dan konsep musikal ensambel musiknya terhadap konteks yang berhubungan den-gan ibadah keagamaan sesuai dengan pengaruh visi dan misi tokoh-tokoh agama tersebut. Pada sisi lain, mereka masih tetap mempertahankan instrumentasi dan konsep musikal ensambel musiknya yang asli untuk keperluan yang berhubungan dengan upacara-upacara adat, dan melakukan penginovasian kesenian tradisinya untuk kepeluan hiburan masyarakatnya.

3. Paket-paket pertunjukan seni yang terdiri dari kombinasi ma-teri seni dari etnis-etnis asli dan etnis pendatang di Sumatera Utara untuk mengisi berbagai jenis resepsi hiburan –terutama kota-kota-- sebagaimana modelnya yang telah ditunjukkan oleh Lembaga Kesenian USU Medan, adalah memiliki potensi yang sangat ideal lagi strategis sebagai media pembangun komuni-kasi sosial bagi masyarakat Sumatera Utara yang heterogen.

Daftar PustakaBanggal Marpaung, 1994. Ansambel Musik Gondang Sabangunan. Buku Buk-

let. Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Depdikbud.Emmi Simangunsong, 1988. “Fungsi Musik Gondang Sabangunan dalam Up-

acara Ritual Parmalim Sipaha Sada di Desa Lumban Gambiri, Kecamatan Silaen.” Skripsi. Medan: Etnomusikologi USU.

Fadlin, cs, 1985. “Tata Cara Adat Perkawinan Pesisir Sibolga.” Laporan Pene-litian. Medan: USU.

Fadlin, 1988. “Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumaera Timur.” Skripsi. Medan: Etnomusikologi USU.

Hajizar, 1996. “Musik Melayu Nusantara dalam Era Globalisasi (Pelestarian dan Pengembangan). Makalah. Shah Alam: UiTM Shah Alam, Malaysia.

Muhammad Takari, 2005. “Musik Melayu: Akar Budaya, Akulturasi, Perubahan,

Page 229: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

219

dan Kontinuitas. Makalah. Medan: Etnomusikologi USU.------------------------, 2004. “Tari dalam Konteks Budaya Melayu.” Makalah. Me-

dan: Etnomusikologi USU.Rithaony Hutajulu, 2002. “Gondang: Kebudayaan Musik Batak Toba di Sumatera

Utara.” Makalah. Bandung: UPI.Soegijo, 1987. ”Budaya Sumatera Utara dan Upaya Pembinaan-Pelestariannya.”

Makalah. Medan: Panitia Pesta Budaya Daerah Sumatera Utara.Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Page 230: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

220

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Hj. Nirwana Murni, S. Kar., M.Pd. Kelahiran Agam 17 Agustus 1952. Saat ini menjadi Dosen ISI Padang Panjang, Sumatera Barat dengan kepangkatan Lektor Kepala. Pernah menjadi Pembantu Ketua II ISI Padang Panjang. Aktif dalam penelitian dan pendiiakan mengenai Tari Minangkabau.

Page 231: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

221

Pendahuluan

Seni pertunjukan dengan beragam jenis dan bentuknya dapat ter-kait dan hadir di dalam bermacam-macam kesempatan. Ia tampil sebagai ungkapan kepentingan yang berlainan. Tontonan, upaca-

ra-upacara yang bersifat ritual merupakan aspek penting dalam kehidu-pan manusia. Sampai saat ini masyarakat Indonesia juga mengadakan upacara-upacara dalam berbagai bentuk dan dalam rangka tertentu. Ada yang didahulukan dengan potong tumpeng disertai tepuk tangan dan nyanyian. Ada juga yang dilakukan secara khusuk, khidmat, tenang tan-pa ada suara bergaung. Ada yang dilakukna dengan arak-arakan men-gelilingi desa. Ada juga duduk bersama semalam suntuk sambil men-dengarkan pantun atau puisi yang dilagukan. Mereka memiliki tradisi dan bentuk upacaranya sendiri sesuai dengan kebudayaan masing-mas-ing. Tetapi diantara bentuk-bentuk upacara tersebut ada bentuk upacara yang tergolong “seni pertunjukan”.

Seni pertunjukan yang diselenggarakan berkaitan dengan upacara masih dapat dijumpai di berbagai daerah. Antara daerah satu dengan daerah yang lainnya memiliki cirri khas kedaerahan yang berbeda-be-da, dan hal ini disebut dengan seni tradisional. Seni tradisional dimak-sud adalah tari.

Palembang merupakan sebuah wilayah kota madya yang berada di

Strategi Kemasan Seni Tradisi Sebagai Media Komunikasi Sosial

di Sumatera Barat

Nirwana Murni, S.Kar., M.Pd.Dosen Jurusan Seni Tari STSI Padang Panjang

Page 232: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

222

Sumatera Selatan. Masyarakat di wilayah ini sebagian besar hidup dan mencari nafkah dalam pola budaya nelayan. Keberadaan pada upacara-upacara adat yang bersifat komunal maupun individual dianggap pent-ing. Oleh karena itu hampir setiap penyelenggaraan upacara adat selalu dijumpai seni pertunjukan yang menyertai, seperti tari penganten, tari sitabih, tari sembah, dan tari gending sriwijaya.

Palembang sebagai sebuah wilayah budaya di kenal dengan kerajaan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan maritim di Sumatera pada abad ke-7 dengan pusat kedatuannya terletak di Bukit Siguntang, yaitu suatu tem-pat di sekitar sungai musi di sebelah utara kota Palembang. Kedatuan ini dikenal dengan nama kedatuan bukit yang menjadi penguasa tung-gal daerah sebelah barat Indonesia pada masa itu (Depdikbub, 1984: 13).

Dengan lahirnya Kedatuan Sriwijaya lahir pula kesenian di kalangan bangsawan. Lingkungan istana mulai memelihara dan mengembangkan seni yang mengagungkan kebesaran raja, termasuk di dalamnya adalah tari Gending Sriwijaya.

Tari Gending Sriwijaya yang dikenal sebagai tari adat oleh masyara-kat Palembang merupakan peninggalan masa itu dengan Hindu Budha sebagai agama masyarakat. Pada tari ini unsur agama tersebut terlihat suasana keagamaan yang dibangun oleh gerak-gerak tari yang meng-gambarkan sebagai Budha tengah bersemadi (Leoni Wagirah, 1975: 3).

Dari sisi koreografi tari Gending Sriwijaya merupakan sebuah sajian tari yang dilakukan oleh 9 orang penari putri dengan rincian; satu orang sebagai pembawa tepak (tempat berbentuk segi empat untuk sekapur sirih), dua orang pembawa peridonan kembar (tempat tepak) dan enam orang sebagai pengiring. Selain sembilan orang penari putri tersebut, tari ini didukung pula oleh dua orang pria/ garis panjang dan tombak, dan seorang lagi bertugas sebagai penyanyi.

Struktur dan pola penyajian ini sangat teratur dan hierarkis. Gerak tari yang lembut mengalun perlahan ditunjang dengan tata rias dan busana penari seperti pengantin wanita Palembang memberikan sen-tuhan emosional tersendiri. Volume gerak tangan dan kaki terkontrol cenderung membangun sebuah ciri karakteristik dan gaya putri halus. Hirarki penari yang ditentukan berdasarkan kedudukan orang tua di dalam pemerintahan semakin menunjukkan bahwa nilai-nilai yang ter-dapat di dalam tari ini mempunyai makna tersendiri. Sebagaimana tari

Page 233: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

223

budaya yang memiliki penamaan pada setiap pelaku tarinya, pada Gen-ding Sriwijaya juga ditemukan perbedaan penamaan itu. Penari pada barisan pertama, kedua, dan ketiga yaitu penari nomor satu, dua, tiga, empat dan lima adalah penari tingkat Asean Gede. Mereka adalah pu-tra putri dari raja. Pada baris berikutnya yaitu nomor enam dan tujuh adalah penari tingkat Asean Selendang Mantri, terdiri dari putri-putri menteri. Pada baris terakhir yaitu nomor delapan dan sembilan adalah tingkat Asean Pak Sangkang yaitu putrid pejabat biasa dalam pemerin-tahan (Leoni Wagirah, 1975: 32). Pada masa lampau penentuan pakaian pengantin ini terjadi pula di masyarakat umum artinya, mereka yang bukan keturunan raja umumnya tidak diperkenankan memakai pakaian pengantin Asean Gede (dadot Palembang).

Ciri lain yang terdapat pada tari Gending Sriwijaya adalah properti yang dipakai yaitu tanggai. Tanggai adalah kuku panjang yang me-makai rumbai disebut oncer. Tanggai ini dipakai di jari kelingking, ma-nis, tengah dan telunjuk. Ibu jari tidak bertanggai. Bentuk tanggai yang melengkung ke atas melambangkan perahu. Sedangkan oncer melam-bangkan kekayaan yang melimpah dari sungai musi yang membelah kota Palembang.

Tari ini disebut Gending karena lagu pengiringnya berjudul Gending Sriwijaya. Lagu ini melodinya diciptakan oleh M. Dahlan, sedangkan liriknya digubah oleh Mungcek A.R., menceritakan kejayaan Sriwijaya di masa lampau. Fungsi awal tari ini diyakini sebagai sajian pada waktu raja mengadakan pertemuan dengan seluruh kerabat sebelum melak-sanakan pekerjaan berat, untuk ulang tahun raja, dan pesta perkawinan anak raja.

Tinjauan HistorisSekitar tahun 1659 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Hal ini

menyebabkan tari Gending Sriwijaya turut hilang bersama runtuh-nya kesultanan ini. Mungkin karena kerajaan maritim, pusat kerajaan tidak begitu penting, sehingga tari bukan merupakan pusaka keratin yang tetap terjaga. Kuntowijoyo mengatakan bahwa pada masyarakat mungkin tipe-tipe kerajaan maritim dan komersial pusat kerajaan ti-dak begitu penting sehingga sulit dicari kesinambungan lembaga yang memproduksi kearifan simbolis (Kuntowijoyo, 1987: 13). Hal ini di-mungkinkan karena pada masyarakat maritim di muara sungai dan laut

Page 234: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

224

seperti umumnya kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaysia, Suma-tera, dan Kalimantan mempunyai cirri demokratis, karena perbedaan antara rakyat dengan penguasa pada dasarnya tidak besar. Golongan bangsawan, raja, dan rakyat ikut serta dalam perniagaan, bersama sama raja dan bangsawan memiliki modal (kapal) yang kadang-kadang berni-aga sendiri atau mempercayakan modalnya kepada ahli-ahli perniagaan yang disebut syahbandar dengan hulubalang yang bertugas menjaga keamanan disebut Hang (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990: 467).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara Kesultanan laut dengan Kerajaan agrarian yang melahirkan budaya keraton. Ber-beda dengan kesultanan laut, di kerajaan agrarian kesatuan politik tetap ada selama masih ada pusaka-pusaka dan siti hinggil (tahta) masih be-rada di tempat suci. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa selama ada keraton, kerajaan masih ada. Bahkan kerajaan yang fungsi politiknya telah dihapuskan seperti pada Sultan Hamengkubuwono VIII, Sultan masih tetap memegang teguh konsep kekuasaan Ratu Gung Binantaha-ra atau “raja yang di dewakan”, dengan hanya dalam bidang budaya.

Dari uraian tersebut dimungkinkan bila tari Gending Sriwijaya seb-agai hasil budaya kesultanan Palembang turut hidup bersama runtuhnya kesultanan ini, karena selain tidak ada lagi lembaga budaya yang me-wadahinya, pada tipe kerajaan maritim pusat kerajaan tidaklah begitu penting sehingga tari bukan merupakan pusaka keraton yang tetap ter-jaga.

Tari ini muncul lagi pada masa penjajahan Jepang. Dengan politik halus, Jepang membentuk sebuah organisasi musisi kesenian bernama Hodohang beranggotakan orang Jepang dan masyarakat Palembang. Pada masa itu tari Gending Sriwijaya muncul lagi kepermukaan dan setelah kemerdekaan tari ini disahkan menjadi tari adat oleh pemerin-tah daerah. Sejak saat itu tari Gending Sriwijaya sebagai sebuah per-tunjukan tari dipentaskan hanya pada penyambutan tamu agung dalam upacara kenegaraan sebagai ucapan selamat datang. Bila tidak diacara kenegaraan, maka pementasan tari ini harus mendapat izin khusus dari pemerintah.

Perjalanan sejarah dan wujud yang indah dari tari Gending Sirwi-jaya semakin mengukuhkan tari ini dianggap merupakan hasil dari sebuah lembaga budaya kerajaan yang diyakini menghasilkan budaya yang halus, bernilai tinggi. Dari uraian di atas maka tidak mengher-

Page 235: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

225

ankan apabila tari Gending Sriwijaya terpilih oleh penguasa daerah seb-agai identitas yang ditunjukkan guna kebanggaan daerah, sebagaimana yang selalu didengungkan pada masa lalu sebagai puncak budaya dae-rah yang pada akhirnya dianggap sebagai kebudayaan nasional. Akan tetapi apakah usahan pensakralan yang dilakukan kaum birokrat telah pula menyentuh masyarakat Palembang sebagai penyangga budaya tersebut?. Hal ini dikarenakan bila dilihat secara umum, masyarakat Sumatera memiliki tradisi kuat untuk menghormati dan menjamu tamu sebagaimana seorang raja.

Bagi mereka, merupakan aib apabila tidak dapat menjamu tamu se-baik mungkin. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa orang yang seringkali didatangi tamu adalah orang yang sering dijadikan tempat bertanya bagi orang lain, sehingga ia terhormat karena ilmu yang di-milikinya atau karena kedudukannya yang menyebabkan tamu harus bertandang ke rumah tersebut. Pada sebuah perkampungan yang rela-tif sepi dalam rutinitas keseharian, kedatangan tamu merupakan suatu yang menjadi perhatian masyarakat sekitar. Orang asing akan selalu menarik perhatian dari sebuah lingkungan homogen yang cenderung saling mengenal satu sama lain sampai pada keturunan mereka.

Pada masyarakat Sumatera Utara kebanggaan mereka menerima tamu diwujudkan dalam bentuk tari Serampang Duabelas, bahkan Ser-ampang Duabelas dijadikan “bomnya” tari Melayu pada peresmian hari kemerdekaan Republik Indonesia I tahun 1945 di Istana Negara Jakarta yang diresmikan oleh Presiden Pertama Indonesia Soekarno.

Di daerah Pariaman Sumatera Barat juga ditemui seni pertunukan yang mereka sebut galombang seabgai bagian upacara pengangkatan penghulu suku. Tradisi seni pertunjukan galombang khas orang Paria-man dapat ditemui hampir disetiap daerah dalam wilayah kebudayaan Pariaman.

Kekhasan pertunjukan galombang dapat diamati dari dua sisi, per-tama, galombang tamu dan kedua galombang tuan rumah. Keduanya dipertunjukkan serentak dalam bentuk berlawanan. Pertunjukan ini bi-asanya menjadi bagian atau menempati posisi sebagai bagian dari pesta yang berhubungan dengan pelantikan pemimpin (penghulu) (Mahdi Bahar, 1998: 24-25). Galombang ini di bawah 6 – 12 orang penari laki-laki dewasa dengan gerakan tertentu dan diiringi musik tambua, disa-jikan dalam bentuk menyongsong tamu. Tamu yang dimaksud adalah

Page 236: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

226

setiap rombongan penghulu suku yang datang dari persukuan dalam ke-nagarian di daerah mana upacara diselenggarakan (Hartati, 1997: 52).

Dari tradisi ini tidak mengherankan bahwa tari-tari yang mengiringi penyambutan tamu tumbuh subur di daerah Sumatera. Beberapa tari pe-nyambutan tamu seringkali juga ditampilkan pada upacara perkawinan berkaitan dengan kenyataan bahwa kelompok besar adalah tamu yang datang dan masuk ke dalam lingkungan rumah dan keluarga besar, se-hingga merupakan kelompok orang yang sangat dihormati.

Kenyataan di dalam masyarakat yang mendudukkan seorang peneri-ma tamu (tuan rumah) setara dengan tamu yang hadir di rumahnya ba-rangkali yang menyebabkan tari Gending Sriwijaya mensyaratkan bah-wa tamu yang datang harus pula setingkat Gubernur, sebagai seorang yang memiliki kedudukan tertinggi pada struktur lembaga pemerintah-an tingka I sebuah propinsi. Dari sana terungkap kesan bahwa ada usaha dari pemerintah daerah untuk menempatkan diri pada posisi sebagai penguasa yang melegitimasi kedudukan mereka baik secara birokrat maupun simbolis. Tampaknya kita secara umum memasuki masyarakat baru, masyarakat teknoratis yang memerlukan sejumlah rekayasa sim-bolis yang dikerjakan oleh birokrasi. Ia memandang bahwa masyarakat teknokratis kita benar-benar sebagai sebuah masyarakat neo patrimo-nial, yang mengambil manfaat kearifan aktual dan kearifan simbolis yang menyatu (Kuntowijoyo, 1987: 14).

Strategi Kemasan Seni TradisiStrategi pelestarian warisan budaya berkenaan dengan dua aspe-

knya, yaitu 1) kelembagaan, dan 2) sumber daya manusia. Disamping itu harus ditetapkan lebih dahulu apa tujuan dari pelestarian warisan budaya itu. Pelestarian mempunyai makna bahwa di dalamnya terdapat dua aspek sekaligus, yaitu pemertahan dan dinamika. Pendekatan lain yang perlu diambil untuk melestarikan warisan budaya adalah sosia-lisasi konsep-konsep, kaidah-kaidah, pola-pola, dan nilai-nilai harus dilakukan terus menerus dari generasi ke generasi agar itu semua dapat lestari. Namun dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa pelestarian tidak harus berarti pembekuan. Inovasi dan kreativitas perlu didampingkan dalam proses sosialisasi tersebut. Kreativitas di dalam “tradisi” harus tetap diberi ruang gerak. Hanya dengan membuka peluang untuk kreati-vitas dan inovasi itulah kebudayaan dapat tumbuh semakin kaya dan

Page 237: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

227

canggih dan sekaligus lestari oleh sebab daya hidupnya (Edi Sedyawati, 2008: 208).

Tari Gending Sriwijaya sebagai kebudayaan suku bangsa selalu be-rada dalam proses, di dalam kancah hubungan antar budaya yang selalu terjadi. Yang selalu harus dijaga oleh masyarakat pemilikinya, termasuk di dalamnya unsur pemerintah, adalah agar keseimbangan senantiasa dipertahankan; antara keberlanjutan dan perubahan, sedemikian rupa agar jati diri bangsa senantiasa tampil dengan jelas dan tidak diteng-gelamkan. Oleh pengaruh asing tertentu.

Berbagai upaya harus dilakukan yang memungkinkan berperannya tari Gending Sriwijaya adalah festival seni daerah pada perayaan 17 Agustus, tidak terkecuali dalam peristiwa seperti kedatangan pejabat pemerintah atau orang terkemuka lain ke desa mereka untuk maksud hiburan, rekreasi dan penilaian artistik.

Kebutuhan yang sama juga muncul dari sektor turism, karena pemerintah bertujuan membangun sektor ini sebagai bagian dari ke-bijakan pembangunan regional dan nasional. Untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan tersebut sisi artistik dari tari Gending Sriwijaya harus dipertimbangkan. Akibatnya, prinsip artistik dari seni pertunju-kan seperti properti, konstum, pola lantai, gerak, iringan, dan tempat pertunjukan harus disorot. Sekadar latihan dasar pertunjukan tidak akan cukup. Latihan khusus dengan sentuhan professional dibutuhkan untuk menjamin pertunjukan dapat memenuhi standar artistic dan pada saat yang sama memberikan hiburan dan rekreasi. Ini berarti bahwa sema-kin banyak pelaku seni pertunjukan yang dibutuhkan. Untuk memenuhi kebutuhan ini adalah anggota masyarakat dalam berbagai perannya. Mereka yang merupakan pelaku dan penerus nilai-nilai (pemimpin, pendidik formal dan non formal).

Disamping mereka yang berperan sebagai pelaku dalam peneru-san warisan budaya, terdapat pula mereka yang berkedudukan sebagai penerima, yaitu khalayak ramai. Melalui jalur pendidikan dan media massa pulalah masyarakat luas dapat dilayani untuk membuat dirinya menjadi masyarakat yang sadar budaya dan sadar sejarah. Warga ma-syarakat yang demikianlah yang pada gilirannya mampu menjadikan bangsanya yang kuat juga dalam segi budaya. Tetapi masih ada per-tanyaan yang tertinggal, siapa yang akan mulai yang mengkoordinasi semua tindakan yang diperlukan ini dan lewat mekanisme apa?.

Page 238: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

228

Prospek Masa DepanDalam hubungannya dengan turisme, kita harus mempertimbang-

kan kebiasaan para turis dalam mengunjungi desa-desa. Beberapa turis lebih senang menikmati tamasya kultural di pedesaan, yang lain senang berpartisipasi dalam aktivitas kultural dan kehidupan sosial masyara-kat lokal (Zeppel, 1992: 4 – 6). Dalam kaitannya dengan tari Gend-ing Sriwijaya, tipe turis yang pertama biasanya tidak hanya menikmati aspek rekreasi dan hiburan dari tarian itu, tetapi juga momen-momen artistiknya, termasuk durasi pertunjukannya. Langkah menuju pada; 1) tiruan dari asliya, 2) singkat atau padat, 3) penuh variasi, 4) ditanggal-kan dari nilai-nilai sacral atau magis dan simbolisme, serta 5) murah harganya (Soedarsono, 2003: 15 – 17) sudah menunjukkan tanda-tanda mulai dilakukan. Sedangkan bagi tipe kedua, elemen artistik tidaklah begitu penting, aspek hiburan, rekreasi dan keterlibatan dalam pertun-jukan yang lebih penting bagi mereka.

Kedua jenis kebutuhan ini harus dipenuhi dalam pengaturan paket turisme oleh masyarakat lokal di desa, untuk menarik lebih banyak lagi turis ke desa mereka. Untuk memungkinkan masyarakat desa dapat mengatur paket turis, penanganan hal yang berkaitan dengan elemen artistic seni pertunjukan tentu saja diperlukan. Dalam pandangan saya, bila paket turis diatur dengan baik, terutama yang berkaitan dengan warisan kultural penduduk lokal, turisme akan menjadi mekanisme efektif untuk melestarikan dan mengembangkan seni pertunjukan tra-disional.

Dari sudut pandang fungsional, bila tari Gending Sriwijaya akan dijadikan salah satu daya tari turis ke desa-desa dan akibatnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal serta kesejahteraan sosial ekonomi mereka, maka tari Gending Sriwijaya tersebut masih dapat berfungsi seperti masa lalu. Sebagai bagian dari upacara penyambutan tamu. Menurut Hermien Kusmayati, kontinuitas pelaksanaan seni per-tunjukan ritual selain ditunjang oleh latar belakang yang berorientasi pada kebutuhan bersama juga dikuatkan oleh transmisi yang berlang-sung.

Proses transmisi atau penyampaian pola-pola seni pertunjukan dari satu generasi kepada generasi yang lain dapat terjadi dengan disengaja dan dapat pula berlangsung tanpa disadari. Aspek yang dialihgenerasi-

Page 239: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

229

kan meliputi materi atau bentuk, pelaku dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Hermien Kusmayati, 1999: 10).

Karenanya ritual tradisional seperti Gending Sriwijaya sangat me-narik, misalnya pada saat penari berbaris dengan teratur dan hierarkis, ditunjang dengan tata rias dan busana penari seperti pengantin wanita Palembang memberikan sentuhan emosional tersendiri. Diyakini ritual ini dapat dikembangkan menjadi objek turisme yang menarik di Su-matera Selatan. Melalui turisme perkembangan Gending Sriwijaya dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat lokal, sehingga secara perlahan-lahan akan mengurangi ketergantungan masyarakat lokal terhadap penggunaan sumber alam mereka secara ekstensif. Hal ini baik bagi upaya konservasi lingkun-gan. Perkembangan turisme sangat menarik bila ia memperhatikan di-mensi lingkungan dan sosial budaya. Perkembangan seperti ini, juga akan meningkatkan penghargaan masyarakat lokal terhadap lingkungan alam serta warisan budaya mereka dan dapat meningkatkan kelestarian budaya dan konservasi lingkungan.

Disamping dampak yang nyata dan nilai tambah ekonomis tersebut, adanya upaya pengemasan seni pertunjukan untuk tujuan-tujuan pari-wisata sering dinilai menimbulkan ekses negative terhadap keberadaan dan kelangsungan seni pertunjukan itu sendiri. Ditinjau dari sisi karya seni pertunjukan, kehadirannya yang terkemas dikhawatirkan bisa me-nimbulkan citra bahwa seni pertunjukan tersebut hanya “sedemikian saja kualitasnya”. Mutu penampilan seni pertunjukan yang sudah men-galami pengalan-penggalan pada bagian-bagian tertentu tentunya tidak bisa diharapkan optimal. Apalagi, penampilan seadanya yang itu-itu juga menyebabkan kesan monoton merebak ke permukaan. Kalau ke-adaan ini tidak cepat diantisipasi, maka rasa bosan akan cepat meng-hinggapi pamain. Padahal bila ditampilkan secara utuh dengan durasi pementasan lebih panjang, susunan pemain dan pengiring yang leng-kap, setting dan lokasi pementasan yang sepatutnya, serta dengan didu-kung oleh sarana musik dan penyiapan properti yang memadai, kualitas penampilan dan makna sacral yang terwujud tentu akan lebih baik pula.

Pariwisata dan Seni PertunjukanSebagai suatu perkembangan seni, diciptakannya bentuk baru seni

pertunjukan bagi para wisatawan ini merupakan suatu dampak yang

Page 240: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

230

positif. Hal ini mengisyaratkan adanya pertumbuhan yang menjawab tantangan untuk berkreasi bagi para seniman seni pertunjukan. Sedan-gkan bagi upaya pengemasan bentuk yang sudah ada, dapat dikaitkan dengan upaya rasionalisasi dalam rangka pemadatan yang bertujuan yakni melestarikan seni itu sendiri.

Hanya masalahnya apakah hal itu perlu dilanjutkan kepada pen-ciptaan bentuk-bentuk baru dengan keberanian untuk mengeksplorasi jenis-jenis seni pertunjukan yang selama ini belum tersentuh jamah-an pariwisata. Misalnya, tari Gending Sriwijaya yang juga mempun-yai potensi untuk digarap dan diperkenalkan kepada wisatawan yang datang dari jauh untuk menyaksikan sesuatu yang baru, unik dan asli. Hal ini perlu dipikirkan secara terpadu dengan sektor pariwisata terkait, sehingga dapat disusun program paket pariwisata yang tidak saja ber-dampak meningkatkan nilai ekonomis tetapi juga berorientasi kepada pengembangan dan revitalisasi kesenian rakyat dalam rangka peles-tarian jenis-jenis seni tradisi yang ada. Disamping itu upaya tersebut juga diarahkan kepada pengungkapan kekayaan khasanah budaya seni pertunjukan di panggung internasional (bagi para wisman) dan juga di panggung nasional (para wisnu).

Peningkatan martabat sumber daya manusia di sektor seni pertun-jukan dalam kaitannya dengan iklim persaingan yang sehat perlu dire-nungkan dan ditindaklanjuti sebagai upaya untuk menghindari eksploi-tasi para seniman oleh para pengusaha industri wisata. Bila perlu, asosiasi seniman seni pertunjukan dibentuk. Kalau sudah ada, perlu dilembagakan aturan-aturan main atau kode etik dalam mengantisipasi pesan, dari manapun datangnya, dan menetapkan standar harga yang layak dan manusiawi bagi semua.

Tantangan sekaligus juga harapan adalah bagaimana kita harus mem-persiapkan alih generasi dalam rangka pewarisan semua yang telah kita miliki saat ini kepada anak cucu kita. Untuk itu, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah melalui jalur pendidikan, baik formal maupun non formal. Apalagi dasarnya dampak teknologi canggih dalam bidang home entertainment yang menawarkan alternative seni budaya asing yang cukup menggoda bagi generasi penerus kita tampaknya mendesak untuk diantisipasi dengan cepat.

Untuk jalur pendidikan formal, harus dimulai persiapan sejak Seko-lah Dasar dengan memberikan masukan lebh kepada porsi pengetahuan

Page 241: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

231

dan keterampilan kesenian yang ada, terutama pada pengisian mata pelajaran pilihan lokal di kurikulum pendidikan nasional, sejak Seko-lah Dasar sampai Sekolah Menengah. Pada tingkat Sekolah Kejuruan dan Perguruan Tinggi, pemilihan topik studi, penelitian dan tugas akhir studi haruslah diarahkan kepada bidang kesenian rakyat tradisi. Sekali waktu, apresiasi siswa dapat ditingkatkan dengan mengadakan work-shop dan pertunjukan di sekolah maupun di kampus-kampus. Kun-jungan siswa sekolah non kesenian ke kampus-kampus kesenian yang lebih tinggi sebaiknya perlu dilakukan untuk memperluas wawasan ke-senian itu sendiri.

Pada jalur non formal, kursus keterampilan dan sistem sanggar perlu digalakkan. Meskipun hal ini merupakan masalah klasik dengan alter-native solusi yang klasik dan terdengar klise, sejauh menyangkut ma-salah pendidikan formal dan non formal, tiada jalan lain yang mungkin dilakukan. Dalam kaitannya dengan pertunjukan rakyat, yang dilaku-kan adalah menghimbau para eksekutif penentu kebijakan agar dapat menciptakan suasana “sadar kesenian rakyat” di kalangan eksekutif penentu kebijakan politik kebudayaan, sehingga mendukung peningka-tan apresiasi masyarakat.

Kenyataan yang ada dan terjadi dalam lingkup seni pertunjukan In-donesia saat ini adalah hasil upaya antisipatif terhadap tuntutan yang ada dalam masyarakat yang terimplementasikan dalam bentuk-bentuk seni pertunjukan kemasan. Dampak yang timbul merupakan hasil pros-es sebab akibat, baik yang bermakna positif, maupun negatif. Penyika-pan masalah ini harus dilandasi pemikiran maju yang berorientasi ke-pada pendekatan-pendekatan pragmatis bagi pemenuhan kepentingan segala pihak.

Adanya dampak ekonomis dan tantangan untuk bersikap kreatif bagi pengembangan bentuk seni pertunjukan yang baru haruslah disyukuri dan ditingkatkan, sedangkan ekses negatif yang timbul ternyata ber-pulang kepada diri kita sendiri sebagai orang-orang kreatif yang terli-bat. Dengan menyikapi adanya tuntutan tersebut, kita harus dapat lebih arif dan berupaya mencoba menghilangkan ekses tersebut. Apalagi, hal itu kait mengait dalam suatu lingkaran keadaan yang kurang kondusif bagi pengembangan kesenian yang layak, baik bagi pelaku, penikmat, dan pengelola industri itu sendiri. Suatu diskusi untuk mencari alter-natif masalah tersebut perlu digalang agar tema-tema “eksploitasi”,

Page 242: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

232

“Sapi Perahan”, “derajat”, “paling rendah”, “kurang bergengsi”, dan semacamnya dapat dieliminasi dari lingkup seni pertunjukan yang kita cintai bersama ini, sehingga muncul ke permukaan adalah dampak positif saja. (Soerapto Soedjono, : ).

Banyak karya tari baru yang dihasilkan oleh seniman-seniman be-sar mengambil ide dari tradisi rakyat dan menjadi sebuah garapan tari yang merangkai berbagai unsur-unsur motif gerak tari daerah secara semena-semena, tanpa izin dari pemilik asal atau niat kerja sama. Ke-miskinan kreatifi tas ini tertutup oleh nama besar dan kesempatan yang telah didapat. Rakyat pemiliki kesenian itu sendiri hanya bisa melihat dari kejauhan, mungkin dari televisi atau foto-foto di koran. Nama-na-ma kesenian diambil tanpa rasa bersalah, kendati menepiskan makian. Konteks tradisi pun semakin pudar tanpa penghargaan. Bahkan, ketika beberapa karya tradisional mulai laku dijual yang ada hanyalah tiruan dari kemasan.

Dalam kasus tari Gending Sriwijaya, kerja kreatif yang terjadi men-jadi langka, karena di dalamnya terjadi suatu pertemuan yang mengun-tungkan kedua belah pihak. Melibatkan rakyat dalam ekspresi komu-nal mereka ternyata bisa dilakukan. Bahkan, ketika orientasi mereka berubah dari sebuah pertunjukan upacara adat ke format wisata seni, mereka dilibatkan untuk mengambil keputusan untuk menjual atau mempertunjukkan keseniannya.

Daftar PustakaAdat Istiadat Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Selatan, 1984. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebu-dayaan Daerah.

Deskripsi Tari Pangutan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Selatan: Proyek Pembinaan Kesenian Sumatera Selatan tahun 1990/ 1991.

Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 4, 1990. Jakarta: Cipta Adi Pustaka.Hermien Kusumayati, Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia di Gedung

Teater Tertutup Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta tanggal 9 – 10 Mei 1999.

Jajuk Dwi Sasanadjati, Senja Ulang Pertunjukan yang Menghibur. Ekspresi Jur-nal Institut Seni Indonesia Yogyakarta: Seni: Kearifan dan Keunggulan Vol-

Page 243: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

233

ume 14, tahun 5. 2005Koentowijoyo, 1987. Budaya dan Masyarakat Yogyakarta: Tesis Wacana.Lintasan Sejarah Budaya Sumatera Selatan Pusat Penelitian Lembaga Sosial

Budaya Penelitian Univesitas Sriwijaya tahun 1997.R. Diyah Larasati, Kecak Rina, Sardono W. Kusumo dan Arma (Kerja Kreatif

Seniman Tradisional dan Modern), 1997. Jurnal Masyarakat Seni Pertunju-kan Indonesia tahun VIII.

Sedyawati Edi, 2008. Ke Indonesiaan Dalam Budaya, buku 2, Jakarta: Wedata-ma Widya Sastra.

Soedarsono, 2003. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soedarsono, 2003. Seni Pertrunjukan dari Perspektif Politik Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soejono Soeprapto, 2006. Kenyataan dan Harapan: Dampak Industri Pariwisata Pada Seni Pertunjukan, Ekspresi, Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Page 244: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

234

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Asril Muchtar adalah Sekretaris Program Pascasarjana dan dosen jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang.

Page 245: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

235

Upacara Tabuik dan Tabot di Pesisir Barat Sumatra

Asril Muchtar, S.Kar., M.Hum.Dosen Jurusan Seni Karawitan STSI Padang Panjang

Latar Belakang

Tradisi ritual berskala besar dan kolosal yang dimiliki masyarakat pantai bagian Barat Sumatra adalah Upacara Tabuik dan Upa-cara Tabot. Upacara Tabuik terdapat di kota Pariaman, Sumatra

Barat, sedangkan Upacara Tabot terdapat di kota Bengkulu. Kedua ritu-al ini sama-sama dilaksanakan pada awal hingga paroh pertama (1-10) Muharam dalam kalender tahun Hijriyah. Namun terjadi sedikit perbe-daan, di Bengkulu Upacara Tabot masih tetap dilaksanakan dari tanggal 1-10 Muharram, sementara di Pariaman sudah terjadi pergeseran waktu pelaksanaan dengan tidak lagi berpatokan pada tanggal 1-10 Muharam, tetapi bisa menjadi dari tanggal 1-11,12,13, dan 14 Muharam—dengan perhitungan hari puncak upacara jatuh pada hari minggu. Pergeseran ini agaknya ingin mengadopsi dua kepentingan yakni, kepentingan peny-elenggara dan kepentingan masyarakat penikmat.

Meskipun berada di tempat yang berbeda, tetapi kedua ritual ini be-rasal dari suatu peristiwa sejarah yang sama, yakni peristiwa perang Karbala Irak antara pasukan Yazid dari Bani Umayyah dengan rombon-gan Husein Bin Ali cucu Nabi Muhammad s.a.w.. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharam tahun 680 (61 H)1. Dalam peperangan ini Husein 1 Fazl Ahmad, Husein Sjahid Agung, Terj. Adam Saleh (Djakarta: PT Sinar Hudaya, 1972), 190-

191; Periksa H.A.R Gibb dan J.H Kamer (ed.), Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: EJ Brill, 1974), 142; Periksa Asril, “Pertunjukan Gandang Tambua dalam Upacara Ritual Tabuik di

Page 246: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

236

dan pasukannya mati terbunuh kecuali beberapa perempuan dan anak-anak. Husein bagi kalangan penganut Syi’ah dianggap Imam ketiga setelah ayahnya Ali Bin Abi Thalib, dan Hasan Bin Ali (kakak Husein). Kematian Husein meninggalkan duka yang mendalam bagi penganut Syi’ah. Kebesaran namanya dan penghormatan terhadapnya dilakukan oleh kalangan umat Islam dari penganut Syi’ah dari seluruh dunia, dan tak terkecuali juga dari Islam Sunni di berbagai kawasan Asia Tenggara, termasuk di berbagai tempat di Indonesia. Bentuk penghormatan itu di kawasan Timur Tengah diwujudkan dalam pertunjukan drama bergaya sufi yang menyajikan kronologi penderitaan yang dialami oleh Husein. Sementara di tempat lain ditafsir pula berdasarkan kekuatan budaya lo-kalnya, seperti yang masih dapat kita jumpai di kawasan pantai barat Sumatra adalah Upacara Tabuik dan Upacara Tabot.

Uniknya, bentuk upacara dan perayaannya di masing-masing dae-rah tidak semata-mata bertolak dari peristiwa perang Karbala. Akan tetapi, mereka melakukan “pemitosan” sejarah perang Karbala dengan menafsirkannya sendiri rasa simpati terhadap Husein sesuai dengan versi daerah masing-masing. Peristiwa Karbala bisa menjadi seperti legenda. Penafsiran ini berimbas pada bentuk upacara, benda upacara (tabuik dan tabot), spirit upacara, dan pelaksanaan upacara. Misalnya, di Pariaman tabuik diwujudkan dalam bentuk sebuah benda atau men-ara yang dibuat setinggi sekitar 10-12 meter dan pada bagian tengahnya dibuat seekor buraq, yaitu patung kuda bersayap berkepala wanita yang dianggap sebagai kendaraan yang membawa arwah Husein. Benda ini kemudian disebut tabuik. Sementara di Bengkulu tabot ditafsir dari mimpi seorang leluhur keturunan tabot saat bermimpi di Karbala. Ia melihat bangunan istana raja berbentuk piramida. Mimpi itu kemudian diwujudkan dengan bentuk menara setinggi sekitar 5-6 meter, yang me-miliki unsur seperti piramid--kemudian disebut tabot.

Di Pariaman pelaksanaan Upacara Tabuik dilakukan oleh dua kelompok pendukung tabuik, yaitu tabuik pasa dan tabuik subarang. Masing-masing hanya menggunakan satu tabuik gadang (tabuik besar). Kedua kelompok ini seolah-olah menggambarkan dua kubu yang ber-perang. Di Bengkulu pelaksanaan Upacara Tabot juga terdiri atas dua kelompok tabot yaitu kelompok tabot berkas (tabot tuo) dan kelompok tabot bangsal. Akan tetapi, masing-masing kelompok tabot memiliki

Pariaman Sumatra Barat”, Tesis S2 UGM Yogyakarta, 2002, 51.

Page 247: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

237

pula anggota tabot pendukungnya, sehingga jumlah tabot yang digu-nakan dalam upacara bisa mencapai 12 buah atau lebih2. Kedua ke-lompok tabot di Bengkulu tidak secara tegas dan terbuka sebagai gam-baran dua kubu yang sedang bertentangan.

Upacara tabuik dan Upacara Tabot sudah menjadi identitas budaya bagi masing-masing daerah. Dalam setiap penyelenggaraan upacara ini di masing-masing kota, mampu memobilisasi masyarakat untuk menyaksikannya. Bahkan masyarakat yang menyaksikan upacara itu secara tidak langsung terlibat sebagai bagian dari pendukung upacara, sehingga menjadi kolosal. Di Pariaman misalnya, setiap perayaan upa-cara ini tidak kurang dihadiri oleh 200-an ribu orang dari berbagai dae-rah sekitarnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan kecenderungan selera dan perilaku masyarakat dan berbagai perkembangan politik, telah turut pula mewarnai “wajah” perkembangan upacara. Misalnya dari ritual ke sekuler, ataupun berubah secara parsial.

Interpretasi Masyarakat dari Perang Karbala ke UpacaraKendatipun Upacara Tabuik dan Upacara Tabot sama-sama beras-

al dari peristiwa perang Karbala, tetapi bentuk upacara, struktur atau kronologi upacara, pelaksanaannya, dan spirit yang dimunculkannya terdapat perbedaan-perbedaan yang signifi kan. Perbedaan ini muncul karena adanya interpretasi masyarakat terutama para pendukung dan keluarga tabuik dan tabot.

Menurut Hamidy, upacara tabot pada awalnya merupakan upacara berkabung kaum Syi’ah yang dibawa ke Bengkulu orang Sipahi yang bekerja membangun benteng Marlborought. Mereka berasal dari Ma-dras India, kemudian diwariskan kepada keturunan mereka dan ke-turunan mereka hasil asimilasi dengan warga setempat3. Versi lain menyebutkan, Margaret Kartomi berdasarkan legenda yang berkem-bang di Bengkulu menceritakan, bahwa upacara tabut berasal dari India dibawa ke Bengkulu oleh Imam Senggolo--seorang pemuka Islam yang dikenal pula dengan nama Syeikh Burhanuddin. Kemudian seorang to-

2 Badrul Munir Hamidy (ed.), Upacara Tradisional Daerah Bengkulu: Upacara Tabot di Kota-madya Bengkulu (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud, 1991/1992), 13-14.

3 Ibid., 61.

Page 248: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

238

koh Islam yang bernama Kadar Ali membawa tabut itu ke Pariaman4. Snouck Hurgronje memperkirakan bahwa tabuik berasal dari India

dan masuk ke Sumatra diperkirakan pada abad XIV, diduga karena hi-kayat Ali Hanafi yah yang menceritakan tentang kematian Husein, su-dah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada masa itu. Perkiraan kedua, tabuik masuk ke Sumatra pada akhir abad XVII, ketika Inggris membawa pasukan Sepoy India (orang Sipahi atau Cipai) yang beru-saha menguasai pesisir pantai Barat Sumatra, dan untuk membantu menduduki bentengnya di Bengkulu5. Azyumardi Azra mencatat bah-wa tabuik masuk ke pantai barat Sumatra antara tahun 1750-8256.

Berdasarkan keterangan Snouck Hurgronje di atas, kuat dugaan tabuik diperkirakan masuk ke Pariaman pada akhir abad XVII, oleh karena baru pada abad XVI sampai XVIII, Iran membuat ikatan bu-daya yang kuat dengan India melalui berbagai penguasa Syi’ah di India Utara dan India Selatan. Masa kontak budaya ini menjadikan ta’ziah atau tabut dari Iran, berkembang dan memiliki kesamaan dasar di In-dia7.

Melihat pada bentuk tabuik yang ada di Pariaman, salah satu ciri ter-pentingnya yang sangat berbeda sekali dengan tabot Bengkulu adalah buraq, sedangkan tabot Bengkulu tidak memiliki buraq. Buraq itu ben-tuknya seperti kuda bersayap berkepala wanita, dulu berambut panjang, sekarang berkembang pula dengan memakai jilbab yang diidentikkan seperti burung raksasa. Kecepatan terbangnya seperti kilat. Buraq ter-masuk binatang mitologi yang hanya ada dalam konsep pikiran saja. Cerita tentang buraq sering dikaitkan dengan peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad8. Bentuk yang seperti ini ditemui di India Selatan,

4 Margaret J. Kartomi, “Tabut - a Shiah Ritual Tranplanted from India to Sumatra”, dalam David P. Chandler dan M.C. Ricklefs (ed.) Nineteenth and Twentieth Century Indonesia. (Clayton: Centre of Southeast Asia Studies, Monash University, 1986), 142.

5 Periksa Ph. S. van Ronkel, “Nadere gegevens omtrent het Hasan¬Hoesain feest”, diterjemah-kan oleh Hartoyuwono, dalam Tijdschri ft voor Indische Taal--, Land--, en Volkenkunde (Bata-via: Albrecht & Co., 1914), 334-335.

6 Azyumardi Azra, “Syiah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas” (pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan dan PPW-LIPI, 2000), 21.

7 Kartomi, op. cit., l44.8 Michael Barry, et al., Color and Symbolism in Islamic Architecture: Eight Century of the Tile

Maker’s Art (London: Thames and Hudson Ltd., 1996), 284; Periksa juga M. Th. Houtsma, et al., The Encyclopaedia of Islam: Dictionary of the Geography, Ethnography of Muhammadan

Page 249: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

239

seperti di Dekkan, Lucknow, dan Delhi yang disebut pula dengan tabut atau buraq9. Jadi kemungkinan besar tabuik Pariaman berasal dari In-dia Selatan tidak melalui Bengkulu. Atau mungkin saja masuknya ta-buik ke Pariaman dan Bengkulu dalam kurun waktu yang bersamaan.

Sebagai pertimbangan lain, antara tabuik Pariaman dengan tabot Bengkulu masing-masing memiliki mitos sendiri-sendiri, yang sangat berbeda. Mitos ini yang menjadi ilham dalam mewujudkan bentuk fi sik tabuik dan tabot itu. Adapun mitos tabuik Pariaman adalah sebagai berikut.

Setelah Husein terbunuh dengan kondisi tubuh dicincang oleh pasukan Yazid bin Muawiyah, tiba-tiba datanglah sebuah arak-arakan dari langit yang terdiri dari para malaikat dan seekor buraq. Setelah arak-arakan itu mendarat di lokasi Husein ter-bunuh, para malaikat memasukkan bagian tubuh Husein ke dalam peti yang ada di punggung buraq, dan selanjutnya arak-arakan itu lepas landas menuju langit. Dalam perjalanan menuju langit, para malaikat mencium adanya bau manusia dalam rombongan tersebut. Rupanya mereka prajurit Husein yang selamat yang be-rasal dari Cipahi (Keling) bergantung pada arak-arakan itu, dan mereka memohon kepada malaikat ikut bersama jenazah Husein, tetapi malaikat tidak mengizinkannya. Kemudian malaikat itu memberikan nasehat agar orang Cipai itu dapat melaksanakan arak-arakan tersebut seperti yang dilihatnya, dan arak-arakan itu-lah kini yang disebut dengan tabuik10.

Mitos di atas dimulai dari kematian Husein oleh pasukan Yazid bin Muawiyah, pada hal itu adalah fakta sejarah yang terjadi di Karbala. Setelah itu mayat Husein dan para pengikutnya dikuburkan di Karbala. Akan tetapi masyarakat Pariaman membuat rekayasa sendiri yang bersifat imajinatif, dengan datangnya arak-arakan para malaikat beserta buraq membawa jenazah Husein terbang ke langit, yang tidak bisa di-

Peoples (London: Luzac and Co., 1913), 793.9 Ibid., 145-146.10 Parsi Tanjung, “Tabuik, Pesta Kolosal Anak Nagari Piaman”, Singgalang Minggu, 26 Juni

1994); Periksa Asril, “Pertunjukan Gandang Tambua dalam Upacara Ritual Tabuik di Pariaman Sumatra Barat”, Tesis S2 UGM Yogyakarta, 2002, 63. Ungkapan mitos ini juga dimuat dalam leafl et pariwisata Kabupaten Padang Pariaman, ketika Upacara tabuik masih dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten Padang Pariaman.

Page 250: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

240

hubungkan dengan fakta. Namun ketika mereka membuat tabuik, mer-eka bisa mewujudkan arak-arakan malaikat dengan buraq dalam mitos itu seperti Upacara Tabuik yang ada sekarang.

Berbeda pula dengan tabot Bengkulu, mitosnya juga berawal dari tragedi Karbala. Berdasarkan catatan yang dibuat oleh penguasa Belan-da di Bengkulu pada akhir abad ke-19, mitos tabot dilukiskan sebagai berikut.

Mayat Husein yang tanpa kepala ditinggalkan di padang Karbala. Seseorang yang bernama Natsal, pembantu Husein mengetahui bahwa di dalam ikat pinggang Husein tersimpan se-buah intan atau jimat yang berharga. Menurut Natsal lebih baik ia mengambil barang itu, dari pada diambil atau dirampas oleh orang lain. Ketika Natsal membuka pakaian Husein untuk men-gambil barang itu, kedua tangan Husein bergerak-gerak menolak tangan Natsal. Natsal kemudian menebas tangan mayat Husein, akan tetapi pada saat yang sama ia mendengar guruh, kilat me-nyambar ke segala arah dengan suara yang menakutkan. Melihat kejadian itu Natsal berbaring di tanah. Dalam keadaan sadar Nat-sal melihat bagaikan dalam mimpi sebuah istana raja berbentuk piramida muncul di sepanjang tempat itu, disertai lantunan irama-irama yang harmonis. Kemudian ia mendengar kata-kata; berilah jalan Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Siti Fati-mah, dan Nabi Muhammad datang memberikan penghormatan kepada Husein. Natsal melihat wajah Nabi Muhammad, lalu Nabi menampar wajah Natsal dengan mengucapkan kata-kata, untuk memberi tanda perbuatan burukmu bukan hanya wajahmu yang tetap hitam, tetapi keturunanmu akan dilahirkan dengan wajah hitam.

Setelah kejadian itu, Natsal menyesali perbuatannya, ia pergi ke Mekkah memohon ampunan dari Allah di Ka’bah atas per-buatan buruknya itu. Pada saat ia berdoa Ja’far Ibnu Muham-mad Siddik seorang ulama yang sedang mengelilingi Kabah, menemuinya dan menanyakan masalah apa yang dihadapi oleh Natsal. Natsal menjelaskan semua kejadian yang ia alami, lalu Ja’far memberikan jawaban kepadanya, bahwa dosa Natsal bisa diampuni dengan syarat ia dan keturunannya setiap tahun harus mengenang dan memperingati kematian Husein melalui suatu

Page 251: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

241

upacara yang khidmat11.

Natsal yang disebut sebagai pembantu Husein hanyalah sebuah rekayasa saja, begitu juga mimpinya. Akan tetapi nama Natsal sangat dihormati oleh orang-orang Cipai Bengkulu termasuk para serdadu Cipai. Mereka menganggap Natsal sebagai leluhurnya, sehingga men-jadi kewajiban bagi mereka melaksanakan upacara tabot secara khidmat setiap tanggal 1-10 Muharram setiap tahun, untuk menebus dosa-dosa Natsal. Mengenai bentuk tabot keturunan Natsal membuat seperti men-ara yang memiliki unsur piramida, sebagaimana bentuk tabot yang ada di Bengkulu saat ini, sebagai hasil penafsiran mereka terhadap mimpi Natsal di Karbala12. Berdasarkan mitos itu, tabot di Bengkulu tidak memiliki buraq, namun dalam perkembangan sekarang sudah ada pula tabot yang memakai buraq13.

Berpedoman pada dua mitos di atas, memberikan gambaran bahwa orang-orang Cipai yang datang ke Bengkulu dan ke Pariaman, kemung-kinan berasal dari daerah yang berbeda di India dan datang dalam kurun waktu yang sama atau berbeda.

Bentuk Upacara Upacara Tabuik dan Upacara Tabot terdiri atas beberapa ritus atau

rangkaian upacara yang pada dasar memiliki kesamaan, meskipun ada beberapa perbedaan.

Ritus-ritus yang terdapat dalam Upacara Tabuik adalah sebagai beri-kut.

(1) Upacara maambiak tanah (mengambil tanah) merupakan prosesi ritual mengambil tanah ke sungai yang menggambarkan pen-gambilan mayat Husein yang masih tertinggal di Karbala. Upa-cara ini dilaksanakan pada tanggal 01 Muharam pada sore hari selesai salat ‘Ashar.

(2) Upacara maambiak batang pisang (mengambil batang pisang) merupakan prosesi ritual mengambil dan menebas batang pi-sang yang dilakukan di masing-masing tempat upacara, kemu-

11 O. L. Helfrich, et al., “Het Hasan-Hosein of Taboet-Feest te Benkoelen”, dalam Internationales Archiv fur Ethnographie (Leiden: Verlag von P. W. M. Trap, 1888), 192-193.

12 Ibid.13 Zelly Marissa Haque, “Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu”, Skripsi (Padangpanjang:

STSI, 2009), 22.

Page 252: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

242

dian dibawa ke daraga14. Upacara ini menggambarkan saat-saat Husein dipancung oleh tentara Yazid. Upacara ini dilaksankan pada tanggal 05 Muharam mulai dari sore hingga sekitar pukul 21.00.

(3) Upacara maradai merupakan prosesi yang bertujuan mengun-dang simpati masyarakat guna menyumbang dana atau apa saja yang bisa membantu biaya pembuatan tabuik. Upacara ini di-lakukan pada tanggal 06 Muharam (dapat menyesuaikan dengan rentang waktu upacara) pada malam hari sekitar pukul 19.30.

(4) Upacara mahatam merupakan penurunan jari-jari dari rumah tabuik (keluarga tabuik), kemudian dibawa ke daraga. Upacara ini menggambarkan jari-jari Husein yang berserakan di Karbala, selanjutnya dikumpulkan di suatu tempat. Upacara ini dilak-sanakan sekitar pukul 12.00-14.00.

(5) Upacara maarak jari-jari adalah upacara berupa prosesi menga-rak jari-jari dengan melintasi berbagai kampung sebagai gamba-ran keganasan tentaraYazid. Upacara ini dilakukan pada malam hari setelah upacara mahatam.

(6) Upacara maarak sorban merupakan prosesi mengarak sorban (penutup kepala) sebagai gambaran setelah menemukan sorban Husein. Upacara ini dilaksanakan dua hari menjelang upacara puncak, pada malam hari (pukul 20.00-22.00).

(7) Upacara tabuik naiak pangkek adalah penggabungan pangkek 15 (bagian) bawah dengan pangkek atas badan tabuik yang sebe-lumnya dibuat secara terpisah. Upacara ini dilaksanakan pada pagi hari (subuh) pada hari puncak upacara.

(8) Upacara maoyak tabuik merupakan upacara puncak dari selu-ruh rangkaian Upacara Tabuik. Upacara ini dimulai dari pukul 11.00-16.00.

(9) Upacara tabuik dibuang ke laut merupakan upacara terakhir berupa prosesi membuang tabuik ke laut, sebagai gambaran

14 Daraga adalah areal yang dimitoskan sebagai tempat makam Husein. Jika lokasi memung-kinkan, di sekitar daraga juga dibuat pondok tempat membuat tabuik yang disebut dengan kandang tabuik. Kandang tabuik dapat pula dibuat terpisah dari daraga.

15 Dalam pembuatan tabuik Pariaman dilakukan atas dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Setiap bagian disebut dengan pangkek. Pangkek bawah adalah kaki tabuik dan buraq, sedangkan pangkek ateh (atas) terdiri atas bungo salapan, puncak tabuik, biliak-biliak, dan lain sebagainya.

Page 253: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

243

mengantarkan jenazah Husein ke pemakaman. Upacara ini di-laksanakan dari pukul 16.00-18.3016.

Masa jeda antara upacara maambiak tanah dengan upacara maam-biak batang pisang, di masing-masing rumah tabuik dan kandang ta-buik dilakukan kegiatan pembuatan tabuik dan permainan gandang tasa (musik pendukung Upacara Tabuik). Pada masa lalu di Pariaman tang-gal 2-4 Muharam disebut dengan hari gam, namun sudah banyak yang tidak tahu lagi tersebut.

Adapun ritus-ritus yang terdapat dalam Upacara Tabot menurut Hamidy sebagai berikut.

(1) Mengambiak tanah (mengambil tanah). Tanah yang diambil adalah tanah yang dianggap mengandung nilai magis.

(2) Duduk penja (jari-jari). Penja adalah benda berbentuk telapak tangan manusia lengkap dengan jari-jarinya. Penja disebut juga dengan jari-jari. Penja menurut keluarga Sipai adalah benda keramat yang mengandung magis, maka harus dicuci dengan air bunga dan air limau [jeruk] setiap tahunnya. Setelah dicuci penja diletakkan di gerga17.

(3) Menjara artinya mengandun atau berkunjung mendatangi ke-lompok tabot lain untuk beruji dol (bertanding membunyikan dol). Menjara dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 05 Mu-haram oleh kelompok tabot bangsal ke kelompok tabot berkas, kemudian tanggal 06 Muharam kelompok tabot berkas mengun-jungi kelompok tabot bangsal. Menjara dilakukan pada malam hari dari pukul 20.00-23.00.

(4) Meradai, berjalan mengitari kampung dilakukan oleh anak-anak usia 10-12 tahun dalam rangka pengumpulan dana untuk pembuatan tabot. Peserta meradai disebut jola. Meradai dilak-sanakan pada tanggal 06 Muharam dari pagi sampai sore.

(5) Arak penja: atau disebut juga arak jari-jari dilaksanakan pada tanggal 08 Muharam mulai pukul 19.00-21.00 dengan men-empuh rute yang telah ditentukan. Acara dimulai di lapangan Merdeka Bengkulu (lapangan Tugu Propinsi) dan selesai kem-bali di lapangan Tugu Propinsi. Pelaku upacara adalah anak-anak dan remaja. Tidak ada terjadi perkelahian.

16 Asril, Op cit., 66-67.17 Gerga adalah pusat kegiatan tabot.

Page 254: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

244

(6) Arak serban: dilakukan pada tanggal 09 Muharam pada malam hari dari pukul 19.00-21.00. Arak serban berupa prosesi memba-wa serban (sorban) putih yang diletakkan pada tabot coki (tabot kecil), dilengkapi dengan bendera atau panji-panji berwarna pu-tih, hijau atau biru yang bertuliskan “Hasan dan Husen” dengan kaligrafi Arab.

(7) Gam: yaitu masa tenang yang ditentukan tidak boleh ada ke-giatan apapun yang berkaitan dengan tabot. Gam dimulai dari pukul 07.00-16.00.

(8) Arak gedang: yaitu prosesi kelompok tabot yang dimulai dari markas masing-masing menuju Lapangan Merdeka. Menyatu-nya kelompok-kelompok tabot dalam satu arak-arakan ini dise-but dengan arak gedang (pawai akbar). Sesampai di Lapangan Merdeka, tabot-tabot dibariskan seperti bershaf, sehingga dise-but pula dengan tabot besanding. Upacara dimulai pada pukul 19.00-21.00. Selama acara tabot besanding berbagai hiburan dan kesenian rakyat ditampilkan untuk menghibur para pengun-jung.

(9) Tabot tebuang: upacara tabot tebuang dimulai dari Lapangan Merdeka, sekitar pukul 11.00 arak-arakan tabot menuju Padang Jati dan berakhir di kompleks pemakaman umum, Karabela. Di makam ini dimakamkan Imam Senggolo, pelopor upacara tabot. Upacara tabot tebuang dipimpin oleh dukun tabot dan dipan-dang bernilai magis. Selesai ritual tabto tebuang, tabot-tabot itu dibuang ke rawa-rawa di sekitar makam18.

Di Bengkulu, hampir semua ritus upacara yang dilakukan menggu-nakan sesajen, berupa makanan, minuman, dan berbagai kembang dan limau (jeruk). Cara ini menampakkan bahwa di Bengkulu nilai ritual dan sakral masih dipertahankan, meskipun gerusan perubahan ke arah mempertipis nilai tetap saja terjadi.

Upacara Tabuik termasuk upacara yang berdimensi keras dan bersi-fat kolosal. Pelaku utama upacara itu terdiri dua tabuik, yaitu tabuik pasa dengan pusat aktivitasnya di Kampung Perak, Pasir, dan pasar Paria-man (bekas nagari Pasar Pariaman), dan tabuik subarang dengan pu-sat aktivitasnya di Kampung Pondok, Kampung Jawa, Kampung Cina, 18 Hamidy, Op cit., 66-73.

Page 255: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

245

dan Jawi-Jawi (bekas nagari Lima Koto Air Pampan). Kedua tabuik ini menggambarkan dua kelompok yang sedang berseteru. Bisa dianalogi-kan dengan pasukan Husein dan pasukan Yazid yang sedang berperang di Karbala. Walaupun sesungguhnya masing-masing pendukung tabuik itu sama-sama “mengagungkan” dan merayakan peringatan kematian Husein, dan tidak satu pun yang berperan sebagai pasukan Yazid. Akan tetapi antara satu dengan lainnya saling tuding menjadi lawannya. Ini memang aktivitas budaya yang direkayasa untuk itu.

Bentuk-bentuk kekerasan itu muncul, seperti mengadu tabuik, caci maki dalam bahasa kasar, sindiran dalam bentuk sarkasme, dan perkela-hian massal di antara kedua belah pihak. Namun sekarang sindiran dan caci makian dalam bahasa kasar sudah mulai hilang. Bentuk kekerasan itu muncul pada upacara maambiak batang pisang, maarak jari-jari, maarak sorban, dan tabuik dioyak. Perkelahian itu dianggap sebagai bagian penting dari upacara. Perkelahian merupakan luapan dan puncak atau klimaks dari konfl ik-konfl ik yang ada selama upacara. Tanpa ada perkelahian maka upacara dianggap “dingin”, karena bagian ini meru-pakan salah satu daya tarik pengunjung dan para perantau Pariaman untuk menyaksikan Upacara Tabuik. Bagi para pengunjung jika tidak melihat bagian upacara yang menyajikan permainan keras, dianggap belum menyaksikan Upacara Tabuik. Bagi mereka yang mengerti den-gan Upacara Tabuik, dalam kerangka fantasi fi kirannya sudah terpola akan menyaksikan perkelahian dan bentuk permainan keras lainnya.

Perkelahian massal itu setidaknya bisa terjadi dua kali, yaitu pada upacara maambiak batang pisang dan upacara maarak jari-jari atau maarak sorban. Meskipun dalam pelaksanaannya bisa saja tidak terjadi seperti itu, tetapi biasanya satu kali akan dilakukan, terutama pada upa-cara maambiak batang pisang, karena upacara maambiak batang pisang merupakan gambaran penebasan dengan pedang di peperangan.

Pada masa lalu korban-korban perkelahian dalam Upacara Tabuik tidak merasa dendam dengan kejadian itu, walaupun mereka tahu orang mencedarainya. Mereka menerima dengan keikhlasan dan dianggap se-bagai pengorbanan, yang belum seberapa nilainya jika dibandingkan dengan pengorbanan Husein. Mereka yang berjiwa seperti itu memi-liki pemahaman dan penghayatan yang dalam terhadap upacara yang dilakukan. Selain itu, para ninik mamak dan tokoh masyarakat dapat meredam dan merangkul kedua belah pihak untuk berdamai, serta

Page 256: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

246

memberikan pengertian tentang insiden yang terjadi merupakan bagian dari Upacara Tabuik. Bahkan setelah mereka berkelahi, lalu mereka berkumpul bersama, makan, dan minum bersama bagaikan tidak terjadi sesuatu.

Upacara Tabuik yang bersifat kolosal terutama sekali dapat dilihat pada saat tabuik dihoyak dan tabuik dibuang ke laut. Kedua upacara itu dilaksanakan pada hari yang sama. Para pengunjung atau pelayat datang dari berbagai pelosok daerah menyaksikan upacara. Jumlah mereka diperkirakan sekitar 200-an ribu orang19, sehingga memadati areal wisata Pariaman seperti, Pantai Gandoriah, stasion kereta api, areal sekitar pasar Pariaman. Kartomi pada saat melakukan penelitian pada tahun 1982 pernah mencatat jumlah pengunjung atau pelayat yang menyaksikan Upacara Tabuik sekitar 200 ribu orang20.

Merujuk pada mitos sebagai rujukan pembangun Upacara Tabot di Bengkulu, tampak pada tahap-tahap upacara tidak menyajikan upacara yang berdimensi keras yang mengarah ke perkelahian massal seperti yang terjadi pada Upacara Tabuik. Upacara yang dianggap keras dalam Upacara Tabot adalah upacara menjara (beruji dol). Inti dari upacara menjara adalah beruji dol, yaitu masing-masing kelompok tabot beru-saha mengalahkan kelompok lain. Kelompok yang paling terampil memainkan dol 21 (dol dan tasa) dan paling sedikit dol pecah (robek membrannya) dianggap menang22. Kekerasan ditunjukkan dengan melampiaskan emosional pendukung upacara melalui pemain musik ke alat musik dol. Mereka secara pisik tidak melakukan persentuhan antar kelompok pendukung tabot, apalagi perkelahian.

Beruji dol dilakukan di lapangan terbuka, sehingga dapat disaksikan oleh banyak orang. Bahkan beruji dol dianggap salah satu bagian upa-cara yang mampu menyedot banyak penonton. Dalam upacara beruji dol diadakan pula selingan pertunjukan tari-tarian dan musik tradisi se-jenis gamat. Upacara menjadi meriah dengan hadirnya hiburan selingan ini.

Beruji dol dilakukan di dua tempat yaitu, di kelompok tabot ber-19 Asril, op cit., 69.20 Ibid., 7021 dol sejenis gendang bermuka satu berbentuk kettle drum, dengan ukuran diameter cukup

besar antara 50-60 cm. Dol dimainkan sambil berdiri dengan cara diletakkan di lantai atau tanah.

22 Hamidy, Op cit., 89-90.

Page 257: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

247

kas dan di kelompok tabot bangsal. Mereka saling mengunjungi secara bergantian selama dua malam. Lagu-lagu yang biasa dimainkan dalam beruji dol adalah Matam-matam, Suwena, dan Suweri. Ketiga lagu ini sama-sama mereka mainkan dalam waktu yang bersamaan. Lagu Suweri merupakan lagu andalan bagi masing-masing kelompok tabot dalam beruji dol. Masyarakat sangat mengetahui bahwa lagu tersebut amat disukai. Para pemusik biasanya memainkan lagu ini dengan penuh semangat hingga bermain dengan tenaga yang maksimal. Akibatnya sering terjadi kerusakan pada alat musik seperti pada kulit (membrane) robek, pemukul (stick) patah, resonator instrumen retak, dan lain-lain23. Akan tetapi ini muara yang ingin dicapai dari upacara beruji dol.

Situasi ini sangat berbeda dengan Upacara Tabuik di Pariaman. Gan-dang tasa sebagai musik pendukung upacara justru digunakan untuk membangun semangat “heroik” dan “patriotik” di antara kedua kelom-pok tabuik. Lagu-lagu Oyak Tabuik dan Sosoh misalnya, dimanfaatkan untuk membangun emosional para pendukung tabuik, khususnya untuk membangun emosi ke arah perkelahian dan yang berdimensi keras.

Pelibatan Seni dalam UpacaraRentangan waktu yang cukup panjang dalam pelaksanaan Upacara

Tabuik dan Upacara Tabot, dimanfaatkan dengan menampilkan berb-agai kesenian tradisi setempat dan kesenian yang bernuansa Islami. Di Pariaman misalnya, pada malam hari yang tidak ada aktivitas upacara, panitia penyelenggara upacara menyajikan pertunjukan indang piaman, tari indang, gandang tasa, orkes gambus, dan jenis musik bernuansa Is-lami. Prinsip utamanya adalah memberikan hiburan kepada masyarakat atau pengunjung yang datang. Sementara di Bengkulu, hal yang sama juga dilakukan yaitu pertunjukan tari Ikan-ikan, kolintang, musik ber-nuansa Melayu seperti gamat, dan yang cukup menggembirakan seka-rang adalah pertandingan atau festival dol kreasi. Para remaja Bengkulu mampu memainkan “musik baru” yang dikembangkan dari musik tra-disi dol dengan atraktif24. Selain itu, juga ditampilkan berbagai tarian tradisi dan tari kreasi yang bersumber dari Upacara Tabot.

23 Hanefi , dkk., “Musik Tabot dalam Beruji Dol di Bengkulu: Tinjauan Musikologis” Laporan pene-litian (Padangpanjang: ASKI, 1998), 45.

24 Haque, Op cit., 56-57.

Page 258: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

248

Perubahan dan Perkembangan Upacara Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada Upacara Ta-

buik dan Upacara Tabot berbeda bentuk dan jenisnya. Ada yang berubah dari aspek nilai ritual dan sakralnya, dan ada yang berkembang secara parsial dari aspek musiknya saja. Di Bengkulu upacara berkembang se-cara parsial, yakni dari aspek musiknya. Pada masa lalu, dol adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Upacara Tabot. Dol hanya dapat dimainkan bersamaan dengan Upacara Tabot, sebagai musik pendu-kung upacara. Akan tetapi, pada tahun 1980-an dan 1990-an dol sudah dapat ditampilkan secara terpisah untuk penyambutan tamu pemerin-tah, meskipun masih dalam bentuk ansambel yang aslinya. Perkemban-gan yang cukup menggembirakan adalah ketika dol dijadikan sebagai sumber penataan musik kreasi untuk iringan tari “baru” (kreasi) dan untuk musik kreasi.

Dalam penelitian Haque, ada tiga aspek perkembangan yang terjadi pada dol, yaitu: dol sebagai media seremonial di kota Bengkulu; dol dijadikan sebagai materi pembelajaran musik di sekolah dan di sanggar; dol sebagai sumber sebagai garapan komposisi baru. Dol se-bagai media seremonial disajikan pada acara penyambutan tamu-tamu penting, acar ulang kota Bengkulu, acara yang bersifat umum lainnya, dan penggabungan dol dengan musik tradisi lainnya seperti gendang sarunai dan gamat yang digunakan untuk hiburan. Dol sebagai materi pembelajaran di sekolah, walaupun masih bersifat ekstrakurikuler, teta-pi telah diajarkan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di berbagai daerah khususnya di kota Bengkulu.

Perkembangan yang cukup menarik adalah dol dijadikan seb-agai sumber penciptaan karya baru. Dol telah digabung dengan berb-agai alat musik di luar tradisinya. Misalnya dengan menghadirkan gitar bass eletrik, kolintang, set rebana, dan cara memainkan dol pun lebih atraktif. Misalnya, dol tidak saja diletakkan di lantai, tetapi telah disan-dang dan dimainkan sambil berbuai atau berayun, bahkan sambil tidur. Pertunjukan ini pun kemudian disebut dengan dol buai25. Yang tak ka-lah menarik juga perkembangan yang terjadi dari aspek alat musiknya, berbagai jenis ukuran dol pun dibuat untuk keperluan perbedaan atau variasi warna bunyi. Para remaja Bengkulu sangat antusias memainkan

25 Ibid., 46-47, 48-49, 50,57.

Page 259: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

249

dol kreasi ini. Di Pariaman perubahan yang terjadi adalah pada nilai sakral

upacara dan juga dalam bentuk parsial. Upacara Tabuik tidak lagi dilak-sanakan dari tanggal 1-10 Muharam, melainkan berubah menjadi tang-gal 1-11, 12, 13, dan 14 Muharam, yang diperlukan upacara puncak maoyak tabuik jatuh pada hari minggu. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh embel-embel “pariwisata”. Artinya jika upacara puncak dilakukan pada hari minggu maka akan banyak orang yang menyaksikannya. Dari satu sisi ada benarnya, memang banyak orang menyaksikan upacara maoyak tabuik. Imbas dari itu, ekonomi masyarakat juga terdongkrak, mulai dari penjual makanan, transportasi, pengelola parkir, hingga pen-ginapan. Namun demikian, cara praktis ini ternyata telah menguburkan nilai-nilai sakral kesejarahan peristiwa Karbala sebagai titik tolak upa-cara. Oleh karena pada tanggal 10 Muharam 680 (61 H) adalah hari ke-matian Husein di Karbala. Lambat laun generasi berikutnya tidak akan tahu lagi makna 10 Muharam dalam Upacara Tabuik.

Bentuk lain dari pengembangan Upacara Tabuik adalah perayaan Oyak Tabuik yaitu cuplikan dari salah satu rangkaian Upacara Tabuik. Biasanya yang diambil adalah upacara puncak, maoyak tabuik. Pelak-sanaannya terbilang meriah, kolosal karena melibatkan ratusan bahkan ribuan orang warga Pariaman khususnya dan ditambah dengan ‘warga partisipan’. Akan tetapi pelaksanaannya sudah terlepas dari semua as-pek ritual dan sakral, yaitu:

(1). Tidak diharuskan pada bulan Muharam (tergantung hajatan);(2). Dilaksanakan di luar kota Pariaman (Padang, Pekan Baru, Ba-

tam, Jakarta, Padangpanjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Dar-masraya, bahkan di luar negri seperi Washington, dsb);

(3). Tidak diperlukan benda-benda sakral (jari-jari, benda-benda prosesi, dsb);

(4). Tidak diharuskan pelaksananya masyarakat dari bekas nagari Pasar Pariaman dan V Koto Air Pampan;

(5). Tabuik yang diusung tidak mesti dua buah, satu saja dibolehkan; (6). Ukuran tabuik yang diusung pun relatif, tidak harus sama

tingginya dengan tabuik yang digunakan di kota Pariaman (dapat saja ukurannya tinggi sekitar enam meter);

(7). Setelah perayaan selesai, tabuik tidak perlu dibuang.

Page 260: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

250

Waktu pelaksanaan perayaan Oyak Tabuik tidak terikat lagi dengan bulan Muharam. Hal ini disebabkan karena tujuan dan makna perayaan Oyak Tabuik juga tidak terkait lagi dengan peringatan kematian Husein. Perayaan ditujukan untuk memeriahkan suatu event, baik yang dilak-sanakan oleh pemerintah daerah maupun yang dilakukan sendiri oleh masyarakat Pariaman. Misalnya, perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus, perayaan festival Muharam, hajatan keluarga besar Persatuan Keluarga daerah Pariaman (PKDP), peresmi-an pengurus baru PKDP, dan lain sebagainya. Jadi, waktu pelaksanaan tergantung dari masyarakat Pariaman di perantauan. Pelaksanaannya pun tidak harus setiap tahun atau berkala secara periodik. Dalam hal ini organisasi PKDP di masing-masing daerah atau kotalah yang menentu-kan kapan mereka akan melaksanakan perayaan Oyak Tabuik.

Mengenai tempat penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik dilak-sanakan di luar kota Pariaman, maksudnya adalah karena perayaan ini juga tidak ditujukan untuk memperingati kematian Husein. Perayaan dimaksudkan untuk memeriahkan berbagai hajatan atau event. Siapa dan dimana tempat penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik juga tidak ada kesepakatan antara masing-masing organisasi PKDP. Ini amat ter-gantung dari animo masing-masing masyarakat Pariaman di suatu tem-pat. Misalnya, pada bulan Januari 2008, PKDP Kota Padangpanjang melakukan perayaan Oyak Tabuik. Pada bulan April 2008, masyarakat kota Padang melakukan perayaan Oyak Tabuik. Pada bulan Juli 2008, masyarakat Pariaman di kabupaten Darmasraya melakukan perayaan Oyak Tabuik, sedangkan kota Bukittinggi dilakukan perayaan Oyak Ta-buik pada pertengahan tahun 2007. Tahun 2007 masyarakat Pariaman di Duri dan Pekan Baru melakukan perayaan Oyak Tabuik. Tahun 2006 masyarakat Pariaman di Batam melakukan perayaan Oyak Tabuik. Jadi tempat penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik dapat dilaksanakan di daerah atau kota mana saja, tergantung dari keinginan masyarakat se-tempat.

Dalam setiap penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik tidak diperlu-kan benda-benda sakral untuk kekhidmatan perayaan. Misalnya, panja atau jari-jari sebagai simbol jari-jari Husein yang terlepas akibat tebasan pedang lawan, tidak perlu diarak melintasi kota atau mengelilingi dara-ga. Begitu juga dengan benda-benda lainnya sebagai lambang kebesa-ran Husein yang diarak pada saat mengambil tanah, mengarak jari-jari,

Page 261: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

251

mengambil batang pisang, dan mengarak sorban juga tidak dilakukan. Oleh karena waktu, tempat, dan situasi perayaannya tidak sama dengan perayaan Upacara Tabuik pada bulan Muharam di Pariaman.

Mengenai pelaku perayaan Oyak Tabuik, dilakukan oleh masyarakat Pariaman dimana perayaan Oyak Tabuik itu dilaksanakan. Pelakunya tidak harus didatangkan dari kota Pariaman yang biasa menjadi pelaku perayaan Upacara Tabuik. Namun biasanya masyarakat tempat peny-enggara perayaan Oyak Tabuik minta bantuan untuk pemain gandang tasa yang mengiringi perayaan. Gandang tasa dapat saja didatangkan dari Pariaman sendiri atau dari kota lain.

Kota-kota yang pernah melakukannya perayaan Oyak Tabuik, mer-eka adakalanya membuat dua tabuik untuk diusung dan dihoyak, dan pada saat tertentu hanya menggunakan satu tabuik. Misalnya, Padang-panjang melakukan perayaan Oyak Tabuik pada tahun 1993 menggu-nakan dua tabuik. Begitu juga dengan tahun-tahun sebelumnya. Paya-kumbuh pada masa lalu juga pernah menggunakan dua tabuik dalam perayaan Oyak Tabuik di kota itu. Akan tetapi, pada tahun 2008, di Padangpanjang hanya digunakan satu tabuik saja. Perayaan Oyak Ta-buik di Bukittinggi tahun 2007 juga hanya menggunakan satu tabuik saja.

Begitu juga dengan ukuran tinggi tabuik yang digunakan, tidak ada keharusan memiliki tinggi yang sama dengan yang digunakan di Pariaman. Baik dari jumlah dan ukuran tabuik, bahkan termasuk warna yang digunakan tampaknya tidak ada keharusan mengikuti cara yang digunakan di kota Pariaman pada bula Muharam. Penulis menyaksikan ukuran tabuik yang digunakan di Padangpanjang tahun 2008, hanya memiliki tinggi sekitar 6-6,5 meter dengan warna dominasi kuning. Pa-dahal tinggi tabuik yang ideal adalah antara 10-12 meter, dan warna yang dominan adalah putih, merah, dan biru, sangat sedikit sekali yang menggunakan warna kuning.

Satu hal lagi yang tidak umum dilakukan pada perayaan Oyak Ta-buik adalah selesai perayaan Oyak Tabuik pada sore hari, tabuik tidak harus dibuang. Apalagi dibuang ke laut. Biasanya tabuik disimpan se-bagai benda budaya asset pemerintah setempat. Bahkan saat sekarang sudah ada pula jasa penyewaan tabuik di Bukittinggi, yang khusus di-gunakan untuk perayaan tabuik. Setelah perayaan selesai, tabuik diba-wa kembali oleh pemiliknya.

Page 262: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

252

Menurut Febrizal Sutan Sati, ia telah menyewakan tabuik yang dibuatnya ke Pekan Baru, Bukittinggi, dan Padangpanjang. Ia juga me-nyewakan satu grup gandang tasa lengkap dengan pemainnya untuk mengiringi perayaan Oyak Tabuik, jika suatu daerah menginginkan. Jumlah nominal sewa yang dipungutnya relatif, bergantung pada jauh dekatnya tempat perayaan26.

Dari seluruh aspek penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik yang ti-dak lagi menggunakan cara-cara yang lazim pada perayaan Upacara Ta-buik, seperti beberapa aspek sakral yang telah ditanggalkan merupakan perubahan yang terjadi pada Upacara Tabuik. Oleh karena waktu sakral, tempat sakral, benda-benda sakral, pelaku upacara atau perayaan tidak lagi memiliki kaitan langsung dari aspek makna dengan Upacara Ta-buik, kecuali spirit kebersamaan dalam semangat yang dibangun dalam Upacara Tabuik. Begitu juga dengan tujuan dan maksud perayaan juga tidak lagi untuk memperingati kematian Husein27.

Di luar megah dan meriahnya pelaksanaan Upacara Tabuik, yang tak kalah menarik juga diamati adalah semangat para masyarakat perantau Pariaman dalam mengekspresikan diri melaksanakan Oyak Tabuik. Mereka melakukannya secara totalitas dengan penuh pengor-banan pisik, mental, dan material. Identitas sebagai warga yang berasal dari Pariaman benar-benar mengapung ke permukaan. Melalui Oyak Tabuik momentum identitas dimunculkan.

PenutupMeskipun Upacara Tabuik dan Upacara Tabot berasal dari peristiwa

yang sama (perang Karbala), tetapi dalam pengimplementasian upa-cara sangat banyak dipengaruhi oleh interpretasi masyakarat dengan cara “pemitosan” sejarah yang kemudian seolah-olah seperti legenda. Unsur-unsur budaya lokal dan kebiasaan mayarakat juga turut mem-pengaruhi bentuk upacara, spirit, dan pelaksanaannya. Bagian yang tak terelakkan juga ada perubahan yang terjadi pada kedua upacara tersebut bisa terjadi secara parsial dan penggerusan nilai sakral.

26 Febrizal Sutan Sati (60 thn), pimpinan grup gandang tambua dan randai “Rabuang Kuniang” Bukittinggi (wawancara: Bukittingi, Desember 2007; Padangpanjang, Januari 2008).

27 Asril, “Upacara Tabuik dalam Dimensi Sosial Budaya Masyarakat Pariaman: Keberlangsungan dan Perubahannya” (Padangpanajng: STSI, 2008), 74-79.

Page 263: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

253

Daftar PustakaAhmad, Fazl. Husein Sjahid Agung, Terj. Adam Saleh Djakarta: PT Sinar Hu-

daya, 1972.Asril, “Upacara Tabuik dalam Dimensi Sosial Budaya Masyarakat Pariaman: Ke-

berlangsungan dan Perubahannya” Padangpanajng: STSI, 2008.__________. “Pertunjukan Gandang Tambua dalam Upacara Ritual Tabuik di

Pariaman Sumatra Barat”, Tesis S2 UGM Yogyakarta, 2002.Azra, Azyumardi. “Syiah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas” (pengantar)

dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar ed. Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan dan PPW-LIPI, 2000.

Barry, Michael. et al., Color and Symbolism in Islamic Architecture: Eight Century of the Tile Maker’s Art. London: Thames and Hudson Ltd., 1996.

Gibb, H.A.R dan J.H Kamer ed. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: EJ Brill, 1974.

Hamidy, Badrul Munir. ed. Upacara Tradisional Daerah Bengkulu: Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud, 1991/1992.

Hanefi , dkk., “Musik Tabot dalam Beruji Dol di Bengkulu: Tinjauan Musikologis” Laporan penelitian. Padangpanjang: ASKI, 1998.

Haque, Zelly Marissa. “Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu”, Skripsi. Pa-dangpanjang: STSI, 2009.

Helfrich, O. L. et al., “Het Hasan-Hosein of Taboet-Feest te Benkoelen”, dalam Internationales Archiv fur Ethnographie. Leiden: Verlag von P. W. M. Trap, 1888.

Kartomi, Margaret J. “Tabut - a Shiah Ritual Tranplanted from India to Sumatra”, dalam David P. Chandler dan M.C. Ricklefs (ed.) Nineteenth and Twentieth Century Indonesia. Clayton: Centre of Southeast Asia Studies, Monash Uni-versity, 1986.

Ronkel, Ph. S. van. “Nadere gegevens omtrent het Hasan¬Hoesain feest”, diter-jemahkan oleh Hartoyuwono, dalam Tijdschri ft voor Indische Taal--, Land--, en Volkenkunde. Batavia: Albrecht & Co., 1914.

Tanjung, Parsi “Tabuik, Pesta Kolosal Anak Nagari Piaman”, Singgalang Minggu, 26 Juni 1994.

The Encyclopaedia of Islam: Dictionary of the Geography, Ethnography of Mu-hammadan Peoples. London: Luzac and Co., 1913.

Page 264: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi
Page 265: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

P E M E T A A N M E D I A T R A D I S I O N A L K O M U N I K A T I F

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

MENGEMAS SENI TRADISI NUSA TENGGARA UNTUK

MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL 5

Page 266: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

256

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Kongso Sukoco, dikenal sebagai seniman dan penulis naskah \sandiwara, cerpen dan puisi. Saat ini menjabat Ketua Dewan Kesenian Nusa Tenggara Barat. Dikenal pula sebagai sutradara senior lokal Mataram.

Page 267: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

257

Membicarakan teater tradisi sebagai media komunikasi, tentu tidak sekadar urusan menyampaikan pesan agar dapat diteri-ma publik atau khalayak. Dan tidak melulu domain ketrampi-

lan, meski keberhasilannya terkait dengan seni dan ketrampilan. Orang mulai memikirkan secara spesifi k bila proses komunikasi itu menim-bulkan masalah, Bahwa dalam prosesnya harus dipahami, peristiwa teater (berlangsungnya komunikasi pertunjukan teater dan penonton-nya) adalah peristiwa kebudayaan. Di dalamnya berlangsung reproduk-si nilai, yakni pengolahan pesan dalam bingkai estetika teater dan di lain pihak berlangsung pencernaan makna yang dilakukan khalayak.

Tontonan teater mempertemukan organisme hidup, antara seniman dan penonton. Komunikasi bersifat empiris. Dalam situasi ini komuni-kasi tidak melulu di tingkat isi pesan, tapi juga emosi dan bersifat situa-sional. Bagaimana proses pertemuan organisme hidup itu berlangsung sangat mempengaruhi efektifi tas penyampaian informasi.

Dalam pertunjukan teater tradisi ada konvensi atau ”aturan main” yang menjadi landasan berlangsungnya komunikasi. Pertunjukan teater berlangsung dalam lingkungan komunitas dengan warga penonton yang sharing terhadap idiom teater tradisi. Khalayak memahami idiom sen-inya, isi cerita, alur bahkan durasi dan bagaimana pertunjukan diakhiri. Memang bisa saja ada perubahan dalam pertunjukan seni tradisi namun

Kongso SukocoKetua Dewan Kesenian Provinsi NTB

Memfungsikan Teater Tradisi Amaq Abirsebagai Media Komunikasi Tradisional

Page 268: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

258

perubahan itu selalu dikenali karena ada pertautan dengan konvensi se-belumnya (bandingkan dengan teater modern yang sering ”tidak ko-munikatif” dengan penontonnya karena tak pernah terjadi penyerasan konvensi tersebut). Konvensi -- termasuk konvensi artistik -- meru-pakan jaminan bahwa motivasi penonton primordial itu akan terpenuhi, bertolak dari motivasi ini mereka memiliki ekspektasi terhadap pesan yang akan diterimanya.

Karena konvensi itu maka memfungsikan dan memanfaatkan teater tradisi sebagai sarana penyampai informasi pada khalayak primordial-nya bisa sangat efektif. Sebab komukasi yang terbangun dalam teater tradisi adalah penyelarasan pemahaman karena adanya konvensi yang dipahami bersama.

Harus diakui, sebelum era reformasi pemerintah menaruh perha-tian besar dalam hal pemanfaatan seni tradisi, khususnya bentuk seni pertunjukan tradisi yang efektif sebagai media penyaluran pesan infor-masi. Kantor Wilayah Departemen Penerangan di tiap provinsi banyak menyelenggarakan pertunjukan rakyat. Di pelosok-pelosok desa sering kita jumpai mobil panggung pertunjukan rakyat milik Departemen Pen-erangan yang menggelar seni pertunjukan tradisi.

Hal itu berpengaruh positif pada eksistensi seni pertunjukan tradisi. Meski ada catatan penting. Kalau kita menengok masa Departemen Pen-erangan dengan program ”Sosio-drama”-nya, penyampaian isi pesan sangat mekanis. Salah satu sebabnya, pemberdayaan dan pengemban-gan teater tradisi – termasuk seni tradisi lainnya – yang dilakukan saat itu lebih memberatkan fungsinya sebagai ”alat” untuk mengantarkan pesan. Prioritasnya semata-mata penyampaian kebijakan pembangu-nan pemerintah, dengan sedikit perhatian dalam mengintensifkan peris-tiwa komunikasi kultural. Hal itu seperti mengesampingkan pentingnya meningkatkan kualitas ”bentuk seni” kelompok-kelompok seni tradisi yang sebenarnya justru menjadi faktor penting meningkatkan efektifi tas penyampateraian pesan.

Banyak bentuk teater tradisi di Lombok yang bisa dikembangkan menjadi sarana atau media tradisional untuk penyampai informasi ke-bijakan pemerintah. Sebab telah terbangun kedekatan kultural kesenian itu dengan komunitas primordialnya. Ini faktor penting terjalinnya ko-munikasi yang efektif.

Salah satu teater tradisi di Lombok adalah Teater Amaq Abir. Pili-

Page 269: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

259

han untuk mendeskripsikannya karena alasan, bahwa Teater Amaq Abir sangat populer pada jamannya, bahkan berkembang di beberapa tempat di Lombok. Teater ini telah membangun penonton primordialnya yang meluas di beberapa wilayah di Lombok. Namun tidak seperti Teater Cupak Gurantang dan Kemidi Rudat yang bertahan dan tetap populer hingga kini, sebaliknya Teater Amaq Abir nyaris punah. Pembinaan yang dilakukan Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud (pertengahan ta-hun 80-an) berhasil menyelamatkannya, dan kini Teater Amaq Abir sekali tempo masih dimainkan kalangan generasi muda di Desa Ma-rong, Lombok Tengah. Namun tetap saja, dengan minimnya pembinaan (kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali) dari pemerintah setempat, nasib kepunahan itu akan terulang kembali. Karena itu dipandang pent-ing mendeskripsikannya untuk didiskusikan bersama dalam forum ini.

Teater Tradisi di Lomboka. Asal-usul

Teater tradisi Sasak bisa digolongkan sebagai bentuk baru dalam jajaran khasanah seni tradisi yang tumbuh di Lombok. Masyarakat Sasak memiliki perjalanan seni tradisi yang pan-jang dan kaya seperti tradisi sastra, musik dan tari. Namun seni pertunjukan tradisi Sasak yang verbal dan dialogis – yang men-jadi salah satu ciri teater tradisi – tumbuh belakangan. Ada yang menyebutnya setelah masa kemerdekaan atau sekitar tahun 50-60an (meski Teater Amaq Abir dikenal di Desa Medana, Lom-bok Timur dikenal jauh sebelum jaman Jepang). Tumbuhnya seni pertunjukan yang verbal dan membangun komunikasi dialogis ini seiring kebutuhan masyarakatnya untuk lebih tersurat dan intens dalam mengkomunikasikan pesan moral dan paedagogik. Lebih dari itu ada kebutuhan menjalin komunikasi dengan publik yang melintasi batas komunitasnya.

Tumbuhnya teater tradisi Sasak cepat mendapat dukungan luas. Saat pertunjukan seni sastra, musik dan tari tak memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menjalin komunikasi dialogis, maka seni teater mendapat tempat khusus. Sampai tahun 70-an teater tradisi di Lombok mengalami masa keemasannya.

Kalau kita temui jejak dan pengaruh dari ” Jawa-Bali” dalam teater tradisi -- seperti kita temui pada seni budaya Lombok (ma-

Page 270: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

260

syarakat Sasak) umumnya -- karena Lombok sempat menjadi ”persinggahan” kerajaan Jawa dan Bali. Pada abad XI tercatat Anak Wungsu (Bali) datang ke Lombok, kemudian ekspedisi mi-liter Majapahit yang dipimpin Mahapatih Gajah Mada pada abad XIV meninggalkan jejak budaya maupun kepercayaan yang jelas. Tapi paling kuat meninggalkan jejak sejarah adalah Kerajaan Ka-rang Asem pada abad XVII-XIX (1692-1839) yang diteruskan oleh Kerajaan Mataram yang merupakan metamorfose Karang Asem sampai tahun 1894. Hingga kini jumlah komunitas Bali ter-masuk besar di Lombok, demikian pula budaya dan kepercayaan yang dianutnya terus tumbuh dan berkembang.

Namun kebudayaan Jawa baik seni musik, teater maupun sas-tra lontar (Sastra Takepan), meninggalkan pengaruh paling kuat kuat pada masyarakat Sasak. Semua sastra lontar itu digubah dengan menggunakan Aksara Jejawen, yang merupakan turunan dari Aksara Jawa, Hanacaraka. Meski demikian, pengaruh sastra Jawa (Madya) yang dominan itu bukan satu-satunya. Kedatangan Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) pada abad XVII, juga menin-ggalkan pengaruhnya pada corak seni budaya Sasak. Kerajaan Gowa yang lebih dekat dengan pengaruh Melayu, meninggalkan jejak seni budaya ”Rumpun Melayu”.

Wayang Sasak, Teater Amaq Amir, Teater Kayaq Sandongan, Teater Amaq Darmi, Cupak Gurantang dan Kemidi Rudat sangat populer di komunitasnya masing-masing. Memang hanya Cupak Gurantang dan Kemidi Rudat yang mampu bertahan lebih lama. Teater Cupak Gurantang bukan hanya menjangkau wilayah pe-nonton yang lebih luas, tapi sekaligus mampu meluaskan sebaran bentuk teater tersebut di beberapa tempat. Hal yang sama juga terjadi pada Kemidi Rudat.

Perlu diungkapkan disini. Dalam hal penguatan eksistensi perluasan publik seninya, yang patut mendapat perhatian khusus adalah Wayang Gerung dengan dalang legendaris Lalu Nasib. Di tangan Lalu Nasib, Wayang Sasak bukan hanya sanggup bertahan namun juga sangat populer di seluruh penjuru Lombok. Ini tak lepas dari kemampuan Lalu Nasib yang menjadi Wayang Sasak selalu kontekstual dengan publiknya.

Page 271: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

261

b. Pengelompokan Secara umum pengelompokan teater tradisi di Lombok bisa

dikelompokkan:1. Teater Kayaq; teater tradisi yang bentuk penyajiannya me-

lalui tembang dan tari (dramatari);2. Teater Kemidi Rudat;3. Teater Topeng; yang dialog-dialognya seperti percakapan

sehari-hari dan pemainnya juga menari, menembang den-gan iringan gamelan, semua pemainnya memakai topeng.

Kalau teater yang berasal dari ”Rumpun Jawa-Bali” (Teater Kayaq dan Terater Topeng) lebih sederhana, misalnya dalam kon-stum banyak yang memakai kostum sehari-hari. Tidak demikian dengan teater ”Rumpun Melayu” (Kemidi Rudat) yang kostum-nya mencolok ala Arab/Turki. Penokohan dalam lakon teater yang terakhir ini didasarkan pada jenis mahluk dan kedudukan; raja (Dari Baghdad dan Yaman), wasir, khadam, perampok, per-maisuri, puteri, anak muda dan lain-lain. Pada ”Rumpun Bali Jawa” tekanan diberikan pada pembawaan manusia.

Struktur teater tradisi umumnya naratif, karena kebutuhannya untuk menampilkan cerminan keadaan dan persoalan masyarakat, yakni persoalan etika, moral maupun komentar-komentar sosial. Perwatakan dalam teater tradisi umumnya ”stereotip”, hitam-putih, sebab dalam masyarakat tradisi memerlukan pijakan yang jelas, kutub moral yang tidak kabur antara yang baik dan buruk. Pada Teater Cupak-Gurantang kita temukan watak Cupak yang rakus, penipu dan jauh dari nilai-nilai etis. Sebaliknya watak Gu-rantang mewakili watak mulia yaitu ihlas, tidak pendendam, pe-nolong dan menjunjung watak-watak ksatria.

Dari narasi-narasi yang diungkapkan teater tradisi, diharap-kan masyarakatnya mampu memahami masalah yang dihadapi dan syukur kalau bisa menyelesaikannya. Pada Teater Amaq Abir yang semula dalam narasinya dibawakan dengan cara nembang (bekayaq) pada perkembangannya menggunakan menggunakan dialog verbal agar terbangun komunikasi intens dengan penon-ton. Generasi muda di Desa marong, Lombok Tengah kini me-mainkan Teater Amaq Abir dengan dialog yang dominan dari-

Page 272: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

262

pada tembangnya. Ini dimaksudkan agar teater itu bisa lebih kontekstual, lebih leluasa berimprovisasi dalam mengomentari persoalan-persoalan sosial dan lebih dekat dengan persoalan-persoalan kekinian. Sebab cerita-ceritanya umumnya sudah dik-etahui penontonnya, tapi dari sinilah para orang tua melepaskan anaknya untuk menonton sebab tahu dalam tontonan tersebut ada nilai-nilai yang perlu diapresiasi.

Dalam uraian berikut akan dideskripsikan lebih jauh tentang Teater Amaq Abir yang sempat sangat populer pada jamannya. Tapi kenapa bukan Cupak Gurantang atau Kemidi Rudat yang lebih eksis dan masih memiliki publik yang lebih jelas? Justru karena kemerosotan Teater Amaq Abir itu lebih kontekstual dibi-carakan dalam forum ini.

Teater Amaq AbirTeater Topeng Amaq Abir merupakan salah satu bentuk teater tra-

disi Sasak yang pernah sangat populer pada jamannya. Tercatat pernah hidup di beberapa daerah di Lombok, tapi eksistensinya memprihatink-an. Di beberapa desa di Kabupaten Lombok Barat, seperti di Desa Tan-jung dan Narmada, malah sudah punah. Di Kabupaten Lombok Timur kita dapati di Desa Mendana bisa dikatakan ”hidup segan mati pun tak mau”. Tapi karena langkanya pertunjukan karena pelakunya mulai tak ada, bisa jadi sekarang sudah mati. Sedang di Kabupaten Lombok Ten-gah di Desa Marong masih sering tampil dalam acara-acara hajatan ma-syarakat.

Khusus di Desa Marong, 41 km dari Mataram atau 13 km dari Pra-ya, ibu kota Kabupaten Lombok Tengah, teater tradisi dari Marong ini pertama kali mendapat pembinaan dari Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud (Sekarang Dinas Dikpora) melalui Proyek Pengembangan Kesenian pada tahun 1984, dan menampilkannya pada Festival Teater Daerah NTB. Teater Topeng Amaq Abir yang mendapat predikat ”ter-baik”, pada tahun itu juga dipentaskan di Jakarta dalam Pekan Teater Tradisi Tingkat Nasional.

Waktu ditemukan untuk pembinaan saat itu, Teater Amaq Abir su-dah 50 tahun tidak pernah mengadakan pementasan (jauh sebelum Je-pang menduduki Lombok). Saat itu pemainnya rata-rata berumur 75-80 tahun. Sebagian perlengkapannya (terutama gamelan) telah dijual oleh

Page 273: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

263

yang menyimpannya karena saat itu kemiskinan menghimpit masyara-katnya.

Sebenarnya sejak mendapat pembinaan itu gairah menghidup-kan teater tradisi di Marong mulai tumbuh. Apalagi dalam acara Pekan Teater Daerah, baik di Mataram maupun di Jakarta, yang ditampilkan adalah pemain-pemain dari generasi muda. Teater Amaq Abir tetap ja-rang tampil. Pada tahun 2008, pihak Taman Budaya NTB juga sem-pat mengundang untuk pentas melalui program pementasan rutinnya, kelompok teater topeng dari Marong itu memboyong pemain-pemain yang masih muda. Penggeraknya yang sekaligus menjadi pimpinan teater itu adalah Lalu Sahibi, yang pernah mengikuti kursus pelatihan di Padepokan Tari Bagong Kussudiardjo di Jogja tahun 1990-an. Sejak tahun 1996, sedikitnya kelompok teater asal Marong ini tampil seban-yak 20 kali di berbagai acara masyarakat desa.

Generasi muda di Marong memang belum mampu sepenuhnya memfungsikan teater tradisi itu, namun mereka bisa memvitalkan jiwa dan semangat di dalamnya. Banyak nilai-nilai yang terkandung dalam teater topeng ini; nilai-nilai artistik, nilai-nilai paedagogis, sosial dan nilai-nilai luhur lainnya yang menjelma dalam keseluruhan batang tu-buh teater topeng tersebut.

a. Riwayat Pertumbuhan Arti Kata

Beberapa informan yang ditemui di Desa Marong mengung-kapkan, nama Amaq Abir yang terdiri dua kata Amaq dan Abir, yang dalam bahasa Sasak maksudnya; Amaq artinya Bapak, se-dangkan Abir ada yang mengatakan dari bahasa Arab ”Akbar” yang berarti besar. Tapi beberapa informan lain memberikan catatan, bahwa Abir dalam bahasa Sasak memang berarti Besar. Perbedaannya, yang terakhir lebih ditekankan dalam arti besar fi sik seseorang, sedang yang pertama pada kebesaran moral dan ahlak. Tapi yang jelas, kedua pengertian itu maksudnya sama yaitu sebutan Bapak Abir, maksudnya adalah tokoh yang mem-punyai keunggulan ada keistimewaan.

SejarahTeater Topeng Amaq Abir tercatat pernah hidup di beberapa

Page 274: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

264

desa di Lombok, misalnya di Desa Tanjung (Lombok Utara), di Desa Mendana (Lombok Timur) dan Desa Marong (Lombok Tengah). Tentu saja, kini di semua desa itu kehidupan teater tra-disi itu nyaris punah (di beberapa desa lainnya benar-benar punah karena ditinggalkan para pelakunya..

- Di Desa Mendana Pada awal Lombok menerima ajaran Islam, ada seseorang

yang berasal dari Sakra (sekitar 10 km dari Desa Mendana), Lombok Timur, pergi naik haji. Kembali dari Mekah ia dipanggil Haji Ali Batu. Untuk menyebarkan Islam di Lombok, ia membuat topeng dan memainkannya dengan pengikut-pengikutnya.

Salah seorang pengikutnya adalah Amaq Nursalim, meninggal tahun 1980 dalam usia 125 tahun. Anaknya yang bernama Amaq Sitah kalau masih hidup berusia sekitar 75 tahun) menyimpan to-peng-topeng itu dalam ”besek” yang diletakkan di tempat khusus. Tiap hari Senin dan Jumat malam Amaq Sitah membakar keme-nyan di bawah tempat topeng-topeng itu. Untuk melihat topeng-topeng itu harus ada ”andang-andang”nya, semacam sesajen yang terdiri dari beras, sirih, benang, uang kepeng (Cina), kelapa dan lain-lainnya. Untuk menurunkan topeng-topeng itu harus ada mantra-mantra khusus sebagai syarat minta izin.

Ada lima karakter topeng yang disakralkan; Ida Bagus atau Datu, Amaq Tempenges, Amaq Abir (yang duplikat dan asli) dan topeng Haji. Topeng Amaq Abir yang asli jarang dikeluarkan un-tuk pementasan, yang dipakai hanya duplikatnya. Yang asli ber-warna putih, sebelah matanya agak sipit, sedang duplikatnya ber-warna merah jambu, kedua matanya normal. Konon, Amaq Sitah sering kedatangan orang yang sakit minta obat. Topeng Amaq Abir yang asli dimandikan dan airnya ditadah dan diminum oleh yang sakit. Hinga kini Amaq Sitah dikenal sebagai dukun desa yang banyak didatangi masyarakat untuk minta obat orang yang kesurupan, lumpuh dan penyakit lainnya yang berhubungan den-gan guna-guna.

Di Desa Mendana teater topeng ini memang disakralkan. Se-belum pertunjukan, biasanya untuk mengambil topeng selalu didahulu dengan persembahan ”andang-andang” seperti disebut

Page 275: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

265

di atas. Sedang di Marong, tiap akan dimulai pertunjukan selalu dengan acara doa bersama yang dipimpin oleh seorang ustadz.

- Di Desa MarongDesa Marong sebagian besar penduduknya adalah petani,

lebih tepatnya dua pertiga warganya adalah buruh tani. Desa ini sering mengalami kemarau panjang, sekitar tahun 1980-an warga desa sering terancam bahaya kelaparan karena daerah ini dulu termasuk dalam lingkaran ”daerah kritis Lombok Selatan”. Se-benarnya di desa ini banyak tumbuh berbagai bentuk kesenian, tapi sekarang semuanya sudah banyak yang punah.

Di Desa Marong teater topeng ini sama sekali tak disakralkan, dan tidak dihubungkan dengan suatu upacara agama, hal-hal gaib atau sebagai pelengkap upacara sehubungan dengan hidup ses-eorang, perputaran waktu dan sebagainya. Pementasannya sema-ta-mata merupakan acara kesenian yang membawa pesan moral.

Warga desa yang berusia lanjut di Marong mengungkapkan, asal-usul cerita Amaq Abir berasal dari Kerajaan Selaparang. Pengarang cerita Amaq Abir dipercayai sebagai waliullah Kera-jaan Selaparang. Pada masanya cerita Amaq Abir ini sangat pop-uler di beberapa desa di Lombok, termasuk di Desa Marong.

Sekitar tahun 1800, seorang yang bernama Mamiq Jiring yang lahir dan dibesarkan di Marong mencoba mengangkat cerita itu ke dalam bentuk teater topeng. Amaq Abir adalah satu-satunya judul cerita yang pernah dipentaskan. Tapi versi lain mencerita-kan, yang pertama mengenalkan Amaq Abir adalah Datuk Som-ba, berasal dari Sakra (dekat Desa Mendana, Lotim) yang menin-ggal tahun 1800-an. Datuk Somba punya anak bernama Mamiq Rumintang, generasi kedua yang meneruskan usaha kedua orang tuanya. Datuk Somba diperkirakan keluarga atau pengikut Haji Ali Batu yang menyebarkan Islam ke Marong.

Diperkirakan setelah usaha yang dilakukan Mamiq Rumintang, teater itu mengalami kelesuan, sebab sumber-sumber lisan yang ditemui tidak pernah menyebut upaya-upaya yang dilakukan anaknya. Tapi cucu Mamiq Rumintang, yaitu Lalu Darmaji, lahir sekitar tahun 1936, merupakan generasi keempat (setelah Datul Somba) yang kembali membangkitkan Teater Amaq Abir. Lalu

Page 276: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

266

Darmaji menjadi ”juru lakon” (berfungsi semacam sutradara). Dalam organisasi Berkat Patuh yang terbentuk saat Kanwil Dep-dikbud NTB melakukan pembinaan tahun 1984, Lalu Darmaji dipercaya sebagai pimpinan organisasi teater itu. Selain diberi kesempatan pentas di Mataram dan Jakarta, grup teater itu juga mendapat bantuan seperangkat alat gamelan.

Dalam pementasan di Taman Budaya NTB tahun 2008, or-ganisasi kesenian dari Marong itu sudah beralih pada generasi muda. Hingga kini, meski intensitasnya menurun, Teater Amaq Abir mulai dipentaskan sebagai hiburan di berbagai acara.

B. Bentuk Teater Amaq Abir Bentuk Teater Amaq Abir adalah teater topeng. Semua pe-

mainnya mengenakan topeng. Meskipun dalam teater itu terdapat dialog-dialog tokoh-tokoh cerita, namun di Desa Mendana to-peng yang dikenakan menutupi seluruh wajah. Berbeda dengan di Desa Marong, Lalu Sahibi yang memahami seni pertujukan yang memfungsikan vokal pemainnya, topengnya tidak sampai menutupi mulut (agar dialognya sampai ke penonton).

Sebelumnya, seluruh pemainnya adalah laki-laki, termasuk untuk peran putri juga dimainkan laki-laki. Tapi setelah mendapat pembinaan, sekarang untuk memainkan tokoh putri sudah dib-awakan oleh pemain perempuan. Dalam teater ini kita dapati unsur tembang (kayaq, Sasak), tari dengan diiringi alat musik seperangkat gamelan. Sebelum pementasan selalu diawali, di Desa Mendana selalu diawali dengan Tari Oncer sebagai pem-bukaan. Kalau di Desa Marong dibuka dengan Tari Satang lebih merupakan tari kreasi).

Tokoh/karakter Baik di Desa Mendana atau di Marong, karakter atau tokoh

ceritanya sama, hanya namanya berbeda. Di Desa Mendana ada tokoh-tokohnya, seperti:

- Topeng Haji- Topeng Keliang - Topeng Putri- Topeng Papuk Dulahman

Page 277: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

267

- Topeng Amaq Abir- Topeng Amaq Ampes- Topeng Raksasa

Sedang di Desa Marong, tokoh-tokohnya adalah:- Topeng Ida Bagus/Datu- Topeng Putri- Topeng Amaq Abri- Topeng Amaq Tempenges- Topeng Amaq Baris- Topeng Amaq Beang- Topeng Amaq Dante dan Inaq Danti- Topeng Amaq Bangkol - Topeng Inaq Randa- Topeng Raksasa

Di Desa Marong di bawah asuhan Lalu Sahibi memang lebih kratif. Toloh-tokoh baru banyak diciptakan untuk mengungkap-kan persoalan-persoalan masyarakatnya dan membuat pertunju-kan lebih segar. Baik di Mendana atau di Marong, tokoh Amaq Abir selalu digambarkan sebagai kstria berkuda. Konon, kuda ini sebagai simbol dari tokoh Jayengrana dengan kudanya yang ber-nama Sekardiu.

Musik PengiringMusik pengiri dalam Teater Amaq Abir adalah seperangkat

gamelan, terdiri:- Gong- Gamelan- Rincik- Terompong- Kendang- Suling- Petuk

Jalan CeritaBaik di Mendana maupun di Marong ada kemiripan jalan

Page 278: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

268

cerita, yang membedakan hanyalah nama-nama tokoh-tokohnya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya.

Ceritanya berkisar tentang penguasa atau orang kaya di desa yang perangai maupun tingkah lakunya kurang terpuji. Tokoh ini sering berjudi (sabung ayam), mabuk-mabukan (minum tuak), serta tingkah laku lainnya yang bertentangan dengan kepatutan atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tingkah laku ini sering mendapat kritikan dari pelayannya, dan disindir dengan cara menembang. Pelayannya yang dikenal berhati lurus ini juga sering membicarakan keburukan ini pada Putri atau anak pen-guasa atau orang kaya tersebut.

Suatu hari, sang Putri ketika berjalan-jalan di taman sari dicu-lik oleh raksasa. Gegerlah seluruh wilayah kedatuan. Pelayan pun mendapat tugas untuk mencari orang yang bisa menemukan dan membebaskan Putri dari cengkeraman raksasa. Akhirnya berte-mulah pelayan tersebut dengan Amaq Abir yang sedang berda-kwah.

Amaq Abir pun berhasil mengalahkan raksasa dan membe-baskan Putri. Penguasa atau orang kaya itu akhirnya menginsyafi kesalahannya setelah mendapat nasehat dari Amaq Abir.

Memfungsikan Teater Tradisia. Memahami Konvensi

Tehnik, isi cerita dan perkembangan bentuk-bentuk kesenian suatu komunitas (suatu bangsa) bisa dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan ”pola psikologi aktual” masyarakat yang bersangkutan. Kesimpulan itu pernah diungkapkan Sigfried Cra-cauer, ahli sejarah teoritikus fi lm. Kesimpulan itu bisa berlaku saat kita mencoba memahami kesenian (teater) tradisi dan mod-ern, mungkin dengan sedikit perbedaan dalam intensitasnya.

Perubahan-perubahan sosial politik, nilai-nilai budaya, pe-rubahan status poleksosbud dari bangsa terjajah kemudian merdeka, kemudian beranjak dari cengkraman penguasa otoriter menuju era reformasi tapi kemudian tergerus oleh selera global, merupakan background sosial yang mempengaruhi dan memben-tuk ”pola psikologi aktual” masyarakat saat berekspresi dalam bentuk-bentuk keseniannya. Karena itu, upaya memahami ma-

Page 279: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

269

syarakat pelaku teater tradisi dan kemungkinan ”pengembangan” nilai-nilai pesan yang disampaikannya memang harus paralel dengan background sosial yang dimaksudkan itu.

Misalnya, kita selama ini memahami terdapat dua jenis bentuk teater yakni yang digolongkan sebagai ”teater tradisi” dan ”teater modern”. Dalam teater tradisi terdapat konvensi-konvensi yang mengikat penampilannya. Kesenian merupakan salah satu sarana menonjolkan komunalisme. Manusia dalam teater tradisi tidak dipisahkan dari gejala metafi sik-kosmik, hakekat drama sebagai gerakan mempertahankan tradisi. Teater tradisi menjadi sarana penting dalam sistem pewarisan nilai-nilai.

Teater tradisi Sasak di Lombok -- seperti halnya seni tradisi lainnya -- berfungsi sebagai ”pranata” masyarakatnya. Ang-gota masyarakat yang menjadi pendukung kesenian tersebut bisa menghayati dan mengungkapkan pengalamannya. Teater tradisi mengungkapkan nilai-nilai dengan cara tersirat dalam alur cerit-anya serta pada penggambaran perwatakannya.

Nilai-nilai artistik terungkapkan lewat tembang atau kidung, lewat teknik pembuatan topeng dan musik pengiring. Nilai-nilai paedagogis maupun nilai-nilai lainnya hingga kini masih dihayati masyarakat pendukungnya. Pertunjukan teater mengungkapkan nilai-nilai itu dan masyarakat mencocokkan dengan konvensi yang telah terbangun bersama, dan teater itu menjadi media ko-munal yang (antara lain) berfungsi penyampai informasi untuk mencocokkan nilai bersama tersebut.

Sedang teater modern berusaha menggambarkan re-alitas obyektif dengan bahasanya yang analitik prosaik, menon-jolkan individu sebagai entitas psikososial, dan konfl ik sebagai hakekat drama. Ada baiknya kita merinci perbedaan antara teater tradisi dan teater modern;

Page 280: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

270

Teater Tradisi Teater Modern1. Sering disebut sebagai sebagai ”teater total” a. Menontonnya butuh totalitas akal, rasa dan kemauanb. Total secara kualitatif (tehnik dan naskah)

1. a. Total dalam tehnik, secara kuan-titatif b. Semata-mata menghidangkan; - Salah satu kodrat manusiac. Bahasa bisa prosa, puisi dan nyany-ian- Satu tema pokok - Satu gaya ekspresi- Satu macam bahasa; prosa atau puisi atau nyanyian (opera)

2. Penonton; - Manusia fi sik - Semua arwah - Mahluk dari dunia lain

2. Penonton : - Manusia fi sik

3. Struktur; sirkuler (kosmologis masyarakat agraris)

3. Struktur; - Linier, konfl ik sebagai hakekat drama

4. Teatrikalisme; - bukan kenyataan obyektif tapi realitas Transcendental

4. Realisme (teater ilusionis)

5.Tokoh; Perwatakan bukan entitas psikolo-gis, tapi lambang dari spiritual state (teater metafi sik). Tokoh dalam teat-er tradisi sadar akan ketergantungan tenaga kosmik dan spiritual

5. Tokoh sebagai entitas psikososial

6. Musik dan Tari; merupakan ba-gian integral

6. Musik dapat diabaikan dari watak tokoh dan adegan/suasana

7. Bahasa dan sastra sangat penting tapi berbeda kedudukannya bila dibandingkan dengan teater modern;

7. Bahasa sebagai alat analisis, - bahasa tidak dominan , sejajar den-gan musik dan tari - bahasa lebih formal, terikat pada fungsi artistik dan teatrikalnya

8. Fungsi; - Pengikat solidaritas - Penjabar dan penyampai nilai-nilai - Pengayaan batin kolektif yang mengacu Kerangka pemikiran dan perasaan yang telah dibentuk secara kolektif

8. Kesetiaan individual, rasa ingin tahu, nilai alternatif diperhitungkan

Page 281: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

271

Perubahan dalam apa yang disebut “pola psikologi aktual” seperti disebut di atas, menyebabkan pergeseran, perubahan atau pengembangan dalam kesenian. Perubahan-perubahan nilai este-tik pada gilirannya mempengaruhi nilai-nilai sosial dan moral.

Sebagai catatan, apa yang dikatakan nilai itu, di kalangan ilmu sosial biasanya dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan. Atau lebih khusus, dunia simbolik dalam kebudayaan. Dunia simbolik adalah dunia yang menjadi tempat diproduksi dan disimpan muatan mental dan muatan kognitif kebudayaan baik berupa pengetahuan dan kepercayaan, makna maupun nilai dan norma dalam kebudayaan, Nilai estetik yakni anggapan tentang indah atau sebaliknya, apa yang pantas dan se-baliknya, adalah bagian dari dunia simbolik tersebut.

Uraian yang membedakan “yang tradisi” dan “yang modern/baru” itu untuk memperjelas, ada hubungan kuat antara “konvensi teater” dengan “pandangan dunia”. Dengan kata lain, pandangan dunia menentukan bentuk konvensi. Dan untuk memahami fungsi suatu konvensi perlu dipahami pandangan dunia masyarakat atau komunitas yang menopangnya. Pandangan yang religius-magis berusaha memahami realitas untuk menyesuaikan diri, atau hidup dalam harmoni. Sementara pandangan faustianistis ingin mema-hami realitas untuk mengendalikan atau menguasai dan meman-faatkannya (eksploitasi).

Suatu bentuk kesenian, hanya dapat tetap mempertahankan eksistensinya bila memenuhi fungsinya sebagai pengungkap pen-galaman suatu komunitas sosial. Ini berlaku bagi kesenian tradisi atau yang modern/baru. Sebab kesenian butuh “dukungan” ma-syarakatnya, sebab dari sana pengungkapan nilai-nilai simbolik itu butuh pengakuan. Dalam masyarakat tradisional, tiap perwu-judan ekspresi seni anggota masyarakatnya dianggap menjadi ba-gian tak terpisahkan dari kesepakatan akan nilai-nilai bersama. Karena itu landasan “pengalaman bersama” harus ditemukan.

Teater tradisi merupakan salah satu intitusi yang menjadi sarana pewarisan nilai-nilai dalam kebudayaan, karena itu (ada konvensi) harus menjaga harmoni dengan masyarakatnya. Di sana anggota masyarakat menghayati dan mengungkapkan pen-galamannya; ada penjernih masalah, pendalaman dan perluasan

Page 282: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

272

pengalaman. Dalam teater tradisi penonton sekaligus menemu-kan dua hal;

Pertama, mereka akan melihat diri mereka dan kenyataan sosial, jadi apa yang mereka tonton merupakan (idealisasi) pen-galaman hidup sehari-hari. Teater menawarkan keterlibatan se-cara psikis, dan pentas teater itu menjadi milik bersama. Kedua, mereka menemukan dan mencocokkan nilai-nilai yang selama ini dihayati bersama.

Pemahaman tentang “konvensi” ini penting, misalnya bagi seniman-seniman teater baru yang mencoba mengambil idiom teater tradisi. Pemahaman sebelum melakukan penggalian nilai-nilai dari teater tradisi, maksuknya agar tidak kehilangan akar (tetap ada “ruh” tradisi), setidaknya untuk menjaga agar nilai-ni-lai itu tidak disalahtafsirkan. Idiom teater selayaknya tidak hanya dilihat dari daya tarik lahiriah saja. Kalau itu terjadi maka sebena-rnya telah terjadi perampokan. Sebab bisa jadi ada nilai-nilai kon-vensi (dalam bentuk fi sik estetika) yang tak terpisahkan dari pan-dangan dunia yang menopangnya. Mengambil tanpa memahami esensi estetisnya, seperti kita mencampuradukkan faustianisme atau religious-magis, dua pandangan dunia yang bertentangan, yang menimbulkan resiko keracunan dalam memandang nilai-nilai kebudayaan.

Catatan yang terakhir ini juga penting kalau hendak member-dayakan teater tradisi sebagai Media Komunikasi Tradisional.

b. Media Komunikasi TradisionalUraian tentang konvensi seni atau teater tradisi di atas untuk

memberi gambaran tentang pentingnya memahami pandangan dunia tradisi yang melahirkan bentuk estetik dalam kesenian-nya. Namun harus juga dipahami, bahwa segala konvensi untuk mengidentifi kasi keindahan bentuk seni tradisi bukanlah aturan mati yang tak membuka diri dari kemungkinan berubah. Kes-enian selalu memiliki kebutuhan mengembangkan potensinya agar mampu mengakomodasi perubahan isi pesan seninya untuk menjangkau “pandangan dunia” yang lebih dari batas-batas ko-munitasnya.

Dan kenyataannya, seni atau teater tradisi saat ini tentu tidak

Page 283: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

273

semata-mata ditopang komunitasnya dimana kesenian itu mulai tumbuh. Pertunjukan Wayang Gerung dengan dalang Lalu Na-sib adalah contoh bagaimana seniman tradisi mampu menjelajah ruang nilai yang melintasi batas-batas komunitasnya. Tanpa ke-hilangan identitas Wayang Sasak-nya, dalang Lalu Nasib sangat memahami “pola psikologi aktual” masyarakat Kecamatan Ger-ung, Lombok Barat, yang sebenarnya menginginkan kesenian-nya bisa berkomunikasi dengan publik yang lebih luas. Hal ini merupakan bagian untuk mempertahan eksistensi seni (sebagai konkritisasi nilai-nilai) yang mampu bertandang dan diapresiasi oleh nilai-nilai di luar masyarakatnya.

Teater Amaq Abir di Medana (Lombok Timur) yang terlanjur terikat dalam nilai religius-magis komunitasnya, akhirnya tak mampu mem-pertahankan eksistensinya. Berbeda dengan yang ada di Desa Marong, Lombok Tengah, teater topeng ini sama sekali tak disakralkan. Sejak awal pertumbuhannya Teater Amaq Abir bagi masyarakat buruh tani di Marong tidak dihubungkan yang berkaitan dengan upacara agama atau hal-hal gaib, tapi semata-mata dianggap sebagai acara kesenian yang membawa pesan moral.

Mempertahankan eksistensi serta mengembangkan Teater Amaq Abir di Marong lebih memungkinkan, setidaknya teater tradisi tersebut memiliki potensi;

pertama, penyesuaian “bentuk seni”-nya sebagai pengungkapan nilai estetik yang mampu menyesuaikan diri dengan apresiasi estetis publiknya; kedua, kemungkinan perubahan dan pengembangan bentuk seni Teater Amaq Abir terbukti sangat terbuka masuknya unsur tehnik teater modern (pembinaan yang dilakukan menjelang tampil dalam fes-tival teater tradisi di Jakarta tahun 1986). Struktur, plot, pengadeganan, cerita maupun penokohan bisa dikembangkan sesuai kebutuhan; ketiga, dengan potensi untuk “menyesuaikan diri” tersebut maka Teater Amaq Abir dengan mudah membawa “misi” penyampai muatan-muatan nilai dan moral baru, atau lebih jauh lagi menjadi media komunikasi tra-disional yang berfungsi sebagai penyampai pesan dan media informasi yang komunikatif pada komunitasnya atau pada publik yang lebih luas.

Pada dasarnya fungsi tersebut juga bisa dilakukan teater tradisi yang lain yang kini masih eksis di Lombok, seperti Teater Cupak Gurantang

Page 284: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

274

dan Kemidi Rudat yang masih mendapat tempat masyarakat Sasak. Tentu saja, memfungsikan teater tradisi sebagai media komuni-

kasi tradisional, tentu tak harus mengurangi nilai estetiknya. Wayang Gerung-nya Lalu Nasib menyampaikan pesan-pesan pendidikan, moral atau komentas sosialnya melalu episode yang menampilkan tokoh-to-koh kocak seperti Amaq Amet, Amaq Locong, Amaq Kisiq dan kawa-nnya-kawannya (tokoh-tokoh yang diciptakan dari personifi kasi orang Jawa, Bima dan bisa muncul dari etnis lainnya). Selebihnya Lalu Nasib masih memainkan wayangnya sesuai konvensi pewayangan Sasak. Ke-berhasilan Wayang Gerung memang tak lepas dari kesenimanan Lalu Nasib yang hingga kini belum ada duanya.

Demikian juga seharusnya dalam memfungsikan teater tradisi di Lombok sebagai media komunikasi tradisional. Bentuk-bentuk seni yang menjadi konvensi estetiknya tak harus luntur, bahkan bila mung-kin dipertajam. Unsur musik, tembang, topeng dalam Teater Amaq Abir perlu pembinaan teknis, termasuk teknis penggarapan pertunjukaan yang perlu sentuhan teater modern. Peningkatan nilai estetis itu justru menguatkan kemampuan dan efektivitasnya sebagai media komunikasi tradisional.

Page 285: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

275

Page 286: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

276

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Mustakim Biawan alias Musbiawan. Lahir di Sumbawa, 26 Juli 1940. Pendidikan :(Formal/ Non Formal) : SGA 3 th – Kupang 1959 PGSLP 2 th jurusan Ilmu Pasti (BI) 1963Cantrik angkatan I Padepokan Seni Bagong K. Yogya 1978/1979 Diklat Seni Tk. Nasional.Karier :- Guru Ilmu Pasti/ Kesenian 21 tahun di SMP/SPG - Kepala Kebudayaan Sumbawa 7 tahun.- Kasi Bina Program Bid. Kesenian NTB 5 tahun.- Kepala Taman Budaya Prop. NTB 4 tahun (pensiun).- Ketua Umum Dewan Kesenian NTB 2 tahun.- Direktur SKENARIO 1999-sekarang.Sebagai pembicara Budaya di tingkat Lokal, Regional, Nasional :Kongres Kebudayaan V di Bukit Tinggi, 2002.Seminar Seni Kawasan Timur Indonesia, Kalimutu 1994.Temu Ilmiah MSPI, Bali 1999.Seminar Seni Pertunjukan Indonesia STSI Solo, 1998.Temu Teater Nasional Yogya, 1999.Skenario Indonesia Masa Depan Komnas Ham, Bogor 2000.Seminar Wawasan Kebangsaan, Jakarta 2007.

Beberapa lagu pop Sumbawa dan Hymne/ Mars Universitas Samawa/ KSB (sudah jadi NSP) pernah dibuatnya. Termasuk naskah sandiwara radio dan musik iringan tari. Namun Musbiawan mengaku masih ada sekitar 200 puisi yang jarang dipublikasikan.

Page 287: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

277

Ketika orientasi pembangunan masih menjadikan dimensi eko-nomi dan politik jadi panglima. Ketika kita belum mengang-gap pendekatan kultural penting sehingga melahirkan generasi

bringas yang mengira bahwa anarkhisme adalah solusi ampuh sega-la kekacauan musibah bangsa. Ketika teknologi membidani lahirnya media baru “diktator baru” yang mengubah hampir semua gaya hidup bangsa.

Adanya kegiatan Pemetaan Seni Tradisi ini menjadi sangat penting dan harus diberi apresiasi. Mengapa? Karena – sejatinya konfl ik-konfl ik multi dimensional yang melanda negara saat ini salah satu penyebabnya adalah mulai tersumbatnya komunikasi antar komponen bangsa.

Tentu saja dengan selalu merujuk pada sikap bahwa geopolitik dan geokultural tidak ditentukan oleh satu pihak saja. Artinya keterlibatan rakyat sangat menentukan keberhasilan program.

Kondisi Masa LaluSeperti yang secara umum terjadi di daerah lain, kehidupan seni tra-

disi di NTB pada masa lalu berkembang dengan baik dan sangat di-minati oleh hampir seluruh anggota masyarakat. Hal ini dimungkinkan selain karena lembaga-lembaga adat sebagai pengawal keberadaan et-nik masih berperan dan dihormati – termasuk tokoh-tokoh lainnya, juga

Seni Tradisi NTB dalam Proses Kreati f Menuju Media Komunikasi Sosial

Mustakim BiawanMantan Kepala Taman Budaya NTB

Page 288: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

278

oleh belum adanya serbuan budaya instant yang tidak lagi bersahabat dengan nilai-nilai masa lampau tersebut.

Komedi Rudat, Cupak Gurantang, serta jenis-jenis teater tradisional lainnya di lima kabupaten/ kota di Lombok termasuk Wayang masih sangat diminati dan menjadi sumber belajar masyarakat lewat pesan-pesannya yang penuh kearifan.

Begitu juga yang terjadi di Sumbawa:Sakeco, sebuah musik tradisi yang melantunkan sastra lisan

yang memuat pesan-pesan kearifan lokal lewat irama dan jenis pesan yang variatif sungguh jadi idola saat itu. Termasuk juga dongeng sebelum tidur yang dalam bahasa Sumbawa disebut “BATUTIR” (Bertutur), selalu ditunggu anak-anak sebelum be-rangkat ke dunia mimpi. Dongeng-dongeng tersebut membekas dalam kehidupan mereka hingga dewasa, sebab isinya penuh den-gan pedoman kehidupan, ketauladanan dan gampang dicernakan. Dongeng tersebut ada dalam kehidupan ketiga etnik di NTB wa-laupun dalam versi yang disesuaikan dengan idiom lokal. Yang terjadi di Bima, dimana hidup suku Mbojo yang meliputi 2 ka-bupaten yaitu kabupaten Bima dan Dompu hampir sama dengan Sumbawa.

Kalau di Sumbawa sangat populer Seni Sakeco, di Bima idola dan primadonanya adalah RAWA MBOJO (Nyanyian Bima), yaitu lagu tunggal yang diiringi oleh biola tunggal yang biasanya penyanyi adalah wanita dan pemain biola laki-laki. Lirik-lirik yang dipilih adalah lirik yang penuh dengan nasehat-nasehat yang bersumber dari PATU (Pan-tun) yang dipilih sesuai dengan konteks tempat dan waktu penyajian.

Dan seperti juga semua seni radisi yang lain di NTB kadar komuni-katifnya tetap selalu dijaga agar pesan yang akan disampaikan menca-pai target. Tentu saja unsur hiburannya tetap dijaga dengan baik.

a. Pada umumnya – karena sikap paternalistik masyarakat – rakyat banyak meniru ketauladanan yang ditunjukkan oleh petinggi pemerintah dalam semua tingkat yang selalu “menanggap” seni tradisi dalam hampir setiap event. Kita sepertinya sukar menen-tukan apakah rakyat sadar dalam mengikuti jejak bos-bos terse-but atau memang tanpa pengaruh merekapun rakyat memilih karena sudah mengakrabi kesenian tersebut cukup lama.

Page 289: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

279

b. Ada saatnya – terutama masa orde baru, pesan-pesan pemban-gunan disampaikan lewat semacam seni pertunjukan yang biasa disebut pertunjukan rakyat atau lebih dikenal dengan sosiodra-ma. Dalam proses kreatifnya terjadi penentuan pesan-pesan dari kalangan birokrasi lalu lewat kreativitas para seniman dimasuk-kan ke dalam sekwen, cerita yang kadang-kadang jadi karya yang cukup artistik tapi tidak jarang pula terjadi karya yang disuguhkan lebih mengutamakan pesan daripada aspek struktur teatrikal dan estetikanya.

Hal ini berlangsung cukup lama apalagi setelah program KB mewar-nai aspek hidup masyarakat. Ledakan jumlah penduduk yang menghan-tui masa depan kesejahteraan Indonesia harus segara diredam dengan berbagai cara. Salah satunya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat media tradisi yang diakrabi rakyat.

Program-program tersebut dianggap berhasil disebabkan oleh be-berapa hal antara lain :

a. Dua buah intitusi birokrasi yaitu Deppen dan Depdikbud sangat solid dan gencar bekerjasama dalam proses pembentukan karya-karya seni pertujukan yang ampuh dan mampu memukau rakyat sekaligus menimbulkan kesadaran akan pentingnya ber KB (Pe-nilik Kebudayaan dan Jupen sangat pegang peranan).

b. Ditambah lagi dari kalangan tokoh agama dan masyarakat pada waktu itu cukup banyak memberi fatwa atau petuah yang men-dukung program tersebut.

c. Kepatuhan rakyat terhadap tokoh-tokoh (tomas) dan pemerintah yang masih terjaga dan dipelihara akibat adanya kearifan lokal yang mengemuka dalam kehidupan ketiga etnik :

- Patut Patuh Pacu (Sasak)- Sabalong Samalewa (Samawa)- Maja Labo Dahu (Mbojo)

Secara tidak langsung membantu keberhasilan program tersebut. Se-lain dari sukses-sukses tersebut, ada hal yang perlu dicatat yaitu catatan lisan tentang pemasungan kreativitas seniman. Sifat pemerintah pada saat itu yang otoriter menyebabkan seniman-seniman tradisional yang

Page 290: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

280

ingin mengembangkan gagasan-gagasan baru di luar pakem apalagi memasukkan gaya yang mengeritik kebijakan pemerintah adalah hal yang mustahil.

Jangankan media tradisi, seni “modern” ataupun yang kontemporer yang dengan kemampuannya yang tinggi dalam aspek kreativitas ti-dak jarang berhadapan dengan penguasa sebab karyanya yang menurut mereka cukup menggugah diterjemahkan oleh penguasa cukup meng-gugat sehingga diberangus.

Keadaan ini “dipelihara” dengan cerdas oleh penguasa lewat Dep-pen yang merupakan corong tunggal kebijakan pemerintah tanpa dialog seimbang dengan rakyat.

Kelahiran teknologi baru tehun 1962 yang bernama TVRI bukannya menambah wadah kreativitas sang seniman malahan cuma menambah alat penyampaian pesan pemerintah yang tanpa saingan apalagi ada seperti yang kelihatan sekarang dialog interaktif semacam “SUARA ANDA” di sebuah stasiun TV SWASTA.

Barangkali ada benarnya seperti yang dikatakan oleh George Orwell yang mengemukakan bahwa media yang dikuasai oleh seorang tiran akan sangat melipat gandakan kekuatan dan kekuasaan untuk menindas dari Sang Tiran kepada rakyatnya.

Kondisi ini cukup lama dipertahankan. Walaupun media tradisi cu-kup subur tumbuh di hampir semua daerah, termasuk di NTB, tapi per-tumbuhannya lebih disebabkan oleh ketiadaan pilihan lain selain ber-kreasi dan mempertahankan asap dapur.

Kondisi Masa SekarangTumbangnya Orde Baru diganti Orde Reformasi tahun 1998, mem-

beri kebebasan kepada warga untuk berkarya. Sebelum itu sekitar 1989 mulai bebas tumbuhnya stasiun TV Swasta dan aroma kebebasan berbi-cara mewarnai hampir semua aspek kehidupan tidak lalu menyebabkan media tradisi tambah berkembang sesuai arus globalisasi.

Program baru menggiatkan pariwisata membuat NTB bergegas membenahi diri – setelah ditetapkan sebagai salah satu DTW handal di Indonesia.

Budaya instan tanpa pandang bulu melanda seluruh wilayah nusan-tara. Hal-hal baru yang diajarkan oleh “sang diktator baru” yang ber-juluk “Prof. Dr. Moh. Televisi” menjadi pedoman sehari-hari sehingga

Page 291: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

281

terjadi situasi yang tak terduga sebelumnya di saat mana masyarakat tidak peduli pada apapun yang tidak menghibur.

Media tradisi nyaris tidak dapat tempat lagi. Pesan-pesan pemban-gunan lebih banyak Cuma jadi porsi TVRI sedangkan TV Swasta lebih banyak mengadakan berita sensasional – iklan-iklan – gosip-gosip – si-netron yang lebih banyak jual mimpi dan mistik-mistik.

Memang ada satu dua stasiun yang kelihatan peduli terhadap seni tradisi semisal Ketoprak Humor di RCTI – Wayang di Indosiar dan TV Lokal NTB : Lombok TV. Tapi keadaan itu belum mampu membalik-kan “kejayaan” seni tradisi masa Orde Baru.

Keadaan di NTB pun demikian. Kondisi organisasi seni tradisi yang mengusung teater tradisional misalnya di Lombok “Komedi Rudat” su-dah jarang ditanggap, anggota-anggotanya ada yang jadi TKI ke neg-eri Jiran, kalah bersaing dengan gemerlap layar kaca dan seni modern lainnya yang berkiblat pada daya bius budaya instant. Memang ada yang masih tetap bertahan karena adanya event musiman pariwisata atau karena kepiawaian seniman pendukungnya membaca tanda-tanda zaman semisal Cupak Gurantang, Wayang Sasak di Lombok, Sakeco di Sumbawa dan Rawa Mbojo di Bima dan Dompu. Tapi dibanding-kan dengan masa lalu – bila dilihat dari jumlah pertunjukan sudah berkurang intensitasnya.

Apalagi dengan wajah kehidupan ekonomi masa kini yang cukup memprihatinkan. Hobby bermain mereka dalam seni tradisi secara per-lahan ditukar dengan hobby baru yang tanpa pilihan : mencari peno-pang kehidupan lewat krya-karya baru di wilayah yang sangat asing dari aroma kesenian. Muatan-muatan atau pesan-pesan yang sebelum-nya banyak mengandung unsur kearifan lokal (local wisdom) karena tuntutan zaman berubah menjadi pesan sebuah seni media yang cuma jadi aspirin yang tidak menyembuhkan permasalahan masyarakat tetapi mengarahkan manusia pada suatu mimpi, gaya hidup, bukan mendo-rong pemberdayaan masyarakat.

Khusus di NTB masih terjadi sampai saat ini group-group seni tra-disi menjadi korban para calo yang secara sepihak menentukan apa dan bagaimana group tersebut harus bermain dan berapa hak yang mereka dapat. Tentang honorarium tersebut sering terjadi ada calo yang nakal “menyunat” honor mereka dengan dalih macam-macam yang diamini begitu saja oleh anggota group yang memang lugu.

Page 292: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

282

Tetapi hal tersebut sudah mulai berkurang sejak adanya pembinaan organisasi seni yang diadakan oleh lembaga pemerintah maupun swas-ta. Dari kalangan pemerintah oleh Disbudpar dan Diskominfo dan ka-langan swasta pada tahun 1999 oleh yayasan KELOLA yang dibiayai oleh Ford Fondation.

Adanya hajatan besar Pemda NTB mengadakan VISIT LOMBOK SUMBAWA 2012 yang tujuan utamanya menjadikan NTB destinasi jempolan di Indonesia barangkali bukan cuma mimpi. Alam yang in-dah, budaya yang aneka, khas dan unik adalah potensi yang menjanjik-an ke arah itu. Di dalam potensi tersebut ada seni tradisional yang perlu “dipoles” sebagai seni turistik sudah tentu tanpa menghilangkan roh tradisinya. Saat ini organisasi seni tradisi sudah mulai bergegas membe-nahi diri untuk menjadi salah satu “barang dagangan” pada ajang terse-but. Sudah tentu harus memenuhi kriteria layak tampil – layak jual dan akhirnya layak dibayar. Kelihatannya – mudah-mudahan – seniman-seniman tradisional akan banyak dapat peluang dalam berkarya akhir-akhir ini.

Pesan-pesan pembangunan yang diharapkan lebih tersosialisasi le-wat media seni tradisional yang komunikatif dan unik akan dengan mu-dah menyebar dan diserap masyarakat ketimbang pidato panjang dan rumit elit-elit politik. Sejatinya – oleh warga NTB terutama seniman – ajang VLS 2012 diharapkan dapat sedikit memberi harapan kepada bangkitnya seni tradisi – tentu saja yang komunikatif – di tengah bu-daya asal jadi saat ini.

Tetapi hajat kita lewat pemetaan saat ini bukan cuma sekadar me-nambah isi kocek sang seniman atau calo yang memperdaya mereka. Sumbatan-sumbatan komunikasi selama ini dirasakan antar komponen bangsa : antar pemerintah dan rakyat atau pemerintah dengan sesama pemerintah, atau bahkan antara rakyat dengan rakyat sehingga melahir-kan konfl ik berkepanjangan, harusnya menjadi cair dan mudah-mudah-an saling mengerti dan memaafkan. Semoga!!

Prospek Pengembangan Masa Depan Pada dasarnya sebuah upaya pengembangan budaya adalah bagian

dari pelestarian, yang mempunyai 3 aspek yaitu perlindungan, pengem-bangan dan pemanfaatan.

Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan seni tradisi untuk

Page 293: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

283

jadi media komunikasi sosial, kita sebenarnya membicarakan peman-faatan seni tersebut untuk tujuan pendidikan baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur, formal maupun non formal atau pendidikan masyarakat. Pemanfaatan seni tradisi untuk tujuan pendidikan adalah sebagai substansi untuk disosialisasikan, demi berbagai tujuan yang lebih khusus, misalnya ;

1. Untuk memacu internalisasi nilai-nilai budaya yang dapat mem-perkuat integritas sebagai bangsa yang mampu menjunjung moral yang tinggi.

2. Untuk menumbuhkan kepekaan dan toleransi dalam pergaulan antar sesama.

3. Untuk tingkatkan dan tumbuhkan kesadaran sejarah.

Merujuk kepada hal-hal tersebut dan TOR dari kegiatan ini, maka beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam upaya pengembangan menjadikan seni tradisi yang komunikatif di NTB sebagai media ko-munikasi sosial adalah sebagai berikut :

1. Inventarisasi jenis-jenis seni tradisional yang komunikatif di seluruh wilayah NTB termasuk di dalamnya deskripsi lengkap tentang aspek-aspek :

a. Bentuk, pola, atau pakem.b. Potensi untuk berubah.c. Jenis pesan atau muatan yang mengandung pendidikan kultural, spiritual dan komentar sosial.

2. Mengadakan upaya pengembangan lewat usaha kolaborasi an-tara seniman akademis dengan bakat alam atau tradisional.

Dalam kegiatan ini harus dapat disepakati bahwa pakem-pakem yang ada pola-pola ataupun bentuk seni tradisi adalah sebuah produk seni dan bukan syahadat kita yang baru. Jadi artinya dapat dapat dan mungkin diubah.

Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa faktor pendukung kearah tersebut :

1. Potensi seni-budaya NTB beragam dan khas.2. Masyarakat cukup terbuka terhadap pembaharuan.3. Event-event yang mendukung kreativitas seniman cukup ban-

yak. Contoh : BCB (Bulan Citra Budaya), Festival/ Lomba Seni

Page 294: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

284

Tradisi dan saat ini sedang giat menyiapkan diri terhadap ke-giatan skala besar bidang pariwisata yaitu VISIT LOMBOK SUMBAWA 2012.

Kita dapat menyatakan bahwa kemungkinan pengembangan di masa yang akan datang tidak akan mengalami banyak hambatan.

Contoh upaya pengembangan :

1. Di Pulau LombokRata-rata seni tradisi di Lombok adalah seni kerakyatan, di-

pentaskan di arena terbuka dan mempunyai ciri khas dan unik serta komunikatif. Karena yang diharapkan dalam pemetaan ini adalah seni tradisional yang komunikatif, maka yang kita bicara-kan dipersempit kepada jenis-jenis tersebut.

Misalnya :

Komedi RudatDapat dikembangkan dengan memberikan nuansa humor yang

“dipelajari” dari jenis humor masa kini (apakah lewat tv atau-pun pentas terbuka) agar dapat lebih dihayati oleh audience tanpa menghilangkan roh cerita yang bernuansa Arab-Melayu. Juga fungsi hadam yang dominan dapat lebih dimaksimalkan dengan tambahan pesan-pesan cerdas tentang hal-hal factual yang terjadi, sudah tentu dengan tetap mengedepankan keutuhan cerita (unity) dan aspek artistik.

Sebenarnya kalangan penonton yang kebanyakan sudah mulai bosan dengan pakem dan pesan yang sama dari tahun ke tahun datang menonton lebih disebabkan mau mendengar banyolan baru hadam karena pakem statis tak memberi nuansa segar. Be-gitu pula pola dan bentuknya.

Wayang sasakDengan mulai munculnya Dalang muda, harapan kita di NTB

terhadap pengembangan seni tradisi cukup baik. Walaupun se-bagian besar para Dalang masih asyik terjebak dalam pola-pola lama tanpa ingin menikmati “kebebasan” yang diberikan oleh re-formasi tapi ada beberapa yang mencoba “melawan” tradisi den-

Page 295: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

285

gan upaya-upaya kreatif.Ambil contoh misalnya Wayang Sasak Lalu Nasib (Panginang

Robek).Lewat banyolan-banyolannya yang nyerempet wilayah porno-

grafi yang khas sejak dekade 90an keatas cukup mendapat tempat di hati penonton, termasuk generasi muda. Jadilah dia tumpuan pesanan dari instansi pemerintah yang punya program yang harus disosialisasikan lewat media wayang. Dan upaya ini menambah asap dapur anggota groupnya.

Walaupun saat ini pamornya sudah mulai memudar akibat banyolan-banyolannya kadang-kadang nyerempet hal-hal sensi-tif, tetapi sejarah mencatat bahwa dia berani meretas penghalang kreativitas dalam berkesenian. Apalagi serbuan-serbuan seni kon-temporer lewat panggung-panggung glamour layar-layar kaca seakan-akan meminta media tradisi untuk segera undur diri dari panggung seni Indonesia.

Syukurlah NTB masih memiliki rakyat yang memberi apresi-asi tinggi terhadap seni wayang walaupun tanpa malu-malu men-ganggap budaya instan adalah segala-galanya sebagai pedoman kehidupan.

Ada juga teater tradisional yang lain semacam Cupak Gu-rantang dan Topeng Amaq Abir yang mengambil cerita dari Se-rat Menak yang masih digandrungi masyarakat walaupun dalam jumlah terbatas karena wilayah pertunjukannya juga terbatas.

2. Di Sumbawa Etnik Samawa yang tersebar di dua Kabupaten yaitu Kabu-

paten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat tidak memiliki teater tradisional dalam pengertian teater terstruktur seperti Ko-medi Rudat atau Wayang di Lombok. Di Sumbawa Cuma ada (smpai saat ini) teater mula berupa Ngumang, Balawas, Batutir, Bagesa, dll yang dalam takaran komunikatif agak kurang. Tetapi Sumbawa dalam khasanah seni musik tradisional cukup kaya. Yang paling populer saat ini ialah musik SAKECO.

Sakeco adalah duet tradisional Sumbawa yang melantunkan LAWAS (Sastra Lisan Sumbawa) diiringi rebana dalam irama yang sangat variatif dan kelincahan duet yang rampak. Pesan-

Page 296: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

286

pesan yang disampaikan berasal dari Lawas atau kejadian yang sedang IN yang dikemas dalam kadar komunikasi yang intens dengan audience. Dalam upaya pengembangan, yang perlu diper-hatikan adalah :

• Perubahan irama harus lebih terasa. Artinya racik (irama yang mirip rap) harus lebih diperbanyak karena seperti dalam wayang racik adalah seolah-olah punakawan yang ditunggu banyolan segarnya. (ingat pameo Sumbawa “Kurang racik kurang maras”)

• Mengenai waktu penyajian yang biasanya semalam sun-tuk (sampai keluarnya Nasi Goreng) dapat dirancang agar lebih dipadatkan tanpa mengurangi daya pukaunya.

• Jenis-jenis pesan melalui lirik-lirik lawas atau cerita-cerita agar lebih diseleksi tanpa menghilangkan sifat khas Sake-co, yang segar dan sarat dengan variasi irama dan pesan.

Selain Sakeco ada satu lagi seni tradisi Sumbawa yang lay-ak dikembang jadi media komunikasi sosial yaitu NGUMANG : semacam penyampaian (ekspresi) seorang pria yang sambil memegang sebatang kayu berhias dengan suara giring-giring menggerak-gerakkan tubuhnya dalam gerak tari khas sambil me-nyampaikan lawas di hadapan gadis-gadis atau audience dalam event-event tertentu seperti Karapan Kerbau dan – saat ini – di dalam pawai, dll. Isi lawas sangat lentur dapat disesuaikan den-gan situasi dan kondisi.

Untuk pengembangan dapat ditambah jumlah orang sehingga vokal jadi lebih menarik, dibuat komposisi yang lebih baik dan pesan-pesan yang dipilih lebih pas dengan situasi.

Saat ini (dalam kurun waktu 3 tahun terakhir) sudah dicoba kembangkan Sakeco wanita dan ternyata dapat sambutan yang lumayan baik dari masyarakat. Begitu juga RABALAS LAWAS atau sejenis BERBALAS PANTUN yang sudah sering dilom-bakan antar kecamatan.

3. Di Bima/ DompuEtnik Mbojo yang mendiami Kab. Bima dan Dompu memiliki

seni musik khas yang disebut RAWA MBOJO. Seperti juga yang

Page 297: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

287

terjadi di Sumbawa, seniman-seniman di kedua daerah tersebut telah mencoba mengangkat Rawa Mbojo lewat persentuhan den-gan irama yang merajai wilayah musik tanah air saat ini yang disebut DANGDUT.

Daripada ditinggalkan pendukungnya, sneiman-seniman rawa Mbojo mengadakan perpaduan antara irama asli mbojo dengan gempitanya Dangdut yang lalu menghasilkan karya yang mulai digandrungi lagi oleh khalayak. Walaupun lirik-liriknya hampir sama dengan pesan-pesan yang sama, tetapi karena settingnya ti-dak lagi statis (panggungnya mulai dibenahi), kaidah-kaidah pen-tas sebagai sebuah seni pertunjukan mulai diakrabi, maka upa-ya pengembangannya cukup berhasil walaupun belum berhasil menggaet anak muda untuk berpaling dari dunia mereka : musik modern yang serba canggih mengasyikkan.

Ada juga Kapatu yang sama dengan Rabalas Lawas di Sum-bawa.

Ada satu hal yang layak dikembangkan bagi ketiga etnik di NTB yaitu maraknya penciptaan lagu pop daerah yang sudah di-produksi secara besar-besaran dari tahun ketahun dan cukup di-minati rakyat.

Lomba cipta lagu pop sering diadakan terutama di Sumbawa. Prestasi nasional baru-baru ini sebagai penyanyi terbaik lagu pop daerah tingkat nasional di Jakarta memberi semangat kepada mu-sisi pop daerah Sumbawa untuk berkarya. Karena lirik-lirik lagu tersebut kebanyakan berasal dari sastra lisan tradisional maka peluang penyampaian pesan-pesan moral cukup baik.

Penutup1. Kesimpulan

• Media tradisional NTB masih punya potensi untuk menjadi me-dia komunikasi sosial.

• Event-event pariwista dan festival atau lomba seni yang diada-kan oleh pemerintah dan swasta cukup memberi peluang kepada para seniman atau pelaku seni untuk mengembangkan karya.

2. Saran-saran• Dalam setiap usaha pengembangan agar selalu dijaga keseim-

Page 298: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

288

bangan antara porsi pesan dan unsur artistik sehingga karya yang dihasilkan adalah karya unity yang dapat diterima secara “ikhlas” oleh pendukungnya.

• Kemajuan teknologi harus dimanfaatkan secara maximal un-tuk mengembangkan kreativitas seniman disertai peningkatan frekuensi festival/ lomba seni terutama seni tradisional.

• Agar seniman yang berprestasi mendapat apresiasi sesuai den-gan mutu karya-karya dan pengabdiannya.

• Bagaimanapun hambatan-hambatan komunikasi yang akhir-akhir ini terasa menjadi penghambat kemajuan bangsa, barang-kali salah satu sebabnya adalah karena pembuat kebijakan be-lum begitu mengerti yang diinginkan rakyat disebabkan adanya barikade protokuler yang sengaja dibuat untuk mengurangi ke-akraban penguasa dengan rakyatnya.

• Otonomi daerah yang dihajatkan untuk memberi peluang maksi-mal bagi daerah dalam pengembangan segala kehidupan terma-suk budaya jangan dijadikan ajang pemenuhan nafsu politik dan ekonomi semata.

Daftar PustakaEdi Sedyawati, Prof. Dr. Peningkatan Pemanfaatan Tradisi Seni Budaya Seba-

gai Obyek Daya Tarik Pariwisata. Dialog Interaktif Bappeda NTB. Mataram, 2002.

Fred Wibowo Seni Media dan Media Seni. Temu Teater Nasional Yogyakarta, 1999.

Kerth Tester Media Cultural Morality. Juxtapose, 2003.Made Bandem Melacak Identitas di tengah Budaya Global. Temu Ilmiah MSPI.

Tirtagangga, 1999Mus Biawan Semangat Etnis Teater Kita.Temu Teater Nasional Yogyakarta,

1999.______. Kekuatan Itu Dimulai Ketika Cinta Bau Bensin. Seminar Seni Pertunju-

kan Indonesia Seri I STSI Surakarta, 1998

Page 299: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

289

LOMBOK

1. Baluq Diarsa Alamat : Dusun Karang Bliq, Desa Marong Kec. Paraya

Timur Lombok Tengah NTB (didirkan tahun 1987) Pimpinan : Lalu Sahibi Kontak Person : Komang Restu (tlp : 0370 654706) Materi Garapan : Teater Topeng Amaq Abir

2. Suanda Putra Alamat : Dasan Agung Mataram Pimpinan : M. Yusuf Kontak Person : M. Yusuf Materi Garapan : Cupak Gurantang

3. Darma Kerti Alamat : Dusun Batu Pandang, Desa Sapit Kec. Pringgaba-

ya, Lombok Timur Pimpinan : Sukiman Kontak Person : Materi Garapan : Topeng amaq Abir

4. Gema Karyawan Alamat : Depdikbud Kec. Gerung Lombok Barat Pimpinan : Nuradi Kontak Person : Materi Garapan : Wayang Sasak

5. Komedi Rudat Borok Alamat : Desa Bunti ang, Kec. Sakra Lombok Timur. Pimpinan : Guru Bangka Kontak Person : Suhardi (Tlp : 0376 22454) Materi Garapan : Komedi Rudat

LAMPIRANDAFTAR KONTAK ORGANISASI SENI TRADISIONAL NTB

Page 300: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

290

SUMBAWA

1. PLK Kab. Sumbawa Alamat : Kantor Budpar Kab. Sumbawa Pimpinan : Hasanuddin, S.Pd. Kontak Person : Hasanuddin, S.Pd. (Hp. 08123719063) Materi Garapan : semua jenis seni

2. Kemang Satange Alamat : Pelat, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa. Pimpinan : Maladi, S.Pd. Kontak Person : Jemaan (tlp. 0371 22720) Materi Garapan : Sakeco

3. Doro Kumbe Alamat : Kec. Rasange Bima Pimpinan : H. Muhtar Kontak Person : Drs. Hilir Ismail (Tlp. 0374 42408) Materi Garapan : Musik Tradisional

6. Komedi Rudat Kembali Jaya Alamat : Penede Gandor Lombok Timur Pimpinan : Drs. Sahiruddin Kontak Person : Sukardi (Tlp. 0370 621209) Materi Garapan : Komedi Rudat

7. Wayang Lalu Nasib Alamat : Gerung Lombok Barat Pimpinan : Lalu Nasib Materi Garapan : Wayang Sasak

8. Purnama Ria Alamat : Gapuk Selatan Dasan Agung Mataram Pimpinan : Ramiun Kontak Person : Ramiun (tlp. 0370 622068) Materi Garapan : Teater tradisional, dll.

Page 301: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

291

Sumber : Direktori Seni dan Budaya Indonesia, 2000.Editor dan penulis artikel Sapardi Djoko Damono.Diterbitkan oleh Yayasan Kelola atas bantuan Ford Foundation.

DUET SAKECO

1. Abdul Horin Cs.

Alamat : Moyohilir Sumbawa

2. Syamsuddin/ Sukardi

Alamat : Pamulung

3. Abd. Kahar/ Mustafa (Sambu)

Alamat : Kec. Utan

4. Tini Cs (perempuan)

Alamat : Kec. Utan

5. Darmiati / Rukaiyah (perempuan)

Alamat : Desa Seminar Kab. Sumbawa Barat

6. Harin

Alamat : Kaiang Moyo Hilir Subawa

4. Mada Duli Alamat : Desa Kempu, Kec. Kempo, Kab. Dompu 84261 Pimpinan : Zulkifl y Adidin Kontak Person : Rifai, SH (tlp. 0373 22807) Materi Garapan : Musik Tradisional

5. Ompu Nae Alamat : Taliwang, Kec. Wera Bima Pimpinan : H. Usman Kontak Person : Drs. Hilir Ismail (tlp. 0374 42408) Materi Garapan : Musik Tradisi

Page 302: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

292

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Dr. Kadri, M.Si. Pemerhati Komunikasi dan Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mat-aram.

Page 303: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

293

Pengantar

Keragaman seni dan budaya merupakan salah satu karakter bangsa Indonesia yang membedakannya dengan negara lain. Keragaman ini sekaligus menjadi kekayaan bangsa yang tak

ternilai, untuk dilestarikan dan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Sungguh banyak nilai dan pelajaran yang dapat diambil dari setiap seni dan budaya tradisional untuk dijadikan sebagai referensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun ekspektasi ideal tersebut di atas harus berhadapan dengan kecenderungan memudarnya seni dan budaya tradisional di setiap dae-rah. Seni dan budaya tradisional yang selama ini menjadi kebanggaan, kini tidak banyak lagi dikenal oleh generasi muda. Pada saat bersamaan mereka (generasi muda) tidak bisa melepaskan diri dari ‘serangan’ bu-daya global yang terus menerpa. Sehingga tidak heran bila anak-anak lebih banyak mengenal nilai dan budaya asing ketimbang seni dan bu-daya sendiri. Oleh karena itu, upaya pelestarian dan pewarisan seni-budaya tradisional menjadi tugas yang tidak mudah di tengah semakin terbukannya akses masyarakat untuk mempelajari seni dan budaya as-ing lewat kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi.

Memang, upaya pelestarian dan penanaman kencintaan public (teru-tama generasi muda) terhadap seni dan budaya tradisional menjadi tugas

Mengemas Seni Tradisional Komunikati f NTB untuk Media Komunikasi Sosial

Dr. Kadri, M.SiPakar Komunikasi IAIN Mataram

Page 304: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

294

awal yang mesti direalisasikan, sebelum berbicara tentang pemanfaatan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial. Selama ini seni dan budaya tradisional masih dimaknai sebatas karya seni pemuas naluri es-tetika setiap orang, sehingga belum banyak yang berpikir pemanfaatan hal tersebut sebagai sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan social baik oleh pemerintah kepada publik secara vertical mau-pun secara horizontal di antara masyarakat.

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang didiami oleh tiga etnik mayoritas (Sasak, Samawa, dan Mbojo) serta etnik-etnik lainnya, me-miliki seni dan budaya tradisional yang beragam. Di sisi lain, karakter geografi s NTB yang kepulauan dan terdiri dari wilayah yang masih jauh dari pusat ibu kota provinsi dan kabupaten, mengharuskan pemerintah daerah untuk menggunakan media komunikasi yang beragam, di an-taranya menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial.

Eksistensi Seni Tradisional di tengah Media Modern

Tidak mudah untuk mempertahankan eksistensi seni tradisional di tengah membanjirnya seni dan budaya global. Kondisi ini diperparah lagi dengan minimnya perhatian pemerintah untuk melestarikan seni dan budaya tradisional setiap daerah, meskipun belakangan mulai ter-lihat adanya perhatian pemerintah daerah, bersamaan dengan giatnya kampanye pariwisata di provinsi dan kabupaten yang ada di NTB.

Namun harus diakui bahwa eksistensi seni dan budaya tradisional di NTB mengalami ‘reduksi’. Beberapa seni dan budaya tradisional yang selama ini menjadi produk dan pernah dihidupkan oleh rakyat Bumi Gora, saat ini sangat susah ditemukan. Budaya Gantao1 yang pernah semarak di Bima (suku Mbojo) misalnya kini sangat jarang lagi dipen-taskan dalam setiap pesta budaya di Bima. Generasi muda pun tidak lagi menjadikan seni tradisional ini sebagai karya dan seni yang disenangi.

Prosesi pernikahan dengan adat Mbojo pun sudah mulai diseder-hanakan dan mengikuti prosesi budaya modern. Satu-satunya yang ma-sih tertinggal adalah gaung penganten yang menggunakan adat Mbojo. Belum lagi kita berbicara tentang cagar dan bangunan budaya, yang baru mendapat perhatian beberapa tahun terakhir. Rumah-rumah tradis-ional Bima seperti rumah panggung bukan lagi menjadi kebanggaan. 1 Gantao adalah sejenis permainan bela diri pencak silat yang melibatkan dua orang lelaki Bima

dengan memperagakan adegan saling serang menggunakan kaki dan tangan untuk saling banting. Permainan ini diiringi dengan alunan musik tradisional Mbojo.

Page 305: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

295

Pada puluhan tahun silam, rumah panggung masih menjadi kebanggaan, dan bahkan menjadi mahar favorit yang disediakan oleh penganten pria. Kini keluarga baru sudah senang dengan rumah-rumah berarsitek modern. Bahkan orang tua pun tengah melakukan upaya ’pemudaran’ rumah panggung untuk diganti dengan rumah modern.

Kecenderungan yang tidak terlalu beda juga terjadi di Sumbawa (suku Samawa), dan juga di komunitas Sasak. Rumah adat yang ber-jenis rumah panggung dan kayu bukan lagi menjadi rumah favorit. Dalam konteks seni tradisional juga mengalami reduksi peminat. Seni tradisional Sasak seperti Teater Cepung dan Teater Cupak Gerantang misalnya saat ini tidak lagi menjadi seni teater yang masif digandrungi.

Banyak faktor yang menyebabkan fenomena pereduksian seni buda-ya tradisional terjadi. Salah satunya adalah pengaruh kehidupan global yang dimotori oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pengaruh ini terutama melanda generasi muda. Kemudahan mengakses informasi berkontribusi bagi entengnya mereka (generasi muda) untuk mengkonsumsi seni budaya apa saja dengan dukungan visualisasi dan audio mutakhir.

Belum lagi kita berbicara tentang wajah televisi dan media massa kita (Indonesia). Sebagian besar acara dan isi tayangan media massa kita cenderung hedonis, dengan mempraktekkan dan mengajarkan gaya hidup bergelimang kemewahan dengan asesoris modern yang jauh dari identitas tradisional. Sangat susah ditemukan acara atau tayangan me-dia massa tentang seni tradisional daerah tertentu.

Pemanfaatan seni dan budaya tradisional yang minim tidak hanya dilakukan oleh rakyat atau media massa, tetapi juga oleh pemerintah. Dalam beberapa kebijakannya, pemerintah belum optimal mengupay-akan pelestarian dan pengembangan seni tradisional. Sebagai contoh, belum banyak setiap pemerintah daerah yang ada di NTB mengadakan atraksi dan kompetisi seni dan budaya tradisional di tingkat pelajar. Kota Mataram mungkin dapat dikecualikan dalam generalisasi ini, meskipun apa yang dilakukan pemerintah kota Mataram belum maksimal.

Di samping itu, pemerintah juga belum bisa mengoptimalkan eksis-tensi seni dan budaya tradisional sebagai media komunikasi sosial. Pemerintah daerah lebih senang menggunakan media modern seperti televisi, radio, surat kabar, dan baliho sebagai sarana kampanye pro-gram atau kampanye publik (public campaign). Selama ini sangat susat

Page 306: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

296

terlihat (untuk mengatakan tidak pernah) seni tradisional dimanfaatkan sebagai sarana publikasi dan penyampai informasi pembangunan dan sosial lainnya dari pemerintah.

Ketika pemerintah menjadikan seni tradisional sebagai media ko-munikasi sosial tentu akan memberikan keuntungan ganda, yakni me-lestarikan seni budaya tradisional sekaligus membantu kesuksesan program yang dilaksanakan. Di samping itu, pemerintah juga harus memanfaatkan amanah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, yang antara lain menganjurkan untuk mengakomodir sepu-luh porsen (10% porsen) siaran berkonten lokal bagi televisi berjarin-gan nasional, dengan cara mendorong pegiat media dan penyiaran yang ada di NTB untuk menyiapkan paket seni buya tradisional untuk ditay-angkan di media nasional. Momentum ini dapat dimanfaatkan sebagai wadah yang baik untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni dan budaya tradisional setiap daerah, sekaligus untuk mengimbangi se-rangan budaya global yang kian mengancam.

Kita masih memiliki harapan karena proses reduksi seni budaya tra-disional tidak berlangsung secara radikal (tidak menjadi gerakkan anti budaya tradisional secara massal). Ini berarti kita masih memiliki sisa-sisa ruang dan waktu untuk merevitalisasi seni tradisional di benak pub-lik. Secara pelan tapi pasti setiap kalangan (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat pada umumnya) harus membangun tekad yang sama untuk menjadikan seni dan budaya tradisional sebagai media komunikasi so-sial sekaligus sebagai perekat ikatan sosial di antara warga se-etnik dan se-bangsa. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka sedahsat apapun se-rangan informasi dan media global, tidak akan mampu menggoyahkan kecintaan anak bangsa terhadap seni dan budayanya sendiri.

Efekti fi tas Komunikasi Melalui Seni TradisionalSalah satu ukuran efektif dan tidaknya komunikasi adalah ketika

apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan, sama dengan apa yang dipahami oleh penerima pesan. Di samping itu, faktor media yang di-gunakan juga turut berkontribusi menciptakan komunikasi yang efektif. Ketepatan memilih media komunikasi dan kelihaian mengemas tampi-lan media yang telah dipilih merupakan kunci keefektifan komunikasi yang dilakukan.

Komunikasi dalam konteks ini harus dimaknai secara luas, yang ti-

Page 307: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

297

dak hanya sebatas komunikasi verbal tetapi juga yang nonverbal. Den-gan pemaknaan yang luas seperti ini, maka dalam konteks seni dan bu-daya tradisional, komunikasi tidak hanya dimaknai dalam konteks seni pertujukan dan nyayian serta musik yang berbasis verbal, tetapi juga menyangkut seni dan budaya yang berdimensi nonverbal. Oleh karena itu, segala produk dan wujud seni mesti dimaknai sebagai bentuk pesan yang memiliki makna tersendiri.

Suatu pesan akan diterima dengan baik antara lain ketika pesan tersebut memenuhi empat unsur, yakni; (1) pesan tersebut mendapat perhatian (Attention) sasaran pesan; (2) menarik perhatian (interest) yang menerimanya; (3) berkeinginan (desire) untuk menerimannya; (4) diambil keputusan (decide) untuk menerimannya; dan (5) dilaksanakan (action) sesuai dengan isi pesan.

Apabila mengikuti alur komunikasi atau proses transfer pesan sep-erti di atas, maka prasyarat awal yang harus dilakukan dalam rangka menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi yang efektif (komunikatif) adalah bagaimana menjadikan atau mengemas seni tra-disional sebagai suatu karya seni yang diperhatikan atau diminati oleh masyarakat agar mereka tertarik. Upaya ini penting ketika hendak me-nyelipkan pesan-pesan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan sosial dan pembangunan yang akan melibatkan partisipasi publik untuk men-sukseskannya.

Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan seni tra-disional sebagai suatu kebutuhan setiap individu. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka proses transfer pesan sosial lewat seni tradisional menjadi relatif mudah. Dalam asumsi dasar teori uses and gratifi cations 2 dikatakan bahwa penggunaan media yang dilakukan oleh seseorang bergantung kebutuhan dan ketertarikannya terhadap suatu pesan yang ditawarkan. Ketika seni tradisional telah diminati masyarakat dan dike-mas secara menarik, tentu saja hal tersebut akan membuat seni tradis-ional dapat dengan mudah berperan sebagai media komunikasi sosial yang menjadi pilihan publik.

Oleh beberapa pakar komunikasi, pada umumnya tradisi komuni-kasi orang Indonesia menggunakan jenis komunikasi konteks tinggi,

2 Teori ini pada dasarnya merupakan teori yang berkaitan dengan penggunaan media massa oleh khalayak. Lihat Effendy, 2000. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bhakti

Page 308: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

298

yakni cara berkomunikasi yang berbelit-belit, berputar-putar atau gaya komunikasi yang tidak simpel dan tidak langsung pada point dan sasa-ran utama. Kebanyakan orang Indonesia senang dengan gaya bertutur melalui proses panjang menuju sasaran. Tradisi komunikasi seperti ini lebih relevan dengan karakter seni tradisional yang ada (khususnya di NTB). Teater-teater tradisional seperti teater Cepung, Teater Cupak Ge-rantang (yang berasal dari suku Sasak), atau Teater Sakeco dan musik berpantun ”Bakelong” (yang berasal dari suku Samawa) merupakan bentuk seni tradisional yang berkarakter dialogis dengan durasi waktu yang relatif lama. Esensi pesan yang terkandung di dalamnya pun tidak bisa diperoleh secara instan.

Seni tradisional merupakan ikatan emosional yang dapat dijadikan sebagai perekat komunikasi sosial di antara masyarakat. Ikatan emo-sional atas persamaan sosial dan budaya menjadi faktor penting dalam kesuksesan komunikasi manusia. Salah satu prinsip komunikasi dise-butkan bahwa ”semakin mirip latar belakang sosial budaya semakin efektifl ah komunikasi”3. Prinsip komunikasi ini semakin mempertegas bahwa komunikasi yang efektif tidak terlepas dari adanya kesamaan nilai sosial dan budaya. Seni tradisional merupakan salah satu ikon kes-amaan yang bisa menyatukan setiap perbedaan personal. Ketika ikon ini dapat dikemas dengan sebaik-baiknya menjadi media komunikasi sosial, maka proses transfer pesan lewat seni tradisional menjadi lebih efektif.

Kesamaan sosial dan budaya bukan hanya dalam konteks kesa-maan nilai dan seni yang dimiliki tetapi juga kesamaan latarbelakang etnik dan suku dari setiap peserta (orang yang terlibat dalam) komuni-kasi. Artinya, ketika orang yang ber-etnik sama membicarakan persoa-lan yang sama lewat media komunikasi yang sama, maka ada jaminan bahwa komunikasi tersebut akan berlangsung secara efektif, dan akan menghasilkan sesuatu yang lebih kontributif.

Menjadikan Seni Tradisional NTB sebagai Media Komunikasi Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa langkah

awal yang harus dilakukan untuk menjadian seni tradisional NTB seb-agai media komunikasi sosial yang efektif adalah dengan menjadikan hal tersebut sebagai hiburan atau karya seni yang digandrungi publik.

3 Lihat Deddy Mulyana, 2002. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda

Page 309: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

299

Membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk merevitalisasi eksistensi seni tradisional di tengah tantangan global yang multi bentuk.

Dibutuhkan kemasan yang serius dengan dukungan maksimal dari semua kalangan untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni tradisional agar mendapat tempat di hati rakyat. Hal yang lebih pent-ing lagi adalah bagaimana menanamkan kencintaan terhadap seni dan budaya tradisional sejak usia dini. Usia dini merupakan waktu yang tepat untuk penanaman nilai dan tradisi tertentu dengan harapan akan membekas dan turut mewarnai aktivitasnya di masa yang akan datang.

Penanaman nilai dan kecintaan terhadap seni tradisional dapat di-lakukan lewat berbagai cara. Dua di antaranya adalah lewat pendidikan nonformal dan formal. Setiap momen apapun harus dimanfaatkan un-tuk mensosialisasikan seni tradisional. Hal yang sama dapat dilakukan di pendidikan formal dengan cara mereformasi kebijakan dan kuriku-lum Pendidikan SD sampai SMA.

Kurikulum tentang seni dan budaya tradisional harus mendapat per-hatian maksimal sebagai langkah akademik untuk menanamkan nilai dan kearifan lokal pada diri setiap anak. Permainan-permainan anak di PAUD dan TK formal harus direkonstruksi. Selama ini, anak kita ban-yak disuguhi dengan permainan modern yang tidak jelas asal usulnya, nyanyian-nyanyian yang tidak terlalu mendidik dan minim muatan lo-kal. Saatnya alat permainan edukatif (APE) lebih banyak menyuguhkan permainan dari bahan lokal dan bermuatan nilai lokal. Event-event seni budaya tradisional harus terus digalakkan di setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah, agar anak cinta produk lokal, karya sendiri, dan seni serta budaya tradisional.

Komitmen yang tinggi untuk menjadikan seni tradisional NTB sebagai media komunikasi sosial tidak cukup sampai penanaman kes-adaran mencintainya. Proses penanaman kecintaan ini harus terus ber-jalan (tanpa terikat dengan waktu dan ruang), sambil mengambil upaya serius untuk mengemas seni tradisional yang ada agar menjadi produk atau karya yang diminati. Untuk kebutuhan optimalisasi performance seperti inilah, diperlukan identifi kasi menyeluruh terhadap karya dan jenis seni tradisional yang ada.

Proses identifi kasi ini penting terutama untuk menentukan strategi pemanfaatan seni tradisional yang ada secara tepat dan efesien sehingga bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan yang diinginkan. Ben-

Page 310: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

300

dasarkan identifi kasi sederhana terhadap seni tradisional di NTB, maka dapat dibagi dua jenis seni tradisional dalam konteks penggunaannya sebagai media komunikasi sosial, yakni:

Pertama, seni tradisional yang dapat dijadikan sebagai media peng-himpun massa. Yang dimaksud dengan kategori seni tradisional yang pertama ini adalah semua seni tradisional yang yang tidak berkarak-ter penyampai pesan secara langsung. Pada umumnya yang termasuk dalam kategori ini adalah karya seni non drama/teater, seperti musik tradisional, pergelaran pertunjukan tradisional, dan berbagai tari tradis-ional di provinsi NTB.

Seni tradisional berkarakter seperti ini sangat berpotensi untuk men-gumpulkan massa yang lebih banyak, apalagi bila dikemas dan dimodi-fi kasi semenarik mungkin. Momen berkumpulnya massa itulah yang dapat dimanfaatkan oleh siapapun untuk menyelipkan agenda-agenda tambahan terutama dalam menyampaikan pesan tertentu sesuai kebu-tuhan.

Di samping itu, dalam pergelaran seni tari juga dapat dimodifi kasi sehingga dapat lebih komunikatif, dalam artian tidak hanya pesan non-verbal lewat gerakan anggota badan tetapi juga bisa dengan membuat improvisasi musik pengiring dengan lagu-lagu sarat pesan tertentu. Dalam seni tradisional Bima seperti ”Biola” misalnya dapat diselipkan irama lagu perpantun yang mengandung pesan-pesan sosial tertentu. Selama ini dalam penghamatan saya, lirik lagu biola di Bima lebih banyak didominasi oleh lirik asmara dan percintaan. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini membutuhkan sentuhan ide dan tangan kreatif sen-iman di setiap daerah, tanpa menghilangkan nilai historis dari setiap karya seni yang ada.

Kedua, seni tradisional yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai media komunikasi sosial. Seni tradisional dalam kategori kedua ini adalah semua seni tradisional yang berbasis drama dan teater, sep-erti:

a. Teater Cepung. Teater ini merupakan teater klasik yang berasal dari etnik Sasak, yang muncul tidak lama setelah penulisan lon-tar ”Tutur Monyeh oleh Jero Mihran, yakni sekitar tahun 1850-an. Peran teater cepung di tengah masyarakat Sasak menyang-kut berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial, dan agama,

Page 311: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

301

karena lontar Tutur Monyeh sebagai sumber teater Cepung yang berisi tentang nilai, yaitu pendidikan moral, kritik sosial, ritu-al, dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Sasak. Bahkan menurut penelitian Alfarisi4

b. Teater Sakeco. Teater ini adalah karya seni tradisional yang ber-asal dari suku Samawa, berisi tentang dialog komedi berpantun yang diiringi dengan alat musik tradisional seperti gendang dan rebana

Kedua jenis teater di atas merupaka dua karya seni berbasis drama/teater yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai media komu-nikasi sosial. Alur cerita yang ada dalam teater tersebut sangat mung-kin untuk dimodifi kasi dan diselipi dengan pesan-pesan tertentu yang penuh makna. Namun lagi-lagi, eksistensi kedua teater tersebut akan lebih bermakna sebagai media yang komunikatif ketika keduanya telah digandrungi oleh masyarakat. Sayang hingga saat ini, keberadaan ked-uanya tidak seperti saat awal keberadaannya.

Karakter wilayah NTB dengan tingkat konfl ik sosial yang relatif masih tinggi, sangat tepat untuk menjadikan seni tradisional seperti teater dan drama sebagai media komunikasinya. Sebagai bentuk apresi-asi seni, teater dan drama memiliki posisi strategis dan dapat berperan sebagai forum penghilang ketegangan dan pencair perbedaan, apalagi aktor yang terlibat dalam teater itu adalah seluruh representasi masyara-kat yang ada.

Saya sangat tertarik dengan upaya yang dilakukan oleh sebuah Lem-baga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Eropa yang merekrut beberapa pelajar di wilayah konfl ik di NTB untuk diajarkan atau dilatih drama bertema perdamaian/persamaan yang akan dipentaskan di depan sauda-ra dan orang tua mereka. LSM ternama tersebut sadar benar bahwa karya seni seperti drama dan teater menjadi wadah yang efektif untuk menyampaikan pesan bermakna.

PenutupGambaran panjang lebar di atas semakin mempertegas betapa pent-

ingnya seni tradisional daerah NTB sebagai media komunikasi sosial.

4 Salman Alfarisi, 2010, Teater Cepung Lombok (Kajian Tekstual Seni Pertunjukan). Tesis. Pro-gram Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Page 312: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

302

Atas dasar kesadaran itulah dibutuhkan upaya serius semua kalangan untuk mengidentifi kasi dan memodifi kasi kemasan seni tradisional agar dapat dimanfaatkan sebagai media yang komunikatif dalam menyam-paikan pesan sosial tertentu. Sosialisasi dan penanaman kesadaran ber-budaya dan mencintai seni tradisional sendiri merupakan langkah awal yang baik menuju efektifi tasnya pemanfaatan seni tradisional NTB se-bagai media komunikasi sosial. Lebih dari itu, pemerintah daerah harus memberi apresiasi (dukungan) yang serius untuk menyediakan fasilitas seni dan budaya sebagai wadah dan ruang ekspresi publik sekaligus sebagai benteng pelestarian budaya lokal.

Page 313: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

303

Page 314: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

304

Page 315: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

P E M E T A A N M E D I A T R A D I S I O N A L K O M U N I K A T I F

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

6PENUTUP

Page 316: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

306

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Page 317: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

307

Dulu ketika penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) belum seperti saat sekarang, informasi tentang kebijakan pemerintah bisa diketahui pemerintah daerah dengan cepat.

Memang sistem yang dibangun waktu itu sangat sentralistik, demikian pula media massa berada dalam kontrol pemerintah. Ibaratnya komu-nikasi bisa dibangun seperti kontak listrik. Pemerintah tinggal meng-hidupkan saklar on/off-nya saja lantas semua infomasi dari atas bisa tersebar luas dan relatif seragam.

Ketika reformasi bergulir. Sistem pemerintahan lebih memberikan otonomi yang luas, utamanya kepada pemerintah kabupaten/kota. Kon-disi ini memicu terjadi paradoks, di tengah TIK yang makin berkem-bang tapi informasi tentang program pemerintah oleh masyarakat luas relatif sulit tersebar dan dipahami masyarakat. Sebaliknya, pasokan informasi dari pemerintah daerah pun relatif lambat dipahami oleh pemerintah pusat.

Memang ada ironi di kalangan pemerintah, ketika TIK akses ko-munikasi menjadi semakin mudah, tapi komunikasi antar lembaga justru terasa tidak lancar? Ketidaklancaran tercermin dari betapa ban-yaknya kantor perwakilan pemerintah daerah yang berada di Jakarta. Di beberapa penjuru kota, dapat mudah kita temukan kantor perwakilan pemerintah kabupaten atau kota. Bayangkan jika separuh kabupaten/

Lestarikan Media Tradisi

Suprawoto

Page 318: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

308

kota punya perwakilan di Jakarta! Berapa ratus gedung harus diban-gun? Berapa anggaran yang mesti dikeluarkan? Kalau perwakilan pemerintah provinsi mungkin masih sesuai dengan konteks pembagian kewenangan pemerintahan. Kantor perwakilan pemerintah provinsi dibutuhkan bisa menjembatani koordinasi kewenangan pengaturan pemerintah pusat dan daerah.

***

Perlunya kebijakan pemerintah untuk dapat segera dipahami ma-syarakat luas, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencoba mengembangkan komunikasi dan penyebaran informasi melalui berb-agai media. Baik media mainstream (radio, televisi, dan cetak) hingga media baru bahkan media tradisonal yang komunikatif.

Di beberapa kawasan Indonesia, ternyata media tradisional komuni-katif seperti wayang kulit, ketoprak, wayang golek, wayang Bali, Dul Muluk, Peta Poang, dan sebagainya masih sangat digemari masyara-kat. Terbukti setiap pementasan selalu dipenuhi pengunjung. Agar yang menikmati pertunjukan bukan hanya yang hadir di tempat pertunjukan diselenggarakan, maka juga disiarkan RRI atau radio lokal setempat dan juga siaran langsung/tunda di TVRI setempat atau nasional.

Untuk itulah, mengingat seni tradisi komunikatif masih efektif un-tuk penyampaian pesan tentang kebijakan Pemerintah, maka pada ta-hun 2009, sewaktu Menteri Komunikasi dan Informatika (semasa dij-abat M. Nuh) meminta mencoba untuk mencari masukan dari para ahli di bidangnya bagaimana ke depan dan sekaligus memetakan seni tradisi yang komunikatif dimaksud.

Hal ini tentunya sesuai dengan salah satu tugas Kementerian Ko-munikasi dan Informatika, adalah melakukan penyebaran informasi atau diseminasi informasi dan komunikasi kepada masyarakat. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Penyebaran informasi saat ini betul-betul harus merupakan informasi untuk kepentingan masyarakat ban-yak. Bukan untuk kepentingan kelompok atau partai tertentu. Seperti kebijakan Pemerintah tentang kenaikan BBM, Penanggulangan HIV/AIDS, penanggulangan Flu Burung, menghadapi Bencana dan lain se-bagainya.

Ada beberapa pengalaman menarik dalam menggunakan seni tra-disi untuk diseminasi informasi kebijakan publik. Pertama, pengalaman

Page 319: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

309

saat menjadi ketua tim sosialisasi MoU Helsinki di kalangan masyara-kat Aceh juga menunjukkan betapa seni tradisi dapat berperan penting. Di Aceh kami gunakan seni tradisi semacam teater tutur “poh tem” , yang kalau di Jawa seperti Kentrung. Di setiap pertunjukkannya kemu-dian disiarkan RRI atau radio setempat. Seni itu efektif sekali untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang program Pemerintah khusus-nya mengenai infromasi tentang MoU Helsinki waktu itu. Karena den-gan bahasa dan kesenian lokal masih lebih efektif untuk segera dipa-hami.

Pengalaman kedua ketika diminta untuk menjelaskan mengenai ke-naikan BBM dan program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Salah satu media yang digunakan juga menggunakan seni tradisi. Di Jawa digu-nakan wayang kulit, ketoprak yang digelar di alun-alun kemudian di-siarkan langsung oleh TVRI dan RRI. Ternyata luar biasa penontonnya. Selama ini Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menggelar ratusan kali pertunjukan seni tradisi komunikatif untuk menyampaikan kebijakan Pemerintah tersebut.

Tentunya itu bukan satu-satunya cara untuk menjawab eksistensi seni tradisi komunikatif. Banyak tantangan yang dihadapi. Malah dalam prakteknya, melestarikan seni tradisi bukanlah hal mudah. Saat ini saja sudah terbukti, di Jawa misalnya, kini hanya ada satu seni tradisi yang pentas secara rutin, yakni Wayang Orang Sriwedari diSurakarta. Itu-pun penontonnya sangat sedikit dapat dihitung dengan jari. Malahan kadang-kadang sebagian besar turis asing.

Di kota Surabaya sendiri, Ludruk tinggal satu yang pentas, yaitu yang di Wonokromo, namun itupun pentasnya hanya sekali seminggu. Seni ludruk keliling yang dulunya begitu banyak di Jawa Timur saat ini nasibnya sangat menyedihkan. Demikian juga Ketoprak yang dulu-nya sangat banyak group keliling, sekarang bisa dihitung dengan jari. Malahan Ketoprak Siswo Budoyo dari Tulung Agung yang demikian legendaris bagi masyarakat Jawa khususnya Jawa Timur sudah lama gulung tikar. Yang masih ada nasibnya kembang kempis. Seperti Keto-prak Suryo Budoyo di Kediri nasibnya tak jauh berbeda.

Demikian kondisi pertunjuan seni tradisi saat ini. Di Jakarta sendiri, Wayang Orang Bharata yang dulunya demikian mendapat tempat di hati warga kota Jakarta saat ini pentas secara rutin hanya sekali seminggu. Demikian juga di Sumsel dan Riau Kepulauan, seni Dul Muluk tidak

Page 320: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

310

Seniman Ketoprak Mencoba Bertahan dalam Impitan (1)Tiket Rp 2.000, Penonton Cuma 20

”Hampir setahun ini Ketoprak Suryo Budoyo manggung di lapangan Desa Padangan, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Suka duka sudah dilalui para seniman ketoprak itu, mulai dari sepinya penonton sampai guyuran hujan deras yang membatalkan pentas. Total kru ketoprak yang berdiri sejak 12 ta-hun silam 40 orang. Mereka ini selain seniman pemain juga para wiyogo atau penabuh gamelan serta kru pendukung lainnya.

Bangunan tobong atau tonil tempat pemain ketoprak bermain juga sangat sederhana alias ala kadarnya. Bambu yang menjadi tiang penyangga terlihat sudah banyak yang lapuk. Termasuk para senimannya banyak yang tinggal di belakang tonil dengan membuat kamar-kamar darurat yang seringkali bocor saat diguyur hujan deras. Namun, semua halangan itu tak mampu memupus jiwa seni para pemain ketoprak pimpinan Ki Anang Sukardi yang memiliki nama panggung Pak Koyek. “Beginilah kondisi kami serba sederhana. Kami tetap bertahan karena ingin melestarikan kesenian ini agar jangan sampai punah,” ungkapnya.

Diakui Anang Sukardi, saat ini kesenian ketoprak semakin tersisih serta ka-lah dengan pertunjukan sinetron dan fi lm yang banyak diputar di layar TV. Kese-nian ketoprak juga termasuk kesenian padat karya yang melibatkan banyak pe-main. Diakuinya kelompoknya sudah sering jatuh bangun, bahkan gulung tikar vakum kegiatan. Namun, karena para personel benar-benar memiliki jiwa seni, grup ini akhirnya tetap bertahan. “Bagi kami, uang bukan segala-galanya. Uang memang penting tapi yang terpenting bagi kami adalah jiwa seni,” tuturnya.

Malahan, Anang mengungkapkan, grup ketopraknya selalu nrima ing pan-dum atau menerima apa adanya rezeki yang diperoleh dari bermain ketoprak. Sehingga baginya berapa pun jumlah penonton, pertunjukan ketoprak harus tetap jalan.

Pernah suatu ketika jumlah penonton yang membeli tiket masuk hanya be-lasan orang. Namun, pertunjukan tetap berlangsung sampai selesai dengan durasi permainan sekitar tiga jam lebih. “Setiap bulan puasa jumlah penonton sangat sepi, tapi kami tetap bermain berapapun penontonnya,” tambahnya.

Harga tiket masuk ketoprak Suryo Budoyo hanya dijual Rp 2.000 setiap pertunjukan. Jika penonton yang membeli karcis hanya 20 orang, berarti uang yang diperoleh hanya Rp 40.000. Padahal total jumlah kru pemain dan wiyogo mencapai Rp 40 orang (Surya 7 September 2011).

Page 321: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

311

dipentaskan secara rutin. Dari fakta di atas, jelas bahwa pertunjukan seni tradisi semakin lama makin berkurang. Televisi memang masih ada yang mementaskan seni tradisi, sayang tidak ditayangkan pada jam-jam prime time.

Dari latar belakang itulah, salah satu alasan Kemenkominfo tergerak menggunakan seni tradisi untuk mengkomunikasikan kebijakan pemer-intah. Jika dulu pernah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dan ber-hasil, apa salahnya sekarang dilakukan kembali. Tidak ada salahnya meniru yang baik. Apalagi ini terkait dengan upaya pelestarian budaya bangsa. Dengan catatan, kalau dulu diseminasi melalui seni tradisi ko-munikatif untuk kepentingan penguasa saat ini lebih ditekankan pada penyampaian program Pemerintah yang perlu segera dipahami dan un-tuk kepentingan publik.

Oleh karena sejak Pemerintahan terdahulu penggunaan seni tradisi komunikatif telah dilakukan untuk penyampaian program Pemerin-tah, tentunya ada beberapa catatan dan dokumen tentang hal tersebut. Menurut catatan yang dapat ditelusuri, terakhir pada tahun 1974 waktu itu Departemen Penerangan melakukan pemetaan dan dibukukan dalam peta seni tradisi yang komunikatif. Kurun waktu 37 tahun tentunya telah terjadi prubahan dan pergeseran. Oleh sebab itu sekarang perlu di-up date lagi agar bisa menjadi salah satu referensi bagi kita semua. Utamanya di tengah perkembangan teknologi sekarang, yang menjadi pertanyaan terkait seni tradisi komunikatif ini dimana posisinya? Apak-ah masih bisa berada di dunia realitas ataukah bisa juga bertahan di tengah perkembangan teknologi yang sedemikian dahsyat dalam dunia yang seolah makin tanpa batas ini?

Dalam konsep materialisme Thorstein Veblen, salah satu pemicu perubahan peradaban terjadi karena teknologi. Paradigma ini tentunya ada benarnya juga. Bagaimana teknologi telah memengaruhi dalam pertunjukkan seni tradisi komunikatif. Dulu kala ketika saya kecil, saat nonton wayang kulit yang dipentaskan semalam suntuk, blencong atau lampu penerangan untuk layar digunakan petromak. Sementara sekarang ini, sudah ada yang menggunakan lampu dan infokus (LCD Projector). Semua itu memengaruhi cara kita melihat dan menikmati wayang. Di Bali ada dalang wayang cengblong yang main pada saat bersamaan empat orang sekaligus. Kemudian di Jawa Barat ada Asep Sunarya yang bisa menampilkan efek tambahan yang menarik penon-

Page 322: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

312

ton. Kalau adegan perang tanding, ada leher salah satu kepala wayang tertebas senjata hingga terpotong. Pak Asep bisa menampilkan cipratan darah karena bantuan teknologi.

Thomas L. Friedman dalam buku The World of Flat bercerita ten-tang bagaimana dampak teknologi terhadap pergaulan dunia dan inter-aksi antar manusia. Saya melihat ini juga bisa dianggap jadi peluang bagi seni tradisi yang kita cintai. Misalnya dengan internet, rekaman pertunjukan seni tradisi begitu bisa kita upload dari Padang Panjang dan bisa dilihat di manapun juga.

Kalau melihat sisi positip, ada peluang untuk itu. Dengan demikian Kementerian Kominfo mengharapkan masukan dari para ahli sekaligus setelah memetakan seni tradisi yang komunikatif, setidak-tidaknya bisa menjadi dasar kebijakan. Selanjutnya Kominfo bisa mengunakan seni tradisi itu untuk diseminasi kebijakan Pemerintah di seluruh In-donesia. Dengan demikian untuk seni tradisi ini, Kominfo tidak hanya melaksanakan diskusi saja, tapi mengupayakan agar Kominfo akan mendukung hidup seni tradisi yang ada dengan cara menggandeng un-tuk kegiatan sosialisasi kebijakan pemerintah.

Makalah-makalah yang disajikan dalam diskusi ini sangat menarik. Banyak kegelisahan mengenai kelangsungan hidup seni tradisi yang menjadi perhatian berbagai pihak. Oleh sebab itulah, kemudian kami share kepada pembaca, agar menjadi kegelisahan kita semua, sekaligus memprovokasi untuk ikut mencari jalan keluarnya. *

Page 323: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

313

Page 324: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

314

JAKARTA

JAWA

SUAMTERA

KALIMANTAN

Page 325: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

315

SULAWESI

PAPUA

NUSA TENGGARA

MALUKU

Page 326: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

316

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Page 327: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

317

Catatan Akhir

Senjakala Sang Penenang Kalbu

Butuh waktu satu jam lebih untuk menemukan rumah Suryadi di Desa Mireng, Kec Trucuk, Kab Klaten, Jateng. Kendati penulis sudah memberi keterangan

tambahan bahwa nama yang dicari adalah ‘Suryadi dalang Wayang Sadat’, na-mun tak banyak warga Trucuk yang kenal. “Yang namanya Suryadi di sini ban-yak, mas, tapi Suryadi dalang Wayang Sadat saya ti dak tahu,” kata Bambang (19 th), tukang ojek yang mengantarkan penulis menjelajahi Desa Mireng.

Begitulah nasib Wayang Sadat, kesenian tradisional yang naman-ya pernah berkibar pada zaman Orde Baru. Kini, jangankan wu-jud keseniannya, namanya saja banyak yang tidak tahu. “Saya

malah baru tahu dari njenengan (anda—red) kalau ada wayang yang namanya Wayang Sadat. Kalau Wayang Kulit, Wayang Wong (Orang—red), Wayang Golek, saya tahu. Tapi Wayang Sadat saya tidak pernah dengar,” imbuh Bambang.

Lelaki dua anak ini baru percaya Wayang Sadat benar-benar ada, ketika penulis akhirnya bertemu dengan Suryadi Wanasukarja BA, sang dalang yang dicari-cari. Anehnya, Bambang mengaku sudah kenal den-gan Suryadi, namun yang ia tahu profesi Suryadi adalah guru, bukan dalang. “Kalau Pak Suryadi yang ini sih saya sudah kenal sejak lama, tapi beliau seorang guru, bukan dalang Wayang Sadat,” kilah Bambang.

Suryadi hanya tersenyum kecut mendengar penuturan Bambang. Zaman memang telah menyilapkan kata Wayang Sadat dari pemaha-

Nursodik Gunarjo

Page 328: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

318

man anak muda sepantaran Bambang. Padahal pada era 80-an, Suryadi adalah dalang Wayang Sadat terkemuka di Kabupaten Klaten. “Mung-kin waktu saya masih sering di-tanggap (pentas—red) dulu, Mas Bam-bang belum lahir. Wajar jika sekarang ia tidak tahu apa itu Wayang Sadat,” kata Suryadi.

Ia lantas mengajak penulis ke salah satu ruang di rumahnya. Di sana masih ada seperangkat gamelan slendro-pelog lengkap, tabuh gamelan berbagai jenis, kelir dari kain putih, blencong atau lampu pertunju-kan dan satu kotak wayang. Semuanya tampak berdebu, bahkan sudut bawah kotak wayang yang terbuat dari kayu tampak keropos. “Sudah setahun lebih kotak wayang ini tidak dibuka. Moga-moga saja way-angnya tidak ikut dimakan rayap,” tutur bapak empat anak ini sambil menghapus debu yang melekat di kotak wayang dengan kemoceng.

Syukurlah, saat kotak dibuka, wayangnya masih utuh. Hanya catnya tampak kusam karena terbalut debu lumayan tebal. Penggiat seni ini lantas menjajarkan tokoh-tokoh Wayang Sadat di atas meja. Dengan hati-hati, wayang yang sepintas modelnya mirip dengan Wayang Kulit itu, ia dibersihkan dengan lap basah satu per satu. “Terakhir saya mem-bersihkan wayang ini bulan Februari 2008, sebelum latihan pentas di halaman rumah saya ini,” tuturnya.

Sarana Dakwah dan Penyejuk KalbuBerbeda dengan Wayang Kulit yang tokoh-tokohnya diambil dari

cerita Ramayana dan Mahabharata, peraga Wayang Sadat diambil dari tokoh-tokoh sejarah Kerajaan Demak dan Babad Tanah Jawa. Jangan heran kalau nama tokohnya bukan Gatotkaca, Kresna atau Bima, me-lainkan Para sunan/wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan lainnya yang jumlahnya sembilan orang (Wali Songo), ditambah tokoh-tokoh lain dari zaman Kerajaan Demak Bintoro.

Pakaiannya berciri khas Islam yakni berjubah dan bersorban—ke-cuali Sunan Kalijaga yang digambarkan mengenakan pakaian adat Jawa—sementara masyarakat umum digambarkan memakai ikat ke-pala, blangkon atau berpeci. Uniknya, semua tokoh yang ada dalam wayang ini mengenakan alas kaki, baik terompah, sepatu maupun san-dal. “Filosofi nya adalah para wali dan tokoh muslim lainnya dalam wayang ini selalu suci atau terjaga dari najis dan hadats,” urai lelaki

Page 329: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

319

berusia 63 tahun ini.Nama “Sadat” sendiri diambilkan dari akronim, “Sarana Dakwah

dan Tabligh”. Nama ini juga berasosiasi dengan kalimat “Syahadat” yang merupakan ikrar kesaksian keesaan Allah dan pengakuan Rasu-lullah Muhammad sebagai utusan Allah. “Sifat wayang ini memang sangat religius Islami, oleh karena itu pagelaran Wayang Sadat selain sebagai dakwah juga sebagai penyejuk kalbu penonton,” kata Suryadi.

Ia mengakui, secara umum Wayang Sadat sangat dipengaruhi oleh Wayang Kulit. Mulai gamelan, perangkat pentas, hingga karakter sung-ging (tatahan) wayang, semuanya mirip dengan Wayang Kulit. Jalannya pementasan juga tak beda jauh dengan Wayang Kulit. “Gending-gen-ding (musik pengiring) yang digunakan, suluk (candra—red), antawa-cana (dialog—red), dan sabet (gerakan wayang—red), semua mirip dengan Wayang Kulit. Hanya di dalam Wayang Sadat ditambah dengan shalawat nabi, hadits, dan kutipan ayat-ayat Al-Qur’an,” ujarnya.

Selain itu, imbuh Suryadi, pentas wayang ini juga tidak semalam suntuk seperti Wayang Kulit, namun cukup empat jam. Karena pak-elirannya padat, maka Wayang Sadar sering dipentaskan untuk mucuki (pentas pendahuluan) pagelaran Wayang Kulit.

Dalang BerjubahBerbeda dengan kebanyakan dalang yang mengenakan beskap, jarit,

keris, dan blangkon, dalang Wayang Sadat justru mengenakan jubah bi-asa (seperti surjan) dan surban di kepalanya. Niyaga (penabuh gamelan) mengenakan baju muslim (baju koko), sedangkan waranggana (sinden/pelantun tembang) mengenakan busana muslimah atau jilbab. Selama pergelaran Wayang Sadat, bacaan lafal Al-Qur’an kerapkali terdengar. Bacaan shalawat juga sering mengalun ketika tokoh Sunan Bonang atau para wali lainnya tampil.

Wayang Sadat tidak memiliki pakem cerita baku seperti Wayang Ku-lit atau Wayang Golek yang berbabon kisah Ramayana dan Mahabarata. “Ini memang termasuk wayang realis, menggabarkan kehidupan nyata masyarakat waktu itu, yakni penyebaran agama Islam khususnya pada zaman Demak Bintoro. Babon (sumber utama--red) cerita biasanya dari buku Babad Tanah Jawi, namun cerita carangan (kreasi--red)-nya bisa dibikin sendiri sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Kapan Wayang Sadat lahir, Suryadi tidak bisa mengatakan den-

Page 330: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

320

gan pasti. Ia hanya ingat, ayahnya menerima warisan wayang itu dari kakeknya. Sang kakeklah yang menciptakan wayang itu. Kakek dan ayahnya adalah dalang Wayang Sadat tenar pada zamannya. Bakat mendalang akhirnya menurun kepadanya. Meskipun ia tak pernah se-cara khusus belajar mendalang Wayang Sadat, namun karena sering diajak pentas, akhirnya ia bisa mendalang secara otodidak. “Saya pen-tas di depan umum sejak tahun 1980-an. Berbeda dengan kakek dan ayah saya yang mengalami zaman keemasan, saya menjadi dalang pada saat pamor Wayang Sadat sudah mulai mbleret (suram—red),” kata Suryadi.

Pensiunan guru SD ini mengaku, pada saat awal-awal menjadi dalang tahun 80-an, dalam sebulan ia bisa mendalang dua sampai em-pat kali. Undangan bukan saja datang dari Klaten, namun juga dari luar provinsi, bahkan ia pernah mendalang di lokasi transmigrasi di daerah Lampung dan Kalimantan Selatan. Ia juga rutin pentas di TVRI, televisi satu-satunya milik pemerintah saat itu. Tapi memasuki tahun 90-an, or-der pentas turun drastis. Bahkan mulai tahun 1995, Wayang Sadat tak pernah lagi ditanggap orang. “Kalah sama sinetron dan kesenian mod-ern lainnya,” ujar Suryadi pendek.

Pasrah Menunggu MautKevakuman selama beberapa tahun tidak pentas membuat Sury-

adi kelimpungan. Maklum, mendalang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sekitar tahun 1990-an, ia mengajukan proposal ke (saat itu) Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Klaten agar mau memen-taskan Wayang Sadat secara periodik, untuk mucuki pentas Wayang Kulit yang rutin digelar di alun-alun. Upayanya tak sia-sia, Kantor Dep-pen Kab Klaten bersedia mementaskan Wayang Sadat sebulan sekali. Tapi itu tak berlangsung lama, baru pentas tiga kali sudah dihentikan dengan alasan tidak ada dana.

Lelaki berkumis ini pun putar otak agar kesenian yang digelutinya tak tenggelam ditelan zaman. Salah satu cara yang ia tempuh adalah menyelenggarakan gladhen (latihan) rutin sebulan sekali di halaman rumahnya. Tujuannya agar gairah kesenian bisa tersalurkan, selain itu juga untuk mencari bibit dalang baru dari kalangan pemuda. “Alhamdu-lillah, usaha saya... gagal total. Satu-dua kali gladhen, setelah itu macet karena para niyaga sibuk dengan urusannya masing-masing,” urainya

Page 331: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

321

dengan wajah muram.Niat untuk mencari bibit dalang dari generasi muda juga pupus, lan-

taran tak seorang pemudapun berminat menjadi dalang Wayang Sadat. “Bahkan anak saya sendiri nggak mau meneruskan profesi bapaknya jadi dalang Wayang Sadat. Penghasilannya nggak jelas katanya,” ujar Suryadi terus terang.

Bagi Suryadi, seni memang bukan untuk mencari uang. Karena itu, ia tak pernah memikirkan rugi-laba saat mementaskan Wayang Sadat. Bahkan menurut penuturannya, saat pentas lebih banyak rugi ketimbang untungnya. “Rugi secara material, namun secara moral tetap untung karena saya mendapatkan kepuasan batin yang tidak terkira. Hal semacam inilah yang cengkah (bertentangan—red) dengan pola pikir anak-anak muda zaman sekarang,” imbuhnya.

Ia pernah bercita-cita merevitalisasi Wayang Sadat menjadi Way-ang Nusantara, dengan tokoh-tokoh yang disesuaikan dengan konteks kehidupan kenegaraan saat ini. Namun cita-cita itu tampaknya sulit menjadi kenyataan. Kendalanya apa lagi kalau bukan masalah dana. Ironisnya, berbagai pihak yang ia sodori proposal bantuan dana hanya menggelengkan kepala alias menolak dengan halus.

Kini ia mengaku pasrah, menunggu saat kematian Wayang Sadat datang menjemput. Ia percaya, masa keemasan Wayang Sadat telah le-wat. “Wayang Sadat kini sudah berada pada masa senjakala. Kematian sepertinya sudah menjadi takdir yang tak terhindarkan,” pungkasnya lirih.

Berubah atau Mati Ibarat manusia, kesenian tradisional memang telah memasuki masa

uzur. Zaman keemasan dianggap telah lewat. Para penggiat seni tradisi, di mana-mana, mengeluhkan kondisi yang kian merapuh. Tak heran, mereka berharap ada “tonikum” yang bisa membuat seni tradisi bangkit kembali.

Jika dalam olahraga tinju dikenal istilah kemenangan kedua (second win), petinju yang tiba-tiba segar dan kuat kembali setelah babak belur pada ronde-ronde sebelumnya, maka kesenian tradisional butuh kondisi semacam itu. Seni tradisi butuh “tonikum” itu agar kembali segar.

Sudah jamak diketahui, bahwa seni tradisi mengalami lesu darah karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Page 332: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

322

Para pelaku seni tradisi cenderung terpaku pada “teks” yang statis, se-hingga kehilangan “konteks” saat kesenian yang digelutinya dipaksa hidup dalam situasi masa kini yang serba dinamis.

Penjagaan tradisi memang kadang harus menafi kan perubahan, kare-na perubahan bisa berarti hilangnya hakikat tradisi itu sendiri. Namun di sisi lain, menolak perubahan akan membuat seni tradisi kehilangan komunitas pendukungnya. Situasi dilematis semacam itu sering mem-buat para pelaku seni tradisi berhadapan pada pilihan yang serba sulit.

Banyak seni tradisi mati, justru karena pelakunya bersikukuh meme-gang prinsip anti perubahan. Bagi mereka kematian lebih mulia, dari-pada harus mengingkari hakikat orisinalitas “pakem” seni tradisi yang sangat mereka junjung tinggi. Kematian adalah keniscayaan, karena zaman telah membuat seni tradisi berada di waktu dan tempat yang salah. Dan kita, bagaimanapun, harus menghormati mereka yang me-milih jalan ini.

Namun sebagian pelaku seni tradisi memilih jalan yang lebih mod-erat, mencoba berdamai dengan dinamika zaman agar bisa bertahan hidup lebih lama. Pakem atau “teks” asli tetap mereka pertahankan, namun “konteks” juga mereka perhatikan. Mereka tidak alergi pada perubahan, namun justru menempatkan perubahan itu sebagai motor penggerak revitalisasi.

Kalau mau jujur, mayoritas seni tradisi yang mengalami second win adalah seni tradisi yang pelakunya rela mengisi “teks” seni dengan isu-isu aktual yang ada di tengah masyarakat. Seni tak lagi terpaku pada pakem yang kaku, yang membuatnya berada jauh tinggi di awang-awang, namun dikonstruksi sedemikian rupa agar dekat dengan aspek kehidupan masyarakat masa kini.

Wayang Kulit adalah salah satu contoh terbaik, bagaimana kesenian tradisional bisa di-mutakhir-kan. Dengan mengadopsi isu-isu aktual dalam setiap pagelarannya, Wayang Kulit bisa bangkit dari keterpuru-kan, berdiri tegak, dan merangkul kembali audiensnya yang hilang.

Semua seni tradisi memiliki peluang sama untuk bangkit kemba-li dan meraih kemenangan kedua. Kuncinya terletak pada sikap para pelaku seni terhadap dinamika perubahan zaman. Rumusnya memang hanya satu, change or die, berubah atau mati. Banyak yang memilih perubahan, namun ada juga yang memilih kematian... *

Page 333: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

323

Page 334: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

324

Page 335: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

325

Page 336: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

326

Page 337: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

327

Page 338: Lestarikan Tradisi Kelola Komunikasi

Diterbitkan oleh DIrektorat Pengolahan dan Penyediaan InformasiDirektorat Jenderal Informasi dan Komunikasi PublikKementerian Komunikasi dan Informati kaTahun 2011