tradisi 5suro
TRANSCRIPT
NILAI-NILAI KEISLAMAN PADA TRADISI SUROAN DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG
KECAMATAN PAGU KABUPATEN KEDIRI
SKRIPSI
Diajukan kepada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Agama Strata Satu Dalam Ilmu Ushuluddin
Oleh
NUNIK SILVI WAHDATI NIM : 9.3.3.1.022.00
Jurusan : Ushuluddin Program Studi : Perbandingan Agama Tahun Akademik : 2003 / 2004
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI ( STAIN )
K E D I R I 2004
i
NILAI-NILAI KEISLAMAN PADA TRADISI SUROAN DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG
KECAMATAN PAGU KABUPATEN KEDIRI
Oleh NUNIK SILVI WAHDATI
NIM : 9.3.3.1.022.00
Disetujui Oleh :
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dra. SARDJUNINGSIH, M.Si. Dra. ROBINGATUN,M.Pdi NIP : 150 232 940 NIP : 150 288 491
ii
NOTA KONSULTAN Kediri, 5 Desember 2004 Nomor :
Lamp : 4 (empat) berkas K e p a d a
Hal : BIMBINGAN SKRIPSI Yth. Bapak Ketua Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
Jl. Sunan Ampel No. 7
K E D I R I
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Memenuhi permintaan Bapak Ketua untuk membimbing penyusunan
skripsi mahasiswa tersebut di bawah ini :
N a m a : NUNIK SILVI WAHDATI
N I M : 9.3.3.1.022.00
Judul :NILAI-NILAI KEISLAMAN PADA TRADISI SUROAN DI
PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG
KECAMATAN PAGU KABUPATEN KEDIRI
Setelah diperbaiki materi dan susunannya, kami berpendapat bahwa
skripsinya telah memenuhi syarat sebagai kelengkapan ujian tingkat akhir Sarjana
Strata Satu (S-1).
Bersama ini terlampir satu berkas naskah skripsinya, dengan harapan
dalam waktu yang telah ditentukan dapat diujikan dalam sidang munaqosah.
Demikian agar maklum dan atas kesediaan Bapak kami ucapkan banyak
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. SARDJUNINGSIH, M.Si. Dra. ROBINGATUN, M.Pdi NIP : 150 232 940 NIP : 150 288 491
iii
NOTA PEMBIMBING Kediri, 5 Desember 2004 Nomor :
Lamp : 4 (empat) berkas
Hal : Penyerahan Skripsi
K e p a d a
Yth. Bapak Ketua Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Kediri
Jl. Sunan Ampel No. 7
K E D I R I
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bersama ini saya kirimkan berkas skripsi Mahasiswa :
N a m a : NUNIK SILVI WAHDATI
N I M : 9.3.3.1.022.00
Judul :Nilai-nilai Keislaman Pada Tradisi Suroan Di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri
Setelah diperbaiki materi dan susunannya sesuai dengan beberapa
petunjuk dan tuntunan yang telah diberikan dalam sidang munaqosah yang
dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 2004 kami dapat menerima dan
menyetujui hasil perbaikannya.
Demikian, agar maklum adanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. SARDJUNINGSIH, M.Si. Dra. ROBINGATUN, M.Pdi
NIP : 150 232 940 NIP : 150 288 491
iv
Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri
Dan Diterima Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Strata Satu Dalam Ilmu Ushuluddin
Pada Tanggal 31 Desember 2004
Mengesahkan :
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Ketua
Drs. AHMAD DHOIFUR USMANY NIP. 150 178 723
Dewan Penguji :
1. Drs. H. Mundzir Thohir ( ) NIP. 150 220 824 Penguji Utama
2. Dra. Sardjuningsih, M.Si ( )
NIP. 150 232 940 Penguji I 3.Dra. Robingatun, M.Pdi ( )
NIP. 150 288 491 Penguji II
v
MOTTO
“Kebudayaan adalah cermin Kepribadian
Masyarakat dan jadikanlah sejarah sebagai
tonggak kehidupan”
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk :
1. Ibunda tercinta Purwanti dan Ayahandaku tersayang Qomari yang telah melahirkan
dan membesarkanku sejak kecil dengan penuh cinta kasih.
2. Adik-adikku tercinta Azis & Tutik yang telah banyak memberikan motivasi selama
penyusunan skripsi ini.
3. Sahabat terbaikku Zetty, Indah,, dan Diana yang telah banyak memberikan inspirasi
kepada saya dari awal penyusunan sampai terselesaikannya skripsi ini.
4. Teman-temanku semuanya yang ada di STAIN Kediri, terutama teman-teman kelas
Jurusan Ushuluddin prodi Perbandingan Agama.
5. Dosen-dosen STAIN Kediri dan para pembimbing Skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu.
6. Someone yang paling istimewa bagi penulis, yang terukir di hati menjelang akhir
penulisan skripsi ini.
7. Semua pihak yang telah membantu.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi Rabbul
‘Alamin, karena taufiq serta hidayah-Nya yang tiada terhingga penulis menyelesaikan
skripsi ini. Semoga Allah senantiasa memberikan ridlo-Nya sehingga menjadi ilmu yang
bermanfaat di dunia dan akhirat.
Sholawat dan salam tiada pernah terlupakan penulis haturkan kepada junjungan
Nabi Besar Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya, yang mana
beliaulah sebagai Rosul utusan Allah untuk membimbing umat manusia dari alam
kegelapan menuju alam yang terang benderang dalam menggapai kebenaran yang hakiki
untuk mencapai jalan yang diridloi Allah SWT, yakni kebenaran Islam.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penulisan skipsi ini terutama kepada:
1. Bapak Drs. Ahmad Dhoifur Usmany selaku ketua STAIN Kediri.
2. Ibu Dra. Sardjuningsih M.Si selaku dosen Pembimbing I, yang selalu
memberikan masukan-masukan demi sempurnanya skipsi ini.
3. Ibu Dra. Robingatun, M.Pdi selaku dosen Pembimbing II, yang dengan sabar
memberikan bimbingan dan arahan hingga terselesainya skipsi ini.
4. Bapak Soni Harsono selaku kepala desa, bapak Gatot selaku panitia pelaksana
upacara suroan,serta bapak dari dinas pariwisata yang telah memberikan izin
penelitian di Petilasan Sri Aji Jayabaya serta bantuan berupa peminjaman
referensi-referensi yang berkaitan dengan skipsi ini.
viii
5. Ayahanda Qomari yang selalu memberikan dorongan kepada penulis untuk
senantiasa menuntut ilmu setinggi mungkin beserta Ibunda Purwanti tercinta
yang tak henti-hentinya mendo’akan dengan penuh ketabahan dan kesabaran
hati kepada penulis yang disertai harapan dan kecemasan agar penulis menjadi
intelektual muslim serta insan kamil yang diridhoi Allah SWT.
6. Adik-adikku tersayang yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skipsi ini.
7. Sahabat-sahabatku tercinta zetty dan si kecil Dhea, Indah serta Diana yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membantu terselesaikannya skripsi ini.
Akhirnya kepada semua pihak tersebut di atas, yang dengan tulus ikhlas
berkorban untuk membantu dan memberikan dorongan kepada penulis sehingga
menambah kelancaran dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis hanya bisa membalas
dengan mendo’akan semoga amal baik mereka semua diterima oleh Allah SWT. Penulis
juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan dunia
pariwisata.
Tiada gading yang tak retak, demikian pula dalam penulisan skripsi ini tiada dapat
disangkal keberadaannya pastilah masih banyak ditemui kekurangan-kekurangan yang
masih jauh dari kesempurnaan , untuk itu saran dan kritik kontruksif senantiasa kami
harapkan demi sempurnanya skipsi ini.
Kediri, 5 Desember 2004
Penulis
ix
ABSTRAKSI
Nilai-nilai Keislaman Pada Tradisi Suroan Di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten kediri. Nunik Silvi W. Dosen pembimbing (1) Dra. Sardjuningsih, M.Si,Pembimbing (2) Dra. Robingatun, M.Pdi.
Kata kunci : Nilai-nilai Keislaman, Tradisi Suroan
Penelitian ini membahas tentang nilai-nilai keislaman pada tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelaksanaan tradisi suroan di petilasan Sri Aji Joyoboyo Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri dan bagaimana nilai keislaman yang nampak dari pelaksanaan tradisi suroan tersebut, adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tradisi suroan dan nilai-nilai keislaman yang ada di petilasan Sri Aji Jayabaya.
Untuk mencapai tujuan penelitian diatas, peneliti menggunakan pendekatan atau jenis penelitian kualitatif. Sesuai dengan pendekatan ini, kehadiran peneliti dilapangan sangat penting. Kata-Kata dan tindakan yang diperoleh melalui informan merupakan sumber data utama dalam penelitian ini, sedangkan data tambahan berupa dokumen. Keseluruhan data tersebut diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, analisis data dilakukan dengan cara menelaah seluruh data yang ada, lalu mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan, tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pengecekan keabsahan data dengan menggunakan teknik ketekunan pengamatan dan triangulasi.
Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut, pelaksanaan tradisi suroan di Petilasan Sri Aji Joyoboyo berupa : Acara pada malam satu soro meliputi kenduri dan mele’an di petilasan Sri Aji Joyoboyo, dan acara pada tanggal satu suro meliputi serangkaian kegiatan upacara yang di ikuti iring-iringan barisan mulai dari Kelurahan menuju ke Petilasan dengan rangkaian upacara yaitu menghaturkan keinginan keinginan penyelenggaraan upacara ziaroh, mengheningkan cipta, munjuk atur, tabor bunga, caos dahar, peletakan pusaka, pembacaan doa, munjuk lengser, pengambilan pusaka, caos dahar, penutup, yang kemudian dilanjutkan upacara di pamuksan berlanjut menuju sendang Tirto Kamandanu. Nilai-nilai keislaman dalam tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya berupa : adanya doa yang dipanjatkan pada acara selamatan malam satu suro, istilah munjuk atur dan munjuk lengser pada upacara selamatan malam satu suro. Istilah munjuk atur dan munjuk lengser pada upacara satu suro baik dipamuksan maupun sendang tirto kamandanu yang menggunakan kalimat-kalimat Gusti Engkang Moho Kuaos dan Gusti Engkang Moho Agung, maksudnya adalah sebutan Jawa yang predikatnya Kepada dzat yang Maha Kuasa yaitu allah SWT, Terdapatnya pembacaan doa selamatan
yang diawali dengan kalimat sebagai kalimat yang menyebutkan dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang.
x
DAFTAR INFORMAN
1. Bapak Sony Harsono Kepala Desa Menang Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.
2. Bapak Misri, juru kunci petilasan Sri Aji Joyoboyo.
3. Bapak Mad Kamdari, juru kunci petilasan Sri Aji Joyoboyo.
4. Bapak Kamdyat, Kaur Bang Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
5. Bapak Edy, anggota panitia pelaksana upacara ziaroh satu Suro.
6. Pengunjung Petilasan diantaranya :Agus Priyanto, Tiono, Ir. I.Waka. Waskita.
7. Tokoh masyarakat sekitar diantaranya:pak Gatot, ibu Sri Rahayu, Sugeng.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ ii
HALAMAN NOTA KONSULTAN.......................................................................... iii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING......................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ................................................................................................ vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii
ABSTRAKSI ............................................................................................................. x
DAFTAR INFORMAN .............................................................................................xi
DAFTAR ISI..............................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Konteks penelitian .............................................................................1
B. Fokus Penelitian ................................................................................5
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................5
D. Kegunaan Penelitian .........................................................................6
BAB II LANDASAN TEORITIS .........................................................................7
A. Nilai-nilai Keislaman ........................................................................7
1. Pengertian Nilai-nilai Keislaman ................................................7
2. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam ........................8
xii
B. Budaya Jawa .....................................................................................12
1. Pengertian Budaya Jawa .......................................................12
2. Karakteristik Budaya Jawa ....................................................13
a. Kebudayaan Jawa Pra Hindu Budha ................................13
b. Kebudayaan Jawa masa Hindu Budha .............................14
c. Kebudayaan Jawa masa Kerajaan Islam ..........................15
3. Upacara ritual masyarakat Jawa ............................................16
4. Sistem-sistem Upacara Keagamaan ......................................25
C. Islam dan Budaya Jawa .....................................................................29
1. Dasar-dasar Budaya Jawa tentang Islam ...............................29
2. Sinkretisasi Budaya Jawa terhadap Islam .............................32
D. Sejarah Sri Aji Jayabaya ...................................................................34
1. Asal mula Sri Aji Jayabaya ...................................................35
2. Proses Pembentukan Kerajaan Kediri ...................................45
3. Indikasi Masuknya Islam ke Jawa masa Jayabaya ................51
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian .......................................................57
B. Kehadiran Peneliti / Lokasi Penelitian...............................................58
C. Sumber Data ......................................................................................59
D. Prosedur Pengumpulan Data .............................................................61
E. Analisis Data .....................................................................................62
F. Pengecekan Keabsahan Data .............................................................63
G. Tahap-tahap Penelitian ......................................................................64
xiii
BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ............................66
A. Paparan Data .....................................................................................66
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................66
2. Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya ........................73
B. Temuan Penelitian..............................................................................88
BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................92
BAB VI PENUTUP .............................................................................................96
A. Kesimpulan ........................................................................................96
B. Saran-saran ........................................................................................97
DAFTAR PUSTAKA
BIBLIOGRAFI
xiv
RIWAYAT HIDUP
Nunik Silvi Wahdati. Lahir 14 Januari 1982 di Kediri Jawa Timur. Pendidikan Formal
Madrasah Ibtida’iyah di MI Roudhotut Tholabah Kolak (1988-1994).MTsN 2 Kediri
(1994-1997). Pada tahun 1997-2000 melanjutkan di SMU N 4 Kediri program IPA.
Pendidikan terakhir adalah STAIN Kediri dengan program studi Perbandingan Agama pada
jurusan Ushuluddin.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Al-Habib bin Thohir Al-haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Jakarta: Lentera Basritama, 2001.
Amin, Durrori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gamamedia, 2000
Abulgani, Ruslan, Penggunaan Ilmu Sejarah, Bandung: Prapantja,1963.
Bakker, SJ J.W.M., Filsafat Kebudayaan sebuah pengantar, Jogjakarta: Pustaka Filsafat,
1994. Boechari, Beberapa Pertimbangan terhadap Permasalahan Pemindahan Pusat
Pemerintahan, Jakarta: Proyek Penelitian dari Jawa Timur ke Jawa Timur pada Abad ke-X M Purbakala, 1997.
Djoened Poesponegoro, Marwati dan Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia
Jilid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Gazalba, Sidi, Asas Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1985.
Ghani,,Djuanidi Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif, Prosedur, Teknik dan Teori Grounded,
Surabaya: PT. Bila Ilmu, 1997
Hasan Alwi dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2000.
Hakim, A. dkk, Segi Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan, tt.
Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan Jakarta: Gramedia,2000.
Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Koentjoroningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1992.
Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982.
Kartodihardjo, Sartono, Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1998
Luthfi Ibnu Iskak, Ismail, Pengaruh Unsur Kebudayaan India Kuno di Nusantara Abad V-
X Masehi, Fak. Sastra UM Prodi Sejarah, 2001.
xvi
Luthfi Ibnu Iskak, Ismail, Sejarah Indonesia Kuno, Fak. Sastra UGM, Prodi Sejarah, 1995
Magnis, Frans S,Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa Jakarta: Gramedia,1991.
Mustopo,M. Habib, Bahan Kuliah Sejarah Indonesia Lama, Malang: Fak. Sastra
Universitas Negeri Malang, 2002.
Murtadho, Islam Jawa, Keluar dari Kemelut Santri Vs Abangan, Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002.
Moertjipto dan Prasetya, Bambang, Mengenal Candi Siwa Prambanan dari Dekat
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Mustopo, Habib, Prasasti Panwatan, Bahan Kuliah Sejarah Indonesia Lama, Fak. Sejarah UM, 2002.
Mustopo, Habib, Prasasti Cunggrang, IKIP Malang, 1991.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000. Margono, S, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. Milles, Mattew B. dkk., Analisis Data Kualitatif, Jakarta: PT. UI Press, 1992. Noersya, Sisbar, Sejarah dan Budaya dari Masa Kuna Sampai Kontemporer, Malang: UM
Press, 2003.
Poerwadarminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1968. Priyo Prabowo, Dhanu, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. NG. Ronggowarsito,
Yogyakarta: Narasi, 2003
Rosyada, Dede, Abudin Nata,Materi Pokok Agama Islam, Jakarta:Departemen Agama, 1995.
Simuh, Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa, Bandung : Refleksi Masyarakat Baru, 2003
Simuh,Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2002.
Soetarto R., Aneka Candi Kuno di Indonesia, Semarang: Dahara Prize, 2003.
xvii
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II, 51.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Umar, Husain, Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1999. Zaini, Syahmin, Kuliah akidah islam, Surabaya : Al Ikhlas, 1983.
.
xviii
SURAT KETERANGAN
Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala Desa Menang Kecamatan Pagu
Kabupaten Kediri, menerangkan bahwa :
Nama : NUNIK SILVI WAHDATI
NIM : 9331.022.00
Perguruan Tinggi : STAIN KEDIRI
Jurusan : Ushuluddin
Program Studi : Perbandingan Agama
Judul Skripsi : Nilai-nilai KeIslaman pada Tradisi Suroan di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu
Kabupaten Kediri
Benar-benar telah melaksanakan penelitian di Desa Menang Kecamatan Pagu
dalam rangka menyelesaikan skripsinya.
Demikian surat keterangan ini kami buat, semoga dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Kediri, 9 Desember 2004
Mengetahui
Kepala Desa Menang Kec Pagu, Kediri
Sony Harsono
xix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil krida, cipta, rasa,
dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari
alam sekelilingnya. Manusia tidak hanya puas dengan apa yang terdapat dalam
kebendaan saja. Akan tetapi manusia memiliki wawasan dan tujuan hidup tertentu
sesuai dengan kesadaran dan cita-citanya. Karena itu, ada enam nilai yang amat
menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia maupun masyarakat. Mengenai
keenam nilai budaya, St. Takdir Alisjahbana mengatakan, sebagaimana yang dikutip
oleh Dr.Simuh antara lain:
1) Nilai teori, yaitu proses penilaian teori yang menuju kearah pengetahuan,
tujuan proses penilaian ini untuk mengetahui alam sekitar dan menentukan
dengan objektif.
2) Nilai ekonomi, yaitu nilai yang mendorong untuk maju atau dalam kata lain
merupakan aspek progresif dari kebudayaan. Proses penilaian ekonomi berlaku
menurut logika efisiensi dan bertujuan untuk memberikan kontribusi pada
kesenangan hidup.
3) Nilai agama, dalam penilaian ini manusia menyikapi ekspresi rahasia dan
kebesaran hidup alam semesta dengan penuh takzim dan penuh tremendum et
facinans (kegemetaran dan ketakjuban).
1
4) Nilai estetik, penilaian yang bersifat keekspresifan terhadap benda-benda dan
kejadian-kejadian. Kombinasi antara nilai agama dan nilai seni yang sama-
sama menekankan intuisi, perasaan dan fantasi disebut aspek ekspresif
kebudayaan.
5) Nilai kuasa, yaitu proses penilaian kuasa yang bertujuan pada kekuasaan yaitu
perasaan puas jika orang lain mengikuti norma-norma dan nilai-nilai kita,
terlebih lagi bila kita mempunyai otoritas dan kuasa atas mereka.
6) Nilai solidaritas, proses penilaian yang menjunjung hubungan cinta,
persahabatan, simpati dengan sesama manusia, yang menghargai mereka
sebagai individu atau golongan dengan kemungkinan-kemungkinannya sendiri
dan perasaan puas jika dapat membantu dalam perkembangan kemungkinan-
kemungkinan mereka.1
Keenam macam nilai di atas memang merupakan kristalisasi berbagai macam
nilai kebudayaan manusia, sehingga keenamnya merupakan pilar yang menentukan
konfigurasi kepribadian dan norma etik individu dan masyarakat. Dari keenam nilai
tersebut, tentu ada nilai yang paling dominan, yang merupakan norma tertinggi dari
seluruh pola kehidupan pribadi dan masyarakat. Misalnya, jika nilai ekonomi yang
dipandang sebagai nilai utama, pasti pola tingkah laku cenderung ke arah paham
materialis. Karena tujuan utama adalah keuntungan, tentu ia menghalalkan segala
cara dan tidak memperdulikan halal dan haram.
1. Simuh, Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung : Refleksi Masyarakat Baru, 2003), 2.
2
Demikian pula jika kekuasan menjadi nilai utama. Kedudukanlah yang
diutamakan, sehingga jalan apapun untuk merebut dan mempertahankannya
dipandang halal. Tetapi jika nilai ilmiah yang utama, lahirlah idealisme yang rela
berkorban bagi perkembangan ilmiah, namun, nilai ilmiahpun sangat mungkin
terjerumus ke dalam paham materialis dan sekularis.
Tiga nilai budaya, yaitu nilai agama, seni dan solidaritas, berkaitan dengan
rasa yang bersendi pada perasaan, intuisi dan imajinasi. Budaya ekspresif umumnya
berwatak konservatif. Agama misalnya, jika tidak didukung oleh pemikiran yang
rasional, ia mudah terjerumus ke dalam penghayatan serba mistik dan ghoib yang
ekstrim dan irasional. Karena itu, yang utama bagi kemajuan umat manusia adalah
bagaimana cara mengembangkan budaya yang memiliki keserasian nilai progresif
dan ekspresif. Hal ini hanya mungkin jika nilai agama dijadikan sendi utama dan
didukung oleh nilai teori dan ekonomi.
Pada hakekatnya kebudayaan adalah sesuatu yang khas insani, artinya hanya
terdapat pada mahluk manusia saja, maka kedudukan manusia disitu adalah sentral,
tidak ada kebudayaan tanpa manusia. Hewan serta alam sekitar kita disebut alam
buta karena tidak dapat menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan terdiri dari beberapa
unsur yang membentuk satu kesatuan. Keselarasan antara unsur di dalamnya
merupakan suatu hal yang sangat penting dan diperlukan. Kebudayaan mengandung
nilai-nilai, karena itu kebudayaan dihubungkan dengan hal-hal yang baik, yang
bermanfaat, yang indah dalam kehidupan manusia.2
2. J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan sebuah pengantar,(Jogjakarta:Pustaka Filsafat, 1994),139.
3
Kebudayaan mempunyai berbagai bentuk dan beberapa unsur. Salah satu unsur
di antara unsur-unsur atau nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan adalah sistem religi
atau kepercayaan. Dari unsur yang berupa sistem religi tersebut, dapat mempunyai
wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan dari Tuhan, dewa-dewa, roh para leluhur
dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar manusia memiliki kemantapan,
keseimbangan dalam kehidupan lahiriyah maupun batiniyah. Dalam kebudayaan
Jawapun dikenal bahwa, mengadakan kontak dan komunikasi dengan leluhurnya
merupakan upaya agar jalan hidupnya menjadi terang. Hal ini juga dimaksudkan
sebagai kontrol dalam mengisi hidupnya. Sistem religi atau kepercayaan yang
merupakan pondamen dan pegangan hidup masyarakat dapat diaktualisasikan atau
diwujudkan dalam bentuk upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat guna
memperingati, memuliakan terhadap roh para leluhur yang oleh masyarakat tersebut
dianggap dapat mendatangkan pengaruh kepada manusia yang masih hidup.
Demikian halnya dengan masyarakat desa Menang dan sekitarnya yang
mempunyai anggapan bahwa Sri Aji Jayabaya adalah leluhurnya, yang mempunyai
nilai religius dan karisma yang tinggi. Munculnya tradisi suroan yang berupa “Upacara
Ziarah Satu Suro” sebagai wujud dari anggapan mereka, dengan maksud mengenang,
mengagungkan dan memuliakan keluhuran serta kebesaran Sri Aji Jayabaya yang juga
sebagai putra Indonesia yang diberi anugrah oleh Allah sebagai raja yang besar, arif dan
bijaksana.
Berkaitan dengan uraian tersebut di atas maka timbul suatu keinginan dari
peneliti untuk mengadakan suatu penelitian guna mengetahui maksud, tujuan, dan nilai-
nilai keislaman dari upacara Ziarah Satu Suro yang telah mentradisi di kalangan
4
masyarakat Menang dan sekitarnya yang diadakan di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Di
mana anggapan dari masyarakat yang berdomisili di desa Menang dan sekitarnya yang
mayoritas beragama Islam bahwa pelaksanaan dari kegiatan tradisi suroan tersebut
masih mengandung unsur-unsur/nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu dalam penelitian
ini, peneliti mengambil judul skripsi Nilai-nilai Keislaman pada Tradisi Suroan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
B. Fokus Penelitian
Berangkat dari konteks masalah di atas, maka perlu kiranya masalah yang
luas ini difokuskan agar dalam pelaksanaan penelitian nanti, masalah atau segala
sesuatu yang perlu dan ingin diketahui menjadi jelas. Adapun fokus masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan tradisi suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri?
2. Bagaimanakah nilai-nilai keislaman yang nampak dari pelaksanaan tradisi suroan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan peneitian yang ingin dicapai oleh peneliti adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan tradisi suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai Keislaman yang nampak pada
tradisi suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu
Kabupaten Kediri.
5
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan nilai-nilai
budaya yang terdapat di Indonesia.
2. Bagi masyarakat, sebagai sumbangan informasi bagi segenap masyarakat yang
beragama Islam untuk tetap menjaga nilai-nilai keislaman yang terdapat pada tradisi
Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
3. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan sikap
ilmiah serta sebagai bahan dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut.
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Nilai-nilai Keislaman
1. Pengertian Nilai-nilai Keislaman
Nilai mempunyai pengertian sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna
dengan kemanusiaan, dan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan
hakikatnya.1 Pengertian ini sama dengan pengertian unsur, yaitu bagian yang
dianggap penting dalam suatu hal.2
Adapun keislaman berasal dari kata “Islam” yang mendapat konfiks”ke-an”
yang mempunyai makna menyatakan sesuatu hal tentang apa yang disebut kata
dasar.3 Islam adalah kata-jadian Arab, asalnya dari aslama yang kata dasarnya
adalah salima, berarti sejahtera, tidak bercacat. Pengertian Islam dapat dirumuskan :
taat atau patuh dan berserah diri pada Allah, dengan kepatuhan dan penyerahan diri
secara menyeluruh itu terwujudlah salam, inti salam itu adalah selamat dan senang.4
Pengertian Islam menurut Abu A’la Al Maududi sebagaimana yang dikutip
oleh Syahminan Zaini adalah :
“Islam bukanlah hanya sekedar kepercayaan, tetapi juga Way of life. Islam menghendaki adanya kepatuhan secara mutlak kepada Tuhan tidak saja di dalam kepercayaan dan dalam beragam pemujaan tetapi juga dalam moral, di dalam kebudayaan, politik, hukum, ekonomi, aktivitas-aktivitas sosial dan di
1 Hasan Alwi dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 2000), 783. 2 W.J.S Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1968), 1130 3 A. Hakim dkk, Segi Praktis Bahasa Indonesia,( Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan,
tt), 58. 4 Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1985) 5.
7
dalam kegiatan yang serupa, baik yang bersifat individual, bangsa maupun internasional.”5
Sedangkan menurut Mahmud Saltut sebagaimana yang dikutip oleh
Syahminan Zaini Islam adalah :
“peraturan yang diciptakan oleh Allah atau diciptakan pokok-pokoknya agar manusia berpegang padanya dalam berhubungan dengan Tuhan, dalam berhubungan dengan sesama, Muslim, dalam berhubungan dengan sesama manusia, dalam berhubungan dengan alam, dan dalam berhubungan dengan kehidupan itu sendiri.”6
Jadi nilai-nilai keislaman merupakan suatu hal, baik itu berupa kebudayaan,
politik, hukum ataupun ekonomi yang mengandung sifat-sifat keislaman atau bisa
dikatakan suatu hal tersebut bukanlah bertentangan dengan ajaran-ajaran agama
Islam.
2. Nilai-nilai yang Terkandung dalam Agama Islam
Luasnya materi ajaran agama Islam haruslah dipahami oleh seorang mu’min
yang ingin mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, akan tetapi dari kesemuanya
itu yang juga penting untuk diketahui adalah pemahaman tentang nilai-nilai atau
unsur-unsur yang terkandung dalam agama Islam. Nilai-nilai agama Islam tersebut
dapat dikategorikan menjadi empat hal, yaitu :
a. Nilai Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib
Di dalam agama, nilai keyakinan terhadap kekuatan gaib amat dominan.
Manusia menganggap bahwa kekuatan gaib itu sebagai sumber yang dapat
memberi pertolongan dan bantuan kepada dirinya terutama pada saat manusia
5 Syahmin Zaini, Kuliah Akidah Iislam, (Surabaya : Al Ikhlas, 1983) 42. 6 Ibid
8
tersebut menghadapi masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh segenap
kemampuan yang dimilikinya, seperti terjadi angin topan, gempa bumi, banjir
dan sebagainya.
Nama dan bentuk dari kekuatan gaib ini tidak sama dalam setiap agama.
Pada agama-agama primitif seperti dinamisme, animisme dan politeisme,
kekuatan gaib diberi arti bermacam-macam. Pada agama dinamisme oleh orang
Melanesia disebut mana atau kekuatan batin yang bersifat misterius, oleh orang
Jepang disebut kami dan orang India disebut hari, dan orang Amerika Indian
menyebutnya wakan, orenda dan maniti.7
Bagi umat Islam, kekuatan gaib yang diimani adalah Tuhan Yang Maha Esa,
Allah SWT, maha Pencipta. Ia tidak dapat digambarkan dengan apapun juga. Ia
tempat memohon umat manusia, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidaklah
mengambil tempat tertentu, namun amat dekat kepada manusia dan sekalian
makhluk-Nya yang taat. Kepercayaan kepada kekuatan gaib ini amat penting
dalam agama Islam, dan biasanya dibahas lebih lanjut dan dikelompokkan ke
dalam bidang tauhid atau akidah. Unsur tauhid atau akidah. Itu merupakan yang
dominan dan mewarnai unsur ajaran Islam pada bidang yang lainnya.8
b. Kepercayaan bahwa kesejahteraan hidup di dunia dan akherat tergantung pada
hubungan yang baik dengan kekuatan gaib.
7 Dede Rosyada, Abudin Nata,Materi Pokok Agama Islam,(Jakarta:Departemen Agama,1995),12 8 Ibid., 13
9
Hubungan yang baik dengan unsur kekuatan gaib pada tahap selanjutnya
membentuk pola hubungan dengan Tuhan yang sifatnya tetap dan dapat
digunakan setiap waktu. Pola hubungan ini mengambil bentuk konsep ibadah
dalam ajaran agama. Dalam Islam juga terdapat ajaran yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, melalui konsep ibadah ritual yang pola pelaksanaannya
telah dibakukan oleh petunjuk Allah dan Rasul-Nya.9
Berbeda dengan tujuan ibadah dengan agama lainnya, dalam Islam
berhubungan dengan Tuhan bukan untuk merayu Tuhan atau membujuk Tuhan
atau menyenangkan Tuhan, sebagaimana hal itu terdapat dalam tujuan hubungan
dalam agama lainnya. Dalam Islam berhubungan atau ibadah dengan Tuhan,
dilakukan semata- mata karena ikhlas, terima kasih dan keta’atan kepada-Nya.10
c. Respon yang bersifat emosional.
Respon tersebut dapat mnengambil bentuk yang bermacam-macam
seperti perasaan takut yang dijumpai dalam agama-agama primitif atau perasaan
cinta yang dijumpai dalam agama monoteisme. Dalam agama primitif terdapat
kekuatan gaib yang diantaranya ada yang baik dan yang jahat. Kepada kekuatan
gaib tersebut mereka mengambil sikap hati tertentu seperti rasa takut melanggar
sesuatu yang menyenangkan. Berkenaan itu berkembang istilah yang disebut
tabu, larangan, dan pamali, yang dihubungkan dengan benda-benda tertentu atau
tempat-tempat tertentu.
9 Ibid., 15 10 Ibid
10
Kepada benda-benda tertentu seperti keris atau persenjataan kuno atau
pemujaan suci, mereka harus menunjukkan tempat yang hidmat, tidak membuat
gaduh. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dari ungkapan jiwa terhadap kekuatan
gaib yang mereka hormati.11
Respon emosional dalam agama monoteisme atau agama yang
bertuhankan Tuhan Yang Maha Esa, mengambil bentuk mencintai-Nya, dengan
jalan melaksanakan segala perintah-Nya dan mejauhi larangan-Nya. Bentuk
respon ini dirumuskan dalam konsep takwa yang merupakan bekal hidup yang
dapat menyelamatkan perjalanan hidup di dunia, menuju kehidupan akherat yang
bahagia.
d. Paham adanya yang kudus
Paham atau keyakinan tentang adanya yang suci termasuk salah satu
unsur agama yang penting. Dalam keyakinan ini dijumpai adanya benda-benda
tertentu yang dianggap suci dan kepadanya para penganut agama harus
menghormatinya. Hal-hal yang dianggap suci itu dapat berupa kitab suci yang
berisi ajaran-ajaran dari suatu agama, tempat-tempat peribadatan seperti masjid,
gereja, wihara, klenteng, pura, peralatan untuk kebaktian seperti pakaian untuk
upacara keagamaan. Benda-benda tersebut dianggap suci karena dapat
dipergunakan untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan. Tuhan diakui sebagai
Yang Maha suci harus didekati dengan cara yang suci pula.12
11 Ibid., 16 12 Ibid.
11
B. Budaya Jawa
1. Pengertian Budaya Jawa
Untuk memudahkan pemahaman dalam pembahasan ini, di sini peneliti akan
membagi dua pokok bahasan, yaitu budaya dan Jawa. Di mana kedua kata tersebut
mempunyai makna dan pemahaman yang berbeda. Sebagaimana dalam KBBI kata
budaya berarti sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.13 Berbeda
dengan pengertian kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan
akal.14
Koentjoroningrat secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi
unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.15
Sedangkan pengertian Jawa secara geologis ialah bagian dari suatu formasi
geologis tua berupa pegunungan yang menyambung dengan deretan pegunungan
Himalaya dan pegunungan di Asia Tenggara, dari mana arahnya menikung ke arah
tenggara kemudian ke arah timur melalui tepi-tepi dataran Sunda yang merupakan
landasan kepulauan Indonesia, yang memiliki luas 7% dari seluruh penduduk
Indonesia.16 Sementara yang disebut orang Jawa menurut Frans Magnis Sweno SJ.
Ialah “orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, yaitu penduduk asli bagian
13 Hasan Alwi dkk, Kamus Besar,169. 14 Koentjoroningrat,Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan(Jakarta: Gramedia,2000),9 15 Ibid.,2. 16 Ibid., 3
12
tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa”.17 Karena di Jawa sendiri
menggunakan empat bahasa, yakni Melayu Betawi yang dipakai penduduk asli
Jakarta, bahasa Sunda Madura yang dipakai penduduk Jawa Barat bagian tengah
dan selatan, Bahasa Madura yang dipakai penduduk Jawa Timur bagian utara dan
beberapa varian bahasa Jawa Cirebon, Surabaya, Kediri, dan Madiun yang sedikit
berbeda.
Jadi dari uraian di atas, dapat kita ambil pemahaman bahwa budaya Jawa
yang dimaksud di sini adalah segala sistem norma dan nilai yang meliputi sistem
pengetahuan, kepercayaan, moral, seni, hukum, adat, bahasa, organisasi
kemasyarakatan, mata pencaharian, peralatan teknologi dan kebiasaan serta
kemampuan yang hidup di pulau Jawa dan masyarakat Jawa.
2. Karakteristik Budaya Jawa
Nilai budaya merupakan gagasan yang dipandang bernilai bagi proses
kelangsungan hidup. Oleh karena itu nilai budaya dapat menentukan karakteristik
suatu lingkungan, kebudayaan di mana nilai tersebut dianut.
Nilai budaya baik langsung ataupun tidak langsung tentu diwarnai tindakan-
tindakan masyarakatnya serta produk-produk kebudayaan yang bersifat material.
Dalam hal ini karakteristik kebudayaan Jawa dibagi menjadi tiga macam:
a. Kebudayaan Jawa pra-Hindu-Budha
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa sebelum datang pengaruh agama
Hindu Budha telah merupakan masyarakat yang susunannya teratur sebagai
17Frans Magnis S,Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa(Jakarta: Gramedia,1991),11
13
masyarakat yang masih sederhana, wajar bila tampak dalam sistem religi
animisme dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh
aktivitas kehidupan masyarakatnya.
Agama asli oleh para pemikir barat disebut religion-magis ini merupakan
nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia khususnya
Jawa. Kepercayaan animisme-dinamisme sangat mempercayai roh-roh halus dan
daya-daya magis tersebut terdapat dalam alam semesta atau alam rohani yang
eksistensinya dapat mempengaruhi dan menguasai hidup manusia. Roh-roh dan
tenaga-tenaga ghaib ini dipandang sebagai Tuhan-Tuhan yang Maha Kuasa
yang dapat mencelakakan serta sebaliknya menolong kehidupan manusia.18
Karena hukum ada yang mengikat dan mengatur seluruh kehidupan,
maka masyarakat Jawa pada masa pra Hindu-Budha bersifat konservatif dan
statis.
b. Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha
Pengaruh kebudayaan India (Hindu-Budha) bersifat ekspansif,
sedangkan kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-
unsur Hinduisme-Budhisme, prosesnya bukan hanya bersifat akulturasi saja,
akan tetapi kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur
agama dan kebudayaan India. Di sini para budayawan Jawa bertindak aktif,
18 Simuh,Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002),114
14
yakni berusaha mengolah unsur-unsur agama dan kebudayaan India untuk
memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan Jawa.
Karena proses penyebaran Hinduisme di Jawa, bukan para pendeta-
pendeta yang aktif, tetapi golongan cendekiawan atau kaum priyai Jawa, maka di
tangan mereka unsur-unsur Hinduisme-Budhisme mengalami Jawanisasi bukan
sebaliknya, sehingga wajar jika agama dan kebudayaan Hinduisme-Budhisme
tidak diterima secara lengkap dan utuh.19
c. Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
Islam datang ke Indonesia dan Jawa khususnya mendatangkan
perubahan besar dalam pandangan manusia terhadap hidup dan dunianya. Islam
memperkenalkan dasar-dasar pemikiran modern. Demikian pula Islam
memperkenalkan Mekah sebagai pusat ruang yang mendorong berkembangnya
kebudayaan persisiran dan membudayakan peta geografis.
Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak dapat menembus
benteng kerajaan Hindu kejawen sehingga penyebaran Islam harus merangkak
dari bawah di daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisiran yang melahirkan
lingkungan budaya baru yang berpusat di pesantren. Baru abad ke-16 M dakwah
Islam mulai menembus benteng-benteng istana, di mana unsur-unsur Islam
mulai meresap dan mewarnai sastra budaya istana, yakni dengan berdirinya
budaya Islam, Demak yang mendapat dukungan dari para wali tanah Jawa.
19 Ibid., 119.
15
Masuknya unsur-unsur Islam dalam bahasa dan sastra Jawa
menyebabkan bahasa ini mulai terpecah dan menjadi dua, yakni bahasa Jawa
kuno dan bahasa Jawa baru. Bahasa Jawa kuno merupakan bahasa sebelum
zaman Islam Demak yang kemudian tersisih dari Jawa, namun tetap bertahan di
pulau Bali.20
Kesultanan Demak sebagai kerajaan Jawa-Islam merupakan titik mula
pertemuan antara lingkungan budaya istana yang bersifat kejawen dengan
lingkungan budaya pesantren.
3. Upacara Ritual Masyarakat Jawa
Terdapat banyak tindakan-tindakan keagamaan dalam sistem ritual
masyarakat Jawa, upacara yang terpenting adalah upacara makan bersama, yang
dalam bahasa Jawa disebut slametan, seperti halnya dalam semua religi, upacara-
upacara kematian juga yang menyangkut berbagai slametan, merupakan hal yang
penting dalam upacara ritual masyarakat Jawa. Berkaitan dengan pemujaan roh
orang yang telah meninggal dan pemujaan roh nenek moyang maka adat untuk
mengunjungi makam keluarga atau disebut nyekar dapat juga dianggap sebagai
bagian dari upacara ritual masyarakat Jawa. Berbagai upacara keagamaan yang
dilakukan dengan slametan oleh orang Jawa juga dilakukan pada upacara yang
berhubungan dengan hari-hari besar Islam. Hal yang sangat penting adalah
berbagai perilaku keramat seperti puasa/syaum, tirakat, bertapa dan bersemedi.
20 Ibid., 127.
16
Selain itu masih ada upacara ritual penting yang perlu mendapat perhatian khusus
yaitu upacra bersih desa.
Diantara upacara ritual masyarakat Jawa antara lain:
a. Slametan/wilujengan
Adalah suatu upacara pokok/unsur terpenting dari hampir semua ritus
dan upacara ritual dalam masyarakat Jawa pada umumnya. Suatu upacara
slametan biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-
anggota keluarga pria dan biasanya tetangga-tetangga terdekat, kenalan-kenalan
yang tinggal tidak terlalu jauh, kerabat-kerabat yang tinggal di kota/dusun yang
sama, ada kalanya teman-teman akrab yang tinggal agak jauh. Upacara ini
biasanya pada malam hari dan bertempat pada serambi depan untuk duduk di
bentang tikar-tikar dan di tengah-tengah ruangan diletakkan dua atau tiga buah
tampah berisi hidangan slametan, terdiri dari nasi tumpeng lengkap dengan lauk
pauk dan hiasannya. Pada waktu modin berdo’a para tamu tetap duduk bersilang
kaki dengan kedua telapak tangan diletakkan di atas lutut dan menghadap ke
atas, para tamu pada waktu-waktu tententu menyeling dengan mengucapkan
“amin”.
Apabila do’a sudah selesai diucapkan, maka modin dipersilakan oleh
tuan rumah untuk bersantap disusul para tamu lainnya. Tamu-tamu biasanya
hanya makan sedikit saja, sedangkan sisanya mereka bungkus di bawah pulang
17
Kecuali itu mereka masing-masing mendapatkan berkat, yaitu besek berisi
makanan serupa dengan yang dihidangkan untuk slametan.21.
Adapun do’a ini mulanya adalah rupa-rupanya suatu ucapan dari
keinginan manusia yang diminta daripada leluhur, dan juga ucapan hormat dan
pujian kepada leluhur itu. Biasanya do’a diiringi dengan gerak dan sikap-sikap
tubuh yang pada dasarnya merupakan gerak dan sikap-sikap menghormati dan
merendahkan diri terhadap para leluhur, terhadap para dewata, atau terhadap
Tuhan. Kecuali itu juga arah muka atau kiblat pada waktu mengucapkan do’a,
selain itu pula dalam do’a ada suatu unsur yang lain, yakni kepercayaan bahwa
kata-kata yang diucapkan itu mempunyai akibat yang gaib, dan seringkali kata
yang diucapkan dianggap mengandung kekuatan sakti.22
b. Upacara-upacara sepanjang hidup
Kebudayaan agama Jawa mempunyai serangkaian upacara tersendiri
untuk merayakan berbagai peristiwa penting sepanjang lingkaran hidup
individu. Upacara-upacara tersebut di antaranya tingkepan, melahirkan, upacara
memberi nama, upacara kekah dan upacara pemotongan rambut, upacara
menyentuh tanah, upacara khitanan.
Tingkepan merupakan upacara yang diadakan saat kandungan berumur 7
bulan, yang antara lain terdiri dari suatu slametan yang dinamakan dengan
21 Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 344. 22 Koentjoroningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial(Jakarta: Dian Rakyat, 1992),264.
18
slametan mitoni, dan slametan mumuli sederek yang diadakan pada bulan 9 dari
kehamilan.23
Upacara yang dilakukan ketika seseorang melahirkan, seorang dukun
bayi atau bidan harus melakukan berbagai upacara baik yang praktis maupun
sebagai perlambang saja. Segera setelah bayi lahir ayahnya harus membisikkan
adzan ke telinga kanan sang bayi dan qhomat ke telinga kirinya. Orang yang
bukan santri dan biasanya tidak dapat mengucapkan kedua kalimat itu, dapat
meminta tolong orang lain. Setelah selesai melakukan rangkaian yang terpenting
yang berhubungan dengan kelahiran bayi yang baru itu, dukun memandikan
wanita yang baru melahirkan, yang kemudian dipijat dan dibalur dengan ramuan
parem dan bobokan. Dan menyuruhnya minum jamu. Pengobatan seperti ini
diberikan terus menerus selama beberapa hari, sampai pasien merasa
kekuatannya pulih kembali. Selain itu terdapat slametan puput puser, yaitu
slametan yang diadakan berhubungan dengan terlepasnya tali pusat. Tali pusat
yang terlepas dan telah menjadi kering dibungkus di dalam sepotong kain
bersama beberapa buah rempah-rempah dan kemudian dijahit rapat menjadi
jimat yang dianggap mengandung kekuatan ghaib.24
Upacara memberi nama pada hari kelahiran bayi diadakan upacara
disebut slametan brokohan. Upacara ini sekarang sudah jarang dilakukan para
23 Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa,350 24 Ibid., 352.
19
keluarga Jawa biasanya melakukan upacara pemberian nama pada hari ke-7 dari
kelahiran.25
Upacara kekah, orang-orang santri di desa dan di kota yang taat
menjalankan syari'at agama Islam, mengadakan upacara berkorban pada hari
ketujuh di kelahiran bayi yang disebut dengan upacara kekah. Upacara ini
sekaligus memberi nama dan menyukur habis semua rambut bayi kecuali bagian
rambut di atas ubun-ubun.26
Tidak siten atau upacara menyentuh tanah, upacara ini merayakan
sentuhan pertama bayi dengan tanah, upacara ini selalu dilakukan pada pagi hari
dengan menggunakan berbagai benda seperti kurungan ayam, sebuah tampah
dengan nasi kuning dengan berbagai mata uang.27
Khitanan, biasanya diadakan dengan suatu pesta yang sama besarnya
dengan suatu pesta perkawinan. Orang Jawa pada umumnya menganggap bahwa
khitanan suatu upacara untuk meresmikan diri masuk Islam.28
c. Upacara kematian
Apabila ada orang yang meninggal, maka yang pertama dilakukan oleh
seseorang Jawa adalah memanggil modin dan mengumumkan kematian pada
para tetangga dan sanak saudara. Apabila modin tiba, ia memandikan jenazah
dengan bersama-sama orang lainnya yang dibaringkan di atas 7 buah batang
25 Ibid., 354. 26 Ibid. 27 Ibid., 355. 28 Ibid., 357.
20
pisang yang masing-masing panjangnya ± 1 m dan disusun rapat berdempetan.
Setelah selesai dimandikan, dikafani, disholati dan dikuburkan.29
d. Nyekar
Adat untuk mengunjungi makam, merupakan suatu aktivitas upacara
yang sangat penting dalam sistem religi orang Jawa penganut agama Jawi.
Terutama pada tahun pertama setelah seseorang anggota keluarga meninggal
dan ikatan-ikatan emosionalnya masih kuat, sehingga frekuensi mengunjungi
makamnya masih tinggi. Makam biasanya dikunjungi sehari sebelum
mengadakan salah satu upacara lingkaran hidup dalam keluarga, atau suatu
upacara yang berhubungan dengan hari besar Islam, tetapi yang terpenting
adalah selama pekan sebelum awal puasa dalam bulan Ramadhan, dan pekan
setelah Hari Raya.
Pada waktu nyadran ini makam-makam dibersihkan dan ditaburi bunga-
bunga, yang disusul dengan pembacaan do’a sambil membakar dupa. Apabila
tidak ada satupun pengunjung suatu makam yang dapat membacakan doa, maka
di sekitar tempat itu selalu ada orang yang siap melakukannya dengan upah
sekedarnya. Makam juga dikunjungi untuk memohon doa restu (pangestu)
kepada nenek moyang, terutama bila seseorang menghadapi suatu tugas berat,
akan bepergian jauh, atau bila ada keinginan yang sangat besar untuk
memperoleh sesuatu hal.30
29 Ibid., 359. 30 Ibid., 364.
21
e. Perayaan upacara tahunan
Banyak dari perayaan Islam diselenggarakan di Jawa dengan slametan
yang berbeda-beda untuk tiap peristiwa, dan dengan berbagai sajian yang
berbeda pula. Hari besar Islam yang pertama jatuh pada tanggal 10 Syura, yaitu
bulan pertama dari perhitungan tahun Islam. Para penganut Agami Jawi cukup
merayakannya dengan membuat bubur sura. Sedangkan keluarga-keluarga
santri merayakannya dengan berpuasa pada malam hari menjelang tanggal 10
Syura tersebut.
Bulan kedua yakni Sapar, berlalu tanpa ada kegiatan upacara
keagamaan, kecuali hari Rabu yang terakhir, yaitu Rebo Wekasan yang
dirayakan khusus oleh penganut Jawi di dalam suasana riang gembira.
Pada tanggal 12 bulan Maulud orang memperingati hari wafat dan hari
lahirnya Nabi Muhammad (Muludan) baik para penduduk desa maupun para
priyayi di kota-kota yang menganut agami Jawi, mengadakan slametan. Di
Kraton Surakarta dan Yogyakarta, Muludan dirayakan dengan menggunakan
pesta sekaten dan upacara kerajaan garebeg mulud.
Hari besar berikutnya adalah pada tanggal 7 Rejeb untuk memperingati
kenaikan Nabi Muhammad ke surga. Pada perayaan ini diadakan suatu slametan
yang dinamakan Rejeban atau Mi’radan. Orang Jawa penganut agami Jawi tidak
menganggap penting perayaan ini, berbeda dengan orang-orang santri, di hari itu
pergi ke masjid untuk menghadiri upacara selawatan.
22
Pada tanggal 15 Ruwah pada perayaan Nispu Sa’ban, atau Lailatu
‘Inishfmin Sya’ban, yaitu suatu saat di malam hari ketika Allah menentukan
siapa yang akan meninggal dalam tahun itu, para penganut agami Jawi
mengadakan slametan yaitu slametan barakah, dan lek-lekan. Orang santri
biasanya pergi ke masjid untuk membaca ayat-ayat suci sampai larut malam.
Pada tanggal 29 Ruwah adalah hari terakhir sebelum puasa. Orang
Agami Jawi yang sudah tidak memiliki orang tua lagi, atau salah satu dari
keduanya sudah meninggal, kadang-kadang mengadakan slametan untuk
peringatan orang meninggal. Dalam pekan sebelum puasa orang mengunjungi
makam. Sehari sebelum puasa dimulai, diadakan upacara mandi dan cuci
rambut. Bulan puasa dimulai pada tanggal 1 Poso, yang ditentukan berdasarkan
pengamatan munculnya bulan baru pada malam sebelumnya (ru’yah).
Pada tanggal 7 Sawal diadakan slametan yang dianggap masih ada
hubungan dengan berakhirnya masa berpuasa, yaitu slametan kupatan. Hari
besar berikutnya adalah pada waktu puasa jemaah di Mekkah mengadakan
upacara kurban, yang dagingnya dibagi-bagikan kepada para fakir miskin.31
f. Tirakat
Adalah usaha-usaha yang disengaja dalam bentuk menjalani kesukaran
dan kesengsaraan dengan maksud-maksud agama yang berakar dari asumsi
bahwa usaha-usaha semacam itu dapat membuat orang teguh imannya dan
mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam
31Ibid., 366-370.
23
hidupnya.32 Tirakat itu dapat mengambil bentuk lain puasa mutih (pantang
makan selain nasi), puasa ngebleg (puasa dengan menyendiri dalam suatu
ruangan), puasa patigeni (puasa dalam suatu ruangan yang pekat, tidak tembus
cahaya).
g. Tapabrata
Adalah ibadah yang dianggap penting dengan anggapan bahwa dengan
menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu
manahan hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan tententu. Tapa ini
berbentuk semedi atau laku tententu. Ada banyak bentuk tapa, yaitu antara lain
tapa ngalong (dengan menggantung terbalik, kedua kaki diikat pada dahan
pohon), tapa ngluwat (bersamadi di samping makam seseorang dalam jangka
waktu tententu), tapa bisu (menahan diri dari berbicara), tapa bolot (tidak mandi
dan tidak membersihkan diri dalam jangka waktu tententu), tapa ngidang
(menyingkirkan diri ke dalam hutan),tapa ngrumbung (menyendiri dalam hutan
dan hanya makan tumbuh-tumbuhan).33
h. Semedi
Semedi bisa disebut juga dengan meditasi, bersih dusun upacara yang
melibatkan semua warga dusun yang dilakukan di bulan Sela (Dzulqoidah) yang
berbentuk pembersihan diri dari kejahatan, dosa dan segala yang mengakibatkan
32 Murtadho, Islam Jawa, Keluar dari Kemelut Santri Vs Abangan (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002), 35.
33 Ibid., 36.
24
kesengsaraan. Ngruwat adalah upacara pembersihan untuk membebaskan
seseorang dari suatu kemalangan yang bukan akibat dari kesalahannya sendiri.34
i. Bersih desa
Upacara bersih dusun dilakukan sekali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Sela
yakni bulan kesebelas dalam tanggalan Jawa. Walaupun demikian tanggal
dilakukannya berbeda-beda tiap desa, hal ini tercermin dari berbagai aspek dari
perayaan yang diselenggarakan berkenaan dengan upacara itu, yang
mengandung unsur-unsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga
masyarakat. Akan tetapi perayaan ini juga menadakan adanya sisa-sisa adat
penghormatan terhadap roh nenek moyang. Upacara biasanya berlangsung di
suatu tempat dekat makam pendiri desa atau di rumah kepala desa. Perayaan
bersih dusun diadakan dengan suatu slametan yang dinamakan sedhekah bumi
atau sedhekah legena.35
4. Sistem-sistem Upacara Keagamaan
Kelakuan keagamaan atau religious behavior. Dunia gaib bisa dihadapi
manusia dengan berbagai macam perasaan, ialah cinta, hormat, bakti, tetapi juga
takut, ngeri dsd., atau dengan suatu campur dari berbagai macam perasaan tadi.
Perasaan-perasaan tadi mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan
yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib. Kecuali itu di dalam hal
melakukan kelakuan-kelakuan keagamaan itu, manusia selalu dihinggapi suatu
34 Ibid. 35 Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa, 374-375
25
emosi keagamaan. Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan
yang baku disebut upacara keagamaan atau religious ceremones, atau rites.
Menurut Koentjaraningrat tiap upacara keagamaan dapat terbagi dalam empat
komponen antara lain:
a. Tempat upacara
Tempat upacara yang keramat adalah biasanya suatu tempat yang
dikhususkan dan tidak boleh didatangi orang yang tidak berkepentingan.
Bahkan mereka yang mempunyai kepentingan tidak boleh sembarangan di
suatu tempat upacara. Mereka harus hati-hati dan memperhatikan berbagai
macam larangan dan pantangan.
Tempat upacara bisa pula terletak di suatu tempat pusat desa. Tempat
itu dipakai untuk melakukan upacara-upacara mengenai seluruh desa, dan
dianggap pusat dari seluruh desa. Pada pusat-pusat upacara desa serupa sering
ada bangunan-bangunan tertentu seperti tiang-tiang upacara dari kayu atau batu,
tahta-tahta batu, panggung batu, atau suatu rumah upacara. Kuburan biasanya
juga merupakan suatu tempat keramat yang dipakai sebagi tempat upacara
keagamaan. Hal ini mudah dapat di mengerti karena kuburan dibayangakan
sebagai tempat di mana orang dapat paling mudah berhubungan dengan ruh-ruh
nenek moyang yang meningal. Penghormatan kuburan nenek moyang adalah
memang suatu adat yang kita kenal tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di
hampir seluru dunia.36
36 Koentjoroningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial,253.
26
b. Saat upacara
Saat-saat upacara biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan
gawat, dan yang penuh dengan bahaya gaib. Saat-saat itu biasanya saat-saat
yang berulang tetap, sejajar dengan irama gerak alam semesta.
Suatu saat upacara yang amat lazim adalah misalnya saat pergantian
siang dan malam. Hal ini kita lihat misalnya pada agama Islam, yang membuat
waktu magrib sebagai waktu bagi umatnya untuk sholat, serupa dengan banyak
religi yang juga membuat waktu senja sebagai saat upacara.37
c. Benda-benda dan alat-alat upacara
Benda-benda upacara merupakan alat-alat yang dipakai dalam hal
menjalankan upacara-upacara keagamaaan. Alat-alat itu bisa seperti wadah
untuk tempat sajian, alat kecil seperti sendok, pisau dsb. Untuk sajian juga,
sering kali senjata, bendera, dsb. Alat-alat upacara yang lazim di mana-mana
adalah patung-patung yang mempunyai fungsi sebagai lambang dewa atau ruh
nenek moyang yang menjadi tujuan dari upacara. Serupa dengan itu, topeng
juga merupakan benda upacara yang penting dari religi berbagai suku bangsa di
dunia. Topeng-topeng itu juga melambangkan dewa-dewa dan ruh-ruh nenek
moyang, dan dipakai dalam upacara-upacara keagamaan yang berupa tari-tarian
atau permainan seni drama yang keramat. Adapun suatu golongan benda-benda
yang hampir secara universal dipakai dalam upacara keagamaan adalah alat-
alat bunyi-bunyian. Hal ini disebabkan karena suara, nyanyian, dan musik,
37 Ibid., 254.
27
merupakan suatu unsur yang amat penting dalam upacara keagamaan sebagai
hal yang bisa menambah suasana keramat. Kecuali itu tarian suci atau
permainan seni drama keramat dalam upacara selalu membutuhkan iringan
suara.38
d. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara
Orang-orang yang pemuka upacara keagmaan dalam berbagai macam
religi dari berbagai macam suku bangsa di dunia biasanya terbagi dalam dua
golongan antara lain:
1) Pendeta
Pendeta adalah orang yang karena suatu pendidikan yang lama menjadi
ahli dalam hal melakukan pekerjaan sebagai pemuka upacara keagamaan.
Berbagai macam upacara keagamaan sering harus dilakukan dengan
seteliti-telitinya, menurut aturan-aturan adat-istiadat keagamaan. Kesalahan
kecil sering dianggap dapat membatalkan seluruh maksud dari upacara,
bahkan dapat menimbulkan bahaya gaib. Tiap bagian dari rangkaian
perbuatan yang luas dan lama. Kecuali ahli dalam hal melakukan upacara,
pada khususnya untuk keperluan upacara itu para pendeta sering juga
mempelajari dan menyelidiki banyak hal lain.
2) Dukun atau syaman
Syaman atau sering disebut sebagai dukun;tetapi istilah itu baiknya
dipakai untuk segolongan dukun yang melakukan semacam upacara yang
38 Ibid., 256.
28
khusus. Banyak suku bangsa di daerah Siberia Utara dan timur, seperti
Yugakir, Tsyuksyi, atau berbagai suku bangsa Eskimo di pantai Kanada
Utara, mengenal upacara-upacara mengundang ruh nenek moyang dengan
memakai tubuhnya sendiri sebagai tempat untuk mengundang ruh itu.
Teknik mereka untuk melakukan hal itu adalah cara melakukan tarian yang
berlangsung lama sekali, yang membutuhkan banyak tenaga dan yang
diiringi bunyi lagu yang berulang-ulang sama saja. Dalam keadaan dan
suasana yang serupa itu penari akan mencapai suatu keadaan trance.
Pikirannya tidak sadar lagi, biasanya ia akan jatuh berguling-guling dengan
badan tegang bergemetaran, dan dari mulutnya akan keluar buih, dan ia
akan mengigau-igau. Pada saat trance itu ia dianggap dimasukin oleh ruh,
dan orang-orang bisa menghubungi ruh itu.39
C. Islam dan Budaya Jawa
1. Dasar-dasar Budaya Jawa tentang Islam
Membahas tentang budaya sesuatu maka tidak akan lepas kaitannya dengan
adat/tradisi maupun kebiasaan dari tempat budaya berasal, baik budaya tersebut
mengandung nilai yang baik maupun mengandung nilai yang tercela. Adapun
budaya sendiri menurut pengertiannya adalah semua tindakan manusia dalam
mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan.40
39 Ibid., 259. 40 Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. NG. Ronggowarsito (Yogyakarta:
Narasi, 2003), 24.
29
Lain daripada itu, Koentjoroningrat menyatakan bahwa “unsur-unsur
universal sebuah kebudayaan meliputi tujuh sistem, yaitu sistem religi atau sistem
keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan (sistem sosial), sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan
peralatan”.41 Semua sistem yang terkandung dalam budaya tersebut berada dalam
kehidupan seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat primitif maupun
masyarakat modern. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwasannya Islam
datang ke Indonesia khususnya di pulau Jawa membawa perubahan yang sangat
besar dalam pandangan manusia terhadap hidup dan dunianya.
Menurut beberapa sejarawan proses Islamisasi/masuknya Islam di Jawa
masih terjadi silang pendapat dan menjadi bahan perdebatan. Menurut B.J.O.
Schrieke, Islam masuk di Jawa pada tahun 1416 M dengan berdasarkan atas berita
dari Ma Huan, yaitu seorang muslim Cina yang mengunjungi daerah pesisir Jawa.
Berbeda dengan pendapat Schrieke, menurut J.P. Moquette, kedatangan Islam di
Jawa jauh lebih awal dari perkiraan tahun tersebut, terbukti dengan ditemukannya
sebuah prasasti yang berupa batu nisan tertulis sebuah nama Fatimah binti Maimun
di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H atau 1082 M.42 Dari beberapa
pendapat tersebut baru sejak akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14, terutama ketika
Majapahit mencapai puncak kebesarannya sehingga mendekati masa-masa
keruntuhannya, bukti-bukti Islamisasi dapat diketahui lebih banyak.
41 Ibid., 24.
30
Dari proses Islamisasi tersebut, maka dapat diketahui dasar-dasar budaya
Jawa tentang Islam, yaitu di antaranya tentang wahdatul wujud di mana adanya
pemahaman bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajaran budaya
Jawa hal ini termasuk ke dalam paham manunggaling kawulo Gusti. Sedangkan
dalam Islam sendiri hal tersebut masuk ke dalam mistik Islam (tasawuf).
Lain daripada itu masyarakat juga mempunyai kepercayaan bahwasannya
budaya Jawa memiliki dua bagian yakni budaya lahir dan budaya batin. Budaya
lahir berkaitan dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Dalam hal itu budaya Jawa memiliki kaidah-kaidah yang dapat dengan
mudah diidentifikasi berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai
pengejawantahan nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakat. Sebaliknya
budaya batin terkait dengan persoalan yang bersifat supranatural atau hal-hal yang
tidak dapat dijangkau berdasarkan perhitungan empirik/objektif.
Adapun dasar-dasar Islam lainnya, Dhanu Priyo Prabowo menyatakan dalam
tulisannya bahwa “orang Jawa urip mung sadremo nglakoni dan gumantung
karsaning pangeran”.43 Oleh sebab itu orang Jawa mengidentifikasikan dirinya
sebagai wayang yang segala yang dialaminya ditentukan oleh dalang. Di mana
dalam hal ini wayang sebagai simbol manusia, dalang sebagai simbol Tuhan.
Sedangkan mengenai perihal kematian, masyarakat Jawa berkeyakinan bahkan
sebagai wujud keikhlasan mereka, mereka selalu menyatakan bahwa kematian
42 Ibid., 11. 43.Ibid., 27.
31
seseorang itu selalu dinyatakan dengan sowan dhateng ngarsaning pangeran atau
wangsul dhateng pangayunaning pangeran.
Dalam kehidupan masyarakat kehidupan orang Jawa memiliki semangat
hidup yang dilandasi sikap tepa slira dan aja dhumeh sampai mereka memiliki pola
pikir untuk tidak menjadi adigang adigung adiguna. Dalam Islam sendiri sangat
dianjurkan untuk hidup bermasyarakat sebagaimana anjuran Nabi Muhammad
dalam haditsnya yang menerangkan bahwa saudara satu dengan saudara yang lain
adalah satu, dan di antara mereka jangan sampai saling menyakiti.
Dari beberapa dasar-dasar di atas dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar
tersebut muncul dari budaya Jawa itu sendiri dan Islam menyesuaikan diri yang
akhirnya Islam dapat dibumikan di pulau Jawa.
2. Sinkretisasi Budaya Jawa terhadap Islam
Sinkretisasi merupakan salah satu fenomena yang mungkin terjadi dalam
sejarah agama dalam membina kebudayaan. Adanya kemungkinan sinkretisasi itu
bisa ditelusuri dalam titik-titik singgung antara agama dengan agama lainnya. Dan
antara agama dengan kebudayaan tententu, adapun arti dari sinkretisasi adalah
penyesuaian antara dua aliran.44
Berbicara tentang sinkretisasi Islam dan budaya Jawa, pada kenyataannya
agama Islam pada saat itu relatif mudah diterima oleh orang Jawa baik masyarakat
awam maupun bangsawan. Hal ini dikarenakan ajaran-ajaran agama yang
terkandung dalam Islam itu sendiri masih berbau mistik (tasawuf). Dengan kata lain
44 Hasan Alwi, Kamus, 1072.
32
karena ajaran tasawuf bersifat supel dan suka berasimilasi serta menerima aneka
warna tradisi setempat.
Adapun titik kesesuaian itu adalah adanya paham bahwa manusia dapat
bersatu dengan Tuhannya (wihdatul wujud).45 Sesuai dengan paham yang dianut
masyarakat Jawa pada waktu itu, ajaran/paham wihdatul wujud diramu menjadi
ajaran/paham manunggaling kawula Gusnti yang dianut oleh sebagian masyarakat
Jawa dengan bercirikan kejawen. Sebagaimana contoh dari ajaran kejawen tersebut
adalah shalat lima waktu tidak dilaksanakan dengan taat oleh masyarakat Jawa,
penganut ajaran tersebut, perintah syaum yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
syari'at Islam tetapi disesuaikan dengan tradisi Jawa. Misalnya poso mutih, poso
ngebleg, dan poso patigeni. Dengan demikian agama Islam di daerah pedalaman
(Jawa) menjadi agama Islam kejawen yang bersifat sinkretis. Menurut Simuh
sebagaimana yang dikutip oleh Dhanu Priyo Prabowo bahwa:
Penganut paham sinkretisme menganggap bahwa semua agama adalah baik dan benar dan mereka gemar memadukan unsur-unsur dari berbagai agama dan kepercayaan yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan.46
Secara etimologis sinkretisme berasal dari perkotaan syin dan kretiozein atau
kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.47
Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang fasilitas dan teologi untuk
menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan.
45 .Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh, 19 46 Ibid., 22. 47 Durrori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gamamedia, 2000), 87.
33
Lain daripada itu Darrori Amin mengutip perkataan dari Simuh bahwa: Sinkretisme
dalam beragama adalah suatu sikap/pandangan yang tidak mempersoalkan benar
salahnya sesuatu agama, atau suatu sikap yang tidak mempersoalkan murti atau
tidaknya suatu agama. Oleh sebab itu bagi yang menganut paham ini agama
dipandang baik dan benar, dan mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik
dari berbagai agama. 48
Ajaran agama Islam yang bersifat/bercorak sinkretis ini dapat merusak ke
seluruh lapisan masyarakat Jawa baik kalangan bangsawan kraton maupun
masyarakat pedesaan. Sebagaimana salah satu raja Jawa yang terkenal, Sultan
Agung dapat dikatakan sebagai raja yang berhasil mengsinkretiskan ajaran Islam
dengan budaya Jawa. 49 Sampai pada akhirnya beliau memiliki gelar senopati ing
Ngalaga Saiydin Panatagama. Gelar tersebut menunjukkan bahwa beliau adalah
orang yang menguasai urusan kerajaan sekaligus urusan agama. Pada saat itu juga
beliau berhasil memadukan unsur penanggalan masehi dengan hijriyah sehingga
terbentuklah sistem/penanggalan Jawa. Hal ini terjadi pada awal abad ke-16.
D. Sejarah Sri Aji Jayabaya
Pembahasan tentang raja Jayabaya menunjukkan esensi dialogis fakta-fakta
sejarah Jayabaya atau Sri Aji Jayabaya bernama lengkap dengan gelarnya Sri
Maharaja Sangmapanji Jayabaya Sri Warmeswara Madhusudhanawatara Anindhito
48 Ibid., 48 49 Dhanu Priyo Prabowo,Pengaruh,22
34
Sahtisingha Parakrama Uttunggadewa. Gelar Jayabaya ini ditemukan pada prasasti
Ngantang dan prasasti padegelan II.50 Sejarah Jayabaya penting diketahui secara
kronologis dan bukan memandangnya dalam fokus atau petakan tententu dalam cara
pandang sejarah.
Sejarah Jayabaya dalam berbagai aspek hendaknya dibahas dalam kajian
analisis mulai dari sejarah Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah hingga
perkembangan dinasti I Cana di Jawa Timur. Pembahasan analitik dalam bentuk
dialog faktual historis, sejarah Jayabaya menunjukkan ketersambungan sejarah
dalam proses continuity and change, change intoprogrer atau sejarah sebagai proses
kontinyuitas yang terbangun ke arah kemajuan.51
Runtutan kronologi sejarah Jayabhaya membahas aspek-aspek, antara
lain:pertama, asal mula Jayabaya dan kerajaan Kediri, kedua proses pembentukan
kerajaan Kediri, ketiga silsilah Jayabaya, keempat indikasi-indikasi awal masuknya
budaya asing muslim masa Jayabaya. Pembahasan sejarah Jayabaya diuraikan dalam
kajian singkat di bawah ini.
1. Asal Mula Sri Aji Jayabaya
Sri Aji Jayabaya diketahui sebagai raja Kediri keturunan Airlangga dari
garis Panjalu. Airlangga sendiri secara berurutan mempunyai garis keturunan
dengan Rajya-Rajya Mataram Kuno Jawa Tengah. Berkaitan dengan asal mula Sri
Aji Jayabaya nampaknya perlu ditunjukkan dalam beberapa bagian periode dalam
50 M. Habib Mustopo, Bahan Kuliah Sejarah Indonesia Lama (Malang: Fak. Sastra Universitas Negeri Malang, 2002).
51 Ruslan Abulgani, Penggunaan Ilmu Sejarah (Bandung: Prapantja,1963), 35.
35
bentuk penjelasan silsilah Rajya-Rajya Mataram Kuno. Asal mula Sri Aji Jayabaya
dimulai dari Rajya-Rajya Mataram Kuno di Jawa Tengah berlanjut Mataram Kuno
di Jawa Timur, disertai silsilah rajya-rajya pasca Airlangga sebagaimana penjelasan
berikut ini:
a. Raja-raja Mataram Kuno Jawa Tengah
Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah disebut dengan nama
Kadatwan i Mdang i Bhumi Mataram.52 Mataram Kuno di Jawa Tengah
diketahui melalui prasasti Mantyasih prasasti wanwa tengah dan prasasti
siwagreha.53 Mataram Kuno Jawa Tengah diperintah oleh satu keluarga kerajaan
atau dinasty dalam bahasa Jawa disebut wangsa. Prasasti kalasan 778 masehi
menyebut Sailendra wangsa.54 Dengan kuat bahwa pendiri dinasti Mataram
Kuno Jawa Tengah adalah Dapunta Sailendra.
Prasasti Canggal disebut prasasti gunung wukir tahun 732 M
menunjukkan setelah Dapunta Sailendra penerusnya adalah Sanjaya dengan
menyebut wilayah kerajaannya sebagai Bhumi Mataram. Nama Sanjaya dalam
prasasti Mantyasih disebut sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Prasasti
Canggal memberikan informasi bahwa sebelum raja Sanjaya berkuasa di
Mataram adalah Sanna, yang merupakan saudara ibu Sanjaya yang bernama
Sanaha. Alasan digantinya Sanna oleh Sanjaya adalah kemungkinan Sanna tidak
52 Ismail Luthfi Ibnu Iskak, Pengaruh Unsur Kebudayaan India Kuno di Nusantara Abad V-X Masehi (Fak. Sastra UM Prodi Sejarah, 2001), 13.
53 Ibid., 14. 54 Ibid.
,
36
mempunyai keturunan. Sanjaya memerintah Mataram dengan pusat kerajaannya
di Poh Pitu, dalam prasasti Mantyasih tahun 901 M disebut pusat
pemerintahannya dengan “kadi landap nyan paka sapatha kamu rahyan ta
rumuhun rimdan ri poh pitu”, artinya seperti ketajaman kutukan raja yang
didewakan di masa lalu yang bertempat tinggal di poh pitu.55
Silsilah Rajya-rajya Mataram Kuno di Jawa Tengah nampak tidak
sulit, hal ini disebabkan dengan ditemukannya lempeng tembaga piagam
Balitung yang disebut prasasti Wanua Tengah III 908 M. Prasasti ini menyebut
nama-nama rajya setelah Sanjaya, secara berurutan nama-nama Rajya-rajya
yang memerintah kerajaan Mataram adalah sebagai berikut:
No. Nama Raja Masa Berkuasa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sanjaya Rake Panangkarang Rake Panaraban Rake Warak Dyah Manara Dyah Gula Rake garung Rake Pikatan Dyah Saladu Rake Kayuwangi Dyah Lokapala Dyah Tagwes Rake Panumwangan Dyah Dewendra
717-746 M 746-784 M 784-803 M 803-827 M 827-828 M 828-847 M 847-855 M 855-885 M 885 M 885-887 M
No. Nama Raja Masa Berkuasa
55 Bachari, Beberapa Pertimbangan terhadap Permasalahan Pemindhaan Pusat Pemerintahan (Jakarta: Proyek Penelitian dari Jawa Timur ke Jawa Timur pada Abad ke-X M Purbakala, 1997), 4.
37
11 12 13
Rake Gurun Wangi Dyah Bhadra ng M Rake Wangkalhumalang Dyah Jba
Rake Watu Kuro Dyah Balitung
887 M 894-898898-913 M56
Dari beberapa prasasti lain ditemukan nama- ja Mataram
setelah
Mataram Kuno di wilayah timur antara lain
prasast
nama lain ra
Balitung, yang memberikan informasi bahwa Mataram mengalami
perpindahan pusat kerajaan di wilayah Timur Raja yang dimaksud adalah Rake
Hino Po Daksa, Rake Layang Dyah Tulodong, Rake Sumba (Pangkaja) Dyah
Wawa, dan Rake Hake pu Sindok.57
Perpindahan pusat kerajaan
i Ganesa 826 Saka, prasasti Kinawu 829 Saka, prasasti Sugih Manik 837
Saka, prasasti Harinjin 726 Saka, prasasti Batu Dikinawa 849 Saka, dan prasasti
Sanguran 850 Saka.58 Perpindahan kerajaan Mataram Kuno melalui prasasti-
prasasti yang ditemukan menunjukkan adanya pemisahan perhatian secara terus
menerus pemimpin Mataram Jawa Tengah kepada Jawa Timur. Pemindahan
pusat kerajaan Mataram Kuno menunjukkan berbagai analisis historis antara
lain bertalian dengan latar belakang pemindahannya yaitu: pertama, pusat
kerajaan Mataram Kuno dipindah karena adanya perang saudara antara Vansa
Sanjaya dan Vansa Sailendra. Kedua, terjadinya bencana alam terus menerus
dari gunung Merapi. Ketiga, adanya kelelahan luar biasa rakyat Mataram Kuno
yang disebabkan oleh kerja pembuatan bangunan suci di Borobudur dan
Prambanan. Kemungkinan-kemungkinan sebagai sebab perpindahan pusat
56 Ismail Luthfi, Pengaruh, 19. 57 , Sejarah Indonesia Kuno (Fak. Sastra UGM, Prodi Sejarah, 1995), 4-5. Ismail Luthfi Ibnu Iskak
38
kerajaan Mataram Kuno ini menjadi analisis wajib bagi pembahasan
kesejarahan kerajaan-kerajaan kuno di Jawa Timur. Berkaitan dengan silsilah
raja dan kerajaannya, analisis lain tentang perpindahan pusat kerajaan Mataram
Kuno tidak tertutup kemungkinan, karena pada dasarnya pembahasan sejarah
lebih cenderung pada penawaran terhadap kemungkinan-kemungkinan dalam
interpretasi historis.59
b. no di Jawa Timur
di Jawa Timur hendaknya dimulai dari
raja Si
atwan rahyangta i bhumi Mataram i wethu
gaduh”
a
berpindahnya pusat kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah ke Jawa Timur
Raja-raja Mataram Ku
Silsilah raja-raja Mataram Kuno
ndok. Dasar yang diambil dari prasasti pu Sindok yang dibaca oleh
Porbatjaraka dalam bentuk kutukan:
“Kita prasiddha manraksa kad
. Kutukan ini dibaca dari prasasti Anjukladang (O.J.O., XLVI) dan
prasasti Paradah (O.J.O., XXI),60 Prasasti lain menunjukkan dan menegaskan
bahwa raja pu Sindok sebagai raja Mataram kuno pertama yang berkedudukan
di wilayah Jawa Timur, adalah prasasti Sugih Manek (O.J.O., XXX) dan
prasasti Paradah (O.J.O., XXXI) dalam dua prasasti ini kutukan di atas terbaca,
“Kita prasiddka manraksa kadatwan Sri Maharaja I mdang Bhumi Mataram”.61
Bukti-bukti ini oleh N.J. Krom ditarik menjadi kesimpulan sementara bahw
58 Boechari, Beberapa, 1.
59 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982), 63.
60 Boechari, Beberapa, 1. 61 Ibid.
39
dilakukan oleh pu Sindok, selanjutnya pu Sindok menjadi raja pertama Mataram
Kuno di Jawa Timur dengan gelar Sri Maharaja Rake Halu pu Sindok Sri
Anawikramma Dharmmotungga Dewa.62
Prasasti Cunggrang menunjukkan bukti autentik tentang nama
permaisuri pu Sindok. Prasasti Cunggrang menyebutkan tentang peresmian sima
Cunggr
yang bernama Sri
Isanatu
mpuan bernama
ang yang berkaitan dengan tempat suci bernama Sang Hyang Drarmma
Srana Lug Pawitra. Prasasti ini dikeluarkan pada tanggal 14 Agustus 933 oleh
Rakriyan Sri Maha Mantri pu Sindok sang Sri Sanattungga Dewa Wijaya dan
Rakriyan Sri Parameswari pu Kbi. Nama pertama adalah pu Sindok yang
menggunakan gelarnya ketika pada masa pemerintahan Rake Sumba Dyah
Wawa. Nama kedua dimaksud adalah permaisurinya pu Kbi.63 Gelar pada nama
pu Sindok membawa pada interpretasi dua arah, yaitu pertama apakah pu
Sindok keturunan raja atau bukan? Kedua, kalau pu Sindok bukan keturunan
raja mengapa dia menggunakan gelar Maha raja? Apakah kemungkinan yang
mempunyai keturunan raja adalah pu Kbi permaisurinya?
Prasasti Calcutta yang dikeluarkan oleh raja Airlangga menyebutkan raja
pu Sindok digantikan oleh anak perempuannya
nggawijaya dengan suaminya bernama Dyah Loka pala.
Sri Isana Tungga Wijaya digantikan putranya yang bernama Makutawangsa
Wardhana. Makuthawangsa Wardhana mempunyai anak pere
62 Ismail Lutfi, Pengaruh, 13. 63 Habib Mustopo, Prasasti Cunggrang (IKIP Malang, 1991).
40
Guna Priya Dharma atau Mahendradatta yang bersuamikan raja Udayana.64 Hal
lain raja Mataram Kuno di Jawa Timur setelah Makuthawangsa Wardhana
adalah Sri Dharmawangsa Tguh Anantawikramaottungga Dewa yang terkenal
dengan sebutan Dharma Wangsa yang berkuasa sampai pada tahun 1016
selanjutnya kerajaan dipegang oleh raja Airlangga.
Prasasti pucangan 963 Saka atau 1041 H menyebut silsilah raja Sindok
sampai raja Airlangga dalam prasasti ini menyebut raja Sindok yaitu Sri Isana
Tungga
pemeri
mempunyai anak Sri Isana Tungga Wijaya bersuamikan Sri Loka Pola,
mempunyai anak Sri Makutawangsa Wardana. Sri Makutawangsa Waradana
mempunyai anak Guna Priyarajapatni yang bersuamikan raja Udayana dari Bali,
selanjutnya dari Guna Priyarajapatni dan Udayana mempunyai anak Airlangga.
Airlangga memerintah dari 1019-1042 dengan gelar Sri Maharaja rake
Halu Sri Lokeswara Airlangga Anantawi Kramattungga Dewa. Masa
ntahan Airlangga yang maju pada masanya antara lain yaitu: pertama,
pembangunan pelabuhan internasional sebagai pelabuhan dagang di Hujung
Galuh atau Muara Sungai Brantas dan Kambang putih di Tuban. Kedua,
kemajuan karya sastra seperti kitab Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa. Pada
masa Airlangga mulai diketahui tentang kesenian pagelaran yaitu a wayang atau
a ringgit.65 Pemerintahan Airlangga mengalami kemunduran ketika mencari
penggantinya. Hal ini disebabkan putri Airlangga yang dipersiapkan menduduki
64 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II, 51.
Ibid., 56. 65
41
tahta yaitu Sanggrama Wijaya memilih menjadi pertapa. Pada gilirannya
kerajaan dibagi menjadi dua, yaitu Jenggala (Singosari) berpusat di Kahuripan
dan Panjalu (Kadiri) yang berpusat di Dahana atau Daha. Pembagian kerajaan
ini menegaskan awal dan mulainya sejarah Kadiri.
Raja-raja pasca Airlangga di Kadiri
Pembahasan dan kajian mengenai raja-raja pasca A
c.
irlangga di Kediri diketahui
ng prasasti pamwatan menyebutkan:
gsung
prasasti
2)
n prasasti Sirah Keting).
irah Keting yang bertarikh 1104
dari prasasti Habib Mustopo.66 Tenta
“Dengan demikian tanggal 20 November 1042 ini dapat ditetapkan sebagai
suatu awal pemerintahan di Panjalu/Daha dan pemerintahannya berlan
terus sepanjang ± 80 tahun dengan raja yang pernah berkuasa”, yaitu:
1) Raja Sri Samarawijaya Dharma Suparnawahana Teguh Uttunggadewa atau
Sri Samarawijaya periode 1042-1044 (prasasti Pamwatan dan
Malenga).
Raja Srimapanji garasakan atau Ajilingga Jaya, periode 1044-1052 (prasasti
Malenga da
3) Raja Sri Jayawarsa Sastraprabu, periode 1052-1104 (prasasti Sirah Keting
dan prasasti Pikatan) prasasti S
mengungkapkan tentang pengukuhan tanah perdikan Merjaya yang
merupakan anugrah raja Sri Jayawarsa Sastra Prabu.
66 Habib Mustopo, Prasasti Panwatan, Bahan Kuliah Sejarah Indonesia Lama (Fak. Sejarah UM, 2002).
42
4)
e 1104-1130 (prasasti
5)
rsingha Parakrama Uttunggadewa atau Sri Aji
6)
7)
aret 1171 dan ini merupakan
8)
ama
Sri Maharaja Sri Paranmeswara Sakala Bhuwana Tustikarana Sarwani
Wariwerya Parakramadikjaya Uttunggadewa, period
Pikatan dan prasasti Tangkilan). Prasasti Pikatan beratrikh 11 Januari 1117
sedangkan prasasti Tangkilan sebagai prasasti terakhir Sri Parameswara
bertarikh 14 Mei 1130.
Sri Maharaja Sang mapanji Jayabaya Sri Warmeswara Madhusudhana
Watara Anindita Suht
Jayabhaya periode 1135-1159 (prasasti Ngantang dan prasasti Padelegan II).
Sri Maharaja Rakai Sirikan Sarmeswara Janur Danawatara Wijaya
Agrajasama sing Hanadani Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Tercantum pada prasasti Pandelegan II bertarikh 23 September 1159 dan
prasasti Kahyunan bertarikh 23 februari 1161.
Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatara Arijayamuka,
tercantum dalam prasasti angin bertarikh 23 M
satu-satunya raja Kediri yang menggunakan sebutan Rakai Hina.
Sri Maharaja Sri Kronsaryadipa Bhuwana Palaka parakrama Anindita
Digjaya Uttunggadewa Sri Candra prasasti Jaring 19 September 1181.
9) Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama
Digjaya Uttunggadewa, prasasti Ceker bertarikh 11 September 1185. N
tersebut diberikan di dalam kakawin smaradhahana karya pujangga Mpu
Dharmaja. Permaisurinya berasal dari Jenggala bernama Sasi Kirana atau
43
Kirana Ratu. Perkawinan antara raja kameswara dari Panjalu/Kediri dengan
Sasi Kirana menurut Prof. Poerbatjaraka menjadi dasar cerita panji.
Sri Maharaja Sri Sarweswara Anindita Sregeja Lancana 10) Digjaya
11) au
12) panji seminingrat) prasasti Mula
13) Mahasabhya yang
haraja Mapanji Jayabaya
yang p
g urutan silsilah raja-raja
yang m
Uttunggadewa, tertera pada prasasti Kamulan bertarikh 31 Agustus 1194.
Sri Maharaja Sarweswara Sri kertajaya pada prasasti Wates Kulon at
Lawadan bertarikh 18 Nopember 1205.
Sang Prabu Jayawardhana (sang ma
Manurung, bertarikh 1255 dan prasasti Macibung bertarikh 23 September
1248 yang dinyatakan oleh raja Wisnuwardhana bahwa sang Prabu
Jayawardhana juga bergelar sang mapanji Seminingrat.
Kertanegara (putra sang Prabu Seminingrat), prasasti
ditulis 24 tahun kemudian dari prasasti Macibong.
Di antara raja-raja Panjalu atau Kediri, Sri Ma
aling besar dan paling masyhur termasuk banyak sastra-sastra yang
bernilai tinggi seperti Smaradahana, Bhomakawya, Bharata Yudha,
Hariwangsa, Gatot Kaca Sraya, dan Wrettosancaya.
Kutipan di atas memberikan kejelasan tentan
emerintah pasca Airlangga. Setelah dibaginya Mataram Kuno di Jawa
Timur oleh Airlangga. Alasan pokok bagian ini, hendak menunjukkan sejarah
Kediri dengan the great man theong atau teori-teori orang besar, untuk melihat
latar belakang historis Prabu Jayabhaya. Silsilah di atas mengungkapkan bahwa
raja-raja Kediri merupakan keturunan dari raja-raja Mataram Kuno di Jawa
44
Tengah. Hal ini mungkin membawa perdebatan tentang benar dan tidak
berkaitan dengan runtutan silsilah di atas. Kebenaran dari silsilah di atas
hendaknya dikembalikan pada interpretasi individu atas kebenarannya.
ses Pembentukan Kerajaan Kediri 2. Pro
proses historis yang dibuktikan oleh beberapa
prasast
Kerajaan Kediri terbentuk dari
i. Proses historis dimaksud adalah kerajaan Kediri bermula dari kerajaan
Mataram Kuno di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Awal terbentuknya periode
kerajaan Kediri adalah ketika Mataram Kuno di Jawa Timur sebagai warisan dari
wangsa Isana dibagi dua oleh raja Airlangga menjadi kerajaan Jenggala dan Panjalu.
Nama Kediri lebih jelas disebut dalam prasasti Finulad yang menyebut paduka Sri
Mahadewisiniwi Ing Bhumi Kediri 937 (1015 M).67 Hal ini diinterpretasikan bahwa
kerajaan Panjalu sebagai satu bagian kerajaan hasil pembagian kerajaan Mataram
Kuno di Jawa Timur oleh Airlangga adalah Bhumi Kediri. Interpretasi ini bukan
berarti dapat langsung diterima, namun perlu juga dipermasalahkan batas-batas dari
wilayah kerajaan setelah pembagian. Dalam kitab Negara Kertagama dan Calon
Arang serta diperkuat oleh prasasti Wurara, menyebut bahwa batas kerajaan
Jenggala dan Panjalu adalah sebuah sungai yang mengalir dari barat ke timur
sampai ke laut ini diinterpretasikan sebagai kali Lawang, mengingat persebaran
prasasti Airlangga antara bengawan Solo dan kali Brantas antara Babat dan Ploso ke
67 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 264.
45
timur.68 Pembatasan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan nama Kediri ternyata
di luar wilayah bumi Kediri, interpretasi lain, penggunaan nama Kediri tidak hanya
disebut di dalam wilayah bhumi Kediri, namun juga dimungkinkan penyebutannya
di luar Kediri dengan pertimbangan kondisi dinamika masyarakat dalam perputaran
peradabannya contoh: bukti silsilah raja Airlangga justru ditemukan di Calcuta
India. Bukan di kawasan Kediri ataupun Jenggala (Kahuripan), lebih lanjut kerajaan
Kediri terbentuk dalam beberapa proses, sebagaimana diuraikan di bawah ini:
a. Perpindahan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur
Proses pembentukan kerajaan Kediri merupakan proses a continuity and
change dan continuity into progreess atau perubahan menuju lebih baik. Bukti-
bukti sejarah menunjukkan bahwa pembentukan kerajaan Kediri didahului oleh
sejarah Mataram Kuno, dengan kata lain kerajaan Kediri bermula dari proses
historis dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Proses awal adanya
perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno. Pusat-pusat kerajaan Mataram
dalam proses sejarahnya mengalami perpindahan beberapa kali antara lain yaitu
Poh Pitu, Garung, Mamrati, Watugaluh, Tamwang atau Tembelang.
Dua pusat kerajaan terakhir yaitu Watu Galuh dan Tamwang atau
Tembelang diindikasikan berpusat di wilayah Jawa Timur. Pusat kerajaan di
Watu Galuh didasarkan pada prasasti Anjuk Ladang yang menyebut, kita
prasiddhu Manraksa Kadtwan Rahyangta I Bhumi Mataram I Watu Galuh.69
Boechari, Beberapa, 1 17.
68
69 Ismail Luthfi, Pengaruh, 70Ibid.,
46
Pusat kerajaan kedua di Tamwang atau Tembelang perpindahannya dilakukan
oleh pendiri dinasti Isana yaitu pu Sindok, pusat kerajaan Mataram Kuno di
Tamwang termuat dalam prasasti Turyyan 429 Masehi. Tamwang diindikasikan
sebagai Tembelang di Jombang.70
Pusat kerajaan lainnya seperti Poh Pitu, garung dan mamrati
menunjukkan indikasi terletak pada kawasan Jawa Tengah. Prasasti yang
membuktikan tentang pusat kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah antara lain
yaitu prasasti Mantysih 907 Masehi. Prasasti Wanwa Tengah II 908 Masehi dan
prasasti Siwagreha 865 Masehi. Prasasti tersebut secara topomini menunjukkan
kesamaan nama dengan beberapa wilayah atau daerah di kawasan Jawa Tengah.
Bukti-bukti di atas menunjukkan adanya pemindahan pusat kerajaan
Mataram Kuno dari kawasan Jawa Tengah ke kawasan Jawa Timur.
Pemindahan pusat kerajaan ini yang terkenal dinyatakan adalah pu Sindok.
Pembuktiannya adalah melalui prasasti Sindok dan prasasti Daksa yang
menunjukkan pembeduan penyebutan wilayah pusat kerajaannya. Pu Sindok
menyatakan Rahyangta I Bhumi Mataram I Watu Galuh, sedangkan Pu Daksa
menyatakan Kadatwan Sri Maharaja I Mdang Bumi mataram. Hal ini menjadi
dasar adanya pemindahan pusat kerajaan Mataram Kuno ke wilayah timur.
Latar belakang pemindahan pusat kerajaan ke wilayah Jawa Timur
terdapat dua teori, yaitu pertama adanya kejenuhan dalam bentuk kelelahan
yang luar biasa pada kalangan rakyat diakibatkan adanya kerja wajib atas nama
47
raja dalam rangka pembangunan peribadatan (Bangunan Suci Keagamaan)
“Kamulan I Bhumi Sambhara” atau Borobudur.71
Bangunan suci keagamaan adalah Prambanan yang terkenal dengan
sebutan candi Rara Jonggrang.72 Kedua, adanya aktivitas gunung Merapi, yang
diindikasikan meluluh lentakkan pusat kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah.
Hal ini dibuktikan ketika ditemukannya candi Borobudur dalam kondisi hancur
tertimbun tanah, kemungkinan yang ada karena adanya aktivitas gunung merapi
dan karena faktor usia. Aktivitas gunung merapi sampai sekarang masih dapat
dilihat.
b. Mataram Kuno masa Airlangga
Airlangga dimulai setelah kerajaan Mataram dengan rajanya Dharma
Wangsa Tguh mengalami pralaya. Raja Dharma Wangsa Tguh merupakan raja
yang menggantikan raja Makuta Wangsa Wardhana. Airlangga naik tahta pada
tahun 1019 sebagai pengganti Dharma Wangsa Tguh, setelah menduduki tahta,
Airlangga melakukan penaklukan terhadap raja-raja yang melepaskan diri dari
Mataram pasca terjadinya pralaya. Berturut-turut yang ditaklukkan Airlangga
adalah pertama, raja Bhisma Prabhawa tahun 1028-1029, kedua, raja Wijaya
dari Wengker pada tahun 1030, ketiga, raja Adhamapanuda pada tahun 1031
seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa, keempat, raja
Wurawari tahun 1032, kelima, raja Wengker untuk kedua kalinya tahun
72 at (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 15.
71 R. Soetarto, Aneka Candi Kuno di Indonesia (Semarang: Dahara Prize, 2003), 75. Moertjipto dan Bambang Prasetya, Mengenal Candi Siwa Prambanan dari Dek
48
1035.73Usaha-usaha perluasan wilayah oleh Airlangga sesungguhnya adalah
usahanya dalam mengembalikan kekuasaan Mataram setelah Dharma Wangsa
Tguh. Tindakan berikutnya yang dilakukan oleh Airlangga adalah melengkapi
pejabat-pejabat kerajaan dan menetapkan pusat kerajaannya di Watan Mas
kemudian dipindahkan ke wilayah Kahuripan.
Akhir pemerintahan Airlangga ketika memasuki proses pewarisan tahta
kerajaan. Airlangga mempunyai seorang putra mahkota bernama Sanggrama
Wijaya yang menduduki jabatan setara dengan raja yang dicalonkan menduduki
tahta, Sanggrama Wijaya pada saatnya justru menolak menduduki jabatan raja
dan memilih menjadi pertapa sebagai Kilisuci.
Pada gilirannya kerajaan oleh Airlangga diberikan pada putranya. Hal ini
memunculkan kekhawatiran akan adanya perebutan kekuasaan, maka pada 1041
kerajaan dibagi atas dua dengan pertolongan seorang Bhahmana ialah Mpu
Bharada. Kerajaan dibagi tas Jenggala (Singosari) dengan ibukotanya Kahuripan
dan Panjalu (Kediri) dengan ibukotanya Dhaha atau Dhahana Pura. Pembagian
kerajaan menjadi dua ini mengawali periode kerajaan Kediri.
c. Reunifikasi Mataram menjadi Kediri
Kerajaan Kediri sampai saat ini diyakini sebagai kerajaan Panjalu.
Definisi ini dilandaskan bahwa pusat kerajaan Panjalu adalah Dhahana atau
Dhaha yang terletak di lembah sungai Brantas di sebelah selatan kali Lamong
letaknya kurang lebih wilayah Kediri sekarang. Definisi ini juga diperkuat oleh
73 Soekmono, Pengantar, 55.
49
ditemukannya berbagai prasasti tentang Panjalu yang ditemukan sebagian besar
di kawasan Kediri.74 Kerajaan Kediri atau Panjalu pertama kali diperintah oleh
raja Samarawijaya, kemudian berturut Sji Linggajaya, Jayawarsa, Parameswara,
Jayabhaya, Sarmeswara, Aryyeswara, Kronsaryadipa, Kameswara, Sarweswara,
Kertajaya, Panjisminingrat, Kerta Negara.
Kerajaan Panjalu pada periode Jayabhaya mengalami reunifikasi setelah
mengal
Kampang Putih (sekarang Tuban) dan Hujung Galuh (Jung-ya-lu) sekarang
ami pembagian pada masa Airlangga. Reunifikasi ini merupakan
bersatunya kembali kerajaan Mataram. Bersatunya kembali tahta Mataram
Kuno di Jawa Timur ke dalam suatu kekuasaan raja. Bukti nyata tentang
reunifikasi ini adalah adanya prasasti Ngantang atau Hantang yang menyebut
Pangjalu Jayati (Panjalu menang). Penyebutan Panjalu Jayati diinterpretasikan
bahwa Jayabhaya berhasil menyatukan dua kerajaan yaitu Panjalu dan
Jenggala, adanya interpretasi ini merupakan hal logis, karena letak wilayah
Hantang adalah perbatasan antara Jenggala dengan Panjalu. Reunifikasi ini
menegaskan tentang kerajaan Kediri secara resmi dimulai pada masa kekuasaan
Jayabhaya. Pada pemerintahan Jayabhaya ini pula kerajaan Kediri/Panjalu
mengalami zaman keemasan dalam berbagai aspeknya. Kemajuan yang dicapai
antara lain yaitu pertama, bidang pemerintahan dan politik Kediri menguasai
seluruh Indonesia Timur saat ini. Berdasar uraian kronik China dan Chou-ju-
Kua.75 Kedua, bidang ekonomi adanya pelabuhan internasional di daerah
74 Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah, 266.
50
tanjung Perak. Adanya hubungan internasional dengan penguasa China, India,
dan Arab sebagai hubungan dagang.
ikasi Masuknya Islam ke Jawa Masa Jayabhaya
Pembahasan tentang masuknya
3. Ind
Islam di Jawa sering kali menjadi
Indonesia masa Hindu-Budha.
Hal ini
pembahasan sejarah yang dipisahkan dengan sejarah
menjadi latar belakang kesulitan penggalian fakta-fakta sejarah Islam di
Indonesia. Sejarah Islam di Indonesia hanya dikesankan pada masa pasca Majapahit
± pada abad 15. Realitas menunjukkan Islam berkembang di Indonesia khususnya
Jawa jauh sebelum itu. Sejarah Islam di Indonesia sementara ini dikatakan secara
arkeologis adalah dimulai pada abad ke-13 khususnya di Jawa dibuktikan dengan
angka tahun yang tertera pada nisan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah
dengan angka tahun 475 H (1082 M). Realitas persebaran Islam diyakini sejak abad
7 M atau bad 7 H. Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad menyatakan: “kami telah
mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada tahun 30 H atau 650 M di
zaman khalifah Utsman bin Affan”.76Hal ini diketahui dari Sulaiman as-Sirafi,
pengelana dan pedagang dari pelabuhan Siraf di Teluk Persi mengatakan bahwa di
Silli terdapat beberapa orang Islam pada masa dia, yaitu sekurang-kurangnya pada
akhir abad ke-2 Hijriah .Hal Ini sesuatu yang pasti dan tidak butuh pen-tahqiq-an
lagi karena perdagangan rempah-rempah dan wangi-wangian yang berasal dari
Kepulauan Maluku pasti membuat perdagang- perdagang Muslim sering berkunjung
75 Soekmono, Pengantar, 60. 76 Al-Habib Alwi bin Thohir Al-haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh (Jakarta: Lentera
Basritama, 2001), 150.
51
ke sana dan ke tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan ini.Kepulauan
Sila adalah Sulawesi dan pulau-pulau yang berdekatan denganya. Pendapat ini
diperkuat oleh pendapat Donald Maclain Campbell dalam bukunya Java halaman
57-58 yang menyatakan bahwa orang-orang Arab muslim dan Psersi telah bekerja
sama dalam mendirikan kerajaan Majapahit
Mereka juga bersekutu dalam mendirikan kerajaan Jenggala, Daha dan
Singasari. Mereka telah memiliki pemukiman.77 Pendapat ini memberi kejelasan
rasiona
l
kerajaa
l tentang hubungan benda arkeologi di Leran dengan perkembangan,
persebaran Islam seiring perkembangan kehidupan masyarakat Jawa masa lampau.
Pendapat pertama tentang makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah
berangkat tahun 475/495 H. menunjukkan dinamika pelabuhan internasiona
n Panjalu di daerah Kambang Putih dan Hujung Galuh sebagai pelabuhan
dagang internasional. Pendapat kedua, tentang Islam dikatakan masuk ke Jawa sejak
tahun 30 H atau 659 M. Hal ini terdapat penjelasan rasional yaitu sejak sebelum
Islam orang-orang Arab merupakan pelaut dan pengelana dalam bidang
perdagangan. Penjelasan rasional lain bahwa Mesir dan Babilonia merupakan induk
peradaban dunia atau Croadle of civilization melihat tahun yang ditunjukkan yakni
30 H atau 650 M. Dimungkinkan Islam mulai masuk di Jawa sejak awal-awal
Mataram Kuno diJawa Tengah. Pendapat ketiga menunjukkan lebih jauh dan
dimungkinkan merupakan mulai berpengaruhnya agama Islam di kalangan
77 Ibid., 161
52
bangsawan kerajaan dengan kata lain Islam mulai/sudah dianut oleh masyarakat
Jawa. Pembahasan tentang masuknya Islam di Indonesia khususnya Jawa,
nampaknya sangat luas, kajian ini selanjutnya difokuskan pada indikasi masuknya
Islam di kerajaan Kadiri atau Panjalu (Kediri sekarang).
a. Bukti artefaktual dan tertulis tentang Islam di kerajaan Kediri
Pembuktian masuknya Islam di kerajaan Kediri khususnya masa
ada. Pembuktian
secara
ang
menyeb
o Kardodirdja dikatakan sebagai mesiomistis. Mesiomistis
menurut Sartono dapat dijadikan landasan dengan catatan harus memperhatikan
Jayabaya sangat lemah karena sumber artefaktual nyaris tidak
artefaktual dapat ditunjukkan satu bukti namun sangat lemah, yaitu
adanya tulisan yang berupa epitaf di makam Setono Gedong. Epitaf itu
menyebutkan gelaran-gelaran yang dimakamkan di tempat tersebut. Sumber ini
dikatakan lemah sebab tidak memuat nama dan tahun, namun mungkin juga
memuat tetapi telah hilang dimakan usia. Interpretasi terbaru menyatakan bahwa
nama dan tahun termuat di bagian bawah sebelah kiri di bagian yang hilang.
Sumber lain berasal dari cerita masyarakat mengungkapkan bahwa di
Setono Gedong adalah makan Syekh Wasil, mungkin karena gelarnya y
ut لصولا atau pangeran Makkah mungkin karena ada indikasi ia adalah
orang Arab pembawa Islam di tanah Panjalu atau Kediri. Masyarakat Kediri
meyakini bahwa Syekh Wasil hidup bahkan menjadi guru raja Jayabaya.
Sumber dari cerita masyarakat perlu diperhatikan namun tidak dapat dijadikan
landasan ilmiah.
Sumber tertulis berasal dari serat atau jangka atau pralambang Jayabaya
yang oleh Sarton
53
fakta-fa
d Tembang.80 Ramalan Jayabaya Musasar (Awujud Tembang)
membe
nkan adanya percampuran budaya.Sebagaiman yang
terdapa
kta historis yang terjadi.78 Dalam pralambang Jayabaya dikisahkan,
prabu Jayabaya mendapat kunjungan dari seorang pendeta dari Rum bernama
Maulana Ali Syamsuddin, yang menguraikan ramalan seperti tercantum dalam
kitab Musasar, mengenai keadaan Nusa Jawa sejak waktu belum ada
penduduknya.79
Uraian mengenai pralambang Jayabaya selanjutnya ditunjukkan
sebagaimana ditulis oleh Sisbarnoersya dengan judul Ramalan Jayabaya
Musasar Awuju
rikan penjelasan dan kejelasan, diyakini bahwa Islam masuk ke Jawa
jauh sebelum adanya Walisongo. Bahkan bukti nyata tentang pemukiman di
Leran, memberikan informasi jelas bahwa pada abad 10-13 kekuasaan yang ada
adalah Panjalu di Kediri dan Jenggala di Kahuripan mempunyai pengaruh besar
pada masyarakat internasional. Hal ini dipertegas tentang komunikasi
perdagangan di pelabuhan Hujung Galuh dan Kambang Putih jauh sebelum
masa Kediri sudah ada.
Kesimpulan dalam bentuk interpretasi sementara ditunjukkan bahwa
Islam sudah ada dalam komunitas-komunitas di pusat kerajaan Panjalu atau
Kediri, dan memungki
t pada Ramalan Jayabaya Musasar (Awujud tembang) yang ditulis oleh
Sisbarnoersya memberikan legitimasi adanya percampuran budaya antara Islam
78 Sartono Kartodihardjo, Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1998), 79.
79 Al-Habib Alwi bin Thohir Al-haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh 80.
54
dan Hindu-Budha pada masa Jayabaya. Mungkin keyakinan inilah yang menjadi
landasan masyarakat memenang (pusat kerajaan Kediri masa Jayabaya)
mengadakan ritual yang disebut dengan suroan.
Aktivitas pendatang Islam pada masa Jayabaya
Di sini dibahas lebih tegas tentang alasan rasional tentang aktivitas
pendatang Islam di masa Jawa dalam pemerintahan Jayabaya.
b.
Masyarakat
r Islam melalui perdagangan,
maka p
emaksa para golongan
Alawiy
muslim khususnya adalah agen-agen penyeba
ada umumnya yang menjadi mubaligh adalah para saudagar. Kondisi ini
dilatarbelakangi oleh situasi perekonomian masa itu, sebelum abad 15 bahkan
jauh sebelumnya masyarakat Mesir, Romawi, dan Yunani dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan kehidupan sehari-hari berkaitan dengan rempah, kain,
bahan makanan selalu mengimpor dari masyarakat Arab dan Babylonia, di
mana bahan-bahan yang diperlukan tersebut hanya didapati di Asia Timur,
khususnya kawasan Nusantara. Hal ini menjadi teori akan masuknya Islam di
kawasan Indonesia khususnya Jawa.
Teori lain tentang masuknya Islam di Indonesia atau Jawa yakni
dilatarbelakangi oleh peristiwa pembantaian golongan Alawiyin oleh khalifah
bani Umayyah di Romawi Timur.81 Pada gilirannya m
in melarikan diri ke timur di kawasan Nusantara terutama kepulauan
Noersya, Sejarah dan Budaya dari Masa Kuna Smapai Kontemporer (Malang:UM, 2003),153 80 Sisbar 81Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad, Sejarah, 151. 82 Boechari, Beberapa, 3.
55
Sulu (Philipina sekarang) dan sekitarnya, termasuk di Nanjing China. Di
samping itu kondisi masyarakat di kawasan Nusantara lebih terbuka oleh budaya
dari masyarakat dari luar. Hal ini terbukti masuknya berbagai budaya nyaris
tanpa ada penolakan seperti Hindu-Budha, Islam bahkan Kristen dan Katholik.
Kedua teori di atas memperkuat bahwa pemukiman-pemukiman muslim
di Jaw
a memang telah ada sejak Mataram Kuno, sehingga ketika kerajaan
Panjalu atau Kediri berdiri para orang muslim sangat dimungkinkan
keterlibatannya. Definisi ini ditujukan berlandas pada definisi bahwa suatu
kerajaan atau negara besar tentu mempunyai hubungan internasional dengan
negara atau kerajaan lain. Di samping itu masa pemerintahan Jayabaya adalah
sekitar abad 11-12 M di mana Islam pada masa ini mengalami zaman
kekuasaannya. Boechari menyatakan bahwa “masyarakat Jawa masa Mataram
Kuno telah dan sedang menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Islam
pada khalifah Bani Abbasiyah”.82 Pernyataan ini menegaskan pemikiran bahwa
masa Jayabaya Islam memang sudah berkembang luas di Jawa, sehingga tradisi
suroan di desa Menang adalah indikasi pewarisan sinkritisme budaya Islam dan
Hindu Budha dari masa Jayabaya.
56
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada “Nilai-nilai keislaman pada
Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten
Kediri”, Dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Adapun yang dinamakan
pendekatan kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan
yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik
atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi (pengukuran).1
Menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana yang dikutip oleh lexy J. Moleong
mendefinisikan pendekatan kualitatif “sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang
dapat diamati”.2 Dalam pendekatan kualitatif ini semua data diperoleh dalam bentuk
kata-kata lisan maupun tulisan yang bersumber dari manusia.
Adapun ciri-ciri pendekatan kualitatif adalah: (1) mempunyai latar alamiah, (2)
manusia sebagai alat (instrumen), (3) memakai metode kualitatif, (4) analisa data secara
induktif, (5) lebih mementingkan proses daripada hasil, (6) penelitian bersifat
deskriptif, (7) teori dari dasar (grounded theory), (8) adanya “batas” yang ditentukan
1 Djuanidi Ghani, Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif, Prosedur, Teknik dan Teori Grounded (Surabaya: PT. Bila Ilmu, 1997), 11.
2 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), 3.
57
oleh “fokus”, (9) adanya khusus untuk keabsahan data, (10) desain yang bersifat
sementara, (11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.3
Untuk memperoleh data tentang “Nilai-nilai keislaman pada Tradisi Suroan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri”,
diperlukan pengamatan yang mendalam. Oleh karena itu, kegiatan tersebut melalui
pendekatan kualitatif.
Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif. Sumadi
Suryabrata berpendapat bahwa “penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud
untuk membuat pencandraan (uraian, paparan) mengenai situasi kejadian-kejadian”.4
Sedangkan tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat sesuatu yang
tengah berlangsung pada saat research dilakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab
dari sesuatu gejala tertentu.5
Berdasarkan pendapat di atas, pendekatan kualitatif ini dimaksudkan untuk
menjelaskan peristiwa atau kejadian yang ada pada saat penelitian berlangsung. Yaitu
tentang “Nilai-nilai keislaman pada Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri”.
B. Kehadiran Peneliti dan Lokasi Penelitian
Sesuai dengan pendekatan penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif, maka
semua fakta berupa kata-kata maupun tulisan dari sumber data manusia yang telah
3 Ibid., 4-8. 4 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 19. 5 Husain Umar, Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1999), 29.
58
diamati dan dokumen yang terkait disajikan dan digambarkan apa adanya untuk
selanjutnya ditelaah guna menemukan makna. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di
lapangan sangat penting sekali, peneliti bertindak sebagai instrumen langsung sebagai
pengumpul data melalui observasi yang mendalam dan terlibat aktif dalam penelitian.
Status kehadiran peneliti di lokasi penelitian adalah diketahui oleh subjek atau
informan dan peneliti mengambil waktu penelitian pada saat pelaksanaan Upacara
Ziarah Satu Suro yang bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram. Lokasi
penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang
Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
Adapun alasan peneliti memilih lokasi tersebut adalah karena upacara satu suro
di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri
merupakan upacara rutin tiap tahun yang dilaksanakan dengan melibatkan banyak orang
serta merupakan moment penting yang menarik para wisatawan untuk mengunjungi the
sacred place tersebut.
C. Sumber Data
Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, sumber data dalam
penelitian kualitatif ini ialah “kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen dan lain-lain6 Data dalam penelitian ini adalah semua data atau
informasi yang diperoleh dari para informan yang dianggap penting. Selain data dari
informan, data diperoleh dari dokumentasi yang menunjang.
6 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif.,112
59
Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kata-kata dan Tindakan
Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para responden/informan pada
waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan
dari para informan/responden. Sumber data yang berupa kata-kata/keterangan
tersebut diperoleh dari beberapa pihak di antaranya: pejabat desa, juru kunci,
anggota organisasi Hondodento, panitia pelaksana upacara, pengunjung petilasan,
dan masyarakat sekitar petilasan.
2. Data Tertulis (Dokumentasi)
Data yang berbentuk tulisan ini diperoleh dari pihak panitia pelaksanaan
upacara tradisi suroan dan dokumen-dokumen lain yang tentunya masih berkaitan
dengan subjek penelitian. Adapun sumber data yang berupa tulisan/dokumen
tersebut yaitu di antaranya:
a. Dari Dinas Pariwisata, berupa:
1) Buku berjudul Loka Muksa Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirto
Komandanu.
2) Artikel-artikel tentang Sri Aji Jayabaya.Dari panitia upacara tradisi suroan
3) Buku dengan judul Pethikan Jangko Jayabaya.
4) Buku dengan judul Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon.
5) Buku yang berjudul Sang Prabu Sri Aji Djoyoboyo.
b. Dari pejabat desa yaitu monografi desa.
60
3. Foto
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh beberapa foto
tentang pelaksanaan upacara ziarah Satu Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya di Desa
Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Adapun pengambilan foto dilakukan
oleh peneliti sendiri dan hasil dari foto-foto tersebut dapat dilihat dalam lembaran
lampiran-lampiran.
D. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data di lapangan dalam rangka mendiskripsikan dan
menjawab permasalahan yang diteliti, maka metode yang digunakan dalam
pengumpulan data ini adalah antara lain:
1. Metode Observasi
Metode ini merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan dengan
cara pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada
objek penelitian.7 Metode ini penulis gunakan dengan cara pengamatan dan
pencatatan secara langsung dalam kegiatan-kegiatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
2. Metode Wawancara
Metode wawancara adalah suatu percakapan dengan maksud tertentu dan
percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yang terkait, yaitu interviewer
(pewawancara) dan interviewee (yang diwawancarai).8 Jadi peneliti akan meneliti
subjek penelitian secara langsung guna mendapatkan informasi yang lebih jelas.
7 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), 158. 8 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), 135.
61
Sedangkan jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
pembicaraan informal.
Sebagaimana yang telah dikutip oleh Moleong dari Patton bahwa
wawancara pembicaraan informal adalah jenis wawancara ini pertanyaan yang
diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri. Jadi tergantung pada
spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang diwawancarai.9
3. Metode Dokumentasi
Yaitu pengambilan data dengan menggunakan dokumen yang di lokasi.
Menurut Guba dan Lincoln “dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film
yang tidak dipisahkan karena adanya permintaan seseorang”.10 Kemudian metode
ini digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh dari observasi untuk
mengumpulkan data yang bersumber dari non manusia yaitu berupa catatan, buku,
transkrip, foto, dan sebagainya. Dari dokumen ini nantinya akan memperoleh
informasi tentang:
a. Sejarah Sri Aji Jayabaya
b. Pelaksanaan kegiatan upacara tradisi suroan.
c. Mengetahui letak geografis desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
E. Analisis Data
Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis
catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya, untuk meningkatkan pemahaman.
9 Ibid., 136. 10 Ibid., 161.
62
Penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang
lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan
dengan berupaya mencari makna (meaning).11
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data,
penyajian data, menarik kesimpulan (verifikasi).12 Adapun penjelasannya adalah
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemfokusan perhatian pada penyederhanaan,
penggolongan, dan tranformasi data mentah atau data yang muncul dari catatan-catatan
tertulis di lapangan. Reduksi data dilakukan dengan meringkas, mengembangkan sistem
pengkodean, menelusuri tema, membuat gugus-gugus dan menuliskan memo.
1. Penyajian data adalah proses penyusunan informasi yang komplek ke dalam bentuk
yang sistematis sehingga menjadi lebih sederhana dan selektif serta dapat dipahami
maknanya.
2. Penarikan kesimpulan adalah langkah terakhir yang dilakukan peneliti dalam
menganalisa data secara terus menerus baik pada saat pengumpulan data atau
setelah pengumpulan data.
F. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam menggunakan kriteria
kredibilitas (derajat kepercayaan). Kredibilitas data dimaksudkan untuk membuktikan
bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam latar
penelitian.
11 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 104. 12 Mattew B. Milles dkk., Analisis Data Kualitatif (Jakarta: PT. UI Press, 1992), 16-18
63
Menurut Lexy J. Moleong, teknik pemeriksaan keabsahan data yaitu: “1)
perpanjangan keikutsertaan, 2) ketekunan pengamatan, 3) triangulasi, 4) pemeriksaan
teman sejawat melalui diskusi, 5) analisi kasus negatif, 6) kecakupan referensional, 7)
pengecekan anggota, 8) uraian rinci, 9) auditing”.13
Adapun yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1.Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan dilakukan untuk menemukan ciri-ciri dan kejadian-
kejadian dalam situasi yang sangat berkaitan dengan persoalan yang sedang dicari.
2. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
membandingkan data yang diperoleh. Lexy J. Moleong menuturkan bahwa:
Ada dua cara yang dilakukan dalam teknik triangulasi yaitu pertama, menggunakan trianggulasi sumber yaitu membandingkan perolehan data pada teknik yang berbeda dalam fenomena yang sama. Kedua, triangulasi metode yaitu membandingkan perolehan data dari teknik pengumpulan data yang sama dengan sumber yang berbeda.14
G. Tahap-tahap Penelitian
Lexy J. Moleong berpendapat ada tiga tahapan dalam melakukan penelitian
adalah “1) tahap pra lapangan, 2) tahap pekerjaan lapangan, 3) tahap analisis data”.15
Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut:
13 Moleong, Metodologi Penelitian, 1750178 14Ibid., 178. 15 Ibid., 85-103.
64
1. Tahap pra lapangan meliputi: 1) menyusun proposal penelitian, 2) seminar proposal,
3) konsultasi penelitian kepada pembimbing, 4) mengurus izin 5) menyiapkan
perlengkapan penelitian, 6) menghubungi lokasi penelitian yaitu Petilasan Sri Aji
Jayabaya desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
2. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi kegiatan:
a. Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian.
b. Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian.
c. Pencatatan data yang telah dikumpulkan.
3. Tahap analisis data, meliputi kegiatan:
b. Pengorganisasian data
c. Pemindahan data-data menjadi satuan-satuan tertentu
d. Sintesis data
e. Pengkategorian data
f. Penemuan hal-hal penting dari data penelitian
g. Pengecekan keabsahan data
4. Tahap penulisan laporan, meliputi kegiatan:
a. Penyusunan hasil penelitian
b. Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing
c. Perbaikan hasil konsultasi
d. Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian
e. Ujian munaqosah skripsi.
65
BAB IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Paparan Data
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Letak Geografis
Berdasarkan monografi desa Menang bulan Oktober 2000 diketahui,
bahwa orbitasi atau jarak tempuh desa Menang dengan pusat pemerintahan
Kecamatan ± 1 km, dengan ibukota Kabupaten Dati II berjarak ± 5 km, dengan
ibukota Propinsi Dati I berjarak ± 110 km dan jarak ibukota negara berjarak ±
720 km. Dengan luas desa 223.908 Ha dengan batas-batas desa sebagai berikut:
- Sebelah utara : Desa Sitimerto
- Sebelah selatan : Desa Kambingan
- Sebelah barat : Desa Wates
- Sebelah timur : Desa Tengger Kidul.1
Desa Menang memiliki ketinggian tanah dari permukaan laut 19 m,
memiliki kondisi curah hujan 150 Nm/th. dan memiliki suhu udara rata-rata
310C. Jumlah penduduk Desa Menang 3152 orang dengan rincian laki-laki
1549 orang dan perempuan 1583 orang, yang terdiri dari 915 kepala keluarga
dan berstatus warga negara asli Indonesia. Desa menang kondisi tanahnya
cukup subur.2
1 Dokumentasi di ambil dari Monografi Desa Menang. 2 Ibid.
66
Adapun taraf pendidikan penduduk Desa Menang sangat tinggi, terbukti
dengan 362 jiwa yang lulus dari pendidikan umum dan 254 jiwa yang lulus
pendidikan khusus. Dari segi keagamaannya menunjukkan 95% memeluk
agama Islam, yaitu 3048 jiwa dan selebihnya memeluk agama Kristen.3
Untuk sampai ke Desa Menang dengan menggunakan jasa transportasi
darat yang sangat lancar, aman dan mudah. Kondisi jalan sudah beraspal mulus
dengan menggunakan jasa angkutan umum yang menuju Desa Menang,
sehingga dengan kondisi seperti yang demikian ini kalau kita hendak menuju
Desa Menang sangatlah mudah.4
b. Struktur Pengelolaan Petilasan
Susunan Pengurus Yayasan Hondodento Cabang Kabupaten Kediri5
SekretarisS. Kadarisman
Wakil SekretarisKarjowunoto
BendaharaSuparti
KetuaAli MuthofaWakil Ketua
Suherman
PenasehatDarmin
3 Ibid. 4 Observasi, tanggal 21 Februari 2004. 5 Surat Keputusan Pengurus Pusat Yayasan Hondodento No. 10/KPTS/2000, tanggal 1 Januari 2000.
67
c. Kondisi Fisik Petilasan
1) Petilasan Sri Aji Jayabaya
a) Kondisi sebelum dibangunnya petilasan
Petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya berawal dari mimpi
Warsadikrama pada tahun 1860, bahwa dalam sebuah area gundukan
tanah yang telah menjadi rawa dan keliling semak belukar pernah
bertahta seorang raja Kediri yang tersohor, yaitu Sri Aji Jayabaya. Cerita
dalam mimpi tersebut kemudian diteruskan dari telinga ke telinga
penduduk sekitarnya. Atas petunjuk itu seluruh penduduk secara gotong
royong mengadakan pencarian petilasan tersebut.6
Dengan dibantu oleh seorang ahli metasistik, petilasan tersebut
berhasil ditemukan, yang letaknya di bawah naungan sebuah pohon
kemuning. Sejak saat itu tempat yang tidak begitu luas di tengah-tengah
rawa mulai ramai dikunjungi orang, mereka merasa terharu dan bahagia.7
b) Kondisi setelah dibangunnya petilasan
Kini petilasan tersebut berubah menjadi sebuah monumen
spiritual yang megah. Bersama-sama masyarakat luas keluarga besar
Hondodento berhasil memugarnya secara gotong royong. Proses
pemugarannya memakan waktu ± 1 tahun yaitu dari sejak peletakan batu
pertama pada tanggal 22 Februari 1975 Sabtu Pahing sampai dengan
6 Dokumentasi Yayasan Hondodento tentang kondisi fisik Petilasan Sri Aji Jayabaya 7 Ibid.
68
tanggal 17 April 1976 Sabtu Pahing saat diresmikan dan diserahkannya
hasil pemugaran kepada pemerintah daerah Kabupaten Kediri.8
Luas tanah yang dipugar meliputi ± 1650 m2 yang
menggunakannya atas persetujuan pihak pemimpin desa atas dasar
kumpulan desa melalui musyawarah desa yang disahkan dengan
keputusan desa Menang tanggal 26 Februari 1975, model “E” No. 24.9
Keberhasilan keluarga besar organisasi Hondodento dalam
membangun petilasan Sri Aji Jayabaya bekerjasama dengan pemerintah
desa Menang. Petilasan Sri Aji Jayabaya tersebut diwujudkan dalam tiga
bangunan pokok, yaitu:
(1) Bangunan Loka Muksa sebagai lambang tempat Sri Aji Jayabaya.
Muka terdiri dari lingga dan yoni serta diberi manik (batu
berlubang). Bangunan ini keseluruhannya dikelilingi oleh pagar
beton bertulang yang tembus pandang dan dilengkapi dengan tiga
buah pintu.
(2) Bangunan Loka Busana, sebagai lambang tempat busana diletakkan
sebelum mukso. Bangunan ini terletak di bagian sebelah timur
bangunan luka mukso, membujur ke arah utara dan selatan dan
dikelilingi dengan pagar besi.
8 Ibid. 9 Ibid.
69
(3) Bangunan Loka Makuta, sebagai lambang tempat mahkota
diletakkan sebelum muksa. Bangunan ini terletak di sebelah utara
atau di luar pagar pamuksan, yaitu sebagai lambang bahwa zaman
kerajaan sudah berakhir.10
Dan sebagai bangunan yang tidak bisa dipisahkan dari ketiga
bangunan pokok, yaitu:
(1) Bangunan pendapa
Bangunan ini terletak di sebelah selatan bangunan pamuksan
atau bangunan suci loka muksa. Pendapa ini berfungsi sebagai tempat
istirahat para ziarah dan tempat dilaksanakannya upacara suroan.
(2) Bangunan pos juru kunci yang letaknya di sebelah selatan bangunan
pendapa.11
Bangunan tersebut di atas, terdiri dari tanah dengan luas ±
1650 m2 yang penggunaannya atas persetujuan pihak pemerintah
desa atas dasar keputusan kumpulan desa melalui musyawarah desa
yang disyahkan dengan keputusan desa Menang tertanggal 20
Februari 1975 model “E” Nomor 24.12
Corak dan wujud bangunan atau yang disebut monumen
spiritual tersebut merupakan hasil perpaduan konsep irrasional dan
rasional. Secara irrasional didasarkan atas petunjuk dan dawuh Sri
10 Observasi tanggal 22 Februari 2004. 11 Observasi tanggal 22 Februari 2004. 12 Interview dengan Kepala Desa Menang, Sony Harsono, Sabtu 21 Februari 2004.
70
Aji Jayabaya yang diterima oleh Ki Wiryodikarso melalui pertemuan
di alam astral. Sedangkan secara rasional maksudnya bahan baku
bangunan tersebut disesuaikan dengan kemajuan teknologi sekarang
namun diperhitungkan supaya bangunan tersebut tahan ratusan
tahun.13
Bangunan suci loka muksa yang merupakan bangunan utama
dalam proses pelaksanaan upacara ziarah satu suro, tempatnya
berbatasan dengan:
- Sebelah utara : berbatasan dengan sawah penduduk dan
perumahan penduduk setempat.
- Sebelah timur : juga berbatasan dengan sawah dan perumahan
penduduk setempat.
- Sebelah selatan : berbatasan dengan perumahan penduduk.
- Sebelah barat : dibatasi oleh jalan yang menghubungkan
dengan bangunan loka makuta.14
Sebagai proses kelanjutan pemugaran petilasan adalah
pemugaran “Sendang Tirtokamandanu” yang pelaksanaannya
berlangsung secara gotong royong sejak tanggal 26 April 1980.
Sendang ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
13 Ibid. 14 Observasi pada tanggal 22 Februari 2004.
71
petilasan Sri Aji Jayabaya dengan lokasi yang berjarak ± 500 m arah
timur laut dari petilasan.15
2) Arti bangunan phisik Loka Mukso
Arti phisik bangunan loka mukso ini adalah baru manik
yang bentuknya seperti mata merupakan lambang pengabdian
keluhuran Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Manik atau merupakan
“kawaskitaan”. Jumlah manik ini hanya satu buah dan berlubang
tembus di tengahnya. Satu maksudnya keterpaduan antara rasional
dan irasional. Berlubang tembus artinya mampu melihat jauh ke
depan.16
Bangunan berupa lingga atau yoni mempunyai arti bahwa
Tuhan menciptakan makhluk-Nya terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Demikian juga agama mengajarkan kepada kita bahwa
keduanya ditakdirkan untuk hidup berpasang-pasangan dan
mengembangkan keturunan.17
Bentuk lingga dan yoni mempunyai pengertian pula
sebagai wadah dan isi lahir maupun batin. Raga dan jiwa yang
tampak dan yang tidak tampak dan sebagainya yang menyangkut
segala sesuatu yang dua tetapi satu atau satu tetapi sebenarnya terdiri
15 Interview dengan Juru Kunci Petilasan Sri Aji Jayabaya Bapak Misri, Jum’at 27 Februari 2004. 16 Dokumentasi Yayasan Hondodento berupa buku yang berjudul Petilasan Sang Prabu Sri Aji
Joyoboyo. 17 Ibid.
72
atas dua. Dan hal ini akan berlangsung sepanjang zaman. Sedangkan
pagar beton bertulang yang tembus dipandang dan dilengkapi tiga
buah pintu menggambarkan tingkatan hidup manusia yaitu lahir,
hidup dan mati.18
2. Tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya
a. Latar belakang tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya
Sejarah timbulnya tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya ini tidak
lepas dari catatan sejarah atau latar belakang historis atas keagungan, keluhuran
dan keistimewaan-keistimewaan Sri Aji Jayabaya semasa hidupnya bahkan
sampai sekarang kebesaran itu masih kita dengar tidak saja dari masyarakat desa
Menang yang menganggap bahwa Sri Aji Jayabaya adalah leluhur dan pepunden
atau cikal bakal desanya, tetapi telah meluas ke seluruh penjuru tanah air.19
Mengingat keistimewaan dan keagungan yang dimilikinya maka
masyarakat desa Menang dan sekitarnya mempunyai anggapan serta suatu
kepercayaan yang mendalam bahwa petilasan khususnya pamuksan Sri Aji
Jayabaya mempunyai nilai religius yang tinggi serta keramat.20
Karena dengan adanya suatu anggapan yang demikian maka muncullah
tradisi suroan di petilasan yang berupa upacara ritual yang diselenggarakan pada
setiap tanggal 1 bulan Suro yang bertepatan dengan 1 bulan Muharram. Hal ini
merupakan salah satu sarana memuliakan keluhuran dan keagungan Sri Aji
18 Ibid. 19 Ibid. 20Observasi tanggal 22 Februari 2004.
73
Jayabaya sebagai raja besar di zamannya. Dan merupakan tokoh kharismatik
yang mempunyai banyak pengaruh dalam masyarakat.21
Anggapan yang semacam ini seperti terdapat dalam masyarakat primitif,
di mana mereka menganggap bahwa beberapa manusia ada yang dianggap suci
dan keramat, bertuah dan sebagainya. Mereka dihormati lebih daripada yang
lain. Menurut pandangannya orang-orang tersebut mempunyai kekuatan ghaib
baik karena keturunannya maupun oleh karena ilmunya. Masyarakat yang
mempunyai kesadaran akan hal tersebut di atas dan kesadaran atas diri serta
lingkungannya, maka akan berusaha untuk mengadakan hubungan yang
berserah diri dengan ikhlas serta penuh kepercayaan akan adanya pengaruh dari
kekuatan-kekuatan tersebut.22
Dengan adanya keadaan yang demikian, masyarakat melakukan
tindakan-tindakan seperti melakukan upacara dengan maksud dan tujuan untuk
mengadakan pemujaan dan penghormatan kepada para leluhur karena mereka
yang dipuja-puja dan selalu dihormati itu telah memberikan kehidupan.23
b. Asal-usul tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya
Tradisi suroan yang diadakan di petilasan Sri Aji Jayabaya dalam bentuk
upacara ziarah 1 Suro ini berasal dari inisiatif yayasan Hondodento Yogyakarta,
yaitu melalui “dawuh” Sri Aji Jayabaya yang diterima Bopo/Bapak Pleret selaku
21 Ibid. 22 Interview bersama Juru Kunci Petilasan Sri Aji Jayabaya, Misri, Jum’at 27 Februari 2004. 23 Ibid.
74
sesepuh yayasan melalui hubungan khusus atau “meditasi”. Sedangkan
pelaksanaannya dimulai sejak tahun 1976 yaitu selesainya pemugaran petilasan
hingga sekarang.24
Menurut keterangan salah satu seorang perangkat desa memang bahwa
tradisi suroan yang berupa upacara ziarah ini yang dilaksanakan sebelum
dibangunnya petilasan seperti sekarang ini dulunya belum ada terlebih sebelum
dibangunnya petilasan seperti sekarang ini. Dulunya petilasan tersebut disebut
“makam mbah Ageng” atau ada yang menyebut makam mbah Ageng Jayabaya.
Masyarakat desa Menang menganggapnya sebagai pepunden atau leluhur desa
Menang atau “Mbah Rekso Desa”, sehingga acara bersihnya bahwa di sebuah
gundukan tanah yang telah menjadi rawa dan kadangkala diselingi semak
belukar dahulu bertahtalah seorang raja yang bernama Sri Aji Jayabaya. Cerita
itu akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat setempat dari mulut ke
mulut.25
Dengan dibantu oleh ahli metafisik akhirnya petilasan tersebut berhasil
ditemukan, letaknya di bawah naungan pohon kemuning dan sejak itu mulai
dikunjungi orang dan petilasan tersebut ditandai dengan seonggok tanah
bernisan. Melihat keadaan petilasan yang demikian banyak peziarah yang ingin
memugarnya namun tidak ada satupun yang berhasil.26
24Interview dengan Bapak Mad Kamdari, Juru Kunci di Petilasan Sri Aji Jayabaya, 27 Februari 2004.
25 Interview dengan Kaur Bung Desa Menang, Bapak Kambyat, 27 Februari 2004. 26 Interview dengan Juru Kunci Petilasan Sri Aji Jayabaya, Bapak Misri, Jum’at 27 februari 2004
75
c. Dasar dan tujuan tradisi suroah di petilasan Sri Aji Jayabaya
Menurut salah seorang ketua yayasan Hondodento yang sekarang disebut
organisasi Hondodento bahwa tradisi suroan yang diadakan di petilasan Sri Aji
Jayabaya ini pada dasarnya adalah untuk melestarikan atau dalam bahasa
Jawanya “nguri-uri” atau “ngrumat” tradisi nenek moyang atau
leluhurnya.Disamping itu juga memuliakan serta memberikan penghormatan
terhadap arwah leluhurnya agar diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa. .27
Adapun tujuan tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya ini tidak bisa
dilepaskan dari tujuan dibangunnya petilasan karena tradisi suroan yang berupa
upacara ziarah Satu Suro ini adalah realisasi dari tujuan tersebut, yaitu
memuliakan keluhuran sang prabu Sri Aji Jayabaya, sebagai raja besar yang
tersohor agar di kemudian hari dapat dikenang oleh anak cucu kita atau generasi
penerus di bawahnya nenek moyang kita adalah bangsa yang luluh.28
Jadi dasar dan tujuan dari diadakannya upacara ziarah satu Suro sudah
mentradisi di kalangan masyarakat Menang dan sekitarnya adalah untuk
mengenang keluhuran dan kebesaran sang Prabu Sri Aji Jayabaya sekaligus
sebagai upaya melestarikan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai luhur
budaya bangsa Indonesia sehingga menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi
di kalangan generasi muda pada khususnya.
27 Ibid. 28 Ibid.
76
d. Pelaksanaan upacara suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya
Tradisi suroan yang diadakan di petilasan Sri Aji Jayabaya disebut
dengan upacara ziarah satu Suro.tentunya tidak terlepas dari komponen dan
tahapan di dalam upacara tersebut yaitu:
2) Tempat upacara
Upacara ziarah satu Suro ini ditempatkan di pemukiman atau
bangunan suci loka mukso Sri Aji Jayabaya yang berbentuk lingga dan yoni
serta diberi batu manik dan dikelilingi pagar beton tembus pandang dan
dilengkapi tiga buah pintu.29
3) Benda-benda dan alat-alat upacara
Benda pusaka yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara satu
Suro ini adalah berupa tongkat yang bentuknya besar yang merupakan
tongkat pusaka. Tongkat pusaka ini disebut “Kyai Bima”. Pusaka tersebut
berupa sebatang kayu yang didapat di petilasan Sang Prabu Jayabaya
sebelum dipugar. Petilasan itu ditandai dengan pohon kesambi dan ada juga
yang mengatakan pohon kemuning.30
Selain tongkat pusaka, alat lain yang digunakan berupa payung.
Payung ini bersusun satu yang dibawa oleh tamu biasa dan payung yang
bersusun tiga melambangkan kebesaran Sri Aji Jayabaya yang digunakan
untuk mengiringi pusaka tongkat.31
29 Observasi tanggal 22 Februari 2004. 30 Ibid. 31 Ibid.
77
Ada juga baki, bokor, keranjang bunga, dan paduan atau ratus.
Benda-benda tersebut disebut dengan benda-benda ampilan. Maksud dari
benda-benda ampilan yaitu benda-benda yang dipinjamkan oleh pihak
yayasan kepada pihak tuan rumah yaitu desa Menang sebagai kelengkapan
upacara.32
4) Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara
Orang-orang yang terlibat di dalam upacara satu Suro adalah
masyarakat desa Menang yang terdiri dari kepala desa, sesepuh masyarakat,
juru kunci dan masyarakat setempat. Adapun peserta lainnya adalah dari
pihak tamu seperti keluarga besar yayasan Hondodento, para undangan dan
terbuka untuk umum.33
Kepemimpinan acara ini masih dipercayakan kepada keluarga besar
yayasan Hondodento, seperti pemimpin upacara, peletakan tongkat pusaka,
acara munjuk atur, munjuk lengsengser dan pembacaan doa. Untuk upacara
selamatan/kenduri pada malam satu Suro sudah dilimpahkan ke desa
Menang.34
4). Saat upacara
Karena tradisi ini adalah tradisi suroan yang berupa upacara ziarah
Satu Suro, maka saat penyelenggaraannya pun yang tepat adalah pada setiap
tanggal 1 bulan Suro yang bertepatan juga dengan peringatan tahun baru 1
32 Observasi tanggal 22 Februari 2004 33 Ibid. 34 Ibid.
78
Muharram. Selain itu satu Suro adalah dimulainya penanggalan Jawa Islam
oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari kerajaan Islam Mataram 35
Menurut Bapak Edy salah satu anggota panitia pelaksanaan upacara
ziarah Satu Suro, menerangkan bahwa “tanggal 1 Suro merupakan tanggal
yang bersejarah karena tanggal tersebut adalah saat jumenengnya atau
pengangkatan seorang raja yaitu raja Sri Aji Jayabaya. Di samping itu
tanggal tersebut merupakan tahun baru Jawa yang mana bahwa upacara
tradisi tersebut yang memiliki adalah adat orang Jawa pada umumnya dan
khususnya masyarakat desa Menang”.36
Proses upacara 1 Suro di petilasan Sri Aji Jayabaya
a) Sehari sebelum upacara 1 Suro
Upacara ini dimulai pukul 18.00 WIB dengan tahapan upacara di
pendopo kelurahan dan di pamuksan. Adapun upacara tersebut:
- Upacara pemberangkatan sesaji
- Mengheningkan cipta sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
- Pemberangkatan sesaji ke pamuksan, kesemuanya ini dipimpin oleh
kepala desa.37
Sedangkan upacara di pamuksan sebagai berikut:
- Pembukaan
- Juru kunci menghaturkan maksud kedatangan ke pamuksan.
35 Interview dengan Edy, anggota panitia pelaksanaan upacara ziarah 1 Suro, 21 Februari 2004 36 Ibid. 37 Ibid.
79
- Bapak Sekdes selaku wakil masyarakat desa Menang sungkem ke
pamuksan.
- Sambutan kepala desa.
- Doa, pembacaan doa dipimpin oleh Bapak Kamituwo, adapun doa
tersebut berbunyi:
ديس دمحم انديس لا ىلعو دمحم انديس ىلع لص مهللا ىلع نع كرابت هللا ىضرو ملسو نيرخالاو نيلوالا مهللا نيملاعلا بر هلل دمحلاو .نيعمجا هللا لوسر باحصا تانمؤملاو نينمؤملاو تاملسملاو نيملسملا نم ىلرفغا مهللا .دمحم انديس ةم ىصنا مهللا .تاومالاو مهنم ايحالا دمجاو نيملسملا لذخ نم لذخاو نيدلا رصن نم ىصنا ةنسو كمكحا اهيف ىرجت ةبيط ةدلب هذه ايسوذنا انتدلب ءالعلاو ءالبلا انع عفدا مهللا .مويقايىحاي كلوسر تافلتخملاو فويسملاو ركنملاو اشخفلاو أبولاو نيملسملا نادلب نحو نطباحو اهنم رهظام ىخملاو دناسلاو انقو ةنسح ةرخالا ىفو ةنسح ايندلا ىف انتا انبر .ةماع .نيما نوفصي امع ةزعلا بر كبر ناحبس .رانلا باذع
Artinya:
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyanyang semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan salam
kepada junjungan kita Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad
pimpinan orang terdahulu dan terakhir. Dan semoga Allah memberikan
keselamatan ridha serta keberkahan kepada setiap sahabat Nabi
seluruhnya. Ya Allah ampunilah dosa orang Islam laki-laki dan
perempuan, yang masih hidup dan yang mati, ya Allah mohon
80
pertolongan untuk umat Muhammad. Ya Allah berilah pertolongan
kepada umat yang membela agama dan hinakanlah orang yang
menghinakan orang Islam, dan jadikanlah negara kita Indonesia ini
negara yang bersih dari kejelekan yang di dalamnya berjalan hukum-
hukum Allah dan sunnah-sunnah Rasul. Ya Allah jauhkanlah dari segala
macam mala petaka, belenggu, penyakit, kerusakan, peperangan,
perselisihan, kebodohan dan kesusahan dari yang nampak dan tidak
nampak dari negara seluruh ig Islam. Ya Allah berikanlah kepada kami
kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat serta
jauhkanlah kami dari siksa api neraka. Maha suci Tuhanmu yang
mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan
kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah
Tuhan seru sekalian alam”.38
Setelah acara selamatan, maka diteruskan dengan malam
tirakatan atau dalam bahasa Jawanya disebut “lek lean”. Ada juga yang
menyebut “tuguran”, yaitu melean atau tidak tidur semalam suntuk
sambil berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Bagi masyarakat
yang mengadakan lek lean di sekitar atau di pamuksan dibatasi sampai
38 Dokumentasi Yayasan Hondodento, berupa Susunan Acara dan Tata Cara Upacara Ziarah 1 Suro Di Desa Menang, Kecamatan Pagu Kabupaten Dati II, Kediri , Jawa Timur.
39 Ibid.
81
jam 02.00 WIB. karena setelah jam tersebut pihak panitia
mempersiapkan pelaksanaan upacara esok harinya.39
Persiapan selamatan ini biasanya terdiri dari:
1) Nasi gurih, nasi putih dengan sambal goreng, serundeng, mie, urap-
urap ketimun dan lauk pauk lainnya.
2) Nasi tumpeng dengan panggang ayam dan ayam bumbu.
3) Jenang suran yang berupa bubur putih yang diberi abon telur goreng
irisan dele goreng dan berkedel.
4) Pisang raja dan kembang wangi.
5) Untuk kuenya bisa berupa apem atau semua jenis papala kependem
seperti ketela, uwi, gembili dan sebagainya.40
b) Prosesi upacara satu Suro di petilasan Sri Aji Jayabaya
Upacara ziarah satu Suro ini, diatur secara prosesi meniru gaya
upacara kraton Yogyakarta. Peserta upacara laki-laki mengenakan
pakaian khas adat Jawa rakyat zaman kerajaan Mataram dahulu.
Berpakaian surjan berkain batik, setagenan menyekelit sebilah keris dan
memakai blangkon sebagai tutup kepala, untuk peserta putrinya,
memakai kain batik, berpakaian kebaya dan rambutnya dipasang konde,
40 Observasi tanggal 21 Februari 2004.
82
khusus petugas penabur bunga pakaian kebaya diganti dengan
kembenan.41
Sebelum acara upacara ini dimulai di pamuksan peserta upacara
berkumpul di pendopo kelurahan yang sudah siap dengan barisannya
masing-masing untuk mengikuti upacara pemberangkatan oleh Bapak
Bupati kepala daerah tingkat II Kediri atau yang mewakili.42
Persiapan upacara ini dimulai pukul 08.00 WIB dengan susunan
upacara sebagai berikut:
- Pembukaan
- Sambutan dari Bapak Bupati atau yang mewakili
- Pimpinan yayasan Hondodento menyerahkan tongkat pusaka sebagai
kelengkapan upacara kepada petugas.Laporan kepala desa Menang
kepada Bupati.
- Laporan Bupati atau yang mewakili memberangkatkan barisan atau
iring-iringan upacara.43
Barisan yang siap diberangkatkan tersebut enam bagian dan
susunannya yaitu:
- Barisan yang paling depan adalah pembuka barisan, yang terdiri dari
tiga orang putri yang membentuk segitiga dan di belakangnya ada 2
orang sebagai pendampingnya. Kemudian di belakangnya ada dua
41 Ibid. 42 Ibid. 43 Ibid.
83
orang anak putra dan satu putri. Sedangkan bagian belakang barisan
ini terdiri dari pembawa payung atau songsong susun tiga yang
berjumlah dua buah, serta pendamping. Tiga pembawa padupan atau
ratus, dan selebihnya adalah terdiri dari enambelas remaja putri
pembawa bunga tabur dan didampingi oleh enam belas orang
pemuda yang membawa payung susun satu.
- Barisan kedua adalah barisan petugas pembawa keris yang terdiri
dari dua orang, pembawa payung susun tiga satu orang dan
selebihnya adalah peserta upacara dari berbagai wakil cabang dan
masyarakat.
- Barisan ketiga dan keempat sama susunannya yaitu satu orang
pembawa payung tersusun satu hampir sama dengan barisan kedua,
tetapi tanpa petugas pembawa keris dan selebihnya adalah petugas
upacara lainnya.
- Barisan kelima dan keenam sama dengan susunan barisan keempat,
hanya saja barisan kelima dan keenam payungnya hanya bersusun
satu. Sedangkan selebihnya adalah peserta upacara yang terdiri dari
remaja putra dan putri, bapak ibu pamong desa beserta para
undangan.44
Adapun susunan acara upacara ziaroh satu Suro di petilasan
Sri Aji Jayabaya sebagai berikut:
44 Ibid.
84
a. Juru kunci menghaturkan keinginan seluruh peserta upacara
untuk menyelenggarakan upacara ziaroh satu Suro di hadapan
Sang Prabu Sri Aji Jayabaya.
b. Mengheningkan cipta dalam posisi duduk, dipimpin oleh
pimpinan rombongan.
c. Munjuk atur yang diwakili oleh pimpinan upacara menghaturkan
maksud kedatangan rombongan di hadapan Sri Aji Jayabaya.
d. Tabur bunga di halaman sebelah timur pamuksan yang dilakukan
oleh 16 remaja putri.
e. Meditasi/renungan, yang dilakukan oleh seluruh rombongan dan
“caos dahar” di pamuksan maksudnya adalah memberi santapan
berupa bunga tabur dengan cara menaburkan kepamuksaan. Caos
dahar dilakukan di loka mahkota dan loka busana.
f. Peletakan tongkat pusaka oleh pimpinan yayasan Hondodento.
g. Pembacaan doa. Adapun bunyi tersebut sebagai berikut:
1) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Mulia. Dengan segala
kerendahan hati, kami panjatkan puji syukur kehadirat-Mu,
karena atas ridho-Mu pada hari ini … kami dapat berkumpul
dari pusat wilayah petilasan sang Prabu Sri Aji Jayabaya
dalam rangka ziarah dan peringatan tahun baru Jawa…
85
2) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha
Pengampun. Ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa para
pahlawan dan leluhur kami. Terimalah jasa dan pengorbanan
jiwa raganya yang telah mereka persembahkan untuk meraih
kejayaan bangsa dan negara kami. Berilah mereka tempat
yang sebaik-baiknya di sisi-Mu sesuai dengan darma
baktinya.
3) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Arif dan Maha Bijaksana.
Berikanlah kepada kami dan pimpinan kami kekuatan,
keteguhan, petunjuk dan tuntunan-Mu sebagaimana telah
Engkau berikan kepada para pahlawan dan leluhur kami.
Perkenankanlah kami dan generasi penerus kami mewarisi
sifat-sifat budi pekerti leluhur para pahlawan dan leluhur
kami, dalam memelihara dan mengisi kemerdekaan bahasa
dan negara kami yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Agung. Berkatilah hidup
kami ini dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan lahir
batin baik di dunia maupun di hari kemudian. Hindarkanlah
kami dari segala macam bencana dan malapetaka.
Mudahkanlah jalan yang kami tempuh dalam mencapai cita-
cita masyarakat adil dan makmur.
5) Ya Allah, Tuhan yang Maha Mengetahui. Jadikanlah upacara
ziarah ini sebagai sarana untuk membangkitkan semangat 86
kami dan generasi penerus kami dalam melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai luhur sejarah dan budaya bangsa,
sekaligus mendorong ketulusan jiwa kami dan generasi
penerus kami untuk meneruskan darma bakti para pahlawan
dan leluhur kami, dalam mengabdikan diri kepada-Mu,
kepada bangsa dan negara kami Republik Indonesia.
6) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Kuasa. Kepada-Mulah kami
menyembah dan berserah diri, serta kepada-Mulah kami
memohon pertolongan.
7) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang
kabulkanlah do’a kami ini. Amin, Amin Ya Rabbal 'Alamin.45
h. Munjuk lengser yaitu menghaturkan rombongan untuk
diperkenankan mengundurkan diri dari hadapan Sri Aji Jayabaya.
i. Ketua yayasan Hondodento mengambil kembali tongkat pusaka
dari hadapan Sri Aji Jayabaya.
j. Caos dahar di pamuksan, loka busana dan lokas mahkota oleh
para tamu undangan dan masyarakat luas. Dalam hal ini dilayani
oleh petugas pembawa baki yang diiringi penyongsong.46
Selanjutnya iring-iringan barisan prosesi upacara menuju ke sendang
Tirtokamandanu. Adapun susunan acara di sendang Tirtokamandanu adalah
45 Dokumentasi Yayasan Hondodento, berupa Susunan Acara dan Tata Cara Upacara Ziarah 1 Suro Di Desa Menang, Kecamatan Pagu Kabupaten Dati II, Kediri , Jawa Timur
46Observasi pada tanggal 22 Februari 2004.
87
pembukaan, mengheningkan cipta, munjuk atur ke sendang, tabur bunga,
pembacaan do’a, munjuk lengser dan diakhiri dengan penutup.
Setelah upacara usai, proses barisan upacara kembali ke balai desa.
Sampainya di balai desa maka kepala desa memberikan laporan kepada
Bupati atau yang mewakili bahwa upacara ziarah telah selesai dilaksanakan.
Kemudian diteruskan dengan penyerahan pusaka tongkat kepada yayasan
Hondodento.47
B. Temuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan tradisi
suroan di petilasan Sri Aji jayabaya dan untuk mengetahui nilai-nilai keislaman dalam
tradisi suroan tersebut. Setelah peneliti mengumpulkan data dengan melalui wawancara
dan observasi dari beberapa informan, peneliti dapat menemukan beberapa hal yang
berkaitan dengan tujuan penelitian. Temuan penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya
a. Terdapat dua acara pada malam Suro dan pada tanggal 1 Suro.
b. Acara malam Suro meliputi kenduri/slametan di petilasan Sri Aji Jayabaya,
melean (tidak tidur semalam suntuk sampai jam 02.00). Menurut salah satu
pengunjung upacara ziarah satu Suro yaitu bapak Tiono, kenduri/slametan dan
mele’an mempunyai maksud sebagai do’a agar upacara satu Suro yang
diselenggarakan esok harinya bisa berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan.48
47Ibid. 48 Wawancara dengan bapak Tiono selaku pengunjung Upacara Ziarah Satu Suro.
88
c. Acara 1 Suro meliputi, iring-iringan barisan mulai dari kelurahan menuju ke
petilasan, menghaturkan keinginan menyelenggarakan upacara ziarah,
mengheningkan cipta, munjuk atur, tabur bunga di halaman sebelah timur
pamuksan, caos dahar di pamuksan, caos dahar di loka mahkota dan loka
busana, peletakan pusaka, pembacaan do’a, munjuk lengser, pengambilan
pusaka, caos dahar tamu undangan, dan terakhir penutup. Berdasarkan observasi
penulis seluruh prosesi pelaksanaan upacara ziarah satu Suro dilaksanakan
dengan penuh khidmat.49
d. Setelah iring-iringan rombongan selesai melaksanakan upacara di pamuksan,
dilanjutkan menuju sendang Tirtokamandanu, acaranya meliputi: pembukaan,
mengheningkan cipta, munjuk atur, tabur bunga, pembacaan do’a, munjuk
lengser dan penutup, temuan ini berdasakan observasi dari penulis.50
e. Dalam pelaksanaan upacara, para peserta berjalan merunduk ketika menuju
Pamuksan, caos dahar dan peletakan tongkat pusaka, hal ini menurut Bapak
Agus dilakukan bukan sebagai penyembahan tetapi sebagai penghormatan
terhadap leluhur Sri Aji Jayabaya.51
f. Yang menghadiri acara tersebut menurut bapak Ir Waka Waskita bukan saja dari
orang yang beragama Islam, melainkan dari berbagai agama lain dan
pengunjung tidaklah berasal dari desa Menang saja, tetapi juga dari berbagai
daerah dan kola lain seperti: Malang, Yogyakarta, Bali, dan Nganjuk.52
49 Observasi penulis pada tanggal 22 Februari 2004. 50 Observasi pada tanggal 22 Februari 2004. 51 Wawancara dengan bapak Agus, salah satu pelaksana ziarah satu suro. 52 wawancara dengan bapak Ir I Waka Waskita sebagai Salah satu pengunjung Ziarah satu suro.
89
g. Selain upacara satu Suro/acara tahunan menurut juru kunci masih ada acara lain
yaitu pada malam jum’at legi dan selasa kliwon berupa mele’an.53 Sedangkan
menurut Ibu Sri Rahayu hal ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan berkah
(diantaranya, kirim leluhur, mencari petunjuk dan mencari pesugihan).54
2. Nilai-nilai KeIslaman dalam Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya
Disamping nilai-nilai KeIslaman juga terdapat unsur-unsur Jawa, Hindu-
Budha diantaranya adalah Unsur Jawa: pada saat upacara mereka menggunakan
pakaian adat jawa berupa kebaya, jarit dan berkonde bagi peserta upacara perempuan,
sedangkan peserta laki-laki menggunakan blangkon dan keris yang diselipkan di
belakang baju.55 Selain itu, mereka menggunakan kemenyan dan bunga.56 Adapun
Unsur Hindhu-Budha terlihat pada kalimat awal dalam Munjuk Atur yang berbunyi
“Oom Awingnam Astuhu”.Baik yang dibaca di Sendang Tirto Kamandanu maupun
di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Unsur-unsur KeIslaman yang tampak antara lain:
a. Adanya do’a yang dipanjatkan kepada Allah SWT pada acara selamatan malam
Suro yang berupa pembacaan surat Al Fatihah dan Surat Yasin dilanjutkan
dengan pembacaan Tahlil dan kalimat tayyibah lainnya. Do’a yang dipanjatkan
tersebut merupakan respon yang bersifat emosional, yang mengakui bahwa
manusia lemah dan tiada berdaya yang hanya bergantung pada kekuasaan Allah
SWT.Sebagai dzat yang mengabulkan segala permohonan hamba-Nya.
53 Wawancara dengan juru kunci. 54 Wawancara dengan ibu Sri Rahayu, pengunjung ziarah satu suro. 55 Observasi penulis tanggal 22 Februari 2004
90
b. Istilah munjuk atur dan munjuk lengser pada upacara ziarah 1 Suro baik di
pamuksan maupun di sendang Tirtokamandanu yang menggunakan kalimat
“Gusti ingkang Maha Kuwaos” (Allah yang Maha Kuasa) dan “Gusti ingkang
Maha Agung” (Allah yang Maha Agung).Adapun yang dimaksud Gusti disini
adalah sebutan Jawa yang predikatnya kepada dzat Yang Maha Kuasa yaitu
Allah SWT. Sebutan Gusti sebagai penghormatan yang tinggi kepada Tuhan,
maka hal ini sama di mana pokok ajaran Islam yang salah satunya tertuang
dalam rukun iman yang juga menempatkan iman kepada Tuhan pada urutan
yang teratas.
c. Terdapatnya pembacaan do’a selamatan yang diawali dengan kalimat:
, sebagai kalimat yang menyebutkan dzat Yang Maha
Pengasih dan Penyayang yang dapat menjadikan kegiatan yang ada menjadi
kesuksesan atau sebaliknya dan perbuatan yang kita laksanakan mendapat ridho
dan memberi manfa’at bagi kita, sehingga tidak sia-sia dalam mengerjakan
perbuatan tersebut.
56 Wawancara dengan bapak Gatot selaku Tokoh masyarakat desa Menang.
91
BAB V
PEMBAHASAN
Kumpulan data yang dianalisa dalam skripsi ini bersumber dari hasil
wawancara dengan kepala desa, beberapa anggota yayasan Hondodento serta
beberapa pengunjung petilasan, dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang ada.
Mengacu pada fokus penelitian dalam skripsi ini, maka penulis akan sajikan berikut
ini hasil analisis data secara sistematis tentang pelaksanaan upacara suroan di
petilasan Sri Aji Jayabaya dan nilai-nilai keislaman pada tradisi suroan tersebut.
Pelaksanaan upacara suroan yang diadakan di petilasan Sri Aji Jayabaya atau
disebut upacara ziarah satu Suro ini meliputi 4 (empat) komponen yaitu tempat
upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, kelengkapan upacara, dan saat/proses
upacara. Proses upacara dilaksanakan tepat setiap tanggal 1 pada bulan Suro, yang
mana bertepatan juga dengan tahun baru Islam. Penyelenggaraan upacara ini sesuai
dengan pembagian upacara ritual masyarakat Jawa. Menurut Koentjoroningrat,
perayaan upacara tahunan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:1).Perayaan
hari besar Islam yang jatuh pada tanggal 1 Suro, 2)Perayaan maulud Nabi pada
tanggal 12 Mulud dan 3).Perayaan Rejeb-an.1
Pelaksanaan upacara suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya menurut penulis
sangat menjunjung nilai-nilai Jawa, hal ini dapat diketahui dari busana yang dipakai
1 Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 344.
92
pelaksana upacara dan bahasa yang digunakan serta gamelan yang mengiringi
upacara, akan tetapi nilai-nilai keislaman pun masih menyertai dalam pelaksanaan
upacara tersebut. Apalagi upacara suro-an itu bertepatan dengan tahun baru hijriyah
pada tanggal 1 Muharram.
Dalam pelaksanaan ziarah Satu Suro di samping terbentuk dari pola lama
yaitu animisme dan dinamisme, juga diperkaya oleh pengaruh unsur-unsur agama-
agama yang datang kemudian, seperti Hindu, Budha dan juga agama Islam. Dalam
proses perkembangannya terutama dalam proses pembukuan tata cara upacara
semakin menunjukkan nilai keislaman. Unsur/nilai keislaman yang dianggap
penting melalui sudut pandang ajaran Islam lebih konkritnya dalam menyangkut
pokok-pokok ajaran Islam di antaranya yaitu masalah aqidah atau rukun iman.
Keyakinan saja tidak cukup apabila tidak diwujudkan dengan amal perbuatan.
Misalnya dengan beribadah, berdo’a, mengagungkan kesucian-Nya dan pertolongan
hanya kepada Allah.
Pelaksanaan Suroan yang diselenggarakan tidak terlepas dari perasaan
mensucikan oleh para pelaksana upacara terhadap tempat upacara khususnya
petilasan Sri Aji Jayabaya, juga perasaan khidmat terhadap tongkat Kyai Bimo
Sakti, hal ini terlihat dari si pembawa tongkat Kyai Bimo Sakti berjalan merunduk
sewaktu sampai di petilasan Sri Aji Jayabaya untuk diletakkan di Pamuksan.
Perasaan khidmat yang dimiliki para pelaksana upacara suroan di Petilasan Sri Aji
Jayabaya desa Menang sangat sesuai sebagaimana yang diungkapkan oleh Abudin
Nata dan Dede Rosyada tentang nilai respon yang bersifat emosional dari manusia.
93
Menurut keduanya nilai-nilai agama dikategorikan menjadi empat yaitu : Nilai
kepercayaan kepada kekuatan gaib, nilai kepercayaan bahwa kesejahteraan hidup di
dunia dan akhirat tergantung pada hubungan yang baik dengan kekuatan gaib, nilai
respon yang bersifat emosional dari manusia, nilai akan adanya yang Kudus atau
perasaan suci.
Nilai-nilai keIslaman pada tradisi suroan jelas kita lihat pada do’a yang
dipanjatkan pada acara selamatan malam satu Suro. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Dhanu Priya Prabowo, bahwa budaya Jawa memiliki budaya lahir
dan budaya batin, budaya lahir berkaitan dengan kedudukan seseorang sebagai
makhluk hidup dan makhluk sosial. Dalam hal ini budaya Jawa memiliki kaidah-
kaidah yang dapat dengan mudah diidentifikasi berdasarkan ungkapan-ungkapan
budaya sebagai pengejawantahan nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakat.
Sebaliknya budaya batin berkait dengan persoalan yang bersifat supranatural atau hal-
hal yang dapat dijangkau berdasarkan perhitungan empirik/objektif.
Di dalam beberapa do’a yang diucapkan terdapat lafadz
yang jelas mengandung nilai-nilai keislaman, karena lafadz
tersebut hanya ada dalam ajaran Islam. Nilai-nilai keislaman lebih nampak dalam
do’a yang diucapkan oleh bapak kami tuwo. Do’a tersebut diantaranya adalah
ديس دمحم انديس لا ىلعو دمحم انديس ىلع لص مهللا لوسر باحصا ىلع نع كرابت هللا ىضرو ملسو نيرخالاو نيلوالا نيملسملا نم ىلرفغا مهللا نيملاعلا بر هلل دمحلاو .نيعمجا هللا .تاومالاو مهنم ايحالا تانمؤملاو نينمؤملاو تاملسملاو
94
Do’a tersebut merupakan do’a yang dipanjatkan untuk keselamatan dan
kesejahteraan bagi Nabi Muhammad sebagai Rosulullah dan juga para sahabat Nabi.
Do’a di atas juga memohon ampunankan kepada Allah SWT dosa-dosa seluruh
umat Islam baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.
Di samping itu nilai-nilai keislaman nampak juga dalam menyebut Allah
sebagai Gusti engkang Maha Agung dan Maha Kuwaos dalam Istilah munjuk atur
dan munjuk lengser pada upacara ziarah satu Suro baik di Pamuksan maupun di
Sendang Tirta Kamandanu.
95
BAB VI
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
hasil penelitian sebagai berikut:
1. Pelaksanaan tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya
a. Ada dua macam acara, yakni pada malam satu Suro dan pada tanggal satu
Suro.
b. Acara malam satu Suro meliputi kenduri dan mele’an di petilasan Sri Aji
Jayabaya.
c. Acara satu Suro meliputi iring-iringan barisan mulai dari kelurahan
menuju ke petilasan, menghaturkan keinginan penyelenggaraan upacara
ziarah, mengheningkan cipta, munjuk atur, tabur bunga, caos dahar,
peletakan pusaka, pembacaan doa, munjuk lengser, pengambilan pusaka,
caos dahar atau tamu undangan, dan penutup.
d. Selelah selesai upacara di pamuksan, berlanjut menuju sendang
Tirtokamandanu. Acaranya meliputi: pembukaan, mengheningkan cipta,
munjuk atur, tabur bunga, pembacaan do’a, munjuk lengser dan penutup.
2. Nilai-nilai Keislaman dalam suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya
a. Adanya doa yang dipanjatkan pada acara selamatan malam satu Suro.
Do’a yang dipanjatkan tersebut merupkan respon yang bersifat
emosional, yang mengakui bahwa manusia lemah dan tiada berdaya yang
96
hanya bergantung pada kekuasaan Allah SWT.Sebagai dzat yang
mengabulkan segala permohonan hamba-Nya.
b. Istilah munjuk atur dan munjuk lengser pada upacara ziarah satu Suro
baik di pamuksan maupun di sendang Tirtokamandanu yang
menggunakan kalimat-kalimat “Gusti ingkang Maha Kuwaos” (Allah
yang Maha Kuasa) dan “Gusti ingkang Maha Agung” (Allah yang Maha
Agung). Adapun yang dimaksud Gusti disini adalah sebutan Jawa yang
predikatnya kepada dzat Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT.
b. Sebutan Gusti sebagai penghormatan yang tinggi kepada Tuhan, maka hal
ini sama di mana pokok ajaran Islam yang salah satunya tertuang dalam
rukun iman yang juga menempatkan iman kepada Tuhan pada urutan yang
teratas.
c. Terdapatnya pembacaan doa selamatan yang diawali dengan kalimat:
sebagai kalimat yang menyebutkan dzat Yang
Maha Pengasih dan Penyayang yang dapat menjadikan kegiatan yang ada
menjadi kesuksesan atau sebaliknya.
97
B. Saran
Diharapkan studi tentang nilai-nilai keislaman pada tradisi suroan ini,
dapat disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari segi lain.
Sehingga dapat memberikan gambaran yang lengkap pada tradisi suroan yang
berupa upacara ziarah satu suro tersebut, dalam skala yang lebih luas.
Sebagai generasi muda dan penerus cita-cita bangsa yang berkepribadian
muslim, dengan sendirinya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab akan
kelangsungan agama, umat maupun masa depan bangsa. Untuk itu, demi
tegaknya ajaran Islam terutama yang menyangkut akidah Islamiyah dan
memberikan pembinaan bagi para pengunjung dan masyarakat sekitarnya agar
tidak terjerumus pada perbuatan yang berbau syirik.
98