lestarikan atau tinggalkan

47
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bagi sebagian orang Bali tajen adalah bagian dari ritual adat budaya yang identik dengan tabuh rah harus dijaga dan dilestarikan, bagi sebagian orang Bali yang lain, tajen merupakan bentuk perjudian yang harus dihapuskan, karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma dalam agama Hindu- Bali itu sendiri. Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa judi itu dilarang dalam Agama. Judi khususnya tajen sudah mentradisi di Bali. Dampak negatif pariwisata dalam hal ini seolah-olah 1

Upload: chikoo-shadakoo

Post on 11-Aug-2015

75 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

mengenai tajen di bali

TRANSCRIPT

Page 1: lestarikan atau tinggalkan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bagi sebagian orang Bali tajen adalah bagian dari ritual adat

budaya yang identik dengan tabuh rah harus dijaga dan dilestarikan, bagi

sebagian orang Bali yang lain, tajen merupakan bentuk perjudian yang

harus dihapuskan, karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma

dalam agama Hindu-Bali itu sendiri.

Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena

umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa

judi itu dilarang dalam Agama. Judi khususnya tajen sudah mentradisi di

Bali. Dampak negatif pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan

tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan atau

patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau

gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya.

Berjudi juga sering menjadi simbol eksistensi kejantanan. Laki-laki yang

tidak bisa bermain judi dianggap banci. Judi juga menjadi sarana

pergaulan, mempererat tali kekeluargaan dalam satu Banjar. Oleh karena

itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak

1

Page 2: lestarikan atau tinggalkan

bisa “menyama beraya”. Di zaman dahulu sering pula status sosial

seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja Bali

khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya.

Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi dilarang Agama Hindu antara lain

karena pengetahuan agama terutama yang menyangkut Tattwa dan Susila

kurang disebarkan ke masyarakat.

Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang

dengan cepat tanpa bekerja. Yang dimaksud dengan bekerja menurut

Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya

sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9 :

Yajnarthat karmano nyatra, loko yam karmabandhanah, tadartham karma kaunteya, muktasangah samacara.

Artinya “Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk

yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma. Oleh karenanya Oh

Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan diri dari semua

ikatan.” Dengan demikian mereka yang ingin dapat hasil tanpa bekerja

tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada unsur untung-untungan

atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan keberanian orang-orang

tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan mereka berspekulasi

dengan harapan hampa mendapat kemenangan

Menurut sejarah, tajen dianggap sebagai sebuah proyeksi profan

dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah

2

Page 3: lestarikan atau tinggalkan

merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan

saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan pada saat tilem.

Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai

salah satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ke tanah

dianggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada

akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan naik

tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain dengan

derajat lebih tinggi atau manusia. Matabuh darah binatang dengan warna

merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung

ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan

tajen adalah, dimana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh

sampai mati, jarang sekali terjadi sapih. Upacara tabuh rah bersifat sakral

sedangkan tajen adalah murni bentuk praktik perjudian.

Sampai saat ini, persoalan tajen di Bali tetap menjadi sesuatu yang

cukup dilematis. Dalam perspektif hukum positif, kegiatan apapun yang

mengandung unsur permainan dan menyertakan taruhan berupa uang,

maka dianggap sebagai perjudian dan dianggap terlarang. Namun di sisi

lain, tajen yang sebenarnya merupakan sebuah proyeksi profan dari tabuh

rah dianggap sebagai salah satu bentuk upacara adat yang sakral, patut

dijunjung tinggi, dihormati dan tentu saja dilestarikan.

Jadi berdasarkan uraian di atas menarik  jika masalah tajen di Bali

diangkat menjadi sebuah topik permasalahan. Kedua hal di atas, yaitu

3

Page 4: lestarikan atau tinggalkan

antara makna hakiki upacara adat di Bali dan pola pergeseran makna yang

terjadi pada kasus tajen pada kenyatannya saling berintegrasi dan secara

konkret sulit dipisahkan. Pergeseran makna yang terjadi sudah terlanjur

terinternalisasi dalam kesadaran intelektual dan perasaan orang Bali.

Tanpa disadari pergeseran makna tersebut “mencengkeram masyarakat

Bali”, tentunya masyarakat Bali yang menyetujui dan mempertahankan

adanya tajen. Tajen yang mulanya dianggap berasal dari upacara tabuh

rah, telah berdiri sendiri menjadi satu konstruksi budaya yang tanpa

disadari mereka menjebak dalam konstruksi nilai yang bertentangan

dengan hakikat nilai yang sebenarnya dianut oleh masyarakat Hindu-Bali.

Sebuah harmonisasi antara bhuana agung dan bhuana alit, upakara suci

untuk upacara suci, upacara suci untuk menjaga realitas ambang antara

yang abstrak dan yang nyata. Antara nilai adat, Agama hukum positif dan

kepentingan industri pariwisata.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka penulis membatasi masalah yang akan di

bahas dalam makalah ini yakni :

1. Bagaimanakah perbedaan antara judi tajen dengan tabuh rah yang ada di

Bali?

2. “Tajen” judi, budaya ataukah yadnya ?

3. Bagaimana kajian judi tajen ditinjau dari kitab Manawadharmasastra?

4. Bagaimana kajian judi tajen ditinjau dari kitab Rg Weda?

4

Page 5: lestarikan atau tinggalkan

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui perbedaan antara judi tajen dengan tabuh rah yang

ada di Bali.

2. Umtuk mengetahui Tajen termasuk dalam kategori judi, budaya atau

tajen.

3. Untuk mengetahui kajian judi tajen ditinjau dari kitab

Manawadharmasastra.

4. Untuk mengetahui kajian judi tajen ditinjau dari kitab Rg Weda.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah :

1. Bagi masyarakat Bali tentunya akan lebih bisa membedakan antara judi

tajen dengan tabuh rah dimana judi tajen menurut kitab-kitab Hindu dan

sumber hukum Hindu dilarang karena melanggar ajarn agama dan hokum

perundang-undangan, sehingga tidak menjadikan tabuh rah sebagi topeng

untuk melegalkan perjudian yang atas nama adat.

2. Bagi pembaca nantinya akan lebih mengenal serta mendapatkan informasi

yang lebih jelas tentang tajen dan tabuh rah.

3. Bagi penulis ini sebagai ajang untuk menjajal kemampuan di bidang karya

tulis yang secara tidak langsung memberikan kontribusi positif terhadap

orang banyak.

5

Page 6: lestarikan atau tinggalkan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Sabung Ayam Di Nusantara

Ternyata Sejarah Sabung Ayam Di Nusantara Bukan Sekedar

Permainan Semata. Adu Ayam Jago atau biasa disebut sabung ayam

merupakan permainan yang telah dilakukan masyarakat di kepulauan

Nusantara sejak dahulu kala. Permainan ini merupakan perkelahian ayam

jago yang memiliki taji dan terkadang taji ayam jago ditambahkan serta

terbuat dari logam yang runcing. Permainan Sabung Ayam di Nusantara

ternyata tidak hanya sebuah permainan hiburan semata bagi masyarakat,

tetapi merupakan sebuah cerita kehidupan baik sosial, budaya maupun

politik.

 

Sabung Ayam di Bali 1915 (Koleksi www.kitlv.nl)

6

Page 7: lestarikan atau tinggalkan

Permainan Sabung Ayam di pulau Jawa berasal dari folklore (cerita

rakyat) Cindelaras yang memiliki ayam sakti dan diundang oleh raja Jenggala,

Raden Putra untuk mengadu ayam. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden

Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya

dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra

menjadi milik Cindelaras. Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani.

Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang

Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.

Akhirnya raja mengakui kehebatan ayam Cindelaras dan mengetahui bahwa

Cindelaras tak lain adalah putranya sendiri yang lahir dari permaisurinya yang

terbuang akibat iri dengki sang selir.

Anak-anak Menonton Sabung Ayam di Jawa 1900

(Koleksi www.kitlv.nl)

7

Page 8: lestarikan atau tinggalkan

Sabung ayam juga menjadi sebuah peristiwa politik pada masa lampau.

Kisah kematian Prabu Anusapati dari Singosari yang terbunuh saat menyaksikan

sabung ayam. Kematian Prabu Anusapati terjadi pada hari Budha Manis atau

Rabu Legi ketika di kerajaan Singosari sedang berlangsung keramaian di Istana

Kerajaan salah satunya adalah pertunjukan sabung ayam. Peraturan yang berlaku

adalah siapapun yang akan masuk kedalam arena sabung ayam dilarang membawa

senjata atau keris. Sebelum Anusapati berangkat ke arena sabung ayam, Ken

Dedes ibu Anusapati menasehati anaknya agar jangan melepas keris pusaka yang

dipakainya jika ingin menyaksikan sabung ayam yang diselenggarakan di Istana,

tetapi sesaat sabung ayam belum dilakukan Anusapati terpaksa melepaskan

kerisnya atas desakan Pranajaya dan Tohjaya. Pada saat itu diarena terjadi

kekacauan dan akhirnya peristiwa yang dikuatirkan Ken Dedes terjadi dimana

kekacauan tersebut merengut nyawa Anusapati yang tergeletak mati diarena

sabung ayam dibunuh adiknya Tohjaya tertusuk keris pusakanya sendiri.

Kemudian jenasah Anusapati dimakamkan di Candi Penataran dan kejadian itu

tetap dikenang orang, kakak beradik dari satu ibu Ken Dedes itu memang

diriwayatkan memiliki kesukaan menyabung ayam. terdapat dalam cerita rakyat

Ciung Wanara yang mengisahkan keberuntungan dan perubahan nasib seseorang

ditentukan oleh kalah menangnya ayam di arena sabung ayam.

Sedangkan di Bali permainan sabung ayam disebut Tajen. Tajen berasal-

usul dari tabuh rah, salah satu yadnya (upacara) dalam masyarakat Hindu di Bali.

Tujuannya mulia, yakni mengharmoniskan hubungan manusia dengan bhuana

8

Page 9: lestarikan atau tinggalkan

agung. Yadnya ini runtutan dari upacara yang sarananya menggunakan binatang

kurban, seperti ayam, babi, itik, kerbau, dan berbagai jenis hewan peliharaan lain.

Persembahan tersebut dilakukan dengan cara nyambleh (leher kurban dipotong

setelah dimanterai). Sebelumnya pun dilakukan ngider dan perang sata dengan

perlengkapan kemiri, telur, dan kelapa. Perang sata adalah pertarungan ayam

dalam rangkaian kurban suci yang dilaksanakan tiga partai (telung perahatan),

yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Perang

Tradisi ini sudah lama ada, bahkan semenjak zaman Majapahit. Saat itu

memakai istilah menetak gulu ayam. Akhirnya tabuh rah merembet ke Bali yang

bermula dari pelarian orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200.

Serupa dengan berbagai aktivitas lain yang dilakukan masyarakat Bali

dalam menjalani ritual, khususnya yang berhubungan dengan penguasa jagad,

tabuh rah memiliki pedoman yang bersandar pada dasar sastra. Tabuh rah yang

kerap diselenggarakan dalam rangkaian upacara Butha Yad-nya pun banyak

disebut dalam berbagai lontar. Misalnya, dalam lontar Siwa Tattwapurana yang

antara lain menyebutkan, dalam tilem kesanga (saat bulan sama sekali tidak

tampak pada bulan kesembilan penanggalan Bali). Bathara Siwa mengadakan

yoga, saat itu kewajiban manusia di bumi memberi persembahan, kemudian

diadakan pertarungan ayam dan dilaksanakan Nyepi sehari. Yang diberi kurban

adalah Sang Dasa Kala Bumi, karena jika tidak, celakalah manusia di bumi ini.

Sedangkan dalam lontar Yadnya Prakerti dijelaskan, pada waktu hari raya

diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan kesanga patutlah mengadakan

9

Page 10: lestarikan atau tinggalkan

pertarungan ayam tiga sehet dengan kelengkapan upakara. Bukti tabuh rah

merupakan rangkaian dalam upacara Bhuta Yadnya di Bali sejak zaman purba

yang juga didasarkan dari Prasati Batur Abang I tahun 933 saka dan Prasasti

Batuan tahun 944 saka.

Dalam kebudayaan Bugis sendiri sabung ayam merupakan kebudayaan

telah melekat lama. Menurut M Farid W Makkulau, Manu’ (Bugis) atau Jangang

(Makassar) yang berarti ayam, merupakan kata yang sangat lekat dalam

kehidupan masyarakat Bugis Makassar. Gilbert Hamonic menyebutkan bahwa

kultur bugis kental dengan mitologi ayam. Hingga Raja Gowa XVI, I Mallombasi

Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, digelari “Haaantjes van het Oosten” yang

berarti “Ayam Jantan dari Timur.

Sabung Ayam di Sulawesi 1910 (Koleksi www.kitlv.nl)

Dalam kitab La Galigo diceritakan bahwa tokoh utama dalam epik mitik

itu, Sawerigading, kesukaannya menyabung ayam. Dahulu, orang tidak disebut

10

Page 11: lestarikan atau tinggalkan

pemberani (to-barani) jika tidak memiliki kebiasaan minum arak (angnginung

ballo), judi (abbotoro’), dan massaung manu’ (adu ayam), dan untuk menyatakan

keberanian orang itu, biasanya dibandingkan atau diasosiasikan dengan ayam

jantan paling berani di kampungnya (di negerinya), seperti “Buleng – bulengna

Mangasa, Korona Mannongkoki, Barumbunna Pa’la’lakkang, Buluarana Teko,

Campagana Ilagaruda (Galesong), Bakka Lolona Sawitto, dan lain sebagainya.

Dan hal sangat penting yang belum banyak diungkap dalam buku sejarah adalah

fakta bahwa awal konflik dan perang antara dua negara adikuasa, penguasa

semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dan Bone

diawali dengan “Massaung Manu”. (Manu Bakkana Bone Vs Jangang Ejana

Gowa).

Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng

Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) mengadakan kunjungan resmi ke

Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Kedatangan tamu negara

tersebut dimeriahkan dengan acara ’massaung manu’. Oleh Raja Gowa, Daeng

Bonto mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ bertaruh dalam sabung

ayam tersebut. Taruhan Raja Gowa 100 katie emas, sedang Raja Bone sendiri

mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampong). Sabung ayam antara dua

raja penguasa semenanjung timur dan barat ini bukanlah sabung ayam biasa,

melainkan pertandingan kesaktian dan kharisma. Alhasil, Ayam sabungan Gowa

yang berwarna merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan

Bone (Manu Bakkana Bone).

11

Page 12: lestarikan atau tinggalkan

Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan

kesaktian dan kharisma Raja Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng

Bonto merasa terpukul dan malu. Tragedi ini dipandang sebagai peristiwa siri’

oleh Kerajaan Gowa. Di lain pihak, kemenangan Manu Bakkana Bone

menempatkan Kerajaan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan

– kerajaan kecil yang terletak di sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama

sesudah peristiwa sabung ayam tersebut serta merta kerajaan – kerajaan kecil di

sekitar Kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan atau tanpa tekanan

militer, seperti Ajang Ale, Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe.

Rupanya sabung ayam pada dahulu kala di Nusantara bukan hanya sebuah

permainan rakyat semata tetapi telah menjadi budaya politik yang mempengaruhi

perkembangan sebuah dinasti kerajaan.

2.2 Perbedaan antara Judi Tajen dengan Tabuh Rah

A. Judi Tajen

Judi tajen kalau kita kaji terdiri dari dua suku kata yaitu “judi” dan

“tajen”. Dalam Ensiklopedia Indonesia (2000:474) Judi diartikan sebagai

suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu

pertandingan,permainan atau kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga

sebelumnya. Sedangkan Kartini Kartono (2007:65) mengartikan judi adalah

pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu

yangdianggap bernilai, dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan

12

Page 13: lestarikan atau tinggalkan

tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaandan

kejadian-kejadian yang belum pasti hasilnya. Menurut KUHP Pasal 303 ayat

(3) mengartikan judi adalah tiap-tiap permainan yang mendasarkan

pengharapan buat menang pada umumnya bergantung kepada untung-

untungan saja dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena

kepintaran dan kebiasaan pemainan. Jadi berdasarkan ketiga pendapat

tersebut dapat disimpulkan judi adalah perbuatan yang dilakukan dalam

berbentuk permainan atau perlombaan yang dilakukan semata-mata untuk

bersenang-senang atau kesibukan dalam mengisi waktu senggang serta ada

taruhan yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar baik dalam bentuk

uang ataupun harta benda lainnya sehingga tentu saja ada pihak yang

diuntungkan dan yang dirugikan.

Istilah tajen berasal dari kata taji yang berarti pisau kecil. Taji atau

pisau kecil inilah yang nantinya akan dipasang pada kaki ayam yang akan

diadu. Adapun jenis-jenis tajen yaitu Pertama, tajen dalam ritual tabuh rah

yang lazim diadakan berkaitan dengan upacara agama. Tabuh berarti

mencecerkan dan rah adalah darah. Pelaksanaan tajen dalam tabuh rah

dianggap sebagai bagian dari rangkaian pelaksanaan upacara sehingga

pelaksanaannya tidak dilarang.  Kedua, tajen terang sengaja digelar desa adat

untuk menggalang dana. Berdasarkan hukum adat, tajen terang tidak dilarang,

bahkan setiap desa adat memiliki awig-awig yang mengatur tata cara tajen

meski tidak tertulis. Ketiga, tajen branangan yang tanpa didahului izin kepala

desa adat serta semata-mata berorientasi judi.

13

Page 14: lestarikan atau tinggalkan

B.     Tabuh Rah

Dalam setiap upacara adat Hindu di Bali, ada beberapa proses yang

harus dijalani dengan melangsungkan upacara Tabuh Rah. “Tabuh” berarti

menaburkan dan “rah” berati darah. Tujuan penyembelihan darah

binatang seperti: babi, bebek, kerbau, ayam adalah sebagai pelengkap

upacara yang dilangsungkan. Darah perlambang merah dari binatang

tersebut di gunakan sebagi bahan pelengkap metabuh. Metabuh adalah

proses menaburkan lima macam warna zat cair adapun empat  bahan yang

lain diantaranya zat berwarna putih dengan tuak, berwarna kuning dengan

arak, berwarna hitam dengan berem, berwarna merah dengan taburan

darah binatang dan ada dengan warna brumbun dengan mencampur empat

warna tersebut.

Matabuh dengan lima zat cair adalah simbol untuk mengingatkan

agar umat manusia menjaga keseimbangan lima zat cair yang berada

dalam Bhuwana Alit. Jika lima zat cair itu berfungsi dengan baik maka

orang pun akan hidup sehat dan bertenaga untuk melangsungkan 

hidupnya. Lima zat cair yang disimbolkan adalah darah merah, darah

putih, kelenjar perut yang berwarna kuning, kelenjar empedu warnanya

hitam dan air itu sendiri simbol semua warna atau brumbun. Air itu bening

berwarna netral,perpaduan fungsi lima zat cair dalam tubuh inilah yang

akan membuat hidup sehat.

14

Page 15: lestarikan atau tinggalkan

Pelaksanaan tabuh rah diadakan pada tempat dan saat- saat upacara

berlangsung oleh sang Yajamana. Pada waktu perang satha disertakan toh

dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari

keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi. Perang

satha adalah pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara

agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sabungan, dilakukan

tiga babak. ( telung perahatan) yang mengandung makna arti magis

bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir.

Hakekatnya perang adalah sebagai simbol daripada perjuangan (Galungan)

antara dharma dengan adharma. Aduan ayam yang tidak memenuhi

ketentuan- ketentuan tersebut di atas tidaklah perang satha dan bukan pula

runtutan upacara Yadnya. Di dalam prasasti- prasasti disebutkan bahwa

pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang. Adapun

yang menjadi sumber untuk melakukan tabuh rah tersebut adalah

a)Prasasti Bali Kuna (Tambra prasasti) seperti: 1) Prasasti Sukawana A l

804 Çaka, 2) Prasasti Batur Abang A 933 Çaka, 3) Prasasti Batuan 944

Çaka b)Lontar- lontar seperti: 1) Siwatattwapurana, 2) Yadnyaprakerti.

2.3 Dasar penggunaan tabuh rah adalah prasasti- prasasti Bali Kuna dan

15

Page 16: lestarikan atau tinggalkan

lontar- lontar 

Prasasti Batur Abang A l. tahun 933 Çaka

…………… mwang yan pakaryyakaryya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithaninnya, tan pamwita, tan pawwata ring nayakan saksi………….

………….. lagi pula bila mengadakan

upacara- upacara misalnya tawur Kasanga

patutlah mengadakan sabungan ayam tiga

sehet (babak) di desanya, tidaklah minta ijin

tidaklah membawa (memberitahu.) kepada

yang berwenang………..

Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Çaka

………….. kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli……………

………………. adapun bila mengadu ayam

di tempat suci dilakukan 3 sehet (babak)

tidak meminta

ijin kepada yang berwenang, dan juga

kepada pengawas sabungan tidak dikenakan

cukai :………

Lontar Çiwa Tattwa PuranaMuah ring tileming Kesanga, hulun magawe yoga, teka wang ing madhyapada magawe tawur kesowangan, den hana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang Kala Daça Bhumi, yanora samangkana rug ikang ning madhyapada

Lagi pula pada tilem Kasanga Aku (Bhatara

Çiwa)

mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di

bumi

ini membuat persembahan masing- masing,

lalu

adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari

(ketika) itu beri korban (hidangan) Sang

16

Page 17: lestarikan atau tinggalkan

Kala Daça

Bhumi, jika tidak celakalah manusia di bumi

…..

Lontar Yajna Prakerti

……….. rikalaning reya- reya, prang uduwan, masanga kunang wgila yamanawunga makantang tlung parahatan saha upakara dena jangkep……

…………… pada waktu hari raya, diadakan

pertarungan suci misalnya pada bulan

Kasanga, patutlah mengadakan pertarungan

ayam tiga sehet lengkap dengan

upakaranya……………

2.4 Judi, Budaya  atau Yadnya

Dalam perkembangannya, ritual suci tabuh rah mengalami pergeseran

17

Page 18: lestarikan atau tinggalkan

makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikan kemudian sering di

salah gunakan. Berbicara tentang tajen dimana, merupakan metamarfosa dari

tabuh rah sendiri memang sulit dipahami  apakah termasuk judi murni, budaya

(adat-istiadat) atau yadya?

Banyak sekali persepsi masyarakat Bali-Hindu yang memandang bahwa

tajen merupakan, budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan

masyarakat Bali, dan ada juga yang memberikan pandangan tajen merupakan

persayaratan dari yadnya. Memang tidak bisa dimungkiri dari sudut pandang 

berbagai kalangan masyarakat Bali mengenai tajen antara budaya dan

yadnya(agama) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama

lainya.Bila kita amati apabila ada upacar-upacara yadya disuatu daerah atau

banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, karna tajen merupakan

bagian yang tak dipisahkan dari sebuah upacara, meskipun terkadang orientasinya

bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh

masyarakat Bali dan identik dengan sebuah taruhan sebagi bumbu-bumbu untuk

lebih menarik.

Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah

adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan(bhuta

yadya). Setelah berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan

budaya  tabuh rah mengalami pergeseran makna dan tujuannya  menjadi tajen.

Sedangkan tajen yang kita kenal diamsyarakat sekarang ini adalah tajen yang

18

Page 19: lestarikan atau tinggalkan

bernuansa judi dan menjadi sebuah taruhan dengan menggunakn materi atau uang,

sehingga tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali  merupakan perjudian

murni bukan yadnya.Namun, tajen  memiliki satu-kesatuan sudut pandang dari

masyarakat bahwa aktivitas tersebut masih  merupakan bagian dari yadnya dan

budaya yang ada sejak terdahulu.

1) Sudut Pandang Hindu

Kebenaran konteks pengertian pertaruhan dalam tajen tentunya masih

dapat dilihat dan dikaji dari berbagai pandangan selain dari sudut pandang

etika sosial masyarakat Bali dan hukum positif.sedangkan dari perspektif

agama Hindu sendiri , seperti tertera dalam Manawa Dharmasastra V.45, yaitu

“Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate”

Artinya: “Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya

dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang

itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan . Ia selalu berada dalam keadaan

tidak hidup dan tidak pula mati.”

Demikian juga ketika dikembalikan pada hakikat yadnya dan tabuh

rah. Di dalam tabuh rah terkandung makna mengenai etika upacara demi

menjaga kesucian yadnya. Yandnya yang dipersembahkan secara suci untuk

sebuah kesucian yang lebih hakiki. Dimana upacara yang suci menjadi media 

yang berada pada realitas ambang antara yang partikular, yaitu buana alit,

19

Page 20: lestarikan atau tinggalkan

yaitu jiwa kecil atau manuasia dan yang lebih universal yaitu bhuana agung

atau alam semesta.

Orang bali berprinsip harus terjadi keseimbangan diantara keduanya.

Selain itu masih dalam kitab suci Manawa Dharmasastra  Buku IX

Atha Nawano Dyayah

Sloka 221 sampai 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan

mengenai judi. Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan  pertaruhan.

Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian. Misalnya uang,

mobil, tanah dan  rumah. Sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut

pertaruhan. Misalnya, binatang peliharaan,manusia, bahkan istri sendiri.

Seperti yang dilakukan oleh panca pandawa dalam epos Bharata

Yudha ketika Dewi Drupadi yang dijadikan objek pertaruhan melawan

Korawa. Selain itu dalam kitab suci Rg Veda Mandala X. Sukta 34. Mantra

3,10 dan 13 dengan tegas melarang orang berjudi. Berjudi itu dapat

menyengsarakan keluarga. Kerjakanlah sawah ladang cukupkan serta

puaskanlah penghasilan itu. Demikian antara lain isi Mantara Veda tersebut.

Sangat jelaslah bahwa dalam ajaran Hindupun menentang keras

adanya penyiksaan mahluk hidup , yang digunakan sebagai media dalam tajen

dan  perjudian yang menggunakan benda hidup maupun non hidup. Bukan

bermaksud untuk menakut-nakuti masyarakat yang senang berjudi namun

sebaliknya memberikan masukan, bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak

20

Page 21: lestarikan atau tinggalkan

sepatutnya terus dikembangkan hingga anak cucu kita dan menjadi “budaya”

yang merugikat masyarakat Bali- Hindu khususnnya.

2) Pandangan Sosial

Bila boleh menyimpulkan secara pragmatis dalam kasus tajen di Bali telah

terjadi keracunan berpikir(Jalaludin 2000:17) Argumetum ad Verecundiam yaitu

beragumen dengan menggunakan otoritas yang tidak relevan atau ambigu. Ada

orang yang terkadang secara berpihak berusaha memebenarkan paham dan

kepentingannya dengan menggunakan satu otoritas atau pembenar tertentu. Dalam

kasus tajen, adat dapat diindikasikan sebagai suatu otoritas pembenar untuk sebagi

argumen bahwa tajen dapat dibenarkan.

Selain itu uang merupakan menjadi salah satu faktor utama yang

menyebabkan tajen masih eksis.di wilayah agama uang memiliki makna simbolik

yang sangat kuat baik secara denotatif maupun konotatif.Dalam judi tajen konteks

pengertian fungsi simbolik uang tanpa didasari alasan untuk resistensi adat dan

resistensi kolektifitas mabanjar .

Dengan melihat budaya Bali termasuk tajen didalamnya yang telah

melekat dihati masyarakat sampai sekarang , tentunya merupakan sebuah budaya

yang luar biasa tanpa menyalah artikan dan  maksud dari tajen tersebut.

Memandang bahwa tajen adalah aset yang perlu dilestarikan untuk menunjang

pariwisata budaya tanpa menggunakan budaya tersebut sebagi ajang untuk

21

Page 22: lestarikan atau tinggalkan

berjudi.

2.5 Kajian Judi Tajen Menurut Kitab

A. Kitab Manawadharmasastra

Yo’himsakaani bhuutaani hinas, tyaatmasukheaschaya. Sa jiwamsca mritascaiva na. Kvacitsukhamedhate.

(Manawa Dharmasastra V.45) Maksudnya adalah Ia yang menyiksa makhluk

hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan

nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan.

Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati. Penyiksaan

dan pembunuhan yang dilakukan hanya untuk kesenangan adalah dosa.

Orang yang melakukan hal itu tidak akan memperoleh kebahagiaan baik di

dunia ini maupun di masa kelahiran berikutnya.

1) Dyūtaṁ samaḥ vayaṁ caiva rāja rātrannivarayet, rājanta karaóa vetau dvau dośau pṛthivikśitam.

Manavadharmaśāstra IX.221.(Perjuadian dan pertaruhan supaya benar-

benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya, ke dua hal itu

menyebabkan kehancuran negara dan generasi muda).

2) Prakaśaṁ etat taskaryam yad devanasama hvayau, tayornityaṁ pratighate nṛpatir yatna van bhavet.

Manavadharmaśāstra IX.222.(Perjudian dan pertaruhan menyebabkan

pencurian, karena itu pemerintah harus menekan ke dua hal itu)

22

Page 23: lestarikan atau tinggalkan

3) Apraṇibhiryat kriyate tal loke dyūtam ucchyate, praṇibhiḥ kriyate yāstu na vijñeyaḥ sāmahvayaḥ.

Manavadharmaśāstra IX.223. (Kalau barang-barang tak berjiwa yang

dipakai pertaruhan sebagai uang,hal itu disebut perjudian, sedang bila

yang dipakai adalah benda-bendaberjiwa untuk dipakai pertaruhan, hal

itu disebut pertaruhan).

4) Dyūtaṁ sāmahvayaṁ caiva yaḥ kūryat karayate va, tansarvan ghatayed rājaśudramś ca dvija linggi.

Manavadharmaśāstra IX.224. (Hendaknya pemerintah menghukum

badanniah semua yang berjudi dan bertaruh atau mengusahakan

kesempatan untuk itu, seperti seorang pekerja yang memperlihatkan

dirinya (menggunakan atribut) seorang pandita)

5) Kitavān kuśìlavān kruran paśandasthaṁśca manavan,vikramaśṭhanañca undikaṁś ca kśipram nirvāśayetprat.

Manavadharmaśāstra IX.225. (Penjudi-penjudi, penari-penari dan

penyanyi-penyanyi (erotis), orang- orang yang kejam, orang-orang

bermasalah di kota, mereka yang menjalankan pekerjaan terlarang dan

penjual-penjual minuman keras, hendak- nya supaya dijauhkan dari

kota (oleh pemerintah) sesegera mungkin).

6) Eta raśṭre vartamana rajñaḥ pracchannataskaraḥ, vikarma kriyaya nityam bhadante bhadrikaḥ prajāḥ.

Manavadharmaśāstra IX.226.(Bilamana mereka yang seperti itu yang

merupakan pencuri terselubung, bermukim di wilayah negara, maka

23

Page 24: lestarikan atau tinggalkan

cepat-lambat, akan mengganggu penduduk dengan kebiasaannya yang

baik dengan cara kebiasaannya yang buruk).

7) Dyūtam etat pūra kalpe dṛśtaṁ vairakaraṁ mahat, tasmād dyūtaṁ na seveta hasyartham api buddhimān.

Manavadharmaśāstra IX.227. (Di dalam jaman ini, keburukan judi itu

telah nampak, menyebabkan timbulnya permusuhan. Oleh karena itu,

orang-orang yang baik harus menjauhi kebiasaan-kebiasaan ini,

walaupun untuk kesenangan atau hiburan).

Judi dan taruhan dilarang dalam Agama Hindu. Kitab suci Manawa

Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225,

226, 227, dan 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan itu. Sloka 223

membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak

berjiwa disebut perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut

pertaruhan. Benda tak berjiwa misalnya uang, mobil, tanah dan rumah. Mahluk

hidup misalnya binatang peliharaan, manusia, bahkan istri sendiri seperti yang

dilakukan oleh Panca Pandawa dalam ephos Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi

dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa.

Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana

ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221. Perjudian dan pertaruhan supaya

benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal itu

menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota. Istilah kerajaan dan putra

mahkota zaman sekarang dapat ditafsirkan sebagai negara dan generasi penerus,

24

Page 25: lestarikan atau tinggalkan

sedangkan istilah Pemerintah dapat ditafsirkan sebagai penguasa, mulai Kelian

Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur.

Para penjudi dan peminum minuman keras digolongkan sebagai orang-

orang “sramana kota” (sloka 225) disebut pencuri-pencuri tersamar (sloka 226)

yang mengganggu ketenteraman hidup orang baik-baik. Judi menimbulkan

pencurian (sloka 222), permusuhan (sloka 227) dan kejahatan (sloka 228). Para

penguasa khususnya di Bali diharap memahami benar tentang jenis-jenis judi agar

tidak terkecoh dengan dalih pelaksanaan adat dan upacara agama. Ada kegiatan

penggalian dana dengan mengadakan tajen, ada kegiatan piodalan di Pura

dilengkapi dengan tajen, dan kebiasaan meceki pada waktu melek di acara

ngaben, bahkan pada hari-hari raya seperti Galungan, Kuningan, Nyepi,

Pagerwesi.

B. Kajian Judi Tajen Menurut Kitab Rg Weda

Masalah judi adalah masalah yang menyangkut kehidupan masyarakat

(walau tidak seluruhnya), dan jika tidak ditangani dengan serius akan dapat

menimbulkan berbagai masalah spiritual, sosial, keamanan baik untuk pribadi

pelaku maupun berdampak kepada lingkungan sosial yang lebih luas. Maka untuk

itu penulis mencoba mengetengahkan sabda Tuhan Yang Maha Esa dalam kitab

suci Veda tentang judi (judian), sebagai berikut:

1) Akṣair mā dīvyaḥ kśimit kṛśasva vitte ramasva bahu manyamānaḥ, tatra gāvaḥ kitava tatra jaya tan me vicaśṭe savitāyamarya.

25

Page 26: lestarikan atau tinggalkan

Ṛgveda X.34.13. (Wahai para penjudi, janganlah bermain judi, bajaklah

tanahmu. Selalu puas dengan penghasilanmu, pikirkanlah itu cukup.

Pertanianmenyediakan sapi-sapi bentina dan dengan itu istrimu tetap

bahagia. Deva Savitā telah menasehatimu untuk berbuat demikian)

2) Jāyā tayate kitavasya hìnā mātā putrasya carataḥ kva svit, ṛṇāvā bibhyad dhanam icchamānaḥ anyeśām astam upa naktam eti.

Ṛgveda X.34.10. (Istri seorang penjudi yang mengembara mengalami

penderitaan yang sangat menyedihkan, dan ibu seorang penjudi semacam

itu dirundung penderitaan. Dia, yang dalam lilitan hutang dan kekurangan

uang, memasuki rumah orang lain dengan diam-diam di malam hari)

3) Dvesti śva rūr apa jaya ruóaddhi na nathito vindate marîitāram, aśvasyeva jarato vasnyasya nāhaṁ vindāmi kitavasya bogam.

Ṛgveda X.34.3. (Ibu mertua membenci, istrinya menghindari dia,

sementara pada waktu mengemis, tidak menemukan seorangpun yang

berbelas kasihan. Istri penjudi itu berkata: “Sebagai seekor kuda tua yang

tidak bermanfaat, kami sangat menderita menjadi istri seorang penjudi”).

Kalah atau menang dalam berjudi membawa dampak munculnya sadripu

(enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah kama (nafsu tak terkendali),

lobha (serakah), kroda (kemarahan), mada (kemabukan), moha (sombong) dan

matsarya (cemburu), dengki, irihati). Penjudi yang menang menguatkan kama,

lobha, mada, dan moha, pada dirinya dan yang kalah menguatkan kroda, dan

matsarya.

26

Page 27: lestarikan atau tinggalkan

Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kita semestinya

menghindari yang namanya segala bentuk perjudian khususnya judi tajen. Suami

yang suka berjudi tentu akan mendatangkan kesengsaraan bagi keluarga seperti

istri, anak orang tuanya serta orang-orang yang berada di sekelilingnya, sebab

penjudi cenderung melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, merampok

untuk mendapatkan uang agar bisa dipakai berjudi. Dengan cara bekerja yang

tekun serta mempersembahkan hasilnya kepada Tuhan karena dengan cara seperti

itu tentunya akan membawa kebahagiaan bagi keluarga dan terhindar dari

berbagai mala petaka.

27

Page 28: lestarikan atau tinggalkan

BAB III

PENUTUP

3.1       Kesimpulan

Tajen dan tabuh rah memiliki perbedaan yang mendasar meskipun

sama-sama sabung ayam, tajen merupakan bentuk hiburan yang lekat

dengan kegiatan judi sedangkan tabuh rah adalah murni kegiatan ritual

keagamaan. Kegiatan sabung ayam sebagai bentuk perjudiaan tidak

dibenarkan menurut agama Hindu. Selain itu uang menjadi salah satu

faktor utama yang menyebabkan tajen masih ada. Di wilayah agama, uang

memiliki makna simbolik yang sangat kuat baik secara denotatif maupun

konotatif. Secara denotatif uang digunakan sebagai pembiayaan upacara

dan sekaligus untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di banjar dan

pura-pura, sedangkan secara konotatif uang digunakan sebagai sarana

upakara. Dalam judi tajen konteks pengertian fungsi simbolik uang tanpa

disadari telah mengalami pergeseran makna ketika uang dijadikan alasan

untuk resistensi adat dan resistensi kolektifitas mabanjar. Judi tajen

dianggap sah dan dipertahankan karena dianggap penting dalam rangkaian

ritus agama dan ritus sosial.

28

Page 29: lestarikan atau tinggalkan

Sedangkan menurut kitab suci Manawadharmasastra dan Rg Weda

mengatakan bahwa segala bentuk perjudian khususnya tajen sangat

dilarang karena melanggar norma agama dan hukum. Pemerintah dalam

hal ini Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai

Gubernur berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati agar perjudian

dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah

pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran keluarga,

masyarakat dan negara. Para penjudi digolongkan sebagai orang-orang

disebut pencuri-pencuri tersamar yang mengganggu ketenteraman hidup

orang baik-baik karena judi menimbulkan pencurian, permusuhan dan

kejahatan.

3.2       Saran-Saran

Memberantas judi sudah menjadi tugas para agamawan (Sulinggih)

pemimpin-pemimpin umatuntuk meningkatkan kualitas beragama antara

lain menyadarkan masyarakat akan dosa berjudi serta kesalahpahaman

akibat tidak mampunya membedakan antara ritual keagamaan dan

perjudian dapat diluruskan. Memberantas perjudian tidak dapat dengan

paksaan atau kekuasaan berdasarkan Undang-undang saja, tetapi akan

lebih berhasil jika disertai dengan dharmawacana-dharmatula, dan

penyuluhan-penyuluhan yang intensif. Sehingga kebanggaan sebagian

masyarakat sebagai penjudi sedikit demi sedikitdikikis sehingga menjadi

29

Page 30: lestarikan atau tinggalkan

malu berjudi. Salah satu alasan masyarakat berjudi di zaman dahulu adalah

karena kurangnya fasilitas hiburan atau rekreasi. Oleh karena itu perkataan

lain untuk berjudi adalah “makelecan” (kelecan artinya hiburan). Untuk

menjaga kesehatan rohani masyarakat, salah satu upaya mungkin dapat

ditempuh misalnya pemerintah menyediakan fasilitas hiburan atau rekreasi

yang sehat, antara lain berolah raga. Jarang sekali di desa-desa ada

lapangan volly, sepak bola, bulu tangkis, meja pingpong yang dikelola

oleh Pemerintah. Jika ada, fasilitas itu dibuat oleh warga setempat,klub-

klub, atau perusahaan. Pemerintah agar berupaya mengalihkan keinginan

masyarakat mencari hiburan dari berjudi kepada bentuk hiburan lain yang

sehat.

30

Page 31: lestarikan atau tinggalkan

DAFTAR PUSTAKA

http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-tabuh-rah-arti.htm

Lontar Siwatattwapurana.

Lontar Yadnyaprakerti.

Prasasti Sukawana A l 804 Çaka.

Prasasti Batur Abang A 933 Çaka.

Prasasti Batuan 944 Çaka.

Puja Gd, MA, Tjok Rai Sudharta MA.1977. Manawa Dharmasastra, Dirjen Bimas

Hindu: Jakarta.

Dharmawacana Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi

sulinggih, tinggal di Geriya Tamansari Lingga Ashrama, Jl.Pantai Lingga,

Singaraja.

31