lapsus dhf rsmj rani

31
BAB 1 PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden Demam Dengue telah meningkat dengan faktor (by a factor of) 30 selama 50 tahun terakhir. Insidens Demam Dengue terjadi baik di daerah tropik maupun subtropik wilayah urban, menyerang lebih dari 100 juta penduduk tiap tahun, termasuk 500.000 kasus DBD dan sekitar 30.000 kematian terutama anak anak. Penyakit ini endemik di 100 negara termasuk Asia. Dengan pemanasan global (Global Warming) dalam mana “biting rate” perilaku menggigit nyamuk meningkat maka akan terjadi perluasan dan eskalasi kasus Demam Dengue. Pemanasan global dan perubahan lingkungan merupakan variabel utama penyebab meluasnya kasus kasus Demam Berdarah di berbagai belahan dunia. 1,2 Di Indonesia, jumlah kasus Demam Berdarah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya angka demam berdarah di berbagai kota di Indonesia disebabkan oleh sulitnya pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Indonesia merupakan salah satu negara endemik Demam Dengue yang setiap tahun selalu 1

Upload: rani-puji-rara

Post on 28-Jan-2016

242 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

DHF

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus DHF RSMJ Rani

BAB 1

PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden Demam Dengue

telah meningkat dengan faktor (by a factor of) 30 selama 50 tahun terakhir. Insidens

Demam Dengue terjadi baik di daerah tropik maupun subtropik wilayah urban,

menyerang lebih dari 100 juta penduduk tiap tahun, termasuk 500.000 kasus DBD dan

sekitar 30.000 kematian terutama anak anak. Penyakit ini endemik di 100 negara

termasuk Asia. Dengan pemanasan global (Global Warming) dalam mana “biting

rate” perilaku menggigit nyamuk meningkat maka akan terjadi perluasan dan eskalasi

kasus Demam Dengue. Pemanasan global dan perubahan lingkungan merupakan

variabel utama penyebab meluasnya kasus kasus Demam Berdarah di berbagai

belahan dunia.1,2

Di Indonesia, jumlah kasus Demam Berdarah cenderung meningkat dari tahun

ke tahun. Meningkatnya angka demam berdarah di berbagai kota di Indonesia

disebabkan oleh sulitnya pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes

aegypti. Indonesia merupakan salah satu negara endemik Demam Dengue yang setiap

tahun selalu terjadi KLB di berbagai kota dan setiap 5 tahun sekali terjadi KLB besar

1,3

Angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat dari 0,05 di

tahun 1968 menjadi 35,19/100.000 penduduk pada tahun 1998,1,2 namun angka

kematian menurun dari 41,3% di tahun 1968 menjadi 0,86% pada tahun 2008.3

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang

bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam

dengue (DD), DBD sampai DBD disertai syok (sindrom syok dengue = SSD). Sejak

tahun 1976, kasus dengue dihubungkan dengan keterlibatan beberapa organ vital yang

1

Page 2: Lapsus DHF RSMJ Rani

mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang tidak normal

(atypical), dan sering berakibat fatal. Kalayanarooj dan Nimmannitya tahun 2004

mengklasifikasikan unusual manifestation infeksi virus dengue berupa keterlibatan

susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal, infeksi ganda dan

kondisi yang memperberat.

Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD berubah dan

bahwa manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai

komplikasi neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan

manifestasi neurologi paling sering infeksi virus dengue didapatkan angkanya

bervariasi dari 0,5-20,9%. Laporan kasus ini dibuat untuk membahas keterlibatan

susunan saraf pusat (SSP) dan organ liver akibat infeksi virus dengue.

2

Page 3: Lapsus DHF RSMJ Rani

BAB 2

LAPORAN KASUS

An. L yang berumur 10 Bulan berjenis kelamin perempuan dibawa ke IGD

dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran terjadi sejak siang

hari SMRS. Sebelumnya ibu pasien menjelaskan bahwa pasien panas badan yang

dirasakan sejak hari kamis sore ( PHK-5). Pasien juga mual dan muntah sejak hari

kamis, muntah cair sebanyak 4 kali, muntah yang terakhir berwarna kehitaman.

Pasien juga mencret sebanyak 3 kali sejak hari jumat dengan warna kehitaman seperti

petis. Buang air kecil warna biasa, namun volumenya sedikit dan jarang. Mimisan

sejak 1 hari SMRS tapi tidak banyak. Nafsu makan menurun tetapi masih mau

minum susu.

Sebelumnya pasien periksa ke Poli Anak RSM Babat dan dirujuk dengan

diagnosis severe dengue. DSA yang bersangkutan mencurigai bahwa penurunan

kesadaran ini di sebabkan oleh infeksi virus dengue, maka beliau memberikan saran

untuk di rujuk ke IGD Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Menurut penjelasan

ibunya, pasien ini sebelumnya tidak pernah mengeluh sakit seperti ini. Namun di

sekitar tempat tinggal pasien banyak yang terkena penyakit demam berdarah.

Pasien merupakan anak pertama dan saat ini biaya pengobatan ditanggung

sendiri oleh keluarga dan kesan sosial ekonomi cukup. Riwayat kelahiran pasien :

2700 gr/ Spt B/ lahir di Bidan Desa / langsung menangis. Riwayat imunisasi : pasien

sudah diberikan imunisasi lengkap sesuai usia, namun ibu pasien lupa mengingat

jadwal pemberiannya, dan riwayat nutrisi : ASI selama 2 minggu pertama, kemudian

dilanjut susu formula hingga saat ini.

3

Page 4: Lapsus DHF RSMJ Rani

Pada saat di IGD RSML pasien tampak lemah, kesadaran apatis, dan kesan

status gizi kurang. Berat badan pasien 8.5 kg. Suhu tubuh pasien 40ºC, nadi 160 x/mnt

teraba lemah dan cepat. Pemeriksaan kepala dan leher menunjukkan pasien tampak

dispneu, tidak didapatkan anemis, ikterus, cyanosis, maupun pernafasan cuping

hidung. Pada pemeriksaan dada didapatkan pengembangan dada simetris, tidak ada

retraksi, pemeriksaan jantung suara S1S2 tunggal dan tidak ada murmur. Frekuensi

nafas pasien 40 x/mnt dengan pemakaian oksigen nasal canule 2 lpm, dan didapatkan

suara nafas dasar vesikuler pada kedua lapang paru, tanpa adanya suara nafas

tambahan ronki ataupun wheezing. Pemeriksaan abdomen tampak distended, hepar

dan lien tak teraba, turgor kulit cukup, didapatkan ascites, tidak ada meteorismus, dan

bising usus normal. Pemeriksaan ekstremitas hangat kering dan pucat, serta CRT<2

detik. Status gizi pasien gizi normal.

Dilakukan pemeriksaan laboraturium dan Rontgen thorax pada tanggal 24

November 2012. Hasil pemeriksaan hematologi rutin menunjukkan diffcount

0/0/42/45/13, hematokrit 28.7, hemoglobin 9.9, LED 38/69, leukosit 7200, dan

trombosit 34.00, NS-1 positif, SGOT 1382, SGPT 456, dan gula darah acak 120..

Pemeriksaan Rontgen Thorax menunjukkan adanya efusi pleura dextra.

4

Page 5: Lapsus DHF RSMJ Rani

Kesimpulan : efusi pleura dextra

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan

problem list Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) grade III dengan ensefalopati

dengue dan liver involvement. Penatalaksanaan selama dirawat di rumah sakit dengan

pemakaian oksigen nc 2 lpm, IVFD KaEn 1B 850 cc/24 jam, nistatin oral drops, inj

dexamethasone 2 x 1.5 mg, inj Ranitidine 2 x 9 mg iv, inj Metamizole Na 3 x 100 mg

iv, inj ondansentron 4 mg, N-asetilsistein 2 x 5 tetes, Starmuno® 2 x 1 sendok takar,

Urdahex® 2 x 80 mg, sucralfate 3 x ½ sendok takar, drip Cernevit® ½ ampul,

Aminoleban® 75 cc, Colistin® (polymixin) 3 x 250.000 IU po. Pasien dirawat di ICU

selama 3 hari, kemudian dipindah ke ruang perawatan dan dirawat selama 3 hari.

5

Page 6: Lapsus DHF RSMJ Rani

L, 5 Bulan

Hari pertama dirawat pasien panas sudah mulai berkurang dan kesadaran

masih menurun. Hasil pemeriksaan hematologis rutin menunjukkan diffcount

0/1/43/31/25, hematokrit 27.5, hemoglobin 9.5, LED 20/45, leukosit 8900, trombosit

32.000.

Pemeriksaan pasien hari kedua, pasien kesadaran pasien mulai membaik.

Kesan umum masih lemah. Hasil pemeriksaan hematologis rutin menunjukkan

diffcount 0/0/48/33/19, hematokrit 23.5, hemoglobin 7.8, LED 20/45, leukosit 7100,

trombosit 59.000, SGOT 1386, SGPT 679. Pasien diperbolehkan keluar ICU dan

pindah ruang perawatan. Pemeriksaan hari ketiga dirawat, pasien sudah sadar. Terapi

dilanjutkan.

Pada hari ke-4 dirawat, pasien sudah sadar dan keluhan lain tidak didapatkan.

Pemeriksaan hematologi rutin : diffcount : 0/0/12/74/14, hematokrit : 23.3,

hemoglobin 7.9, leukosit : 45.800, trombosit : 148.000, SGOT 492, SGPT 512. Hari

kelima dirawat kondisi pasien baik, dan terapi ditambah injeksi ceftriaxone 3 x 250

mg iv dan pasien rencana KRS besok.

Hasil pemeriksaan hematologi rutin hari keenam : diffcount 0/0/78/12/10,

hematokrit 2.6, hemoglobin 8,0, leukosit 25.600, trombosit 147.000, SGOT 347,

6

Page 7: Lapsus DHF RSMJ Rani

SGPT 378. Pasien diijinkan KRS dan diberi terapi oral N-aselsistein 2x1, paracetamol

drop 0.8 cc jika panas, cefixime 2 x 25 mg.

Rontgen An. L dengan efusi pleura dextra

BAB 3

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien dibawa ke IGD RSML dengan diagnosis DHF grade III

dengan ensefalopati dan liver involvement akibat virus dengue (kriteria WHO 1997).

Dengan kriteria WHO 2009 diagnosis pasien ini adalah severe dengue with : severe

CNS impairment and liver involvement. Infeksi virus dengue dikonfirmasi dengan

pemeriksaan NS-1 yang positif saat pasien datang ke RSML.

7

Page 8: Lapsus DHF RSMJ Rani

Gambar 1. Negara dengan Resiko Transmisi Virus Dengue

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis

yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferientiated febrile

illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) dan demam berdarah dengue

disertai syok (dengue shock syndrome). Manifestasi klinis yang bervariasi

menunjukkan fenomena gunung es dimana DBD dan DSS sebagai puncaknya

sedangkan kasus dengue ringan dan demam dengue merupakan dasarnya,1,2 Perjalanan

penyakit sering sukar diramalkan dimana sebagian kasus dengan renjatan berat dapat

disembuhkan walau hanya dengan pengobatan sederhana sedang sebagian lain datang

dengan kasus ringan tetapi meninggal dunia dalam waktu singkat walau telah

mendapat perawatan dan pengobatan intensif .

8

Page 9: Lapsus DHF RSMJ Rani

Gambar 2. Klasifikasi Infeksi Virus Dengue menurut WHO 1997

Dalam waktu lima puluh tahun terakhir, insiden infeksi dengue meningkat

tigapuluh kali dengan peningkatan luas geografi ke negara-negara baru dan terjadi

penyebaran infeksi virus dengue dari daerah perkotaan ke pedesaan. Di Indonesia

angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) terus meningkat dari 0,05 di tahun

1968 menjadi 35,19/100.000 penduduk pada tahun 1998, namun angka kematian

menurun dari 41,3% di tahun 1968 menjadi 0,86% pada tahun 2008.

Gambar 2. Klasifikasi Infeksi Virus Dengue menurut WHO 2009

9

Page 10: Lapsus DHF RSMJ Rani

Gambar 3. Patofisiologi Infeksi Virus Dengue

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis

yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),

demam dengue (DD), DBD sampai DBD disertai syok (sindrom syok dengue = SSD).

Sejak tahun 1976, kasus dengue dihubungkan dengan keterlibatan beberapa organ

vital yang mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang tidak normal

(atypical), dan sering berakibat fatal. Kalayanarooj dan Nimmannitya tahun 2004

mengklasifikasikan unusual manifestation infeksi virus dengue berupa keterlibatan

susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal, infeksi ganda dan

kondisi yang memperberat.

Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD berubah dan

bahwa manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai

komplikasi neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan

manifestasi neurologi paling sering infeksi virus dengue didapatkan angkanya

bervariasi dari 0,5-20,9%7-10 Laporan tahun 2003-2006 dari Uttar Pradesh, India

10

Page 11: Lapsus DHF RSMJ Rani

mendapatkan 118/563 (20,9%) dengan acute febrile ensefalopati (AFE) dan acute

undifferentiated febrile illness (AUFI) positif antibodi dengue. Selain itu terdapat

laporan pergeseran usia pasien infeksi virus dengue ke usia yang lebih tua, sedangkan

ensefalopati dengue laporannya masih terbatas. Cam dkk mendapatkan semua pasien

ensefalopati dengue yang hidup sembuh sempurna, tetapi berbeda dengan studi oleh

Misra dkk, Kamath dkk, Kumar dkk yang melaporkan gejala sisa dalam studi mereka.

Gambar 4. Manifestasi Atipikal Infeksi Virus Dengue

Tabel 1. Derajat Kerusakan Liver berdasarkan Kadar Serum Transaminase

Grade 0 normal levels of liver enzymes

Grade 1 mild elevation in the liver enzymes, not exceeding the double of

reference value

Grade 2 elevated liver enzymes, with the levels of the enzymes increased

to more than three times the reference values

Grade 3 acute hepatitis, with liver enzymes levels increased to at least 10

times their normal values

Grade 4 evidence of hepatic failure (high PT)or hepato-renal involvement

(high creatinin)

11

Page 12: Lapsus DHF RSMJ Rani

Pada pasien didapatkan kadar SGOT 1382 IU dan kadar SGPT 456 IU.

Berdasarkan derajat kerusakan liver, pasien termasuk dalam grade 3, dimana terdapat

peningkatan enzim liver lebih dari 10 x kadar normal. Peningkatan enzim liver

sampai saat ini masih didasarkan atas hipotesis. Di dalam tubuh manusia, virus

berkembang biak dalam sistim retikuloendotelial, dengan target utama virus dengue

adalah APC ( Antigen Presenting Cells ) di mana pada umumnya berupa monosit atau

makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena.

Peningkatan kadar SGOT dan SGPT umum terjadi pada infeksi dengue. Hasil

penelitian memperlihatkan peningkatan kadar SGOT dan SGPT serum pada anak

yang mengalami infeksi dengue. Kadar SGOT lebih tinggi daripada SGPT serum.

Kadar SGOT yang lebih tinggi dari SGPT serum membedakan infeksi virus dengue

dengan infeksi lainnya. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Kalayanarooj

dkk, Kuo dkk, dan Lei dkk.

Pada penelitian sebelumnya kadar SGOT dan SGPT serum terlihat jelas

peningkatannya pada DBD dan SSD dibandingkan dengan DD. Pada SSD

peningkatan kadar SGOT dan SGPT serum terjadi karena adanya hipoperfusi hati

diakibatkan syok yang lama. Mohan dkk menerangkan bahwa peningkatan kadar

SGOT dan SGPT serum pada infeksi dengue terjadi oleh karena gangguan fungsi hati

yang bersifat sementara terutama pada DBD dan SSD.

Virus dengue merupakan virus yang bersifat hepatotropik. Apakah kerusakan

hati terjadi akibat efek langsung infeksi virus dengue atau respon host terhadap infeksi

masih belum jelas. Gangguan fungsi hati pada infeksi dengue akan menyebabkan

gangguan faktor pembekuan yang dapat menimbulkan perdrahan masif serta gagal

hati (fulminant liver failure).

12

Page 13: Lapsus DHF RSMJ Rani

Pada kasus ini memperlihatkan kadar SGOT serum lebih tinggi dibanding

kadar SGPT serum dengan rasio 2-3:1. Hasil sama dengan penelitian oleh

Kalayanarooj dkk dan berbeda dengan penelitian oleh Lei dkk dengan rasio SGOT

dan SGPT serum 1-1,5 : 1. Pada infeksi virus dengue kerusakan organ diakibatkan

oleh proses iskemia dan hati bukanlah organ utama yang terganggu seperti pada

hepatitis karena virus. Telah dibuktikan bahwa terdapat hubungan kadar SGOT dan

SGPT serum dengan spektrum klinis infeksi dengue. Pada anak dengan infeksi

dengue, semakin tinggi kadar SGOT dan SGPT serum, semakin berat spektrum klinis

penyakitnya.

Tidak ada terapi khusus untuk mengatasi hepatitis akut akibat infeksi virus

dengue ini. Seperti pada pasien ini yang diberikan hanya terapi simptomatis dan

suportif. Pasien diberi terapi N-asetilsitein dengan mengambil efek hepatoprotektor.

Pasien juga mengalami penurunan kesadaran akibat telah terjadi ensefalopati

dengue. Diagnosis ensefalopati dengue berdasarkan diagnosis klinis DHF menurut

kriteria WHO (1997) dengan keterlibatan susunan saraf pusat terdiri dari onset

mendadak hiperpireksia, perubahan kesadaran sementara (gelisah, iritabel atau

koma), nyeri kepala, muntah, dengan atau tanpa kejang, serta profil cairan

serebrospinal (CSS) normal. Semua kriteria memenuhi diagnosis pada pasien, kecuali

profil cairan serebrospinal yang tidak dievaluasi.

Ensefalopati dengue dapat disebabkan oleh syok berat akibat syok yang

berkepanjangan dengan perdarahan ataupun kelebihan cairan, gangguan metabolisme

seperti sindrom Reye, penggunaan obat hepatotoksik, penyakit hati yang mendasari

seperti karier hepatitis B atau thalasemia, gangguan keseimbangan elektrolit seperti

hiponatremia dan hipokalsemia, hipoksemia, hipoglikemia, perdarahan intrakranial,

edema serebral, gagal hati, atau gagal ginjal.

13

Page 14: Lapsus DHF RSMJ Rani

Berdasarkan klasifikasi DBD menurut WHO 1997 didapatkan DBD dengan

syok dan DBD tanpa syok yang mengalami ensefalopati dengue. Pada pasien dengan

DBD tanpa syok, ensefalopati dengue disertai penyakit penyerta seperti diare karena

mempermudah terjadinya gangguan elektrolit dan gangguan metabolisme. Studi yang

dilakukan oleh Cam dkk mendapatkan 67% pasien DBD dengan syok.

Laporan Cam dkk mendemonstrasikan kemungkinan dampak neurotropik

langsung virus dengue, pada studi binatang menunjukkan bahwa virus menyebabkan

kerusakan sawar darah otak yang dimediasi oleh sitokin. Studi yang lain mengamati

virus dengue pada CSS (5/6 pasien) dengan ensefalitis menunjukkan bahwa virus

dapat melewati sawar darah otak dan secara langsung menginvasi otak.

Studi postmortem pasien DBD yang meninggal disertai infeksi SSP

menunjukkan lesi yang tidak spesifik, edema, kongesti vaskular dan perdarahan fokal.

Reaksi silang antigen dapat terjadi di antara famili Flaviviridae seperti infeksi

Japanese encephalitis sebelumnya dapat menyebabkan reaksi silang dengan infeksi

dengue, sehingga deteksi keduanya diperlukan pada daerah kedua jenis virus ini

beredar seperti di Indonesia.

Gambar 5. Klasifikasi Hepatik Ensefalopati

Gejala ensefalopati yang lain tidak atau jarang menyertai DBD kecuali kejang.

Hal ini ditunjang dengan studi oleh Cam dkk yang mendapatkan 77,8% pasien

ensefalopati dengue disertai dengan kejang, sedangkan kami hanya mendapatkan 8/20

14

Page 15: Lapsus DHF RSMJ Rani

pasien ensefalopati dengue dengan kejang dan lebih banyak pasien dengan perdarahan

saluran cerna.

Keterlibatan fungsi hati sering ditemukan selama infeksi dengue, khususnya

pada pasien DBD, namun pada umumnya ringan dan tidak meningkat lebih dari lima

kali nilai normal. Peningkatan enzim hati pada pasien DBD sering ditemukan dan

dapat merefleksikan gangguan hati, sehingga menyebabkan hepatic encephalopathy

seperti yang dilaporkan banyak penulis. Selain itu kerusakan hati dapat menyebabkan

terjadinya defisiensi kompleks protrombin, 11/13 pasien. Studi Wichman dkk

mendapatkan perdarahan saluran cerna pada 45% kasus ensefalopati dengue dengan

keterlibatan hati.

Pada pasien dengan manifestasi tidak lazim seperti ensefalopati dengue,

terdapat kemungkinan superimposed infection atau disfungsi organ multipel yang

dicetuskan oleh cedera mukosa saluran cerna lewat translokasi bakteri atau respon

inflamasi sistemik. Pada keadaan ini antibiotik dapat diberikan untuk mengobati atau

mencegah keadaan tersebut.

Gambar 6. Derajat Hepatik Ensefalopati

15

Page 16: Lapsus DHF RSMJ Rani

Pada enselopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok

telah teratasi, selanjutnya cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3

dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dekstrosa segera

ditukar dengan larutan NaCl (0.9%) : glukosa (5%) = 3:1. Untuk mengurangi edema

otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya

kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K

intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg, mencegah

terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila

perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan

pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat

diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD enselopati mudah terjadi infeksi bakteri

sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi

ampisilin 100 mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Apabila obat-obat

tersebut sudah menunjukkan tanda resistan, maka obat ini dapat diganti dengan obat-

obat yang masih sensitive dengan kuman-kuman infeksi sekunder, seperti cefotaxime,

cefritriaxsone, amfisilin+clavulanat, amoxilline+clavulanat, dan kadang-kadang dapat

dikombinasikan dengan aminoglycoside. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang

tidak diperlukan (misalnya: antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban

detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan

atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan transfusi tukar. Pada masa

penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.

Pada pasien ini terjadi hepatik ensefalopati akibat infeksi dengue, yang dikenal

dengan ensefalopati dengue. derajat 3 dimana telah terjadi gangguan kesadaran.

Diberikan terapi polymyxin-B dengan tujuan selain sebagai antibiotik gram negatif,

juga menurut penelitian dapat menurunkan endotoksin dan menekan respon IL-6,

16

Page 17: Lapsus DHF RSMJ Rani

serta meningkatkan rasio asam amino rantai cabang dibanding asam amino aromatik

yang banyak tertimbun pada hepatic encephalopathy. Selain itu diberikan

aminoleban® yang mengandung asam amino rantai cabang untuk membantu

mengembalikan jumlah AARC yang menurun. Asam amino aromatik meningkat

karena kita tahu pada hepatitis akut dalam hal ini karena infeksi dengue terjadi

kegagalan deaminisasi di hati. Serta terjadi penurunan AARC akibat katabolisme di

otot dan ginjal. AAA akan bersaing dengan AARC dalam menembus BBB yang

permeabilitasnya terganggu pada hepatic encephalopathy. AAA bersifat toksik bagi

otak, karena mempengaruhi detoksifikasi amonia di otak.

Gambar 7. Kejadian Infeksi Virus Dengue

.

17

Page 18: Lapsus DHF RSMJ Rani

18

BB aktual : 8.5 kgBB ideal : 9.8 kg

Status gizi =8.5/9.8 x 100 % =86.73 % GIZI KURANG

BB aktual : 8.5 kgBB ideal : 9.8 kg

Status gizi =8.5/9.8 x 100 % =86.73 % GIZI KURANG

Page 19: Lapsus DHF RSMJ Rani

BAB 4

KESIMPULAN

Saat ini pasien diagnosis DHF grade III dengan ensefalopati dan liver

involvement akibat virus dengue (kriteria WHO 1997). Dengan kriteria WHO 2009

diagnosis pasien ini adalah severe dengue with : severe CNS impairment and liver

involvement. Infeksi virus dengue dikonfirmasi dengan adanya hasil NS-1 yang

positif.

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis

yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),

demam dengue (DD), DBD sampai DBD disertai syok (sindrom syok dengue = SSD).

Kasus dengue juga dihubungkan dengan keterlibatan beberapa organ vital yang

mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang tidak normal

(atypical), dan sering berakibat fatal. Unusual manifestation infeksi virus dengue

berupa keterlibatan susunan saraf pusat (SSP), gagal fungsi hati, gagal fungsi ginjal,

infeksi ganda dan kondisi yang memperberat.

Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD berubah dan

bahwa manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai

komplikasi neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan

manifestasi neurologi paling sering infeksi virus dengue didapatkan angkanya

bervariasi dari 0,5-20,9%. Keterlibatan organ liver sebagai pencetus ensefalopati

dengue juga mulai diperhitungkan. Seringkali pasien dengan infeksi dengue terjadi

peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Hasil penelitian memperlihatkan peningkatan

kadar SGOT dan SGPT serum pada anak yang mengalami infeksi dengue. Kadar

19

Page 20: Lapsus DHF RSMJ Rani

SGOT lebih tinggi daripada SGPT serum. Kadar SGOT yang lebih tinggi dari SGPT

serum membedakan infeksi virus dengue dengan infeksi lainnya.

Keterlibatan fungsi hati sering ditemukan selama infeksi dengue. Peningkatan

enzim hati pada pasien DBD sering ditemukan dan dapat merefleksikan gangguan

hati, sehingga menyebabkan hepatic encephalopathy. Telah dibuktikan bahwa

terdapat hubungan kadar SGOT dan SGPT serum dengan spektrum klinis infeksi

dengue. Pada anak dengan infeksi dengue, semakin tinggi kadar SGOT dan SGPT

serum, semakin berat spektrum klinis penyakitnya.

20

Page 21: Lapsus DHF RSMJ Rani

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi : Demam Berdarah Dengue. Jakarta :

Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

2. Rampegan, N.H, Karyanti, M.R., Hadinegoro, S.R. 2010. Ensefalopati Dengue pada

Anak. Sari Pediatri. 12(6) : 419-425.

3. Darajat, A., Sekarwana, N., Setiabudi, D. 2008. Hubungan Kadar Aspartat

Aminotransferase (AST) dan Alanin Aminotransferase (ALT) Serum dengan

Spektrum Klinis Infesksi Virus Dengue pada Anak. Sari Pediatri. 9(5) : 359-362.

4. Gulati, S and Maheshwari, A. 2007. Atypical Manifestation of Dengue. Trop Med Int

Health. 12(9) : 1087-1095.

5. Ageep, A.K, Elgasim, S. 2012. A correlation study between clinical manifestations of

dengue fever and the degree of liver injury. J Microb Antimirobial.4(2) : 45-48.

6. Kanade, T and Shah, I. 2011. Dengue encephlopathy. J Vector Borne. pp.180-181.

7. Deen, J.L, Harris, E., Wills, B. 2006. The WHO Dengue classification and case

definitions : time for a reassessment. Lancet. 368 : 170-73.

8. Soegijanto, S., Budiyanto, Kartika, Taufik, Amor. 2011. Update Management of

Dengue Complication in Pediatric. Int J Infectious Dis. 2(1) : 1-11.

9. Seneviratne, S.L, Malavige, G.N., de Silva, H.J. 2006. Pathogenesis of liver

involvement during dengue viral infections. The Royal Society of Tropical Medicine

and Hygiene. 100 : 608—614

10. Wiwatnitkit, J. 2007. Liver Dysfunction in Dengue Infection, an Analysis of The

Previously Published Thai Cases. J Ayub Med Coll Abbottabad. 19(1) : 10-12.

11. Soegijanto, Soegeng. 2001. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus

Dengue. Seminar Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) –

Universitas Airlangga. Surabaya, 12 Mei 2001.

12. Soegijanto, Soegeng. 2001. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue. Seminar

Penatalaksanaan DBD 2001. Tropical Disease Center (TDC) – Universitas Airlangga.

Surabaya, 12 Mei 2001.

21

Page 22: Lapsus DHF RSMJ Rani

13. Souja, L.J. 2007. The Impact of Dengue on Liver Function as Evaluated by

Aminotransferase Levels. . The Brazillian J of Infect Dis.. 207(4) : 407-411.

14. Souja, L.J. 2002. Hepatitis in Dengue Shock Syndrome. The Brazillian J of Infect Dis.

6(6):322-327

15. Seema and Jain, S.K. 2005. Molecular Mechanism of Pathogenesis of Dengue Virus :

Entry and Fusion with Target Cell. Indian Journal of Clinical Biochemistry. 20 (2)

92-103.

16. Cam BV, Fonsmark L, Hue NB, Phuong NT, Poulsen A, Heegaard ED. Prospective

case-control study of encephalopathy in children with dengue hemorrhagic fever. Am

J Trop Med Hyg 2001; 65: 848-51.

22