laporan wisata budaya jogja

51
LAPORAN WISATA BUDAYA Disusun oleh : 1. Ameyta Loeis P (01) 2. Krisna Silawa (09) 3.Lina Karina (23) 4. Ratna Sutyaningrum (28) Kelas : 2 TPHP 2 SMK N 1 (STM PEMBANGUNAN) TEMANGGUNG i

Upload: krisna-silawa

Post on 05-Aug-2015

256 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Wisata Budaya Jogja

LAPORAN WISATA BUDAYA

Disusun oleh :

1. Ameyta Loeis P (01)

2. Krisna Silawa (09)

3. Lina Karina (23)

4. Ratna Sutyaningrum (28)

Kelas : 2 TPHP 2

SMK N 1 (STM PEMBANGUNAN)

TEMANGGUNG

i

Page 2: Laporan Wisata Budaya Jogja

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat serta hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan

pembuatan laporan WISATA BUDAYA ini dengan baik dan lancar.

Makalah ini digunakan sebagai salah satu sarana pembelajaran IPS bagi

siswa. Dalam laporan ini membuat beberapa aspek tentang pentingnya wisata

budaya generasi muda sehingga mereka dapat mengetahui tentang budaya-budaya

serta peninggalan-peninggalan sejarah yang merupakan kekayaan kebudayaan

yang diniliki oleh bangsa Indonesia.

Kami ucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang turut membantu

dalam pembuatan makalah ini :

1. Bapak Drs. Purwono selaku kepala SMK N 1 (STM PEMBANGUNAN )

TEMANGGUNG yang telah memberi izin untuk terlaksananya kegiatan

WISATA BUDAYA ini,

2. Bapak Rofi’un selaku guru mata diklat IPS

3. Ibu dan bapak guru pembina

4. Biro perjalanan

5. Ayah dan ibu kami yang telah mendukung

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan laporan

ini,oleh karena itu kami mohon maaf atas segala kekurangan laporan yang kami

buat. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Temanggung, 8 November 2012

Tim Penyusun

ii

Page 3: Laporan Wisata Budaya Jogja

DAFTAR ISI

Contents

SEJARAH........................................................................................................................................xiii

Masa Belanda..............................................................................................................................xiii

1. Tahun 1760 – 1765...............................................................................................................xvi

2. Tahun 1765 – 1788...............................................................................................................xvi

3. Tahun 1788 – 1799..............................................................................................................xvii

4. Tahun 1799 – 1807..............................................................................................................xvii

5. Tahun 1807 – 1811..............................................................................................................xvii

6. Tahun 1811 – 1816..............................................................................................................xvii

7. Tahun 1816 – 1942..............................................................................................................xvii

Masa Jepang...............................................................................................................................xvii

Masa Kemerdekaan.....................................................................................................................xix

iii

Page 4: Laporan Wisata Budaya Jogja

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kondisi kebudayaan Indonesia pada saat ini sangat memprihatinkan.

Kecintaan terhadap budaya sendiri kini sudah mulai luntur , dan kebudayaan luar

kini sangat popular khususnya dikalangan generasi muda saat ini. Indonesia

mempunyai banyak tempat wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi,sepeti

tempat wisata bermain,kebun binatang, museum, dan lain sebagainya. Tetapi

diantara tempat-tempat tersebut yang paling diminati oleh masyarakat yaitu wisata

bermain. Rekreasi memeng hal yang penting untuk menenangkan pikiran, tetapi

pengetahuan dan sejarah juga tidak kalah penting. Oleh sebab itu Mengunjungi

tempat yang bersejarah atau museum alangkah baiknya.

Karena mulai luntur kebudayaan Indonesia, pada saat ini sekolah-sekolah

berusaha mempertahankan nilai-nilai kebudayaan dengan cara mengadakan

WISATA BUDAYA ke tempat-tempat bersejarah. Seperti halnya SMK N 1 (STM

PEMBANGUNA ) TEMANGGUNG yang mengadakan WISATA BUDAYA ke

museum Sonobudoyo dan benteng Vredeburg yang berada di Jogjakarta.

B. Tujuan

Karya tulis ini dibuat dengan beberapa tujuan, yaitu:

1. Untuk menambah wawasan pembas=ca mengenai tempat-tempat yang

bersejarah di Jogjakarta,

2. Untuk memenuhi tugas IPS,

3. Untuk meningkatkan kesadaran kita dalam melestarikan dan mencintai

budaya yang kita miliki.

C. Motto

iv

Page 5: Laporan Wisata Budaya Jogja

1. Kebudayaan yang lampau adalah warisan nenek moyang yang harus di

lestarikan oleh generasi muda.

2. Kenanglah sejarah karena mungkin anda adalah bagian dari sejarah itu.

v

Page 6: Laporan Wisata Budaya Jogja

BAB 2

PEMBAHASAN

A. MUSEUM SONOBUDOYO

Sejarah

Pada tahun 1919 Sebuah yayasan yang bergerak dibidang kebudayaan

Jawa,Madura,Bali dan Lombok berdiri di Surakarta dengan nama Java

institut.Dalam keputusan kongres tahun 1942 Java institut akan mendirikan

sebuah museum di Yogyakarta guna melestarikan benda-benda peninggalan

bangsa Indonesia.Panitia pendirian museum di bentuk pada tahun 1931 dengan

anggota Ir.Th.Kaisten,sitsen dan S.kopenberg.tahun 1934 panitia pendirian

museum ini diberi wewenaang untuk menentukan lokasi serta corak arsitektur

bangunannya.Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menghadiahkan tanah dan

bangunan sebagai modal utama pendirian museum.Pada saat bersamaan panitia

kecil mulai membangun pendopo kecil dengan sengkalan "buta Ngaisa Estining

Lata".Sengkalan yang bermakna tahun 1865 Jawa bertepatan dengan tahun 1934

M.Museum Sonobudoyo dibuka secara resmi oleh Sri Sultan HB VIII 6

November 1935.Pembukaan bertepatan dengan tanggal kelahiran Sri sultan HB

VII.

Museum Sonobudoyo terletak di bagian utara Alun-alun Utara dari

Keraton Yogyakarta. Bangunan museum yang didesain oleh Ir Th Karsten ini

berbentuk rumah joglo dengan diilhami arsitektur gaya bangunan Masjid

Kasepuhan Cirebon. Pencetus berdirinya Museum Sonobudoyo adalah sebuah

yayasan yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan

Lombok, yang bernama Java Institut. Pada tanggal 6 November 1935 yayasan

yang waktu itu dipimpin oleh Prof. Dr. Huseun Djajaningrat mendirikan Museum

Sonobudoyo atas restu dari Ng. D.S.D.I.S. Kanjeng Sultan Hamengku Buwono

vi

Page 7: Laporan Wisata Budaya Jogja

VIII. Peresmiannya ditandai dengan Candrasengkala “Kayu Winayang Ing

Brahma Buddha”.

Sebagai sebuah museum, Sonobudoyo masih berfungsi terus hingga saat

ini, walaupun pengelolanya berganti-ganti. Pada saat Jepang berkuasa (1942),

Museum Sonobudoyo dikelola oleh pemerintahan Jepang. Kemudian, sejak

Jepang kalah hingga tahun 1949 museum ini dikelola oleh Dinas Wiyotoprojo.

Tahun 1950-1973 dikelola oleh Inspeksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Yogyakarta. Namun, pada tanggal 11 Desember 1974, melalui SK

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 693/0/1979, Museum Sonobudoyo

diambilalih oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan dijadikan sebagai

Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dan, saat ini

Museum Negeri Sonobudoyo merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah pada

Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, yang mempunyai fungsi pengelolaan benda

museum yang memiliki nilai budaya ilmiah. Sedangkan, tugasnya adalah

mengumpulkan, merawat, pengawetan, melaksanakan penelitian, pelayanan

pustaka, bimbingan edukatif kultural serta penyajian benda koleksi.

Koleksi Museum Sonobudoyo

Sampai saat ini Museum Sonobudoyo memiliki 42.698 buah koleksi yang

dibagi menjadi 10 kategori, yaitu: koleksi geologi, biologi, etnografi, arkeologika,

historika, numismatika, filologika, keramologi, seni rupa, dan teknologika.

Benda-benda koleksi Museum Sonobudoyo itu ada yang dipamerkan di

luar dan di dalam gedung. Koleksi yang dipamerkan di luar gedung museum

umumnya terbuat dari batu yang relatif tahan terhadap cuaca, yang terdiri dari

berbagai macam patung dari zaman kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa Tengah

dan Jawa Timur, benda-benda kelengkapan upacara, serta bagian dan hiasan

candi.

vii

Page 8: Laporan Wisata Budaya Jogja

Sedangkan, benda-benda yang dipamerkan di dalam museum adalah

benda-benda yang peka terhadap pengaruh cuaca, kotoran, cahaya dan bahkan

serangga. Benda-benda itu umumnya dimasukkan ke dalam vitirin, guna

melindunginya dari proses kerusakan. Benda-benda yang dipamerkan di dalam

museum diantaranya adalah: (1) berbagai macam hasil karya seni yang terbuat

dari kayu dan bambu, seperti topeng Jawa dan Bali, wayang golek, puluhan model

perahu serta tandu (jempono) yang diantaranya adalah tandu lawak dari zaman

Sultan Hamengku Buwono I, tandu Kyai Kudus, Kyai Purbonegoro, dan Kyai

Wegono Putro; (2) berbagai macam jenis batik beserta peralatan pembuatnya; dan

(3) benda-benda yang terbuat dari perunggu, emas, perak dan besi seperti, patung

kuwera, genta dari Kalasan, lampu gantung berbentuk kenari serta seperangkat

gamela Jawa dan Cirebon serta senjata (mandau, rencong dan keris). Sebagai

catatan, Museum Sonobudoyo menyimpan sekitar 1200-an koleksi keris yang

sebagian besar merupakan sumbangan dari Java Institut dan sebuah wesi buddha,

yang merupakan bahan baku pembuat keris yang digunakan sekitar tahun 700

Masehi.

Sebagai catatan pula, selain sebagai tempat untuk memamerkan benda-

benda sejarah dan purbakala, Museum Negeri Sonobudoyo juga dilengkapi

dengan dengan auditorium, laboratorium, preparasi, kantor dan perpustakaan

dengan puluhan ribu judul buku, khususnya terbitan sebelum Perang Dunia II

dalam berbagai bahasa. Di samping itu dapat pula dijumpai manuskrip (naskah

tulisan tangan) berhuruf Jawa dan Arab.

Mengunjungi Museum Sonobudoyo adalah salah satu alternatif bila ingin melihat

beragam koleksi keris dari penjuru nusantara dan benda-benda yang berkaitan dengannya.

Museum yang menyimpan sekitar 1200-an koleksi keris (sebagian besar merupakan

sumbangan Java Institut) ini akan mengobati kekecewaan anda, sebab Kraton Yogyakarta

yang menyimpan keris-keris pusaka hingga kini tak memperbolehkan pengunjung

menikmati koleksinya

Museum Sonobudoyo dapat dijangkau dengan mudah dari Kraton Yogyakarta,

berada di seberang Alun Alun Utara Yogyakarta. Untuk memasukinya, anda hanya perlu

viii

Page 9: Laporan Wisata Budaya Jogja

membayar tiket seharga Rp 3.000,00. Sementara, untuk melihat beragam koleksi keris,

prosedurnya cukup sulit karena mesti meminta ijin pada pimpinan museum. Hal itu

disebabkan karena banyak koleksi keris masih disimpan di ruang koleksi, belum

ditampilkan untuk umum.

Museum Sonobudoyo dulu adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam

bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Yayasan ini berdiri di

Surakarta pada tahun 1919 bernama Java Instituut. Dalam keputusan Konggres

tahun 1924 Java Instituut akan mendirikan sebuah museum di Yogyakarta. Pada

tahun 1929 pengumpulan data kebudayaan dari daerah Jawa, Madura, Bali dan

Lombok. Panitia Perencana Pendirian Museum dibentuk pada tahun 1913 dengan

anggota antara lain: Ir.Th. Karsten P.H.W. Sitsen, Koeperberg.

Bangunan museum menggunakan tanah bekas “Shouten” tanah hadiah dari

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan ditandai dengan sengkalan candrasengkala

“Buta ngrasa estining lata” yaitu tahun 1865 Jawa atau tahun 1934 Masehi.

Sedangkan peresmian dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VIII pada hari

Rabu wage pada tanggal 9 Ruwah 1866 Jawa dengan ditandai candra sengkala

“Kayu Kinayang Ing Brahmana Budha” yang berarti tahun Jawa atau tepatnya

tanggal 6  Nopember 1935 tahun Masehi. Pada masa pendudukan Jepang Museum

Sonobudoyo dikelola oleh Bupati Paniradyapati Wiyata Praja (Kantor Sosial

bagian pengajaran). Di jaman Kemerdekaan kemudian dikelola oleh Bupati

Utorodyopati Budaya Prawito yaitu jajaran pemerintah Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Selanjutnya pada akhir tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan ke

Pemerintah Pusat / Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan secara langsung

bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal dengan berlakunya Undang-

undang No. 22 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan

Propinsi sebagai Otonomi Daerah. Museum Sonobudoyo mulai Januari 2001

bergabung pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY diusulkan

menjadi UPTD Perda No. 7 / Th. 2002 Tgl. 3 Agustus 2002 tentang pembentukan

dan organisasi UPTD pada Dinas Daerah dilingkungan Pemerintah Propinsi

ix

Page 10: Laporan Wisata Budaya Jogja

Daerah Istimewa Yogyakarta, dan SK Gubernur No. 161 / Th. 2002 Tgl. 4

Nopember tentang TU – Poksi.

Museum Negeri Sonobudoyo ini tersimpan 10 Jenis Koleksi :

1. Jenis Koleksi Geologika

2. Jenis Koleksi Biologika

3. Jenis Koleksi Ethnografkai

4. Jenis Koeksi Arkeologi

5. Jenis Koleksi Numismatika/ Heraldika

6. Jenis Koleksi Historika

x

Page 11: Laporan Wisata Budaya Jogja

7. Jenis Koleksi Filologika

8. Jenis Koeksi Keramologika

9. Jenis Koleksi Senirupa

10. Jenis Koleksi Teknologika

Jumlah 10 jenis koleksi Museum Negeri Sonobudoyo  dengan rincian sebagai berikut :

1. Koleksi Geologi            : 132. Koleksi Biologi             : 343. Koleksi Ethnografi        : 8.1574. Koleksi Arkeologi         : 1.9815. Koleksi Historika          : 426. Koleksi Numismatika     : 21.9147. Koleksi Filologika         : 1.2408. Koleksi Keramologika    : 3849. Koleksi Senirupa           : 9.120

xi

Page 12: Laporan Wisata Budaya Jogja

10. Koleksi Teknologi        : 384

            Jumlah                             : 43.235

            Posisi pada bulan Maret 2006 Dari data  jumlah 10 jenis benda koleksi Museum Negeri Sonobudoyo sebanyak 43.235 buah  :

1. Sudah diinventarisir  sejumlah 11.031  buah ( 25,51 % )2. Belum diinventarisir sejumlah  32.204  buah ( 74,48 % )      

Koleksi yang dipamerkan pada ruang Pameran tetap di Museum Negeri Sonobudoyo unit I sebanyak 1.184 buah terdiri  :

1. Koleksi Etnografi             :  715  buah2. Koleksi Arkeologi            :  445  buah3. Koleksi  Nimismatika        :   14  buah4. Koleksi  Keramologika     :    7  buah5. Koleksi  Filologika            :    3  buah

Koleksi yang dipamerkan pada ruang Pameran tetap di Museum Negeri Sonobudoyo Unit II sebanyak 810 buah terdiri dari :

1. Koleksi Geologika :    38  buah2. Koleksi Biologika           :    31  buah3. Koleksi Ethnografika   :   304  buah4. Koleksi  Numismatika    :   147  buah5. Koleksi   Filologika        :    12  buah6. Koleksi  Senirupa         :   161  buah

FASILITAS MUSIUM SONOBUDOYO

Pendopo

Bila pengunjung  ingin memasuki Museum Sonobudoyo, terlebih dahulu

akan melewati sebuah Pintu Gerbang yang berbentuk Semar Tinandu, dan

beratapkan model joglo. Didinding bagian  dalam gapura sisi Timur terdapat

Prasasti dengan Candra Sengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha”, yang

berarti  Tahun 1886 (Tahun Jawa), atau 1935 Masehi, dimana Museum

Sonobudoyo didirikan. Kunjungan selanjutnya  menuju ruang Pendopo yang

berbentuk Limas Lambang Tumpang Sari, mirip bangunan Masjid Kanoman

xii

Page 13: Laporan Wisata Budaya Jogja

Cirebon. Fungsi pendopo  adalah sebagai tempat untuk menerima pengunjung

dalam jumlah banyak.

Didalam ruang ini  dipamerkan dua perangkat Gamelan, antara lain :

1. Gamelan Kyai Mega Mendung, yang bernada Pelog dan slendro.berasal dari

daerah Cirebon pada abad 19. Pada gamelan tersebut terdapat hiasan yang

bermotifkan Mega Mendung. 

2. Gamelan Kyai dan Nyai Ririrs Manis, Gaya Yogyakarta yang bernada Slendro

dan  Pelog.

Auditorium

Masyarakat pada umumnya telah mengenal adanya Museum Negeri

Sonobudoyo dengan  Benda Koleksi yang dipamerkan, akan tetapi belum kenal

betul tentang aktifitas dan fasilitas  yang ada dan dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat, adapun nama ruang  tersebut adalah Ruang Auditorium dan Ruang

Serbaguna.

Ruang Auditorium, terletak didalam kompleks Gedung Museum Sonobudoyo

Unit I, Jl. Trikora No 6 Yogyakarta, dibagian sisi sebelah Barat.  Gedung

terdiri dua lantai, adapun pengunaannya adalah untuk menyelenggarakan

kegiatan seperti  Seminar, Sarasehan, Ceramah, Workshop, Rapat Kerja, dan

lain sebagainya.

Kapasitas ruang    :  lantai pertama  75 Orang

: lantai dua 100 Orang.

Ruang Serbaguna, terletak Di Museum Negeri Sonobudoyo Unit II, Jl. Mijilan

No I , Dalem Condrokiranan Yogyakarta (Sebelah Tenggara Museum Negeri

Sonobudoyo Unit I). Pengunaan ruang  tersebut adalah untuk acara Upacara

Pernikahan Gaya Yogyakarta, Seminar, Ceramah, Sarasehan, Rapat - Rapat

dan lain sebagainya.Kapasitas Gedung      : 500 Orang

Laboratorium Konservasi

Pada Tahun 1975 Ruang Laboratorium Konservasi Museum Negeri

Sonobudoyo telah selesai dibangun, adapun fungsi ruang tersebut adalah untuk

mengantisipasi semua benda koleksi museum yang segera untuk mendapat

xiii

Page 14: Laporan Wisata Budaya Jogja

penanganan pengamanan secara rutin. Kegiatan ini sesuia dengan tugas pokok

dari museum, yaitu, mengumpulkan, memelihara, merawat dan mengawetkan

benda koleksi, sehingga keselematan benda koleksi tersebut akan lebih terjamin

keamanannya dari kerusakan yang diakibatkan karena faktor iklim maupun usia.

Beberapa peralatan telah dimiliki oleh laboratorium baik untuk analisa maupun

melakukan treatment terhadap koleksi.

Perpustakaan

Pada Tahun 1940 Museum Sonobudyo telah dilengkapi dengan

Perpustakaan yang  menempati Gedung  seluas 668 m2. Adapun buku buku dan

naskah  yang terdapat dalam Perpustakaan sebagaian besar menggambarkan 

kebudayaan Bangsa Indonesia. Perpustakaan Museum Sonobudoyo dapat

dimanfaatkan bagi seluruh kalangan masyarakat, mulai dari Pelajar, Mahasiswa,

Peneliti maupun komunitas lain yang berhubungan dengan kebudayaan

xiv

Page 15: Laporan Wisata Budaya Jogja

B. BENTENG VREDEBURG

SEJARAH

Masa Belanda

Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya

Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil

menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran

Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik

Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu

itu. Nama Perjanjian Giyanti, karena traktat tersebut disepakati di Desa Giyanti,

suatu desa yang terletak di dekat Surakarta.

Perjanjian yang berhasil dikeluarkan karena campur tangan VOC selalu

mempunyai tujuan akhir memecah belah dan mengadu domba pihak-pihak yang

bersangkutan. Demikian pula dengan perjanjian Giyanti. Orang Belanda yang

berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti tersebut adalah Nicolaas

Harting, yang menjabat Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouverneur en

Directeur van Java’s noordkust) sejak bulan Maret 1754.

Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk

membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan

Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah

oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku

Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I.

Sedang Kasunanan Surakarta diperintah oleh Paku Buwono III.

Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I

adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera

memerintahkan membuka hutan Beringan yang terdapat dusun Pacetokan. Sri

Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan bahwa wilyah yang menjadi daerah

kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta

Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan

xv

Page 16: Laporan Wisata Budaya Jogja

untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada j=zaman

almarhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) merupakan kota

kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan

Garjitowati. Kemudian pada zaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di

Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu

dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan

dimakamkan di Imogiri.

Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan

Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau

menggantinya dengan nama Ayogya (atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta

ditafsirkan dari kata “Ayuda” dan kata “Karta”. Kata “a” berarti tidak dan “yuda”

berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau

damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tentram. Jadi Ngayogyakarta dapat

diartikan sebagai “ Kota yang aman dan tenteram”.

Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh Sri Sultan

Hamengku Buwono I adalah pula seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton

Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama

pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan

Ambarketawang Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis

Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 meski belum selesai dengan sempurna, Sultan

dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di saat raja dan keluarganya

menempati kraton ditandai dengan candra sangkala “Dwi Naga Rasa Tunggal”.

Dalam tahun jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan

tanggal 7 Oktober 1756.

Setelah kraton mulai ditempati kemudian segera disusul berdiri pula

bangunan-bangunan pendukung lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di

dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan

kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun

tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757.

xvi

Page 17: Laporan Wisata Budaya Jogja

Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1761 dan 1762.

Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton

selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikianlah kraton

Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke

waktu.

Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh

Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul.

Sehingga pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diijinkan membangun

sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda

dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut

maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam

mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng

yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap

ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat

dimanfaatkan sebagai benteng stragi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat

dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga

apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya

kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap

perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi “kekuatan” yang sulit

dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini

termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin

Belanda untuk membangun benteng, dikabulkan. Sebelum dibangun benteng pada

lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun

1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng

yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat

tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan keempat sudut

tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut),

Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).

Menurut penuturan Nicolas Harting seorang Gubernur dari Direktur Pantai

Utara Jawa di Semarang, bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat

xvii

Page 18: Laporan Wisata Budaya Jogja

sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari

kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu

dengan atap ilalang.Dalam perkembangan selanjutnya sewaktu W.H. Ossenberch

menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, tahun 1765 mengusulkan kepada

Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih

menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng

dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang

bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Menurut

rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi

dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan

baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang

bersedia mengadakan bahan dan tenaga dalam pembangunan benteng, sedang

disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta, sehingga bahan dan tenaga

yang dijanjikan lebih banyak teralokasi dalam pembangun kraton. Setelah selesai

bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Rustenburg

yang berarti “Benteng Peristirahatan”.

Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga

banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang

dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-

bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali.

Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan

yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg

diganti menjadi Vredeburg yang berarti “Benteng Perdamaian”. Nama ini diambil

sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak

Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.

Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar.

Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut “seleka” atau

“bastion”. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh

parit. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit,

gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di

xviii

Page 19: Laporan Wisata Budaya Jogja

Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis

dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda

digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di

Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada

berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.Sejalan dengan perkembangan

politik yang berjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula

perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg.

Secara kronologis perkembangan status tanah dan bangunan Benteng Vredeburg

sejak awal dibangunnya (1760) sampai dengan runtuhnya kekuasaan Hindia

Belanda (1942) adalah sebagai berikut :

1. Tahun 1760 – 1765

Pada awal pembangunannya tahun 1760 status tanah merupakan milik

kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC)

dibawah pengawasan Nicolaas Harting, Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa.

2. Tahun 1765 – 1788

Secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan tetapi secara de

facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda. Usul Gubernur

W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih

disempurnakan, dilaksanakan tahun 1767. Periode ini merupakan periode

penyempurnaan Benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.

3. Tahun 1788 – 1799

Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik

kasultanan, secara de facto dikuasai Belanda. Periode ini merupakan saat

digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC). Bangkrutnya VOC

tahun 1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche

Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga secara de facto menjadi milik

pemerintah kerajaan Belanda.

4. Tahun 1799 – 1807

Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan,

tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataafsche Republik

xix

Page 20: Laporan Wisata Budaya Jogja

(Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg. Benteng tetap

difungsikan sebagai markas pertahanan.

5. Tahun 1807 – 1811

Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninklijk

Holland. Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi

secara de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah

Gubernur Daendels.

6. Tahun 1811 – 1816

Ketika Inggris berkuasa di Indonesia 1811 – 1816, untuk sementara

benteng dikuasai Inggris dibawah Gubernur Jenderal Rafles. Namun dalam

waktu singkat Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng

tetap milik kasultanan.

7. Tahun 1816 – 1942

Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto

dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka

pihak kasultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi masalah

penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara

Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang dengan ditandai

dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat.

Masa Jepang

Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, membuat kedudukan pulau Jawa

sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang

Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai daerah-daerah penghasil minyak bumi di

Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu dan Balikpapan. Penguasaan

daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan

Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang

Sumatera yaitu Dumai, Pakan Baru dan Palembang. Terakhir baru Jepang

menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu

dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di

Pulau Jawa. Hingga akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa

syarat pada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di

Indonesia.

xx

Page 21: Laporan Wisata Budaya Jogja

Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6

Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah yang semula

ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta

berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Dengan semboyan Tiga A (Nipon

Cahaya Asia, Nipon Pemimpin Asia dan Nipon Pelindung Asia), mereka

melakukan pawai dengan jalan kaki dan bersepeda bergerak menuju pusat kota

Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Yogyakarta.

Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1

tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di

bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor

di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang

disamping ditempatkan di Kotabaru juga di pusatkan di Benteng Vredeburg.

Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu

tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam.

Disamping itu benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat

penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap.

Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan

menentang Jepang.

Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan

persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan

terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap

sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di

kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap

sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah disaat terjadi perang secara

mendadak.

Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942

sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan

xxi

Page 22: Laporan Wisata Budaya Jogja

nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan.

Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis

formal status tanah tetap milik kasultanan.

Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang

(1942-1945) bangunan benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara

Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo

Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.

Masa Kemerdekaan

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah

berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke

Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang

Perpustakaan Daerah, Jl. Malioboro Yogyakarta). Kepala kantor berita Domei

Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan kepala bagian

radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto,

Soetjipto, Abdullah dan Umar Sanusi.

Pada siang hari itu, berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia

disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan

keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September

1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas

berdirinya negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat

semakin berapi-api.

Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera

Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih

kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya

kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi

perampasan gedung ataupun vasilitas lain milik Jepang, benteng Vredeburg juga

menjadi salah satu sasaran aksi. Setelah Benteng dikuasai oleh pihak RI untuk

xxii

Page 23: Laporan Wisata Budaya Jogja

selanjutnya penanganannya diserahkan kepada Instansi Militer yang kemudian

dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan

dengan kode Staf “Q” dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas

mengurusi perbekalan militer. Sehingga tidak mustahil bila pada periode ini

Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai gudang

perbekalan termasuk senjata, mesiu dll. Pada tahun 1946 di dalam komplek

Benteng Vredeburg didirikan Rumah Sakit Tentara untuk melayani korban

pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani

tentara beserta keluarganya.

Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan disaat

perbedaan persepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi, maka meletuslah

peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan Kudeta

yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal

maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad

Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka

pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.

Pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng

Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas militer RI menjadi sasaran

pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor TKR yang berada di dalamnya

hancur. Setelah menguasai lapangan terbang Maguwo, tentara Belanda yang

tergabung dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van Langen berhasil menguasai

kota Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg

dipergunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG

(Informatie Voor Geheimen), yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Disamping itu

Benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga

dipakai untuk menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer

lainnya.

Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk

menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI bersama dengan TNI masih

xxiii

Page 24: Laporan Wisata Budaya Jogja

ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan

lain yang dikuasai Belanda seperti Kantor Pos, Stasiun Kereta Api, Hotel Toegoe,

Gedung Agung, dan Tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 (enam) jam kota

Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala

bantuan Tentara Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta,

TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya.

Meski mampu menduduki kota Yogyakarta hanya sekitar 6 jam, namun

secara politis serangan tersebut mempunyai arti yang luar biasa. Kebohongan

Belanda yang selama ini ditutup-tutupi akhirnya terbongkar, dan terbukalah mata

dunia internasional. Sehingga berawal dari persetujuan Roem – Royen (7 Mei

1949), akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda terpaksa mengakui

Kedaulatan RIS setelah sebelumnya harus melalui proses yang panjang di KMB

(Koferensi Meja Bundar) yang berlangsung pada tanggal 23 Agustus – 2

Nopember 1949. Proses itu tidak dapat dipisahkan dengan peran besar pemancar

radio gerilya di Banaran, Playen, Gunung Kidul, yaitu Radio AURI PC-2.

Setelah Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg

dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Kemudian

pengelolaan benteng diserahkan kepada Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu

itu Ki Hadjar Dewantara pernah mengemukakan gagasannya agar Benteng

Vredeburg dimanfaatkan sebagai ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu

terhenti karena terjadi peristiwa “Tragedi Nasional” Pemberontakan G 30 S / PKI

tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng Vredeburg digunakan sebagai

tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G 30 S / PKI yang langsung

berada dibawah pengawasan HANKAM. Rencana pelestarian bangunan Benteng

Vredeburg mulai lebih terlihat nyata setelah tahun 1976 diadakan studi kelayakan

bangunan benteng yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha

kearah pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai.

Tanggal 9 Agustus 1980 dilakukan penandatanganan piagam perjanjian antara Sri

Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pihak I dan Dr. Daud Jusuf (Mendikbud)

xxiv

Page 25: Laporan Wisata Budaya Jogja

sebagai pihak II tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg.

Dengan pertimbangan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg tersebut

merupakan bangunan bersejarah yang sangat besar artinya maka pada tahun 1981

bangunan bekas Benteng Vredeburg di tetapkan sebagai benda cagar budaya

berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor

0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981. Tentang pemanfaatan bangunan Benteng

Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Mendikbud RI)

tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas Benteng

Vredeburg akan difungsikan sebagai museum Perjuangan Nasional yang

pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia.

Sesuai dengan Piagam Perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku

Buwono IX Nomor 359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan bahwa

perubahan-perubahan tata ruang bagi gedung-gedung di dalam komplek benteng

Vredeburg diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Untuk

selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan kemudian

dijadikan museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum. Pada

tanggal 23 November 1992 bangunan bekas Benteng Vredeburg secara resmi

menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (ketika itu Prof. Dr.

Fuad Hasan) Nomor 0475/O/1992 dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.

Selanjutnya Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan

Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok

dan Fungsi yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit Pelaksana Teknis yang

berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang

Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan, perawatan,

pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan

bimbingan edukatif cultural mengenai benda dan sejarah perjuangan bangsa

Indonesia di wilayah Yogyakarta.

xxv

Page 26: Laporan Wisata Budaya Jogja

Secara kronologis perkembangan status tanah dan pemanfaatan benteng

Vredeburg sejak Proklamasi Kemerdekaan (1945) sampai dengan dimanfaatkan

sebagai museum khusus sejarah perjuangan sebagai berikut :

1. Tahun 1945 – 1977

Status tanah benteng masih tetap milik kasultanan Yogyakarta. Dengan

diproklamasikannya kemerdekaan RI tahun 1945, benteng diambil alih oleh

instansi militer RI. Tahun 1948 benteng sempat sementara diambil alih oleh

Belanda pada waktu agresi militernya yang kedua (19 Desember 1948). Waktu

Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk sesaat TNI berhasil menguasai daerah

sekitar Benteng Vredeburg. Tetapi tidak lama kemudian berhasil dikuasai kembali

oleh Belanda sampai dengan Penarikan Belanda dari Yogyakarta sebagai hasil

persetujuan Roem-Royen (7 Mei 1949). Selanjutnya Benteng Vredeburg dibawah

pengelolaan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).

2. Tahun 1977 – 1992

Dalam periode ini status penguasaan dan pengelolaan benteng pernah

diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta. Tanggal

9 Agustus 1980 diadakan penandatanganan piagam perjanjian tentang

pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan HB IX (pihak I)

dan Mendibud Dr. Daud Jusuf (pihak II). Kemudian dikuatkan dengan pernyataan

Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto tanggal 5 November 1984, bahwa

bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai sebuah museum. Tahun 1985

Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengijinkan diadakannya perubahan bangunan

sesuai dengan kebutuhannya. Tahun 1987 museum dapat dikunjungi oleh umum.

Pada periode ini Benteng Vredeburg pernah dipergunakan sebagai ajang

Jambore Seni (26 – 28 Agustus 1978), Pendidikan dan latihan Dodiklat POLRI.

Juga pernah dipergunakan sebagai markas Garnizun 072 serta markas TNI AD

Batalyon 403. Meski demikian secara yuridis formal status tanah tetap milik

kasultanan.

3. Tahun 1992 sampai sekarang

Melalui Surat Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan nomor

0475/O/1992 tanggal 23 November 1992 secara resmi Benteng Vredeburg

xxvi

Page 27: Laporan Wisata Budaya Jogja

menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng

Yogyakarta. Untuk meningkatkan fungsionalisasi museum ini maka mulai tanggal

5 September 1997 mendapat limpahan untuk mengelola Museum Perjuangan

Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta, dari Museum Negeri Propinsi DIY

Sonobudoyo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng

Vredeburg Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di

lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala.

xxvii

Page 28: Laporan Wisata Budaya Jogja

C. MALIOBORO

Jalan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di Kota

Yogyakartayang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan

Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Pangeran

Mangkubumi, Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani. Jalan ini merupakan

poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta. Terdapat beberapa obyek bersejarah di

kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung

Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburgdan Monumen Serangan Oemoem

1 Maret.

Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang

menjajakan kerajinan khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang

menjual makanan gudeg khas jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya

paraSeniman-seniman-seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka

seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim dan lain-lain disepanjang

jalan ini.

 

Tidak lepas dari kota Jogja, bahkan bisa dibilang sudah menjadi ikon kota

Jogja. Setiap kali menyebutkan Malioboro, orang akan tahu bahwa Malioboro itu

di Jogja. Malioboro yang terletak sekitar 1 km dari Kraton Jogja merupakan

pusat perekonomian yang sangat ramai di kota Jogja. Di jalan ini berdiri

pertokoan, rumah makan hotel dan perkantoran yang membuat kawasan ini tidak

pernah lengang. Di ujung Selatan dari kawasan ini, tepatnya di Jl. Ahmad Yani,

terdapat Pasar Beringharjo yang juga dikenal dengn sebutan 'Pasar Gede.

Terdapat juga Benteng Vredeburg yang dulunya merupakan benteng pertahanan

Belanda dari serangan pasukan Kraton. Diseberang benteng ini adalah Gedung

Agung, yang dulu pernah digunakan sebagai Istana Negara pada masa

pemerintahan Presiden Soekarno saat ibukota negara dipindahkan ke Jogjakarta.

Di kawasan Malioboro ini terkenal juga dengan para pedagang kaki lima.

Anda bisa berbelanja aneka produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan,

wayang kulit, bermacam tas, sandal, sepatu juga blangkon (topi khas Jawa) serta

xxviii

Page 29: Laporan Wisata Budaya Jogja

barang-barang perak, emas, hingga pedagang yang menjual pernak pernik lain.

Saat berbelanja di kaki lima, anda bisa menawar harga barang yang akan anda

beli, jika pandai menawar dan beruntung, anda bisa mendapatkan penurunan

harga sepertiga atau bahkan setengah harga dari harga yang ditawarkan. 

Saat hari mulai menjelang sore, banyak lapak lesehan yang mulai dibuka.

Disini anda bisa menikmati makanan khas Jogja seperti gudeg atau pecel selain itu

juga  tersedia aneka masakan oriental ataupun seafood. Bagi anda yang ingin

mencicipi makanan di sepanjang jalan Malioboro, pastikan untuk meminta

daftar harga serta memastikan harganya pada penjual  guna menghindari naiknya

harga yang kurang wajar.

“Malioboro adalah kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa yang dimasa lalu

memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.

Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena memang

sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok

pedagan Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadijah. Di tengah kota

kelompok Tionghoa ini menjadikan Malioboro sebagai daerah modal untuk

mengembangkan bisnisnya. Perang Jawa tidak akan bisa lepas dari percaturan

politik Tionghoa. Tokoh seperti Tumenggung Secodiningrat. Sejarah

Secodiningrat adalah sejarah percampuran juga sejarah politik dan kebencian

rasial. Politik Cinta-Benci yang selalu menandai sejarah kekuasaan Jawa-Mataram

ini ternyata mendapatkan tempat dalam cerita jalan Malioboro. Di jaman

Secodiningrat inilah jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton yang

kemudian juga melibatkan ketidaksenangan Paku Alam terhadap peran

Secodiningrat.”

Sekitar tahun 1916 kawasan pecinan yang berkembang di wilayah

setjodiningratan yaitu sebelah timur kantor pos besar, mulai menjadi basis bisnis

menyaingi wilayah kotagede. apalagi setelah dibangun pasar gedhe yang sekarang

bernama pasar bringharjo dan mulai beroprasi tahun 1926 geliat ekonomi di

kawasan ini mulai beranjak naik. padahal sebelumnya jalan ini hanyalah jalan

biasa yang jarang dijamah kecuali sebagai tempat lewat menuju keraton.

xxix

Page 30: Laporan Wisata Budaya Jogja

Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu yang

dibangun pada 1887 dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel

Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng

Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan

lumrah di sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro

merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina. Maliboro yang

berarti jalan bunga (mungkin untuk menghubungkan dengan pasar kembang

disebelah utara) sebelum menjadi pusat niaga hanyalah jalan luji kebon.

perkembangan malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis orang-orang

tionghhoa juga ditunjang oleh posisi yang stretegis dalm filosofi garis imajiner

jogja. muncul dan berdirinya bangunan-bangunan strategis juga berperan pada

perkembangan malioboro seperti pasar bringharjo, hotel grand jogja hingga

stasiun tugu.

Hingga kini malioboro menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah intrik

kehidupan jogja (bisa di baca di tulisan sebelumnya). selain sejarah intrik dagang,

malioboro adalah saksi bisu penangkapan soekarno sat agresi miiter 2 belanda,

saksi pertempuran 6 jam. hingga kini di malioboro juga menjadi pusat dari

pemerintahan jogja dengan berdirinya kantor-kantor pemerintahan.

Tetapi yang jarang terlintas dalam perkembangan sejarah jogja adalah

dunia sastra. dari sinilah dunia sastra jogja mulai mengembangkan taring. dalam

Antologi Puisi Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul

“MALIOBORO” untuk buku tersebut, uku yang berisi 110 penyair yang tinggal

dan pernah tinggal di yogyakarta selama kurun waktu lebih dari setengah abad.

Selain itu malioboro memberi jejak tersendiri pada dunia sastra indonesia pada

umumnya maupun jogja pada khususnya. kisah ini terlacak saat tahun 1970-an,

Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro

menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya senisono.

Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu

Paranggi cucu raja sumba, yang melahirkan muid-murid berkaliber “monster”

xxx

Page 31: Laporan Wisata Budaya Jogja

dalam dunia sastra (alm) Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib serta korys layun

rampan, hingga ratusan pemuja umbu dalam lingkaran komuniats PSK (persada

studi klub) . Daya hidup seni jalanan ini akhirnya mandek pada 1990-an setelah

gedung Senisono ditutup.

Warisan ‘para seniman ini di Malioboro adalah ‘budaya lesehan’, yang

lalu menjadi eksotisme dan merupakan daya jual kekhasan warung-warung di

Malioboro. Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Indies Hindia

Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi peninggalan yang

berarti, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti

Mal Malioboro. Malioboro adalah Sebuah jalan pada satu kota adalah kumpulan

kenangan yang tergabung secara kolektif bagi penghuninya, namun secara umum

saya lebih menikmati titik nol KM jogja yang merupakan ujung selatan jaln

malioboro, di situlah hingga kini “budaya  lesehan” para seniman masih terus

berlanjut.

xxxi

Page 32: Laporan Wisata Budaya Jogja

BAB 3

PENUTUP

1. Kesimpulan Setelah kita mempelajari keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia,kita semakin

bangga bahwa Indonesia sangat kaya akan budayanya. Agar budaya indonesia yang

sangat beragam ini tetap lestari,kita sebagai generasi muda wajib untuk mencintai serta

melestarikanya.

2. Kritika. Banyak generasi muda Yang tidak tahu akan keaneragaman budaya di Indonesia,

b. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan budayanya sendiri.

3. Sarana. Sebaiknya digalakn pengetahuan tentang keanekaragaman budaya di Indonesia

Diperlukan kesadaran sebagai generasi muda untuk mestarikan budaya di Indonesia

xxxii

Page 33: Laporan Wisata Budaya Jogja

BAB 4

LAMPIRAN

xxxiii

Page 34: Laporan Wisata Budaya Jogja

xxxiv

Page 35: Laporan Wisata Budaya Jogja

xxxv

Page 36: Laporan Wisata Budaya Jogja

xxxvi

Page 37: Laporan Wisata Budaya Jogja

DAFTAR PUSTAKA

1. www.google.com

2. Museum Sonobudoyo

3. Benteng Vredeburg

4. Jalan Malioboro

xxxvii