2. teori penunjang 2.1. wisata budaya 2.1.1...
TRANSCRIPT
9 Universitas Kristen Petra
2. TEORI PENUNJANG
2.1. Wisata Budaya
2.1.1. Pengertian Wisata Budaya
Wisata budaya merupakan salah satu bentuk tertua dari special interest
tourism yang juga sangat dipahami. Banyak ahli, peneliti, dan organisasi yang
mendefinisikan wisata budaya menurut pandangan yang berbeda.
Definisi pertama dikemukakan oleh United Nations World Tourism
Organization (UNWTO) mendefinisikan wisata budaya sebagai:
the movement of person to cultural attractions in cities in countries other
than ther normal place of residence, with the intention to gather new
information and experience to satisty their cultural needs and all
movements of persons to specific cultural attraction, such as heritage
sites, artistic and cultural manifestations, art and drama to cities outside
their normal country of residence (Whyte et al., 2012).
Definisi di atas menyatakan bahwa wisata budaya merupakan sebuah aktivitas
atraksi budaya pada sebuah kota maupun negara di luar kediaman wisatawan yang
dilakukan untuk mendapatkan informasi serta pengalaman yang baru mengenai
budaya melalui atraksi budaya, karya seni dan budaya.
United Nations World Tourism Organization (UNWTO) dan Canadian
Tourism Comission dalam Whyte et al. (2012) melihat wisata budaya dari sudut
pandang motivasi mendeskripsikan wisata budaya “on the basis of the desire to
learn about a destination’s cultural heritage as a significant travel motive" . Sudut
pandang tersebut menyatakan bahwa motivasi wisatawan saat melakukan
perjalanan untuk mempelajari warisan budaya sebuah destinasi.
Jika dilihat melalui sudut pandang pengalaman yang dikemukakan oleh
Blackwell (1997) dan Schweitzer (1999) wisata budaya “involves some
meaningful experience with the unique social fabric, heritage and specail
character of places”. Sudut pandang ini menyatakan bahwa wisata budaya
melibatkan beberapa pengalaman dengan tatanan sosial yang unik, warisan dan
karakter khusus pada suatu tempat. Sedangkan sudut pandang Bachleitner (1999)
10 Universitas Kristen Petra
dan Hannabuss (1999) melihat wisata budaya “as a quest or search for greater
understanding”, atau sebagai suatu pencarian dalam memahami budaya yang
lebih luas.
Setiap definisi dan sudut pandang para ahli mengenai wisata budaya
memiliki kelebihan tersendiri, namun terlalu umum untuk suatu pengertian yang
mendalam. Motivasi dan pengalaman yang didefinisikan sebagai alasan
berpergian dilihat sebagai pembeda wisatawan wisata budaya dan wisatawan
lainnya. Meskipun demikian, wisatawan yang datang tidak semuanya bertujuan
untuk mendalami cultural sites tersebut. Berdasarkan definisi yang telah
dikemukakan, definisi dari McKercher (2005) merupakan definisi yang paling
komperhensif yakni wisata budaya ialah “a form of tourism that relies on a
destination’s cultural heritage assets and transform them into product that can be
consumed by tourists”. Definisi ini dapat diartikan sebagai sebuah bentuk
pariwisata yang bergantung pada aset warisan budaya yang dapat dikonsumsi atau
dinikmati oleh wisatawan.
2.1.2. Elemen Pembentuk Wisata Budaya
Sesuai dengan pengertian wisata budaya menurut McKercher (2005) di
atas, maka wisata budaya memiliki 4 (empat) elemen pembentuk wisata budaya.
2.1.2.1 Pariwisata (Tourism)
Wisata budaya adalah salah satu dari bentuk pariwisata. Sebuah destinasi
budaya dikatakan sebuah pariwisata apabila memiliki produk wisata budaya yang
menarik dan dapat dikonsumsi oleh wisatawan.
2.1.2.2 Use of Cultural Assets
Elemen kedua pembentuk wisata budaya adalah penggunaan terhadap aset
budaya. International Council on Monuments and Sites (ICOMOS, 1999)
mendefinisikan bahwa heritage atau warisan merupakan suatu konsep yang
meliputi aset yang berwujud dan aset tak berwujud. Aset kasat mata dapat
meliputi lingkungan alami dan budaya serta bangunan ataupun tempat yang
bersejarah. Sedangkan aset tak kasat mata meliputi mempraktekan seni budaya
masa lalu dan pengalaman serta pengetahuan mengenai budaya. Aset-aset dalam
11 Universitas Kristen Petra
wisata budaya diidentifikasi dan diwariskan untuk menjaga nilai intrinsik dan nilai
ekstrinsik agar menjadi daya tarik dan dapat dikonsumsi maupun dinikmari oleh
wisatawan.
2.1.2.3 Consumption of Experience and Product
Elemen ketiga yang tidak bisa lepas dari wisata budaya adalah konsumsi
pengalaman dan menikmati destinasi wisata. Semua pariwisata melibatkan
konsumsi produk dan pengalaman (Urry, 2002). Wisatawan umumnya
menginginkan sebuah pengalaman yang berkualitas, tetapi tidak semuanya dapat
mendapat kualitas pengalaman yang sama. Beberapa hanya mendapat pengalaman
yang sangat sedikit, sementara yang lain ingin mendapat pengalaman yang
mendalam. Untuk mengatasi hal ini, aset warisan budaya harus diubah menjadi
sebuah produk yang dapat dengan mudah pahami dan dinikmati serta menambah
kualitas pengalaman yang dialami oleh wisatawan.
2.1.2.4 Wisatawan (Tourist
Elemen keempat pembentuk wisata budaya adalah wistawan. Tanpa
adanya wisatawan, sebuah wisata budaya tidak akan menjadi sebuah pariwisata
atau sebuah destinasi.Wisatawan adalah penduduk non lokal yang berpergian
untuk bersenang-senang, rekreasi, melarikan diri atau untuk menghabiskan waktu
dengan keluarga (Pearce and Lee 2005). Kebanyakan wisatawan mencari hiburan,
dan beberapa ingin mencari pengalaman yang mendalam. Pada umumnya,
wisatawan berbeda dengan penduduk lokal dalam keinginannya menggali
pengalaman baru mengenai destinasi warisan budaya maupun kehidupan budaya
tersebut.
Jenis, kualitas dan kebenaran informasi yang diterima sebelum kedatangan
akan membentuk harapan serta perilaku wisatawan dan tugas akan menjadi lebih
rumit dengan revolusi media sosial (du Cross and Liu 2013). Maka dari itu,
produk wisata budaya yang berhasil ialah produk yang disesuaikan dengan
wisatawannya, sebab wisatawan cenderung menjadi mayoritas dalam membentuk
pariwisata.
12 Universitas Kristen Petra
2.1.3. Klasifikasi Wisata Budaya
Wisata budaya dapat dibagi menjadi beberapa kategori produk
berdasarkan pengalaman dan aktivitas yang disediakan setiap destinasinya. Setiap
kategori produk merupakan kelompok yang saling berhubungan dengan produk
yang dibedakan dari beberapa produk lainnya di dalam satu kelas yang sama
berdasarkan satu atau lebih kelebihan yang dimiliki. Pembagian menjadi beberapa
kelas kategori produk mempermudah untuk mengetahui macam-macam destinasi
cultural tourism yang ingin dikunjungi berdasarkan pengalaman yang ingin
dirasakan.
Cultural tourism dapat dikelompokkan menjadi 12 jenis kategori produk
dalam McKercher (2005) sebagai berikut.
1. Built non touristic tourism yakni sebuah bangunan prasejarah, historis dan
kontemporer, dimana tidak mengubah bangunan ataupun benda prasejarah
aslinya sehingga dapat dikonsumsi oleh para wisatawan. Dapat dicontohkan
sebuah wisata arkeolog di Indonesia sendiri dapat ditemukan di Sragen, Jawa
Tengah yaitu Sangiran Early Man site (Manusia Purba Pertama).
2. Touristic purpose built or modified tourism yaitu bangunan yang dibangun
untuk daya tarik wisatawan dengan menggunakan fasilitas sejarah yang masih
ada. Salah satunya yaitu Monumen Tugu Pahlawan dan Museum Sepuluh
Nopember di Surabaya, dengan menggunakan barang-barang yang historis
untuk menarik wisatawan.
3. Economic tourism merupakan wisata warisan yang terkait dengan pertanian
ataupun industri. Contoh yang dapat ditemukan yakni Sababay Winery di Bali
yakni sebuah pertanian anggur menghasilkan anggur lokal Bali.
4. Transport tourism ialah sebuah transportasi atau infrastruktur, dapat
dicontohkan yaitu Jembatan Petekan dan Jembatan Merah di Surabaya
5. Cultural landscape tourism adalah gabungan antara tangible dan intangible
features. Contohnya dapat ditemukan di Bali yakni sistem pengairan sawah
Subak yang menganut filsafat Hindu Tri Hita Karana.
6. Creative Industries tourism yaitu sebuah pertunjukan karya seni. Contohnya
tarian Kecak dari Bali.
13 Universitas Kristen Petra
7. Religious tourism adalah artefak dan praktik yang berwujud dan tak berwujud.
Contohnya yakni Gereja Katedral Kelahiran Santa Perawan Maria di
Kepanjen yang merupakan gereja katolik tertua peninggalan Belanda di
Surabaya.
8. Diaspora ethnic tourism merupakan produk budaya yang berhubungan dengan
komunitas imigrasi. Contohnya yaitu ethnik Tionghoa yang tersebar pada
beberapa negara salah satunya di Indonesia dan meninggalkan peninggalan-
penginggalannya.
9. Extant ethnic (extant) tourism yakni produk budaya yang terkait dengan
komunitas etnik. Contohnya sebuah festival Karapan Sapi di Madura.
10. Intangible heritage tourism adalah sebuah produk budaya yang mencerminkan
kehidupan suatu budaya. Contoh lainnya adalah tradisi upacara kematian
Rambu Solo yang dilakukan masyarakat Toraja dan tari Aceh.
11. Dark tourism merupakan sebuah tempat yang menyebabkan manusia
menderita. Contohnya The House of Memory atau bunker perlindungan di
kawasan Merapi, Yogyakarta yang merupakan bangunan tanpa atap yang telah
hancur ketika diterjang erupsi.
12. Natural heritage (mixed value) tourism ialah wisata budaya yang terkait dan
dibentuk oleh alam. Contohnya yakni Komodo National Park, Ujung Kulon
National Park, Tropical Rainforest Heritage of Sumatra.
Berdasarkan dua belas kategori produk wisata budaya dapat dibedakan
berdasarkan jenis dan asal wisata tersebut. Agar lebih ringkas disimpulkan
menjadi tabel berikut.
14
Universitas Kristen Petra
Tabel 2.1 Classification of Cultural Tourism Product Categories
No Product Category Descriptor Examples
1 Build : non
touristic
Prehistoric, historic
and contemporary
build
Heritage not transform
for touristic use
Archeological sites, Ruins, Listed historic
sites and building, Other historic structures,
Asrtifact, Forts, Castles, Historic houses,
Iconic contemporary architecture,
Cemeteries, and Vernacular architecture
2
Touristic Purpose
: build or
modified
Purpose build
attraction, including
adaptive reuse of
extant facilities
Theme parks, Museum, Cultural centres,
and Conversion of historic sites to tourist
attraction
3 Economic
Tangible and
intangible heritage
associated with
Agriculture, Industry,
etc
Industrial heritage, Attraction based on
primary production( mining, forestry, etc),
Farms and farms museum, Agricultural
practices, Rar breeds (livestock and plants),
Vineyard, and Distilieries, brewerles,
wineless etc
4 Transportation Transport,
infrastructure or super
structure
Canals, Maritime structure ( lighthouses
etc), Ships, Cars, Ralways, Dams, Bridges,
and Roads
5 Cultural
landscape Combined tangible
and intangible features
Historic towns, Seaside resort,
Neighbourhoods, Industrial zones, Linear
or circular touring routes, precincts
6 Creative
industries Arts, performance, etc
Low to high culture, Dance, Performance,
Popular culture, Theater, Literature, Film,
Event and festivals focus on the creative
industries
7 Religiuous
Tangible and
intangible artifacts and
practices
Religious sites (churches, temples, mosques
etc), Sacred sites, Relic, Religious practice,
and Religious festivals and event
8 Diaspora ethnic
Tangible and
intangible focusing
largerly on migrant
communities
Diaspora, Urban ethnic precincts,
Immigration festival and event, Ethnic
festivals in migrant country, Homecoming
festivals in source countries, Slum tours,
Poverty tours, and Ethnic foods
9 Extant ethnic
Tangible and
intangible heritage
associatedwith extant
ethnic communities
Minority cultures, Handcrafts, Agricultural
practices and associated traditions, lifestyle,
etc, Clothing, Foods, Traditions, Customs,
Folklore, Oral tradition, Voices,
Ceremonies
values
10 Intangible
heritage
Features ( combine
with some tangible)
that reflect living
culture
Traditions, Customs, Folkfore
Oral traditons, Voices, Ceremonies, Values,
Famous people, Food, wine, Local markets
sports
11 Dark Tourism
Sites of human
suffering
War sites, Battlefilds, War graves, War
memorials, Slavery, Concentration camps,
Genocide sites, and Prison
12 Natural heritage (
mixed value)
Cultural tourism
associated with and
defined by natural
landscapes
Conservation areas, Botanic garden,
Agriculturalpractices ( e.g. terraced
farming), Wildlife and associated cultural
practices, and Zoos
Sumber: McKercher (2015, p. 11)
15
Universitas Kristen Petra
2.2. Aset Cultural Tourism
Dalam International Council on Monuments and Sites (ICOMOS, 1999)
membagi aset cultural tourism menjadi dua jenis yakni tangible asset dan
intangible asset. Tangible asset terdiri dari natural and cultural environments, the
encompassing of landscape, historic places, sites and built environments.
Sedangkan pada intangible asset terdiri dari collections, past and continuing
cultural practices dan knowledge and living experiences. UNESCO (2017) sendiri
membagi aset budaya negara Indonesia menjadi tabel berikut ini.
Tabel 2.2 Pembagian tangible asset dan intangible asset di Indonesia
Tangible Asset Intangible Asset
Cultural Natural
Borobudur Temple
Compounds
Tropical Rainforest
Heritage of Sumatra Pinisi, art od boatbuilding in South Sulawesi
Prambanan Temple
Compounds
Ujung Kulon National
Park The genres of traditional dance in Bali
Cultural Landscape of
Bali Province: the
Subak System as a
Manifestation of the
Tri Hita Karana
Philosophy
Komodo National
Park
Noken multifunctional knotted or woven bag,
handcraft of the people of Papua
Sangiran Early Men
Site Lorentz National Park Saman dance
Indonesia Angklung
Indonesia Batik
Education and training in Indonesia Batik
intangible cultural heritage for elementary,
junior,senior, vocational school and
polythechnic students, in collaboration with
the Batik Museum in Pekalongan
Wayang puppet theatre
Indonesian Kris (Indonesian’s traditional
weapon)
Sumber: UNESCO (2017)
16
Universitas Kristen Petra
2.2.1. Tangible Cultural Heritage
Tangible cultural heritage termasuk semua aset yang memiliki bentuk
fisik dari perwujudan nilai budaya seperti situs warisan, kota tua, bangunan tua,
situs arkeolog, wilayah kebudayaan, objek budaya, serta koleksi dan museum
(UNESCO WHC et.al, 2013). Pada dasarnya tangible heritage atau aset berwujud
ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori, bangunan dan situs arkeolog, situs
warisan, rute dan wilayah budaya serta properti budaya yang dapat berpindah dan
museum.
Bangunan dan situs arkeolog adalah jenis warisan nyata yang paling umum
dengan tujuan untuk menyelamatkan struktur bangunan atau benda-benda
prasejarah dari penghancuran. Adapun tujuannya untuk menjaga kelestarian aset
dan dikonservasi agar tetap terjaga keuntuhan dan makna sejarah yang tertinggal
pada bangunan dan benda tersebut.
Aset pada cultural heritage dapat mencakup seluruh lingkungan, situs
bersejarah, rute dan wilayah kebudayaan yang lebih luas. Rute perjalanan budaya
biasanya sudah mencakup kategori lain dari heritage, seperti industri, arkeolog,
dan situs bersejarah. Wilayah budaya merupakan kategori yang lain, dimana
terdiri dari nilai-nilai alam dan budaya yang langka dan terintegrasi serta
mewujudkan bagaimana manusia mempengaruhi perubahan lingkungan dari
waktu ke waktu dengan melakukan kegiatan tertentu.
Properti budaya yang dapat berpindah terdiri atas semua jenis objek wisata
warisan yang dapat dipindahkan, kesenian ataupun artifak. Dimana properti
budaya yang dapat berpindah ini merupakan sebuah aset yang rentan rusak dan
memiliki nilai-nilai yang tak berwujud yang dapat hilang ataupun dihapus dari
aslinya.
2.2.2. Intangible Cultural Heritage
Dalam UNESCO (2014) menyatakan bahwa intangible cultural heritage
yang diturunkan dari generasi kegenerasi, secara terus menerus akan diciptakan
kembali oleh beberapa komunitas dan kelompok untuk merepson lingkungannya,
interaksi terhadap sejarah dan alam, serta memberikan indentitas secara
berkerlanjutan, sehingga menghargai perbedaan budaya dan kreatifitas manusia.
UNESCO mengkategorikan intangible cultural heritage menjadi lima jenis wisata
17
Universitas Kristen Petra
yakni kerajinan tangan tradisional; tradisi, ritual dan festival budaya; pertunjukan
seni; tradisi oral; dan pengetahuan serta praktik yang menfokuskan pada budaya
alam dan sekitarnya.
Kerajinan tangan tradisional menurut Marwick (2001) ialah sebuah
kerajinan tangan yang menjadi andalan wisata budaya yang ditawarkan kepada
wisatawan sebagai sebuah souvenir atau cindramata. Selain sebagai cindramata,
kerajinan tangan menjadi bagian dari pengalaman wisatawan sebagai hal yang
selalu diingat terhadap tempat yang didatangi.
Tradisi, ritual dan festival budaya didefinisikan oleh UNESCO (2014)
sebagai sebuah kebiasaan aktivitas yang membangun kehidupan komunitas dan
dibagikan kepada beberapa relevan serta anggota lainnya. Menurut De bress dan
David (2001) beberapa kegiatan yang dilakukan yakni seperti ritual dan festival
yang diadakan khusus untuk wisatawan yang menggali lebih dalam mengenai
budaya lokal yang dikunjungi. Selain itu, menurut Du Cross (2013) berbagai
festival makanan, cooking tours, dan food souvenir telah dikembangkan untuk
menarik perhatian wisatawan dengan menyoroti budaya lokal dan tradisi.
Pertunjukan budaya termasuk tradisional dan kontemporer musik, tarian
dan teater yang menjadi subjek pariwisata untuk wisatawan. Sebuah pertunjukan
musik atau teater dapat menarik minat wisatawan.
Tradisi oral menurut UNESCO (2014) mencakup berbagai macam
kegiatan lisan yang dapat mencakup peribahasa, teka-teki, dongeng, sajak anak-
anak, legenda, mitos, lagu-lagu epik dan puisi, pesona, doa, nyanyian, lagu,
penampilan dramatis, dan lainnya. Wisatawan menginginkan produk dan
pengalaman yang mudah dikonsumsi, mengingat keterbatasan waktu dan harus
cepat dikonsumsi.
Pengetahuan, kemampuan, latihan dan representasi perkembangan oleh
komunitas dengan berinteraksi terhadap lingkungan alami (UNESCO, 2014).
Dengan memberikan kenangan cerita terhadap memori terhadap tempat tersebut.
18
Universitas Kristen Petra
2.3. Experience Value
2.3.1. Pengertian Experience Value
Pengalaman merupakan sebuah peristiwa berkesan maupun tak berkesan
yang terjadi dan dialami oleh seseorang. Menurut Mathwick et al. (2001),
experience value adalah persepsi pelanggan atas interaksi yang diterima baik
secara langsung dengan mengapresiasi atas barang dan jasa yang dikonsumsi.
“The customer’s experience of value through joint engagements and benefits
derived at a destination.” (Amoah et al., 2016) Definisi ini menyatakan bahwa
nilai pengalaman pengunjung dibentuk melalui keterlibatan dan manfaat yang
diperoleh pada destinasi yang dikunjungi. Apabila wisatwan berkunjung pada
suatu destinasi dengan merasakan pengalaman yang menarik maka akan
terbentuklah nilai pengalaman wisatawan. Dalam Chen dan Chen, (2010)
menyatakan bahwa kualitas pengalaman didapatkan melalui perasaan yang
ditimbulkan dari wisatawan yang berkunjung pada objek wisata.
Keng dan Ting (2009) menjelaskan experience value merupakan persepsi
pelanggan atas nilai yang didapat dari pengalaman konsumsi pelanggan. Dapat
disimpulkan bahwa experience value merupakan sebuah nilai yang diberikan
wisatawan atas apresiasi ataupun pengalaman yang dirasakan baik secara
langsung maupun tidak langsung.
2.3.2. Dimensi Experience Value
Sebelumnya, experience value digambarkan oleh Pine and Gilmore dalam
Mehmetoglu dan Engen (2011) sebagai sebuah pengalaman yang merupakan
sebuah fase terakhir dalam perkembangan ekonomi melalui bidang komoditas,
produk dan jasa ekonomi. Ketika di dalam sebuah komoditas menyediakan sebuah
produk dan pelayanan yang baik maka tahap terakhir yang akan dirasakan oleh
konsumen ialah sebuah pengalaman yang bernilai. Dalam experience economy ini
memiliki empat dimensi diantaranya entertainment, educational, esthetic, dan
escapism.
19
Universitas Kristen Petra
Gambar 2.1 The four dimensions of an experience
Sumber: Pine and Gilmore (1999, p.30)
Dimensi yang pertama adalah entertainment / hiburan yang mewakili
dimensi dimana wisatawan secara pasif menyerap apa yang sedang terjadi, seperti
konser dan pertunjukan teater. Dimensi kedua yakni esthetic yang juga termasuk
dalam partisipasi pasif, namun dengan pemahaman yang lebih dalam mengenai
lingkungan sekitar yang dilihat. Contohnya saat mengunjungi museum atau saat
melihat pemandangan air terjun Niagara yang menakjubkan. Dimensi ketiga
adalah education yang merupakan pengalaman yang diserap dengan
membutuhkan partisipasi yang aktif dari wisatawan, misalnya mempelajari ski
dan menyelam. Dimensi yang terakhir adalah escapism yang mewakili
pengalaman dimana wisatawan terlibat aktif dan berpartisipasi dalam kegiatan,
contohnya rafting atau bermain di kasino.
Selain itu, penelitian yang dilakukan Mathwick et al. (2002) menghasilkan
tujuh dimensi yang mempengaruhi pengalaman berbelanja seseorang diantaranya
yakni dimensi economic value, efficiency, enjoyment, escapism, entertaining,
visual appeal, dan service excellence. Dimensi economic value dan efficiency
merupakan dimensi yang mempengaruhi perilaku dan psikologis yang
berhubungan dengan keuangan (Mathwick, 2001). Kemudian, dimensi enjoyment
merupakan perilaku yang menyenangkan terhadap kegiatan yang dilakukan.
Dimensi escapism ialah perilaku seseorang yang sejenak pergi dari kegiatan
biasanya untuk bersenang-senang. Lalu, dimensi visual appeal ialah daya tarik
fisik keindahan atau desain yang melekat pada produk tersebut. Menurut Schimid
(1998) dalam Mathwick (2001), dengan memberikan daya tarik yang menarik
terhadap suatu produk akan mempengaruhi pengalaman konsumsi yang
20
Universitas Kristen Petra
diinginkan oleh pelanggan. Selain itu, dimensi entertainment yakni dimensi
dimana seseorang merasa terhibur terhadap produk yang dikonsumsi atau dibeli.
Menurut Oliver (1999) dalam Mathwick (2001) dimensi service excellence atau
keunggulan layanan merupakan dimensi yang beroperasi ideal dalam membentuk
standar penilaian kualitas. Dimana pelanggan merespon layanan atau produk yang
ditawarkan dengan baik.
Maka dari itu, berdasarkan penelitian Mathwick et al. (2002) dan Pine and
Gilmore (1999), Amoah et al. (2016) mengembangkan dimensi experience value
menjadi tujuh dimensi penilaian yakni enjoyment (internal joy), entertainment
(playfulness, fun), escape, atmospherics (aesthetics, visual appeal), efficiency,
excellence dan economic value. Melalui ketujuh dimensi tersebut dapat
memudahkan dalam mengukur experience value dari wisatawan.
Gambar 2.2 Dimensi experience value
Sumber: Amoah, et al. (2016, p.425)
21
Universitas Kristen Petra
Tabel 2.3 Ringkasan Dimensi Experience Value dari Beberapa Penelitian
Terdahulu
No. 1. 2. 3.
Judul Jurnal
The Effect of Dynamic Retail
Experiences on Experiential
Perception of Value : An
Internet and Catalog Comparison
Pine and Gilmore’s
Concept of experience
Economy and Its
Dimentions : An Empirical Examination in
Tourism
Perceived Experience
Valu, Satisfaction and
Intensi berperilakus :
A Guesthouse Experience
Peneliti dan Tahun
Charla Mathwick, Naresh K.
Malhotra, Edward Rigdon ,
2002
Mehmet Mehmetogu and
Marit Engen, 2011
Felix Amoah, Laetitia
Radder and Marle van
Eyk , 2016
Konteks Belanja (Shopping) Music Festival dan
Museum Guesthouse
Dimensi
Experience Value
Escapism Escapism Escape
Entertainment Value Entertainment Entertainment
Excellence - Excellence
Efficiency - Efficiency
Intrinsic Enjoyment - Enjoyment
Economic Value - Economic Value
Visual Appeal Esthetics Atmospherics
- Education -
2.3.2.1 Dimensi Enjoyment
2.3.2.1.1 Pengertian Enjoyment
Enjoyment tercipta pada saat seseorang terpuaskan atas kebutuhannya dan
menerima sesuatu yang tidak terduga sebelumnya (Abuhamdeh and
Csikszentmihalyi, 2012). Selain itu, menurut See-To et al. (2012) menyatakan
bahwa enjoyment merupakan sebuah perasaan yang menyenangkan ketika
seseorang menikmati kegiatan yang dilakukan.
2.3.2.1.2 Indikator Pengukur Dimensi Experience Value : Enjoyment
Dari beberapa penelitian pada tabel 2.4 peneliti mengadopsi indikator-
indikator enjoyment menurut Mathwick et al. (2002) sebagai indikator empirik di
bab tiga. Hal ini dikarenakan indikator yang dikemukakan oleh Mathwick et al.
(2002) paling mendetail diantara penelitian lainnya.
22
Universitas Kristen Petra
Tabel 2.4 Indikator Pengukur Enjoyment
No. 1.
Judul Jurnal The Effect of Dynamic Retail Experiences on Experiential Perception of
Value : An Internet and Catalog Comparison
Peneliti dan
Tahun
Charla Mathwick, Naresh K. Malhotra, Edward Rigdon, 2002
Konteks Belanja (Shopping)
Indikator-
Indikator
Enjoyment
1. I enjoy shopping from XYZ’s
website (catalog) for its own
sake, not just for the items I
may have purchased.
2. I shop from XYZ’s website
(catalog) for the pure
enjoyment of it.
1. Saya menikmati berbelanja
melalui situs web perusahaan
(katalog) untuk kepentingannya
sendiri bukan hanya untuk
barang yang saya beli
2. Saya berbelanja dari situs web
perusahaan murni untuk
menikmatinya.
2.3.2.2 Dimensi Entertainment
2.3.2.2.1 Pengertian Entertainment
Entertainment menurut Pine dan Gilmore (1998) merupakan bagian
terpenting dimana sebuah perusahaan terlibat langsung dalam membahagiakan
pelanggan. Bagi pelanggan yang merasa puas dengan pelayanan yang diberikan
akan memudahkan munculnya perasaan bahagia dan menciptakan kesan baik akan
perusahaan tersebut. Sebuah pelayanan yang terbaik akan menghibur dan
membahagiakan wisatawan terhadap jasa maupun produk yang dikonsumsi.
Dengan hal tersebut, maka akan mudahnya seseorang itu untuk datang kembali
menikmati jasa atau produk yang diberikan dan menjadi suatu pengalaman yang
bernilai bagi wisatawan tersebut.
2.3.2.2.2 Indikator Pengukur Dimensi Experience Value : Entertainment
Dari beberapa penelitian pada tabel 2.5 peneliti mengadopsi indikator-
indikator entertainment menurut Fernandes dan Cruz (2015) sebagai indikator
empirik di bab tiga. Hal ini dikarenakan indikator yang dikemukakan oleh
Fernandes dan Cruz (2015) paling mendetail diantara penelitian lainnya.
23
Universitas Kristen Petra
Tabel 2.5 Indikator Pengukur Entertainment
No. 1.
Judul Jurnal Dimensions and outcomes of experience quality in tourism: The case
of Port wine cellars
Peneliti dan
Tahun Teresa Fernandes, Mariana Cruz, 2015
Konteks Gudang anggur (Wine cellar)
Indikator-
Indikator
Entertainment
1. This is a wine cellar where
people can enjoy themselves .
2. It is happy time when I visit
this wine cellar
1. Gudang anggur ini adalah
tempat dimana orang dapat
menikmatinya
2. Merupakan waktu yang
menyenangkan ketika
mengunjungi gudang anggur
2.3.2.3 Dimensi Escape
2.3.2.3.1 Pengertian Escape
Escape atau melarikan diri menurut Mehmetoglu dan Engen (2011)
merupakan sebuah pengalaman menarik dan menyenangkan bagi seseorang yang
ingin keluar dari rutinitas sehari-hari. Selain itu, hal ini memungkinkan seseorang
dapat terjun ke dalam suatu pengalaman yang baru hingga melupakan jati dirinya
sendiri (Abuhamdeh dan Csikszentmihalyi, 2012).
2.3.2.3.2 Indikator Pengukur Dimensi Experience Value : Escape
Dari beberapa penelitian pada tabel 2.6 peneliti mengadopsi indikator-
indikator escape menurut Wu dan Liang (2009) sebagai indikator empirik di bab
tiga. Hal ini dikarenakan indikator yang dikemukakan oleh Wu dan Liang (2009)
paling mendetail diantara penelitian lainnya.
Tabel 2.6 Indikator Pengukur Escape
No. 1.
Judul Jurnal Effect of experiential value on customer satisfaction with service encounters
in luxury- hotel restaurant
Peneliti dan
Tahun Cedric Hsi-Jui Wu, Rong-Da Liang , 2009
Konteks Restoran Hotel
Indikator-
Indikator Escape
1. Dining in this restaurant is so
enjoyable that makes me feel
comfortable and released
2. Dining in this restaurant makes
me feel like being in another
world
3. Dining in this restaurant
released me from the reality
and helps me truly enjoy myself
1. Makan di restoran ini sangat
menyenangkan sehingga membuat
saya merasa nyaman dan bebas
2. Makan di restoran ini membuat
saya merasa berada di dunia lain
3. Makan di restoran ini membuat
saya terlepas dari semua realita
dan membantu saya untuk
menikmati diri saya sendiri
24
Universitas Kristen Petra
2.3.2.4 Dimensi Atmosphere
2.3.2.4.1 Pengertian Atmosphere
Atmosphere atau suasana terbentuk berdasarkan lingkungan yang
menarik secara visual dan kondisi estetika. Hal ini diyakini Pine dan Gilmore
(1998) bahwa suasana dapat menampilkan daya tarik estetik dimana suasana yang
timbul akan berhubungan terhadap perubahan suasana lingkungan.
2.3.2.4.2 Indikator Pengukur Dimensi Experience Value : Atmosphere
Dari beberapa penelitian pada tabel 2.7 peneliti mengadopsi indikator-
indikator atmosphere menurut Fernandes dan Cruz (2015) sebagai indikator
empirik di bab tiga. Hal ini dikarenakan indikator yang dikemukakan oleh
Fernandes dan Cruz (2015) paling mendetail diantara penelitian lainnya.
Tabel 2.7 Indikator Pengukur Atmosphere
No. 1.
Judul Jurnal Dimensions and outcomes of experience quality in tourism: The case
of Port wine cellars
Peneliti dan
Tahun Teresa Fernandes, Mariana Cruz, 2015
Konteks Gudang anggur (Wine Cellar)
Indikator-
Indikator
Atmospherics
1. The environment of the wine
cellar is enjoyable
2. The environment of the wine
cellar is stimulating to the
senses
3. I am surprised with the wine
cellar environment
4. The atmosphere of the wine
cellar has an impact on my
state-of-mind
1. Lingkungan gudang anggur
menyenangkan
2. Lingkungan gudang anggur
merangsang indra
3. Saya terkejut dengan lingkungan
gudang anggur
4. Atmosfer ruang penyimpanan
anggur berdampak pada keadaan
pikiran saya
2.3.2.5 Dimensi Efficiency
2.3.2.5.1 Pengertian Efficiency
Menurut Holbrook (1999) efficiency didefinisikan sebagai proses
menyelesaikan tugas dengan cepat, tanpa membuang energi, waktu atau bahan
serta kesetaraaan antara perbandingan output dan input. Efficiency tercipta dengan
adanya alur operasional yang tepat sehingga apa yang menjadi kebutuhan
pelanggan dapat terpenuhi dengan tepat dan dalam waktu yang cepat. Persepsi
pelanggan tentang efficiency dievaluasi berdasarkan apa yang didapatkan (barang,
jasa) sesuai terhadap apa yang telah dikorbankan (uang, waktu, dan usaha).
25
Universitas Kristen Petra
2.3.2.5.2 Indikator Pengukur Dimensi Experience Value : Efficiency
Dari beberapa penelitian pada tabel 2.8 peneliti mengadopsi indikator-
indikator efficiency menurut Wu dan Liang (2009) sebagai indikator empirik di
bab tiga. Hal ini dikarenakan indikator yang dikemukakan oleh Wu dan Liang
(2009) paling mendetail diantara penelitian lainnya.
Tabel 2.8 Indikator Pengukur Efficiency
No. 1.
Judul Jurnal Effect of experiential value on customer satisfaction with service
encounters in luxury- hotel restaurant
Peneliti dan
Tahun Cedric Hsi-Jui Wu, Rong-Da Liang , 2009
Konteks Restoran Hotel
Indikator-
Indikator
Efficiency
1. I do not think dining in the
restaurant is a waste of
time
2. Dining in this restaurant
improves my quality of life
1. Saya tidak berpikir makan di restoran
adalah membuang waktu saya.
2. Makan di restoran meningkatkan
kualitas hidup saya
2.3.2.6 Dimensi Excellence
2.3.2.6.1 Pengertian Excellence
Menurut Holbrook (1999) menyatakan bahwa excellence ialah dimana
pelanggan puas akan produk atau jasa yang diberikan telah mencapai tujuan yang
diinginkan. Excellence sendiri merupakan apresiasi pelanggan terhadap performa
kerja dalam mencapai kebutuhan pelanggan. Sedangkan Mathwick et al. (2001)
menggambarkan layanan yang unggul sebagai apresiasi pelanggan kepada
penyedia layanan yang telah memenuhi kepuasan pelanggan melalui keahlian
yang ditunjukkan dan kinerja yang baik. Oleh karena itu, excellence
menggambarkan kualitas produk dan bagaimana pelayanan yang dirasakan oleh
pelanggan, gagasan ini pula didukung oleh teori Mathwick et al. (2001) serta Wu
dan Liang (2009) yang menyatakan bahwa layanan yang excellence dapat
berdampak signifikan pada pandangan pelanggan terhadap experience value.
2.3.2.6.2 Indikator Pengukur Dimensi Experience Value : Excellence
Dari beberapa penelitian pada tabel 2.9 peneliti mengadopsi indikator-
indikator excellence menurut Wu dan Liang (2009) sebagai indikator empirik di
26
Universitas Kristen Petra
bab tiga. Hal ini dikarenakan indikator yang dikemukakan oleh Wu dan Liang
(2009) paling mendetail diantara penelitian lainnya.
Tabel 2.9 Indikator Pengukur Excellence
No. 1
Judul Jurnal Effect of experiential value on customer satisfaction with service encounters
in luxury- hotel restaurant
Peneliti dan
Tahun Cedric Hsi-Jui Wu, Rong-Da Liang , 2009
Konteks Restoran Hotel
Indikator-
Indikator
Excellence
1. The food provided in the
restaurant is exquisite
2. The service provided in the
restaurant is attentive
3. Whenever I think of this
restaurant, I appreciate its
excellent service quality
1. Makanan yang disediakan oleh
restoran sangat indah
2. Pelayanan yang disediakan oleh
restoran sangat penih perhatian
3. Ketika saya berpikir tentang
restoran, saya menghargai tentang
kualitas pelayanan yang unggul
2.3.2.7 Dimensi Economic Value
2.3.2.7.1 Pengertian Economic Value
Dalam Wu dan Liang (2009) menyatakan bahwa economic value
merupakan penilaian pelanggan terhadap perbandingan antara harga dengan
layanan atau produk yang diterima. Harga merupakan sebuah elemen terpenting
sebagai pertimbangan pelanggan dalam menentukan daya beli pelanggan terhadap
suatu barang atau jasa.
2.3.2.7.2 Indikator Pengukur Dimensi Experience Value : Economic Value
Dari beberapa penelitian pada tabel 2.10 peneliti mengadopsi
indikator-indikator economic value menurut Mathcwick et al. (2002) sebagai
indikator empirik di bab tiga. Hal ini dikarenakan indikator yang dikemukakan
oleh Mathcwick et al. (2002) paling mendetail diantara penelitian lainnya.
27
Universitas Kristen Petra
Tabel 2.10 Indikator Pengukur Economic Value
No. 1.
Judul Jurnal The Effect of Dynamic Retail Experiences on Experiential Perception of Value
: An Internet and Catalog Comparison
Peneliti dan
Tahun Charla Mathwick, Naresh K. Malhotra, Edward Rigdon , 2002
Konteks Belanja (Shopping)
Indikator-
Indikator
Economic
Value
1. XYZ products are a good
economic value
2. Overall, I am happy with XYZ’s
prices
3. The prices of the product(s) I
purchased from XYZ’s website
(catalog) are too high, given the
quality of the merchandise.
1. Produk perusahaan adalah nilai
ekonomi yang baik
2. Secara keseluruhan, saya senang
dengan harga dari perusahaan
3. Harga produk yang saya beli dari
situs web perusahaan (katalog)
tertalu tinggi, mengingat kualitas
dari barang dagangan.
2.4. Kepuasan Wisatawan
2.4.1. Pengertian Kepuasan Wisatawan
Dewasa ini, kepuasan pelanggan merupakan salah satu kunci berhasil atau
tidaknya membangun sebuah usaha. Menurut Kotler dan Keller (2009),
menyatakan “Satisfaction is person’s feelings of pleasure or disappointment that
result from comparing a product’s perceived performance (or outcome) to their
expectations”, yang bermakna bahwa kepuasan merupakan perasaan puas ataupun
kekecewaan seseorang yang dihasilkan berdasarkan perbandingan antara kinerja
produk yang dirasakan (atau hasil) dengan ekpektasi seseorang tersebut.
Begitu pula dengan kepuasan wisatawan yang tidak dapat dipisahkan dari
kepuasan pelanggan pada umumnya. Dalam konteks pariwisata, kepuasan dinilai
berdasarkan harapan sebelum perjalanan dan pengalaman setelah perjalanan yang
didapatkan. Ketika pengalaman yang didapatkan melebihi harapan wisatawan dan
menghasilkan perasaan bahagia maka dapat dinyatakan wisatawan tersebut puas.
Tetapi, jika sebaliknya wisatawan mengalami kekecewaan maka wisatawan
tersebut dinyatakan tidak puas (Reisigner dan Turner, 2003).
2.4.2. Indikator Pengukur Kepuasan Wisatawan
Dari beberapa penelitian pada tabel 2.11 peneliti mengadopsi indikator-
indikator kepusan wisatawan menurut Fernandes dan Cruz (2015) sebagai
indikator empirik di bab tiga. Hal ini dikarenakan indikator yang dikemukakan
oleh Fernandes dan Cruz (2015) paling mendetail diantara penelitian lainnya.
28
Universitas Kristen Petra
Tabel 2.11 Indikator Pengukur Kepuasan Wisatawan
No. 1.
Judul Jurnal Dimensions and outcomes of experience quality in tourism: The case
of Port wine cellars
Peneliti dan
Tahun Teresa Fernandes, Mariana Cruz, 2015
Konteks Gudang anggur (Wine cellar)
Indikator-
Indikator
Kepuasan
wisatawan
1. I feel good about coming to the wine
cellar for the offerings I’m looking
for
2. My feelings towards the wine cellar
are very positive
3. The extent to which the wine cellar
has produced the best possible
outcome for me is satisfying
4. Overall I’m satisfied with the wine
cellar and the service they provide
1. Saya merasa senang datang
ke gudang anggur untuk
penawaran yang saya cari
2. Perasaan saya terhadap
gudang anggur sangat
positif
3. Sejauh mana gudang
anggur telah menghasilkan
hasil terbaik bagi saya
adalah memuaskan
4. Secara keseluruhan, saya
puas dengan gudang
anggur dan layanan yang
mereka sediakan
2.5. Intensi Berperilaku
2.5.1. Pengertian Intensi Berperilaku
Menurut Wu dan Liang (2009) menyatakan bahwa intensi berperilaku
merupakan sebuah konsep perilaku yang memungkinakan pelanggan untuk datang
kembali ke perusahaan atas layanan yang telah pelangan gunakan, ataupun
menyerbarluaskan informasi yang positif tentang perusahaan baik kepada
keluarga maupun teman terdekat. Sebuah perilaku keinginan yang tercipta
berdasarkan kepuasan seseorang terhadap pelayanan atau produk yang diberikan.
Dalam konteks pariwisata, perilaku yang dilakukan wisatawan yakni
termasuk dalam memilih tempat wisata untuk dikunjungi, kemudian memberikan
evaluasi apakah merasa puas tidaknya terhadap destinasi yang dikunjungi serta
melakukan intensi berperilaku di masa mendatang. Adapun penilainan intensi
berperilaku didasari oleh penilaian wisatawan untuk mengunjungi kembali
destinasi yang dikunjungi dan keinginan untuk merekomendasikan destinasi
tersebut kepada orang lain (Jin et al., 2013).
2.5.2. Indikator Pengukur Intensi Berperilaku
Dari beberapa penelitian pada tabel 2.12 peneliti mengadopsi indikator-
indikator intensi berperilaku menurut Jin et al. (2013) sebagai indikator empirik di
29
Universitas Kristen Petra
bab tiga. Hal ini dikarenakan indikator yang dikemukakan oleh Jin et al. (2013)
paling mendetail diantara penelitian lainnya.
Tabel 2.12 Indikator Pengukur Intensi Berperilaku
No. 1.
Judul Jurnal
The Effect of Experience Quality on Perceived Value, Satisfaction, Image
and
Behavioral Intention of Water Park Patrons: New versus Repeat Visitors
Peneliti dan
Tahun Naehyun (Paul) Jin, Sangmook Lee, Hyuckgi Lee, 2013
Konteks Water park
Indikator-
Indikator Intensi
berperilaku
1. I would like to return to this
water park in the future
2. I would recommend this water
park to my friends or other
acquaintances
3. I want to tell other people
positive things about this water
park.
1. Saya ingin kembali ke taman
air ini di masa depan.
2. Saya akan merekomendasikan
taman air ini kepada teman-
teman saya atau kenalan
lainnya.
3. Saya ingin memberi tahu orang
lain hal-hal positif tentang
taman air ini.
2.6. Hubungan Antar Konsep
Setelah pada bagian sebelumnya, peneliti telah menjelaskan konsep dari
experience value, kepuasan wisatawan dan intensi berperilaku, maka pada bagian
ini peneliti menjelaskan hubungan antar konsep yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Adapun penelitian-penelitian sebelumnya yang dipaparkan dan telah
dirangkum oleh peneliti dalam bentuk tabel berikut ini yang digunakan sebagai
acuan dalam memaparkan ketiga konsep yang di teliti.
30
Universitas Kristen Petra
Tab
el
2.1
3 P
en
eli
tian
Terd
ah
ulu
31
Universitas Kristen Petra
Tab
el
2.1
3 P
en
eli
tian
Terd
ah
ulu
(S
am
bu
ngan
)
32
Universitas Kristen Petra
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, studi mengenai experience value
terhadap kepuasan dan intensi berperilaku wisatawan telah banyak dilakukan
(Chen dan Chen, 2010; Frenandes dan Cruz, 2016; Jin et al., 2013; Mathwick et
al., 2002; Mehmetoglu dan Engen, 2011; Amoah et al., 2016; Prayag et al., 2013;
Wu dan Liang, 2009; Zhang et al., 2009; See-to et al., 2012). Salah satu
penelitian yang telah dilakukan yakni Amoah et al. (2016) yang meneliti tentang
experience value yang diterima wisatawan terhadap kepuasan dan intensi
berperilaku wisatawan Guesthouse. Penelitian mengenai experience value di atas
sudah pernah dilakukan di restoran, guesthouse, retail, theme park, museum,
festival, dan heritage site. Namun, sejauh ini peneliti kurang menemukan
penelitian antara experience value terhadap intensi berperilaku dengan kepuasan
wisatawan sebagai variabel intervening. Dari penelitian terdahulu peneliti
akhirnya mengadopsi indikator-indikator sebagai acuan untuk membahas
experience value serta membentuk hipotesa yang akan peneliti hubungkan pada
intensi berperilaku wisatawan dengan menggunakan kepuasan wisatawan sebagai
variabel intervening.
2.6.1. Hubungan antara Experience Value dan Kepuasan Wisatawan
Dalam penelitian oleh Amoah et al. (2016) pada tabel 2.3 No.6, ditemukan
bahwa adanya hubungan antara experience value terhadap kepuasan wisatawan
bahkan terdapat tindakan positif oleh wisatawan untuk berkeinginan mengunjungi
tempat itu kembali. Ketujuh dimensi experience value memiliki hubungan yang
positif dalam membentuk pengalaman pengujung. Dengan experience value yang
positif akan membentuk hubungan kuat antara kepuasan dan keinginan wisatawan
untuk berkunjung kembali.
Selain itu, penelitian Wu dan Liang (2009) pada tabel 2.3 No.8 dalam
konteks restoran pada hotel mewah ditemukan bahwa experience value yang
dialami pengunjung berpengaruh positif secara langsung terhadap kepuasan
pelanggan. Dengan memberikan pengalaman yang menarik akan memberikan
kepuasan bagi pelanggan. Memberikan layanan yang baik dan berkesan akan
menghasilkan pengalaman yang baik bagi seorang pelanggan maka pelanggan
tersebut pun akan merasa puas.
33
Universitas Kristen Petra
Berdasarkan penjelasan hubungan antar konsep di atas, maka peneliti
merumusan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Diduga experience value wisatawan saat melakukan aktivitas wisata sejarah
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan wisatawan.
2.6.2. Hubungan antara Kepuasan Wisatawan dan Intensi Berperilaku
Kepuasan wisatawan menjadi mediator penting dalam membentuk intensi
berperilaku wisatawan (Jin et al., 2013). Dalam penelitian Jin et al. (2013) pada
tabel 2.3 No.3, ditemukan hasil bahwa kepuasan berpengaruh positif terhadap
intensi berperilaku. Kepuasan yang didapatkan melalui pengalaman yang positif
akan mempengaruhi intensi berperilaku yakni untuk datang kembali dan
merekomendasikannya kepada rekan dan kerabat.
Penelitian Fernandes dan Cruz (2016) dalam tabel 2.3 No.2, menyatakan
bahwa kepuasan wisatawan memiliki hubungan signifikan dengan intensi
berperilaku wisatawan pada wisata wineries. Dengan menciptakan pengalaman
yang menyenangkan agar menghasilkan kepuasan wisatawan yang lebih tinggi
dan secara positif akan berpengaruhi secara positif terhadap intensi berperilaku
wisatawan.
Dengan demikian, tindakan yang dilakukan oleh wisatawan ketika merasa
puas, maka akan memiliki hubungan yang positif terhadap intensi berperilaku,
dimana wisatawan tidak segan-segan merekomendasikan perusahaan kepada
kerabat dekatnya, melakukan pembelian kembali serta dapat peka terhadap harga.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan pelanggan akan
mempengaruhi intensi berperilaku pelanggan tersebut.
Berdasarkan penjelasan hubungan antar konsep di atas, maka peneliti
merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H2 : Diduga kepuasan wisatawan saat melakukan aktivitas wisata sejarah
berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi berperilaku wisatawan.
34
Universitas Kristen Petra
2.6.3. Hubungan antara Experience Value dan Intensi Berperilaku
Pengalaman yang menyenangkan akan mempengaruhi niat perilaku
pengunjung untuk merekomendasikannya kepada rekan dan keluarganya serta
keinginan untuk datang kembali. Maka dari itu, pengalaman akan berpengaruh
secara postif terhadap perilaku pengunjung hotel kasino. (Zhang et al., 2009 pada
tabel 2.3 No.9)
Dalam penelitian Prayag et al. (2013) ditemukan bahwa perasaan yang
dirasakan oleh wisatawan akan berpengaruh positif terhadap niat berperilaku
wisatawan. Jika respon positif yang dirasakan oleh wisatawan maka akan
berpengaruh positif terhadap kunjungan kembali dan word of mouth. Dari
pengalaman yang dirasakan akan berdampak terhadap intensi
berperilakuwisatawan.
Berdasarkan penjelasan hubungan antar konsep di atas, maka peneliti
merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H3 : Diduga experience value wisatawan saat melakukan aktivitas wisata
sejarah berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi berperilaku wisatawan.
35
Universitas Kristen Petra
2.7. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.3 Hubungan antara experience value, kepuasan wisatawan dan
intensi berperilaku
Experience Value:
Enjoyment Entertainment Escape Atmosphere Efficiency Excellence Economic
value
Kepuasan
Wisatawan
Intensi
Berperilaku
Surabaya Heritage Track Tour
36
Universitas Kristen Petra
2.8. Hipotesis
Berdasarkan kerangka gambar 2.3, maka hipotesis dapat dirumuskan
sebagai berikut:
H1 : Diduga experience value wisatawan saat melakukan aktivitas wisata sejarah
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan wisatawan.
H2 : Diduga kepuasan wisatawan saat melakukan aktivitas wisata sejarah
berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi berperilaku wisatawan.
H3 : Diduga experience value wisatawan saat melakukan aktivitas wisata
sejarah berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi berperilaku wisatawan.
Gambar 2.4 Model Penelitian