laporan tutorial skenario 2 reproduksi fix

73
LAPORAN TUTORIAL BLOK REPRODUKSI SKENARIO II KELOMPOK VIII ALIFIS SAYANDRI MEIASYIFA G0013019 ANISA KUSUMA ASTUTI G0013033 CICILIA VIANY EVAJELISTA G0013065 HEGA FITRI NURAGA G0013109 JEVI IRGIYANI G0013125 KHARIZ FAHRURROZI G0013131 MUHAMMAD RIZKI KAMIL G0013161 NIKKO RIZKY AMANDA G0013177 RIDHANI RAHMA V G0013201 SANTI DWI CAHYANI G0013213 YOSA ANGGA OKTAMA G0013239 YUSAK ADITYA SETYAWAN G0013241 TUTOR : Dwi Rahayu, dr

Upload: santi-dwi-c

Post on 10-Dec-2015

275 views

Category:

Documents


97 download

DESCRIPTION

Laporan Tutorial Skenario 2 Reproduksi FIX

TRANSCRIPT

LAPORAN TUTORIAL

BLOK REPRODUKSI SKENARIO II

KELOMPOK VIII

ALIFIS SAYANDRI MEIASYIFA G0013019

ANISA KUSUMA ASTUTI G0013033

CICILIA VIANY EVAJELISTA G0013065

HEGA FITRI NURAGA G0013109

JEVI IRGIYANI G0013125

KHARIZ FAHRURROZI G0013131

MUHAMMAD RIZKI KAMIL G0013161

NIKKO RIZKY AMANDA G0013177

RIDHANI RAHMA V G0013201

SANTI DWI CAHYANI G0013213

YOSA ANGGA OKTAMA G0013239

YUSAK ADITYA SETYAWAN G0013241

TUTOR : Dwi Rahayu, dr

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

TAHUN 2015

BAB I

PENDAHULUAN

Skenario 2

HAMIL, TAPI KOK MENDADAK PERUT SAYA NYERI?

Seorang G5P4A0, 41 tahun, hamil 35 minggu, datang ke Klinik Bersalin

dengan keluahn mengeluarkan lendir darah pervaginam warna hitam disertai nyeri

perut hebat sejak 2 jam yang lalu. Wanita tersebut jarang memeriksakan

kehamilannya di Puskesmas atau bidan. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak

umur kehamilan 6 bulan.

Dari pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam oleh dokter didapatkan

keadaan umum baik, tekanan darah 180/90 mmHg, denyut nadi 80x/menit,

frekuensi napas 22 kali/menit, suhu tubuh 36,5° C. Terdapat edema pada tungkai

bawah. Pada pemeriksaan abdomen tampak distended, teraba janin tunggal, intra

uterin, preskep, denyut jantung janin 11-12-12, tinggi fundus uteri 25 cm, his 3

kali/10 menit/kuat. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan protein urin (+++).

Kemudian dilakukan pemeriksaan obstetrik, didapatkan pembukaan seviks

uteri 6 cm dengan darah warna hitam, kepala sudah turun di Hodge III. Hasil

pemeriksaan tersebut ditulis dalam lembar partograf. Kemudian dokter

mempersiapkan peralatan persalinan berupa vacum ektraksi, termasuk alat

pelindung diri dan diberi injeksi MgSO4, nifedipin, dan pemasangan infus. Klinik

bersalin ini belum memiliki mesin sterilisator, sehingga strelisasi alat persalinan

dipanaskan dalam air mendidih. Setelah 2 jam, persalinan masuk kala II. Setengah

jam dipimpin mengejan, bayi lahir dengan APGAR SCORE 8.

BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I: Klarifikasi istilah dan konsep

Dalam skenario 1 ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai berikut:

1. G5P4A0 : G = gravida atau jumlah kehamilan, P= paritas atau jumlah

kelahiran, A= abortus atau jumlah keguguran

2. Abdomen tampak distended : keadaan dinding perut lebih tinggi

daripada xypopubic line (garis antara processus xyphoeideus

sternum sampai symphysis pubis)

3. Preskep : presentasi kepala, hubungan sumbu janin dengan sumbu jalan

lahir. Presentasi janin ketika lahir ada beragam jenis sebagai berikut :

kepala (96%), sungsang (3,5%), bahu (0,5%)

4. Denyut jantung janin 11-12-12 : frekuensi denyut jantung yang diukur

pada 5 detik pertama, ketiga, dan kelima

5. His : kontraksi uterus yang dapat diraba dan menimbulkan pembukaan

serviks

6. APGAR score : kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi baru lahir.

Kriteria ini berguna karena berhubungan erat dengan perubahan

keseimbangan asam-basa pada bayi. Di samping itu dapat pula

memberikan gambaran beratnya perubahan kardiovaskular yang

ditemukan

7. Partograf : lembaran yang berisi data persalinan untuk memantau

kemajuan persalinan dan membantu petugas medis menentukan tata cara

persalinan. Diisi pembukaan ke-4, fase aktif

8. Hodge : garis khayal dalam panggul untuk mengetahui seberapa jauh

kepala janin masuk panggul calon ibu

9. Kala II : salah satu jenis kontraksi uterus pada saat pengeluaran, cirinya

sangat kuat, teratur, terkoordinasi dan waktunya agak lama, terjadi

kontraksi uterus untuk mengeluarkan janin

10. Persalinan : proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari

uterus ibu

11. Pembukaan serviks : ukuran diameter leher rahim yang teregang.

Pembukaan melengkapi pendataran, dan biasanya merupakan indikator

yang paling penting dari kemajuan melalui tahap pertama kerja

12. Pemeriksaan obstetri : serangkaian pemeriksaan yang dilakukan untuk

mengetahui kondisi pasien yang berkaitan dengan kehamilannya

13. Vacuum extraction : Bantuan persalinan dimana janin dilahirkan dengan

tekanan ekstraksi negatif oleh ekstraktor vakum.

14. Nifedipin : Obat hipertensi yang bisa untuk ibu hamil

B. Langkah II: Menetapkan / mendefinisikan masalah

Permasalahan pada skenario 1 antara lain:

1. Bagaimana cara menilai dan melakukan intrepertasi APGAR Score?

2. Bagaimana cara menggunakan lembar Partograf?

3. Bagaimana cara menggunakan Vacum extraction?

4. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik dari nifedipin?

5. Adakah hubungan anatara kala persalinan dengan perdarahan pervaginam

yang berwarna hitam, nyeri, dan usia kehamilan?

6. Adakah hubungan GPA dengan keluhan pasien?

7. Adakah hubungan hipertensi dengan kehamilan?

8. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik maternal dan janin, vital

sign dan laboratorium?

9. Mengapa dokter memberi MgSO4, vacum extraction, nifedipin dan infus?

10. Apakah factor yang mempengaruhi persalinan dan bagaimana fisiologi

persalinan normal?

11. Apakah dampak sterilisasi dengan air mendidih terhadap persalinan?

12. Adakah hubungan tidak pernah periksa kehamilan dengan keluhan

pasien?

13. Apakah diagnosis differensial, diagnosis, dan penatalaksanaan pada kasus

tersebut?

14. Bagaimanakah safety patient dan dokter?

C. Langkah III: Analisis masalah

1. APGAR Score

Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit

sesudah bayi lahir. Penilaian pada 1 menit digunakan untuk melihat seberapa baik

bayi tersebut mentoleransi proses persalinian. Sedangkan penilaian pada 5 menit

digunakan untuk melihat seberapa baik bayi tersebut dapat mentoleransi keadaan

di luar rahim. Test ini jarang dilakukan setelah 10 menit. Akan tetapi, penilaian

bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi

berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian

ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai

terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan

akan membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat.

Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada

awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan

penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit

dan 5 menit. Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih

diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian

menunjukkan nilai 8 dan lebih.

Skor Apgar merupakan kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi

baru lahir. Kriteria ini berguna karena berhubungan erat dengan perubahan

keseimbangan asam-basa pada bayi. Di samping itu dapat pula memberikan

gambaran beratnya perubahan kardiovaskular yang ditemukan. Penilaian secara

Apgar ini juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan mortalitas dan

morbiditas bayi baru lahir. Cara ini dianggap paling ideal dan telah banyak

digunakan dimana-mana. Patokan klinis yang dinilai ialah:

(1) menghitung frekuensi jantung,

(2) melihat usaha bernafas,

(3) menilai tonus otot,

(4) menilai refleks rangsangan,

(5) memperhatikan warna kulit.

Setiap kriteria diberi angka tertentu, dan biasanya dinilai 1 menit setelah

bayi lahir lengkap, yaitu saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah

dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor Apgar satu menit ini

menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman

untuk menentukan cara resusitasi. Skor Apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit

bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat dengan morbiditas dan

mortalitas neonatal (Hassan dan Alatas, 1985).

Tabel 1. Skor Apgar (Hassan dan Alatas, 1985)

Tanda 0 1 2

Frekuensi

jantung

Tidak ada <100/menit >100/menit

Usaha bernafas Tidak ada Lambat, tidak teratur Menangis kuat

Tonus otot Lumpuh Ekstremitas fleksi

sedikit

Gerakan aktif

Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Menangis

Warna Biru/pucat Tubuh kemerahan,

ekstremitas biru

Tubuh dan ekstremitas

kemerahan

Pada APGAR test yang dinilai ada 5 hal dan dinilai masing-masing dari 0 -2 :

Tabel 2. Sistem APGAR Scoring

Pada bayi dengan asfiksia berat, untuk mempersingkat waktu, penilaian

dilakukan secara cepat dengan (1) menghitung frekuensi jantung dengan cara

meraba xifisternum atau a. umbilicalis dan menentukan apakah jumlahnya lebih

atau kurang dari 100/menit, (2) menilai tonus otot apakah baik/buruk, (3) melihat

warna kulit (Hassan dan Alatas, 1985).

Asfiksia neonatorum dapat dibagi dalam (Hassan dan Alatas, 1985).:

1. ‘Vigorous baby’. Skor Apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan

tidak memerlukan tindakan istimewa.

2. ‘Mild-moderate asphyxia’ (asfiksia sedang). Skor Apgar 4-6. Pada

pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,

tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.

a. Asfiksia berat. Skor Apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis

ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus

otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks

iritabilitas tidak ada.

b. Asfiksia berat dengan henti jantung. Henti jantung ialah

keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari

10 menit sebelum lahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi

menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis

lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada penderita

asfiksia berat

2. Patograf

Partograf dipakai untuk memantau kemajuan persalinan dan membantu

petugas kesehatan alam mengambail keputusan dalam penatalaksanaan.

Partograf dimulai pada pembukaan 4 cm (fase aktif). Partograf sebaiknya

dibuat untuk setiap ibu yang bersalin, baik persalinan normal atau dengan

komplikasi.

Hal-hal yang harus dicatat dalam partograf:

1. Denyut jantung janin. Catat setiap 1 jam.

2. Air ketuban. Catat warna air ketuban setiap melakukan pemeriksaan

vagina:

U: selaput utuh

J : selaput pecah, air ketuban jernih

M: air ketuban bercampur mekonium

D: air ketuban bernoda darah

K: tidak ada cairan ketuban / kering

3. Perubahan bentuk kepala janin (molding atau molase):

0 : sutura terpisah

1 : Sutura yang tepat ( bersesuaian)

2 : sutura tumpang tindih tetapi dapat diperbaiki

3 : sutura sutura tumpang tindih dan tidak dapat diperbaiki

4. Pembukaan mulut rahim/serviks. Dinilai setiap 4 jam dan diberi tanda

silang (x)

5. Penurunan: Mengacu pada bagian kepala (dibagi 5 bagian) yang teraba

(pada pemeriksaan abdomen/luar) diatas simfisis pubis; catat dengan tanda

lingkaran (O) pada setiap pemeriksaan dalam. Pada posisi0/5, sinsiput (S)

atau paruh atas kepala berada di simfisis pubis.

6. Waktu: menyatakan berapa jam waktu yang telah dijalani sesudah pasien

diterima.

7. Jam: catat jam sesungguhnya

8. Kontraksi: Catat setiap setengah jam; lakukan palpasi untuk menghitung

banyaknya kontraksi dalam 10 menit dan lamanya tiaptiap kontraksi dalam

hitungan detik:

Kurang dari 20 detik

Antara 20 dan 40 detik

Lebih dari 40 detik

9. Oksitosin. Jika memakai oksitosin, catatlah banyaknya oksitosin pervolum

cairan infuse dan dalam tetesan permenit

10. Obat yang diberikan: catat semua obat yang diberikan

11. Nadi: catatlah setiap 30-60 menit dan tandai dengan sebuah titik besar (•)

12. Tekanan darah. Catatlah setiap 4 jam dan tandai dengan anak panah

13. Suhu badan. Catatlah setiap 2 jam.

14. Protein, aseton, dan volume urin. Catatlah setiap kali ibu berkemih.

Selain hal diatas, pengamatan yang dicatat pada partograf dapat dibagi

menjadi:

1. Kemajuan persalinan: pembukaan serviks; turunnya kepala (dengan

palpasi perut seperlima kepala janin yang teraba); his (frekuensi per 10

menit, lamanya).

2. Keadaan janin: frekuensi denyut jantung bayi; warna, jumlah, dan lamanya

ketuban pecah; molase kepala janin.

3. Keadaan ibu: nadi, tekanan darah, dan suhu; urin (volume, protein, dan

aseton); obat-obatan dan cairan intravena; pemberian oksitosin.

Jika temuan-temuan melintas ke arah kanan dari garis waspada, petugas kesehatan

harus melakukan penilaian terhadap kondisi ibu dan janin dan segera mencari

rujukan yang tepat.

3. Vacum ektraksi

Ekstraksi Vacum adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan dengan

ekstraksi tenaga negatif (vacum) di kepalanya. (Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1;

331)

Ekstraksi Vacum adalah tindakan obstetrik yang bertujuan untuk

mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengejan ibu dan ekstraksi

pada bayi. (Maternal dan Neonatal; 495)

Ekstraksi Vacum adalah suatu persalinan buatan dengan prinsip anatara

kepala janin dan alat penarik mengikuti gerakan alat vacum ekstraktor. (Sarwono;

Ilmu Kebidanan; 831)

Tata cara vacuum ekstraksi :

1. Masukkan mangkok vakum melalui introitus vagina secara miring dan pasang

pada kepala bayi dengan titik tengah mangkok pada sutura sagitalis + 1 cm

anterior dari ubun-ubun kecil dan menjauhi ubun-ubun besar.

2. Penempatan mangkok pada daerah ini dapat membantu mempertahankan

fleksi kepala.

3. Nilai apakah diperlukan episiotomi. Jika episiotomy tidak diperlukan pada

saat pemasangan mangkok, mungkin diperlukan pada saat perineum

meregang, ketika kepala akan lahir

4. Pastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit.

5. Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau negatif - 0,2 kg/cm2

(Malmstrom), dan periksa aplikasi mangkok (minta asisten menurunkan

tekanan secara bertahap).

6. Setelah 2 menit naikkan hingga skala 60 (silastik) atau negatif - 0,6 kg/cm2

(Malm strom), periksa aplikasi mangkok, tunggu 2 menit lagi.

7. Periksa adakah jaringan vagina yang terjepit. Jika ada, turunkan tekanan dan

lepaskan jaringan yang terjepit tersebut.

8. Setelah mencapai tekanan negatif yang maksimal, lakukan traksi searah

dengan sumbu panggul dan tegak lurus pada mangkok.

9. Tarikan dilakukan pada puncak his dengan mengikuti sumbu jalan lahir. Pada

saat penarikan (pada puncak his) minta pasien meneran. Posisi tangan: tangan

luar menarik pengait Ibu jari tangan dalam pada mangkok, telunjuk dan jari

tengah pada kulit kepala bayi.

10. Tarikan bisa diulangi sampai 3 kali saja.

Gambar 1. Tindakan Ekstraksi Vacum

Keuntungan Tindakan Ekstraksi Vacum:

1. Cup dapat dipasang waktu kepala masih agak tinggi, H III atau kurang

dari demikian mengurangi frekuensi SC.

2. Tidak perlu diketahui posisi kepala dengan tepat, cup dapat dipasang di

belakang kepala, samping kepala ataupun dahi.

3. Tarikan tidak dapat terlalu berat. Dengan demikian kepala tidak dapat

dipaksakan melalui jalan lahir. Apabila tarikan terlampau berat cup akan

lepas dengan sendirinya.

4. Cup dapat dipasang meskipun pembukaan belum lengkap, misalnya pada

pembukaan 8-9 cm, untuk mempercepat pembukaan, untuk ini dilakukan

tarikan ringan yang kontinu sehingga kepala menekan pada cervik.

Tarikan tidak boleh terlalu kuat untuk mencegah robekan cervik. Di

samping itu cup tidak boleh terpasang lebih dari ½ jam untuk menghindari

kemungkinan timbulnya perdarahan pada otak.

5. Vacum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk memutar kepala dan

mengadakan fleksi kepala ( misal pada letak dahi ).

Kerugian dari tindakan vakum adalah waktu yang diperlukan untuk

pemasangan cup sampai dapat ditarik relatif lebih lama ( kurang lebih 10 menit )

cara ini tidak dapat dipakai apabila ada indikasi untuk melahirkan anak dengan

cepat seperti misalnya pada fetal distress ( gawat janin ) alatnya relatif lebih mahal

dibanding dengan forcep biasa.

Yang harus diperhatikan dalam tindakan ektraksi vacum adalah:

1. Cup tidak boleh dipasang pada ubun-ubun besar

2. Penurunan tekanan harus berangsur-angsur

3. Cup dengan tekanan negative tidak boleh terpasang lebih dari ½ jam

4. Penarikan waktu ekstraksi hanya dilakukan pada waktu ada his dan ibu

mengejan

5. Apabila kepala masih agak tinggi ( H III ) sebaiknya dipasang cup terbesar

(diameter 7 cm)

6. Cup tidak boleh dipasang pada muka bayi

7. Vacum ekstraksi tidak boleh dilakukan pada bayi premature

Syarat tindakan ekstraksi vacum yaitu:

1. Pembukaan 7 cm atau lebih

2. Kepala di Hodge II-III

3. Tidak ada disproporsi kepala

panggul

4. Konsistensi kepala normal

5. Ketuban sudah pecah atau

dipecahkan

Kontraindikasi dari ektraksi vacum

adalah:

1. Letak muka (kerusakan

pada mata)

2. Kepala menyusul

3. Bayi premature (tarikan

tidak boleh keras)

Komplikasi yang dapat terjadi, yaitu:

Pada Ibu :

Perdarahan

Infeksi jalan lahir

Trauma jalan lahir

Pada anak :

Ekskoriasi dan nekrosis

kulit kepala

Cephal hematoma

Subgaleal hematoma

Perdarahan intrakranial

Perdarahan subconjuntiva,

perdarahan retina

Fraktura klavikula

Distosia bahu

Cedera pada syaraf cranial

ke VI dan VII

Erb paralysa

Kematian janin

Kriteria Kegagalan Ekstraksi Vakum:

1. Cawan penghisap terlepas lebih dari 3 kali saat melakukan traksi dan hal

ini biasanya terjadi, oleh karena :

a) Tenaga vakum terlampau rendah (seharusnya -0.8 kg/cm2) oleh

karena kerusakan pada alat atau pembentukan caput succedaneum

yang terlampau cepat ( < 0.2 kg/cm2 per 2 menit)

b) Terdapat selaput ketuban atau bagian jalan lahir yang terjepit

diantara cawan penghisap dengan kepala anak.

c) Saat melakukan traksi : kedua tangan penolong tidak bekerja secara

harmonis, traksi dengan arah yang tidak tegak lurus dengan bidang

cawan penghisap atau traksi dilakukan dengan tenaga yang

berlebihan.

d) Terdapat gangguan pada imbang sepalopelvik (CPD)

2. Setelah dilakukan traksi selama 30 menit, janin belum dapat dilahirkan.

10. Fisiologi Persalinan Normal

Faktor yang memicu dimulainya persalinan adalah:

1. Peran Estrogen Kadar Tinggi

Selama awal gestasi, kadar estrogen ibu relatif rendah, tetapi

seiring dengan kemajuan kehamilan, sekresi estrogen plasenta terus

meningkat. Estrogen kada tinggi mendorong sintesis konekson di dalam

sel-sel otot polos uterus. Konekson yang baru terbentuk disimpan di

membran plasma endometrium untuk membentuk taut selah yang secara

elektris menyatukan sel-sel otot polos uterus sehingga mereka mampu

berkontraksi secara terkoordinasi.

Estrogen kadar tinggi juga meningkatkan reseptor oksitosin di

miometrium. Selain itu juga mendorong pembetukan prostaglandin lokal

yang berperan dalam pematangan serviks dengan merangsang enzim-

enzim serviks yang secara lokal menguraikan serat kolagen yang terdapat

pada serviks uteri. Selain itu, prostaglandin juga meningkatkan

responsivitas uterus terhadap oksitosin.

2. Peran Oksitosin

Oksitosin adalah hormone yang diproduksi oleh hipotalamus,

disimpan di hipofisis anterior, dan dibebaskan ke dalam darah dari

hipofisis posterior pada stimulasi saraf oleh hipotalamus. Oksitosin, suatu

perangsang otot uterus yang kuat, berperan kunci dalam kemajuan

persalinan. Persalinan dimulai ketika konsentrasi reseptor oksitosin

mencapai suatu ambang kritis yang memungkinkan kontraksi kuat

terkoordinasi sebagai respons terhadap oksitosin darah yang biasa.

3. Peran Corticotropin-Releasing Hormone (CRH)

Pada janin, banyak CRH yang berasal dari plasenta. Peningkatan

laju sekresi DHEA oleh korteks adrenal sebagai respons terhadap CRH

plasenta menyebabkan peningkatan kadar sekresi estrogen plasenta.

Plasenta mengubah DHEA dari kelenjar adrenal janin menjadi estrogen,

yang kemudian masuk ke dalam aliran darah ibu. Jika sudah cukup tinggi,

estrogen ini mengaktifkan proses-proses yang memulai persalinan.

4. Peran Peradangan

Hal yang perlu diperhatikan pada respons peradangan adalah

pengaktifan NF-κB di uterus. NF-κB mendorong pembentukan sitokin-

sitokin peradangan misalnya IL-8 dan prostaglandin yang meningkatkan

kepekaan uterus terhadap berbagai pembawa pesan kimiawi pemicu

kontraksi dan membantu melunakkan serviks.

Berbagai faktor yang berkaitan dengan terjadinya persalinan aterm

dan persalinan prematur dapat menyebabkan lonjakan NF-κB. Faktor-

faktor tersebut mencakup peregangan otot uterus dan adanya protein

surfaktan paru SP-A di cairan amnion. SP-A mendorong migrasi makrofag

janin ke uterus. Makrofag selanjutnya menghasilkan sitokin peradangan

IL-1β yang menghasilkan NF-κB.

Secara umum setidaknya ada 3 presentasi kehamilan yang dapat muncul :

1. Presentasi kepala (pada sekitar 97% kehamilan)

2. Presentasi bokong (3%)

3. Presentasi bahu/transversal (1%)

D. Langkah IV: Menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan

yang didapatkan pada langkah III

Skema. Pasien Skenario II

E. Langkah V: Merumuskan sasaran pembelajaran

pasien G5P4A0, 41 TAHUN, HAMIL 35 MINGGU

Darah pervaginam hitam

Darah pervaginam hitam

nyeri

Hipertensi

Pemeriksaan luar

Pemeriksaan dalam

Pemeriksaan obstetri

partograf

Peralatan bersalin

lahir

APGAR SCORE

STERILISASI

FISIOLOGI PERSALINAN

KALA PERSALINAN

KELAINAN

INTERPRETASI

1. Bagaimanakah farmakokinetik dan farmakodinamik nifedipine ?

2. Adakah hubungan antara perdarahan pasien dengan kala persalinan ?

2. Bagaimana hubungan GPA pasien dengan keluhan?

3. Bagaimanakah hubungan hipertensi dengan kondisi pasien ?

4. Mengapa terjadi oedema tungkai bawah dan abdomen distended ?

5. Mengapa diberi MgSO4, nifedipine, infuse, lalu dilakukan vacuum

ekstraksi ?

6. Bagaimana teknik sterilisasi alat persalinan?

7. Apa hubungan jarang memeriksakan kandungan dengan keluhan?

8. Bagaimana diagnosis banding skenario ini?

9. Bagaimanakah fisiologi persalinan normal ?

10. Bagaimana APD pasien dan dokter?

F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi

kelompok

Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber-sumber ilmiah

dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan topik

diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan

berikutnya.

G. Langkah VII: Melakukan sintesis dan pengujian informasi-informasi

yang terkumpul

1. Nifedipin

Obat lini pertama untuk hipertensi terdiri dari : diuretik, penyekat reseptor

β adregenik, penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), penghambat

resepetor angiotensin dan antagonis kasium. Nifedipin termasuk golongan obat

hipertensi dari golongan antagonis kalsiu

a. Farmakodinamik

Kalsium pada jantung dan otot polos berfungsi untuk kontraksi.

Bedanya pada otot rangka relatif tidak memerlukan kalsium karena sistem

sarkoplasmik retikulum sudah baik. Oleh karenanya pada jantung dan oto

polos kontraksi otot dapat dihambat dengan antagonis kalsium sedang pada

otot rangka tidak. Antagonis kalsium menghambat kalsium masuk ke dalam

sel sehingga tidak terjadi kontraksi otot.

b. Farmakokinetik

Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk hipertensi darurat. Dosis awal

10mg akan menurunkan tekanan darah dalam waktu 10 menit. Dosis maksimal

akan di dicapai dalam waktu 30-40 menit.

c. Efek samping

1) Hipotensi

2) Iskemia miokard atau serebral

3) Penurunan resistensi perifer hal ini menyebabkan takikardi dan palpitasi

yang memudahkan serangan angina pada pasien penyakit jantung

koroner

4) Sakit kepala

5) Muka merah

6) Edema kaena dilatasi arteriol melebihi dilatasi vena

Efek lain dari nifedipin antara lain hiperkapnia, asidosis, hiperkalsemia,

serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Tapi semua itu tidak menimbulkan

efek yang buruk.

Kombinasi nifedipin dan magnesium dapat menyebabkan tokolisis yaitu

penghentian kontraksi selama persalinan prematur. Karena nifedipin dapat

meningkatkan toksisitas magnesium untuk menimbulkan blokade neuromuskular

yang dapat mengganggu fungsi jantung dan paru. Selain itu dapat menyebabkan

hipotensi berat.

Kenapa menggunakan Nifedipine dan tidak Captopril/HCT?

HCT merupakan obat diuretik yang bekerja secara langsung di ginjal

dengan meningkatkan ekskresi NaCl, air dan kalium. Sedangkancaptopril

merupakan obat hipetensi yang bekerja dengan mempengaruhi sistem renin-

angiotensin. Lebih tepatnya menghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme)

yaitu enzim yang mengkonversi Angiotensin menjadi Angiotensin II. Angiotensin

dihasilkan oleh endotel kapiler pulmo dan ginjal. Angiotensin II berfungsi untuk

meningkatkan fungsi simpatik, resorbsi Na & Cl, retensi H20, ekskresi K, sekresi

aldosterone, vasokonstriksi arteriol, dan sekresi ADH. Dengan menghambat

fungsi angiotensin II captopril dapat menurunkan hipertensi. Akan tetapi

penggunaannya tidak dianjurkan pada kehamilan karena bersifat toksik bagi fetus

dan dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.

Gambar 2. Bagan sistem renin-angiotensin-aldosteron.

Menurut Groom dan Benner (2004), antagonis kalsium merupakan

relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus dengan mengurangi influks

kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung padavoltase. Terdapat beberapa

kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar pengalaman klinis adalah dengan

nifedipin.26

Awal 1960an nifedipine digunakan sebagai anti angina dan juga

merupakan salah satu obat anti hipertensi yang sudah lama digunakan pada ibu

hamil maupun tidak hamil. Pada saat ini obat ini juga diketahui memiliki peran di

bidang obstetri dan ginekologi khususnya pada penanganan persalinan prematur.

Obat ini populer karena murah, mudah penggunaannya dan sedikit insiden

terjadinya efek samping.Obat ini terbukti menjadi obat tokolitik yang efektif baik

ketika dibandingkan dengan plasebo atau obat-obat lainnya. Banyak penelitian

yang menyatakan bahwa efektivitas obat ini sama dengan ritodrin dalam

mencegah persalinan prematur.

A. Farmakokinetik

Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral

ataupun sublingual.Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah

15-90 menit setelah pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi

dalam plasma dicapai setelah 5 menit pemberian. Lama kerja obat pada pemberian

dosis tunggal dapat sampai 6 jam dan tidak terjadi efek komulatif pada pemberian

oral setiap 6 jam.

Absorpsi secara oral tergantung dari keasaman lambung. Nifedipine

dimetabolisme di hepar, 70-80% hasil metabolismenya dieksresikan ke ginjal dan

sisanya melalui feses.

B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik

Dosis nifedipine untuk terapi pada persalinan prematur pada percobaan

klinik bervariasi. Dosis inisial 30mg per oral atau 30mg ditambah 20mg peroral

dalam 90 menit atau 10mg sublingual setiap 20 menit, dengan diikuti oleh 4 dosis

tambahan sebanyak 20mg peroral setiap 4-8 jam untuk terapi tokolitik. Sebagai

dosis perawatan 10-20mg setiap 4-12 jam.

Pemberian nifedipine dikontraindikasikan untuk penderita penyakit hati

dan hipotensi.

C. Efek Terhadap Ibu

Nifedipin menghasilkan hipotensi sistemik dengan menyebabkan

vasodilatasi perifer. Obat ini telah digunakan dalam terapi hipertensi selama

kehamilan atau post partum. Secara klinis, ketika digunakan untuk terapi

persalinan prematur, obat ini memiliki efek terhadap kardiovaskular yang

minimal.

Ferguson melaporkan tokolitik nifedipin berhubungan dengan hemodilusi

yang dapat meningkatkan resiko edema pulmonal non kardiogenik.Obat ini tidak

memiliki efek terhadap elektrolit plasma. Nifedipin yang digunakan dengan

magnesium sulfat menghasilkan blokade neuromuskular dan jika timbul, akan

terlihat kelemahan otot yang berat, yang dapat dikoreksi jika magnesium

dihentikan. Magnesium adalah obat penghambat neuromuskuler dan efek ini dapat

diperoleh juga dengan pemakain nifedipin.Laporan-laporan kasus mengenai

interaksi obat ini dapat dijumpai, namun kemunculan interaksi jarang dijumpai.

Hipotensi yang signifikan muncul ketika kedua obat ini digunakan bersamaan

sehingga harus hati-hati jika menggunakan penyekat kanal kalsium dengan

magnesium sulfat.

Meskipun penyekat kalsium hanya digunakan pada studi-studi

penyelidikan di masa lalu, obat ini digunakan secara luas. Ketika digunakan

secara klinis, jarang dijumpai efek samping yang signifikan terhadap ibu, namun

dapat dijumpai takikardia, kemerahan pada kulit, sakit kepala, pusing, nausea,

vasodilatasi, dan hipotensi yang jarang terjadi pada pasien hipovolemik, yang

dapat diterapi secara efektif dengan mengurangi dosis obat. Hepatotoksisitas

maternal yang diinduksi oleh obat telah dilaporkan ketika nifedipin digunakan

untuk terapi persalinan premature sehingga mengakibatkan dihentikannya

pemberian obat ini. Hal ini jarang muncul namun tes fungsi hepar awal dan

periodik mungkin diindikasikan untuk dilakukan ketika nifedipin digunakan untuk

periode yang lama.

D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus

Meskipun beberapa fakta memperlihatkan bahwa penyekat kanal kalsium

menjanjikan beberapa harapan sebagai obat tokolitik karena efek samping

terhadap ibu yang lebih sedikit, beberapa perhatian muncul menyangkut efeknya

terhadapjanin.Studi-studi hewan dengan berbagai spesies yang dilaporkan telah

memperlihatkan adanya penurunan aliran darah uteroplasenta, tekanan darah,

hiperkapnia, asidosis, hipoksemia, dan kematian janin. Studi-studi hewan baru-

baru ini telah diiringi dengan pengamatan terhadap janin wanita hamil.

Namun, hanya terdapat studi-studi klinis yang dipublikasikan dalam

jumlah yang terbatas yang menggunakan penyekat kanal kalsium.Obat ini

mencapai kepopuleran sebagai obat tokolitik lini kedua ketika terapi lini pertama

gagal.Tidak terdapat morbiditas janin atau neonatus yang signifikan dari

penggunaan klinis nifedipin sebagai obat tokolitik.Namun, studi-studi lebih lanjut

diperlukan karena jarangnya data yang tersedia sebelum obat direkomendasikan

untuk dapat digunakan lebih luas.

Untuk saat ini, obat ini tampaknya diindikasikan dan bermanfaat ketika

obat yang lain gagal. Di masa depan, obat ini dapat merupakan obat tokolitik yang

bernilai dan bermanfaat dengan efek samping yang lebih sedikit.

2. Hubungan kala persalinan dengan perdarahan pervaginam hitam dan nyeri,

serta usia kehamilan

a. Fisiologi Persalinan Normal

1) Teori penurunan hormonal : 1-2 minggu sebelum partus mulai terjadi

penurunan kadar progesteron dan estrogen menurun mendadak, nutrisi

janin dari plasenta berkurang.

2) Teori plasenta menjadi tua akan menyebabkan turunnya kadarestrogen dan

progesteron yang menyebabkan kekejangan pembuluh Darah hal ini akan

menimbulkan kontraksi rahim.

3) Teori distensi rahim : rahim menjadi besar dan meregang menyebabkan

iskemia otot – otot uterus karena pengaruh hormonalDAn beban semakin

merangsang terjadinya kontraksi.

4) Teori iritasi mekanik : di belakang serviks terletak ganglion servikale dari

fleksus frankenhauser, menjadi stimulasi (pacemaker) bagi kontraksi otot

polos uterus.

5) Induksi partus (induction of labour) : partus dapat pula ditimbulkan

dengan jelas.

b. Perdarahan Antepartum

1) Definisi Perdarahan Antepartum

Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan

28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan

kehamilan sebelum 28 minggu.

Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada

kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan

plasenta umpamanya kelainan servik biasanya tidak terlalu berbahaya. Pada

setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal

itu bersumber pada kelainan plasenta.

2) Etiologi Perdarahan Antepartum

Perdarahan antepartum dapat disebabkan karena :

1. Kelainan plasenta

a. Plasenta previa

Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada

tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga

menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada

keadaan normal plasenta terletak dibagian atas uterus.

b. Solusio plasenta (Abruptio Placenta)

Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta yang letaknya normal

pada corpus uteri sebelum lahirnya janin, terjadi pada triwulan

ketiga.

2. Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya

Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya mungkin disebabkan :

Insersio velamentosa, Ruptura sinus marginalis, Vasa previa, atau Plasenta

sirkumvalata.

a. Insersio velamentosa

Insersio velamentosa adalah tali pusat yang tidak berinsersi pada

jaringan plasenta, tetapi pada selaput janin sehingga pembuluh

darah umblikus berjalan diantara amnion dan korion menuju

plasenta (Sarwono, Ilmu Kebidanan.2005).

b. Ruptura sinus marginalis

Ruptur sinus marginalis adalah pecahnya pembuluh vena dekat tepi

plasenta yang terbentuk karena penggabungan pinggir, sehingga

menyebabkan lepasnya sedikit bagian dari pinggiran ari-ari.

c. Plasenta sirkumvalata

Selama perkembangan amnion dan korion melipat kebelakang

disekeliling tepi-tepi plasenta. Dengan demikian korion ini masih

berkesinambungan dengan tepi plasenta tapi pelekatannya melipat

kebelakang pada permukaan fetal.

Pada permukaan fetal dekat pada pinggir plasenta terdapat cincin

putih. Cincin putih ini menandakan pinggir plasenta, sedangkan

jaringan disebelah luarnya terdiri dari vili yang timbul ke samping,

dibawah desidua. Sebagai akibatnya pinggir plasenta mudah

terlepas dari dinding uterus dan perdarahan ini menyebabkan

perdarahan antepartum. Hal ini tidak dapat diketahui sebelum

plasenta diperiksa pada akhir kehamilan.

3. Bukan dari kelainan plasenta

Misalnya didapatkan kelainan serviks dan vagina, dapat diketahui bila

dilakukan pemeriksaan dengan spekulum yang seksama. Kelainan yang

tampak ialah :

• erosio portionis uteri

• carcinoma portionis uteri

• polypus cervicis uteri, varices vulvae, dan trauma.

Perlu diketahui kematian perinatal terbesar karena perdarahan antepartum

adalah solutio plasenta (70%) dan plasenta previa (26,3%).

4. Fisiologi

Lendir darah pervaginam merupakan tanda telah dimulainya Kala I

Persalinan. (Sastrawinata, 2004)

Usia 39 tahun merupakan faktor risiko terjadinya pre-eklampsia. Lendir darah

pervaginam merupakan tanda telah dimulainya Kala I persalinan.

Persalinan dapat dibagi dalam 4 kala (stages), yaitu:

1. Kala I

Mulai dari his teratur sampai pembukaan lengkap. In partu (partus mulai)

ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah (bloody show), karena

serviks mulai membuka (dilatasi) dan mendatar (efficement).

Kala pembukaan dibagi atas 2 fase, yaitu :

a. Fase laten : dimana pembukaan serviks berlangsung lambat, sampai

pembukaan 3 cm berlangsung dalam 7-8 jam.

b. Fase aktif : berlangsung selama 6 jam dan dibagi atas 3

Subfase :

(a) Periode akselerasi : berlangsung 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm.

(b) Periode dilatasi maksimal (steady) : selama 2 jam pembukaan

berlangsung cepat menjadi 9 cm.

(c) Periode deselerasi : berlangsung lambat, dalam waktu 2 jam

pembukaan menjadi 10 cm atau lengkap.

2. Kala II

Pada kala pengeluaran janin, his terkoordinir, kuat, cepat dan lebih lama.

Kepala janin telah turun masuk ruang pintu bawah panggul sehingga

terjadilah tekanan pada otot – otot dasar panggul yang secara reflektoris

menimbulkan rasa mengedan. Pada waktu his, kepala janin mulai kelihatan,

vulva membuka dan perineum meregang. Dengan his mengedan yang

terpimpin, akan lahirlah kepala, diikuti oleh seluruh badan janin.

3. Kala III

Setelah lahirnya bayi, kontraksi rahim istirahat sebentar.Uterus teraba keras

dengan fundus uteri setinggi pusat dan berisi plasenta yang menjadi tebal 2x

sebelumnya. Beberapa saat kemudian, timbul his pelepasan dan pengeluaran

uri. Dalam waktu 1-5 menit seluruh plasenta terlepas, terdorong ke dalam

vagina dan akan lahir spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas simpisis

atau fundus uteri. Seluruh proses biasanya berlangsung 5-30 menit setelah

bayi lahir. Pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran darah kira – kira

100-200 cc.

4. Kala IV

Adalah kala pengawasan selama 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk

mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum.

3. Hubungan GPA dengan keluhan yang dialami pasien

Graviditas adalah jumlah kelahiran, menunjukkan kehamilan pasien yang

ke berapa. Makin besar angka gravid, maka makin besar pula kemungkinan

melahirkan bayi dengan kondisi lemah dan kematian ibu bersalin. Paritas adalah

angka yang menunjukkan sudah berapa kali pasien melahirkan. Interval waktu

kehamilan yang ideal adalah 2 tahun. Apabila seorang wanita kembali hamil

dalam kurun waktu <18 bulan setelah kelahiran anaknya yang terakhir maka

risiko kematian bayi menjadi 90% lebih besar dibandingkan wanita yang kembali

hamil dalam kurun waktu 24-48 bulan atau 1-2 tahun setelah melahirkan anak

terakhir (Kaplan, 2007).

Data yang didapatkan dari kasus solusio plasenta di RS Dr. Cipto

Mangunkusumo menunjukkan bahwa kejadian solusio plasenta meningkat dengan

meningkatnya umur dan paritas ibu, hal ini dapat dipahami karena makin tua

umur ibu makin tinggi frekuensi penyakit hipertensi menahun dan makin tinggi

paritas ibu makin kurang baik endometriumnya (Wiknjosastro, 2005).

Data dari RSUD menyebutkan bahwa jumlah kasus perdarahan dirumah

sakit ini adalah 56 kasus dengan 24 kasus atau 42,9% diantaranya perdarahan

antepartum. Salah satu penyebab terjadinya perdarahan antepartum adalah makin

tinggi paritas ibu hamil maka makin kurang baik atau makin melemahnya fungsi

endometrium (Wiknjosastro, 2005).

4. Hubungan hipertensi dengan kehamilan

Hipertensi pada kehamilan kadang disebut juga pregnancy-induced

hypertension (PIH) disebut ‘toksemia kehamilan’ atau pre-eklampsia, merupakan

80% dari semua kasus hipertensi pada kehamilan dan mengenai antara 3-8 persen

pasien, terutama primigravida, pada kehamilan trimester kedua.

Patogenesis Pregnancy Induced Hypertensi

Etiologi PIH tidak diketahui tetapi semakin banyak bukti bahwa gangguan

ini disebabkan oleh gangguan imunologik dimana produksi antibodi penghambat

berkurang. Hal ini dapat menghambat invasi arteri spiralis ibu oleh trofoblas

sampai batas tertentu hingga mengganggu fungsi plasenta. Ketika kehamilan

berlanjut, hipoksia plasenta menginduksi proliferasi sitotrofoblas dan penebalan

membran basalis trofoblas yang mungkin mengganggu fungsi metabolik plasenta.

Sekresi vasodilator prostasiklin oleh sel-sel endothelial plasenta berkurang dan

sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah, sehingga timbul vasokontriksi

generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini terjadi

pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi ibu, dan penurunan

volume plasma ibu. Jika vasospasmenya menetap, mungkin akan terjadi cedera sel

epitel trofoblas, dan fragmen-fragmen trofoblas dibawa ke paru-paru dan

mengalami destruksi sehingga melepaskan tromboplastin. Selanjutnya,

tromboplastin menyebabkan koagulasi intravascular dan deposisi fibrin di dalam

glomeruli ginjal (endoteliosis glomerular) yang menurunkan laju filtrasi

glomerulus dan secara tidak langsung meningkatkan vasokontriksi. Pada kasus

berat dan lanjut, deposit fibrin ini terdapat dalam pembuluh darah system saraf

pusat, sehingga menyebabkan konvulsi (Llewellyn-Jones, 2001).

Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII 2003, kasus dalam skenario

termasuk hipertensi tingkat 2 dimana tekanan sistole > 160 mmHg dan tekanan

diastol > 100 mmHg. Tekanan darah ditentukan oleh dua hal, yaitu :

a. Curah jantung (cardiac output)

Merupakan hasil perkalian dari frekuensi denyut jantung dan stroke

volume (ditentukan oleh kontraktilitas miokard dan volume darah).

b. Resistensi perifer

Ditentukan oleh tonus pembuluh darah dan elastisitas pembuluh

darah.

Besarnya tekanan darah di pengaruhi oleh :

a. Saraf parasimpatis , fungsinya menurunkan tekanan darah dengan cara

menurunkan frekuensi denyut jantung.

b. Saraf simpatis, bersifat presif atau menaikkan tekanan darah dengan

cara meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas

miokard dan meningkatkan resistensi pembuluh darah.

c. SRAA (Sistem Renin Angiotensin Aldosteron), bersifat presif atau

menaikkan tekanan darah dengan cara memberikan efek

vasokonstriksi angiotensin II dan perangsangan aldosteron yang

menyebabkan yang menyebabkan retesnis air dan natrium air di ginjal

sehingga menyebabkan volume darah naik.

d. Faktor lokal

Sel endotel pembuluh darah memproduksi zat vasoaktif, yang bersifat

sebagai :

Vasokonstriktor, contoh : endotelin, angiotensin II dan

tromboksan A2.

Vasodilatator, contoh : NO dan prostasiklin (PGI2).

Jenis-jenis hipertensi pada kehamilan :

a. Hipertensi Kronik : hipertensi yang terjadi sebelum 20 minggu atau

setelah 20 minggu sampai 12 minggu pasca persalinan.

b. Pre-eklampsia : hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu disertai

proteinuria.

c. Eklampsia : hipertensi yang terjadi akibat pre eklampsia disertai

kejang dan koma.

d. Kronik dengan supersoped pre-eklampsia : tanda-tanda hipertensi

kronik disertai pre eklampsia atau hipertensi kronik disertai

proteinuria.

e. Hiprtensi Gestasional : hipertensi yang terjadi pada kehamilan

tanpa proteinuria, hilang pasca 3 bulan persalinan atau kehamilan

dengan pre eklampsia tanpa proteinuria setelah 20 minggu.

Klasifikasi menurut Llewellyn-Jones (2001) :

a. Potensial PIH

TD pasien meningkat >30 mmHg pada sistolik dan >15 pada diastolik

diatas tekanan basal.

b. PIH ringan (juga dikenal hipertensi kehamilan)

TD diastolik pasien 90-99 mmHg, urin tidak menunjukkan protein

signifikan (<30>)

c. PIH sedang

TD terletak antara 140-170/100-110, yang dikonfirmasi dalam dua kali

pemeriksaan berturut-turut setelah istirahat. Jika didapati proteinuria

signifikan (>30 dan <300>)

d. PIH berat (juga dikenal sebagai pre-eklampsia atau gestational proteinuric

hypertension)

TD pasien melebihi 170/110 dan atau terdapat proteinuria nyata. PIH berat

mengenai kira-kira 1% primigravida.

e. Eklampsia iminens

Tanda-tanda PIH berat, sakit kepala berat, penglihatan kabur atau nyeri

epigastrik dan hiperrefleksia.

f. Edema

Dapat terjadi pada semua derajat PIH tetapi sedikit nilai diagnostic kecuali

jika edema generalisata, karena edema sama seringnya dengan edema pada

wanita yang tidak mengalami gangguan antenatal.

Ada 3 tipe umum hipertensi pada kehamilan menurut American Pregnancy

Association (2014) :

1. Hipertensi kronis

Ibu hamil telah memiliki hipertensi (> 140/90) sejak sebelum 20 minggu

dan tetap ada setelah melahirkan

2. Hipertensi Gestasional

Terjadi hipertensi setelah minggu ke 20 dan hilang setelah melahirkan dan

TIDAK disertai proteinuria

3. Hipertensi Pre-eclampsia

Hipertensi yang dapat diakibatkan oleh hipertensi kronis maupun

hipertensi gestasional dan disertai dengan adanya proteinuria

Secara umum ada 4 tipe umum hipertensi pada kehamilan :

1. Hipertensi kronis

Ibu hamil telah memiliki hipertensi (> 140/90) sejak sebelum 20 minggu

dan tetap ada setelah melahirkan. Hipertensi ini tidak disertai proteinuria.

2. Hipertensi Gestasional

Terjadi hipertensi setelah minggu ke 20 dan hilang setelah melahirkan dan

tidak disertai proteinuria.

3. Hipertensi Pre-eklampsia

Hipertensi yang dapat diakibatkan oleh hipertensi kronis maupun

hipertensi gestasional dan disertai dengan adanya proteinuria.

4. Preeklampsia superimposed pada hipertensi kronik

Preeklamsia yang terjadi pada perempuan hamil yang telah menderita

hipertensi sebelum hamil.

Gambar 3. Peta konsep hipertensi dalam kehamilan.

5. Pemeriksaan vital sign, fisik, lab, serta denyut jantung janin

Edema

Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema terjadi karena

hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang patologik

adalah edema yang non dependen pada muka dan tangan, atau edema generalis,

dan biasanya disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat. Edema pada

eklampsi meliputi muka dan tangan yang timbul pada pagi hari, biasanya pasien

mengeluh cincinnya menjadi terlalu kecil. Seringkali terjadi edema berat dan

terkadang masif, tapi dapat pula tersembunyi.

ANTENATAL CARE

Dilakukan untuk mengetahui keadaan ibu dan janin dan mencari dan

menyingkirkan penyulit kehamilan.

Janin :

• Denyut jantung janin

• Besarnya janin, saat itu dan kecepatan pertumbuhannya

• Jumlah cairan amnion

• Bagian terendah dan penurunannya (pada akhir kehamilan)

• Aktivitas janin

Maternal :

• Tekanan darah, saat itu dan perubahannya

• Berat badan, saat itu dan perubahannya

• Keluhan, termasuk sakit kepala, perubahan penglihatan, nyeri abdomen,

mual dan muntah, perdarahan, cairan pervaginam, dan dysuria

• Jarak fundus uteri sampai simfisis

Pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti pada akhir kehamilan:

o Bagian terendah janin,

o Penurunan bagian terendah,

o Pengukuran luas pelvis secara klinis dan menilai bentuk umum panggul,

o Konsistensi, pendataran dan pembukaan serviks

6. Mengapa diberi MgSO4, nifedipin, pemasangan infus serta dilakukan vakum

ekstraksi?

Syarat pemberian MgSo4 adalah : refleks patela (+); diurese 100 cc dalam

4 jam yang lalu; respirasi 16 per menit dan harus tersedia antidotumnya : kalsium

lukonas 10% ampul 10 cc (Mochtar, 1998). Pemberian MgSO4 pada pasien

berfungsi untuk mencegah pasien memasuki fase eklampsia. Dari tekanan darah

dapat diketahui bahwa pasien mengalami pre-eklampsia berat yang mana sangat

mudah menjadi eklampsia yaitu pre-eklampsia yang disertai kejang bahkan

sampai koma. Magnesium sulfat merupakan obat anti kejang.

Pasien diberi nifedipin dikarenakan nifedipin adalah obat hipertensi

darurat yang dapat menurunkan tekanan darah dengan cepat.

Pasien dilakukan tindakan vakum ekstraksi dikarenakan ini merupakan

salah satu prosedur dalam terminasi kehamilan yang sudah inpartu yang telah

memasuki kala II. Pentalaksaan selain vakum ekstraksi adalah pemberian

amniotomi dan oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah

pemberian obat medisinal dan pada kehamilan <37 minggu, terminasi ditunda

2x24 jam untuk maturasi paru janin dengan pemberian kortikosteroid.

Pemberian infus untuk penderita pre-eklampsia terdiri dari infus dextrose

5% dimana setiap 1L diselingi infus RL (Ringer Laktat) (60-125 cc/jam). RL

isotoni dengan NaCl, KCl, CaCL2 dan natrium laktat yang komposisinya mirip

dengan cairan ekstraseluler.

Indikasi pemberian RL : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada

dehidrasi untuk keperluan hidrasi selama atau sesudah operasi. Indikasi pemberian

dextrose adalah sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk

keperluan hidasi selama/sesudah operasi.

Cairan resusitasi adalah pemberian cairan untuk pasien yang mengalami

syok karena dehidrasi atau perdarahan.

7. Dampak sterilisasi dengan air mendidih terhadap persalinan

Sterilisasi menggunakan air mendidih hanya akan membunuh sebagian

bakteri vegetatif dan virus inaktif. Namun tidak efektif terhadap prion, beberapa

bakteri, dan spora fungi. Oleh karena itu sterilisasi menggunakan air mendidih

tidak terlalu stabil

Metode sterilisasi yang paling umum dilakukan dan dapat dipercaya

adalah menggunakan uap air/autoclave. Dengan menggunakan autoclave sebagian

besar bakteri, virus, fungi dan juga beberapa bakteri resisten dapat dibunuh.

Metode ini biasanya dilakukan dengan suhu 121o C selama 30 menit atau 132o C

selama 4 menit secara vacum. Selain itu ada juga metode menggunakan ethylene

oksida yang biasanya digunakan untuk plastik, optik, dan benda elektrik dengan

suhu 30-60o C dengan jumlah gas 200-800mg/L. Selain itu juga ada metode dry

heat menggunakan udara. Metode ini mirip autoclave hanya saja tidak

menggunakan uap air.

8. Hubungan jarang kontrol dengan keluhan yang dialami pasien

Tujuan Asuhan Antenatal yaitu :

a. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan Ibu dan tumbuh

kembang bayi;

b. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan sosial ibu dan

bayi,

c. Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin

terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan

pembedahan,

d. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, Ibu

maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin,

e. Mempersiapkan peran Ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar

dapat tumbuh kembang secara normal (Saifuddin, dkk., 2002) tidak tercapai.

Sebaiknya minimal seorang ibu hamil mengontrolkan kandungan empat kali

selama hamil 40 minggu. Namun optimalnya, berdasarkan buku pedoman

antenatal care (2003), seorang ibu hamil yang nulipara tanpa komplikasi

kehamilan sebaiknya mengontrolkan kandungan sebanyak total 10 kali sedangkan

pada ibu hamil yang sudah pernah melahirkan sebelumnya, tujuh kali kontrol

sudah cukup

9. Diagnosis pasien, diagnosis banding beserta tatalaksananya

A.Pre-eklampsia

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan

disertai dengan proteinuria. Menurut Prawiroharjo (2008) hal-hal yang perlu

diperhatikan:

1. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥140/90 mmHg.

Pengukuran darah dilakukan sebanyak 2 kali pada selang waktu 4 jam-6 jam.

2. Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama

dengan ≥1+ dipstik.

3. Edema, sebelumnya edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda preeklamsi

tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata.

Selain itu bila di dapatkan kenaikan berat badan >0,57kg/minggu.

Preeklamsi adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ

akibat vasospasme dan aktivasi endotel, proteinuria adalah tanda penting

preeklamsi, terdapatnya proteinuria 300 mg/1+ (Cunningham, 2006).

Klasifikasi :

• Preeklampsia Ringan

Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu.

Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein

kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam.

• Preeklampsia Berat

Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu.

Tes celup urin menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan protein

kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam.

Atau disertai keterlibatan organ lain :

a. Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati.

b. Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas.

c. Sakit kepala , skotoma penglihatan.

d. Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion.

e. Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif.

f. Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl.

• Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik

Pasien dengan riwayat hipertensi kronik

Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000

sel/uL pada usia kehamilan > 20 minggu

Gambaran klinik : pertambahan berat badan yang berlebihan, edema

hipertensi dan timbul proteinuria.

Gejala subjektif : sakit kepala di daerah frontal, nyeri epigastrium;

gangguan visus seperti penglihatan kabur, skotoma, diplopia; mual dan muntah.

Gangguan serebral lainnya : oyong, refleks tinggi dan tidak tenang.

Pemeriksaan : tekanan darah tinggi, refleks meninggi, dan proteinuria

pada pemeriksaan laboraturium.

Etiologi/Predisposisi preeklamsi

Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum bisa diketahui secara pasti. Namun

banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam

kehamilan tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap benar-benar

mutlak. Beberapa faktor resiko ibu terjadinya preeklamsi:

1. Paritas

Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama. Paritas 2-3 merupakan

paritas paling aman ditinjau dari kejadian preeklamsi dan risiko meningkat lagi

pada grandemultigravida (Bobak, 2005). Selain itu primitua, lama perkawinan ≥4

tahun juga dapat berisiko tinggi timbul preeklamsi (Rochjati, 2003).

2. Usia

Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 23-35 tahun. Kematian

maternal pada wanita hamil dan bersalin pada usia dibawah 20 tahun dan setelah

usia 35 tahun meningkat, karena wanita yang memiliki usia kurang dari 20 tahun

dan lebih dari 35 tahun di anggap lebih rentan terhadap terjadinya preeklamsi

(Cunningham, 2006). Selain itu ibu hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi

perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi

sehingga lebih berisiko untuk terjadi preeklamsi (Rochjati, 2003).

3. Riwayat hipertensi

Riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami hipertensi sebelum hamil

atau sebelum umur kehamilan 20 minggu. Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi

berisiko lebih besar mengalami preeklamsi, serta meningkatkan morbiditas dan

mortalitas maternal dan neonatal lebih tinggi. Diagnosa preeklamsi ditegakkan

berdasarkan peningkatan tekanan darah yang disertai dengan proteinuria atau

edema anasarka (Cunningham, 2006)

4. Sosial ekonomi

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita yang sosial ekonominya lebih

maju jarang terjangkit penyakit preeklamsi. Secara umum, preeklamsi/eklamsi

dapat dicegah dengan asuhan pranatal yang baik. Namun pada kalangan ekonomi

yang masih rendah dan pengetahuan yang kurang seperti di negara berkembang

seperti Indonesia insiden preeklamsi/eklamsi masih sering terjadi (Cunningham,

2006)

5. Hiperplasentosis /kelainan trofoblast

Hiperplasentosis/kelainan trofoblas juga dianggap sebagai faktor predisposisi

terjadinya preeklamsi, karena trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan perfusi

uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat

mengakibatkan terjadinya vasospasme, dan vasospasme adalah dasar patofisiologi

preeklamsi/eklamsi. Hiperplasentosis tersebut misalnya: kehamilan multiple,

diabetes melitus, bayi besar, 70% terjadi pada kasus molahidatidosa

(Prawirohardjo, 2008; Cunningham, 2006).

6. Genetik

Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara

familial jika dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti pada ibu yang

mengalami preeklamsi 26% anak perempuannya akan mengalami preeklamsi

pula, sedangkan 8% anak menantunya mengalami preeklamsi. Karena biasanya

kelainan genetik juga dapat mempengaruhi penurunan perfusi uteroplasenta yang

selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat menyebabkan terjadinya

vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi terjadinya preeklamsi/eklamsi

(Wiknjosastro, 2008; Cunningham, 2008).

7. Obesitas

Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh.

Obesitas merupakan masalah gizi karena kelebihan kalori, biasanya disertai

kelebihan lemak dan protein hewani, kelebihan gula dan garam yang kelak bisa

merupakan faktor risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti

diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis

keganasan (kanker) dan gangguan kesehatan lain.Hubungan antara berat badan

ibu dengan risiko preeklamsia bersifat progresif, meningkat dari 4,3% untuk

wanita dengan indeks massa tubuh kurang dari 19,8 kg/m2 terjadi peningkatan

menjadi 13,3 % untuk mereka yang indeksnya ≥35 kg/m2 (Cunningham, 2006;

Mansjoer, 2008)

Pencegahan preeklamsi

Pencegahan preeklamsi ini dilakukan dalam upaya untuk mencegah

terjadinya preeklamsi pada perempuan hamil yang memiliki resiko terjadinya

preeklamsi. Menurut Prawirohardjo 2008 pencegahan dapat dilakukan dengan 2

cara yaitu:

1. Pencegahan non medikal

Yaitu pencegahan dengan tidak memberikan obat, cara yang paling sederhana

yaitu dengan tirah baring. Kemudian diet, ditambah suplemen yang mengandung:

a) minyak ikan yang kaya akan asam lemak tidak jenuh misal: omega-3

PUFA,

b) antioksidan: vitamin C, vitamin E, dll.

c) elemen logam berat: zinc, magnesium, kalium.

2. Pencegahan dengan medikal

Pemberian deuretik tidak terbukti mencegah terjadinya hipertensi bahkan

memperberat terjadinya hipovolumia. Pemberian kalsium: 1.500-2.000mg/hari,

selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari,magnesium 365 mg/hari. Obat

trombotik yang dianggap dapat mencegah preeklampsi adalah aspirin dosis rendah

rata-rata <100mg/hari atau dipridamole dan dapat juga diberikan obat antioksidan

misalnya vitamin C, vitamin E.

Eklampsia

– Kejang umum dan/atau koma

– Tanda dan gejala preeklampsia

– Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsi, perdarahan

subarakhnoid, dan meningitis)

B. Solutio Placenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari

implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum

janin lahir. Cunningham, dalam bukunya, mendefinisikan solusio plasenta sebagai

separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum

janin lahir. Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu maka mungkin

akan didiagnosis sebagai abortus imminens.

Klasifikasi

a. Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan

plasenta:

1) Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.

2) Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.

3) Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.

b. Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan:

1) Solusio plasenta dengan perdarahan keluar

2) Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk hematoma

retroplacenter

3) Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion.

c. Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya

mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu:

1) Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda

renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar

fibrinogen plasma lebih 150 mg%.

2) Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan,

gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan,

kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.

3) Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin

mati, pelepasan plasenta bisa terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.

Faktor risiko

Ada banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko solutio placenta, diantaranya

adalah :

• Riwayat solutio placenta : seseorang yang pernah mengalami solutio placenta

mempunyai risiko lebih tinggi

• Tekanan darah tinggi : dapat berupa tekanan darah tinggi kronis atau hipertensi

akibat kehamilan

• Trauma Abdomen

• Substance abuse : Konsumsi rokok/cocain saat kehamilan

• Ruptur Membran : Amnion Prematur Yaitu membran ruptur sebelum waktunya

persalinan

• Kelainan pembekuan darah

• Multipara

• Usia kehamilan diatas 40

Patogenesis

Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua

basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari

pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom

subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding

uterus Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan mendesak

jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta

gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta

lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya

dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan

berlangsung terusmenerus karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak

mampu berkontraksi untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya hematom

subkhorionik akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh

plasenta akan lepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah

selaput ketuban, keluar melalui vagina atau menembus masuk ke dalam kantong

ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila

ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi Uterus Couvelaire, dimana seluruh

permukaan uterus akan tampak bercak kebiruan atau berwarna ungu. Uterus

seperti ini akan terasa sangat tegang dan nyeri dan akan mengganggu

kontraktilitas uterus setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi

perdarahan post partum yang hebat.

Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan

tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat

pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar

persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia.

Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang

tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya

Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas

pengelompokannya menurut gejala klinis:

1. Solusio plasenta ringan

Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat

pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi

perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut

terasa agak sakit, atau terus menerus agak tegang. Walaupun demikian, bagian-

bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus selalu

diawasi, apakah menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung.

Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini

adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitamhitaman.

2. Solusio plasenta sedang

Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari seperempatnya, tetapi belum

duapertiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti

solusio plasenta ringan, tetapi bisa juga secara mendadak dengan gejala sakit perut

terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam.

Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya

mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh kedalam syok,

demikian pula janinnya jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan

gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga

bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung

sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah

terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat.

3. Solusio plasenta berat

Plasenta telah terlepas lebih dari duapertiga permukaannnya. Terjadi sangat

tibatiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok, dan janinnya telah

meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan, dan sangat nyeri. Perdarahan

pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, malahan perdarahan

pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan- keadaan di atas

besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan

kelainan/gangguan fungsi ginjal.

C. Previa Placenta

Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat

abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau

seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terletak dibagian

atas uterus.

Gambar 4. Placenta previa.

Ada beberapa tipe placenta previa :

1. Placenta previa total -> ostium cervix internum tertutup seluruhnya

2. Placenta previa parsial -> ostium cervix internum tertutup sebagian

3. Placenta previa marginal -> placenta ada di tepi ostium

4. Placenta previa letak rendah -> placenta implantasi di dekat ostium

Gejala :

• Keluar darah segar berwarna merah dan berulang

• Tidak nyeri

• Uterus tidak tegang

• Jarang terjadi syok

• Teraba placenta

• Ada bantalan antara bagian janin dan jari pemeriksa

Tabel 2. Perbedaan solutio placenta dan previa placenta.

[Sumber : Santosa, Imam (2012). Kuliah Obtetri Ginekologi. Jakarta Dept. Obstetri Dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia]

Diagnosis:

Dari gejala-gejala yang timbul kita dapat menentukan diagnosis sebagai berikut :

Pasien menderita hipertensi (160/110) disertai proteinuria. Kedua hal ini menjurus

kepada pre-eksklampsia. Selain itu pasien berusia 41 tahun (> 40), multipara

(pernah hamil 5 kali dan melahirkan 4 kali). Kedua hal ini merupakan risiko

terjadinya solutio placenta. Diagnosis ini diperkuat dengan keluarnya darah hitam

pervaginan yang juga menggugurkan DD placenta previa.

10. Alat pelindung diri dan patient safety

Alat pelindung diri, antara lain :

a. Sarung tangan

b. Celemek/gaun

c. Masker

d. Kacamata pelindung

e. Sarung kaki plastik/sepatu boot

f. Penutup kepala

Serta selalu melakukan teknik aseptik (cuci tangan) sebelum melakukan tindakan

medis.

Patient safety yang dapat diusahakan secara hukum oleh para dokter

obgyn adalah dengan cara selalu melaporkan keadaan pasien ke dalam rekam

medis serta informed consent pada pasien. Berikut adalah salah satu contoh

screenshot dari laporan keadaan pasien yang dianut di Amerika :

Gambar 5. Perdarahan pervaginam post-partum.

BAB III

KESIMPULAN

Pada skenario 2, diketahui seorang G5P4A0, 41 tahun, hamil 35 minggu

mengalami partus sebelum cukup minggu. Keadaan yang dialami pasien

kemungkinan disebabkan karena faktor risiko, seperti jumlah kehamilan, jumlah

partus, umur saat hamil, jarang melakukan pemeriksaan kehamilan, dan memiliki

riwayat hipertensi sejak umur kehamilan 6 bulan.

Dari pemeriksaan yang dilakukan, didapatkan interpretasi tekanan darah

cukup tinggi, denyut nadi normal, frekuensi napas diatas batas normal, suhu tubuh

normal, denyut jantung janin normal, proteinuria cukup tinggi ditandai dengan

edema pada tungkai bawah, dan terjadi pembukaan serviks uteri 6 cm dengan

darah warna hitam disertai nyeri perut hebat sejak 2 jam yang lalu.

Berdasarkan keluhan yang dialami pasien, faktor risiko dan pemeriksaan

fisik yang dilakukan, ditetapkan salah satu differential diagnosis untuk skenario

ini adalah preeklamsia. Seorang ibu yang memiliki paritas >3 dan mempunyai

riwayat hipertensi sebelum umur kehamilan 20 minggu berisiko tinggi terjadinya

preeklamsia. Selain itu ibu hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi perubahan

pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi sehingga lebih

berisiko untuk terjadi preeklamsi. Preeklamsi juga ditandai dengan didapatkan

protein urin (+++) dan edema pada tungkai bawah.

Differential diagnosis lainnya untuk skenario 2 adalah plasenta previa dan

solution plasenta. Penegakan diagnosis plasenta previa ditandai dengan terjadinya

perdarahan antepartum tanpa disadari dan tanpa trauma saat hamil tua. Sementara

solusio plasenta ditandai dengan terjadinya perdarahan antepartum secara

mendadak, tanpa trauma dan disertai nyeri saat hamil tua. Keadaan umum pasien

yang cukup baik disertai dengan preeklamsia juga tanda dari solusio plasenta.

Dari hasil pemeriksaan obstretik, didapatkan pembukaan serviks uteri 6

cm, kepala sudah turun pada bidang Hodge III, hal ini menandakan persalinan

telah masuk kala II. Oleh karena itu dokter melakukan persiapan persalinan

dengan vakum ekstraksi, yaitu persalinan buatan dimana janin dilahirkan dengan

tekanan ekstraksi tekanan negatif dengan menggunakan ekstraktor vakum.

Kemudian dokter juga memberikan nifedipin untuk menurunkan tekanan darah

dari pasien. Sebelum melakukan persalinan, baik dokter ataupun pasien harus

menggunakan alat pelindung diri.

BAB IV

SARAN

A. Saran untuk kelompok A8

- Diharapkan masing-masing mahasiswa dapat lebih aktif dalam diskusi,

dan dapat saling berbagi ilmu antara satu dengan yang lain.

- Diharapkan semua anggota dapat lebih menghargai pendapat antara satu

dengan yang lainnya agar diskusi berjalan dengan lebih kondusif dan

mendahulukan anggota yang belum memberikan pendapat.

- Diharapkan semua anggota kelompok mampu memahami learning

objectives yang harus dicapai, sehingga tujuan pembelajaran pada skenario

dapat tercapai.

B. Saran untuk tutor

- Tutor sudah mengarahkan hal – hal penting yang perlu didiskusikan oleh

mahasiswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Diharapkan tutor juga

bisa mendorong partisipasi mahasiswa agar lebih aktif dalam

menyampaikan pendapatnya.

C. Saran Untuk KBK

- Sebagai pembuat skenario, KBK sudah berusaha membuat scenario

semenarik mungkin sehingga mendorong mahasiswa untuk megupas lebih

dalam mengenai permasalahan yang disajikan. Kedepannya diharapkan

KBK mampu mempertahankan dan membuat inovasi-inovasi menarik

pada scenario sehingga mahasiswa terdorong untuk mampu mencapai

tujuan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

American Pregnancy Association (2014). Gestational Hypertension: Pregnancy

Induced Hypertension (PIH). http://americanpregnancy.org/pregnancy-

complications/pregnancy-induced-hypertension/ - Diakses 9 Maret 2015.

Cunningham, F.G,. 2005. Obstetri William. Edisi 21. Jakarta: EGC.

Drugs.com (2014). Captopril / hydrochlorothiazide Pregnancy and Breastfeeding

Warnings. http://www.drugs.com/pregnancy/captopril-

hydrochlorothiazide.html - Diakses 9 Maret 2015.

Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N (1997). Penatalaksanaan Perdarahan

Antepartum. Makassar : Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS.

Groom KM, Bennett PR (2004). Tocolysis for the Treatment of Preterm Labour –

A Clinically Based Review. The Obstetrician & Gynaecologist.

Guyton, A., & Hall, J.E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Haddad GG, Green TP (2011). Diagnostic approach to respiratory disease. In:

Kliegman RM,Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson Textbook of

Pediatrics.19th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; chap 366.

Hakimi, Mohammad (2009). Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo.

Hassan R., Alatas H. (1985). Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:

Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. pp: 1076-7

HISPAC (2008). Guideline for Disinfection and Sterilization in Healthcare

Facilities.

http://www.cdc.gov/hicpac/Disinfection_Sterilization/13_0Sterilization.html -

Diakses 9 Maret 2015.

Inchem (2014) HCT mode of Action.

http://www.inchem.org/documents/pims/pharm/hydrochl.htm - Diakses 9

Maret 2015.

Israr Yayan Akhyar (2007). Karakteristik Solusio Plasenta di Bagian Obstreti dan

Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Pekanbaru : FK Universitas

Riau, pp: 9-17.

I., K Simadibrata, M., Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4.

Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lenevo, Keneth J (2009). Obstetri Williams: Panduan Ringkas Ed. 21. Jakarta :

EGC.

Llewellyn-Jones, Derek (2001). Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi Edisi 6.

Jakarta : Hipokrates.

Mayo Clinic (2014). Placental Abruption Risk Factors.

http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/placental-abruption/basics/

risk-factors/con-20024292 - Diakses 9 Maret 2014.

Mochtar, Rustam (1998). Sinopsis Obstetri Edisi 2 Jilid 1. Jakarta : EGC.

National Library of Medicine (2011). APGAR.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003402.html - diakses 9

Maret 2015

National Library of Medicine (2011). Delivery Presentations.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002060.htm - diakses 9

Maret 2015

Prawirohardjo, Sarwono (2009). Ilmu Kebidanan. Jakarta : BPSP.

Rxlist (2014). Captopril Drug Information.

http://www.rxlist.com/capoten-drug/clinical-pharmacology.htm - Diakses 9

Maret 2015.

Sastrawinata, Sulaiman et al (2004). Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri

Patologi Edisi 2. Jakarta : EGC.

Sherwood L (2012). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi ke 6. Jakarta:

EGC, pp: 858-859.

Wiknjosastro, H., 2006. Perubahan Anatomik dan Fisiologik pada Wanita Hamil.

Dalam: Prawirohardjo, S., ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 89-100.