laporan presentasi kasus-hernia

32
LAPORAN PRESENTASI KASUS “SUBARACHNOID BLOK PADA OPERASI HERNIA INGUINALIS LATERALIS (HIL) SINISTRA” A. KASUS PASIEN 1. IDENTITAS PASIEN: - Nama pasien : Bp. S - Umur : 54 tahun - Jenis kelamin : Laki-laki - Alamat : Kebon Agung, Bandongan - Pekerjaan : PNS - Agama : Islam - Tanggal masuk bangsal : 12 Juni 2010 - Tanggal operasi : 14 Juni 2010 2. ANAMNESIS: - Keluhan Utama : Pasien mengeluhkan adanya benjolan pada selangkangan kiri yang terasa nyeri. - Keluhan Tambahan : kadang nafas terasa seseg pada pagi hari. - Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) : Pasien mengeluhkan adanya benjolan pada selangkangan kiri sebesar telur ayam. Benjolan tersebut muncul sejak 2 tahun 1

Upload: emitha

Post on 27-Jun-2015

540 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Presentasi Kasus-hernia

LAPORAN PRESENTASI KASUS

“SUBARACHNOID BLOK PADA OPERASI HERNIA INGUINALIS

LATERALIS (HIL) SINISTRA”

A. KASUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN:

- Nama pasien : Bp. S

- Umur : 54 tahun

- Jenis kelamin : Laki-laki

- Alamat : Kebon Agung, Bandongan

- Pekerjaan : PNS

- Agama : Islam

- Tanggal masuk bangsal : 12 Juni 2010

- Tanggal operasi : 14 Juni 2010

2. ANAMNESIS:

- Keluhan Utama :

Pasien mengeluhkan adanya benjolan pada selangkangan kiri yang terasa nyeri.

- Keluhan Tambahan : kadang nafas terasa seseg pada pagi hari.

- Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :

Pasien mengeluhkan adanya benjolan pada selangkangan kiri sebesar telur ayam.

Benjolan tersebut muncul sejak 2 tahun yang lalu dan hilang timbul. Benjolan

terasa nyeri. Bila pagi hari nafas kadang terasa sesak. Pasien mempunyai riwayat

sakit hipertensi.

- Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) :

Pasien menyatakan belum pernah mengalami gejala yang sama sebelumnya.

- Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) :

Pasien menyatakan bahwa tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit

yang sama. Terdapat riwayat penyakit kronik dalam keluarga yaitu hipertensi.

1

Page 2: Laporan Presentasi Kasus-hernia

3. PEMERIKSAAN

a. Pemeriksaan fisik saat masuk bangsal (12 Juni 2010)

- Keadaan Umum : baik

- GCS : Compos Mentis

- Vital Sign : Tekanan Darah : 155/100 mmHg

Nadi : 80 kali/menit

Suhu : 36,3 C

Berat Badan : 74 kg

b. Pemeriksaan pre-operatif (13 Juni 2010)

- Pemeriksaan Laboratorium Darah

WBC 5,53 103/ul (Normal)

RBC 4,72 106/ul (Normal)

HGB 14,0 gr/dl (Normal)

HCT 43,4 % (Normal)

MCV 91,9 fL (Normal)

MCH 29,7 pg (Normal)

MCHC 32.3 g/dl (Normal)

PLT 260 103/ul (Normal)

RDW-CV 12,5 % (Normal)

RDW-SD 41,0 fL (Normal)

2

Page 3: Laporan Presentasi Kasus-hernia

- Pemeriksaan Kimia Darah

Gula Darah Sewaktu 91,6 mg/dl (75-150) normal

Ureum 40,8 mg/dl (10-50) normal

Creatinin 1,35 mg/dl (0.6-1.2) rendah

Protein total 8,3 mg/dl (6,5-8,3) normal

Albumin 4,57 mg/dl (3,5-5) normal

Globulin 3,75 mg/dl (2,3-3,5) tinggi

SGOT 18,5 mg/dl (<38) normal

SGPT 22,4 mg/dl (<42) normal

- Pemeriksaan Elektrolit

Natrium 147 mEq/L (135-155) normal

Kalium 4 mEq/L (3,5-5,5) normal

Klorida 111 mEq/L (95-108) tinggi

- Persiapan Operasi di Ruang B:

Vital Sign : Tekanan Darah : 170/100 mmHg

Nadi : 80 kali/menit

Suhu : 36 C

Respiration Rate : 20 kali/menit

BB : 70 kg

4. LAPORAN ANASTESIA

- Nama penderita : Bp. S

- Jenis kelamin : laki-laki

- Umur : 54 tahun

- Bangsal : B

- Dokter Anestesi : dr. BA, Sp.An

- Dokter operator : dr. I, Sp.B

- Diagnosis preoperatif : HIL (Hernia Inguinalis Lateralis) Sinistra

- Penanganan : Hernioplasty

Page 4: Laporan Presentasi Kasus-hernia

- Keadaan pre-operatif :

Tekanan darah : 170/90 mmHg Berat badan : 70 kg

Nadi : 93 x/menit ECG : dbn

Respirasi : 24 x/menit ASA : I

- Pramedikasi : -

- Teknik anestesi :

Regional : spinal/epidural/blok

IV : drip/intermittent

Inhalasi : semi closed/ semi open/ closed

SR/AR/RK dgn ET/NT/No…

Induksi : Oksigenasi +/- … menit

Maintenance : Halotan/influrance/isoflurance/N2O/O2

Obat :

- Induksi : Buvanest 4 ml dan morphine 0,2 mg

- Maintanance : Narfoz 8mg, Sedacum 1mg, Orasic 50mg.

Cairan masuk : RL 3

HES 1

Mulai anestesi : pukul 11.30

Selesai anestesi : pukul 12.20

Page 5: Laporan Presentasi Kasus-hernia

B. PEMBAHASAN

Hernia Inguinalis Lateralis

Hernia merupakan suatu protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek

atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan. Misalnya, pada hernia

abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-

aponeurotik dinding perut. Menurut sifatnya, ada yang disebut hernia reponibel bila

isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengejan dan masuk lagi

jika berbaring atau didorong masuk ke perut. Bila isi kantong tidak dapat direposisi

kembali ke dalam rongga perut, hernia disebut hernia ireponibel. Ini biasanya

disebabkan oleh perlekatan isi kantong pada peritoneum kantong hernia (hernia

akreta).

Berdasarkan arah herniasi atau penonjolannya, hernia dapat dibagi menjadi hernia

eksterna dan hernia interna. Disebut hernia eksterna apabila penonjolannya dapat

Narfos, Sedacum

RL

RL RL

Orasic, HES

Page 6: Laporan Presentasi Kasus-hernia

dilihat dari luar dan disebut hernia interna apabila isi henia masuk ke dalam rongga

lain, misalnya cavum thorax, cavum abdomen.

Tabel1. Klasifikasi hernia berdasarkan arah herniasi

Hernia Eksterna Hernia Interna

a.  Hernia Inguinalis Medialis dan Lateralis

b. Hernia Femoralis

c. Hernia Umbilicus

d. Hernia Epigastrica

e. Hernia Lumbalis

f.  Hernia Obturatoria

g. Hernia Semilunaris

h. Hernia Perinealis

i.  Hernia Ischiadica

a.Hernia Epiploici Winslowi :

Herniasi viscera abdomen

melalui foramen omentale

b. Hernia Bursa Omentalis

c. Hernia Mesenterica

d. Hernia Retroperitonealis

e. Hernia Diafragmatica

Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis) adalah

hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi:

hernia inguinalis indirek (disebut juga hernia inguinalis lateralis). Hernia ini

disebut lateralis karena menonjol dari perut di lateral pembuluh epigastrika

inferior. Disebut indirek karena keluar melalui dua pintu dan saluran, yaitu

annulus dan kanalis inguinalis. Apabila hernia ini berlanjut, tonjolan akan sampai

ke skrotum, ini disebut hernia skrotalis.

Hernia ingunalis direk (disebut juga hernia inguinalis medialis), menonjol

langsung ke depan melalui segitiga Hesselbach, daerah yang dibatasi ligamentum

inguinal di bagian inferior, pembuluh epigastrika inferior di bagian lateral, dan

tepi otot rektus di bagian medial.

Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang

didapat. Hernia lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita dan dapat terjadi pada

semua usia. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus vaginalis yang

terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut

Page 7: Laporan Presentasi Kasus-hernia

karena usia. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk

kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites. Hernia juga mudah terjadi pada

individu yang kelebihan berat badan, sering mengangkat benda berat, atau mengedan.

Diagnosis ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat direposisi, atau jika tidak

dapat direposisi, atas dasar tidak adanya pembatasan jelas di sebelah kranial dan

adanya hubungan ke kranial melalui anulus eksternus. Pada umumnya keluhan pada

orang dewasa yang menderita HIL adalah benjolan di lipat paha yang muncul pada

waktu berdiri, batuk, bersin, mengedan, atau mengangkat beban yang berat dan

hilang setelah berbaring. Jika pada benjolan yang ada dirasakan nyeri hebat, maka

perlu dipikirkan adanya penjepitan isi perut, yang disebut hernia strangulata. Nyeri

dapat disertai mual dan muntah. Hal ini dapat terjadi jika sudah terjadi kematian

jaringan isi perut yang terjepit tadi. Hernia strangulata merupakan suatu keadaan

yang gawat, jadi diperlukan pertolongan segera.

Gambar1. Hernia Inguinalis

Hernioplasty

Penatalaksanaan hernia dibagi menjadi

2, konservatif dan operatif. Pengobatan

konservatif terbatas pada tindakan

pengembalian posisi (dengan cara

mendorong masuk tonjolan yang ada

secara manual) dan pemakaian penyangga

Page 8: Laporan Presentasi Kasus-hernia

atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi. Reposisi

dilakukan secara bimanual. Tindakan operatif merupakan satu-satunya pengobatan

rasional hernia inguinalis. Prinsip dasar operasi hernia terdiri atas herniotomi dan

hernioplasty. Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke

lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian

direposisi. Kantong hernia dijahit ikat setinggi mungkin lalu dipotong. Pada

hernioplasty dilakukan tindakan memperkecil annulus inguinalis internus dan

memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplasty lebih penting dalam

mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomi.

Indikasi operasi hernia:

Semua hernia dianjurkan untuk dioperasi, sebab bahaya bila sampai terjadi

inkarserata.

Kontra indikasi operasi hernia:

Terdapat penyakit jantung yang berat

Adanya penyebab tekanan intra peritoneum meningkat ( gangguan miksi,

defekasi, batuk berat, ascites, ) kecuali ada inkarserata.

Penilaian dan Persiapan Praanestesia

Tindakan pre-operatif ditujukan untuk menyiapkan kondisi pasien seoptimal

mungkin dalam menghadapi operasi. Persiapan prabedah menentukan keberhasilan

suatu operasi. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor

penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesia. Dokter spesialis

anestesiologi hendaknya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar dapat

mempersiapkan fisik dan mental pasien secara optimal, merencanakan dan memilih

teknik anesthesia serta obat-obatan yang dipakai, dan menentukan klasifikasi pasien

berdasarkan ASA. Persiapan praanestesia yang dilakukan meliputi persiapan alat,

penilaian dan persiapan pasien, serta persiapan obat anestesi yang diperlukan.

Penilaian dan persiapan pasien diantaranya meliputi:

I. Anamnesis:

- Identifikasi pasien (nama, umr, alamat, dll).

Page 9: Laporan Presentasi Kasus-hernia

- Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi

- Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita untuk mengetahui

kemungkinan penyulit anestesi (misalnya alergi, diabetes melitus, penyakit

paru kronis, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit hati.

- Riwayat pemakaian obat-obatan meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan

obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat

anestetik

- Riawayat anestetik/operasi sebelumnya, meliputi tanggal, jenis pembedahan,

dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.

- Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempenaruhi tindakan (merokok,

minum alcohol, obat penenang, narkotik). Kebiasaan buruk ini hendaknya

dihentikan 1-2 hari sebelum operasi agar tidak mempengaruhi system

kardiosirkulasi serta organ lain.

- Riwayat berdasarkan system organ

- Makanan yang terakhir dimakan

II. Pemeriksaan Fisik

- Tinggi dan berat badan, untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang

diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.

- Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu

tubuh.

- Jalan nafas (air way),

- Jantung, paru-paru, abdomen, punggung (apakah ada deformitas), neurologis,

Ekstremitas.

III. Pemeriksaan Laboratorium

1. Rutin: darah, urin, foto dada (terutama untuk bedah mayor),

elektrokardiografi (untuk pasien diatas umur 40 tahun).

2. Khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi

IV. Persiapan Hari Operasi

Page 10: Laporan Presentasi Kasus-hernia

Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan untuk mencegah aspirasi

isi lambung karena regurgitasi/muntah. Pada operasi elektif hernia, pasien

dewasa dipuasakan 8 jam sebelum operasi.

Jika ada gigi palsu, perhiasan, bulu mata dilepas. Bahan kosmetik (lipstick,

cat kuku) dibersihkan sehingga tidak mengganggu pemeriksaan.

Rectum dan kandung kemih dikosongkan, jika perlu pasang kateter.

Pasien masuk kamar operasi mengenakan pakaian khusus

Cukur rambut pubis 2 jam sebelum operasi.

Pemberian obat-obatan premedikasi (jika perlu) dapat diberikan 1-2 jam

sebelum induksi anesthesia. Antibiotika profilaksis, diberikan bersama

premedikasi (Sefalosporin generasi pertama).

Setelah persiapan pre-operatif dan pasien diputuskan siap untuk mendapatkan

operasi maka proses anestesi dapat dilakukan. Pada operasi hernia, dapat digunakan

teknik anesthesia general maupun regional, semuanya tergantung dari indikasi dan

kontraindikasi, bagaimanakah keadaan pasien saat itu dan jenis operasi yang akan

dilakukan. Pada kasus ini, diputuskan untuk menggunakan teknik anestesi regional

yaitu subarachnoid block atau anestesi spinal. Karena secara umum, keadaan pasien

baik, dan area operasi hernia berada di bawah umbilicus.

Anestesi spinal

Anestesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subarakhnoid) ialah anestesi

regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang

subarakhnoid. Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang subarachnoid akan

memblok konduksi impuls sepanjang serabut syaraf secara reversible. Terdapat tiga

bagian syaraf yaitu motor, sensori dan autonom. Motor menyampaikan pesan ke otot

untuk berkontraksi dan ketika di blok, otot akan mengalami paralisis. Syaraf sensori

akan menghantarkan sensasi seperti rabaan dan nyeri ke sumsum tulang dan ke otak,

sedangkan syaraf atonom akan mengontrol tekanan darah, nadi, kontraksi usus dan

fungsi lainnya yang diluar kesadaran. Pada umumnya, serabut otonom dan nyeri

Page 11: Laporan Presentasi Kasus-hernia

adalah yang pertama kali diblok dan serabut motor yang terakhir. Hal ini akan

menimbulkan timbal balik yang penting. Contohnya, vasodilatasi dan penurunan

tekanan darah yang mendadak mungkin akan terjadi ketika serabut otonom diblok

dan pasien merasakan sentuhan dan masih merasakan sakit ketika tindakan

pembedahan dimulai.

Anestesi spinal merupakan pilihan anestesi pada daerah dibawah umbilikus,

misalnya repair hernia, ginekologi, operasi urogenital dan operasi di daerah perineum

dan genitalia. Indikasi anestesi spinal adalah:

1. Bedah ekstremitas bawah.

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rectum-perineum

4. Bedah obstetric-ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya dikombinasi dengan

anesthesia umum ringan.

8. Pasien lanjut usia dan pasien dengan penyakit sistemik seperti penyakit

pernafasan, hepar, renal dan gangguan endokrin (diabetes mellitus).

Kontra indikasi anesthesia spinal ada dua macam yakni relative dan absolute.

Tabel2. Kontra indikasi anesthesia spinal

Kontra indikasi absolute Kontra indikasi relative

1. Pasien menolak

2. Infeksi pada tempat suntikan

3. Hipovolemia berat, syok

4. Koagulopati atau mendapat terapi

antikoagulan

5. Tekanan intracranial meninggi

6. Fasilitas resusitasi minim

1. Infeksi sistemik (sepsis,

bakteremi)

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan neurologis

4. Kelainan psikis

5. Bedah lama

6. Penyakit jantung

Page 12: Laporan Presentasi Kasus-hernia

7. Kurang pengalaman atau/tanpa

didampingi konsultan anesthesia

7. Hipovolemia ringan

8. Nyeri punggung kronis

Kelebihan pemakaian anestesi spinal diantaranya adalah biaya minimal, tidak ada

efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga, dapat dilakukan pada pasien diabetes

mellitus, perdarahan minimal, aliran darah splancnic meningkat, terdapat tonus

visceral, jarang terjadi gangguan koagulasi. Sedangkan kekurangan pemakaian

anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi, hanya dapat digunakan pada operasi

dengan durasi tidak lebih dari dua jam, bila tidak aseptik akan menimbulkan infeksi

dalam ruang subarachnoid dan meningitis, serta kemungkinan terjadi postural

headache.

Teknik Anestesia Spinal

1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi

termudah. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa di pindah lagi,

karena perubahan posisi berlebihan dalam waktu 30 menit pertama akan

menyebabkan penyebaran obat. Jika posisinya duduk, pasien disuruh

memeluk bantal, agar posisi tulang belakang stabil, dan pasien membungkuk

agar prosesus spinosus mudah teraba. Jika posisinya dekubitus lateral, maka

beri bantal kepala, agar pasien merasa enak dan menstabilkan tulang

belakang.

2. Tentukan tempat tususkan. Perpotongan antara garis yang menghubungkan

kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Untuk operasi

hernia ini, dilakukan tususkan pada L3-4. Tusukan pada L1-2 atau dia atasnya

berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Pada kasus ini diberikan obat

anestesi lokal bupivakain yang dikombinasi dengan morfin sebagai analgesic.

5. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial

dengan sudut 10-30 derajad terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum

lumbal akan menembus kulit-subkutis-lig.supraspinosum-lig.interspinosum-

Page 13: Laporan Presentasi Kasus-hernia

lig.flavum-ruang epidural-duramater-ruang sub arakhnoid. Kira-kira jarak

kulit-lig.flavum dewasa ±6cm.

6. Cabut stilet maka cairan serebrospinal akan menetes keluar.

7. Pasang semprit yang berisi obat, masukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)

diselingi aspirasi sedikit, untuk memastikan posisi jarum tetap baik.

Gambar2. Lokasi Ruang

Subarachnoid

Obat-Obatan Yang Dipakai

Buvanest sebagai anestesi lokal

Buvanest merupakan nama dagang obat anestesi lokal, isinya adalah

bupivacaine HCL. Pada pasien ini, diberikan buvanest 4ml dikombinasi dengan

morfin 0,2 mg.

Farmakodinamik

Anestesi lokal adalah obat yang digunakan untuk mencegah rasa nyeri dengan

memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara reversible. Obat menembus saraf

dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik), tetapi saat di dalam akson terbentuk

beberapa molekul terionisasi, dan molekul-molekul ini memblok kanal Na+, serta

mencegah pembentukan potensial aksi. Anestesi lokal dapat menekan jaringan lain

Page 14: Laporan Presentasi Kasus-hernia

yang dapat dieksitasi (miokard) bila konsentrasi dalam darah cukup tinggi, namun

efek sistemik utamanya mencakup system saraf pusat. Pada konsentrasi darah yang

dicapai dengan dosis terapi, terjadi perubahan konduksi jantung, eksitabilitas,

refrakteritas, kontraktilitas dan resistensi vaskuler perifer yang minimal.

Kontraktilitas miokardium ditekan dan terjadi vasodilatasi perifer, mengakibatkan

penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri.

Absorpsi sistemik anestetik lokal juga dapat mengakibatkan perangsangan dan

atau penekanan sistem saraf pusat. Rangsangan pusat biasanya berupa gelisah,

tremor dan menggigil, kejang, diikuti depresi dan koma, akhirnya terjadi henti

napas. Fase depresi dapat terjadi tanpa fase eksitasi sebelumnya.

Farmakokinetik

Kecepatan absorpsi anestetik lokal tergantung dari dosis total dan konsentrasi

obat yang diberikan, cara pemberian, dan vaskularisasi tempat pemberian, serta ada

tidaknya epinefrin dalam larutan anestetik. Bupivacaine mempunyai awitan lambat

(sampai dengan 30 menit) tetapi mempunyai durasi kerja yang sangat panjang,

sampai dengan 8 jam bila digunakan untuk blok syaraf. Lama kerja bupivacaine lebih

panjang secara nyata daripada anestetik lokal yang biasa digunakan. Juga terdapat

periode analgesia yang tetap setelah kembalinya sensasi.

Efek samping

Penyebab utama efek samping kelompok obat ini mungkin berhubungan dengan

kadar plasma yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh overdosis, injeksi intravaskuler

yang tidak disengaja atau degradasi metabolik yang lambat.

- Sistemik : Biasanya berkaitan dengan sistem saraf pusat dan kardiovaskular

seperti hipoventilasi atau apnu, hipotensi dan henti jantung.

- SSP : Gelisah, ansietas, pusing, tinitus, dapat terjadi penglihatan kabur atau

tremor, kemungkinan mengarah pada kejang. Hal ini dapat dengan cepat diikuti

rasa mengantuk sampai tidak sadar dan henti napas. Efek SSP lain yang mungkin

timbul adalah mual, muntah, kedinginan, dan konstriksi pupil.

Page 15: Laporan Presentasi Kasus-hernia

- Kardiovaskuler : Depresi miokardium, penurunan curah jantung, hambatan

jantung, hipotensi, bradikardia, aritmia ventrikuler, meliputi takikardia ventrikuler

dan fibrilasi ventrikuler, serta henti jantung.

- Alergi : Urtikaria, pruritus, eritema, edema angioneuretik (meliputi edema laring),

bersin, episode asma, dan kemungkinan gejala anafilaktoid (meliputi hipotensi

berat).

- Neurologik : Paralisis tungkai, hilangnya kesadaran, paralisis pernapasan dan

bradikardia (spinal tinggi), hipotensi sekunder dari blok spinal, retensi urin,

inkontinensia fekal dan urin, hilangnya sensasi perineal dan fungsi seksual;

anestesia persisten, parestesia, kelemahan, paralisis ekstremitas bawah dan

hilangnya kontrol sfingter, sakit kepala, sakit punggung, meningitis septik,

meningismus, lambatnya persalinan, meningkatnya kejadian persalinan dengan

forcep, atau kelumpuhan saraf kranial karena traksi saraf pada kehilangan cairan

serebrospinal.

Morfin sebagai analgesik

Pada pasien ini diberikan morfin 0,2mg yang dikombinasikan dengan buvanest.

Morfin adalah analgesik alkaloid yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama

yang ditemukan pada opium. Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek

utama mengikat dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi

reseptor ini terkait dengan analgesia, sedasi, euforia, physical dependence dan

respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis reseptor κ-opioid yang

terkait dengan analgesia spinal.

Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak

begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi),

penglihatan dan pendengaran, bahakan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah

pemberian morfin dosis terapi.

Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme, yaitu 1.morfin

meninggikan ambang rangsang nyeri, 2.morfin dapat mempengaharui emosi, artinya

Page 16: Laporan Presentasi Kasus-hernia

morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi

nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus, 3.morfin memudahkan tidur dan

pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.

Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau

menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid.

Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan

untuk nyeri yang menyertai Infark miokard, Neoplasma, Kolik renal atau kolik

empedu, Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner, Perikarditis

akut, pleuritis dan pneumotorak spontan, Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar,

fraktur dan nyeri pasca bedah.

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk

larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau

mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa

1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.

Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot

polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan

stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi,

hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual

muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH).

Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka.

Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek

analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang

timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati

sawar plasenta dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal.

Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.

Page 17: Laporan Presentasi Kasus-hernia

Narfoz sebagai antiemetic

Pada pasien ini diberikan Narfoz 8mg yang isinya adalah Ondansentron sebagai

obat sisipan untuk mencegah emesis.

Farmakodinamik

Ondansetron adalah antagonis reseptor 5HT3 yang poten dan selektif. Narfoz

bekerja sebagai selektif antagonis reseptor serotonin yang ketiga (5HT3). Narfoz

bekerja secara selektif menghambat ikatan antara serotonin (5HT) dengan reseptor

serotonin yang ketiga (5HT3) agar tidak berikatan, sehingga tidak menghasilkan

rangsang mual muntah efektif baik pada Sistem Saraf Pusat (SSP) maupun pada

Sistem Saraf Perifer/ Tepi (SST). Narfoz akan menghambat reseptor 5HT3 yang

terdapat pada CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone). Narfoz bekerja di SSP sehingga

sangat efektif untuk mengatasi mual muntah akibat kemo/radioterapi, post operasi,

gangguan meurologis, iritasi dan gangguan saluran cerna; gangguan fungsi ginjal

(seperti pasien hemodialisa), detoksifikasi opiat dan hyperemesis gravidarum. Narfoz

juga bekerja di SST dengan menghambat reseptor 5HT3 di aferen vagal saluran cerna

sehingga akan menghambat impuls ke pusat muntah. Dengan kemampuan Narfoz

untuk bekerja di SST maka Narfoz juga daapat digunakan untuk mengatasi mual

muntah yang terjadi karena adanya gangguan pada saluran cerna.

Farmakokinetik

Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai setelah 1,5 jam pemberian

Ondansetron per oral. Bioavailabilitas absolut Ondansetron per oral mencapai 60%.

Disposisi Ondansetron setelah pemberian per oral ataupun secara intravena sama

dengan waktu paruh eliminasi terminal yang mencapai 3 jam, meskipun dapat

diperpanjang sampai 5 jam pada penderita usia lanjut. Obat ini secara ekstensif

dimetabolisme dan metabolitnya diekskresikan ke dalam feses dan urin. Ikatan

protein plasma mencapai 70-76%.

Sedacum 0,1% 1 mg sebagai sedasi

Page 18: Laporan Presentasi Kasus-hernia

Pada pasien diberikan sedacum 1mg, yang berisi midazolam. Midazolam merupakan

benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.

Farmakodinamik

Dalam sistem saraf pusat, dapat menimbulkan amnesia, antikejang, hipnotik,

relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran

darah otak dan laju metabolisme. Efek Kardiovaskuler menyebabkan vasodilatasi

sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put. Tidak mempengaruhi

frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang

besar atau apabila dikombinasi dengan opioid. Pada sistem respiratori dapat

mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal, depresi pusat nafas

mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi

mental. Efek terhadap saraf otot dapat menimbulkan penurunan tonus otot rangka

yang bekerja di tingkat supraspinal dan spinal, sehingga sering digunakan pada

pasien yang menderita kekakuan otot rangka.

Farmakokinetik

Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul setelah 4 – 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.

Orasic 2ml sebagai analgesik

Pada pasien ini diberikan obat sisipan Orasic yang berisi Tramadol Hcl 50mg.

Tramadol HCl adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol

mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga

menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri.

Farmakodinamik

Page 19: Laporan Presentasi Kasus-hernia

Tramadol mempunyai 2 mekanisme yang berbeda pada manajemen nyeri yang

keduanya bekerja secara sinergis yaitu: agonis opioid yang lemah dan penghambat

pengambilan kembali monoamin neurotransmitter. Tramadol mempunyai efek

merugikan yang paling lazim dalam penggunaan pada waktu yang singkat dan

biasanya hanya pada awal penggunaannya saja yaitu pusing, mual, sedasi, mulut

kering, berkeringat dengan insidensi berkisar antara 2,5 sampai 6.5%. Tidak

dilaporkan adanya depresi pernafasan yang secara klinis relevan setelah dosis obat

yang direkomendasikan. Depresi pernafasan telah ditunjukkan hanya pada beberapa

pasien yang diberikan tramadol sebagai kombinasi dengan anestesi, sehingga

membutuhkan naloxone pada sedikit pasien. Pada pemberian tramadol pada nyeri

waktu proses kelahiran, tramadol intravena tidak menyebabkan depresi pernafasan

pada neonatus.

Farmakokinetik

Setelah pemakaian secara oral seperti dalam bentuk kapsul atau tablet, tramadol

akan muncul di dalam plasma selama 15 sampai 45 menit, mempunyai onset setelah

1 jam yang mencapai konsentrasi plasma pada mean selama 2 jam.

Tramadol mengalami metabolisme hepatik, secara cepat dapat diserap pada traktus

gastrointestinal, 20% mengalami first-pass metabolisme didalam hati dengan hampir

85% dosis oral yang dimetabolisir pada relawan muda yang sehat. Hanya 1 metabolit,

O-demethyl tramadol, yang secara farmakologis aktif. Mean elimination half-life dari

tramadol setelah pemakaian secara oral atau pemakaian secara intravena yakni 5

hingga 6 jam. Hampir 90% dari suatu dosis oral diekskresi melalui ginjal.

Elimination half-life meningkat sekitar 2-kali lipat pada pasien yang mengalami

gangguan fungsi hepatik atau renal.

Pemberian Loading Cairan Ringer Lactat (RL) dan Hydroxy Ethyl Starch

(HES)

Efek samping anestesi regional khususnya subarachnoid block adalah depresi

sistem saraf simpatis sehingga mempengaruhi tonus pembuluh darah dan

Page 20: Laporan Presentasi Kasus-hernia

menyebabkan vasodilatasi sehingga akan terjadi hipovolemi relative (kekurangan

cairan akibat melebarknya pembuluh darah sedangkan volume darah relative tetap),

kemudian terjadi hipotensi. Untuk mencegah kejadian tersebut dilakukan pemberian

cairan (pre-loading) untuk mengurangi hipovolemia relatif akibat vasodilatasi

sebelum dilakukan spinal/epidural anestesi dan loading cairan diteruskan sampai

setelah operasi selesai, dimana kondisi hemodinamik pasien satabil. Selain itu dapat

juga diberikan vasokonstriktor pembuluh darah jika diperlukan, misalnya jika

tekanan darah pasien cenderung menurun terus dan drastis. Pada pasien ini, selain

diberikan Ringer Laktat juga diberikan HES, namun belum memerlukan

vasokonstriktor.

Cairan elektrolit seperti ringer laktat memiliki berat molekul kecil dan tidak

mengandung glukosa dan memiliki kemampuan untuk berpindah dari intravaskuler

menuju interstitial dan intraseluler secara cepat. Dalam waktu setengah jam setelah

pemberian 1 paket cairan elektrolit, maka 2/3 cairan tersebut akan berpindah ke

interstitial. Sehingga cairan yang ada di intravaskuler akan tetap kurang, untuk

mencapai keseimbangan cairan yang berada di intravaskuler diberikan 3 kali volume

yang hilang. Sedangkan koloid adalah cairan yang memiliki kemampuan untuk

menjaga tekanan onkotik di dalam intravaskuler sehingga cairan yang masuk lewat

infuse akan stabil berada di intravaskuler sehingga mempercepat penstabilan cairan

intravaskuler secara lebih cepat. Namun setelah keseimbangan intravaskuler

terkoreksi, harus segera mungkin menyeimbangkan cairan interstitial dan intraseluler

dengan memberikan ringer laktat kembali.

Pasca Anestesia

- Menjaga keseimbangan cairan dengan mengontrol urine yang dihasilkan, tekanan

darah, dan nadi pasien, serta pemberian cairan intravena. Pada pasien ini

diberikan Tutofusin Ops 30 tetes IV. Tutofusin Ops mengandung air, elektrolit

lengkap serta sorbitol sebagai sumber karbohidrat.

- Menjaga posisi pasien dengan meninggikan kepala untuk mencegah naiknya

cairan anestesi menuju thorakal atau cervical. Paisen diedukasi agar selalu

Page 21: Laporan Presentasi Kasus-hernia

menggunakan bantal.

- Memanajemen nyeri dengan pemberian analgesic dan antiemetic untuk

menurunkan rasa nyeri dan mual. Pada pasien ini diberikan medikasi pasca

anestesi meliputi:

Orasic 3x1 IV untuk satu hari, Piralen 3x1 (sebagai antiemesis) untuk 1 hari,

andesco? 3x1 untuk satu hari, Ketopain 3x3 untuk 1 hari dilanjutkan 2x3 selama 2

hari IV (sebagai analgesic pasca operasi, isinya ketorolac tromethamine).

- Setelah peristaltic stabil, jangan ditunda dalam memberikan rangsangan terhadap

peristaltic (diet) dari konsistensi lunak dahulu misalnya air minum.

C. DAFTAR PUSTAKA

Page 22: Laporan Presentasi Kasus-hernia

Erickson, KM. (2010). Abdominal Hernias. Diakses pada tanggal 18 Juni 2010 dari

http://emedicine.medscape.com/article/189563-overview

Intan, FY. Sulistyaningsih, H. (2009). Serba-Serbi Tentang Morfin. Diakses pada

tanggal 19 Juni 2010 dari http://yosefw.wordpress.com

Kalbefarma. (2007). Prescription: Buvanest. Diakses pada tanggal 16 Januari 2010

dari www.kalbefarma.com.

Katzung, G.B. (1998). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi Keenam. Alih Bahasa Staf Dosen FK Universitas Sriwijaya. Jakarta: EGC

Latief, Said. A. Suryadi, Kartini. A. Dachlan, M. Ruswan. (2001). Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

UI: Jakarta.

Pharos Indonesia (2009). Narfoz. Diakses pada tanggal 20 Juni 2010 dari

www.pharosindonesia.com

Prabowo. (2009). Anestesi Regional. Diakses pada tanggal 17 juni 2010 dari

http://drboen.blogspot.com/2009/07/anestesi-regional.html

WebMD. (2010). Inguinal Hernia. Diakses pada tanggal 18 juni 2010 dari http://www.webmd.com/digestive-disorders/tc/inguinal-hernia-topic-overview