laporan pendahuluan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis

43
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK) OLEH I GEDE SUBAGIA NIM : 1202105039 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2014

Upload: jose-erickson

Post on 21-Nov-2015

49 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bjhk

TRANSCRIPT

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

OLEH

I GEDE SUBAGIA

NIM : 1202105039

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2014

A. Konsep Dasar Penyakit1. Definisi PenyakitCOPD merupakan penyakit obstruksi saluran nafas kronis dan progresif yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat irreversible, yang disebabkan oleh bronchitis kronis, emphysema atau keduanya. COPD merupakan istilah yang digunakan untuk mencirikan suatu proses yang ditandai dengan adanya bronchitis kronik atau emfisema yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi jalan napas. Obstruksi mungkin sebagian reversible. Meskipun sering dianggap sebagai proses yang independen, bronchitis kronik dan emfisema memiliki faktor etiologi yang sama (Ganong, 2010). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Smeltzer, 2002). Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut (Smeltzer, 2002). Menurut Price & Wilson (2006), bronkitis kronis merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Sedangkan, emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus (Smeltzer, 2002).Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan.2. EpidemiologiPada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi, dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%. Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59. pada wanita vs pria secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per 100.000 populasi. 3. Penyebab/Faktor RisikoPPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK, diantaranya (Corwin, 2000) :a. Genetik

PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi 1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi 1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom.b. Paparan Partikel Inhalasi

Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat.

Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.

Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru

c. Pertumbuhan dan Perkembangan Paru

Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.

d. Stres Oksidatif

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK

e. Jenis Kelamin

Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini

f. InfeksiInfeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahung. Merokok Perlu diperhatikan baik perokok aktif, pasif, maupun bekas perokok. Asap rokok merusak silia yang terdapat di sepanjang saluran udara dan menekan pembentukan AAT (alpha antitrypsin-1) .Merokok dapat menyebabkan COPD karena merokok merupakan salah satu factor resiko penting yang menunjang proses terjadinya penyakit COPD. Seseorang yang merokok dalam waktu jangka lama akan menyebabkan terjadinya gangguan kerja silia serta fungsi sel-sel makrofag yang akan menyebabkan terjadinya inflamasi pada jalan nafas sehingga akan meningkatkan produksi lender atau mucus dimana peningkatan produksi mucus ini akan menimbulkan destruksi septum alveolar serta fibrosis peribronkial.

Penelitian telah menunjukan bahwa merokok dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan COPD karena:a. mengganggu pergerakan rambut getar epitel saluran napas (respiratory epithelial cilliary)

b. meghambat fungsi alveolar macropaghes,

c. manyebabkan hypertrophy dan hyperplasia kelenjar penghasil mukus,

d. menghambat antiprotease dan menyebabkan leukosit melepaskan enzim proteolitik secara akut,

e. merusak elastin, suatu protein yag membentuk alveolar4. Tanda dan GejalaPenyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan gangguan tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien (Smeltzer, 2002).Manifestasi Klinis COPD merupakan penyakit obstruksi saluran napas, terjadi sedikit demi sedikit, bertahun tahun. Biasanya dimulai pada seorang penderita perokok berumur 15 - 25 tahun produktivitasnya menurun dan timbul perubahan padasaluran pernapasan kecil dan fungsi paru mulai pula berubah. Umur 35-45tahun timbul batuk produktif. Umur 45-55 tahun timbul sesak napas,hiposemia dan perubahannya pada pemeriksaan spirometri. Sering berulang-ulang mendapat infeksi saluran pernapasan bagian atas sehingga sering kalitidak dapat berkerja. Umur 55-65 tahun sudah ada kor pulmonal yang dapatmenyebabkan kegagalan pernapasan dan meinggal dunia (Ilmu Penyakit Dalam, 1996).Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk, sputum yang produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko. Diagnosis memerlukan pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai volume forced expiratory maneuver (FEV 1) dan force vital capacity (FVC). Jika hasil bagi antara FEV 1 dan FVC kurang dari 0,7, maka terdapat pembatasan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya (Fahri, dkk, 2009). Pada orang normal volume forced expiratory maneuver (FEV 1) adalah 28ml per tahun, sedangkan pada pasien PPOK adalah 50 - 80 ml. Menurut National Population Health Study (NPHS), 51% penderita PPOK mengeluhkan bahwa sesak nafas yang mereka alami menyebabkan keterbatasan aktivitas di rumah, kantor dan lingkungan social ( Smeltzer, 2002).5. PatofisiologiPerubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos. Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi (Price & Wilson, 2005).Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada (Price & Wilson, 2005).Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal (Price & Wilson, 2005).6. KlasifikasiPenentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Global Inisiatif of Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (GOLD) tahun 2005 sebagai berikut :STADIUMGEJALA KLINISHASIL SPIROMETRI

Stage I. Mild COPD (PPOK Ringan) Dengan atau tanpa batuk

Dengan atau tanpa produksi sputum.

Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1 FEV1 80% prediksi atau

FEV1 / FVC < 70%

Stage II. Moderate COPD (PPOK Sedang) Dengan atau tanpa batuk

Dengan atau tanpa produksi sputum.

Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). 50% FEV1 < 80% prediksi atau

FEV1 / FVC < 70%

Stage III. Severe COPD (PPOK Berat) Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik.

Eksaserbasi lebih sering terjadi 30% FEV1 < 50% prediksi atau

FEV1 / FVC < 70%

Stage IV. Very Severe COPD (PPOK Sangat Berat) Sesak napas derajat sesak 4 dengan gagal napas kronik.

Eksaserbasi sangat sering terjadi

Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. FEV1 < 50% prediksi dan gagal napas kronik atau

FEV1 < 30% prediksi atau

FEV1 / FVC < 70%

7. Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik secara umum yang dilakukan pada pasien PPOK : Penampilan pink puffer atau blue bloater

Pernapasan pursed-lips

Tampak denyut vena jugularis dan edema tungkai bila telah terjadi gagal jantung kananToraks Inspeksi : adanya barrel chest, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga. Perkusi : hipersonor pada emfisema

Auskultsi : suara napas vesikuler normal, meningkat atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau dengan ekspirasi paksa dan ekspirasi memanjangPasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi ini terjadi pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan BB, dan kelemahan umum terjadi. Vena leher mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. Pemeriksaan fisik menunjukkan tidak terdengarnya bunyi nafas dengan ronchi dan ekspirasi memanjang, hiperresonan saat perkusi, dan penurunan taktil premitus.

8. Pemeriksaan Diagnostik

Chest X- ray :Dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung, bendungan area paru. Pada emphysema paru didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan mendatar, peningkatan ruang udara retrosternal (pada foto lateral), jantung tampak bergantung, memanjang dan menyempit, penurunan tanda vaskular/ bullae. Pada bronchitis didapatkan peningkatan bentuk bronkovaskular, dan pada asma ditemukan hasil normal saat periode remisi (asma) (Ganong, 2010).

Pemeriksaan Fungsi Paru -paru:Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dispnea, menentukan abnormalitas fungsi apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi,d an untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal: bronkodilator.Komponen yang menunjukkan hasil abnormal yaitu :

1. Kapasitas inspirasi menurun

2. Volume residu meningkat pada emphysema, bronchitis dan asma

3. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit paru obstruktif kronis Analisa Gas DarahMenunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO2 menurun dan PCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema), sering kali menurun pada asma dengan nilai pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).

Bronkogram:Dapat menunjukkan dilatasi dari bronkhus saat inspirasi, kolaps bronkhial pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar mukus (bronkhitis).

Laboratorium:

1. Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) meningkat pada polisitemia sekunder2. Jumlah darah merah meningkat3. Eosinofil dan total IgE serum meningkat4. Pulse oksimetri ( SaO2 oksigenasi menurun5. Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretic

Pemeriksaan SputumPemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran. Kuman pathogen yang biasa ditemukan adalah streptococcus pnemoniae, Hemophylus influenza, dan Moraxella catarrhalis. EKG Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat cor pulmonal, terdapat deviasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III< dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet (Ganong, 2010).

9. Therapy/Tindakan PenagananFarmakologiPasien diobati dengan agonis beta (misalnya, metaproterenol, tebultalin, dan algluterol.Bronkodilator misalnya : Aminophyline, Theophyline (biasanya diberikan per-oral (ditelan); tersedia dalam berbagai bentuk, mulai dari tablet dan sirup short-acting sampai kapsul dan tablet long-acting.Pada serangan asma yang berat, bisa diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah)Fungsi : merangsang pelebaran saluran udaraCara kerja : bekerja dalam beberapa menit, tetapi efeknya hanya berlangsung selama 4-6 jam.3). Kortikosteroid Misalnya : Beclomethasone4). Terapi oksigen Terapi oksigen dilakukan mengatasi Dyspnue, sianosis, dan hipoksemia. Oksigen aliran rendah yang dilembabkan baik dengan masker atau katetar hidung di berikan. Aliran oksigen yang diberikan didasarkan pada nilai-niali gas darah.PaO2 dipertahankan antara 65 dan 85 mmHg pemberian sedatif merupakan kontra indikasi. 10. Komplikasi Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2 < 55 mmHg dengan nilai saturasi O2 < 85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis. Asidosis Respiratori timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue,letargi, dizziness, dan takipnea.

Infeksi Saluran Pernapasan disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsang otot polos bronkhial, dan edemamukosa. Terhambatnya aliran udara akan meningkatkan kerja napas dan menimbulkan dispnea

Gagal Jantung : Terutama cor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru-paru) harus diobservasi, terutama pada pasien dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronkhitis kronis, namun beberapa pasien emfisema berat juga mengalami masalah ini Disritmia Jantung timbul akibat dari hipoksemia, penyakit jantung lain,dan efek obat atau terjadinya asidosis respiratori.

Status Asmatikus merupakan komplikasi utama yang berhubungan dengan asma bronkhial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak memberikan responsterhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat (Ganong, William F. 2010).B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

1. Pengkajiana. Identitas Pasien

Nama :

Umur :

Alamat :

Pekerjaan :

No. Reg :

Tgl. MRS :

Tgl. Pengkajian :

Dx Medis :

b. Identitas Penanggung Jawab

Nama :

Umur :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Hub. dgn pasien :

c. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat kesehatan saat ini

Gejala umum PPOK adalah:

Nafas pendek/dangkal terutama saat beraktifitas

Suara sengau

Pengetatan pada otot dada

Batuk kronis produktif

Sering mengalami infeksi saluran pernafasaan

Anoreksia

Penurunan BB

Malaise

Hipoksemia dan hiperkapnea

Gangguan tidur

Diaphoresis

Penggunaan otot bantu pernapasan

Sianosis

Agitasi, panic, tersengal-sengal

Selain itu juga perlu dikaji dari pasien data-data berikut untuk mengetahui status kesehatan saat ini.

Faktor pencetus

Faktor memperberat

Keluhan utama

Timbulnya keluhan

Pemahamanaan penatalaksanaan masalah kesehatan

Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya

Diagnosa medik

b. Status kesehatan masa lalu

Status kesehatan masa lalu yang perlu diketahui oleh perawat untuk mengkaji kemungkinan dari perjalanan penyakit yang dialami pasien adalah dengan mengkaji beberapa data berikut

Penyakit yang pernah dialami

Pernah dirawat

Operasi

Kebiasaan obat obatan

Riwayat kesehatan keluarga

d. Pola Kesehatan Fungsional Pola Gordon

Untuk mendapatkan data pola kesehatan fungsional pada pasien maka perlu dilakukan BHSP sehingga pasien memberikan kepercayaan pada kita untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di bawah ini yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasiena. Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan

Apakah kondisi sekarang menyebabkan perubahan persepsi terhadap kesehatan?

Bagaimana pemeliharaan kesehatan klien setelah mengalami gangguan ini?

b. Nutrisi/ metabolic

Bagaimana asupan nutrisi klien sejak terkena gangguan?

Apakah klien mau memakan makanannya?

c. Pola eliminasi

Bagaimana pola BAB klien sejak gangguan mulai terasa? Apa konstipasi atau diare? Bagaimana pola BAK klien? Apakah kencing lancar, tidak bisa kencing, sakit saat kencing, atau kencingnya tidak dapat dikontol?d. Pola aktivitas dan latihan

Kemampuan perawatan diri01234

Makan/minum

Mandi

Toileting

Berpakaian

Mobilisasi di tempat tidur

Berpindah

Ambulasi ROM

0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4: tergantung total.e. Pola tidur dan istirahat

Bagaimana pola tidur klien, apakah mengalami perubahan?

Bagaimana istirahanya, dapatkah klien beristirahat dengan tenang?

f. Pola kognitif-perseptual

Bagaimana perasaan klien terhadap panca indranya? Apakah klien menggunakan alat bantu?g. Pola persepsi diri/konsep diri

Bagaimana perasaan klien tentang kondisinya saat ini?h. Pola seksual dan reproduksi

Apakah klien mengalami gangguan pada alat reproduksinya? Apakah klien mengalami gangguan saat melakukan hubungan seksual?(jika sudah menikah)i. Pola peran-hubungan

Apakah setelah sakit, peran klien di keluarga berubah? Bagaimana hubungan klien dengan oran sekitar setelah sakit?j. Pola manajemen koping stress

Apakah klien merasa depresi dengan keadaannya saat ini?k. Pola keyakinan-nilai

Apakah klien selalu rajin sembahyang?

Apakah hal tersebut dipengaruhi oleh gangguan ini?

e. Pengkajian Fisik

Pemeriksaan fisik yang diperlukan untuk mengetahui pasien dengan PPOK yaitu :

Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi

f. Pemeriksaan Diagnostik

Chest X- ray Pemeriksaan Fungsi Paru -paru:

Analisa Gas Darah

Bronkogram:

Laboratorium:

Pemeriksaan Sputum

EKG 2. Analisa Data

Data Subyektif :a. Klien mengeluh susah bernafasb. Klien mengatakan lemas c. Klien mengeluh batuk yang tak kunjung berhentid. Klien mengeluh badannya demame. Klien mengatakan batuknya berdahakf. Klien mengatakan merasa takut dan cemasData Obyektif :a. Suhu badan >37,5oC

b. Laboratorium menunjukkan adanya bakteri pada sputum

c. RR > 20 kali permenit

d. Pasien terlihat lemas

e. Dahak pasien berwarna kehijau-hijauan

3. Diagnosa Keperawatan

Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul :1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas2. Ketidakefektifan pola nafas3. PK Infeksi4. Gangguan pola tidur5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh6. Keletihan Dari masalah keperawatan di atas muncul diagnosa keperawatan yaitu :

1. Bersihan jalan nafas yang tidak efektif berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis ditandai dengan batuk yang tidak efektif, produksi sputum dan suara napas tambahan2. Nyeri Kronis berhubungan dengan ketunadayaan fisik kronis ditandai dengan hambatan meneruskan aktivitas sebelumnya, letih, keluhan nyeri.

3. PK Infeksi

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan d faktor biologis ditandai dengan berat badan 20% atau lebih dibawah berat badan ideal.

Diagnosa KeperawatanTujuan dan kriteria hasilIntervensiRasionalEvaluasi

Bersihan jalan nafas yang tidak efektif berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis ditandai dengan batuk yang tidak efektif, produksi sputum dan suara napas tambahan

Setelah diberikan asuhan Keperawatan ...x24 jam diharapkan tidak terjadi gangguan rasa nyaman nyeri dengan kriteria hasil :NOC Label : Respiratory Status : Ventilation

RR dalam rentang normal. 20-30/menit

Akumulasi sputum (-)

Suara napas tambahan (-)

Mampu mengeluarkan sputum

Irama nafas dalam rentang normal

Mampu mendemonstrasikan batuk efektif

NIC Label : Airway Management

1. Buka jalan nafas, gunakan teknik chinlift atau jaw thrust jika diperlukan

2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan potensi ventilasi

3. Identifikasi kebutuhan pemasangan alat nafas buatan

4. Pasang oral atau nasopharyngeal airway jika diperlukan

5. Keluarkan secret dengan batuk atau suction

6. Gunakan teknik menyenangkan untuk menlatih nafas dalam bagi anak-anak (contoh : meniup gelembung, peluit, harmonica, balon, atau mengadakan lomba meniup bola pingpong atau bulu)

7. Instruksikan bagaimana batuk efektif

8. Auskultasi suara nafas, catat area suara nafas tambahan

9. Monitor status respirasi dan oksigenasi

10. Monitor nilai AGD

NIC Label : Airway Management1. Teknik untuk membantu membuka jalan nafas2. Posisi yang baik akan meningkatkan dan memudahkan udara masuk ke pernafasan3. Jika tubuh sudah tidak mampu bernafas secara fisiologis, bantuan alat sangat diperlukan4. Untuk membuka jalan nafas jika sputum atau halangan sudah berlebihan5. Jalan nafas akan terbuka jika sekret dikeluarkan kecuali ada hambatan lain6. Anak-anak akan lebih susah menurut jika memakai alat dan teknik sehingga diperlukan cara yang lebih menyenangkan7. Batuk efektif merupakan pilihan yang baik untuk pasien yang masih sadar jika 8. Untuk mengetahui intervensi yang diperlukan9. Mengetahui keberhasilan intervensi sesudah dan sebelumnya10. Mengetahui kandungan gas darah.S :

pasien mengatakan dahaknya sudah banyak keluar

pasien mengatakan nafasnya sudah lebih lancar

O :

Pasien terlihat mampu melakukan batuk efektif dengan benar

RR 20 kali/ menit

Dahak atau sputum banyak keluar dengan konsistensi kental

Pasien terlihat lebih nyaman

Suara nafas tambahan tidak terdengar

A:

RR dalam rentang normal. 20-30/menit

Akumulasi sputum (-)

Suara napas tambahan (-)

Pasien mampu mengeluarkan sputum

Irama nafas dalam rentang normal

Pasien mampu mendemonstrasikan batuk efektif

Nyeri Kronis berhubungan dengan ketunadayaan fisik kronis ditandai dengan hambatan meneruskan aktivitas sebelumnya, letih, keluhan nyeri.

Setelah mendapatkan asuhan keperawatan selama ...x 24 jam, nyeri pasien dapat teratasi dengan:

NOC: pain control

1. Klien mengenali serangan nyeri (skala 4)

2. Klien melaporkan perubahan dalam nyeri kepada pelayan kesehatan. (skala 4)

3. Klien melaporkan bahwa nyeri dapat terkontrol (skala 4)

NOC: pain level

1. Klien dapat melaporkan nyeri (skala 4)

2. Lama dari episode nyeri dapat diperpendek (skala 4)

3. Klien tidak mengeluh tidak dapat beristirahat (skala 4)

Wajah klien tidak tampak sedang menahan nyeri (skala 4)

NIC: analgesic administration

1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan nyeri sebelum memberikan medikasi

2. Periksa medical order dari obat, dosis, dan frekuensi dari analgesik yang diresepkan

3. Periksa riwayat alergi obat.

4. Tentukan jenis analgesic, rute pemberian, dan dosis untuk mencapai efek optimal

5. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian

NIC: Pain Management

1. Lakukan pengkajian nyeri:

P: propokatif dan paliatif

Q : quality

R: region

S: severity

T: time

2. Observasi adanya respon nonverbal ketidaknyamanan

3. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien mengatakan pengalaman nyeri

4. Ajarkan pasien untuk mengurangi nyeri dengan terapi nonfarmakologi (teknik distraksi)

5. Kolaborasi dengan tenaga medis lain dalam pemberian analgesic

NIC label: analgesic administration

1. Efektivitas pemberian dan efek analgesik

2. Meyakinkan kebenaran tindakan dan menghindari efek yang tidak diinginkan.

3. Meyakinkan klien tidak alergi terhadap obat yang akan diberikan.

4. Efektivitas pemberian obat.

5. Mengantisipasi efek samping yang tidak diinginkan.

1. Untuk menegetahui derajat nyeri yang dirasakan oleh klien, waktu, lokasi nyeri klien

2. Untuk mengurangi ketidaknyamanan klien

3. Membina hubungan saling percaya dengan pasien agar pasien nyaman dengan perawat

4. membantu mengurangi nyeri yang dirsakan oleh klien

5. penanganan nyeri berjalan dengan tepatS : klien mengatakan sudah tidak merasa keletihan lagi

O : klien tampak lebih bugar

A : tujuan tercapai sebagian (keletihan)

P : Lanjutkan intervensi

PK : InfeksiSetelah dilakukan asuhan keperawatan selama . x 24 jam diharapkan diare klien berkurang :NOC Label: Inferction Severity

1. WBC berada dalam batas normal (5000-10.000 / mm3)

2. Integritas kulit dan mukosa membaik

3. Suhu tubuh dalam batas normal (36 - 370 C 0,50 C)

4. Infeksi yang dialami klien teratasi.

5. Klien tidak mengalami tanda-tanda inflamasi lebih lanjutNIC Label : Infection Control1. Pantau tanda dan gejala infeksi.2. Pantau TTV secara berkala3. Pantau jika ada tanda-tanda sepsis pada klien4. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi gunakan prinsip 6B5. Kolaborasi pemberian antiinflamasi sesuai indikasi gunakan prinsip 6BNIC Label : Infection Control

1. memantau keadaan klien apakah telah terjadi penyebaran infeksi menjadi penyakit lain.

2. adanya takikardi, takipnea, demam, nadi cepat dan lemah dapat menunjukkan terjadi sindroma radang sistemik.

3. sepsis menunjukkan adanya sindroma radang sistemik dengan tanda demam, menggigil, takipnea, takikardia, hipotensi, nadi cepat dan lemah, serta gangguan mental.

4. mencegah atau mengatasi infeksi lebih lanjut

5. mencegah inflamasi lebih lanjutS :-Pasien mengatakan kondisinya sudah lebih baikO :

-WBC berada dalam batas normal (5000-10.000 / mm3)

-Integritas kulit dan mukosa membaik

-Suhu tubuh dalam batas normal (36 - 370 C 0,50 C)

-Infeksi yang dialami klien teratasi.

-Klien tidak mengalami tanda-tanda inflamasi lebih lanjut

A : tujuan tercapai sebagian (keletihan)

P : Lanjutkan intervensi

a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologis ditandai dengan berat badan 20% atau lebih dibawah berat badan ideal.

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan status nutrisi klien meningkat, dengan kriteria hasil : NOC Label : Nutritional Statusa. Intake nutrisi klien meningkat.b. Intake makanan klien meningkat.c. Intake cairan memenuhi kebutuhand. Rasio BB/TB klien seimbang.(IMT=18-23)NOC Label : Appetitea. Adanya peningkatan nafsu makan.

b. Klien menikmati makanan.

NOC label : Nutritional status : nutrient intakea. Asupan kalori pasien dapat terpenuhi

b. Asupan protein pasien dapat terpenuhi kembali

c. Asupan lemak pasien dapat terpenuhi

d. Berat badan pasien stabil

e. Vital sign pasien stabil (TD : 120/80 mmHg, RR : 14 20 x/menit , NR : 60-100x/menit, T : 36,5-37,5C)

NIC Label : NutritionTherapya. Lakukan pengkajian lengkap mengenai nutrisi klien.

b. Monitor intake makanan klien dan hitung kalori harian.

c. Siapkan pasien makanan tinggi protein, tinggi kalori dan minuman yang siap dikonsumsi.

d. Bantu pasien memilih makanan yang lunak, lembut dan tanpa asam.

e. Berikan perawatan mulut sebelum makan.

NIC Label:Nutrition Monitoring

a. Catat perubahan signifikan status nutrisi klien pada treatment awal.

b. Berat badan klien pada interval yang spesifik.

NIC Label :Nutrition Counselinga. Tentukan intake makanan klien dan kebiasaan makan

b.Identifikasi fasilitas dari pola makan untuk dirubah.

NIC Label : NutritionTherapya. Untuk dapat mengetahui status nutrisi klien sehingga dapat melakukan intervensi yang tepat.

b. Untuk mengetahui apakah jumlah kalori harian sudah terpenuhi

c.Untuk mempercepat peningkatan berat badan klien.

d. Agar lambung pasien tidak terangsang secara berlebihan sehingga pasien tidak nyaman.

e. Agar pasien nyaman sebelum dan selama makan.

NIC Label: Nutrition Monitoringa. Untuk mengetahui apakah intake makanan mampu meningkatkan status nutrisi klien.

b. Untuk dapat mengetahui adanya peningkatan berat badan.

NIC Label :Nutrition Counselinga. Untuk mengetahui kebiasaan makan klien agar dapat menentukan intervensi yang tepat.

b. Agar dapat memperbaiki pola makan klien menjadi lebih baik.

S: klien mengatakan sudah merasa berat badan meningkat, klien mengatakan tidak mengalami rasa haus yang berlebihan.

O: rasio BB/TB klien sudah ideal (IMT=18), tidak ada tanda-tanda dehidrasi, status nutrisi klien meningkat, kebutuhan makanan klien terpenuhi

A: tujuan tercapai.

P: Intervensi dilanjutkan.

Daftar Pustaka

Corwin, Elizabeth. J. ( 2000) Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.Dochterman, Joanne McCloskey et al. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). Missouri : MosbyGanong, William F. 2010. Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran Klinis Edisi 5. Jakarta : EGC

Guidelines for the Diagnosis and Treatment of COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2nd Edition (The Japanese Respiratory Society, 2003)Nanda. 2009. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima MedikaPrice, Sylvia A. ( 2005) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Edisi 6. Jakarta : EGC.Sue Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcame Classification (NOC). United States of America : Mosby

Smeltzer, Suzanne C.,2002,Buku Ajar Keerawatan Medikal Bedah: Brunner & Suddarth, Edisi 8, Vol.2,EGC:Jakarta.