laporan kasus tb

34
LAPORAN KASUS Identitas Nama : Ny. Sakinah Umur : 41 tahun JenisKelamin : Perempuan Agama : Islam Suku/Bangsa: Jaa/Ind!nesia Alamat : Perumahan griya giri mulya "#1 klayak$ Banyuangi Anamnesa: Pasien datang dengan keluhan sesak 1 hari ini mem%erat$ %atuk %erdaha kurang le%ih & %ulan$ keluar keringat dingin$ %erat %adan menurun$ da na'su makan menurun. (iayat penyakit dahulu / peng!%atan : )B/peng!%atan & %ulan %aru %er*alan # %ulan. Pemeriksaan 'isik status generalis +ital sign )ensi : ,-/&- mm g Nadi : 1-- /menit Perna'asan : 0& /menit Status neur!l!gi Kesadaran : !mp!smentis 23 S : 4/ /&5 "iagn!sa : )B paru )erapi/ )indakan : 6 7 # masker 61- IP8 6 In'use (l 1 tpm 6 In*eksi se'!taksim 0 1 amp 6 In*eksi ranitidine # 1 amp 6 !dein 0 1- mg Jika )" 9 1-- drip ampl!dipin dalam " 1- tpm BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang )u%erkul!sis 2)B5 merupakan masalah kesehatan masyarakat yang pentin di dunia ini. Pada tahun 1,,# !rld ealth 7rgani;ati!n 2 75 telah 1

Upload: dnanda-mesioangular-pratama

Post on 07-Oct-2015

47 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

laporan kasus TBC

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

Identitas

Nama

: Ny. Sakinah

Umur

: 41 tahun

JenisKelamin: Perempuan

Agama

: Islam

Suku/Bangsa: Jawa/Indonesia

Alamat

: Perumahan griya giri mulya D21 klayak, Banyuwangi Anamnesa: Pasien datang dengan keluhan sesak 1 hari ini memberat, batuk berdahak kurang lebih 6 bulan, keluar keringat dingin, berat badan menurun, dan nafsu makan menurun.

Riwayat penyakit dahulu / pengobatan : TB/pengobatan 6 bulan baru berjalan 2 bulan.

Pemeriksaan fisik status generalis

Vital sign

Tensi

: 90/60 mmHg

Nadi

: 100x/menit

Pernafasan: 36x/menit Status neurologi

Kesadaran: Composmentis (GCS : 4/5/6) Diagnosa : TB paru Terapi/ Tindakan : O2 masker 5-10 IPM Infuse Rl 15 tpm

Injeksi sefotaksim 3x 1 amp

Injeksi ranitidine 2x1 amp

Codein 3x10 mg

Jika TD > 100 drip amplodipin dalam D5 10 tpmBAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangTuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002; 3,9 juta adalah kasus Basil Tahan Asam (BTA) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah Cina dan India, perkiraan kejadian BTA positif di Indonesia adalah 266.000 kasus tahun 1998. TB menempati peringkat nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut. Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Adapun di Indonesia, Departemen Kesehatan (Depkes) RI memperkirakan ada 169.000-216.000 orang berusia 15-49 tahun yang terinfeksi HIV pada tahun 2006. Untuk Riau sendiri, menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau, terdapat 137 kasus AIDS sampai bulan Oktober 2007. TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak yang ditemukan pada ODHA dan penyebab kematian utama pada pengidap HIV. Angka TB pada ODHA 40 kali lebih tinggi dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Angka TB di seluruh dunia meningkat karena HIV. TB dapat merangsang HIV agar lebih cepat menggandakan diri, dan memperburuk infeksi HIV. Tingkat mortalitas pengidap HIV yang sekaligus mengidap TB empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengidap HIV tanpa TB. Prinsip pengobatan pada HIV/AIDS yaitu mengobati TB terlebih dahulu. Caranya sama dengan pengobatan TB biasa, yaitu dengan memakai strategi DOTS.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi TB & HIVTuberkulosis paru adalah suatu penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang sangat menular dan disebabkan oleh basil Mikobakterium Tuberkulosis. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. Mycobacterium.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan lebar 3, tidak membentuk spora dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi warna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel sehingga mengurangi efektivitas terhadap antibiotik. Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria berperan dalam interaksi antara inang dan patogen menjadikan Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag (Wijaya, agung:2012)Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi. Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala respirasi diantaranya adalah batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). (Wijaya, agung:2012).HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV merupakan virus RNA yang termasuk dalam golongan Retrovirus. Retrovirus anggota famili Retroviridae menurut sistem klasifikasi Baltimore termasukgolongan VI.Human Immunodeficiency Virus adalah virus sitoplastik dari famili Retroviridae. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan virus RNA (Ribo Nucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7 kilobases (kb). Virus HIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur Paris tahun 1983 disebut HIV-1. Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo di Washington dan Jay Levy di San Fransisco tahun 1984. Tahun 1986 HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika Barat.Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2 protein utama envelope virus yaitu glikoprotein (gp) 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran. Glikoprotein 120 memiliki afinititas tinggi terutama regon V3 terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp 41 bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau absorbs.CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk terjadi infeksi HIV yang mempunyai afinitas tinggi tehadap HIV terutama terhadap molekul gp 120. Diantara sel tubuh yang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sel limfosit-T. Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada reseptor CD4 limfosit-T setelah penempelan terjadi fusi kedua membran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T.4.2.1.1 Hubungan TB dengan HIVHIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB), terutama TB paru, saat ini merupakan masalah kesehatan global. TB paru merupakan infeksi oportunistik paling sering terjadi pada penderita HIV/AIDS di dunia. Mycobacterium tuberkulosis adalah agen menular yang dapat muncul sebagai reaktivasi infeksi laten pada pasien imunocompromise atau sebagai infeksi primer setelah penularan dari orang ke orang pada berbagai stadium HIV. Tuberkulosis adalah penyebab kematian pada 13% orang dengan infeksi HIV.Infeksi tuberkulosis dapat muncul sebagai tuberkulosis paru atau tuberkulosis ekstraparu pada berbagai jumlah sel CD4. Gambaran klinis terdiri dari demam, penurunan berat badan, dan gejala konstitusional seperti batuk dan nyeri dada. Tuberkulosis paru merupakan infeksi yang paling sering muncul pada pasien koinfeksi TB-HIV. Tuberkulosis ekstraparu (termasuk keterlibatan limfonodi, sistem saraf pusat dan bakteremia) dapat timbul pada pasien defisiensi imun stadium lanjut.

Gambaran radiologi TB pada pasien HIV dengan CD4 > 200 sel/L sama seperti gambaran TB pada umumnya, dengan predominansi adanya kelainan pada lobus paru atas, infeksi kavitas, dan adanya efusi pleura. Pada pasien defisiensi imun, (jumlah CD4 1,5 mg/dL tanpa disertai ikterus; gejala ikterus dengan Uji fungsi hati normal maka INH, Rifampisin dan PZA dihentikan kemudian diberikan Etambutol dan Streptomisin. Streptomisin dan Etambutol diberikan tidak lebih dari 2 bulan, sambil dipantau fungsi hati; apabila fungsi hati sudah normal, maka regimen pengobatan kembali ke INH, Rifampisin dan PZA. Apabila gejala gangguan fungsi hati tersebut berulang, perlu ditinjau ulang apakah OAT dan ARV dapat diberikan bersama-sama atau tidak. Sedangkan apabila dalam 2 bulan pemberian Etambutol dan Streptomisin ternyata fungsi hati masih tetap tinggi (> 5x batas normal tertinggi), maka sebaiknya pasien dirujuk.

Pemantauan efek hepatotoksik pemberian OAT dan ARV dilakukan melalui pemeriksaan rutin SGOT dan SGPT setiap 1 bulan sekali. Obat Anti TB dihentikan bila SGOT/SGPT meningkat lebih dari 5x nilai normal tertinggi atau kadar bilirubin >1,5 mg/dL tanpa gejala ikterus serta bila terdapat gejala ikterus dengan tes fungsi hati normal.

Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih efek samping OAT dan ARV maka bila memungkinkan pemberian ARV ditunda sampai pasien mendapat OAT 2 bulan tetapi apabila HIV sangat parah yaitu bila TB disertai penyulit seperti batuk berdarah atau TB meningitis, maka ARV dapat dimulai setelah 2-8 minggu pemberian OAT walaupun kemungkinan terjadinya IRIS lebih besar.

5. Efek samping OAT dan penanganannya

Infeksi HIV menyebabkan peningkatan terjadinya efek samping pada pasien yang sedang mendapat OAT terutama efek samping pada kulit dan hepatotoksisitas karena OAT dan kotrimoksasol. Kulit

Efek samping pada kulit dapat berupa nekrolisis epidermal toksik yang mengancam kehidupan maupun rash yang tersebar pada wajah, dada dan seluruh tubuh. Bila pasien mengalami gejala rash, gatal dan demam segera setelah makan OAT, menunjukkan terdapatnya reaksi hipersensitivitas.

Apabila timbul rash ringan dan tidak ada rasa gatal maka OAT dilanjutkan; apabila disertai sedikit rasa gatal maka diberikan antihistamin. Penyebab gatal yang lain perlu dipertimbangkan misalnya skabies.

Bila timbul rash disertai rasa gatal dengan atau tanpa efek samping berat yaitu nekrolisis epidermal toksik atau Steven Johnson syndrome maka semua jenis OAT harus dihentikan sampai klinis membaik.

Bila rash sudah hilang maka OAT dapat diberikan lagi mulai dosis paling rendah (INH 50 mg, Rifampisin 75 mg) dinaikkan secara bertahap sampai mencapai dosis yang sesuai dalam waktu 3 hari.

Bila ada efek samping rash maka OAT diberhentikan sampai tidak ada gejala. Selanjutnya dimulai lagi dari dosis rendah INH 50 mg dan rifampisin 75 mg ditingkatkan bertahap setiap hari selama 3 hari sampai dosis yang diinginkan. Hepatotoksik

Pada pasien sakit TB yang terinfeksi HIV maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan Uji fungsi hati sebelum pengobatan dimulai. Selanjutnya pemeriksaan Uji fungsi hati sebaiknya diperiksa rutin setiap bulan.

Efek hepatotoksik OAT pada pasien terinfeksi HIV lebih sering ditemukan dibanding pasien yang tidak terinfeksi HIV. Obat Anti TB lini pertama yang menimbulkan efek hepatotoksisitas adalah INH, Rifampisin dan PZA. Karena ke-3 obat tersebut diberikan sebagai kombinasi maka agak sulit untuk menentukan obat mana yang menjadi penyebab gangguan fungsi hati. Pemberian kembali OAT tersebut setelah hepatotoksisitas hilang, umumnya tidak menimbulkan efek samping seperti sebelumnya. Streptomisin dan Etambutol jarang sekali menimbulkan hepatotoksisitas. Gejala klinis hepatotoksisitas bervariasi mulai dari gangguan fungsi hati ringan sampai kerusakan hati berat yang menyebabkan gagal hati.

Gejala konstitusional berupa lemah, mual, muntah, demam, mialgia, artralgia dan sakit perut. Druginduced hepatitis (DIH) karena OAT ini harus didiagnosis banding dengan hepatitis virus. Bila ditemukan gejala klinis hepatotoksisitas maka OAT harus dihentikan kecuali bila tetap diperlukan pemberian OAT maka dapat diberikan Streptomisin dan Etambutol. Obat Anti TB dapat diberikan kembali 2 minggu setelah gejala klinis hepatotoksisitas hilang atau Uji fungsi hati normal kembali. Gastrointestinal

Efek gastrointestinal akibat OAT yang paling banyak ditemukan adalah mual, muntah, dehidrasi dan imbalans elektrolit. Efek samping gastrointestinal umumnya tidak memerlukan penghentian obat. Efek gastrointestinal sering merupakan gejala awal efek hepatotoksisitas sehingga diperlukan pemantauan klinis yang baik. Bila gejalanya ringan sampai sedang maka dapat diatasi dengan cara minum OAT bersamaan dengan makanan atau diminum segera sebelum tidur atau memberikan anti emetik. Bila gejala gartritis menonjol maka dapat diberikan antasid atau proton pump inhibitor (PPI) walaupun antasid akan mengurangi absorpsi rifampisin sebesar 20-40%. Antasid atau PPI sebaiknya diberikan 2 jam sebelum atau sesudah makan OAT.

6. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS)

Pemberian ART fase awal menyebabkan penekanan replikasi virus HIV secara cepat (90% virus dalam 1-2 minggu) sehingga terjadi pemulihan sistem imun, peningkatan CD4 yang besar pada fase inisial yang dilanjutkan dengan penurunan jumlah virus. Immune reconstitution inflammatory syndrome merupakan kumpulan gejala atau manifestasi klinis akibat respons imun yang meningkat secara cepat terhadap berbagai infeksi maupun antigen non infeksius setelah pemberian ARV fase inisial.

Organisme yang paling sering menyebabkan IRIS adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium avium, Cryptococcus neoformans dan Cytomegalovirus.

Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah:

a. Munculnya lagi gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi infeksinya. Penyebab terbanyak IRIS adalah TB.

b. Munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik, umumnya disebabkan oleh Mycobacterium

avium, jarang oleh Mycobacterium tuberculosis.

c. Penyakit autoimun dan inflamasi seperti Sarkoidosis.

Gejala klinis IRIS bersifat sementara, misalnya demam, limfadenopati yang bertambah, tuberkuloma intraserebral menjadi muncul kembali, efusi pleura, sindrom distress pernapasan, infeksi subklinis menjadi manifest atau gejala klinis memburuk pada pengobatan TB yang adekuat. Perburukan klinis TB pada pemberian ARV selain disebabkan oleh IRIS, dapat pula disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap antigen Mycobacterium tuberculosis yang mati. Hal ini bukan suatu kegagalan pengobatan dan bersifat sementara. Immune reconstitution inflammatory syndrome dapat juga disebabkan oleh mikobakteria atipik, Pneumocystis jiroveci, Varicella zoster dan virus Herpes simpleks.

Beberapa kriteria yang mendukung diagnosis IRIS pada TB-HIV (3 dari kriteria sebagai berikut):

a. Manifestasi klinis atipikal setelah ARV mulai diberikan.

b. Viral load menurun 1 log10 per mL.

c. CD4 meningkat.

d. Bukan TB relaps atau resisten OAT.

e. Bukan karena ketidakpatuhan minum obat.53

f. Bukan akibat efek samping obat.

g. Bukan karena infeksi lain atau keadaan lain karena HIV.

Immune reconstitution inflammatory syndrome umumnya terjadi pada pemberian OAT bersama-sama ARV selama 2 bulan pertama.

PRINSIP PENGOBATAN

Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status HIV pada pasien TB tetapi mengikuti Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian TB (BPN PPTB). Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu.

1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV

Bila pasien belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapat segera dimulai. Jika pasien dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan TB-nya sampai dapat ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan untuk memulai pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan tatalaksana pasien TB-HIV.

2. Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV

Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB dimulai minimal di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur rencana pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV (pengobatan ko-infeksi TB-HIV). Hal ini penting karena ada banyak kemungkinan masalah yang harus dipertimbangkan, antara lain: interaksi obat (Rifampisin dengan beberapa jenis obat ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu substitusi obat ARV.75Tabel Memulai pengobatan TB pada ODHA di Puskesmas

KondisiTindakan

Pasien TB-HIV yang dalam pengobatan ARV Rujuk ke RS yang dapat memberikan

layanan ARV untuk pengobatan ko-infeksi

TB-HIV

Pasien TB-HIV yang belum dalam pengobatan ARV Berikan pengobatan TB

Rujuk ke RS yang dapat memberikan

layanan ARV

3. Memulai pengobatan ARV pada pasien sedang dalam pengobatan TB

Terapi ARV diberikan untuk semua ODHA yang menderita TB tanpa memandang jumlah CD4. Namun pengobatan TB tetap merupakan prioritas utama untuk pasien dan tidak boleh terganggu oleh terapi ARV.

Seperti telah dijelaskan di atas, pengobatan ARV perlu dimulai meskipun pasien sedang dalam pengobatan TB. Perlu diingat, pengobatan TB di Indonesia selalu mengandung Rifampisin sehingga pasien dalam pengobatan TB dan mendapat pengobatan ARV bisa mengalami masalah interaksi obat dan efek samping obat yang serupa sehingga memperberat efek samping obat.

Paduan pengobatan ARV yang mengandung Efavirenz (EFV) diberikan bila pengobatan ARV perlu dimulai pada pasien sedang dalam pengobatan TB. Di samping itu, ODHA dengan TB juga diberikan PPK. Jadi, jumlah obat yang digunakan bertambah banyak sehingga mungkin perlu beberapa perubahan dalam paduan ARV. Setiap perubahan tersebut harus dijelaskan secara seksama kepada pasien dan Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV yang kemudian sakit TB maka pilihan paduan pengobatan ARV adalah seperti pada tabel di bawah ini:76Tabel Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB

Padu ARV Paduan ARV pada

Paduan ARVPaduan ARV pada saat TB munculPilihan terapi ARV

Lini pertama2 NRTI + EFV*Teruskan dengan 2 NRTI + EFV

2 NRTI + NVP**Ganti dengan EFV atau Teruskan dengan 2 NRTI + NVP. Triple NRTI dapat dipertimbangkan digunakan selama 3 bulan jika NVP dan EFV tidak dapat digunakan.

Lini kedua2 NRTI + PI/rMengingat Rifampisin tidak dapat digunakan bersamaan dengan LPV/r, dianjurkan menggunakan paduan OAT tanpa Rifampisin. Jika Rifampisin perlu diberikan maka pilihan lain adalah menggunakan LPV/r dengan dosis 800 mg/200 mg dua kali sehari). Perlu evaluasi fungsi hati ketat jika menggunakan Rifampisin dan dosis ganda LPV/r

Keterangan:

*) EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan janin) sehingga penggunaan pada Wanita Usia Subur (WUS) harus mendapat perhatian khusus. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 sakit TB, paduan ART yang mengandung EFV dapat dipikirkan untuk diberikan.

**) Paduan yang mengandung NVP dapat digunakan bersama dengan paduan OAT yang mengandung Rifampisin, bila tidak ada alternatif lain.

Pemberian NVP pada ODHA perempuan dengan jumlah CD4 > 250/mm3 harus hati-hati karena dapat menimbulkan gangguan fungsi hati yang lebih berat atau meningkatnya hipersensitifitas.

Setelah pengobatan dengan Rifampisin selesai, NVP dapat diberikan kembali. Waktu mengganti kembali (substitusi) dari EFV ke NVP tidak diperlukan lead-in dose (langsung dosis penuh).

Mengingat hal tersebut di atas, rencana pengobatan ko-infeksi TB-HIV seharusnya dilakukan minimal oleh dokter di RS yang telah dilatih TB-HIV. Pasien yang akan mendapat pengobatan ko-infeksi TB-HIV perlu diberi pengetahuan tentang efek samping pengobatan baik ringan maupun berat dan tindakan yang harus dilakukan selanjutnya.

Petugas kesehatan di Puskesmas dapat melanjutkan pengobatan ko-infeksi TB-HIV setelah paduan pengobatan yang diberikan oleh dokter di RS dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien.77

Seperti halnya pada semua pasien HIV, sebelum memulai pengobatan ARV perlu diberikan konseling kesiapan pasien untuk menerima pengobatan ARV dan implikasinya (pengobatan seumur hidup, kepatuhan pada pengobatan dan kemungkinan efek samping).

Pada waktu memutuskan untuk memulai pengobatan ARV, penting juga difasilitasi untuk mendapatkan akses dukungan nutrisi, psikososial, keluarga dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) untuk menjamin kesinambungan perawatan dan pengobatan. Di bawah ini diberikan contoh pengobatan ko-infeksi TB-HIV:

Mulai pengobatan ARV segera setelah pengobatan TB ditoleransi.

Catatan:

* interval waktu pagi dan malam adalah 12 jam.

Selama pengobatan ko-infeksi TB-HIV diperlukan dukungan terhadap kepatuhan pengobatan sebab banyaknya jumlah tablet yang harus ditelan, kemungkinan efek samping lebih banyak dan tumpang tindih serta dapat terjadi IRIS atau dikenal juga sebagai Sindroma Pulih Imun/SPI. Pada IRIS/SPI, gejala klinis TB bertambah buruk yang membuat pasien dan keluarga merasa tidak nyaman. Hal ini tidak berarti bahwa terjadi penurunan efektifitas obat TB sehingga pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan. Penjelasan ini harus diberikan kepada pasien dan selanjutnya pasien dirujuk ke klinik PDP untuk penanganan lebih lanjut.

Pilihan NRTI: Sama untuk semua ODHA. Tidak ada interaksi obat antara NRTI dan Rifampisin.

Pilihan NNRTI:

EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kadar EFV dalam darah akan menurun bila diberikan bersama dengan Rifampisin. Dosis standar EFV adalah 600 mg per hari.

Kadar NVP juga menurun bila diberikan bersama Rifampisin. Namun dianjurkan pemberian NVP tetap dengan dosis standar. Tetapi karena kemungkinan terdapatnya efek hepatotoksik, paduan berisi NVP hanya digunakan bila tidak ada alternatif lain terutama pada perempuan yang mendapat paduan OAT yang mengandung Rifampisin dengan jumlah CD4 > 250/mm3.PENGOBATAN PENCEGAHAN KOTRIMOKSASOL (PPK)

Beberapa IO pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.

Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.

Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas PPK dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidens infeksi oportunistik.

Penyakit oportunistik yang risikonya dapat dicegah dengan PPK:

Pneumonia Pneumocystis (PCP) dulu disebut Pneumocystis carinii pneumonia sekarang disebut Pneumonia Pneumocystis Jirovecii. Gejala yang timbul: sesak napas bila beraktivitas, batuk kering, demam dan hipoksemia (kadar oksigen dalam darah menurun). Prognosis sering kali buruk.

Abses otak toksoplasmosis: penyakit ini menyebabkan hemiparesis (kelemahan atau kelumpuhan satu sisi tubuh) disertai sakit kepala dan demam.

Pneumonia yang disebabkan oleh S. pneumoniae. Isospora belli: tipe mikroorganisme yang menyebabkan diare kronik yang disertai dengan penurunan berat badan.

Salmonella sp.: gejala gastrointestinal dan demam.

Malaria.Tabel Pemberian Kotrimoksasol sebagai profilaksis primer

IndikasiSaat penghentianDosisPemantauan

Bila tidak tersedia pemeriksaan jumlah

sel CD4, semua pasien diberikan Kotrimoksasol segera

setelah dinyatakan HIV positif2 tahun setelah

penggunaan

kotrimoksasol jika

mendapatkan ARV960 mg/ hari

dosis tunggal

Efek samping berupa tanda hipersensitivitas seperti demam, rash, sindrom Steven Johnson, tanda penekanan sumsum tulang

seperti anemia, trombositopenia, leukopenia, pansitopenia Interaksi obat dengan ARV dan obat lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit terkait HIV

Bila tersedia pemeriksaan jumlah sel CD4 dan terjangkau, kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm3Bila sel CD4 naik >

200 sel/mm3 pada

pemeriksaan dua

kali interval 6 bulan

berturut-turut jika

mendapatkan ARV

Semua bayi lahir dari

ibu hamil HIV positif

berusia 6 minggu

Dihentikan pada usia 18 bulan dengan hasil test HIV negatif

Jika test HIV positif

dihentikan pada usia 18 bulan jika mendapatkan terapi ARVTrimetropim 8

10 mg/kg BB

dosis tunggal

penghentian Dosis ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3; dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk 1) tes kepatuhan pasien dalam minum obat dan 2) menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.Desensitisasi Kotrimoksasol

Dalam keadaan terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap Kotrimoksasol dan kemudian akan memulai lagi maka perlu dilakukan desensitisasi obat. Angka keberhasilan desensitisasi kotrimoksasol cukup tinggi yaitu 70% ODHA yang pernah mengalami reaksi alergi yang ringan hingga sedang.

Desensitisasi jangan dicobakan pada ODHA dengan riwayat mengalami reaksi alergi yang berat (derajat hipersensitivitas 3 atau 4), berarti ODHA tidak memperoleh terapi profilaksis. Untuk itu perlu pengawasan ketat sebelum timbul infeksi oportunistik terkait dan mulai pemberian ARV untuk mencegah pasien masuk dalam fase lanjut.

Tabel Protokol desensitisasi kotrimoksasol

LangkahDosis

Hari 180 mg SMX + 16 mg TMP (2 ml sirup)

Hari 2160 mg SMX + 32 mg TMP (4 ml sirup)

Hari 3240 mg SMX + 48 mg TMP (6 ml sirup)

Hari 4320 mg SMX + 64 mg TMP (8 ml sirup)

Hari 51 tablet dewasa SMX - TMP (400 mg SMX + 80 mg TMP)

Hari 62 tablet dewasa SMX - TMP atau 1 tablet forte (800 mg SMX + 160 mg TMP

osis

Keterangan: Setiap 5 ml sirup Kotrimoksasol mengandung 200 mg SMX + 40 mg TMP

Selain protokol desensitisasi tersebut, terdapat desensitisasi cepat kotrimoksasol yang dapat dilakukan dalam waktu 5 jam (dilakukan pada pasien rawat jalan) dengan protokol sebagai berikut:Tabel Protokol desensitisasi cepat kotrimoksasol.

Waktu (jam)Dosis (TMP/SMX)Dilusi (Pengeceran)

00,004/0,02mg1:10.000 (5mL)

10,04/0,2mg1:1.000 (5 mL)

20,4/2mg1:100 (5mL)

34/20mg1:10 (5 mL)

440/200mgTidak diencerkan (5mL)

5160/800mg1 tablet forte

2.7 Faktor Risiko Terjadinya Koinfeksi Tuberkulosis pada Pasien HIV/AIDSKoinfeksi Tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS menjadi salah satu kendala besar dalam menanggulangi penyakit tersebut. Infeksi Tuberkulosis merupakan hasil dari interaksi kompleks antara lingkungan, host, dan patogen. Strategi komprehensif yang terfokus pada faktor risiko utama TB sangat penting untuk mencapai target Stop TB Partnership.Terdapat banyak risiko tinggi terhadap pasien koinfeksi HIV/TB dalam munculnya TB aktif, baik dari reaktivasi infeksi laten atau dari progresivitas infeksi baru. Risiko munculnya TB pada pasien HIV meningkat 5-15% setiap tahunnya, disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten tersebut, sehingga tergantung pada derajat imunokompromais pada pasien HIV/AIDS. Sebuah penelitian pada penambang emas di Afrika Selatan menunjukkan bahwa risiko Tuberkulosis menjadi dua kali lipat dalam satu tahun infeksi HIV, tetapi hanya meningkat sedikit dalam beberapa tahun kemudian.Dalam hal ini tercatat bahwa TB paru terjadi lebih awal dalam spektrum infeksi HIV dan sering kali sebelum kondisi AIDS. Peningkatan risiko munculnya TB dalam waktu singkat setelah terinfeksi HIV dapat dijelaskan dengan adanya serokonversi penyakit atau sedang bersamaan terinfeksi HIV dan TB. Berdasarkan hal tersebut, individu yang terinfeksi HIV akan lebih rentan terkena TB, sehingga HIV merupakan faktor risiko utama dalam munculnya Tuberkulosis.

Faktor risiko TB dapat dikategorikan menjadi distal dan proksimal. Faktor risiko distal atau faktor status sosial ekonomi diantaranya yaitu kepemilikan rumah, penghasilan, status perkawinan, pekerjaan dan pendidikan. Faktor risiko proksimal terdiri faktor host yang meliputi umur, jenis kelamin, riwayat asma, riwayat diabetes, riwayat merokok, riwayat anemia, jumlah CD4, serta Indeks Masa Tubuh dan faktor lingkungan yang meliputi kondisi rumah, pembuangan limbah, serta kontak dengan pasien TB.Faktor risiko distal atau faktor sosial ekonomi menjelaskan risiko munculnya Tuberkulosis secara tidak langsung dimana faktor risiko proksimal juga meningkatkan pajanan terhadap agen infeksius, sehingga meningkatnya terjadinya koinfeksi Tuberkulosis.

Faktor risiko distal juga erat sekali kaitannya dengan perilaku yang tidak sehat, seperti merokok maupun alkohol. Selain itu, status sosial ekonomi juga merefleksikan seberapa sering kontak dengan orang lain maupun pajanan di lingkungan tempat bekerja yang dapat meningkatkan risiko terjadinya Tuberkulosis.

Faktor risiko proksimal terdiri atas faktor host dan faktor lingkungan, dimana menurut Teori Blum faktor lingkungan mempunyai pengaruh paling besar dalam mempengaruhi terjadinya penyakit.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti penelitian Brulio Matias de Carvalho (2008) diperoleh jenis kelamin laki-laki, status perkawinan belum kawin, dan terapi ARV berhubungan secara signifikan terhadap munculnya Tuberkulosis. Dalam hal ini belum diketahui apakah dominansi laki-laki disebabkan oleh kurangnya data pasien dengan jenis kelamin perempuan atau perbedaan perilaku sosial maupun kombinasi kedua hal tersebut. Penelitian oleh Bellamy dkk (2000) juga menjelaskan kaitan antara kromosom X dengan kerentanan terhadap infeksi Tuberkulosis. Predominansi TB pada pasien yang belum kawin/ single merupakan gambaran dari status sosio-ekonomi, terutama pada laki-laki yang sering berpindah tempat dalam mencari pekerjaan yang lebih baik dan sering melakukan kontak dengan orang lain sehingga meningkatkan risiko terjadinya Tuberkulosis. Beberapa penelitian juga menunjukkan HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) pada pasien HIV. Terapi tersebut dapat memperbaiki sistem imun dan menurunkan mortalitas serta morbiditas. WHO juga menjelaskan bahwa ART (Antiretroviral Therapy) dapat menurunkan viral load dan memperbaiki sistem imun.2.8 Komplikasi TB Paru:a. Batuk Darah (Haemoptoe)

Pada dasarnya proses TB paru adalah proses nekrotik, dan jaringan yang mengalami nekrotik terdapat pembuluh darah. Jumlah darah yang dibatukkan keluar bervariasi mulai dari sangat sedikit sampai banyak sekali, tergantung pada pembuluh darah yang terkena. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lebih lanjut berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetepi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.b. Nyeri DadaNyeri dada akibat infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.c. Hematogen

Penyebaran hematogen terjadi bilamana proses nekrotik mengenai pembuluh darah. Bahan-bahan nekrotik yang penuh basil-basil TB berada dalam aliran darah. Basil-basil ini kemudian akan bersarang di dalam organ tubuh. Hanya ada dua organ tubuh yang memang secara alamiah tidak dapat diserang TB, yaitu otot skelet dan otot jantung.

d. TB LaringsTiap dahak yang mengandung basil dikeluarkan melalui larings, maka basil yang tersangkut di larings akan menimbulkan proses TB di larings maka terjadilah TB larings.

e. PneumothoraksApabila proses nekrotik dekat dengan pleura maka pleura akan bocor, sehingga terjadi pneumathorules (pecahnya dinding kavitas yang berdekatan dengan pleura).f. Abses Paru

Infeksi sekunder dapat mengenai jaringan nekrotik itu sendiri sehingga terjadi abses paru.g. Tuberkulosis MillerPenyakit tersebar secara luas, mengakibatkan terjadinya granuloma kecil di berbagai organ. Lesi sering ditemukan pada paru. Granuloma sering mengandung banyak mikobakteria.

BAB IIIKESIMPULAN & SARAN3.1 Kesimpulana. TB paru merupakan infeksi opportunistik yang paling sering yang ditemukan pada AIDS.b. TB paru dan AIDS saling memperburukc. Angka TB pada ODHA 40 kali lebih tinggi dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV.d. Penatalaksanaan TB pada ODHA sama dengan penatalaksaan TB paru biasa. TB nya diobati terlebih dahulu.3.2 SaranPenyuluhan kepada penderita AIDS tentang bahayanya TB pada AIDSPerlunya pengobatan dini terhadap TB pada AIDSDAFTAR PUSTAKAAditama TY, et al. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006 Agung B. Fantastis, Kasus AIDS di Riau Meningkat Lebih Dari 100 % 2007;Alsagaff H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Airlangga, 2002. 73-108Anonim. Tuberkulosis Plus HIV-AIDS 2008; http://www.aids-ina.org/ [diakses Desember 2008}Anonim. TB & HIV di Indonesia, 2008; http://www.koalisi.org/ [diakses Desember 2008]Anonim. TB dan HIV. 2008; http://www.ODHAindonesia.org [diakses Desember 2008]Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis paru. Dalam: BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 988-993Djoerban Z & Djauzi S. HIV/ AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed/4. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006. 1825-9http://www.yankesriau.wordpress.com/ [diakses Desember 2008]Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Ed/3. Jakarta: Media Aesculapius, 2005. 573-9Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan AIDS 2004; http://www.library.usu.ac.id/ [diakses Desember 2008]Wikipedia Indonesia. AIDS 2008; http://www.id.wikipedia.org/ [diakses Desember 2008]Yayasan Spiritia. Apa AIDS itu? 2008; http://www.spiritia.or.id/ [diakses Desember 2008]Zein U. Tuberkulosis.2007: http://www.infeksi.com [diakses Desember 2008]1