laporan kasus neglected close fracture right …
TRANSCRIPT
Laporan Kasus
NEGLECTED CLOSE FRACTURE
RIGHT SUPRACONDYLAR HUMERUS
Oleh : dr. Nyoman Siska Ananda
Pembimbing : dr. Kadek Ayu Candra Dewi, Sp.OT
BAB I
PENDAHULUAN
Penanganan fraktur humerus distal masih menjadi tantangan hingga saat
ini terutama dalam kelompok umur tertentu. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam penatalaksanaan fraktur humerus distal meliputi artikulasi yang baik,
fiksasi tulang yang kokoh, penyembuhan tulang, gerakan fungsional yang normal,
dan menghindari terjadinya komplikasi. Perlunya pemahaman mengenai anatomi,
morfologi fraktur, pendekatan operatif, hingga implan yang akan digunakan,
sebagai dasar untuk mengobati fraktur jenis ini sehingga akurasi penatalaksanaan
menjadi lebih baik.
Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus,
tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini sering terjadi pada anak-anak
usia kurang dari 7 tahun, sering terjadi pada tangan kiri atau tangan yang non
dominan. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera, yakni fraktur jenis
ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering terjadi.
Tata laksana fraktur suprakondiler pada kelompok anak-anak adalah hal
yang cukup menantang. Reduksi dan pemeliharaan yang tepat penting untuk
proses pemulihan. Tujuan tatalaksana adalah untuk reduksi anatomis dengan aman
dan menghindari terjadinya varus. Malunion berat dapat terjadi, disebut gunstock
deformity, yang terdiri dari varus, rotasi medial dan ekstensi. Deformitas tulang
ini menyebabkan terbatasnya ruang gerak yang tidak bisa dikoreksi.
Neglected fracture adalah fraktur yang tidak ditangani atau ditangani tidak
semestinya, sehingga menghasilkan keadaan keterlambatan penanganan atau
kondisi lebih buruk, bahkan kecacatan. Pasien-pasien trauma patah tulang di
Indonesia kebanyakan masih mempercayakan pengobatannya pada pengobatan
2
patah tulang tradisional. Pada laporan ini akan dibahas mengenai sebuah kasus
neglected closed fracture suprakondiler humerus pada anak-anak.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : I Dewa Gede Davino Naradayana
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 31 Desember 2014
Umur : 4 tahun
CM : 18048951
Alamat : Br Anggarkasih Medahan Blahbatuh Gianyar
MRS : 02/12/2018
Ruangan : Anggrek
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Tidak bisa menekuk siku kanan karena nyeri
Riwayat Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik Orthopaedi RSUP Sanglah dengan keluhan tidak bisa
menekuk siku kanannya karena nyeri sejak 4 minggu yang lalu (4/11/2018).
Awalnya pasien sedang bermain di rumah, tiba-tiba terpeleset dan jatuh ke tanah
dengan tumpuan siku kanannya. Setelah itu pasien dibawa ke tukang pijat
sebanyak dua kali, hari itu dan tiga hari setelahnya. Pasien kemudian dibawa ke
RS Family Husada dan dirujuk ke RSUP Sanglah dengan diagnosis neglected
closed fracture supracondylar humerus.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
TD : 120/80 mmHg
N : 90x/ menit
Tx : 36 C
RR : 20 x / menit
4
BB : 14 kg
Status Generalis
Kepala : Cephal hematom (-)
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-)
THT : Kesan tenang
Maksillofacial : Dalam batas normal
Thorax : Insp : simetris,
Palp : nyeri,krepitasi (-/-)
Perc : Sonor/sonor
Aus : S1S2 single reguler murmur (-), Po: Ves +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen: Insp : distensi (-)
Aus : BU (+)
Palp : defans (-)
Per : timpani
Ekstremitas : hangat ~ sesuai status lokalis
Anogenital : Anus +, Genital + normal
Status Lokalis
Regio elbow dextra
L : Deformitas (+) shortening, angulasi
F : Nyeri tekan (+), CRT <2 detik, SaO2 98%
M : Active ROM Elbow 0/70
Active ROM Wrist 80/90
Active ROM MCP IP 0/90
5
Gambar 1. Foto ekstremitas atas kanan dan kiri saat pertama kali kontrol ke poli
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Gambar 2. Foto polos siku kanan tampak AP/Lateral, RS Family Husada Gianyar
(27/11/2018)
2.5 Diagnosis
Neglected CF Right Supracondylar Humerus
6
2.6 Penatalaksanaan
Osteoclasis + ORIF CCW (4/12/2018)
Laporan Operasi
a. Tanggal : 4 Desember 2018, pukul 09.15 -10.15 WIB
b. Sifat : Elektif
c. Anestesi : General Anasthesia
d. Tindakan : ORIF-CCW
e. Langkah operasi:
a) Pasien terbaring lateral dalam pengaruh GA
b) Prosedur desinfektan dan drapping, persempit lapangan operasi dengan
doek steril
c) Insisi posterior approach ke arah lateral kemudian perdalam lapis demi
lapis, sisihkan nervus ulnaris
d) Insisi otot triceps perdalam hingga terlihat fraktur neglected
e) Melakukan Osteoclasis hingga kalus tidak menutupi fracture site
f) Tulang direduksi. Dipasang K- wire masing masing 1.8 mm sebanyak 2
buah secara menyilang
g) Kontrol perdarahan
h) Cuci luka dengan NaCl 0,9%
i) Dilakukan penjahitan lapis demi lapis
j) Tutup luka dengan kassa steril
k) Pasang gips dorsal slab
l) Pasang armsling
m) Operasi selesai
7
Gambar 3. Foto klinis post op (4/12/2018)
POST OP
Gambar 4. Foto polos siku kanan tampak AP/Lateral, RSUP Sanglah
(04/12/2018)
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Fraktur suprakondiler humerus distal adalah fraktur elbow yang paling
sering pada pasien anak. Mekanisme yang biasa terjadi adalah karena dampak
tidak langsung dari pergeseran posterior dengan garis fraktur ekstrartikuler
melalui kedua condylus humerus. 1 Fraktur suprakondiler biasanya disebabkan
karena hiperekstensi elbow paksa. 2
Gambar 1. A. Fraktur suprakondiler yang tampak jelas mengalami displaced.
B. Tampakan sugestif adanya kerusakan neurovaskuler pada fraktur3
3.2 Epidemiologi dan Etiologi
Fraktur suprakondiler humerus adalah salah satu fraktur yang sering terjadi
pada anak-anak usia kurang dari 7 tahun. Usia puncak terjadinya fraktur ini adalah
5 – 6 tahun, dimana pada usia ini anak-anak memiliki kerentanan ligamen dan
hipereketensi yang lebih besar dibandingkan usia lain.3,4
Fraktur ini lebih sering
terjadi pada anak-anak dengan persendian hiperekstensi alami, kemungkinan
karena hiperekstensi normal 10-20° membuat pergerakan lengan lebih efisien.
Selain karena keadaan hiperekstensi, kelemahan ligamen juga meningkatkan
9
risiko terjadinya fraktur ini. 2,3
Terdapat tipe ekstensi dan fleksi, namun tipe
ekstensi lebih sering 4
Fraktur suprakondiler humerus paling sering karena jatuh dari ketinggian.
Biasanya pada lengan yang tidak dominan (dan biasanya lengan kiri karena hanya
8% - 15% populasi yang dominan tangan kiri) yang menghantam tanah terlebih
dahulu dan terjadi sangat keras. Untungnya, sebagian besar fraktur suprakondiler
adalah isolated injury. 3
Banyak dilaporkan anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami fraktur suprakondiler, tetapi laporan kami menunjukkan lebih
dominan perempuan untuk mengalami cedera ini. Perempuan lebih sering
mengalami hiperekstensibilitas sendi alami dibandingkan dengan pria, sehingga
dapat meningkatkan risiko mereka.2
Mekanisme cedera secara anatomi adalah olecranon bertemu dengan fossa
olecranon, dan kapsul anterior secara bersamaan memberikan ketegangan anterior.
Kombinasi kedua kekuatan traumatis ini memicu fraktur ekstensi melalui tulang
suprakondiler tipis yang berada di distal humerus. Hanya sekitar 1% dari cedera
ini adalah fraktur terbuka, tetapi fraktur terbuka rentan dengan terjepitnya otot
brachialis, periosteum, struktur neurovaskular, dan kulit dan jaringan subkutan
pada lokasi fraktur.3
Sekitar 8% fraktur terbuka mengalami cedera saraf. Semakin besar
pergeseran yang tejadi, semakin besar risiko kerusakan neurovaskulernya. Fraktur
displaced berisiko 20-40% mengalami cedera neurovaskuler. Fraktur
suprakondiler selain fraktur yang tersering, juga merupakan fraktur elbow yang
paling berisiko pada anak-anak.3
3.3 Klasifikasi
Klasifikasi standar untuk fraktur suprakondiler humerus adalah tipe
ekstensi dan tipe fleksi. Fraktur tipe fleksi lebih jarang dan tampak adanya
fragmen distal di anterior corpus humerus pada rontgen lateral. Sedangkan untuk
tipe ekstensi terbagi menjadi beberapa tipe yaitu tipe I, II, dan III. 2
10
Fraktur ekstensi
Tipe IA Displacement : (-)
Varus, valgus : (-)
Garis humerus anterior pada rontgen
lateral
Tipe IB Displacement : minimal dengan
medial cortex buckle
Capitellum terpotong oleh garis
humerus anterior
Tipe IIA Displacement: lebih besar dengan
korteks posterior maish intak
Capitellum terpotong oleh garis
humerus anterior dan posterior
Rotasi (-)
Tipe IIB Displacement : lurus atau rotatoar
Dengan beberapa fraktur masih
kontak satu sama lain
Tipe IIIA Displacement: posterior komplit tanpa
kontak kortikal, paling sering
posteromedial
Tipe IIIB Displacement: besar dengan adanya
celah jaringan lunak di antara ujung
tulang, overlap signifikan dan atau
displacement rotatoar
Kontak fraktur (-)
Fraktur fleksi
11
Displacement: anterior (jarang)
3.4 Evaluasi Klinis
Pemeriksaan fisik yang teliti pada kasus akut adalah hal yang wajib.
Manifestasi klinisnya dapat berupa bengkak dan nyeri minimal hingga adanya
deformitas. Palpasi dair clavicula sampai manus perlu dilakukan. Lakukan
pengawasan suhu tubuh, pemeriksaan fisik umum untuk melihat adanya efusi
sendi atau bercak kulit, serta pemeriksaan laboratorium untuk infeksi atau
inflamasi juga bisa dilakukan. Adanya posterior pad sign pada rontgen lateral
mengarah ke fraktur yang nondisplaced. Sedangkan fraktur displaced tampak
sebagai deformitas dan perlu dilakukan pemeriksaan yang sangat hati-hati
mengenai ada tidaknya kerusakan neurovaskuler. Inspeksi pada fossa cubiti
anterior adakah fraktur terbuka, terutama bila ada tarikan kulit atau ekimosis.
Lihat apakah ada kerutan kulit yang menunjukkan adanya tonjolan metafisis dari
fragmen proksimal yang terjebak dalam jaringan subkutan. Pucker sign
menunjukkan adanya kerusakan otot brachialis, jaringan lunak, dan risiko
rusaknya neurovaskuler. Pada fraktur displaced lakukan pemeriksaan saraf mayor
(medianus, radialis, dan ulnaris) dan pemeriksaan vaskuler (perabaan nadi, waktu
pengisian kapiler, dan warna kulit). 3
3.5 Diagnosis Banding
1. Infeksi
a. Arthritis septik
b. Osteomyelitis
2. Arthritis inflamasi
a. Lyme
b. Arthritis rheumatoid juvenil
3. Nursemaid’s atau pulled elbow3
12
3.6 Penatalaksanaan
1. Umum
Tata laksana fraktur suprakondiler pada kelompok anak-anak adalah hal
yang cukup menantang. Reduksi dan pemeliharaan yang tepat penting
untuk proses pemulihan.5
Sebelum dilakukan manajemen definitif, elbow sebaiknya dibidai padai
posisi 300. Memflesikan fraktur suprakondiler yang displaced dalam bidai
cenderung menekan struktur neurovaskuler. Selain itu, membidai dalam
posisi ekstensi penuh dapat meningkatkan tekanan dalam struktur
neurovaskular (karena spikula dari fraktur distal humerus). Tidak
bijaksana membuat anak dengan iskemia ekstremitas menunggu hasil
radiografi. Pasang bidai pada sebelum radiografi diambil untuk mencegah
teknisi memutar lengan fraktur.
Perawatan spesifik dari cedera ini memiliki dua tujuan:
a. Menghindari masalah neurologis dan vaskular
b. Mencegah deformitas angular (biasanya cubitus varus) dan ekstensi
jangka panjang
Cubitus varus dulu dianggap sebagai "kelainan kosmetik" tetapi
sekarang diakui sebagai suatu kondisi yang menempatkan anak pada
risiko untuk mengalami patah tulang di kemudian hari. 2
2. Khusus
a. Berdasarkan tipe fraktur
1) Fraktur ekstensi tipe I
Sebagian besar fraktur suprakondiler tipe I dapat diobati dengan
imobilisasi gips(sekitar 3 minggu). Sebelum memutuskan
manajemen konservatif, elbow kontralateral harus diperiksa untuk
hiperekstensinya. Jika pasien secara alami memiliki kelemahan
ligament dan hiperekstensi yang signifikan, sedikit peningkatan
pada ekstensi karena fraktur suprakondiler dapat menyebabkan
deformitas yang signifikan. Dengan demikian, semakin rentan
ligament anak tersebuk, semakin besar indikasi untuk dilakukan
reduksi. Selama periode imobilisasi, penting untuk memantau hasil
13
rotgen untuk memastikan bahwa fraktur tidak displace menjadi
ekstensi lebih lanjut atau varus.
Tipe IA biasanya merupakan fraktur yang sangat stabil,
tetapi tipe IB lambat laun bisa menjadi varus karena buckle korteks
medial. Kegagalan untuk mengenali fraktur IB dapat menyebabkan
hasil yang buruk dan terjadi cubitus varus jika manajemen
konservatif dipilih dan pasien tidak diikuti dengan seksama. Gips
harus dibentuk dengan tepat untuk melawan kolaps varus dan
thumb-print lembut pada fossa olecranon dapat membantu
mencegah perluasan fraktur suprakondiler. 2
2) Fraktur ekstensi tipe II
Fraktur tipe II ini perlu dilakukan reduksi untuk mencegah
hiperekstensi dan deformitas anguler dan perlu dilakukan evaluasi
mengenai adanya rotasi atau tidak. Reduksi tertutup dapat
dipertahankan dengan gips atau bida tetapi meningkatkan risiko
kerusakan neruovaskuler dan sudah tidak direkomendasikan pada
center yang mampu melakukan percutaneous pinning. Tipe IIA
masih dapat dimanajemen dengan gips, tetapi lebih
driekomendasikan dilakukan redukais dan pemasangan pin pada
seluruh fraktur tipe II. Percutaneous pinning mempertahankan
redukasi fraktur dan juga memberikan posisi gips yang aman
(fleksi <900).
2
3) Fraktur ekstensi tipe III
Seluruh fraktur tipe III memerlukan reduksi dan fiksasi internal.
Pada area dimana teknik percutaneous pinning tidak tersedia,
metode traksi bisa digunakan walau tidak efektif. Sebagian besar
reduksi dapat dilakukan secara tertutup dengan disertai
percutaneous pinning. Pada beberapa keadaan, seperti bila posisi
jaringan lunak mencegah redukasi anatomis atau bila ada cedera
arteri brachialis, reduksi harus dilakukan secara terbuka 2,3
b. Pilihan prosedur
1) Prosedur nonpembedahan
14
Reduksi tertutup dan imobilisasi (gips, collar, dan cuff), serta traksi
bisa jadi berhasil. Namun semuanya itu meingkatkan risiko
terjadinya malunion dan lebih ditinggalkan sekarang.3
Manajemen
dengan traksi juga menambah waktu rawat inap dan sulit
diterapkan pada populasi pediatri. 5
2) Prosedur pembedahan
Keputusan untuk menatalaksana fraktur suprakondiler dengan
pembedahan tergantung pada kualitis reduksi, kemampuan
mempertahankan reduksi, derajat displacement, dan stabilitas
fraktur. 6 Standar tata laksana sekarang untuk fraktur suprakondiler
displaced adalah reduksi tertutup dengan percutaneous pinning
(CRPP). Variasi pembedahan terletak pada berapa banyak pin yang
digunakan (dua, tiga, atau lebih), lokasi masuk (hanya lateral atau
medial dan lateral), dan sudut peletakan pin (paralel atau divergen),
distal ke proksimal (paling sering) atau proksimal ke distal.
Sedangkan pendekatan untuk ORIF diindikasikan bila terjadi
avascular limb, fraktur yang tidak bisa direduksi atau fraktur
terbuka. 3
Berdasarkan hasil meta-analisis yang dilakukan, metode pinning
lateral lebih dipilih dibandingkan dengan cross pinning pada
fraktur suprakondiler anak-anak karena lebih rendahnya risiko
cedera saraf ulnaris.6
Walaupun sebenarnya cross pinning
memberikan stabilisasi fiksasi yang lebih baik pada kasus fraktur
suprakondiler displaced. Cedera saraf ulnaris dapat dihindari
dengan insersi hati-hati dan palpasi saraf ulnaris saat pemasangan
pin atau saat melakukan insisi kecil pada condylus medialis. 4
15
Diagram 1. Manajemen Fraktur Suprakondiler pada Neurovaskuler Intak 2
Diagram 2. Manajemen Fraktur Suprakondiler pada Neurovaskuler Abnormal 2
16
3. Perawatan pascaoperatif
Setelah dilakukan CRPP, tipe imobilisasi tergantung dari jumlah jaringan
lunak yang rusak dan risiko bengkak. Fraktur tipe II dengan bengkak sedan
dan manuver reduksi tungga dapat digips secara fleksi 800, dengan gips
terpisah. Gips dapat dikencangkan atau ditambah dalam 1 minggu. Pada
fraktur tipe III secara umum sbeaiknya tidak segera digips kecuali gips
bivalvuler (dua katup). Pilihan lebih baik adalah dengan bidai posterior pada
minggu pertama, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan gips.
Direkomendasikan melakukan pengawasan pada pasien yang menjalani CRPP
untuk memastikan ada tidaknya kerusakan neurovaskuler sehingga bisa
tertangani segera.
Tiga minggu setelah pembedahan, gips dapat dilepas dan percutaneous
pinning juga bisa dilepas. Pin yang tidak dilepas lebih dari 3 minggu memicu
terjadinya infeksi. Perlu dicatat bahwa fraktur suprakondiler jarang terjadi
displace setelah 3 minggu dan risiko kekakuan meningkat jika siku
diimobilisasi pada keadaaan fleksi lebih dari 3 minggu. 2
3.7 Prognosis dan Komplikasi
Fraktur suprakondiler berhubungan dengan beberapa komplikasi, seperti
malunion, cedera saraf mayor, cedera pembuluh darah besar, kontraktur iskemik
Volkmann, miositis ossificans, deformitas cubitus varus, sindrom kompartemen,
osteonekrosis, keterbatasan fungsi tangan dan lengan. 3,5
Refraktur, fraktur
condylus lateral dan ketidakstabilan sendi bahu jarang terjadi karena cubitus
varus. Komplikasi minor seperti pergeseran pin atau infeksi (<1%-3%) jarang
terjadi dan mudah diatasi. Infeksi pada jaringan dalam lebih rumit dan
membutuhkan terapi antibiotik jangka panjang.3
Tujuan manajemen adalah untuk reduksi anatomis dengan aman dan
menghindari terjadinya varus. Malunion parah dapat terjadi, disebut gunstock
deformity, yang terdiri dari varus, rotasi medial dan ekstensi. Deformitas tulang
17
ini menyebabkan terbatasnya ruang gerak yang tidak bisa diperbaiki sekalipun
dengan fisioterapi. 2
3.8 Neglected Fracture
Neglected fracture dengan atau tanpa dislokasi adalah fraktur dengan atau tanpa
dislokasi yang tidak ditangani atau ditangani tidak semestinya, sehingga
menghasilkan keadaan keterlambatan penanganan atau kondisi lebih buruk,
bahkan kecacatan. Pasien-pasien trauma patah tulang di Indonesia kebanyakan
masih mempercayakan pengobatannya pada pengobatan patah tulang tradisional,
karena dianggap lebih terjangkau dalam hal biaya dan jarak, dan menghindari
tindakan bedah yang invasif. Pasien sering datang ke dokter bedah tulang setelah
gagal di pengobatan patah tulang tradisional dengan keadaan patah tulang yang
mengalami komplikasi. Pada penelitian di RSCM dan RS Fatmawati, Jakarta,
Februari – April 1975, neglected fracture adalah penanganan patah tulang pada
ekstremitas (anggota gerak) yang salah oleh bone setter (dukun patah tulang).
Lebih dari 50% komplikasi pada pengobatan fraktur oleh traditional bone setter
(pengobat patah tulang tradisional) adalah malunion, 25% nonunion, sisanya
delayed union, gangren, kekakuan sendi, Volksman’s ischaemic contracture, dan
tetanus. Hanya satu di antara 36 orang (2,8%) yang tidak memiliki keluhan dan
puas dengan pengobatan patah tulang tradisional. Hasil pengobatan patah tulang
tradisional sering kali buruk, bahkan disertai kecacatan.7
18
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Aspek Diagnosis
Pasien ini berusia 4 tahun merupakan rujukan dari RS Family Husada
Gianyar dengan diagnosis Neglected Closed Fracture Supracondylar Humerus.
Pasien datang ke poliklinik Orthopaedi RSUP Sanglah dengan keluhan tidak bisa
menekuk siku kanannya karena nyeri sejak 4 minggu yang lalu (4/11/2018).
Awalnya pasien sedang bermain di rumahnya, tiba-tiba terpeleset dan jatuh ke
tanah dengan tumpuan siku kanannya. Pasien tidak mendapatkan penanganan
medis yang baik selama 4 minggu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan deformitas
pada regio elbow dekstra berupa shortening dan angulasi, nyeri tekan dan active
ROM siku yang terbatas karena nyeri. Dari pemeriksaan foto polos regio elbow
dekstra didapatkan fraktur displaced suprakondiler humerus dextra, mulai tampak
proses healing. Pasien didiagnosis dengan neglected closed fracture
suprakondylar humerus tipe ekstensi ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan
penunjang tersebut diatas.
Berdasarkan mekanisme cedera pada pasien yakni dengan posisi tangan
kanan menopang tubuh saat terjatuh, terjadi hiperekstensi sendi siku. Jatuh dalam
keadaan tangan terlentang membentuk hiperekstensi siku dengan olecranon
bertindak sebagai titik tumpu. Kasus ini merupakan fraktur suprakondiler
humerus tipe ekstensi. Bagian anterior dari kapsul secara simultan memberikan
gaya regang pada humerus bagian distal terhadap insersinya. Tekanan ekstensi
yang kontinyu akan mengakibatkan segmen posterior humerus terdesak ke distal
dan terpeluntir ke anterior yang dapat mengakibatkan kerusakan segmen anterior
neurovaskular. Jika patahan mengarah ke sisi medial, saraf radialis akan berisiko
sedangkan jika mengarah ke sisi lateral akan menjepit arteri brakialis dan saraf
medianus.
Fraktur suprakondiler humerus merupakan fraktur yang sering terjadi pada
anak karena kolum bagian medial dan lateral dari humerus distal dihubungkan
oleh segmen tipis dari tulang antara olecranon pada bagian posterior dan coronoid
pada fosa anterior, yang menyebabkan tingginya resiko terjadinya fraktur pada
19
daerah tersebut. Fraktur tersebut telah dibiarkan selama 4 minggu dan telah
terbentuk kalus pada daerah patahan yang dapat dikategorikan sebagai
neglected fracture.
4.2 Aspek Penatalaksanaan
Tatalaksana yang diberikan berupa membersihkan kalus (osteoclasis)
untuk membentuk fraktur site dan ORIF dengan pemasangan K-wire
sebanyak dua buah pada epikondilus medialis dan epikondilus lateralis
kemudian dilakukan pejahitan lapis demi lapis hingga kulit. Setelah itu
dilakukan pemasangan splinting pada bagian dorsal pada arm dan forearm.
Kemudian dilakukan pemasangan elastis verban dan armsling pada posisi
200- 40
0 yang bertujuan untuk imobilisasi. Penggunaan splinting
dipertahankan selama 3 minggu.
20
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pasien datang dengan keluhan tangan kiri sulit ditekuk. Keluhan
dirasakan sejak 5 minggu SMRS akibat terjatuh dari pohon jambu setinggi ± 2,5
m dengan posisi tangan kiri menopang tubuh pasien. Setelah kejadian tersebut
pasien dibawa berobat ke dukun patah namun tidak ada perubahan yang berarti.
Pada pemeriksaan generalis dalam batas normal. Pemeriksaan lokalis regio brachii
sinistra didapatkan deformitas, nyeri tekan, neurovaskular distal dalam batas
normal dan range of movement terbatas fleksi. Pemeriksaan penunjang berupa
rontgen brachii AP/Lateral sinistra didapatkan adanya fraktur 1/3 proximal
humerus sinistra. Diagnosis pasien adalah neglected fraktur suprakondiler
humerus derajat II. Tatalaksana yang diberikan berupa membersihkan kalus
untuk membentuk fraktur site dan ORIF dengan pemasangan K-wire
sebanyak dua buah pada epikondilus medialis dan epikondilus lateralis serta
juga dilakukan pemasangan drainase didalam luka operasi kemudian dijahit.
Kemudian dilakukan pemasangan elastis verban dan armsling pada posisi
200- 40
0 yang bertujuan untuk imobilisasi. splinting dipertahankan selama 3
minggu.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Muccioli C, ElBatti S, Oborocianu I, Rosello O, Solla F, Chau E, Clement JL,
Rampal V (2017). Outcomes of Gartland Type III Supracondylar Fractures
Treated Using Blount’s Method. Orthopaedics and Traumatology: Surgery
and Research.
2. Rang M, Pring ME, Wenger DR (2005). Rang's Children Fractures.Edisi ke-
3. Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Waters P, Bae DS (2012). Pediatric Hand and Upper Limb Surgery: A
Practical Guide. Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Younus S, Peracha A, Shah SKA, Iqbal F, Memon N, Najjad MR (2018).
Percutaneous Pinning for Displaced Supracondylar Humerus Fractures in
Pediatric Age Group: Comparison between Lateral Pinning Versus Crossed
Pinning Techniques. Ortho & Rheum Open Access J 11(3):
OROAJ.MS.ID.555817
5. Basha MI, Srinivasan, Reddy VN (2008). Displaced supracondylar fractures
of the humerus treated by closed reduction with percutaneous pin fixation.
International Journal od Orthopaedics Sciences,4(2): 169-171.
6. Woratanarat P, Angsanuntsukh C, Rattanasiri S, Attia J, Woratanarat T,
Thakkinstian A (2012). Meta-Analysis of Pinning in Supracondylar Fracture
of the Humerus in Children. J Orthop Trauma, 26:48–53
7. Wahyudiputra AG, Khoirur HD, Hakim RA, Narendra MR (2015). Spektrum Penderita Neglected Fracture di RSUD dr. Abdoer Rahem – Januari 2012 s/d
Desember 2013. CDK-225, 42(2):97-100