laporan kasus anestesi

41
LAPORAN KASUS ANESTESI TRACHEOSTOMY DENGAN GENERAL ANESTESI TIVA Disusun oleh: Muhammad Zulkham Faza 01.210.6231 Pembimbing: dr. Meriwijanti, Sp.An (KIC) KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

Upload: zulkham

Post on 10-Feb-2016

345 views

Category:

Documents


34 download

DESCRIPTION

anestesiologist

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Anestesi

LAPORAN KASUS ANESTESI

TRACHEOSTOMY DENGAN GENERAL ANESTESI TIVA

Disusun oleh:

Muhammad Zulkham Faza

01.210.6231

Pembimbing:

dr. Meriwijanti, Sp.An (KIC)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

RSUD DR. ADHYATMA, MPH TUGUREJO

SEMARANG

2015

Page 2: Laporan Kasus Anestesi

HALAMAN PENGESAHAN

NAMA : MUHAMMAD ZULKHAM FAZA

NIM : 01.210.6231

FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS : UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

BIDANG PENDIDIKAN : ANESTESI

PEMBIMBING : dr. MERIWIJANTI, Sp.An (KIC)

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Mei 2015

Pembimbing,

(dr. Meriwijanti , Sp.An (KIC) )

Page 3: Laporan Kasus Anestesi

DAFTAR MASALAH

No Masalah aktif Tanggal Ket No Masalah pasif Tanggal Ket

1 SNH 29/04/2015 Elektif

Page 4: Laporan Kasus Anestesi

LAPORAN KASUS

STATUS PENDERITA

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. N

Umur : 63 th/10 bl/7 hr

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Status : Menikah

No RM : 47-37-50

Tanggal masuk : 22 April 2015

Perawatan : Hari ke-8

Pasien bangsal : ICU

2. Keluhan Utama

Penurunan kesadaran, Gagal nafas

2.1. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dibawa ke IGD RSUD dr. Adhyatma, MPH Tugurejo pada tanggal 22

April 2015, karena tidak bisa bicara, tangan kiri dan kaki kiri tidak dapat

digerakkan pada tanggal 10 April 2015. Sebelummnya pasien sedang tidur dan

saat terbangun dari tidurnya tangan kiri dan kaki kiri sulit untuk digerakkan tidak

bisa bicara, dan kesadaran menurun. Sebelumnya pada tanggal 10 April 2015

pasien sudah dirawat di RS. Prima Medika , Pemalang. Karena keterbatasan

fasilitas alat kesehatan, keluarga sepakat membawa pasien ke RSUD Dr.

Adhyatma, MPH Tugurejo semarang.

2.2. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat penyakit yang sama: Positif

2. Riwayat penyakit jantung : disangkal

3. Riwayat penyakit paru : disangkal

4. Riwayat DM : disangkal

5. Riwayat kejang : disangkal

Page 5: Laporan Kasus Anestesi

6. Riwayat alergi obat : disangkal

7. Riwayat Hipertensi : Positif

2.3. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat penyakit yang sama : Positif

2. Riwayat penyakit jantung : disangkal

3. Riwayat penyakit paru : disangkal

4. Riwayat DM : disangkal

5. Riwayat stroke : disangkal

6. Riwayat kejang : disangkal

7. Riwayat Hipertensi : Positif

2.4. Riwayat Pribadi

1. Riwayat merokok : Positif

2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal

3. Riwayat minum jamu : disangkal

3. Persiapan Pre Operasi

3.1 Anamnesis (28 April 2015)

A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan penyakit

M (Medication) : Tidak ada

P (Past Illnes) : Riwayat DM (-), HT (+), asma (-)

L (Last meal) : Puasa mulai pukul 00.00 WIB (8 jam sebelum operasi)

E (Environment) : Tracheostomy

3.2. Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (28 April 2015)

Tanda Vital

TD : 130/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit

RR : 14 x/menit

SaO2 : 100 %

Suhu : 36,7oC

TB : 165 cm

BB : 65 Kg

Page 6: Laporan Kasus Anestesi

Jantung : dbn

Paru : dbn

Mulut, gigi daan jalan nafas : sulit dinilai

Ekstremitas : sulit dinilai

Genitalia : dbn

Lain lain :dbn

Pemeriksaan Penunjang (26 April 2015)

HEMATOLOGI

Darah rutin (WB EDTA) Nilai Normal

1. Leukosit : 21,79 103/uL (H) 3,6-11 103/uL

2. Eritrosit : 3,73 103/uL (L) 3,8-5,2 103/uL

3. Hemoglobin : 10,00 g/dL (L) 11,7-15,5 g/dL

4. Hematocrit : 29,20 % (L) 35-47 %

5. MCV : 78,30 fL (L) 80-100 fL

6. MCH : 26,00 pg 26-34 pg

7. MCHC : 34,20 g/dL 32-36 g/dl

8. Trombosit : 410 103 /uL 150-400 103 /uL

9. RDW : 15,20 % (H) 11,5-14,5 %

10. Diff Count

a. Eosinophil absolute : 0,07 103 /uL 0,045- 0,44 103 /uL

b. Basophil absolute : 0,03 103 /uL 0-0,2 103 /uL

c. Netrofil absolute : 17,91 (H) 103 /uL 1,8-8 103 /uL

d. Limfosit absolute : 2,26 103 /uL 0,9-5,2 103 /uL

e. Monosit absolute : 1,52 (H) 103 /uL 0,16-1 103 /uL

f. Eosinophil : 0,30 % (L) 2-4 %

g. Basophil : 0,10 % 0-1 %

h. Neutrophil : 82,20 % (H) 50-70 %

i. Limfosit : 10,40 % (L) 25-40 %

j. Monosit : 7,00 % 2-8 %

k.

KIMIA KLINIK(SERUM B)

1. Kalium 3,40 (L) mmol/L

2. Natrium 132 (L) mmol/L

Page 7: Laporan Kasus Anestesi

3. Chlorida 103 mmol/L

4. Calsium 7,5 (L) mg/dL

5. Albumin 1,9 (L) g/dL

4. Laporan Anesthesi Durante Operasi

Tindakan operasi : Tracheostomy

Jenis anestesi : General Anestesi TIVA

Lama anestesi : 11.30 – 13.00 WIB

Lama operasi : 11.35 – 12.50 WIB

Premedikasi : - Ondancetron 4 mg/2ml (I.V)

- Atropine 0,25 mg (I.V)

Induksi : Propofol 50 mg (I.V)

Maintenance : O2 6 L/menit

Adjuvantia : Ketamin 2,5 mg (I.V)

Hipnoz 2mg (I.V)

Terapi cairan : RL 20 tpm

Post operasi : Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery room

4.1 Tindakan Anestesi General Anestesi TIVA

Pasien diposisikan supinasi atau terlentang, dilakukan pemasangan manset dan

oximeter untuk monitoring dan penilaian kondisi umum awal, cairan di ganti

jenis RL.Injeksi obat premedikasi ondancetron 4mg i.v , Sulfa Atropin 0,25

mg i.v

Kemudian siapkan spuit 10 ml, masukkan propofol 50 mg untuk induksi.

Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.

Page 8: Laporan Kasus Anestesi

4.2 Pemberian Cairan

Cairan masuk

Pre operatif : RL 500 cc

Durante operatif : RL 500 cc

Cairan keluar

Perdarahan : ± 100 cc

Pasca Bedah di Recovery Room (RR)

Recovery Room

Masuk jam : 13.05 WIB

Pulang jam : 13.15 WIB

Keadaan Umum : Baik

Respon Kesadaran : Terjaga

Status mental : Sadar penuh

Jalan nafas : Nasal

Pernafasan : Teratur

Terapi Oksigen : Nasal Canul

Sirkulasi anggota badan: Merah muda

Kulit : Hangat

Posisi Pasien : Supinasi

Nadi : Teratur

Infus : RL

Tanda Vital

TD : 140/90 mmHg

Nadi : 83 x/menit

RR : 16 x/menit

SaO2 : 100%

TB : 165 cm

BB : 60 Kg

Instruksi Post Operasi Dengan General Anestesi TIVA

o Sadar penuh, mual (-), muntah (-), makan dan minum bertahap

o Oksigen 6 liter/menit

Page 9: Laporan Kasus Anestesi

o Monitor KU dan hemodinamik

Infus : RL 20 tpm

Inj. Tramadol 3 x 100 mg drip mulai jam 18.00 WIB

Inj. Ketolorac 3 x 30 mg iv bila nyeri mulai jam 18.00 WIB

Page 10: Laporan Kasus Anestesi

PEMBAHASAN

1. Pre Operatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan

pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi.

Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat

mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis

operasi yang akan di gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi

seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu,

dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa

menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre

operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.

Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi

klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan

anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal.

Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien

tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform

consent.

History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi

terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus

dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat

penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan

(termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen

anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi

anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk

mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik

dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking,

sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ

tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien

yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah,

heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan

Page 11: Laporan Kasus Anestesi

system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi

regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi

regional.

Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi

geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting

untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian

masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan

abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan

tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang

terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek

mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.

Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang

sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi

adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak dokter yang tetap

memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes

koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien.

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping

anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA

diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk

ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga

berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease

hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif,

maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu,

klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi,

terutama teknik monitoring.

klasifikasi status fisik ASA

Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa

limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas

normal.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan

memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas

sehari-hari.

Page 12: Laporan Kasus Anestesi

Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau

tanpa pembedahan.

Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung

dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien

yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang

dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan

oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4

jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman

bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih

dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.

Terapi Cairan

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,

kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya

intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya

pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus

menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari

tabel dibawah:

Kebutuhan Cairan Selama Operasi

Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi

Ringan 4 cc/kgBB/jam

Sedang 6 cc/kgBB/jam

Berat 8 cc/kgBB/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit

cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan

maintenance dengan waktu puasa.

Penggantian Cairan Selama Puasa

50 % selama jam I operasi

Page 13: Laporan Kasus Anestesi

25 % selama jam II operasi

25 % selama jam III operasi

Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan

tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

• Meredakan kecemasan dan ketakutan

• Memperlancar induksi anesthesia

• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

• Meminimalkan jumlah obat anestetik

• Mengurangi mual muntah pasca bedah

• Menciptakan amnesia

• Mengurangi isi cairan lambung

• Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml.

Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan

mual dan muntah.

2. Durante Operasi

Pada pasien ini obat induksi yang di gunakan adalah propofol I.V. TIVA adalah

teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat

jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan buat

mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok

mental, refleks, sensoris dan motorik. Atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu

1.      Amnesia

2.      Arefleksia otonomik

3.      Analgesik

4.      +/- relaksasi otot

Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan kombinasi dari

obat-obatan intravena yang dapat melengkapi keempat komponen tersebut. Kebanyakan obat

Page 14: Laporan Kasus Anestesi

anestesi intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di atas kecuali Ketamin yang

mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai agen anestesi intravena yang paling

lengkap.

Kelebihan TIVA:

1.      Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang

lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.

2. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi

sekitar jalan nafas atau paru-paru.

3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang

khusus.

DEFINISI ANESTESI INTRAVENA

Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan

obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut digunakan

untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya

tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada

tindakan analgesia regional. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat –

obat anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti,

Tiopenton, Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.

INDIKASI ANESTESI INTRAVENA

1.      Obat induksi anesthesia umum

2.      Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat

3.      Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat

4.      Obat tambahan anestesi regional

5.      Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi).

Page 15: Laporan Kasus Anestesi

CARA PEMBERIAN

1.      Sebagai  obat tunggal :

·         Induksi anestesi

·         Operasi singkat: cabut  gigi

2.      Suntikan berulang :

·         Sesuai kebutuhan : curetase

3.      Diteteskan lewat infus :

·         Menambah kekuatan anestesi

JENIS-JENIS ANESTESI INTRAVENA

1. Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol )

Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan

lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi

pada tahun 1977 sebagai obat induksi.

Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada

pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol

dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam

etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat

obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik

dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W.

1.1 Mekanisme kerja

Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek

primernya berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).

1.2 Farmakokinetik

Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma,

eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh

Page 16: Laporan Kasus Anestesi

propofol diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh

lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi

cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif

singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni

tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.

1.3 Farmakodinamik

Pada sistem saraf pusat

Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat

menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi

(2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood

tapi tidak  sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular

sebanyak 35%.

    Cp50 - respon terhadap perintah hilang (verbal ) = 2.3 - 3.5 mcg/ml

      Pemeliharaan : 1.5-6 mcg/ml

      Pasien bangun: < 1.6 mcg/ml

      Pasien terorientasi: < 1.2 mcg/ml

       

Pada sistem kardiovaskuler

Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh

darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini

diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan

menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung

tergantung dari :

·         Pernafasan spontan – mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali

·         Pemberian drip lewat infus – mengurangi depresi jantung berbanding pemberian secara

bolus

·         Umur – makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung

Page 17: Laporan Kasus Anestesi

Pada sistem pernafasan

Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus

dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih

detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut:

·         Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apneu setelah diberikan dosis induksi

yang bisa berlangsung lebih dari 30 saat.

Pemberian 2,4 mg/kg:

ü  Memperlambat frekuensi pernafasan selama 2 menit

ü  Volume tidal (VT) menurun selama 4 menit

Pemberian 100 µg/kg/min:

ü  Respons CO2 sedikit menurun  

ü  VT berkurang 40% ,frekuensi pernafasan meningkat 20%

Pemberian 200 µg/kg/min:

ü  Hanya sedikit mendepresi VT

ü  paCO2 menurun

1.4 Dosis dan penggunaan

a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.

b) Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus

c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrate to effect).

d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung

penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.

e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal 0,2%

Page 18: Laporan Kasus Anestesi

f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang

steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah

kontaminasi dari bakteri.

1.5 Efek Samping

Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa

muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan

dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2

menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara

I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien

setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga

pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti

hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik

(thiopental < propofol < etomidate atau  methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan

terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus

terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian

propofol.

2 Tiopenton

Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan

nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat

anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan

memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai

puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan

kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan

menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.

Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2-

thiobarbituric acid], methohexital [1-methyl-5-allyl-5-(1-methyl-2-pentynyl)barbituric acid],

dan thiamylal [5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid]. Ada juga turunan barbiturat

yang dipakai sebagai induksi seperti secobarbital dan pentobarbital tetepi penggunaannya

Page 19: Laporan Kasus Anestesi

sangat jarang. Thiopental (Pentothal) dan thiamylal (Surital) merupakan thiobarbiturates,

sedangan methohexital (Brevital) adalah oxybarbiturate.

Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental

merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak

dipergunakan untuk induksi anestesi.

2.1 Mekanisme kerja

Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan

menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan

sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang

beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk

kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps

saraf dari pada akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam

gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter

(presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).

2.2 Farmakokinetik

Absorbsi

Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk

induksi anestesi umum pada orang dewasa dan anak – anak. Perkecualian pada tiopental

rektal atau sekobarbital atau metoheksital untuk induksi pada anak – anak. Sedangkan

phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua kelompok

umur.

Distribusi

Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh

selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya akan vaskularisasi,

secara perlahan akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan

lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh karena

redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.

Metabolisme

Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.

Page 20: Laporan Kasus Anestesi

Ekskresi

Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3 ml/kg/menit dan

pada anak – anak terjadi 6 ml/kg/menit.

2.3 Farmakodinamik

Pada Sistem saraf pusat

Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada dosis

subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada

dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.Thiopental turut

menurunkan tekanan intrakranial. Manakala methohexital dapat menyebabkan kejang setelah

pemberian dosis tinggi.

Mata

Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental atau

methohexital. Biasanya diberikan suksinilkolin setelah pemberian induksi thiopental supaya

tekanan intraokular kembali ke nilai sebelum induksi.

Sistem kardiovaskuler

Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi

jantung, penurunan tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal

ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan

dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan

disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat

ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau

dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh

darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi

oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.

Sistem pernafasan

Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun terjadi

penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya

Page 21: Laporan Kasus Anestesi

asidosis respiratorik. Dapat juga menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif berbanding

propofol sehingga menyebabkan laringospasme. Jarang menyebabkan bronkospasme.

2.4 Dosis

Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek

negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi

pasien.

2.5 Efek samping

Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan

obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat

menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi

pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim d-

aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan

kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat

diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.

3 Ketamin

Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki

struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana

awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine)

yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada

tentara amerika selama perang Vietnam.Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil

sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate general anesthesia”. Ketalar

sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965

yang digunakan sebagai anestesi umum.

Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan

takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah

– muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya

disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan

sering disebut dengan emergence phenomena.

Page 22: Laporan Kasus Anestesi

3.1 Mekanisme kerja

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak

dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor

metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.

3.2 Farmakokinetik

Absorbsi

Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular

Distribusi

Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke

seluruh organ. Efek muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis

induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek

baru akan muncul setelah 15 menit.

Metabolisme

Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa metabolit

yang masih aktif.

Ekskresi

Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.

3.4 Farmakodinamik

Susunan saraf pusat

Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami

perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka

spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari

(cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu

merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin.

Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering

mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien

Page 23: Laporan Kasus Anestesi

mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah

intrakranial. Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia ketika

operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien

dapat terbangun jika Cp dibawah 0,5µg/ml. Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-

Metil-D-aspartat (NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan :

·         Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat

·         Mengurangi pembebasan presinaps glutamat

·         Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)

Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa:

·         Mimpi buruk

·         Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan)

·         Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi

·         Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan

·         20%-30% terjadi pada orang dewasa

·         Dewasa > anak-anak

·         Perempuan > laki-laki

Mata

Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi

peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.

Sistem kardiovaskuler

Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa

meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik

positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

Sistem pernafasan

Page 24: Laporan Kasus Anestesi

Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat

menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat

pilihan pada pasien asma.

3.5 Dosis dan pemberian

Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses

pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga

dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 –

10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi

untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara

intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan

dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek

sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min

IV drip infus.

Bioavailabilitas

Route % bioavailabilitas

Nasal 50

Oral 20

IM 90

Rektal 25

Epidural 77

3.6 Efek samping

Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada

mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk

juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka

selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat

menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.

Page 25: Laporan Kasus Anestesi

3.7 Kontra indikasi

Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah

disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang

menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan

intrakranial yang meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi

intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada

operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat –

obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.

4. Opioid

Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat

opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata “opium “

berasal dari bahasa yunani yang berarti getah. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid

opioids. Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan

golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek utamanya adalah

analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid

berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.

4.1 Mekanisme kerja

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan

jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid

menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari

spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya

aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap

neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

4.2 Farmakokinetik

Absorbsi

Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan

puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode

Page 26: Laporan Kasus Anestesi

efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi

pada anak-anak (15-20 μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg).

Distribusi

Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan

morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan

durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi

singkat setelah injeksi bolus.

Metabolisme

Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar.

Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.

Ekskresi

Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan

tergantung pada aliran darah hepar. 5 – 10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk

metabolit aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.

4.3 Farmakodinamik

Sistem kardiovaskuler

System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung

maupun tonus otot pembuluh darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena

terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada

pemberian meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.

Sistem pernafasan

Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi

nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap

CO2 tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga

Page 27: Laporan Kasus Anestesi

mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot

nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu. 

Sistem gastrointestinal

Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga

terhambat.

Endokrin

Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress

anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.

4.4 Dosis dan pemberian

Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5

mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari petid5.

Benzodiazepin

Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam

(valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut

dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan

emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis

tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan

benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5. 

5.1 Mekanisme kerja

Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik, amnestik,

antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral. Benzodiazepine bekerja di reseptor

ikatan GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam >

midazolam > diazepam.  Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen

gamma yang terdapat pada reseptor GABA. 

5.2 Farmakokinetik

Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul

setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari

benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi

Page 28: Laporan Kasus Anestesi

dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat

setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.

Clearance in ml/kg/min

Short midazolam 6-11

Intermediate lorazepam 0.8-1.8

Long diazepam 0.2-0.5

5.3 Farmakodinamik

Sistem saraf pusat

Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek

sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.

Sistem Kardiovaskuler

Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put.

Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi

pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.

Sistem Pernafasan

Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas

mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.

Sistem saraf otot

Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan

spinal , sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.

5.4 Dosis

Page 29: Laporan Kasus Anestesi

Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.

·         Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb

·         Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg

·         Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.

·         Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

5.5 Efek samping

Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai sedasi.

Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis.

Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek

Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV

prn to 1 mg, dan 0.5 - 1 mcg/kg/menit berikutnya.

Page 30: Laporan Kasus Anestesi

REFERENSI

1.          Said A. Latif dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.

2.          “Intravenous Anesthetics” didapat dari http://www.metrohealthanesthesia.com/edu.htm

3.          “Intravenous anesthesic” didapat dari http://anesthesiologyinfo.com/intravenousanesthetic

4.          “Hipnotika dan Sedativa” didapat dari http://www.medicastore.com

5.          “Anestesi Intravena” didapat dari http://ryan-mul.blogspot.com/2009/04/anestesi

intravena.html

6.          “Opioid” didapat dari http://en.wikipedia.org/wiki/Wikipedia: Opioid

7.          “Anestesi Umum” didapat dari http://www.scribd.com/anestesiumum