laporan kasus anestesi

45
PROGRAM PENDIDKAN PROFESI DOKTER SMF ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUD EMBUNG FATIMAH KOTA BATAM BAB I TINJAUAN PUSTAKA I.1 ILEUS I.1.1 Definisi Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik. I.1.2 Etiologi adapun etiologi dari ileus obstruksi ialah : a) Adhesi b) Hernia inkarserata c) Askariasis d) Tumor e) Lain-lain : Radang khronik (TBC) Divertikulum meckel Invaginasi Volvulus

Upload: andi-nova

Post on 27-Oct-2015

122 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: laporan kasus anestesi

PROGRAM PENDIDKAN PROFESI DOKTER

SMF ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RSUD EMBUNG FATIMAH KOTA BATAM

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

I.1 ILEUS

I.1.1 Definisi

Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang

disebabkan oleh

sumbatan mekanik.

I.1.2 Etiologi

adapun etiologi dari ileus obstruksi ialah :

a) Adhesi

b) Hernia inkarserata

c) Askariasis

d) Tumor

e) Lain-lain :

 Radang khronik (TBC)

 Divertikulum meckel

 Invaginasi

 Volvulus

 Obstruksi makanan 

I.1.3 Patofisiologi

Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah

sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan

Page 2: laporan kasus anestesi

oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah

obstruksi paralitik di mana peristaltik dihambat dari permulaan,

sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat,

kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.

Perubahan patofisiologi yang terjadi yaitu lumen usus yang

tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70%

dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang

menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh

karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna

setiap hari, tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan

penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan

usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan

utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah

penciutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok—

hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan

dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus

mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan

peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan

usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas

akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam

rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan

bakteriemia.

I.1.4 Diagnosis 

1. Subyektif –Anamnesis

Gejala Utama:

 Nyeri-Kolik: kolik dirasakan disekitar umbilikus

 Muntah : Berwarna kehijauan

 Perut Kembung (distensi)

 Konstipasi : dapat tidak ada defekasi, dan flatus

Page 3: laporan kasus anestesi

 Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak

dapat kembali menandakan adanya hernia inkarserata

 Invaginasi dapat didahului oleh riwayat buang air besar berupa

lendir dan darah.

 Riwayat operasi sebelumnya dapat menjurus pada adanya

adhesi usus

 Onset

o keluhan yang berlangsung cepat dapat dicurigai sebagai ileus

letak tinggi

o onset yang lambat dapat menjurus kepada ileus letak rendah.

2. Obyektif-Pemeriksaan Fisik

Inspeksi

Perut distensi, dapat ditemukan darm kontur dan darm steifung.

Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan

suatu hernia inkarserata. Pada Invaginasi dapat terlihat massa

abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila

ada bekas luka operasi sebelumnya

Auskultasi

Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi. Pada fase lanjut

bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang

Perkusi Hipertimpani

Palpasi

Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.

Rectal Toucher

 Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease

 Darah (+) ; strangulasi, neoplasma

 Feses yang mengeras : skibala.

 Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi

 Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi.

 Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis

Radiologi Foto Polos:

Page 4: laporan kasus anestesi

Pelebaran udara usus halus atau usus besar dengan gambaran

anak tangga dan air-fluid level.

Penggunaan kontras dikontraindikasikan adanya perforasi-

peritonitis.

Barium enema diindikasikan untuk invaginasi

Endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus

I.1.5 Penatalaksanaan 

Konservatif Penderita dirawat di rumah sakit dan dipuasakan

Kontrol status airway, breathing and circulation.

Dekompresi dengan nasogastric tube.

Intravenous fluids and electrolyte

Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.

Farmakologis: Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan

aerob. Analgesik apabila nyeri

Operatif:

Obstruksi usus dengan prioritas tinggi adalah strangulasi, volvulus,

dan jenis

obstruksi kolon.

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric

untuk mencegah

sepsis sekunder atau rupture usus.

Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik

bedah yang

disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.

I.1.6. Komplikasi 

Komplikasi dari ileus antara lain terjadinya nekrosis usus, perforasi

usus, Sepsis, Syok-dehidrasi, Abses Sindrom usus pendek dengan

malabsorpsi dan malnutrisi, Pneumonia aspirasi dari proses muntah,

Gangguan elektrolit, Meninggal

Page 5: laporan kasus anestesi

I.1.7 Prognosis 

Saat operasi, prognosis tergantung kondisi klinik pasien

sebelumnya. Setelah pembedahan dekompresi, prognosisnya

tergantung dari penyakit yang mendasarinya

I.2. LAPARATOMY

Laparatomy merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi pada

dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen. Ditambahkan pula bahwa laparatomi

merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan

pada bedah digestif dan obgyn. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan

dengan tenik insisi laparatomi ini adalah herniotomi, gasterektomi,

kolesistoduodenostomi, hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi, kolostomi,

hemoroidektomi dan fistuloktomi. Sedangkan tindkan bedah obgyn yang sering

dilakukan dengan tindakan laoparatomi adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi

pada tuba fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi hissterektomi, baik histerektomi

total, radikal, eksenterasi pelvic, salpingooferektomi bilateral.

Ada 4 cara insisi pembedahan yang dilakukan, antara lain:

a. Midline incision : Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit

perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak

memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insis ini adalah

terjadinya hernia cikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan

lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan organ

dalam pelvis.

b. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm).

Terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi

lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta

plenoktomi. Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain : merupakan

bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan insisi

mudah diperluas ke arah atas dan bawah

Page 6: laporan kasus anestesi

c. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya

pembedahan colesistotomy dan splenektomy.

d. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah ± 4 cm di

atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy

1.2.1. Indikasi Tindakan Laparatomi

Ada banyak indikasi dilakukannya laparatomi, dibawah ini akan dipaparkan,

diantaranya:

1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)

Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang

terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau

yang menusuk. Dibedakan atas 2 jenis yaitu :

Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium)

yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak. Dan jenis kedua yaitu trauma

tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum) yang dapat

disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk

pengaman (sit-belt).

2. Peritonitis

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga

abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis

primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat

penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh perforasi

appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon

(paling sering kolon sigmoid), sementara proses pembedahan merupakan

penyebab peritonitis tersier.

3. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)

Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya)

aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus biasanya

mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat.

Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus

halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan

Page 7: laporan kasus anestesi

tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya

dapat berupa perlengketan (lengkung usus menjadi melekat pada area yang

sembuh secara lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan

abdomen), Intusepsi (salah satu bagian dari usus menyusup kedalam

bagian lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan lumen usus), Volvulus

(usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan

demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gelungan usus

yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi usus melalui area yang lemah

dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan tumor (tumor yang ada

dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus

menyebabkan tekanan pada dinding usus).

4. Apendisitis mengacu pada radang apendiks, suatu tambahan seperti kantong

yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang

paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh fases yang akhirnya

merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi.

5. Tumor abdomen

6. pancreatitis (inflammation of the pancreas)

7. abscesses (a localized area of infection)

8. adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery)

9. diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the intestines)

10. intestinal perforation

11. ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus)

12. foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim)

13. internal bleeding

I.3 SEPSIS

Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh

yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas,

takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan

sirkulasi darah.

Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:

Page 8: laporan kasus anestesi

Hyperthermia/hypothermia (>38°C; <35,6°C)

Tachypneu (respiratory rate >20/menit)

Tachycardia (pulse >100/menit)

>10% cell immature

Suspected infection

Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein

(CrP).

Table 1. Diagnostic Criteria for Sepsis

Infection, documented or suspected, and some of the following :

General variables

Fever (> 38.3°C)

Hypothermia (core temperature < 36°C)

Heart rate > 90/min–1 or more than two sd above the normal value for age

Tachypnea

Altered mental status

Significant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr)

Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence

of diabetes

Inflammatory variables

Page 9: laporan kasus anestesi

Leukocytosis (WBC count > 12,000 μL–1)

Leukopenia (WBC count < 4000 μL–1)

Normal WBC count with greater than 10% immature forms

Plasma C-reactive protein more than two sd above the normal value

Plasma procalcitonin more than two sd above the normal value

Hemodynamic variables

Arterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP

decrease > 40 mm Hg in adults or less than two sd

below normal for age)

Organ dysfunction variables

Arterial hypoxemia (Pao2/Fio2 < 300)

Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate

fluid resuscitation)

Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/L

Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)

Ileus (absent bowel sounds)

Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 μL–1)

Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 μmol/L)

Tissue perfusion variables

Hyperlactatemia (> 1 mmol/L)

Decreased capillary refill or mottling

Adapted from Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions

Conference. Crit Care Med 2003; 31: 1250–1256.

I.3.1 Derajat Sepsis

1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan .2 gejala sebagai

berikut:

a) Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)

b) Takipnea (resp >20/menit)

c) Tachycardia (nadi >100/menit)

d) Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm

e) >10% cell imature

Page 10: laporan kasus anestesi

2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS

3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.

4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau

penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).

5. Syok septik

Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang

diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai

hipoperfusi jaringan.

Table 2. Severe Sepsis

Severe sepsis definition = sepsis-induced tissue hypoperfusion or organ dysfunction (any of

theollowing thought to be due to the infection)

Sepsis-induced hypotension

Lactate above upper limits laboratory normal

Urine output < 0.5 mL/kg/hr for more than 2 hrs despite adequate fluid resuscitation

Acute lung injury with Pao2/Fio2 < 250 in the absence of pneumonia as infection source

Acute lung injury with Pao2/Fio2 < 200 in the presence of pneumonia as infection source

Creatinine > 2.0 mg/dL (176.8 μmol/L)

Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis

Sindroma sepsis Syok Sepsis

Takipneu, respirasi 20x/m

Takikardi 90x/m

Hipertermi 38 C

Hipotermi 35,6 C

Hipoksemia

Peningkatan laktat plasma

Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1

jam

Sindroma sepsis ditambah dengan

gejala:

Hipotensi 90 mmHg

Tensi menurun sampai 40 mmHg dari

baseline dalam waktu 1 jam

Membaik dengan pemberian cairan

danpenyakit shock hipovolemik, infark

miokard dan emboli pulmonal sudah

disingkirkan

(Dikutip dari Glauser, 1991)

Page 11: laporan kasus anestesi

Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L)

Platelet count < 100,000 μL

Coagulopathy (international normalized ratio > 1.5)

Adapted from Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference.

Crit Care Med 2003; 31: 1250–1256.

I.3.2 Etiologi

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan presentase 60-70%

kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yangterpacu

untuk melepaskan mediator inflamasi

Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat

disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan

produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.

Insidensnya meningkat, antara lain karena pemberian antibiotik yang berlebihan,

meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi

penggunaan alat-alat invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit

rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme

yang resisten terhadap antibiotik.

Gambar 1: Etiologi sepsis

I.3.2 Gejala Klinik

1. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.

2. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras

dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas

hangat.

Page 12: laporan kasus anestesi

3. Disertai tanda-tanda sepsis.

4. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan

status mental.

Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik,

takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis

(tersangka sepsis).

Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka

sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia,

trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED

meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).

Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok

(nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan

penurunan tekanan darah).

Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok

hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam,

tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis

dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia,

kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.

Perubahan hemodinamik

Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah hipovolemia, baik

relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan).

Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga

apabila volume intravaskule adekuat, curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat

kemampuan kontraksi otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik

(sistolik dan diastolik) terganggu.

Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan

volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada

sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan

Page 13: laporan kasus anestesi

meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih mirip status

hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).

Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan ekstraksi

oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga

kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2

(pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septic

dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan.

Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya hiperlaktataemia,

mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia

jaringan (produksi energi dalam keterbatasan oksigen).

I.3.3 Diagnosis

Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk menilai

pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea, takikardia

dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan perubahan

keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada wanita – wanita

dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis, abortus septik, atau

telah menjalani prosudur operasi emergensi. Diagnosa dan penanganan awal ini sangat

menentukan keberhasilan hidup pasien.

Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan organ yang

terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan

temperatur dan lekosit dengan pergeseran ke kiri, tetapi pada beberapa pasien terjadi

penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan

hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri,

atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis

mikroangiopati. Karena pada syok sepsis potensi terjadinya disfungsi ginjal dan hipovulemia,

manifestasi klinik dapat berupa oligouria, hematuria dan proteinuria.

Dalam hal membantu menegakkan diagnosa sepsis atau syok septik, selain melalui

pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur. Dua kuman yang sangat

virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group A

streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.

Page 14: laporan kasus anestesi

I.3.4 Penatalaksanaan

Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman

dalam mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi

penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai

panduan dalam memberikan terapi antimikroba empirik.

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,

mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi

antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor

dan inotropik,  terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi

imunologi bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.

1. Resusitasi

Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan

oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan

transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang

mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP

>65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam

resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan

CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit

>30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).6

Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler,

sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan

darah. Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam

waktu 1-2 jam. Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka

perlu dipertimbangkan pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10

ug/kgBB/menit. Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu

MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5

μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka

dosis dapat di tingkatkan sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis

dopamine dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan

levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal,

Page 15: laporan kasus anestesi

berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain

(fenilefrin atau epinefrin)      

2. Eliminasi sumber infeksi

Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada

umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami

obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi.1 Tindakan ini dilakukan secepat

mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.6

3. Terapi antimikroba

Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi

antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis

berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang

memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke

tempat yang diduga sumber sepsis.6 Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan

oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan

endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan

dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya

pada sepsis berat dan gagal multi organ.1  

Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data

mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti

bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

Indikasi terapi kombinasi yaitu:

Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui

Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni

Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen

(pseudomonas aureginosa, enterokokus)

4. Terapi suportif

a. Oksigenasi

Page 16: laporan kasus anestesi

Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan

penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera

dilakukan.

b. Terapi cairan

Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%

atau ringer laktat) maupun koloid.1,6

Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik

melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.

Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar

Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan

renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih

kontroversi antara 8-10 g/dL.

c. Vasopresor dan inotropic

Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan

pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor

diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60

mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin

>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine

0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan:

dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5

μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).

d. Bikarbonat

Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9

mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.

e. Disfungsi renal

Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera

diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila

diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk

mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based

belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan

hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.

f. Nutrisi

Page 17: laporan kasus anestesi

Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,

glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan

penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.

Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.

Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan

mineral perlu diberikan sedini mungkin.

g. Kontrol gula darah

Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan

mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin

untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada

kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL.

Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam

praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.

h. Gangguan koagulasi

Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi

dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di

sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas

antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk

di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa

heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat

diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.

Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal merupakan

harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat

meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibodi

hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan

antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan

mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun terapeutic window-

nya sempit. Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody sebaiknya

dipertimbangkan pada pasien sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram

negative, terutama pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih yang

sering disebabkan kuman Gram negatif.

i. Kortikosteroid

Page 18: laporan kasus anestesi

Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan

dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik

menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,

kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.

Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat

menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia

pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5

mg/kgBB/jam sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan

angka mortalitas (Root, 1991). Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil

yang sama dan hanya dapat memperbaiki keadaan shock tetapi tidak

memperbaiki angka mortalitas

5. Modifikasi respons inflamasi

Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog

lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin,

APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis

bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-

NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi);

nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous

activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi,

koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari

bentuk rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan untuk

menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian

yang tinggi.

Page 19: laporan kasus anestesi

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN:

a. Nama : Ny. Nelfi Susanti

b. Usia : 37 tahun

c. Jenis kelamin : Perempuan

d. Alamat : Kavling Flamboyan/ blok I No.80

e. Berat badan : 39 kg

f. No rekam medis : 060569

g. Jenis pembedahan : Laparatomi ekplorasi dan colostomy

h. Rencana anestesi : Regional Anasthesia

Page 20: laporan kasus anestesi

II. PERSIAPAN PRE OPERASI (19 agustus 2013)

a. Anamnesis

Riwayat operasi (-), riwayat DM (-), riwayat asma (-), riwayat jantung (-), riwayat

hipertensi (-), HIV(-), Hbs Ag(-), riwayat alergi (-).

b. Pemeriksaan fisik pre-operasi

1. Keadaan umum : tampak sakit berat. Kesadaran : compos mentis

2. Airway paten, napas spontan

3. RR: 18 x/menit , Ronki(-) Wheezing(-).

4. Akral hangat, Nadi: 78 x/menit

5. TD: 90/60 mmHg

6. Berat badan 39 kg.

7. Abdomen : Distensi

8. EKG : normal

9. Foto Abdomen : mengarah gambaran ileus obstruktif letak tinggi

ec. Suspect massa di colon decendens 1/3 tengah.

10. Kesan ASA : III

Hasil laboratorium pre operasi

Hb 7,1 g/dl 11-17 g/dlLekosit 1400/ul 4000-10000/ulHt 24% 37-48%Eritrosit 2,9 juta/ul 4,0-5,5 juta/ulTrombosit 93 ribu/ul 150-450 ribu/ulBasofil 0% 0-1%Eosinofil 1% 1-3%Netrofil batang 1% 2-6%Netrofil segmen 43% 50-70%Limfosit 44% 20-40%Monosit 11% 2-8%Ureum 56 mg/dl <50 mg/dlKreatinin 0,6 mg/dl W: 0,5 – 1,0 mg/dlNatrium 128 mmol/LKalium 2,9 mmol/L

Page 21: laporan kasus anestesi

Klorida 94 mmol/LAlbumin 2,0 Anti HIV Non reaktifHbsAg Negatife

III. Laporan anestesi selama operasi

a. Jenis anestesi : Anasthesia regional

b. Teknik anestesi: sub-arachnoid-block

c. Lama anestesi : 14.00 s/d 17.35 WIB

d. Lama operasi : 14.15 s/d 17.15 WIB

III.1. Tindakan anestesi regional dengan subaraknoid blok. Pasien dipastikan pada posisi

supine. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.

1) Obat pre-medikasi : (-)

2) Medikasi :

Bunascan 0.5% 10 mg

Fentanyl 25 mikrogram

Efedrin 10 mg, 5 mg, 5 mg, 5 mg, 5 mg, 10 mg, 5 mg, drip 30 mg, 5 mg, 5

mg.

Transamin 1000 mg

Vascon 1,2 cc/jam

3) Pasien diberikan oksigen (-)

4) Airway pasien paten (+)

5) Dipastikan pasien sudah mendapat efek anestesi (+)

6) Monitor tanda-tanda vital pasien, saturasi oksigen.

Waktu Tekanan Darah RR Saturasi 02 Nadi

14.00 WIB 90/56 mmHg 19x/menit 100% 105x/menit

14.15 WIB 68/40mmHg 20x/menit 100% 110x/menit

14.30 WIB 63/40mmHg 20x/menit 100% 122x/menit

14.45 WIB 80/49mmHg 19x/menit 100% 121x/menit

15.00 WIB 78/51mmHg 22x/menit 100% 131x/menit

15.15 WIB 70/48mmHg 18x/menit 100% 130x/menit

Page 22: laporan kasus anestesi

15.30 WIB 63/38mmHg 21x/menit 100% 128x/menit

15.45 WIB 62/39mmHg 20x/menit 100% 121x/menit

16.00 WIB 62/42mmHg 18x/menit 100% 120x/menit

16.15 WIB 70/40mmHg 22x/menit 100% 110x/menit

16.30 WIB 65/45mmHg 20x/menit 100% 100x/menit

16.45 WIB 68/48mmHg 22x/menit 100% 99x/menit

17.00 WIB 80/50mmHg 24x/menit 100% 85x/menit

17.15 WIB 108/50mmHg 24x/menit 100% 90x/menit

IV. PEMBERIAN CAIRAN

Ringer laktat 6 kolf

WIDA HES 3 kolf

V. CAIRAN KELUAR

a. Perdarahan : ± 1.500 ml

b. Urin output : ± 800 ml

Monitoring pasca bedah laparatomi di ruang O.K

Kesadaran : compos mentis

Test GCS : 15

TD : 108/50mmHg, RR : 24x/menit, Nadi :90x/menit, saturasi 100%

Infus : Ringer laktat

Drainese : (+) 2 line

Kateter : (+)

VI. PASCA BEDAH

a. Infus :Ringer Laktat

b. Antibiotik : sesuai terapi operator

Page 23: laporan kasus anestesi

c. Analgetik : ketorolac 30 mg

d. Anti emetic : ondansetron 4 mg

VII. PERAWATAN DI ICU

Follow up hari ke 1 (19 agustus 2013)

Keadaan umum : tampak sakit berat

Kesadaran : somnolen

TD : 99/41mmHg, RR : 20x/menit, N: 92x/menit, Suhu: 36,4 oC

Instruksi pasca operasi :

a) Tranfusi PRC 4 kantong ( yang ada hanya 3 kantong )

b) Tranfusi FFP 4 kantong

c) Jika pasien sadar penuh test clear fluid : D10% 10 cc/jam.

d) Injeksi :

1) Ceftazidine 1 gr/12 jam, skin test hasil (-).

2) Metronidazol 500 mg/12 jam

3) Omeprazole 40 mg/12 jam

4) Transamin 1 ampul/ 8 jam

5) Ketolorac 1 ampul/8 jam

e) Cek labor lengkap pasca tranfusi

f) Advis dr.Anastesi :

1) Ketorolac tunda sementara

2) Analgetik ganti morfin 1 mg/jam

3) Vascon 0,1 mcg/jam

Total intake : 2529,5

Total output : 1300

IWL : 238

Balance : + 991,5

Follow up hari ke-2 di ICU tanggal 20 agustus 2013

Keadaan umum : tampak sakit berat

Page 24: laporan kasus anestesi

Kesadaran : somnolen

TD: 98/68 mmHg, RR: 23 x/menit, N: 139 x/menit, Suhu: 38,6 oC, Saturasi: 98%.

Terapi dr.Bedah :

a) Diet 20cc peptisol/jam bila bagus test feeding

b) Infus

1) Clinimix 1000 ml

2) Aminofusin 500 ml

3) Ringer laktat ml

4) D 5% 500 ml

c) Ceftazidine 1gr/12 jam

d) Metronidazol 500/8jam

e) Hipobac 200 mg/12jam ( berikan bila fungsi ginjal bagus )

f) Omeprazole 40mg/12jam

g) Ketolorac 3x1 ( tunda )

h) Alinamin f 3x1

i) Transamin 2x500 mg

j) Tranfusi albumin 1 fls/hari selama 3 hari

k) Koreksi amlbumin 20 % ( 3 hari berturut2 )

l) Tranfusi PRC 500 cc

m) Koreksi kalium ( kcl 25 meq )

n) Farmadol 3x500 mg bila suhu diatas 38,0 oC

Rencana :

- Cek labor besok pagi

- Diet cair peptisol 6x200 cc/oral

- Aff NGT

Total intake : 3363

Total out put : 1560

IWL : 430

Balance : (+) 1373

Page 25: laporan kasus anestesi

Hasil laboratorium tanggal 20 agustus 2013

Hb 9,1 g/dl 11-17 g/dlLekosit 3800/ul 4000-10000/ulHt 29% 37-48%Eritrosit 3,4 juta/ul 4,0-5,5 juta/ulTrombosit 95 ribu/ul 150-450 ribu/ulSGOT 10 U/L W: < 32 U/LSGPT 12 U/L W Ureum 33 mg/dl <50 mg/dlKreatinin 0,5 mg/dl W: 0,5 – 1,0 mg/dlGlukosa sewaktu 109 mg/dl < 140 mg/dlNatrium 134 mmol/LKalium 2,9 mmol/LKlorida 102 mmol/LAlbumin 2,2

Follow up hari ke-3 di ICU tanggal 21 agustus 2013

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

TD: 105/75 mmHg, RR: 21x/menit, N:122x/menit, Suhu: 38,0 oC, saturasi 86%.

Terapi dr.Anastesi:

a) Morfin stop dilanjut ketolorac 3x30mg/hari

b) Tranfusi PRC lanjut premed dexamethason 1 ampul

c) Diet makanan lunak

Rencana : acc pindah ruangan

Terapi dr.Bedah :

a) Tranfusi PRC target Hb >10 g/dl

b) Koreksi albumin

c) Monitor produksi stoma

d) Besok rencana Re-feeding 200 cc

e) Diet makanan lunak

f) Terapi lain lanjut

Page 26: laporan kasus anestesi

Total intake 3689

Total output 1700

IWL 400

Balance (+) 1589

Hasil laboratorium 21 agustus 2013 pre tanfusi PRC

Hb 8,1 g/dl 11-17 g/dlLekosit 3400/ul 4000-10000/ulHt 25% 37-48%Eritrosit 3,0 juta/ul 4,0-5,5 juta/ulTrombosit 115 ribu/ul 150-450 ribu/ulNatrium 133 mmol/LKalium 3,3 mmol/LKlorida 102 mmol/LAlbumin 2,26

Hasil laboratorium post tranfusi PRC

Hb 9,7 g/dl 11-17 g/dlLekosit 4000/ul 4000-10000/ulHt 32% 37-48%Eritrosit 3,7 juta/ul 4,0-5,5 juta/ulTrombosit 89 ribu/ul 150-450 ribu/ul

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien Ny.N, wanita 39 tahun dengan diagnosis ileus obstruktif et kausa tumor

colon descenden dan dilakukan tindakan laparatomi eksplorasi dan colostomy dengan

regional anastesi. Pada kasus ini diperlukan pengelolaan post operative yang intensive

dengan monitoring di ICU karena operasi laparatomi memiliki komplikasi antara lain

terjadinya ventilasi paru yang tidak adekuat, gangguan kardiovaskuler dan gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit yang sangat sering terjadi, hal tersebut terjadi karena

penurunan respon haus terhadap kondisi hipovolemik dan osmolaritas, terjadi penurunan

laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron

Page 27: laporan kasus anestesi

penurunan respon ginjal terhadap vasopressin, terjadi gangguan kapasitas ginjal untuk

menahan natrium.Keadaan pasien saat pre operasi tanda vital yang bermasalah berupa tekanan

darah yaitu 90/60 mmHg, serta kondisi post operasi yang kurang stabil yaitu TD :

108/50mmHg (cenderung turun), RR : 24x/menit, Nadi :90x/menit (cenderung

meningkat)

Hasil laboratorium yang bermasalah

Hb 7,1 g/dl, Lekosit 1400/ul, Ht 24%, Trombosit 93 ribu/ul Ureum 56 mg/dl.

- Medikasi anastesi yang diberikan selama operasi:

1) Bunascan 0.5% 10 mg

2) Fentanyl 25 mikrogram

3) Efedhrine 10 mg, 5 mg, 5 mg, 5 mg, 5 mg, 10 mg, 5 mg, drip 30 mg, 5 mg, 5 mg.

4) Transamin 1000 mg

5) Vascon 1,2 cc/jam

Monitoring selama berlangsungnya operasi

Induksi menggunakan Bunascan 0,5% 10 mg yang merupakan anestesi lokal

golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau

sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi

syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Pada pasien ini juga ditambahkan

fentanyl berguna untuk memperbaiki kualitas blok sensomotoris dari bunascan dan

sebagai analgesia postoperative.

Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan

darah yang bermakna. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi

spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan

intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara intravena, dan pemberian oksigen.

Pada pasien ini terjadi hipotensi, sehingga pemberian cairan dicepatkan, diberikan bolus

ephedrin sebanyak 10mg secara intravena dan oksigen.

Page 28: laporan kasus anestesi

Setelah diberikan bolus ephedrine selama setiap 5-15 menit sekali tetapi keadaan

tekanan darah tidak mencapai keadaan rata-rata normal, diberikan vascon dengan

bertujuan untuk mengendalikan tekanan darah pada kondisi hipotensi akut tertentu.

Asam Traneksamat (Transamin). Bekerja dengan menghambat fibrinolisis. Asam

traneksamat merupakan analog asam aminokaproat, dapat diberikan per oral dan injeksi

intravena, bekerja dengan cara memblok tempat ikatan pada lisin yang biasanya

berinteraksi dengan plasmin, menghambat secara kompetitif terhadap aktivator

plasminogen. Biasanya dipakai dalam kasus paru, THT, interna dan bedah. Pada kasus ini

diberikan transamin setelah operasi selesai untuk menghentikan perdarahan akibat

pembedahan.

Monitoring pasien diruang ICU

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah,

dengan staf dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan

dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit- yang mengancam

jiwa atau potensial mengancam jiwa.

Kematian pasien yang mengalami pembedahan terbanyak timbul pada saat pasca

bedah. Ruang lingkup pelayanannya meliputi pemberian dukungan fungsi organ-organ

vital seperti pernapasan, kardiosirkulasi, susunan saraf pusat, renal dan lain-lainnya, baik

pada pasien dewasa atau pasien anak.

Indikasi ICU

Indikasi Pasien dirawat di ICU :

1. Pasien sakit berat, kritis, dan tidak stabil misal pasien pasca operasi bedah mayor

2. Pasien yang memerlukan pemantauan intensive

3. Pasien yang mengalami komplikasi akut seperti : Edema paru ( kardiogenik dan non

kardiogenik )

Indikasi pasien keluar dari ICU :

1. Pasien tidak memerlukan lagi terapi intensive karena membaik dan stabil

2. Terapi intensive tidak bermanfaat pada :

- Pasien Usia lanjut ( > 65 tahun) yang mengalami gagal tiga organ atau lebih,

setelah di ICU selama 72 jam

Page 29: laporan kasus anestesi

- Pasien mati batang otak/koma yang mengalami keadaan vegetatif

- Pasien dengan berbagai macam diagnosis seperti penyakit paru Obstruksi

menahun, kanker dengan metastasis dan gagal jantung terminal

Follow up tanggal 19 agustus 2013

Pada kasus ini pasien direncanakan tranfusi PRC sebanyak 4 kantong dan FFP

sebanyak 4 kantong hingga Hb mencapai 10 g/dl. Setelah mendapatkan tranfusi pada

hari pertama Hb mencapai 9,1 g/dl. Tetapi setelah pada hari berikutnya Hb turun kembali

menjadi 8,1 g/dl dan membutuhkan tranfusi kembali sampai kebutuhan tercapai. Maka

diterapi lagi dengan tranfusi PRC sebanyal 250 cc PRC dan hasil pada tanggal 21 agustus

meningkat menjadi 9,7 g/dl .

Keadaan Hb sangat penting dalam pemantuan pada pasca bedah laparatomi

mengingat dari perdarahan yang terjadi pada saat operasi berlangsung. Keadaan Hb harus

dipertahankan dalam kondisi poten.

Pemberian FFP bertujuan untuk mempertahankan keadaan plasma dalam tubuh

pasian agar tetap dalam keadaan normal. Karena dari hasil laboratorium menunjukkan

kadar albumin pasien yang dibawah normal.

Indikasi tranfusi darah.

a. Sel darah merah

Indikasi satu-satunya untuk transfusi sel darah merah adalah kebutuhan untuk

memperbaiki penyediaan oksigen ke jaringan dalam jangka waktu yang singkat.

Kehilangan darah yang akut, jika darah hilang karena trauma atau pembedahan, maka

baik penggantian sel darah merah maupun volume darah dibutuhkan.

Transfusi darah prabedah diberikan jika kadar Hb 80 g/L atau kurang.

Anemia yang berkaitan dengan kelainan menahun, seperti penderita penyakit

keganasan, artritis reumatoid, atau proses radang menahun yang tidak berespon

terhadap hematinik perlu dilakukan transfusi.

Gagal ginjal, anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal diobati dengan

transfusi sel darah merah maupun dengan eritropoetin manusia rekombinan.

Page 30: laporan kasus anestesi

Gagal sumsum tulang karena leukemia, pengobatan sitotoksik, atau infiltrat

keganasan membutuhkan transfusi sel darah merah dan komponen lain.

Penderita yang tergantung transfusi seperti pada talasemia berat, anemia aplastik dan

anemia sideroblastik membutuhkan transfusi secara teratur.

Penyakit sel bulan sabit, beberapa penderita ini juga membutuhkan transfusi secara

teratur, terutama setelah stroke.

Indikasi lain untuk transfusi pengganti pada penyakit hemolitik neonatus, malaria

berat karena plasmodium falciparum dan septikemia meningokokus.

Pemantauan keadaan umum pasien setelah diberikan terapi cairan dan

medikamentosa

Keadaan umum masih tampak sakit berat dan Kesadaran compos mentis serta

tanda vital pasien . TD: 98/68 mmHg, RR: 23 x/menit, N: 139 x/menit, Suhu: 38,6 oC,

Saturasi: 98%.

Berdasarkan dari hasil pemeriksaan fisik yang ada disini dapat dicurigai keadaan

pasien dalam keadaan sepsis, dengan alasan adanya hipotensi, takipne, takikardia, demam

dengan suhu diatas 38,0 oC selama perawatan di ICU,

Dengan hasil laboratorium pada pre operasi sel monosit mencapai 11% sedangkan

nilai normal 2-8%, hasil pemeriksaan lekosit 3.800/ul sedangkan batasan normal 4000-

1000/ul, dan adanya trombositopenia.

Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium yang didapatkan pada pasien dapat

dicurigai terjadinya sepsis.

kriteria penegakaan sepsis

Table 1. Diagnostic Criteria for Sepsis

Infection, documented or suspected, and some of the following :

General variables

Fever (> 38.3°C)

Hypothermia (core temperature < 36°C)

Heart rate > 90/min–1 or more than two sd above the normal value for age

Tachypnea

Altered mental status

Page 31: laporan kasus anestesi

Significant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr)

Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetes

Inflammatory variables

Leukocytosis (WBC count > 12,000 μL–1)

Leukopenia (WBC count < 4000 μL–1)

Normal WBC count with greater than 10% immature forms

Plasma C-reactive protein more than two sd above the normal value

Plasma procalcitonin more than two sd above the normal value

Hemodynamic variables

Arterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP decrease > 40 mm Hg in

adults or less than two sd below normal for age)

Organ dysfunction variables

Arterial hypoxemia (Pao2/Fio2 < 300)

Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate fluid resuscitation)

Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/L

Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)

Ileus (absent bowel sounds)

Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 μL–1)

Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 μmol/L)

Tissue perfusion variables

Hyperlactatemia (> 1 mmol/L)

Decreased capillary refill or mottling

(Adapted from Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESIC)

Page 32: laporan kasus anestesi

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.scribd.com/doc/88847088/LAPARATOMI