laporan kasus anestesi
TRANSCRIPT
PROGRAM PENDIDKAN PROFESI DOKTER
SMF ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD EMBUNG FATIMAH KOTA BATAM
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I.1 ILEUS
I.1.1 Definisi
Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang
disebabkan oleh
sumbatan mekanik.
I.1.2 Etiologi
adapun etiologi dari ileus obstruksi ialah :
a) Adhesi
b) Hernia inkarserata
c) Askariasis
d) Tumor
e) Lain-lain :
Radang khronik (TBC)
Divertikulum meckel
Invaginasi
Volvulus
Obstruksi makanan
I.1.3 Patofisiologi
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah
sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan
oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah
obstruksi paralitik di mana peristaltik dihambat dari permulaan,
sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat,
kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.
Perubahan patofisiologi yang terjadi yaitu lumen usus yang
tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70%
dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang
menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh
karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna
setiap hari, tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan
penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan
usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan
utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah
penciutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok—
hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan
dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus
mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan
peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan
usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas
akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam
rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan
bakteriemia.
I.1.4 Diagnosis
1. Subyektif –Anamnesis
Gejala Utama:
Nyeri-Kolik: kolik dirasakan disekitar umbilikus
Muntah : Berwarna kehijauan
Perut Kembung (distensi)
Konstipasi : dapat tidak ada defekasi, dan flatus
Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak
dapat kembali menandakan adanya hernia inkarserata
Invaginasi dapat didahului oleh riwayat buang air besar berupa
lendir dan darah.
Riwayat operasi sebelumnya dapat menjurus pada adanya
adhesi usus
Onset
o keluhan yang berlangsung cepat dapat dicurigai sebagai ileus
letak tinggi
o onset yang lambat dapat menjurus kepada ileus letak rendah.
2. Obyektif-Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan darm kontur dan darm steifung.
Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan
suatu hernia inkarserata. Pada Invaginasi dapat terlihat massa
abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila
ada bekas luka operasi sebelumnya
Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi. Pada fase lanjut
bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang
Perkusi Hipertimpani
Palpasi
Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.
Rectal Toucher
Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease
Darah (+) ; strangulasi, neoplasma
Feses yang mengeras : skibala.
Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi.
Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis
Radiologi Foto Polos:
Pelebaran udara usus halus atau usus besar dengan gambaran
anak tangga dan air-fluid level.
Penggunaan kontras dikontraindikasikan adanya perforasi-
peritonitis.
Barium enema diindikasikan untuk invaginasi
Endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus
I.1.5 Penatalaksanaan
Konservatif Penderita dirawat di rumah sakit dan dipuasakan
Kontrol status airway, breathing and circulation.
Dekompresi dengan nasogastric tube.
Intravenous fluids and electrolyte
Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.
Farmakologis: Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan
aerob. Analgesik apabila nyeri
Operatif:
Obstruksi usus dengan prioritas tinggi adalah strangulasi, volvulus,
dan jenis
obstruksi kolon.
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric
untuk mencegah
sepsis sekunder atau rupture usus.
Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik
bedah yang
disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.
I.1.6. Komplikasi
Komplikasi dari ileus antara lain terjadinya nekrosis usus, perforasi
usus, Sepsis, Syok-dehidrasi, Abses Sindrom usus pendek dengan
malabsorpsi dan malnutrisi, Pneumonia aspirasi dari proses muntah,
Gangguan elektrolit, Meninggal
I.1.7 Prognosis
Saat operasi, prognosis tergantung kondisi klinik pasien
sebelumnya. Setelah pembedahan dekompresi, prognosisnya
tergantung dari penyakit yang mendasarinya
I.2. LAPARATOMY
Laparatomy merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi pada
dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen. Ditambahkan pula bahwa laparatomi
merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan
pada bedah digestif dan obgyn. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan
dengan tenik insisi laparatomi ini adalah herniotomi, gasterektomi,
kolesistoduodenostomi, hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi, kolostomi,
hemoroidektomi dan fistuloktomi. Sedangkan tindkan bedah obgyn yang sering
dilakukan dengan tindakan laoparatomi adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi
pada tuba fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi hissterektomi, baik histerektomi
total, radikal, eksenterasi pelvic, salpingooferektomi bilateral.
Ada 4 cara insisi pembedahan yang dilakukan, antara lain:
a. Midline incision : Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit
perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak
memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insis ini adalah
terjadinya hernia cikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan
lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan organ
dalam pelvis.
b. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
Terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi
lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta
plenoktomi. Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain : merupakan
bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan insisi
mudah diperluas ke arah atas dan bawah
c. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
d. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah ± 4 cm di
atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy
1.2.1. Indikasi Tindakan Laparatomi
Ada banyak indikasi dilakukannya laparatomi, dibawah ini akan dipaparkan,
diantaranya:
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk. Dibedakan atas 2 jenis yaitu :
Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium)
yang disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak. Dan jenis kedua yaitu trauma
tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritoneum) yang dapat
disebabkan oleh pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk
pengaman (sit-belt).
2. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga
abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier. Peritonitis
primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon
(paling sering kolon sigmoid), sementara proses pembedahan merupakan
penyebab peritonitis tersier.
3. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus biasanya
mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat.
Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus. Obstruksi total usus
halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan
tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya
dapat berupa perlengketan (lengkung usus menjadi melekat pada area yang
sembuh secara lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan
abdomen), Intusepsi (salah satu bagian dari usus menyusup kedalam
bagian lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan lumen usus), Volvulus
(usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan
demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gelungan usus
yang terjadi amat distensi), hernia (protrusi usus melalui area yang lemah
dalam usus atau dinding dan otot abdomen), dan tumor (tumor yang ada
dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus
menyebabkan tekanan pada dinding usus).
4. Apendisitis mengacu pada radang apendiks, suatu tambahan seperti kantong
yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang
paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh fases yang akhirnya
merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi.
5. Tumor abdomen
6. pancreatitis (inflammation of the pancreas)
7. abscesses (a localized area of infection)
8. adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery)
9. diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the intestines)
10. intestinal perforation
11. ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus)
12. foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim)
13. internal bleeding
I.3 SEPSIS
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas,
takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan
sirkulasi darah.
Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:
Hyperthermia/hypothermia (>38°C; <35,6°C)
Tachypneu (respiratory rate >20/menit)
Tachycardia (pulse >100/menit)
>10% cell immature
Suspected infection
Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein
(CrP).
Table 1. Diagnostic Criteria for Sepsis
Infection, documented or suspected, and some of the following :
General variables
Fever (> 38.3°C)
Hypothermia (core temperature < 36°C)
Heart rate > 90/min–1 or more than two sd above the normal value for age
Tachypnea
Altered mental status
Significant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr)
Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence
of diabetes
Inflammatory variables
Leukocytosis (WBC count > 12,000 μL–1)
Leukopenia (WBC count < 4000 μL–1)
Normal WBC count with greater than 10% immature forms
Plasma C-reactive protein more than two sd above the normal value
Plasma procalcitonin more than two sd above the normal value
Hemodynamic variables
Arterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP
decrease > 40 mm Hg in adults or less than two sd
below normal for age)
Organ dysfunction variables
Arterial hypoxemia (Pao2/Fio2 < 300)
Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate
fluid resuscitation)
Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/L
Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)
Ileus (absent bowel sounds)
Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 μL–1)
Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 μmol/L)
Tissue perfusion variables
Hyperlactatemia (> 1 mmol/L)
Decreased capillary refill or mottling
Adapted from Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions
Conference. Crit Care Med 2003; 31: 1250–1256.
I.3.1 Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan .2 gejala sebagai
berikut:
a) Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b) Takipnea (resp >20/menit)
c) Tachycardia (nadi >100/menit)
d) Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e) >10% cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan.
Table 2. Severe Sepsis
Severe sepsis definition = sepsis-induced tissue hypoperfusion or organ dysfunction (any of
theollowing thought to be due to the infection)
Sepsis-induced hypotension
Lactate above upper limits laboratory normal
Urine output < 0.5 mL/kg/hr for more than 2 hrs despite adequate fluid resuscitation
Acute lung injury with Pao2/Fio2 < 250 in the absence of pneumonia as infection source
Acute lung injury with Pao2/Fio2 < 200 in the presence of pneumonia as infection source
Creatinine > 2.0 mg/dL (176.8 μmol/L)
Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis
Sindroma sepsis Syok Sepsis
Takipneu, respirasi 20x/m
Takikardi 90x/m
Hipertermi 38 C
Hipotermi 35,6 C
Hipoksemia
Peningkatan laktat plasma
Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1
jam
Sindroma sepsis ditambah dengan
gejala:
Hipotensi 90 mmHg
Tensi menurun sampai 40 mmHg dari
baseline dalam waktu 1 jam
Membaik dengan pemberian cairan
danpenyakit shock hipovolemik, infark
miokard dan emboli pulmonal sudah
disingkirkan
(Dikutip dari Glauser, 1991)
Bilirubin > 2 mg/dL (34.2 μmol/L)
Platelet count < 100,000 μL
Coagulopathy (international normalized ratio > 1.5)
Adapted from Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference.
Crit Care Med 2003; 31: 1250–1256.
I.3.2 Etiologi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan presentase 60-70%
kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yangterpacu
untuk melepaskan mediator inflamasi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan
produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.
Insidensnya meningkat, antara lain karena pemberian antibiotik yang berlebihan,
meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi
penggunaan alat-alat invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit
rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme
yang resisten terhadap antibiotik.
Gambar 1: Etiologi sepsis
I.3.2 Gejala Klinik
1. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
2. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras
dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas
hangat.
3. Disertai tanda-tanda sepsis.
4. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan
status mental.
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik,
takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis
(tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka
sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia,
trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED
meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok
(nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan
penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam,
tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis
dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia,
kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.
Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah hipovolemia, baik
relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan).
Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga
apabila volume intravaskule adekuat, curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat
kemampuan kontraksi otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik
(sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan
volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada
sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan
meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih mirip status
hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan ekstraksi
oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga
kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2
(pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septic
dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya hiperlaktataemia,
mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia
jaringan (produksi energi dalam keterbatasan oksigen).
I.3.3 Diagnosis
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk menilai
pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea, takikardia
dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan perubahan
keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada wanita – wanita
dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis, abortus septik, atau
telah menjalani prosudur operasi emergensi. Diagnosa dan penanganan awal ini sangat
menentukan keberhasilan hidup pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan organ yang
terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan
temperatur dan lekosit dengan pergeseran ke kiri, tetapi pada beberapa pasien terjadi
penurunan temperatur dan kadar leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan
hiperdinamik jantung, terjadi gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri,
atau aritmia. Konsekuansi klinik dari DIC adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis
mikroangiopati. Karena pada syok sepsis potensi terjadinya disfungsi ginjal dan hipovulemia,
manifestasi klinik dapat berupa oligouria, hematuria dan proteinuria.
Dalam hal membantu menegakkan diagnosa sepsis atau syok septik, selain melalui
pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur. Dua kuman yang sangat
virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group A
streptokokus ) dan Clostridium Sordeli.
I.3.4 Penatalaksanaan
Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman
dalam mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi
penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai
panduan dalam memberikan terapi antimikroba empirik.
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,
mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor
dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi
imunologi bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan
oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan
transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang
mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP
>65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam
resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan
CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit
>30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).6
Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler,
sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan
darah. Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam
waktu 1-2 jam. Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka
perlu dipertimbangkan pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10
ug/kgBB/menit. Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu
MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5
μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka
dosis dapat di tingkatkan sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis
dopamine dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan
levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal,
berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain
(fenilefrin atau epinefrin)
2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada
umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami
obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi.1 Tindakan ini dilakukan secepat
mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.6
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi
antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis
berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang
memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke
tempat yang diduga sumber sepsis.6 Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan
oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan
endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan
dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya
pada sepsis berat dan gagal multi organ.1
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti
bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:
Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)
4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan.
b. Terapi cairan
Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%
atau ringer laktat) maupun koloid.1,6
Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar
Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.
c. Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor
diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60
mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine
0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan:
dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5
μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9
mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based
belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan
penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.
Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin
untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada
kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL.
Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam
praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi
dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di
sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas
antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk
di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa
heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat
diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal merupakan
harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat
meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibodi
hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan
antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan
mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun terapeutic window-
nya sempit. Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram
negative, terutama pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih yang
sering disebabkan kuman Gram negatif.
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan
dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.
Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat
menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia
pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5
mg/kgBB/jam sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan
angka mortalitas (Root, 1991). Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil
yang sama dan hanya dapat memperbaiki keadaan shock tetapi tidak
memperbaiki angka mortalitas
5. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog
lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin,
APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis
bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-
NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi);
nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi). Endogenous
activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi,
koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari
bentuk rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan untuk
menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian
yang tinggi.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN:
a. Nama : Ny. Nelfi Susanti
b. Usia : 37 tahun
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Alamat : Kavling Flamboyan/ blok I No.80
e. Berat badan : 39 kg
f. No rekam medis : 060569
g. Jenis pembedahan : Laparatomi ekplorasi dan colostomy
h. Rencana anestesi : Regional Anasthesia
II. PERSIAPAN PRE OPERASI (19 agustus 2013)
a. Anamnesis
Riwayat operasi (-), riwayat DM (-), riwayat asma (-), riwayat jantung (-), riwayat
hipertensi (-), HIV(-), Hbs Ag(-), riwayat alergi (-).
b. Pemeriksaan fisik pre-operasi
1. Keadaan umum : tampak sakit berat. Kesadaran : compos mentis
2. Airway paten, napas spontan
3. RR: 18 x/menit , Ronki(-) Wheezing(-).
4. Akral hangat, Nadi: 78 x/menit
5. TD: 90/60 mmHg
6. Berat badan 39 kg.
7. Abdomen : Distensi
8. EKG : normal
9. Foto Abdomen : mengarah gambaran ileus obstruktif letak tinggi
ec. Suspect massa di colon decendens 1/3 tengah.
10. Kesan ASA : III
Hasil laboratorium pre operasi
Hb 7,1 g/dl 11-17 g/dlLekosit 1400/ul 4000-10000/ulHt 24% 37-48%Eritrosit 2,9 juta/ul 4,0-5,5 juta/ulTrombosit 93 ribu/ul 150-450 ribu/ulBasofil 0% 0-1%Eosinofil 1% 1-3%Netrofil batang 1% 2-6%Netrofil segmen 43% 50-70%Limfosit 44% 20-40%Monosit 11% 2-8%Ureum 56 mg/dl <50 mg/dlKreatinin 0,6 mg/dl W: 0,5 – 1,0 mg/dlNatrium 128 mmol/LKalium 2,9 mmol/L
Klorida 94 mmol/LAlbumin 2,0 Anti HIV Non reaktifHbsAg Negatife
III. Laporan anestesi selama operasi
a. Jenis anestesi : Anasthesia regional
b. Teknik anestesi: sub-arachnoid-block
c. Lama anestesi : 14.00 s/d 17.35 WIB
d. Lama operasi : 14.15 s/d 17.15 WIB
III.1. Tindakan anestesi regional dengan subaraknoid blok. Pasien dipastikan pada posisi
supine. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.
1) Obat pre-medikasi : (-)
2) Medikasi :
Bunascan 0.5% 10 mg
Fentanyl 25 mikrogram
Efedrin 10 mg, 5 mg, 5 mg, 5 mg, 5 mg, 10 mg, 5 mg, drip 30 mg, 5 mg, 5
mg.
Transamin 1000 mg
Vascon 1,2 cc/jam
3) Pasien diberikan oksigen (-)
4) Airway pasien paten (+)
5) Dipastikan pasien sudah mendapat efek anestesi (+)
6) Monitor tanda-tanda vital pasien, saturasi oksigen.
Waktu Tekanan Darah RR Saturasi 02 Nadi
14.00 WIB 90/56 mmHg 19x/menit 100% 105x/menit
14.15 WIB 68/40mmHg 20x/menit 100% 110x/menit
14.30 WIB 63/40mmHg 20x/menit 100% 122x/menit
14.45 WIB 80/49mmHg 19x/menit 100% 121x/menit
15.00 WIB 78/51mmHg 22x/menit 100% 131x/menit
15.15 WIB 70/48mmHg 18x/menit 100% 130x/menit
15.30 WIB 63/38mmHg 21x/menit 100% 128x/menit
15.45 WIB 62/39mmHg 20x/menit 100% 121x/menit
16.00 WIB 62/42mmHg 18x/menit 100% 120x/menit
16.15 WIB 70/40mmHg 22x/menit 100% 110x/menit
16.30 WIB 65/45mmHg 20x/menit 100% 100x/menit
16.45 WIB 68/48mmHg 22x/menit 100% 99x/menit
17.00 WIB 80/50mmHg 24x/menit 100% 85x/menit
17.15 WIB 108/50mmHg 24x/menit 100% 90x/menit
IV. PEMBERIAN CAIRAN
Ringer laktat 6 kolf
WIDA HES 3 kolf
V. CAIRAN KELUAR
a. Perdarahan : ± 1.500 ml
b. Urin output : ± 800 ml
Monitoring pasca bedah laparatomi di ruang O.K
Kesadaran : compos mentis
Test GCS : 15
TD : 108/50mmHg, RR : 24x/menit, Nadi :90x/menit, saturasi 100%
Infus : Ringer laktat
Drainese : (+) 2 line
Kateter : (+)
VI. PASCA BEDAH
a. Infus :Ringer Laktat
b. Antibiotik : sesuai terapi operator
c. Analgetik : ketorolac 30 mg
d. Anti emetic : ondansetron 4 mg
VII. PERAWATAN DI ICU
Follow up hari ke 1 (19 agustus 2013)
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : somnolen
TD : 99/41mmHg, RR : 20x/menit, N: 92x/menit, Suhu: 36,4 oC
Instruksi pasca operasi :
a) Tranfusi PRC 4 kantong ( yang ada hanya 3 kantong )
b) Tranfusi FFP 4 kantong
c) Jika pasien sadar penuh test clear fluid : D10% 10 cc/jam.
d) Injeksi :
1) Ceftazidine 1 gr/12 jam, skin test hasil (-).
2) Metronidazol 500 mg/12 jam
3) Omeprazole 40 mg/12 jam
4) Transamin 1 ampul/ 8 jam
5) Ketolorac 1 ampul/8 jam
e) Cek labor lengkap pasca tranfusi
f) Advis dr.Anastesi :
1) Ketorolac tunda sementara
2) Analgetik ganti morfin 1 mg/jam
3) Vascon 0,1 mcg/jam
Total intake : 2529,5
Total output : 1300
IWL : 238
Balance : + 991,5
Follow up hari ke-2 di ICU tanggal 20 agustus 2013
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : somnolen
TD: 98/68 mmHg, RR: 23 x/menit, N: 139 x/menit, Suhu: 38,6 oC, Saturasi: 98%.
Terapi dr.Bedah :
a) Diet 20cc peptisol/jam bila bagus test feeding
b) Infus
1) Clinimix 1000 ml
2) Aminofusin 500 ml
3) Ringer laktat ml
4) D 5% 500 ml
c) Ceftazidine 1gr/12 jam
d) Metronidazol 500/8jam
e) Hipobac 200 mg/12jam ( berikan bila fungsi ginjal bagus )
f) Omeprazole 40mg/12jam
g) Ketolorac 3x1 ( tunda )
h) Alinamin f 3x1
i) Transamin 2x500 mg
j) Tranfusi albumin 1 fls/hari selama 3 hari
k) Koreksi amlbumin 20 % ( 3 hari berturut2 )
l) Tranfusi PRC 500 cc
m) Koreksi kalium ( kcl 25 meq )
n) Farmadol 3x500 mg bila suhu diatas 38,0 oC
Rencana :
- Cek labor besok pagi
- Diet cair peptisol 6x200 cc/oral
- Aff NGT
Total intake : 3363
Total out put : 1560
IWL : 430
Balance : (+) 1373
Hasil laboratorium tanggal 20 agustus 2013
Hb 9,1 g/dl 11-17 g/dlLekosit 3800/ul 4000-10000/ulHt 29% 37-48%Eritrosit 3,4 juta/ul 4,0-5,5 juta/ulTrombosit 95 ribu/ul 150-450 ribu/ulSGOT 10 U/L W: < 32 U/LSGPT 12 U/L W Ureum 33 mg/dl <50 mg/dlKreatinin 0,5 mg/dl W: 0,5 – 1,0 mg/dlGlukosa sewaktu 109 mg/dl < 140 mg/dlNatrium 134 mmol/LKalium 2,9 mmol/LKlorida 102 mmol/LAlbumin 2,2
Follow up hari ke-3 di ICU tanggal 21 agustus 2013
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TD: 105/75 mmHg, RR: 21x/menit, N:122x/menit, Suhu: 38,0 oC, saturasi 86%.
Terapi dr.Anastesi:
a) Morfin stop dilanjut ketolorac 3x30mg/hari
b) Tranfusi PRC lanjut premed dexamethason 1 ampul
c) Diet makanan lunak
Rencana : acc pindah ruangan
Terapi dr.Bedah :
a) Tranfusi PRC target Hb >10 g/dl
b) Koreksi albumin
c) Monitor produksi stoma
d) Besok rencana Re-feeding 200 cc
e) Diet makanan lunak
f) Terapi lain lanjut
Total intake 3689
Total output 1700
IWL 400
Balance (+) 1589
Hasil laboratorium 21 agustus 2013 pre tanfusi PRC
Hb 8,1 g/dl 11-17 g/dlLekosit 3400/ul 4000-10000/ulHt 25% 37-48%Eritrosit 3,0 juta/ul 4,0-5,5 juta/ulTrombosit 115 ribu/ul 150-450 ribu/ulNatrium 133 mmol/LKalium 3,3 mmol/LKlorida 102 mmol/LAlbumin 2,26
Hasil laboratorium post tranfusi PRC
Hb 9,7 g/dl 11-17 g/dlLekosit 4000/ul 4000-10000/ulHt 32% 37-48%Eritrosit 3,7 juta/ul 4,0-5,5 juta/ulTrombosit 89 ribu/ul 150-450 ribu/ul
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Ny.N, wanita 39 tahun dengan diagnosis ileus obstruktif et kausa tumor
colon descenden dan dilakukan tindakan laparatomi eksplorasi dan colostomy dengan
regional anastesi. Pada kasus ini diperlukan pengelolaan post operative yang intensive
dengan monitoring di ICU karena operasi laparatomi memiliki komplikasi antara lain
terjadinya ventilasi paru yang tidak adekuat, gangguan kardiovaskuler dan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang sangat sering terjadi, hal tersebut terjadi karena
penurunan respon haus terhadap kondisi hipovolemik dan osmolaritas, terjadi penurunan
laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron
penurunan respon ginjal terhadap vasopressin, terjadi gangguan kapasitas ginjal untuk
menahan natrium.Keadaan pasien saat pre operasi tanda vital yang bermasalah berupa tekanan
darah yaitu 90/60 mmHg, serta kondisi post operasi yang kurang stabil yaitu TD :
108/50mmHg (cenderung turun), RR : 24x/menit, Nadi :90x/menit (cenderung
meningkat)
Hasil laboratorium yang bermasalah
Hb 7,1 g/dl, Lekosit 1400/ul, Ht 24%, Trombosit 93 ribu/ul Ureum 56 mg/dl.
- Medikasi anastesi yang diberikan selama operasi:
1) Bunascan 0.5% 10 mg
2) Fentanyl 25 mikrogram
3) Efedhrine 10 mg, 5 mg, 5 mg, 5 mg, 5 mg, 10 mg, 5 mg, drip 30 mg, 5 mg, 5 mg.
4) Transamin 1000 mg
5) Vascon 1,2 cc/jam
Monitoring selama berlangsungnya operasi
Induksi menggunakan Bunascan 0,5% 10 mg yang merupakan anestesi lokal
golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau
sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi
syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Pada pasien ini juga ditambahkan
fentanyl berguna untuk memperbaiki kualitas blok sensomotoris dari bunascan dan
sebagai analgesia postoperative.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan
darah yang bermakna. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi
spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan
intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara intravena, dan pemberian oksigen.
Pada pasien ini terjadi hipotensi, sehingga pemberian cairan dicepatkan, diberikan bolus
ephedrin sebanyak 10mg secara intravena dan oksigen.
Setelah diberikan bolus ephedrine selama setiap 5-15 menit sekali tetapi keadaan
tekanan darah tidak mencapai keadaan rata-rata normal, diberikan vascon dengan
bertujuan untuk mengendalikan tekanan darah pada kondisi hipotensi akut tertentu.
Asam Traneksamat (Transamin). Bekerja dengan menghambat fibrinolisis. Asam
traneksamat merupakan analog asam aminokaproat, dapat diberikan per oral dan injeksi
intravena, bekerja dengan cara memblok tempat ikatan pada lisin yang biasanya
berinteraksi dengan plasmin, menghambat secara kompetitif terhadap aktivator
plasminogen. Biasanya dipakai dalam kasus paru, THT, interna dan bedah. Pada kasus ini
diberikan transamin setelah operasi selesai untuk menghentikan perdarahan akibat
pembedahan.
Monitoring pasien diruang ICU
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah,
dengan staf dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan
dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit- yang mengancam
jiwa atau potensial mengancam jiwa.
Kematian pasien yang mengalami pembedahan terbanyak timbul pada saat pasca
bedah. Ruang lingkup pelayanannya meliputi pemberian dukungan fungsi organ-organ
vital seperti pernapasan, kardiosirkulasi, susunan saraf pusat, renal dan lain-lainnya, baik
pada pasien dewasa atau pasien anak.
Indikasi ICU
Indikasi Pasien dirawat di ICU :
1. Pasien sakit berat, kritis, dan tidak stabil misal pasien pasca operasi bedah mayor
2. Pasien yang memerlukan pemantauan intensive
3. Pasien yang mengalami komplikasi akut seperti : Edema paru ( kardiogenik dan non
kardiogenik )
Indikasi pasien keluar dari ICU :
1. Pasien tidak memerlukan lagi terapi intensive karena membaik dan stabil
2. Terapi intensive tidak bermanfaat pada :
- Pasien Usia lanjut ( > 65 tahun) yang mengalami gagal tiga organ atau lebih,
setelah di ICU selama 72 jam
- Pasien mati batang otak/koma yang mengalami keadaan vegetatif
- Pasien dengan berbagai macam diagnosis seperti penyakit paru Obstruksi
menahun, kanker dengan metastasis dan gagal jantung terminal
Follow up tanggal 19 agustus 2013
Pada kasus ini pasien direncanakan tranfusi PRC sebanyak 4 kantong dan FFP
sebanyak 4 kantong hingga Hb mencapai 10 g/dl. Setelah mendapatkan tranfusi pada
hari pertama Hb mencapai 9,1 g/dl. Tetapi setelah pada hari berikutnya Hb turun kembali
menjadi 8,1 g/dl dan membutuhkan tranfusi kembali sampai kebutuhan tercapai. Maka
diterapi lagi dengan tranfusi PRC sebanyal 250 cc PRC dan hasil pada tanggal 21 agustus
meningkat menjadi 9,7 g/dl .
Keadaan Hb sangat penting dalam pemantuan pada pasca bedah laparatomi
mengingat dari perdarahan yang terjadi pada saat operasi berlangsung. Keadaan Hb harus
dipertahankan dalam kondisi poten.
Pemberian FFP bertujuan untuk mempertahankan keadaan plasma dalam tubuh
pasian agar tetap dalam keadaan normal. Karena dari hasil laboratorium menunjukkan
kadar albumin pasien yang dibawah normal.
Indikasi tranfusi darah.
a. Sel darah merah
Indikasi satu-satunya untuk transfusi sel darah merah adalah kebutuhan untuk
memperbaiki penyediaan oksigen ke jaringan dalam jangka waktu yang singkat.
Kehilangan darah yang akut, jika darah hilang karena trauma atau pembedahan, maka
baik penggantian sel darah merah maupun volume darah dibutuhkan.
Transfusi darah prabedah diberikan jika kadar Hb 80 g/L atau kurang.
Anemia yang berkaitan dengan kelainan menahun, seperti penderita penyakit
keganasan, artritis reumatoid, atau proses radang menahun yang tidak berespon
terhadap hematinik perlu dilakukan transfusi.
Gagal ginjal, anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal diobati dengan
transfusi sel darah merah maupun dengan eritropoetin manusia rekombinan.
Gagal sumsum tulang karena leukemia, pengobatan sitotoksik, atau infiltrat
keganasan membutuhkan transfusi sel darah merah dan komponen lain.
Penderita yang tergantung transfusi seperti pada talasemia berat, anemia aplastik dan
anemia sideroblastik membutuhkan transfusi secara teratur.
Penyakit sel bulan sabit, beberapa penderita ini juga membutuhkan transfusi secara
teratur, terutama setelah stroke.
Indikasi lain untuk transfusi pengganti pada penyakit hemolitik neonatus, malaria
berat karena plasmodium falciparum dan septikemia meningokokus.
Pemantauan keadaan umum pasien setelah diberikan terapi cairan dan
medikamentosa
Keadaan umum masih tampak sakit berat dan Kesadaran compos mentis serta
tanda vital pasien . TD: 98/68 mmHg, RR: 23 x/menit, N: 139 x/menit, Suhu: 38,6 oC,
Saturasi: 98%.
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan fisik yang ada disini dapat dicurigai keadaan
pasien dalam keadaan sepsis, dengan alasan adanya hipotensi, takipne, takikardia, demam
dengan suhu diatas 38,0 oC selama perawatan di ICU,
Dengan hasil laboratorium pada pre operasi sel monosit mencapai 11% sedangkan
nilai normal 2-8%, hasil pemeriksaan lekosit 3.800/ul sedangkan batasan normal 4000-
1000/ul, dan adanya trombositopenia.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium yang didapatkan pada pasien dapat
dicurigai terjadinya sepsis.
kriteria penegakaan sepsis
Table 1. Diagnostic Criteria for Sepsis
Infection, documented or suspected, and some of the following :
General variables
Fever (> 38.3°C)
Hypothermia (core temperature < 36°C)
Heart rate > 90/min–1 or more than two sd above the normal value for age
Tachypnea
Altered mental status
Significant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hr)
Hyperglycemia (plasma glucose > 140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetes
Inflammatory variables
Leukocytosis (WBC count > 12,000 μL–1)
Leukopenia (WBC count < 4000 μL–1)
Normal WBC count with greater than 10% immature forms
Plasma C-reactive protein more than two sd above the normal value
Plasma procalcitonin more than two sd above the normal value
Hemodynamic variables
Arterial hypotension (SBP < 90 mm Hg, MAP < 70 mm Hg, or an SBP decrease > 40 mm Hg in
adults or less than two sd below normal for age)
Organ dysfunction variables
Arterial hypoxemia (Pao2/Fio2 < 300)
Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/kg/hr for at least 2 hrs despite adequate fluid resuscitation)
Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 μmol/L
Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)
Ileus (absent bowel sounds)
Thrombocytopenia (platelet count < 100,000 μL–1)
Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 μmol/L)
Tissue perfusion variables
Hyperlactatemia (> 1 mmol/L)
Decreased capillary refill or mottling
(Adapted from Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ESIC)
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.scribd.com/doc/88847088/LAPARATOMI