laporan ekper kel 7 fix
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM PENENTUAN STASIUN
PENGAMATAN DAN PENGAMBILAN SAMPEL
Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Perairan
Disusun oleh:
Nama : xxxxxxxx
NPM : 1404100800xx
Kelompok : 7
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
JATINANGOR
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Air merupakan salah satu kebutuhan hidup yang sangat penting bagi seluruh
mahluk hidup. Seperti yang diketahui 70% dari makhluk hidup tersusun oleh air
dan setiap harinya manusia membutuhkan 1,5 liter air untuk tetap bertahan hidup
(De Santo, 1978). Air dapat membawa berbagai unsur hara dan mineral yang
merupakan sumber nutrisi penting bagi tumbuhan serta merupakan sumber enegi
berbagai makhluk hidup. Selain itu bagi biota aquatik air juga digunakan sebagai
tempat hidup atau habitatnya. Berdasarkan salinitasnya, ekosistem perairan yang
ada di dunia ini terbagi dua, yaitu perairan asin dan perairan tawar.
De Santo (1978), Odum (1988) dan Ewusie (1990) mengklasifikasikan
habitat perairan tawar menjadi 2 tipe yaitu:
1. Air tergenang atau habitat lentik (berasal dari kata lenis = tenang),
seperti danau, kolam, rawa, atau pasir terapung.
2. Air mengalir atau habitat lotik (berasal dari kata lotus = tercuci), seperti
mata air, aliran air (brook-creek) atau sungai.
Salah salah satu contoh dari perairan air tawar adalah Sungai. .Ekosistem
sungai ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut mencakup
faktor-faktor kimia, fisika, dan biologi. Contohnya Karakter ekosistem dalam
sungai dipengaruhi oleh hubungan di antara sumber air, volume air, volume dasar
sungai dan curamnya dasar sungai, karakter dasar, laju pergerakan, kandungan
oksigen terlarut, suhu air, turbulensi, dan lain-lain (Odum, 1998)
Karakteristik lain dari ekosistem sungai adalah letak geografisnya yang
berhubungan langsung dengan aliran sungai yang menyebabkan sungai banyak
menerima materi organik alokhtonous. Selain itu, sejumlah besar padatan
tersuspensi dan zat hara terlarut yang terbawa limbah dapat menyebabkan sungai
mengalami eutrofikasi (Mann, 1980 dalam Barnes, 1982).
Kualitas air sungai merupakan hasil merupakan hasil interaksi berbagai
factor, baik berasal dari dalam maupun dari luar badan sungai. Faktor-faktor
tersebut antara lain iklim, tanah dasar sungai, arus air, kegiatan budidaya, kegiatan
industri dan kegiatan penerbangan hutan yang ada di sepanjang daerah aliran
sungai.
Keberadaan komponen penyusun ekosistem ini dapat memberikan
informasi mengenai kualitas air pada suatu ekosistem perairan. Kehidupan
organisme air sangat dipengaruhi oleh kualitas air. Suatu ekosistem perairan,
termasuk ekosistem air tawar, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam ekosistem
ini, faktor-faktor tersebut akan saling mempengaruhi melalui hubungan timbal
balik dan membentuk suatu karakteristik perairan. Faktor-faktor tersebut adalah
kimia, fisika, dan biologi.
Faktor Kimia terdiri dari Alkalinitas, Biochemical Oxygen Demand
(BOD), Dissolved Oxygen (DO), Keasaman (pH). Faktor Fisika terdiri dari Suhu,
Kejernihan, Arus, Daya Hantar Listrik. Faktor biologis yang mempengaruhi
keadaan perairan tawar adalah bentos dan plankton. Dengan melakukan beberapa
pengamatan dan pengujian pada kedua komponen penyusun ekosistem ini, kita
akan dapat menetahui kualitas air berdasarkan parameter biologi, kimia dan fisika
sehingga dapat diketahui pula tingkat pencemarannya.
1.2. Identifikasi Masalah
Untuk mengetahui kualitas air di suatu perairan dapat dilakukan dengan
menganalisa sifat fisik-kimiawi dan biologis contoh air dari perairan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang menjadi dasar dilakukannya
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana keadaaan kualitas air berdasarkan parameter fisik dan kimiawi
Sungai Cikapundung , yang kemudian ditentukan status mutunya dengan
menggunakan standar baku mutu yang ada.
2. Bagaimana keadaaan kualitas air berdasarkan parameter biologi Sungai
Cikapundung.
3. Berapakah nilai penting serta indeks diversitas plankton dan bentos pada
kedua daerah pengamatan tersebut.
1.3. Maksud dan Tujuan Praktikum
Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengetahui dan mengukur
parameter biologis dengan cara mengetahui jenis-jenis plankton dan bentos,
menghitung nilai penting dan indeks diversitasnya, serta mengukur parameter
fisika dan kimia yang terdapat pada lokasi pengamatan yaitu, Sungai
Cikapundung.
Sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas air pada kedua
daerah pengamatan tersebut serta dapat memberikan informasi mengenai keadaan
sungai tersebut dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaannya secara optimal.
1.4.Waktu dan Tempat Pengamatan
Praktikum “ Penentuan Stasiun Pengamatan dan Pengambilan Sampel” ini
dilakukan di Sungai Cikapundung Babakan Siliwangi, Bandung pada hari Sabtu
tanggal 4 Desember 2010 pukul 09.00-11.00 WIB .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem merupakan suatu kesatuan dari komponen biotik dan abiotik
yang terdapat di suatu daerah. Ekosistem dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar
yaitu ekosistem terrestrial dan ekosistem akuatik. Kajian ekosistem sangat penting
untuk dilakukan karena dapat melihat dan menganalisa kerusakan lingkungan dan
overpopulasi hewan di suatu daerah.
De Santo (1978), Odum (1988) dan Ewusie (1990) mengklasifikasikan
habitat perairan tawar menjadi 2 tipe yaitu:
1.Air tergenang atau habitat lentik (berasal dari kata lenis = tenang), seperti
danau, kolam, rawa, atau pasir terapung.
2.Air mengalir atau habitat lotik (berasal dari kata lotus = tercuci), seperti mata
air, aliran air (brook-creek) atau sungai.
Air merupakan salah satu kebutuhan hidup yang sangat penting bagi seluruh
mahluk hidup. Seperti yang diketahui 70% dari makhluk hidup tersusun oleh air
dan setiap harinya manusia membutuhkan 1,5 liter air untuk tetap bertahan hidup
(De Santo, 1978). Bagi manusia air, terutama air yang bersih selain untuk minum,
air dapat pula digunakan untuk memasak, mencuci pakaian, mandi, proses
industri, dll. Tidak hanya manusia makhluk hidup lain seperti tumbuhan dan
hewan juga memerlukan air. Air dapat membawa berbagai unsur hara dan mineral
yang merupakan sumber nutrisi penting bagi tumbuhan serta merupakan sumber
enegi berbagai makhluk hidup. Selain itu bagi biota aquatik air juga digunakan
sebagai tempat hidup atau habitatnya.
Salah salah satu contoh dari perairan air tawar ini adalah
Sungai. .Ekosistem sungai ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini
akan saling mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik serta membentuk
suatu karakteristik yang khas. Faktor-faktor tersebut mencakup faktor-faktor
kimia, fisika, dan biologi. Contohnya Karakter ekosistem dalam sungai
dipengaruhi oleh hubungan di antara sumber air, volume air, volume dasar sungai
dan curamnya dasar sungai, karakter dasar, laju pergerakan, kandungan oksigen
terlarut, suhu air, turbulensi, dan lain-lain (Odum, 1998)
Karakteristik lain dari ekosistem sungai adalah letak geografisnya yang
berhubungan langsung dengan aliran sungai yang menyebabkan sungai banyak
menerima materi organic alokhtonous. Selain itu, sejumlah besar padatan
tersuspensi dan zat hara terlarut yang terbawa limbah dapat menyebabkan sungai
mengalami eutrofikasi (Mann, 1980 dalam Barnes, 1982).
Ekosistem lotik atau sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai
dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona
krenal terbagi menjadi tiga, yaitu:
Rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun. Biasanya terdapat pada
tebing-tebing yang curam.
Limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air, selanjutnya akan
membentuk aliran sungai yang kecil.
Helokrenal, yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa.
Aliran dari beberapa mata air ini selanjutnya akan membentuk aliran
sungai di daerah pegunungan yang disebut Zona rithral (ditandai dengan relief
aliran sungai yang terjal). Zona rithral dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Epirithral, yaitu bagian yang paling hulu.
Metarithral, yaitu bagian tengah dari aliran sungai zona rithral.
Hyporithral, yaitu bagian paling akhir dari zona rithral.
Setelah melewati sona Hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona
potamal, yaitu aliran sungai pada daerah yang relative lebih landai dibandingkan
zona rithral. Zona potamal, juga terbagi atas tiga bagian yaitu:
Epipotamal, bagian atas dari zona potamal.
Metapotamal, bagian tengah dari zona potamal.
Hypopotamal, bagian akhir dari zona potamal.
Adanya perbedaan keterjalan dari topografi aliran sungai menyebabkan
kecepatan dari daerah hulu sampai ke hilir bervariasi. Daerah hulu ditandai
dengan kecepatan arus yang tinggi. Makin mendekati daerah hilir, kecepatan arus
akan makin berkurang.
Aliran air pada perairan lotik dimulai dengan adanya berbagai mata air
di daerah hulu yang akan membentuk aliran-aliran air yang kecil. Selanjutnya
aliran-aliran air ini akan membentuk aliran sungai yang besar. Selanjutnya aliran
air tersebut akan memasuki wilayah yang lebih landai sehingga kecepatan arus
akan menurun dengan cepat. Setelah melalui berbagai wilayah, seperti areal
pertanian, pemukiman, industri dan sebagainya, aliran air juga berfungsi sebagai
alat transport bagai beberapa jenis substrat, sediment serta benda manapun zat lain
termasuk berbagai jenis limbah yang dibuang oleh manusia ke dalam badan air.
Dipandang dari sudut hidrologis, sungai berperan sebagai jalur
transport terhadap aliran permukaan, yang mampu mengangkut berbagai jenis
bahan dan zat. Sedangkan bagi ilmu limnologi, sungai merupakan habitat bagi
berbagai jenis organisme air yang memberikan gambaran kualitas dan hubungan
ekologis yang terdapat di dalamnya, termasuk perubahan yang diakibatkan oleh
aktivitas manusia. Sungai merupakan suatu system yang dinamis dengan segala
aktivitas yang berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat
di dalamnya. Adanya dinamika tersebut akan menyebabkan suatu sungai berada
dalam keseimbangan ekologis sejauh sungai itu tidak menerima bahan asing dari
luar. Pada batas-batas tertentu pengaruh bahan asing ini masih dapat ditolerir dan
kondisi keseimbangan masih dapat dipertahankan. Hal ini disebabkan karena, jika
limbah berupa senyawa organik dalam jumlah yang sedikit (dalam batas toleransi)
maka limbah tersebut akan dapat dinetralisir oleh adanya dinamika ekologis. Hal
ini berkaitan juga dengan aktivitas mikroorganisme yang terdapat di dalam air
yang mampu menguraikan senyawa organik. Proses ini berlangsung disepanjang
aliran sungai secara aerob, sehingga kandungan O2 terlarut mempunyai peranan
yang sangat dominan, dan dapat diamati melalui perubahan kualitas air
disepanjang aliran sungai (Barus, 2002)
Ekosistem sungai meliputi komponen-komponen abiotik, biotik dan
dekomposer. Pembagian komponen biotik atas dasar tingkat trofik di dalam
ekosistem perairan akan meliputi organisme yang autotrofik yang mampu
mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan penambatan
sinar matahari. Kelompok ini disebut produser primer. Tingkat trofik yang
lainnya disebut organisme kelompok heterotrofik yaitu yang sangat tergantung
hidupnya kepada produser primer, tidak mampu berfotosintesis karena tidak
berklorofil. Kelompok ini disebut juga sebagai konsumer yaitu yang terdiri dari
konsumer tingkat I, II dan III dan sebagainya sesuai dengan tingkat mana
memakainya, di dalam jarring-jaring makanan (Pandi, 1989).
Kualitas Air
Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang
dinamis, analisa fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya
kualitas perairan, dan dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan yang
kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi
keadaaan sesaat. Bourdeau and Tresshow (1978) dalam Butler (1978)
menyatakan bahwa dalam lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya
analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas
tentang kualitas perairan (www.rudyct.tripod.com).
Bioindikator peka ekosistem perairan lotik (sungai)
Bioindikator merupakan kelompok organisme (tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme) yang sifat dan keberadaannya sangat dipengaruhi oleh
perubahan faktor-faktor lingkungan. Kelangsungan hidup suatu organisme dalam
suatu ekosistem pada prinsipnya dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan.
Apabila perubahan suatu faktor lingkungan lebih besar daripada batas toleransi
yang dapat diterima oleh suatu organisme, maka organisme tersebut tidak dapat
bertahan hidup. Kisaran toleransi tiap organisme terhadap berbbagai perubahan
yang terjadi pada faktor lingkungan tidaklah sama. Berdasarkan prinsip diatas,
kualitas suatu perairan lotik dapat ditentukan dengan cara mengamati jenis-jenis
organisme yang hidup di dalamnya, sebagai bioindikator. Sifat yang harus
dimiliki individu yang berfungsi sebagai bioindikator adalah bahwa jenis tersebut
dapat dengan mudah diidentifikasi, sensitive terhadap perubahan lingkungan serta
merupakan kelompok organisme yang bersifat cosmopolitan. Protozoa
merupakan salah satu kelopok organisme yang sangat cocok dipakai sebagai
bioindikator, selain protozoa, masih banyak organisme yang dapat dipakai
sebagai bioindikator, seperti algae (kedua organisme tersebut dikenal juga dengan
istilah plankton), larva insekta, mollusca, crustaceae (digolongkan sebgai
kelompok bentos), ikan dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Lee (1986) yaitu, “Invertebrata-invertebrata air sangat peka
terhadap kualitas air, dan sebagian besar setidak-tidaknya mempunyai daur
kehidupan setahun. Akibatnya keberadaan dan keadaan limpahannya dapat
digunakan sebagai indikator-indikator kualitas air masa lalu dan saat ini”.
Secara umum organisme perairan dapat diklasifikasikan sebagai berikut,
kelompok organisme yang hidup pada perairan jernih (clean), tercemar ringan
(slightly polluted), tercemar sedang (moderately polluted), tercemar berat (highly
polluted), dan tercemar sangat berat (extremely polluted).
Terdapat beberapa kelompok organisme perairan yang dapat digunakan
sebagai indikator pencemaran perairan mulai dari bakteri, plankton (organisme
yang hidupnya melayang dlam air dan gerakannya sangat dipengaruhi oleh arus
air), benthos (organisme yang hidup di permukaan atau di dalam dasar perairan),
sampai nekton (organisme yang mempunyai kemampuan untuk bergerak aktif
dalam air).
Ada beberapa metode pendugaan kualitas perairan dengan paramenter
indikator biologi, fisika, dan kimia, diantaranya adalah sebagai berikut:
Sistem Saprobik
Kolkwitz dan Marson (1908-1909) adalah peneliti yang pertama kali
menemukan teori dan konsep pendugaan kualitas perairan dengan menggunakan
organisme perairan. Konsepnya ini didasarkan pada hasil penemuannya yang
menunjukan bahwa terdapat perbedaan jenis organisme yang hidup pada zona-
zona perairan yang mengalami pencemaran bahan organic dengan tingkat yang
berbeda. Dikenal ada 3 zona dalam konsep ini.
1. Zona dimana proses reduksi sangat menonjol, disebut pula sebagai zona yang
berada pada tingkat polysaprobic.
2. Zona dimana proses reduksi dan proses oksidasi berjalan seimbang, disebut
pula sebagai sebagai zona yang berada pada tingkat mesosaprobic.
3. Zona dimana terjadi hanya oroses oksidasi desebut pula sebagai zona yang
berada pada tingkat oligosaprobic.
Tahun 1962 Liebmann berhasil menyusun daftar klasifikasi organisme
yang didasarkan pada tingkat pencemaran tempat organisme tersebut hidup.
Klasifikasi organisme Liebmann tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kelompok organisme oligosaprobic, umumnya mendiami perairan yang tidak
tercemar.
2. Kelompok organisme β mesosaprobic, umumnya mendiami perairan yang
tercemar sedang.
3. Kelompok organisme α mesosaprobic, umumnya mendiami perairan yang
tercemar berat.
4. Kelompok organisme polysaprobic, umumnya mendiami perairan yang
tercemar sangat berat.
Untuk menyatakan tingkat pencemaran perairan tidak dapat dengan begitu
saja membandingkan jenis organisme yang ditemukan di prairan tersebut dengan
daftar orgnisme yang ada. Sebab pada suatu perairan ada kemungkinan didiami
oleh lebih dari satu kelompok organisme indicator pencemaran. Pada perairan
yang tercemar sedang misalnya, bisa saja dihuni oleh beberapa kelompok
organisme indicator pencemaran dari kelompok organisme β mesosaprobic, α
mesosaprobic dan oligosaprobic.
Tabel 2.1 Kriteria tingkat pencemaran perairan berdasarkan indeks saprobik
Indeks saprobik Tingkat pencemaran
1,00 – 1,50 Tidak atau hamper tidak tercemar
(oligosaprobic)
1,51 – 2,50 Tercemar sedang (β mesosaprobic)
2,51 – 3,50 Tercemar berat (α mesosaprobic)
3,51 – 4,00 Tercemar sangat berat (polysaprobic)
Indeks Keanekaragaman Jenis (Indices of Species Diversity)
Keanekaragaman jenis (species diversity) adalah suatu ungkapan dari
struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman
jenis yang tinggi, jika komunitas tersebut disusun oleh banyak jenis yang
mempunyai kelimpahan besar dan sama atau hampir sama. Sebaliknya, jika suatu
komunitas disusun oleh hanya beberapa jenis saja yang melimpah, maka
keanekaragaman jenisnya rendah.
Pada suatu ekosistem yang belum terganggu oleh kegiatan manusia,
umumnya keanekaragaman jenis organisme yang menyusun komunitas dalam
ekosistem tersebut adalah tinggi, seperti yang digambarkan grafik berikut:
Gambar 2.1 A
Gambar 2.1 B
Grafik 2.1A merupakan contoh hipotetik komunitas hewan dasar
(bentos) pada perairan yang belum tersemar atau belum terganggu kegiatan
manusia. Terlihat paada grafik tersebut kelimpahan setiap jenis organisme yang
menyusun komunitas tersebut adalah sama atau hampir sama. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada jenis organisme yang mendominasi komunitas
tersebut. Dalam komunitas tersebut setiap organisme mempunyai kemampuan
yang sama dalam mengendalikan struktur komunitas tersebut. Komunitas seperti
ini berada pada stabilitas yang tinggi.
Kondisi seperti di atas dapat berubah, bila ada bahan pencemar (polutan)
yang masuk ke perairan tersebut dan membunuh salah satu jenis organisme yang
peka terhadap polutan. Misalnya saja pencemaran tersebut akan membunuh jenis
organisme C. Bila jenis organisme yang mati ini merupakan makanan dari jenis D
maka jenis D tersebut akan berkurang kelimpahannya. Demikian seterusnya
sehingga struktur komunitas seperti digambarkan pada grafik 2.1A berubah
menjadi grafik 2.1B.
Tabel 2.2 Kriteria tingkat pencemaran perairan menurut indeks keanekaan bentos
atau nekton
Tingkat pencemaran Indeks keanekaragaman
Tidak tercemar > 2,00
Tercemar ringan 2,60 – 2,00
Tercemar sedang 1,59 – 1,00
Tercemar berat < 1,00
Canter dan Hill (1981) menggunakan indeks keanekaragaman
fitoplankton dan zooplankton untuk menentukan tingkat pencemaran (kualitas)
perairan. Kedua indeks keanekaragaman tersebut memberikan informasi yang
berbeda, dikarenakn kedua kelompok plankton tersebut mempunyi peranan yang
berbeda di perairan. Fitoplankton merupakan produsen primer sedangkan
zooplankton merupakan consumer tingkat pertama. Indeks keanekaragaman
fitoplankton biasanya digunakan untuk mengetahui pencemaran oleh pencemaran
nutrient atau unsure hara (missal fosfat, nitrogen, dan lainnya) sedangkan indeks
keanekaragaman zooplankton digunakan untuk mengetahui pencemaran perairan
oleh bahan toksik (racun) atau bahan kimia yang menyebabkan menurunnya
oksigen dalam perairan. Kedua indeks keanekaragaman tersebut dapat dilihat
pada table 2.3.
Tabel 2.3 Kriteria kualitas perairan menurut indeks keanekaragaman fitoplankton
dan zooplankton
Tingkat pencemaran Indeks
Fitoplankton
Keanekaragaman
Zooplankton
Sangat baik >2,00 >2,00
Baik 2,60-2,00 2,60-2,00
Sedang 1,00-1,59 1,59-1,00
Buruk 0,70-0,99 1,00-1,39
Sangat buruk <0,70 1,00
Indeks Autotrofik
Pada perairan yang tidak tercemar, populasi plankton umumnya disusun
oleh organisme autotrofik (produsen primer). Bila perairan tercemar oleh bahan
organic, mka populasi organisme heterotrofik (konsumer, seperti protozoa,
bakteri, dan organisme tidak brklorofil lainnya) akan meningkat. Untuk
mengetahui terjadinya prubahan pada komposisi jenis plankton dalam periran
dapat diketahui dengan menghitung indeks autotrofiknya.
Indeks Diversitas Pigmen
Di antara berbagai macam pigmen (zat warna) yang terdapat dalam
tumbuhan yang dapat digunakan untuk menunjukkan diversitas pigmen adalah
klorofil-a dan karotenoid. Kelimpahan klorofil-a sangat berfluktuasi dipengaruhi
oleh musim, cahaya, nutrient, dan factor lingkungan lain. Karotenoid lebih stabil,
kelimpahan relatifnya meningkat menurut umur dan kondisi yang buruk bagai
pertumbuhanny. Oleh karena itu bagi tumbuhan yang telah berumur tua, hidup
melimpah, dan di tempat yang miskin nutrient, rasio antara karoten dan klorofil-a
adalah tinggi. Perbandingan antara karotenoid dengan klorofil-a dikenal sebagai
indeks diversitas pigmen.
Indeks Biotik
Pendugaan kualitas air dengan indeks biotic (IB) hanya dapat dilakukan
untuk ekosistem perairan mengalir (misalnya sungai). Metode ini didasarkan
pada adanya makroinvertebrata yang hidup di ekosistem mengalir tersebut.
Dresscher dan Van hooren (1983) menjelaskan bahwa perairan mengalir dihuni
oleh kelompok-kelompok organisme yang mencirikan kondisi jernih (tidak
tercemar) sampai tercemar. Mereka membagi kelompok organisme tersebut ke
dalam 7 kelompok berdasarkan tingkat kejernihan perairannya.
Perairan yang paling jernih dicirikan oleh terdapatnya jenis organisme
indicator dari kelompok Plecotera dan Ecdyonuridae. Sedangkan perairan yang
paling tercemar (tercemar sangat berat) dicirikan oleh adanya organisme dari
kelompok Eristalinae. Untuk lebih jelasnya 7 kelompok organisme yang
mencirikan tingkat kejernihan perairan dapat di lihat pada table 2.4.
Tabel 2.4 Tabel standar untuk menentukan indeks biotic
Kelompok organisme
indikator
Total SU 0 - 1 2 - 5 6 - 10 11 -
15
>15
Plecoptera
Ecdyonuridae
> 1 SU
1 SU
-
5
7
6
8
7
9
8
10
9
Trichoptera (cased) > 1 SU
1 SU
-
5
6
5
7
6
8
7
9
8
Ancylidae
Ephemeroptera
> 2 SU
1 – 2 SU
-
3
5
4
6
5
7
6
8
7
Odonanta, Gamaridae,
Molusca, Aphalocheirus
0
Kelompok
diatas 3 4 5 6 7
absen
Hemiptera, Spharidae,
Asselus, Hirudinae
0
Kelompok
diatas
absen
2 3 4 5 -
Tubificidae,
Chironomu
0
Kelompok
diatas
absen
1 2 3 - -
Eristalinae
0
Kelompok
diatas
absen
0 1 1 - -
Klasifikasi Plankton
Kata plankton berasal dari bahasa Yunani yang artinya “mengembara”
kemudian plankton dipergunakan untuk mengartikan semua organisme pelagis
yang geraknya lebih dipengaruhi oleh pergerakan air daripada oleh kemampuan
berenangnya.
Plankton dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis, ukuran, daur hidup,
dan habitatnya.
Berdasarkan jenis, plankton dikelompokkan menjadi fitoplankton
(plankton nabati) dan zooplankton (plankton hewan).
Berdasarkan ukuran, plankton dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 2.6 Klasifikasi plankton berdasarkan ukuran
No Kelompok Ukuran Penyusun
1. Ultraplankton < 2 μm Bakteri
2. Nannoplankton 2-20 μm Bakteri dan flagellate kecil
3. Mikroplankton 20-200 μm Kebanyakan fitoplankton
4. Maktoplankton 200-2000 μm Fitoplankton dan zooplankton
5. Megaloplankton > 2000 μm Zooplankton
Menurut daur hidup, dikenal ada holoplankton (plankton pemanen), yaitu
organisme yang menghabiskan semua aktofitas dari tahap-tahap hidupnya sebagai
plankton; dan meroplankton (plankton temporal) adalah organisme yang sebagian
tahap hidupnya digabiskan sebagai plankton, contoh spora plankton telur dan
larva ikan atau hewan bentik (dasar perairan). Tychopelaagic adalah organisme
yang hidup normalnya sebagai organisme bentik namun kadang-kadang sebagai
plankton karena teraduk dari dasar perairan dan terbawa ke kolam air.
Menurut habitatnya plankton diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Epiplankton, yaitu plankton yang hidup di zona epipelagik (pantai sampai
kedalaman 200 meter;
2. Bathyplankton, yaitu plankton yang hidup di lapisan air yang paling dalam;
3. Hypoplankton, yaitu plankton yang hidup dekat dasar perairan.
Kepadatan plankton bervariasi, tergantung pada ketersediaan nutrisi dan
stabilitas air . Satu liter air danau boleh berisi lebih dari 500 juta organisma
planktonic. Plankton laut adakalanya menjadi sangat banyak sehingga menjadi
organisma mewarnai air itu seperti (itu) peningkatan populasi mendadak
[disebut/dipanggil] pasang.
Klasifikasi Bentos
Benthos merupakan organisme yang hidup dan mempertahankan diri di
dasar perairan.Benthos hidup di daerah benthic. Organisme benthic (benthos)
tinggal menghuni seafloor tempat kediaman beda. Shallow-Bottom adalah tempat
kediaman yang meluas dari pantai kepada tepi landas kontinen, organismenya
adalah kerang-kerangan, polychaete cacing, dan ganggang dan spons. Daerah
continental landai dan di luar dandanan zone yang benthic, meliputi bagian paling
dalam bagian dari samudra itu jarang didiami kecuali pycnogonid laba-laba laut
dan stalked crinoids ( bunga bakung laut) (Microsoft Encarta 1993-2004).
Berdasarkan ukurannya, benthos diklasifikasikan menjadi:
1. Makrobentos, berukuran > 0,5 mm,
2. Meiobentos, berukuran 0,1-0,5 mm,
3. Mikrobentos, berukuran < 0,1 mm.
Struktur komunitas benthos (terutama zoobenthos) dipengaruhi oleh
berbagai factor lingkungan abiotik dan biotic. Faktor biotic yang berpengaruh
adalah produsen yang merupakan makanan benthos.Adapun factor abiotik yang
berpengaruh adalah faktor fisika-kimia air seperti :
1. Suhu
2. Arus
3. Oksigen terlarut (DO)
4. Kebutuhan oksigen biologi (BOD)
5. Kebutuhan oksigen kimia (COD)
6. Kandungan nitrogen
7. Kedalaman air
8. Substrat dasar
(Allard and moreau,1992 dalam www.tripod.com)
Berdasarkan jenis, bentos digolongkan menjadi fitobentos (bentos
nabati) dan zoobentos (bentos hewani). Namun pada umumnya istilah bentos
sering digunakan untuk menyebut zoobentos.
Berdasarkan kebiasaan hidup dan adaptasinya, Levinton (1982)
mengklasifikasikan bentos menjadi:
1. Epibentos, adalah organisme yang menempel secara permanent atau temporal
pada permukaan substrat atau benda;
2. Infauna, adalah organisme yang hidup dalam sediemen: hewan bertubuh lunak
menggunakan anchor-nya untuk menembus sediment, dan hewan bertubuh
keras menggunakan ototnya untuk menggali sediment;
3. Interstitial fauna, adalah organisme yang hidup di sela-sela butiran pasir atau
sediment, umumnya terdiri dari meiobentos;
4. Boring fauna (hewan peliang), organisme ini mempunyai kemampuan untuk
menembus substrat dengan cara mekanik maupun kimiawi;
5. Swimmer fauna, organisme ini bila istirahat berada di permukan dasar
perairan, tetapi bila bergerak ia menggunakan kemampuan berenangnya,
contoh di antaranya cumi-cumi dan polychaeta.
Bentos sering dipergunakan untuk menduga kualitas atau tingkat
pencemaran perairan, hal ini menurut Mason (1981) didasarkan atas beberapa
pertimbangan, yaitu:
1. Bentos hidupnya menetap atau melekat pada dasar perairan, sehingga
dapatdigunakan untuk menggambarkan kondisi perairan tersebut;
2. Prosedur pengambilan contohnya telah dikembangkan dengan baik dan dapat
dioperasikan oleh satu orang saja;
3. Jenis organisme yang menyusun komunitas bentos sangat beragam, sehingga
dengan teknik pengambilan contoh tunggal kemungkinan dapat diperoleh
berbagai macam jenis organisme yang menyusun komunitas tersebut.
Menurut (Soegianto,2004) jumlah contoh (sample) bentos yang diambil
dari setiap lokasi sampling adalah sebagai berikut:
1. Untuk mikrobentos yang hidup di substrat halus, luas area yang di sampling
berukuran antara 0,3 – 0,5 m2.
2. Untuk meiobentos paling sedikit pada setiap lokasi sampling diambil dari 5
titik yang berdiameter 4 – 8 cm2.
3. Untuk bentos yang hidup di substrat keras, luas area minimum yang harus
diambil adalah 400 cm2.
Parameter Fisik
1. Kecerahan
Kecerahan pada suatu perairan sangat berpengaruh pada jumlah
intensitas matahari yang masuk ke perairan tersebut. Intensitas cahaya yang
masuk akan digunakan oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya untuk
melakukan proses fotosintesis. Kemampuan daya tembus sinar matahari pada
suatu perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan
organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan, kepadatan plankton,
jasad renik dan detritus (Wardoyo, 1981).
Kecerahan perairan ini biasanya diukur dengan alat yang dinamakan
Keping Secchi (secchi disk). Apabila tingkat kecerahan dari suatu perairan < 3m
maka perairan tersebut termasuk tipe perairan yang subur (eutrofik). Apabila
terletak diantara 3-6m maka kesuburan sedang (mesotrofik) sedangkan > 6m
digolongkan pada tipe perairan kurang subur (oligotrofik)
2. Suhu
Suhu air ini juga sangat berpengaruh terhadap sifat kimiawi dan biologi
dari suatu perairan. Faktor-faktor yang turut mempengaruhi suhu antara lain
musim, cuaca, waktu pengukuran, kedalaman air dan kegiatan manusia di sekitar
perairan (Nybakken, 1988). Suhu berguna dalam memperlihatkan kecenderungan
aktivitas-aktivitas kimiawi dan biologis, pengentalan, tekanan uap, tegangan
permukaan dan nilai-nilai penjenuhan dari benda-benda padat dan gas (Mahida,
1984)
Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa
air. Daerah yang mempunyai penurunan suhu yang lebih besar disebut
“thermoklin (metalimnion)”. Masssa air di atas “metelimnion” yang
memperlihatkan sedikit stratifikasi panas atau tidak sama sekali disebut
“epilimnion”, lapisan yang memanjang dari “metalimnion” sampai dasar disebut
“hipolimnion”.
Pada lapisan “epilimnion” suhu relative lebih tinggi daripada lapisan di
bawahnya dan kondisinya stabil. Suhu mengalami penurunan tajam pada lapisan
“metalimnion” dan pada lapisan “hypolimnion” suhu stabil kembali dan lebih
dingin daripada lapisan di atasnya. Adanya variasi bentuk dan terjadinya
stratifikasi suhu di suatu perairan disebabkan oleh suatu keadaan sifat setiap
perairan seperti pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran
serta letak perairan danau atau waduk (Goldman & Horne, 1983).
3. Daya Hantar Listrik (DHL)
Daya hantar listrik dari air adalah berupa kemampuan air yang dapat
mengahantarkan arus listrik, adapun akuades tidak dapat menghantarkan arus
listrik. Adanya kemampuan air menghantarkan arus listrik karena adanya bahan
yang terlarut dalam air yang dapat menghantarkan arus listrik. Bahan-bahan
terlarut itu berupa ion-ion yang dapat berfungsi sebagai konduktor. Banyaknya
ion penghantar listrik dalam air itu dapat diukur dengan cara mengukur daya
hantar listrik air tersebut. Daya hantar listrik pada air memberikan informasi
tentang konsentrasi bahan terlarut di dalamnya, tetapi tidak dapat menunjukkan
terdiri dari bahan apa. Daya hantar listrik dari air diukur dengan konduktimeter
yang dilakukan dengan membuat larutan standar terlebih dahulu. Sebagai standar
digunakan larutan KCl.
4. Partikel Substrat
Keadaan substrat dasar badan air juga penting diketahui. Kehidupan
organisme air ada juga ketergantungannya dengan bahan dan ukuran partikel
dasar badan air. Dengan mengetahui bahan dasar dan ukuran partikel dasar
perairan akan didapat informasi yang mungkin dapat menunjukkan tipe fauna
yang terdapat di substrat badan air tersebut.
5. Salinitas
Salinitas merupakan cerminan dari jumlah garam yang terlarut dalam air.
Secara alami salinitas laut lepas rata-rata sebesar 35 ppt. Menurut Fuad Cholik
dkk (1988), bahwa sebagai hewan yang melewatkan hampir seluruh masa, pada
masa awal hidupnya di laut, udang windu memerlukan air berkadar garam antara
29 – 32 ppt
Parameter Kimia
1. Derajat Keasamaan (pH)
Nilai pH (derajat keasaman) suatu perairan menunjukkan besarnya
konsentrasi ion hidrogen yang terdapat dalam perairan tersebut. Perairan disebut
asam jika nilai pH < 7, netral pH = 7, dan basa pH > 7.
Derajat keasaman akan mendukung pertumbuhan yang mendukung
pertumbuhan ikan secara optimum berkisar antara 6 s/d 9 (Zonneveld dkk, 1992).
pH asam mematikan ikan kurang dari 4 dan pH basa yang mematikan sebesar 11
(Boyd, 1990).
Pescod (1973) mengemukakan bahwa batas toleransi organisme perairan
terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi antara lain suhu, oksigen terlarut,
alkalinitas, kandungan kation dan anion, maupun jenis dan tempat
Pengaruh nilai pH pada komunitas biologi perairan dapat dilihat pada table di
bawah ini:
Tabel: Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan
Nilai pH Pengaruh Umum
6,0 – 6,5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak
mengalami perubahan
5,5 – 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos
semakin tampak
2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih
belum mengalami
perubahan yang berarti
3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral
5,0 – 5,5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis
plankton, perifilton dan
bentos semakin besar
2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa
zooplankton dan bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi terhambat
4,5 – 5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis
plankton, perifilton
dan bentos semakin besar
2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton
dan bentos
3. Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi terhambat
Sumber : modifikasi Baker et al., 1990 dalam Efendi, 2003
Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi
terhadap pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas acidophila
mampu bertahan pada pH =1 dan algae Euglena pada pH 1,6.
2. Oksigen terlarut (DO)
Oksigen merupakan komponen penting dan menjadi faktor pembatas bagi
organisme perairan. Hal ini karena daya larut oksigen di perairan rendah serta
dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Makin tinggi suhu dan salinitas maka
kelarutan oksigen makin rendah (Goldman dan Horne, 1983). Boyd (1990)
mengemukakan bahwa kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti suhu, salinitas, pergerakan air, lias daerah permukaan yang terbuka,
tekanan atmosfir dan persentase oksigen disekelilingnya.
Menurut (Baurus,2002) jika tidak ada senyawa yang beracun, konsentrasi
oksigen sekitar 2mg/lt sudah cukup untuk mendukung kehidupan jasad perairan
secara normal. Oksigen terlarut sebanyak 5mg/lt cukup untuk mendukung
pertumbuhan ikan secara optimum (Alabaster dan Lloyd,1982).
Oksigen terlarut dalam perairan dapat berkurang oleh proses respirasi
organisme akuatik, penguraian atau perombakan bahan organik sehingga
peningkatan konsentrasi bahan organik dapat menurunkan O2 terlarut dan
kecerahan perairan. Oksigen dalam perairan bersumber dari difusi udara maupun
hasil proses fotosintetis organisme produsen. Oksigen dikonsumsi secara terus
menerus oleh tumbuhan dan hewan dalam aktivitas respirasi (Goldman dan
Horne, 1983).
Tanpa adanya oksegen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak
dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa
organik dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi
fotosintesa algae. Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak
efisien, karena oksigen yang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk
proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air
tergantung pada temperature dan tekanan atmosfir. Berdasarkan data-data
temperature dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air pada 25o C dan
tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, 1985).
Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis
bagi manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut
dengan jumLah cukup banyak. Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme.
Keberadaan logam berta yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi system
respirasi organisme akuatik, sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan
terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih
menderita (Miller, 1985).
Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh
proses fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar
daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut
dapat melebihi kadar oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi.
Sedangkan pada malam hari, tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus
berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya
fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum
terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari.
3. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang
ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi
secara biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organik tersebut
akan dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen
(oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas H2O serta sejumLah ion chrom.
Reaksinya sebagai berikut :
HaHbOc + Cr2O7 2- + H + → CO2 + H2O + Cr 3+
Jika pada perairan terdapat bahan organik yang resisten terhadap degradasi
biologis, misalnya tannin, fenol, polisakarida dan sebagainya, maka lebih cocok
dilakukan pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat
organik dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam
suasana asam, diperkirakan 95% - 100% bahan organik dapat dioksidasi.
Seperti pada BOD, perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi
kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak
tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat
lebih dari 200 mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L
(UNESCO,WHO/UNEP, 1992).
4. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Menurut Alzerts dan Santika (1984), Biochemical Oxygen Demand adalah
suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses
mikrobiologis yang terjadi dalam air. Angka BOD adalah jumlah O2 yang
dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan hampir semua zat organik yang
terlarut dan tersuspensi dalam air. Bila suatu badan air dicemari oleh bahan
organik maka bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air dan dapat
menjadikan kondisi perairan menjadi anaerob, sehingga mengakibatkan kematian
ikan. Nilai BOD yang terbaik untuk perikanan adalah tidak boleh lebih dari 20
mg/liter. Nilai BOD menunjukkan banyaknya oksigen yang digunakan
mikroorganisme terutama baktri untuk merombak bahan organik dalam air. Bahan
organik yang terbawa aliran air mempunyai peranan penting dalam rantai
makanan jasad perairan terutama bagi organisme akuatik pemakan detritus.
Berikut ini dapat dilihat daftar klasifikasi derajat pencemaran secara
biologis menurut Lee et al (1972)
Derajat
Pencemaran
Indeks Keanekaan
Komunitas
DO
(mg/l)
BOD (mg/l)
Belum tercemar > 2,0 > 6,5 < 3,0
Tercemar ringan 2,0 – 1,6 4,5 – 6,5 3,0 – 4,9
Tercemar sedang 1,5 – 1,0 2,0 – 4,4 5,0 – 15
Tercemar berat < 1,0 < 2,0 > 15
5. Karbondioksida
Karbondioksida terutama dihasilkan dari respirasi tumbuhan dan hewan
serta penguraian bahan organik secara aerobik, sedangkan karbondioksida yang
berdifusi ke dalam perairan dari atmosfer jumlahnya relatif tidak berarti
(Abel,1989)
Karbon merupakan unsur primer dalam sintesis bahan organik. Karbon
dalam bentuk karbondioksida berguna sebagai bahan dasar fotosintesis tumbuh-
tumbuhan. Menurut Boyd (1990) karbondioksida bersenyawa dengan air
membentuk senyawa karbonat yang akan menghasilkan kondisi asam pada
perairan melalui disosiasi H+ dan HCO3-.
Kandungan karbondioksida di suatu perairan merupakan faktor penentu
derajat keasaman perairan yang bersangkutan. Kandungan karbondioksida bebas
yang terlalu tinggi akan membahayakan bahkan mungkin mematikan ikan.
Menurut (Pandi,1989) pada pH rendah kandungan karbondioksida sebesar 5 – 6
mg/lt akan mematikan ikan.
6. Amonia
Amonia total adalah ukuran yang digabungkan dari amonia bukan ion
( NH3) dan ion amonium ( NH4+ ). Amonia bukan ion sangat beracun terhadap
ikan, tetapi ion amonium tidak berbahaya pada tingkat tertentu (Boyd,1990).
Konsentrasi amonia bukan ion yang tertinggi biasanya terjadi setelah
fitoplankton mengalami kematian, kemudian diikuti dengan penurunan pH air
karena konsentrasi CO2 meningkat ( Mulyanto, 1992). Konsentrasi amonia
berkisar antara 0,6 – 2,0 mg/lt sudah mempunyai efek beracun dalam waktu
singkat (Boyd,1990), sedangkan menurut mulyanto (1992) kandungan amonia
bukan ion yang lebih dari 1 mg/lt dapat menghambat daya serap hemoglobin
darah terhadap oksigen dan ikan akan mati karena sulit bernafas.
BAB III
METODOLOGI
3.1. Metode Umum
Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode sampling, yaitu
mengambil sampel untuk memperoleh data yang diperlukan. Parameter yang
diukur antara lain, parameter fisika, kimia, dan biologi. Metode deskriptif yaitu
menggambarkan atau menerangkan data (jenis fitoplankton yang ditemukan pada
lokasi penelitian serta kualitas airnya) yang diperoleh.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat Tulis : untuk mencatat data pengamatan
Beakerglass : untuk menguji air sampel
Botol Film : untuk menyimpan biota plankton dan benthos
Botol Winkler : untuk melakukan uji DO dan BOD
Buret dan tiang statip : alat untuk mentitrasi
DO meter : untuk menghitung kadar O2 yang terlarut dalam air
Ember : untuk mengambil air dari tempat pengamatan
Ekman Grab : untuk mengambil benthos dari perairan lentik
Erlenmeyer : tempat untuk zat yang dititrasi
Gelas ukur : untuk mengukur volume cairan yang digunakan
Label : untuk memberikan keterangan pada botol sampel
Lempeng Secchi : alat ukur kecerahan air
Mikroskop : alat bantu mengamati plankton dari air sampel
pH meter : alat ukur derajat keasaman air sampel
Pipet tetes : untuk mengambil zat kimia
Plankton net : untuk mencuplik plankton dari badan air
Salinometer : alat ukur salinitas suatu perairan
SCT meter : alat ukur salinitas, daya hantar listrik, dan
temperatur
Stopwatch : alat ukur waktu
Styrofoam : alat bantu mengukur kecepatan arus sungai
Tabung semprot : untuk menyemprotkan aquades untuk pembilasan
Termometer : alat ukur tempetatur air atau udara
Tongkat berskala : untuk mengukur
3.2.2. Bahan
Aquades : untuk membilas plankton net dan gelas ukur
Larutan amylum 1% : larutan indikator titrasi penghitungan kadar O2
Larutan Methylorange : larutan indikator dalam penghitungan kadar HCO3-
Larutan MnSO4 : untuk mengikat O2 dalam air
Larutan NaOH 0,1% : untuk mentitrasi CO2
Larutan Na-thiosulfat 0,01N: untuk mentitrasi O2
Larutan O2 reagen : untuk mengikat O2 terlarut dalam air
Larutan H2SO4 : untuk melarutkan endapan MnSO4
Larutan Formalin 4% : untuk mengawetkan sampel plankton dan benthos
Larutan Fenolftalein 0,05%: larutan indikator dalam penghitungan kadar
CO2
Larutan HCl pekat : untuk mentitrasi HCO
3.3. Prosedur Kerja
Lokasi pengamatan segera ditentukan, dan ditentukan pula letaj stasiun
pengamatan secara keseluruhan, dan digambarkan denahnya pada tempat yang
telah disediakan, berikan tanda lokasi pengamatan pada kelompok anda. Lalu
dilakukan estimasi terhadap fisika-kimia dan biologo perairan dengan mengikuti
aturan-aturan sebagai berikut.
Pengukuran Parameter Fisika
1. Menentukan Kedalaman
Pengukuran kedalaman diukur dengan menggunakan tongkat berskala
yang dicelupkan pada perairan yang akan diamati sampai menyentuh dasar.
Hitunglah kedalamannya berdasarkan tinggi permukaan yang mnyentuh skala
pada tongkat. Pengukuran kedalaman dilakukan pada beberapa lokasi, dan
kemudian hitung rata-ratanya.
2. Menentukan Kecerahan
Penentuan kecerahan air pada perairan yang akan diamati umumnya
dilakukan dengan menggunakan Lempeng Secchi. Lempeng Secchi dicelupkan ke
dalam air secara perlahan-lahan, dan berhentilah saat pertama kali lempeng Secchi
tidak dapat dibedakan lagi dari warna hitam dan putih karena kekeruhan perairan.
Kemudian ukur dan catat angka pada tali skala yang menyentuh permukaan
perairan.
3. Temperatur Air
Temperatur udara diukur dengan memakai termometer air raksa,
sedangkan untuk temperatur air diukur dengan termometer air raksa atau SCT
meter. Namun, dalam menentukan temperatur air digunakan termometer air raksa.
Pengukuran dilakukan dengan cara termometer diikat pada tali sepanjang kira-kira
60 cm. Lalu termometer tersebut dicelupkan ke dalam perairan sampai kedalaman
kurang lebih 40 cm dari permukaan. Pencatatan temperatur air pada termometer
dilakukan setelah ditunggu beberapa saat kira-kira 5 menit.
4. Mengukur Kecapatan Arus dan Debit Air
Untuk mengukur kecepatan arus, digunakan styrofoam ukuran 10 x 10 cm
yang diikatkan pada tali sepanjang dua meter. Lalu siapkan stopwatch untuk
menghitung waktu yang ditempuh styrofoam. Setelah siap, lepaskan styrofoam
pada suatu titik yang telah ditentukan jaraknya, bersamaan dengan itu mulailah
perhitungan waktu dengan stopwatch. Hitung waktu yang ditempuh styrofoam
untuk hanyut mengikuti arus pada bentangan tali sepanjang 2 meter, lalu hitunglah
kecepatan arus dan debitnya.
Pengukuran Parameter Kimia
1. Mengukur pH air
Pengukuran pH air dilakukan dengan mengunakan pH meter. Caranya,
elektrode pada pH meter dicelupkan kedalam air yang akan diukur pHnya,
pencatatan nilai pH dilakukan setelah beberapa saat dimana nilai pada layar telah
dalam keadaan stabil. Sebelum digunakan, elektrode pada pH meter dibilas
mengunakan aquades, begitu pula setelah menggunakannya.
2. Mengukur DO (Dissolved Oxygen)
Contoh air yang diambil dengan mempergunakan botol-Winkler ditutup
hati-hati jangan sampai ada gelembung udara. Kemudian ditambahkan larutan
MnSO4 50% 1 ml. Lalu ditambahkan pula dengan pipet yang lain 1 ml larutan
reagen O2. Ditutup hati-hati, kemudian dikocok kemudian dibiarkan mengendap
selama 15 menit. Ditambahkan asam sulfat pekat sebanyak 2 ml agar endapan
larut, kemudian dikocok sampai larut. Lalu kemuian dititrasi.
Dititrasi :
Diambil 50 ml larutan dari botol winkler, dengan menggunakan gelas ukur 50 ml,
dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ditritasi dengan larutan standar Na-
tiosulfat 0,01 N sampai berwarna kuning muda, lalu ditambahkan larutan amilum
1% sebagai indikator hingga larutan berwarna biru kehitam-hitaman, lalu dititrasi
dengan hati-hati sampai terjadi perubahan warna dari biru kehitam-hitaman
menjadi bening. Kemudian dicatat berapa ml larutan Na-tiosulfat yang
dipergunakan. Kadar O2 (mg/L) :
8000 X ml Na-tiosulfat X N Na-tiosulfat
50 X (V-2)
V
Dengan catatan : V = volume botol winkler (125 ml)
3. Mengukur BOD (Biologycal Oxygen Demand)
Mengambil 75 ml contoh air yang telah disaring kemudian mengencerkannya
dengan aquades menjadi 375 ml dan dimasukkan ke dalam botol winkler. Lalu
botol tersebut disimpan kedalam inkubator dengan suhu kamar dan ditentukan
kadar oksigennya lima hari kemudian.
Nilai BOD (mg/L) = faktor pengenceran (DO nol hari – DO 5 hari)
4. Mengukur salinitas
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut SCT meter.
Pertama tama putar tombol pengatur ke salinitas lalu celupkan alat ke dalam air,
kemudian di catat berapa kadar garamnya.
5. Mengukur kadar HCO3
Contoh air diambil dengan volume pipet sebanyak 50 ml, kemudian
dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diberi 3 tetes larutan indikator methyl-
orange 0,25 % sehingga larutan berwarna orange muda. Setelah itu dititrasi tetes
demi setetes dengan larutan 0,1 N HCL hingga larutan berwarna orange tua.
Kemudian dicatat banyaknya HCL yang dipergunakan. Rumus kadar HCO3
(mg/L) :
1000 X (ml HCL – ml NaOH) X 0,1 N X 61
50
6. Mengukur kadar CO2
Contoh air diambil dengan volume pipet sebanyak 50 ml, kemudian
dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu diberi 3 tetes larutan indikator fenoftalin
0,05% hingga larutan berwarna biru, dititrasi setetes demi setetes dengan larutan
0,1 N NaOH hingga larutan berwarna bening. Kemudian dicatat banyaknya NaOH
yang dipergunakan. Rumus menghitung kadar CO2 (mg/L) :
1000 X ml NaOH X 0,1 N X 44
50
Dengan perbandingan satu tetes = 0,005 ml
Parameter Biologi
1. Plankton
Sebelum pengambilan sampel, ditentukan terlebih dahulu tempat
pengamatan atau pengambilan sampel air. Sampel diambil dengan memakai
gayung kemudian dituang ke plankton net selama 50 kali. Pengambilan sampel
dilakukan dibeberapa stasiun pengamatan. Setelah botol pada ujung plakton net
terisi, pindahkan sampel kedalam botol film dan berilah larutan formalin 4 %.
Beri tanda pada botol film dengan mengunakan label. Kemudian zooplankton
yang ditemukan diidentifikasi, dihitung indeks diversitas, nilai penting dan
kioefisien kesamaannya.
2. Bentos
Sebelum pengambilan sampel, ditentukan terlebih dahulu tempat
pengamatan atau pengambilan sampel air. Lalu letakkanlah jala surber pada dasar
perairan dengan mulut jala yang berlawanan arah dengan arus air. Masukkan
substrat yang berada pada transek dengan ukuran mulut jala yang bercampur
bentos dari dasar perairan kedalam jala. Angkat jala yang telah berisi campuran
substrat dan bentos. Lalu substrat yang ada dibersihkan dengan menggunakan
saringan dan air sampai substratnya hilang dan hanya tersisa bentos saja. Bentos
yang telah didapatkan, diberi formalin 10 % dan di identifikasi di laboratorium,
dihitung indeks diversitas, nilai penting dan kioefisien kesamaannya.
3.4. Analisis Data
1. Indeks Diversitas Spesies
Dalam suatu ekosistem terdapat komunitas suatu organisme yang beraneka
ragam, dan masing-masing spesies tersebut memiliki jumlah tertentu. Terdapat
tiga komponen pokok dari struktur komunitas yaitu: (1) sejumlah macam spesies,
(2) jumlah individu dari masing-masing spesies, (3) total individu dalam spesies.
Ketiga komponen ini dapat dijabarkan secara matematis menjadi suatu besaran
yang disebut Indeks keanekaragaman.
Indeks keanekaragaman spesies yang dipergunakan adalah indeks
diversitas Simpson (1963) dengan rumus berikut:
I = 1 – D D = ( ni / N )2
Dimana, I = Indeks Diversitas
D = Resiprok indeks keanekaan Simpson
ni = Jumlah individu untuk masing-masing spesies
N = Jumlah individu untuk semua spesies
Simpson mengatakan bahwa pada perairan yang belum mengalami pertubasi
(Subsidi energi besar), indeks diversitasnya berkisar antara 0,6 s/d 0,8 (Odum,
1975).
2. Indeks Kesamaan/ Koefisien Kesamaan
Ketiga komponen diatas merupakan nilai penting untuk menentukan nilai
indeks keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas biota, namun tidak terlihat
seberapa besar nilai kesamaannya. Indeks kesamaan yang umum digunakan yaitu
menurut Bray dan Curtis (sorensen):
S = 2 W X 100%
a + b
dimana : S = koefisien kesamaan
a = Jumlah Prominance Value (PV) di komunitas A yang dibandingkan
b = Jumlah Prominance Value (PV) di komunitas B yang dibandingkan
W=Jumlah Prominance Value (PV) dari spesies yang ada di kedua
komunitas yang dibandingkan dengan PV yang diambil harga
rendah
Rumus dari Prominance Value (Nilai penting) tersebut yaitu:
PV = C F
Dimana : C = Jumlah rata-rata individu dari satu spesies dari seluruh sampel
F = Frekuensi terdapatnya suatu spesies dari sampel-sampel yang
diambil dari komunitas
Bila nilai S = 0, maka kedua komunitas yang dibandingkan sama sekali
berbeda, dan sebaliknya bila nilai S = 100%, maka kedua komunitas sama benar
dan atau tidak adanya perubahan dalam komunitas.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Parameter Fisika-Kimia
No Parameter Stasiun Rata-
rataI II III
1 Kedalaman (m) 0,602 0,35 0,30 0,42
2 Kecerahan (m) 0,282 0,20 0,30 0,26
3 Suhu Air (oC) 21 21,5 22 21,5
4 Suhu Udara (oC) 29,5 27 26 27,5
5Kecepatan Arus
(m/s)0,45 0,88 1,41 0,91
6 Debit Air (m3/s) 4,88 5,63 8,03 6,18
7 PH 6,72 6,71 6,69 6,7
8 DHL 158,3 113,7 143,3 138,43
9 Salinitas 0,05 0,04 0,06 0,05
10 DO 5,2 3,655 4,55 4,468
11 BOD -23,15 -16,675 -21,95 -20,59
12 CO2 44 39,6 37,4 40,33
13 HCO3- 0 6,1 15,25 7,12
14 Tipe Substrat Batuan dan Pasir
4.1.2. Plankton
No Spesies
Jumlah
Individu/Stasiun Total ni/N (ni/N)2
I II III
1 Chlamydomonas 23 12 16 51 0,459 0.2110
sp. 0
2 Volvox sp. - 2 - 2 0,018
0.0003
0
3 Euglena sp. - 1 - 1 0,009
0.0000
8
4 Botryococcus sp. 1 - - 1 0,009
0.0000
8
5 Chlorogonium sp. 3 5 2 10 0,09
0.0081
0
6 Nitzschia sp. 1 - - 1 0,009
0.0000
8
7 Oscillatoria sp. 26 - - 26 0,234
0.0550
0
8 Spesies A 10 - - 10 0,09
0.0081
0
9 Spesies B 9 - - 9 0,081
0.0066
0
Total 111
0.2893
4
Indeks Keanekaragaman Simpson
D = Σ (ni/N)2 = 0.28934
I = 1 – D
= 1 - 0.28934
= 0,71066
4.1.3. Benthos
No Spesies
Jumlah
Individu/Stasiun Total ni/Nln
ni/N
(ni/N) ln
ni/NI II III
1 Pacet merah - 3 1 4 0,129 - -0,264
2,048
2Larva
Capung- 2 11 13 0,419
-
0,869-0,364
3Larva
Nyamuk- 1 13 14 0,451
-
0,795-0,358
Total 31 -0,458
Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
H’ = - Σ (ni/N) ln ni/N
= - (-0,458)
= 0,458
4.2. Pembahasan
Praktikum Ekologi Perairan yang di laksanakan pada hari Sabtu, tanggal 04
Desember 2010, mempunyai tujuan untuk mengetahui dan mengukur parameter
kualitas Sungai Cikapundung, Bandung. Sungai Cikapundung merupakan salah
satu contoh dari ekosistem lotik yang memiliki ciri aliran air yang mengalir dan
memiliki arus yang cukup kuat.
Proses pengamatan parameter kualitas air pada lokasi tersebut dilakukan
secara langsung yaitu pada pengukuran parameter fisika-kimia dan secara tidak
langsung, yaitu pengambilan sampel air dan sampel biota baik hewan maupun
tumbuhan, seperti plankton dan benthos untuk mengetahui kondisi lokasi tersebut
dengan melakukan analisis laboratorium.
Plankton merupakan salah satu bioindikator kualitas perairan karena
keberadaan dan jumlahnya mengindikasikan kondisi tertentu pada air tersebut.
Selain itu jenis-jenis plankton sendiri dipengaruhi oleh tipe perairan (mengalir
atau tergenang) dan kualitas parameter fisika kimia.
Metode pengambilan sampel untuk plankton dilakukan dengan
menggunakan plankton net. Air sungai sebanyak 30 L disaring menggunakan
plankton net, kemudian dinding plankton net disemprot dengan aquades untuk
melarutkan plankton yang menempel pada plankton net sehingga plankton yang
terjerat pada mata jala akan terkumpul di dasar plankton net. Setelah itu simpan
sampel air yang telah berisi plankton dalam botol sampel.
Setelah dilakukan identifikasi terhadap sampel air di kawasan Sungai
Cikapundung diperoleh jenis-jenis plankton sebagai berikut Chlamydomonas sp.,
Volvox sp., Euglena sp., Botryococcus sp., Chlorogonium sp., Nitzschia sp.,
Oscillatoria sp., dan dua spesies yang belum teridentifikasi yaitu spesies A dan
spesies B.
Semakin tinggi keanekaragaman plankton dan semakin besar jumlahnya
mengindikasikan ekosistem perairan itu masih baik (belum tercemar). Pada
ekosistem yang telah tercemar, bahan pencemar dapat mengubah ekosistem secara
struktural sehingga dapat mengurangi jumlah spesies dalam komunitas dan
keanekaragamannya menjadi berkurang. Pada kondisi perairan yang tercemar,
kemampuan adaptasi plankton terhadap bahan pencemar juga mempengaruhi
jumlah dan keanekaragaman plankton. Hanya plankton yang dapat mentoleransi
zat-zat pencemar yang dapat terus bertahan hidup pada perairan tercemar da
sisanya akan mati. Faktor lain yang menyebabkan plankton dijadikan sebagai
bioindikator adalah sifat kosmopolitan.
Jumlah fitoplankton pada perairan umumnya mendominasi daripada jumlah
zooplankton, hal ini dikarenakan faktror pemangsaan zooplankton yang bersifat
selektif. Beberapa jenis fitoplankton tidak dapat dimakan oleh zooplankton,
karena bentuk morfologi dan fisiologi fitoplankton, ukuran, komposisi dan
mekanisme makan zooplankton serta faktor abiotik lainnya seperti pengaruh
musim (Campbell, et al., 2001).
Keberadaan fitoplankton disuatu perairan juga dipengaruhi oleh faktor
fisika, kimia, dan biologi perairan di daerah tersebut (Odum, 1971).
Perkembangan fitoplankton sangat ditentukan oleh intensitas cahaya matahari,
temperatur air dan udara, unsur hara, dan tipe komunitas fitoplankton. Dalam
suatu penelitian, fitoplankton sering dijumpai perbedaan baik jenis maupun
jumlahnya pada daerah yang berdekatan, meskipun berasal dari massa air yang
sama. Pada perairan sering didapatkan kandungan fitoplankton yang sangat
melimpah, namun pada suatu stasiun didekatnya kandungan fitoplankton sangat
sedikit. Selanjutnya ditambahkan bahwa beberapa beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kelimpahan dan penyebaran fitoplankton antara lain angin,
kedalaman perairan, dan aktivitas pemangsaan. Ini terbukti dari kuantitas
fitoplankton yang ditemukan pada masing-masing stasiun di lokasi pengamatan,
jumlah tertinggi terdapat pada stasiun I dan II, dimana kedua stasiun tersebut
merupakan daerah yang cukup hingga sangat terbuka sehingga intensitas cahaya
matahari yang diperoleh sangatlah banyak, menjadikan banyak fitoplankton yang
berkumpul pada daerah tersebut untuk melakukan fotosintesa. Dan ini tidak
terlepas dari faktor-faktor lainnya.
Pada praktikum ini didapatkan nilai Indeks Keanekaragaman Simpson (I)
untuk plankton sebesar 0,71066. Berdasarkan analisis ini secara umum kualitas air
di kawasan Sungai Cikapundung termasuk dalam kategori tercemar sedang
(Odum, 1971)
Benthos sebagai biota dasar perairan yang relatif tidak mudah bermigrasi
merupakan kelompok biota yang paling terkena dampak akibat pencemaran
perairan. Oleh sebab itu benthos sering digunakan sebagai indikator atau petunjuk
kualitas air.
Bentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan
bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan
makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam
perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah
mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.
Pengambilan sampel benthos yang dalamnya kurang dari 60 cm digunakan
Surber net. Surber net diletakkan pada dasar perairan dengan melawan arus.
Kemudian sampel benthos diambil beserta substratnya. Setelah itu benthos
dipisahkan dari pasir dan batuan, kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel
yang telah berisi air sungai.
Setelah dilakukan identifikasi sampel benthos di kawasan Sungai
Cikapundung didapatkan jenis benthos larva capung, larva nyamuk, dan sejenis
cacing berwarna merah yang belum teridentifikasi.
Pada praktikum ini didapatkan nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-
Wiener (H’) untuk benthos sebesar 0,458. Berdasarkan analisis ini secara umum
kualitas air di kawasan Sungai Cikapundung termasuk dalam kategori tercemar
berat (Lee, dkk, 1975).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi komunitas antara lain faktor fisika
dan kimia seperti :
Temperatur merupakan faktor fisik yang memiliki pengaruh besar terhadap
kelarutan oksigen yang juga akan mempengaruhi proses metabolisme. Semakin
tinggi temperatur air maka makin tinggi pula laju metabolisme biota air sehingga
kelarutan oksigen akan semakin berkurang. Berdasarkan data hasil dari Tabel data
fisika dapat terlihat rata-rata nilai temperatur air dan udara di ketiga stasiun pada
kawasan pengamatan berturut-turut adalah 21,5°C; 27,5°C. Menurut Boyd (1990),
suhu optimal bagi kehidupan ikan dan organisme makanannya adalah antara
25°C-30°C. Suhu air pada lokasi pengamatan berada di bawah suhu optimum
karena lokasi stasiun tertutup kanopi tumbuhan sehingga penetrasi cahaya
berkurang.
Tidak hanya temperature, salinitas (kadar garam) juga berpengaruh terhadap
nilai daya hantar listrik (DHL) air atau konduktivitas air, dimana nilainya
berbanding lurus. Parameter Daya hantar listrik digunakan untuk memberikan
gambaran tentang kontribusi atau terindikasinya konsentrasi berbagai zat mineral
terlarut pada badan air. Dari hasil pengukuran, didapatkan nilai rata-rata salinitas
dan nilai DHL pada lokasi pengamatan berturut-turut adalah 0,05 mg/L serta
138,43 µMHOS.
Kejernihan suatu air dipengaruhi oleh banyaknya zat yang tersuspensi.
Semakin banyak zat yang tersuspensi, maka semakin besar nilai kekeruhan.
Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan nilai rata-rata kecerahan pada lokasi
pengamatan adalah 0,26 m. Kekeruhan yang terjadi dapat disebabkan oleh
berbagai hal seperti bahan organik dan mikroorganisme. Selain itu, kekeruhan
juga dapat terjadi akibat adanya erosi sehingga meningkatkan kandungan
sedimen.
Kawasan Sungai Cikapundung merupakan kawasan perairan yang cukup
dangkal. Hal ini diperlihatkan dari hasil pengukuran kedalaman rata-rata Sungai
Cikapundung sebesar 0,42 m.
Sungai Cikapundung yang tipe substratnya didominansi oleh batu-batuan
dan pasir , memiliki rata-rata kecepatan arus air yang cukup besar yaitu 0,91 m/s.
Berdasarkan hasil pengukuran parameter kimia, rata-rata nilai derajat
keasaman (pH) diketiga stasiun pengamatan adalah 6,71. Nilai pH dalam suatu
perairan akan mempengaruhi proses metabolisme dan respirasi dari organisme air.
Derajat keasaman air dipengaruhi oleh kehadiran asam karbonat (H2CO3) dan
asam bikarbonat (HCO3-) yang terbentuk dari ikatan CO2 dan molekul air. Seperti
yang terlihat dari hasil pengukuran kandungan bikarbonat (HCO3-) dalam air pada
lokasi pengamatan memiliki nilai rata-rata 7,12. Oleh karena itu dapat simpulkan
bahwa kandungan bikarbonat (HCO3-) dalam air di lokasi pengamatan adalah
rendah karena pH air di lokasi pengamatan nilainya kurang dari 7.
Karbondioksida dalam air pada umumnya merupakan hasil respirasi dari
organisme air. Selain itu karbonoksida bebas juga berperan dalam fotosintesis dan
sebagai buffer di perairan sehingga pH air menjadi netral (pH = 7). Dari hasil
pengukuran kadar karbondioksida pada lokasi pengamatan diperoleh nilai rata-
rata 40,33 mg/L. Kadar karbondioksida pada Sungai Cikapundung memiliki kadar
rata-rata yang tinggi, menurut NTAC (1968), kadar karbondioksida bebas lebih
dari 25 mg/L sudah membahayakan kehidupan biota air. Hal ini dikarenakan akan
terjadi ketidak-keseimbangan antara karbondioksida yang di produksi dan oksigen
dihasilkan dari proses fotosintesis.
Konsentrasi oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) atau DO adalah suatu
faktor yang penting dalam suatu ekosistem, karena oksigen terlarut dibutuhkan
oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat
yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Dari
hasil pengolahan data di lapangan dan laboratorium, menunjukkan rata-rata nilai
DO pada lokasi pengamtan sebesar 4,468 mg/L. Oksigen terlarut merupakan salah
satu faktor yang sangat penting dalam proses respirasi bagi sebagian besar
organisme air. Kelarutan O2 maksimum dalam air terdapat pada temperatur 0°C,
yaitu 14,16 mg/L, konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya
temperatur air. Menurut Schworbel (1987) kadar oksigen terlarut di suatu perairan
mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi
oleh perubahan temperatur juga dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari
tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Kadar oksigen terlarut di perairan
sebaiknya tidak lebih kecil dari 8 mg/L.
Selain itu, nilai lain yang dapat hitung adalah nilai BOD dimana nilai BOD
ini adalah banyaknya oksigen yang diperlukan oleh suatu organisme pada saat
pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik
diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan
makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi. Parameter BOD, secara
umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Pada
hasil analisis yang dilakukan di laboratorium diperoleh rata-rata nilai BOD
sebesar -20,59 mg/L. Berbeda halnya bila dilihat dari parameter BOD;
berdasarkan klasifikasi kualitas air berdasarkan Shannon & Wiener, ketiga stasiun
dikategorikan tercemar berat karena kadar BOD ketiga stasiun berada kurang dari
2,0 mg/L (Lee, dkk, 1971). Perbedaan klasifikasi ini kemungkinan disebabkan
oleh faktor-faktor fisik dan kimia lainnya, serta faktor biologi yang
mempengaruhi kadar DO dan BOD. Pengukuran BOD dapat terbiaskan oleh
adanya klorin bebas di air, supersaturasi.
BAB V
KESIMPULAN
1. Kadar oksigen terlarut (DO) Berdasarkan klasifikasi derajat pencemaran
menurut Lee et al., dilihat dari parameter DO, maka kawasan perairan Sungai
Cikapundung termasuk kategori tercemar hingga tercemar sedang.
2. Berdasarkan klasifikasi derajat pencemaran menurut Lee et al., dilihat dari
parameter BOD, kawasan perairan Sungai Cikapundung termasuk kategori
tercemar berat karena kadar BOD ketiga stasiun -20,59 mg/L.
3. Jenis-jenis plankton yang ditemukan pada ketiga stasiun di kawasan Sungai
Cikapundung diperoleh 9 jenis plankton sebagai berikut Chlamydomonas sp.,
Volvox sp., Euglena sp., Botryococcus sp., Chlorogonium sp., Nitzschia sp.,
Oscillatoria sp., dan dua spesies yang belum teridentifikasi yaitu spesies A
dan spesies B. Nilai Indeks Keanekaragaman Simpson (I) untuk plankton
Sungai Cikapundung sebesar 0,71066. Berdasarkan analisis ini secara umum
kualitas air di kawasan Sungai Cikapundung termasuk dalam kategori
tercemar sedang dengan struktur komunitasnya dalam keadaan stabil (Odum,
1971).
4. Benthos di kawasan Sungai cikapundung adalah sebagai berikut larva capung,
larva nyamuk, dan sejenis cacing berwarna merah yang belum teridentifikasi.
Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) untuk benthos sebesar
0,458. Berdasarkan analisis ini secara umum kualitas air di kawasan Sungai
Cikapundung telah tercemar berat (Lee, dkk, 1975).
5. Parameter fisika dan kimia sangat mempengaruhi jumlah, distribusi dan
keanekaragaman dari organisme air khususnya plankton dan benthos serta
kualitas perairannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abel, P. 1989. Water Pollution Biology. Department of Biology. Sunderland
Polytechnic. Ellis Horwood limited. England.
Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Jakarta; Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi
Campbell, et. al. 2001. Biologi Jilid III. Erlangga. Jakarta.
Lee, C.D., S.E. Wang, dan C.L. Kuo. 1978. Benthic Macroinvertebrte and Fish
as Biological Indicator of Water Quality with Reference to Community
Diversity Index. International Conference on Water Pollution Control in
Developing Countris. Bangkok. Thailand
Mason, C.F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman. London and
New York.
Microsoft Encarta Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation
Miller, G.T.Jr. 1985. Living in the Environment. Woodsworth Publ. Co
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut suatu pendekatan Ekologi. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Nybakken, J.W., 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis.
Diterjemahkan oleh H.M. Eidman dkk. Jakarta : Gramedia.
Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogayakarta. Gajah Mada
University press.
Pandi, A. 1989. Ekologi Perairan Tawar (Parameter Biologi). Kursus
Pengelolaan Air Situ. Bandung : PPSDAL UNPAD.
Soegianto, A. 2004. Metoda Pendugaan Pencemaran Perairan dengan Indikator
Biologis. Surabaya : Airlangga University Press.
Kamis, 1 Januari 2011.(www.tripod.com)
LAMPIRAN
A. PLANKTON
1. Chlamydomonas sp.
Kerajaan
Divisi
Protista
Chlorophyta
Kelas Chlorophyceae
Bangsa Volvocales
Suku Chlamydomonadaceae
Marga Chlamydomonas
Jenis Chlamydomonas sp.
2. Volvox sp.
Kerajaan Protista
Filum Chlorophyta
Kelas Phytomastigophorea
Ordo Volvocales
Famili Volvocaceae
Genus
Jenis
Volvox
Volvox sp.
3. Euglena sp.
Kerajaan
Divisi
Protista
Euglenophycota
Kelas Euglenophyceae
Bangsa Euglenales
Suku Euglenaceae
Marga Euglena
Jenis Euglena sp.
4. Botryococcus sp.
Kerajaan
Divisi
Protista
Chlorophyta
Kelas Chlorophyceae
Bangsa Chlorococcales
Suku Dictyosphaeriaceae
Marga Botryococcus
Jenis Botryococcus sp.
5. Chlorogonium sp.
Kerajaan
Divisi
Protista
Chlorophyta
Kelas Chlorophyceae
Bangsa Volvocales
Suku Chlamydomonadaceae
Marga Chlorogonium
Jenis Chlorogonium sp.
6. Nitzschia sp.
Kerajaan
Divisi
Protista
Bacillariophyta
Kelas Bacillariophyceae
Bangsa Pennales
Suku Nitzschiaceae
Marga Nitzschia
Jenis Nitzschia sp.
7. Oscillatoria sp.
Kerajaan Plantae
Divisi Chyanophyta
Kelas Chyanophyceae
Bangsa Oscillatoriales
Suku Oscillatoriaceae
Marga Oscillatoria
Jenis Oscillatoria sp.
B. BENTHOS
1. Larva Nyamuk
Kerajaan Animalia
Filum Arthropoda
Kelas Insecta
Bangsa Diptera
Suku Culicidae
2. Larva Capung
Kerajaan Animalia
Filum Arthropoda
Kelas Insecta
Bangsa Odonata
Sampel air yang telah diberi MnSO4 dan O2 reagen
Sampel air yag telah dilarutkan dengan H2SO4 pekat
Bentos yang ada pada dasar Sungai Cikapundung
Daerah di sekitar atau vegetasi di sekitar Sungai Cikapundung