lapkas cp.docx

44
PENYAJIAN KASUS 1.1. Identitas Pasien: Nama : An. Y Jenis kelamin : Laki-laki Tanggal lahir/Usia : Seluas, 2 Juni 2013 Alamat ` : Seluas, Bengkayang Agama : Kristen Anak : Anak ke 1 dari 2 bersaudara Tanggal MRS : 18 Agustus 2015 (18.30WIB) Ayah Ibu Nama Tn. D Ny. EA Umur 25 Tahun 25 tahun Pendidikan Terakhir SMA SMA Pekerjaan Swasta IRT 1.2. Keluhan Utama: Perkembangan yang terlambat dibandingkan anak seusianya. 1.3. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien merupakan rujukan dari RS Vincensius, datang ke Rumah sakit Abdul Aziz dengan keluhan keterlambatan perkembangan anak. Awalnya keterlambatan perkembangan ini disadari oleh orangtua pasien ketika pasien berumur 7 bulan dimana pasien belum bisa 1

Upload: ika-krastanaya

Post on 02-Feb-2016

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: lapkas CP.docx

PENYAJIAN KASUS

1.1. Identitas Pasien:

Nama : An. Y

Jenis kelamin : Laki-laki

Tanggal lahir/Usia : Seluas, 2 Juni 2013

Alamat` : Seluas, Bengkayang

Agama : Kristen

Anak : Anak ke 1 dari 2 bersaudara

Tanggal MRS : 18 Agustus 2015 (18.30WIB)

Ayah Ibu

Nama Tn. D Ny. EA

Umur 25 Tahun 25 tahun

Pendidikan Terakhir SMA SMA

Pekerjaan Swasta IRT

1.2. Keluhan Utama:

Perkembangan yang terlambat dibandingkan anak seusianya.

1.3. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien merupakan rujukan dari RS Vincensius, datang ke Rumah sakit Abdul Aziz dengan

keluhan keterlambatan perkembangan anak. Awalnya keterlambatan perkembangan ini disadari

oleh orangtua pasien ketika pasien berumur 7 bulan dimana pasien belum bisa tengkurap.

Hingga saat ini pasien masih belum bisa berdiri dan berbicara.

Batuk (-), pilek (-) mual (-), muntah (-), nafsu makan baik. Menegakkan kepala (+), duduk (+),

berdiri dan berjalan (-).

1.4. Riwayat Penyakit Dahulu:

- Pasien pernah mengalami kejang saat usia 3 hari, 3 bulan, dan 9 bulan.

- Sejak kecil pasien mengalami demam yang hilang timbul

1

Page 2: lapkas CP.docx

- Pasien pernah terjatuh dan kepalanya terbentur pada usia 3 bulan

- Satu minggu SMRS pasien mengalami bronkopneumonia dan dirawat di RS Vincentius.

1.5. Riwayat Penyakit Keluarga:

Keluarga menyangkal adanya penyakit turunan di keluarga pihak ayah atau ibu.

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keterlambatan perkembangan pada saat anak-anak.

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kejang.

Gambar 1. Genogram

1.6. Riwayat Imunisasi:

Hb0,1,2 (+), Polio 1, 2, 3 (+), DPT 1,2 (+), BCG (-)

Pemberian vitamin K saat lahir (+)

Simpulan : Riwayat imunisasi tidak lengkap.

1.7. Riwayat Pemberian Makan dan Nutrisi:

Pasien mendapatkan ASI hingga usia 6 bulan, hingga sekarang pasien mengkonsumsi susu

formula dan bubur. Keluarga mengaku bahwa pasien tidak dapat banyak mengkonsumsi

makanan karena mempunyai gangguan untuk mengunyah dan menelan dengan baik.

Simpulan : Riwayat pemberian nutrisi kurang baik

2

2 thn 1 bulan

33 thn25 thn

23 thn

25 thn21 thn

Page 3: lapkas CP.docx

1.8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan:

Berat badan dan tinggi badan pasien meningkat setiap bulan. Pasien mengalami keterlambatan

perkembangan yang sangat jelas. Ayah pasien pertama kali menyadari adanya keterlambatan

perkembangan saat pasien berusia 7 bulan yakni pasien belum bisa mengangkat kepala. Pada

usia lebih dari 1 tahun pasien belum dapat telungkup sendiri, duduk, berdiri, berjalan atau

berbicara sendiri.

Saat ini pasien belum bisa berdiri dan berbicara.

Pasien berinteraksi dengan anggota keluarga lain mempergunakan suara tangisan atau gumaman.

Simpulan: Riwayat pertumbuhan baik, riwayat perkembangan terlambat.

1.9. Riwayat Kehamilan

Ibu pasien memeriksakan kehamilan 3x selama hamil ke bidan, selama hamil ibu pasien

mengaku pernah demam dan pernah mengkonsumsi obat warung selama hamil untuk mengobati

demamnya. Konsumsi alkohol, rokok, jamu disangkal.

Simpulan : Riwayat kehamilan kurang baik.

1.10. Riwayat Persalinan:

Pasien lahir cukup bulan, BB lahir 3600 gr, spontan, persalinan ditolong bidan. Kepala bayi

menonjol, hilang dalam 2 hari. Saat lahir, pasien tidak langsung menangis dan menangis setelah

kurang lebih 2 jam persalinan.

Simpulan : Pasien lahir spontan, caput saecuadeum. Riwayat kelahiran kurang baik.

1.11. Riwayat Sosial dan Ekonomi:

Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara, Ibu pasien mengaku mengasuh pasien dengan

penuh kasih sayang dan tanpa keluhan juga menerima keadaan pasien.. Keluarga mengaku

harmonis dan tidak ada permasalahan yang berarti di keluarga.

Orang tua pasien tinggal di rumah milik sendiri dan memiliki kendaraan roda dua sendiri.

Pengobatan pasien mempergunakan BPJS

3

Page 4: lapkas CP.docx

Simpulan: Keluarga pasien termasuk kelompok ekonomi menengah.

1.12. Pemeriksaan Fisik: (dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2015 WIB)

Keadaan umum: tampak sehat, compos mentis, status gizi baik

Tanda vital

GCS : E4V5M6

Nadi : 120 x/menit,

Nafas : 37 x/menit

Suhu : 36,5 oC per Axilla

Simpulan : tanda vital normal

Antropometri:

BB : 10 Kg

PB : 87 cm

LILA : 14 cm

Kesimpulan gizi berdasarkan LILA : Gizi baik

Anamnesis Sistem

- SSP : tidak ada keluhan

- KV : tidak ada keluhan

- Respirasi : tidak ada keluhan

- GI : tidak ada keluhan

- Genitourinaria : tidak ada keluhan

- Muskuloskeletal : tidak bisa berjalan

- Integumen : tidak ada keluhan

- Termoregulasi : tidak ada keluhan

Simpulan : tidak bisa berjalan

Kondisi Lokal:

Kepala : Ukuran kepala mikrosefal, Brachycephal Rambut lurus kehitaman. Kedua

ubun-ubun telah menutup. Tampak massa pada dahi bagian kiri.

4

Page 5: lapkas CP.docx

Mata : Konjungtiva mata tidak anemis. Sklera tidak tampak ikterik. Kedua pupil

isokor. Refleks cahaya positif di kedua mata. Tidak terdapat strabismus.

Pergerakan bola mata tidak tampak terganggu. Visus mata sulit dinilai.

Tidak dilakukan pemeriksaan retina.

Telinga : Ukuran dan bentuk telinga luar normal. Tidak ada sekret keluar dari kedua

liang telinga. Telinga dalam tidak dinilai. Ketajaman pendengararan sulit

dinilai.

Hidung : Ukuran dan bentuk hidung normal. Sekret di rongga hidung (-). Rongga

hidung tidak tampak edem atau pucat. Tidak ditemukan deviasi septum.

Mulut : Gigi seri, taring dan geraham depan susu tampak lengkap. Tidak ditemukan

defek atau kelainan pada bibir, langit-langit mulut, lidah, atau gusi.

Leher : Pembesaran KGB coli (-)

Tenggorokan: Tonsil T1/T1, faring tidak tampak hiperemis, tidak ditemukan sekret

keputihan, glotis tidak dinilai.

Dada : Dada tampak simetris sewaktu diam dan bergerak.

Paru : Inspeksi: tidak ditemukan adanya retraksi dinding dada, nafas

torakoabdominal;

Perkusi: Sonor di kedua lapang paru

Palpasi: Fremitus taktil sama kiri dan kanan

Auskultasi: Bunyi nafas dasar vesikuler di kedua lapang parru, Ronkhi (-/-) atau

Wheezing (+/+).

Jantung : Bunyi jantung S1S2 reguler, tidak ditemukan murmur atau suara jantung

tambahan.

Abdomen : Inspeksi: Abdomen tidak membesar.

Auskultasi: BU 6x/menit.

Perkusi: Timpani di sluruh lapang abdomen.

Palpasi: hepar dan lien tidak teraba. Tidak ada nyeri tekan.

Kelamin : Tidak ditemukan kelainan luar.

Ekstremitas:

5

Page 6: lapkas CP.docx

Anggota gerak atas kanan dan kiri: siku dapat ditekukkan, bahu dapat digerakkan lebih

dari ± 45 derajat abduksi-adduksi dan 45 derajat ke depan belakang. Tangan posisi

menggenggam. Reflek genggam positif.

Anggota gerak bawah kanan dan kiri: tampak varus, lutut sukar digerakkan. Kaki dapat

digerakkan. Telapak kaki tertekuk ke arah depan. Talipes equinus.

Simpulan : Mikrosefal, brachycephal, talipes equinus.

Pemeriksaan Neurologis

Refleks Fisiologis :

Biseps (++)

Triseps (++)

Patella (++)

Achilles (++)

Refleks patologis :

Babinski (+)

Chaddock (-)

Schuffer (-)

Rangsang meningeal :

Kaku kuduk (-)

Lasek (-)

Kernig (-)

Brudzinski 1 (-)

Brudzinski 2 (-)

Klonus (+) pada kedua ekstrimitas bawah

Simpulan : reflek fisiologis baik, reflex patologis babinsky (+)

1.13. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hematologi

19 Agustus 2015

Hemoglobin 11,6 gr/dl

Leukosit 10.900 u/L

Trombosit 340.000 u/L

6

Page 7: lapkas CP.docx

Hematokrit 35 %

Eritrosit 5,03 x 106 u/L

MCV 69,6

MCH 23,1

MCHC 33,2

BT 5’10

CT 1’50

Simpulan : pemeriksaan hematologi dalam batas normal

7

Page 8: lapkas CP.docx

Pemeriksaan radiologi kranial: CT-Scan

8

Page 9: lapkas CP.docx

EXPERTISE CT-SCAN

Kesimpulan :

1. Subdural hygroma pada frontal sinistra, kemungkinan infantile subdural hygroma yang

disebabkan karena perdarahan yang berulang sebelumnya.

2. Kalsifikasi basal ganglia, bisa karena hypoxia/ hipoglikemia sebelumnya / saat

dilahirkan.

3. Saat ini tidak tampak: intraparenchym haemorrage pada cerebrum/cerebellum,

epidural/subdural hematom maupun subarachnoid hemorrage.

1.14. Daftar Masalah

- Keterlambatan perkembangan

- Riwayat imunisasi tidak lengkap

- Caput succedaneum

- Riwayat kelahiran kurang baik, tidak langsung menangis

- Mikrosefal, Brachycephal, benjolan pada dahi sebelah kiri

- Talipes equanus

- CT scan : subdural hygroma, kalsifikasi ganglia basal

1.15. Diagnosis

Cerebral Palsy

Subdural Hygroma

Missed Opportunity Immunization

1.16. Diagnosis Banding

1.17. Penatalaksanaan:

Nonmedikamentosa:

Fisioterapi

Terapi bicara

Edukasi Keluarga

Medikamentosa:

9

Page 10: lapkas CP.docx

Catch up immunization

Subdural Drainage

1.18. Prognosis:

Ad Vitam : Dubia ad Bonam

Ad Functionam : Dubia ad Malam

Ad Sanactionam: Dubia ad Malam

10

Page 11: lapkas CP.docx

Follow up harian

Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning

21/8/2015 - Keluhan

tidak ada.

demam (-),

kejang (-).

HR : 157 kali per menit

RR : 26 kali per menit

T : 37,2 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Post

subdural

drainage

hari ke-1

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12 jam

- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8

jam dalam NaCl 0,9%

22/8/2015 - demam (-),

kejang (-).

HR : 120 kali per menit

RR : 20 kali per menit

T : 36,3 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Post

subdural

drainage

hari ke-2

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12 jam

- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8

jam dalam NaCl 0,9%

25/8/2015 - Demam (-)

- Kejang (-)

HR : 113 kali per menit

RR : 22 kali per menit

T : 36,5 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Post

subdural

drainage

hari ke-5

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12 jam

- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8

jam dalam NaCl 0,9%

- Evaluasi rencana aff

11

Page 12: lapkas CP.docx

drainage

- Aff general bulb

drainage

26/8/2015 - Demam (+)

- Rewel (+)

- Kejang (-)

HR : 132 kali per menit

RR : 30 kali per menit

T : 39,2 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Post subdural

drainage hari

ke-6

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12 jam

- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8

jam dalam NaCl 0,9%

100 cc

27/8/2015 - Demam (+)

- Rewel (+)

- Kejang (-)

HR : 120 kali per menit

RR : 28 kali per menit

T : 37,6 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Phlebitis

- Post subdural

drainage hari

ke-6

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12 jam

- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8

jam dalam NaCl 0,9%

100 cc

- Aff DC

28/8/2015 - Demam (-)

- Kejang (-)

HR : 120 kali per menit

RR : 28 kali per menit

T : 37,6 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

- Post subdural

drainage hari

ke-7

- CSF leakage

à aspirasi

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12

Page 13: lapkas CP.docx

(+/+) 12 jam

- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8

jam dalam NaCl 0,9%

100 cc

- Diet biasa

- Aff NGT

29/8/15 - Demam (-)

- Kejang (-)

HR : 120 kali per menit

RR : 28 kali per menit

T : 37,6 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Post subdural

drainage hari

ke-9

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12 jam

- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8

jam dalam NaCl 0,9%

100 cc

- Diet biasa

31/8/15 - Demam (-)

- Kejang (-)

HR : 125 kali per menit

RR : 28 kali per menit

T : 37,2 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Post subdural

drainage hari

ke-11

- CSF leakage

- PO : Cefadroxil 2 x1

cth

- Piracetam 3x1

1/9/15

- Rewel (+)

- Hidung

tersumbat (+)

- Demam (-)

- Kejang (-)

HR : 120 kali per menit

RR : 28 kali per menit

T : 36,4 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

- Pro

craniotomy

eksplorasi

-

- Puasa (+)

- Cefadroxil 2 x 1 cth

- Piracetam 1 x 1 cth

13

Page 14: lapkas CP.docx

(+/+)

2/9/15 - Rewel (+)

- Demam (+)

- Kejang (-)

HR : 130 kali per menit

RR : 34 kali per menit

T : 38,1 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Post

cranioplasty

H-1

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12 jam

- Inj. Ranitidine 25mg/ 12

jam

3/9/15 - Demam (-)

- Kejang (-)

HR : 128 kali per menit

RR : 28 kali per menit

T : 36,4 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Post

cranioplasty

H-2

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12 jam

- Inj. Ranitidine 25mg/ 12

jam

4/9/15 - Demam (-)

- Kejang (-)

HR : 124 kali per menit

RR : 30 kali per menit

T : 36,8 ˚C

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

- Post

cranioplasty

H-3

- IVFD D5% NaCl 0,45%

12 tpm mikro

- Inj. Merofen 250 mg/12

jam

- Infus PCT 100mg/6 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg /8-

12 jam

- Inj. Ranitidine 25mg/ 12

jam

5/9/15 - Demam (-)

- Kejang (-)

- Rewel (+)

HR : 126 kali per menit

RR : 28 kali per menit

T : 36,9 ˚C

- Post

cranioplasty

H-4

- Cefadroxil syr 3x1 cth

- Kontrol ke poliklinik

bedah saraf 5 hari lagi

14

Page 15: lapkas CP.docx

BB : 10 kg

GCS : E4M6V5 Pupil isokor

3mm/3mm RCL (+/+) RCTL

(+/+)

untuk aff hecting.

PEMBAHASAN

Cerebral palsy menggambarkan sekelompok kelainan permanen dari perkembangan gerakan dan

postur, yang mengakibatkan terbatasnya aktivitas, yang diakibatkan oleh gangguan non-progresif

yang terjadi pada otak janin atau bayi yang sedang berkembang. Gangguan motor dari CP

seringkali disertai gangguan pada sensasi, persepsi, komunikasi, dan tingkahlaku, yang dapat

15

Page 16: lapkas CP.docx

diakibatkan oleh epilepsi dan permasalahan muskuloskeletal sekunder.1 Sehingga CP bukanlah

sebuah penyakit tunggal melainkan sebutan yang diberikan untuk berbagai variasi luar sindrom

gangguan neuromotor yang terjadi sekunder akibat lesi pada otak anak yang sedang

berkembang.2

Kerusakan nonprogresif otak yang menyebabkan CP dapat terjadi sebelum, selama atau segera

setelah persalinan.2 Kerusakan pada otak ini bersifat permanen dan belum dapat disembuhkan

dengan teknologi kedokteran saat ini, walau terobosan dalam kedokteran nano dan sel puncah

dalam beberapa dekade ke depan diharapkan dapat menawarkan jalan alternatif untuk

mengurangi derajat gejala CP.3 Walaupun demikian sering ditemukan patologi muskuloskeletal

progresif pada sebagian besar anak.4

Lesi pada otak dapat terjadi selama periode prenatal, perinatal atau postnatal. Jejas sistem saraf

pusat nonprogresif apapun yang terjadi selama 2 tahun pertama masa kehidupan dianggap

sebagai bagian dari CP.2

CP pertama kali dideskripsikan oleh dokter berkebangsaan Inggris, Sir Francis William Little

pada tahun 1861 dan untuk jangka waktu yang lama dinamakan Penyakit Little. Pada awalnya

CP dianggap sebagai akibat dari asfiksia neonatorum namun seiring dengan perkembangan ilmu

kedokteran dan temuan-temuan lapangan, ternyata CP dapat diakibatkan oleh berbagai keadaan

yang dapat merusak perkembangan otak janin dan bayi, selama proses kehamilan, persalinan

atau tahun-tahun pertama kehidupan.5 Saat ini, diperkirakan hanya 10% saja kasus CP yang

dapat dikatakan diakibatkan oleh asfiksia neonatorum. Sebagian besar kasus terjadi akibat

gangguan selama masa prenatal, dan pada sebagian besar kasus, penyebab spesifik utama tidak

dapat diidentifikasikan.2

CP adalah penyebab disabilitas anak-anak paling umum di Dunia Barat. Insidens CP di Dunia

Barat diperkirakan 2-2,5 per 1000 kelahiran hidup. Sebagian anak-anak yang mengalami CP

tidak dapat bertahan hidup selama tahun-tahun kehidupan pertama, terutama di dunia

berkembang. Prevalensinya sendiri berkisar 1-5 per 1000 bayi hidup di berbagai negara.6

Semula, peningkatan dalam hal pelayanan kesehatan perinatal dan obstetrik dianggap dapat

menurunkan insidensi CP. Akan tetapi, insidensi tidak menurun dan bahkan prevalensi

keseluruhan CP meningkat selama tahun 1980an dan 1990an. Hal ini merupakan hasil dari

meningkatnya angka keselamatan hidup bayi prematur dan bayi berat badan lahir rendah, dan

meningkatnya jumlah kehamilan kembar. Bahkan pada pusat-pusat rumah sakit di mana terdapat

16

Page 17: lapkas CP.docx

perlayanan perinatal optimal dan asfiksia neonatorum jarang terjadi insidensi CP pada bayi term

tidaklah berubah. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan bahwa CP juga diakibatkan oleh faktor-

faktor lain yang belum diketahui dan tidak hanya asfiksia neonatorum saja.2

Penyebab CP hanya dapat ditemukan pada 50% kasus. Bayi-bayi dengan satu atau lebih faktor

resiko dapat memiliki resiko mengalami CP yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi

bayi normal. 2

Faktor resiko yang berhubungan dengan CP dapat dikelompokkan menjadi faktor prenatal,

perinatal dan postnatal yang dapat dilihat di tabel 1.2

Tabel 1. Faktor resiko untuk Palsi Serebral. (Disadur dari Berker, 2010).2

Prematuritas (usia gestasi kurang dari 36 minggu) Eklamsia dan preeklamsiaBerat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) HipertiroidismeEpilepsi maternal Penyalahgunaan obatHipotiroidisme TraumaInfeksi (TORCH)* Kehamilan kembarPerdarahan trisemester ketiga Insufisiensi plasentaInkompetensi serviks

Persalinan lama atau dengan penyulit Perdarahan vagina selama proses persalinanKetuban pecah dini BradikardiaPresentasi sungsang Hipoksia

Infeksi SSP (ensefalitis, meningitis) KoagulopatiHipoksia Hiperbilirubinemia NeonatorumKejang Trauma Kepala

Prenatal

Perinatal

Postnatal (0-2 tahun)

Bayi-bayi dengan faktor-faktor resiko ini sebaiknya diawasi secara ketat oleh neurolog-pediatrik

untuk tanda-tanda yang menunjukkan adanya keterlambatan perkembangan neuromotor.2

Pada pasien ini diperkirakan penyebab dari Cerebral Palsy ialah faktor post natal, yaitu adanya

kejang yang pada pasien ini berulang dan adanya trauma kepala.

Lesi spesifik otak yang terkait dengan CP dapat diidentifikasikan pada sebagian

besar kasus. Lesi-lesi ini terjadi pada daerah yng sensitif terhadap gangguan pasokan

darah dan dikelompokkan sebagai ensefalopati hipoksik-iskemik. Terdapat 5 tipe

ensefalopati hipoksik-iskemik yakni jejas serebral parasagital, leukomalasia

periventrikuler, nekrosis otak iskemik fokal dan multifokal, status marmoratus dan

neukrosis neuronal selektiof. Karakterikstik dari masing-masing ensefalopati hipoksik-

iskemik ini dapat dilihat pada tabel 3.2

17

Page 18: lapkas CP.docx

Tabel 2. Tipe-tipe utama dari Ensefalopati Hipoksik-Iskemik. (Disadur dari Berker, 2010).2

Pada penderita CP dapat ditemukan riwayar keterlambatan perkembangan motor kasar selama

tahun pertama kehidupan, yang dapat ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut.:4

Tonus otot yang abnormal. Ini merupakan gejala yang paling sering tampak, dapat berupa

hipotonisitas atau yang lebih sering, hipertonisitas dengan penurunan atau peningkatan

tahanan terhadap gerakan pasif. Anak-anak dengan CP dapat pada awalnya hipotonia

sebelum menjadi hipertonia. Kombnasi dari hipotonia aksil dan hipertonia perifer,

menunjukkan adanya proses di pusat.

Pemilihan atau kecenderungan untuk menggunakan satu tangan sebelum usia 1 tahun, hal

ini dapat merupakan pertanda adanya hemiplegia.

Merangkak secara asimetris, atau merangkak dengan hanya mempergunkan satu tangan

Gangguan pertumbuhan terutama lambat untuk tumbuh (failure to thrive)

Peningatan refleks yang menandakan adanya lesi motor neuron atas, kondisi ini juga

dapat disertai refleks primitif yang menetap

Keterlambatan perkembangan atau ketidakadaan dari refleks postural atau protektif.

Keseluruhan gait pasien juga sebaiknya diperiksa dan setiap sendi di ekstremitas bawah

dan atas sebaiknya dinilai untuk mencari tanda-tanda CP misalnya pada sendi paha

mencari adanya fleksi, adduksi, dan anteversi femoral berlebihan sebagai pola motor

yang dominan; bentuk kaki yang menyilang seperti gunting umum terjadi pada CP

18

Lesi Lokasi Temuan Klinis

Jejas serebral parasagital Bilateral di korteks superior medial dan posterior

Ekstremitas atas lebih berat terkena dibandingkan dengan ekstremitas bawah

Leukomalasia periventrikuler Nekrosis alba matter dekat ventrikel lateral pada radiasi neuron descendens dari korteks motor, optik dan akustik

Diplegia dan kuadriplegia spastik, defisit visual dan kognitif

Nekrosis otak iskemik fokal dan multifokal

Infark dengan distribusi vaskuler spesifik (umumnya arteri serebri media sinistra)

Hemiplegia dan kejang

Staus Marmoratus Jejas neuronal di ganglia basal Choreoatheosis atau campuran Nekrosis neuronal selektif (umumnya terjadi bersamaan dengan keadaan lainnya)

Genikulata lateral, thalamus dan ganglia basalis

Retardasi mental, kejang

Page 19: lapkas CP.docx

spastik; pada sendi lutut: fleksi dan ekstensi dengan stress valgus atau varus; pada sendi

kaki: Equinus atau berjinjit dan varus atau valgus umum terjadi pada CP.

Pada pasien ini didapatkan tiga dari tanda-tanda tersebut, yaitu tonus otot yang abnormal,

keterlambatab perkembangan, dan adanya kelainan gait, gait yang khas pada pasien yaitu adanya

posis talipes equines varus, yaitu bentuk kaki menyilang seperti gunting.

Diagnosis CP umumnya didasarkan gambaran klinis. Tidak ada pemeriksaan laboratorium

definitif untuk mendiagnosa keadaan ini dan pemeriksaan dilakukan untuk menyingkirkan

penyebab lain:4

Pemeriksaan fungsi tiroid: fungsi tiroid yang abnormal dapat berkaitan dengan tonus otot

yang abnormal atau refleks tendon dalam atau gangguan pergerakan.

Kadar laktat dan piruvat: abnormalitas pada nilai ini dapat menandakan adanya

abnormalitas metabolisme energi

Kadar amonia: peningkatan kadar amonia dapat menandakan disfungsi hati atau defek

siklus urea.

Asam amino dan organik: pemeriksaan nilai asam amino kuantitaif serum dan asam

organik kuantitaif urin dapat menunjukkan gangguan metabolik turunan.

Analisis kromosomal: untuk menyingkirkan sindrom genetik jika terdapat tanda-tanda

dismorfik atau gangguan multi organ.

Protein serebrospinal: dapat dipergunakan untuk menentukan asfiksia selama masa

neonatal. Kadar protein dapat meningkat sebagaimana rasio antara laktat dan piruvat.

Radiologi kepala dapat membantu mengevaluasi kerusakan otak dan mengidentifikasi pasien

yang memiliki resiko CP. Pemeriksaan yang dapat digunakan:4

Ultrasonografi kranial:dapat dilakukan selama masa neonatal awal untuk menentukan

adanya abnormalitas struktural berat dan tanda-tanda perdarahan atau lesi hipoksik-

iskemik

CT Scan otak:pada bayi dapat membantu mengidentifikasi malformasi kongenital,

perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikuler atau kraniositosis dini.

MRI otak: Ini adalah bentuk pemeriksaan yang utama karena dapat membedakan antara

struktur alba matter dan korteks dan abnormalitas tampak lebih jelas dibandingkan

19

Page 20: lapkas CP.docx

dengan pemeriksaan lain; MRI juga dapat menentukan apakah terjadi mielinisasi yang

sesuai dengan usia anak.

Pada pasien ini telah dilakukan CT scan kepala tanpa kontras untuk membantu mengidentifikasi

penyebab kelainan pada otak anak tersebut.

Untuk menentukan seberapa berat gejala yang dialami oleh pasien dapat mempergunakan

beberapa alat bantu klinis untuk menilai kualitas hidup pasien dan beratnya gejala.4

Skala Ashworth dan Skala Ashwoth termodifikasi, dapat dipergunakan untuk semua usia;

dieprgunakan untuk menilai spastisitas otot.

Child Health Questionnaire (CHQ); untuk menilai kesejahetraan fisik, emosionaal dan

sosial dari sisi pandang orangtua atau wali

Pengukuran Kemandirian Fungsional (WeeFIM); untuk anak usia enam bulan hingga

tujuh tahun; mengukur kemampuan fungsional dalam tiga bidang: perawatan diri sendiri,

mobilitas dan kognisi

Sistem Klasifikasi Fungsi Motor Kasar unuk Palsi Serebral (Gross Motor Function

Classification System forCerebral Palsy / GMFCSfCP); untuk anak usia satu hingga 12

tahun; menilai kemampuan pergerakan mandiri (misalnya duduk atau berjalan) dan

mengkategorikan pasien berdasarkan kemampuan dan keterbatasan fungsional, berguna

untuk merencanakan intervensi dan menilai efektivitas penatalaksanaan

Tabel 3. Klasifikasi CP Berdasarkan Derajat Penyakit 6

Klasifikasi Perkembangan

Morik

Gejala Penyakit

penyerta

Minimal Normal, hanya

terganggu secara

kualitatif

* kelainan tonus

sementara

* Refleks primitif menetap

terlalu lama

* Gangguan

komunikasi

* Gangguan

belajar spesifik

20

Page 21: lapkas CP.docx

* Kelainan postur ringan

* Gangguan gerak motorik

kasar dan halus, misalnya

clumpsy

Ringan Berjalan umur 24 bulan * Beberapa kalinan pada

pemeriksaan neurologis

* Perkembangan refleks

primitif abnormal

* respon postular

terganggu

* Gangguan motorik<

misalnya tremor

* Gangguan koordinasi

Sedang Berjalan umur 3 tahun,

kadang memerlukan

bracing

Tidak perlu alat khusus

* Berbagai kelainan

neurologis

* Refleks primmitif

menetap dan kuat

* respon postural terlambat

* Retardasi

mental

* Gangguan

belajar dan

kominikasi

* Kejang

Berat Tidak bisa berjalan,

atau berjalan dengan

alat bantu

Kadang perlu operasi

* Gejala neurologis

dominan

* Refleks primitif menetap

* Respon postural tidak

muncul

Komplikasi dan Permasalahan yang Menyertai CP

Karena CP diakibatkan oleh adanya keterlambatan atau terhambatnya perkembangan normal dari

otak maka dapat menyebabkan beberapa kondisi yang dapat memperberat kondisi pasien atau

menambah sulit pengasuhan mereka. Oleh karena itu perlu bagi pengasuh untuk mengetahui

kondisi tersebut dengan baik.2

21

Page 22: lapkas CP.docx

Permasalahan yang dapat timbul pada penderita CP adalah:2

Kejang dan Epilepsi

Gangguan penglihatan

Gangguan pembelajaran

Keterbelakangan intelektual

Ganggua pendengaran

Gangguan komunikasi dan disartria

Disfungsi oromotor

Permasalahan gastrointestinal dan nutrisi

Permasalahan pada gigi

Permasalahan dalam berkemih dan buang air besar

Permasalahan sosial dan emosional.

Penatalaksanaan CP untuk saat ini bukanlah menyembuhkan pasien dan membuat pasien

menjadi ‘normal. Hal ini dikarenakan lesi otak pada CP walau tidak progresif namun bersifat

permanen. Penatalaksanaan bertujuan untuk meningkatkan fungionalitas dan menjaga kesehatan

anak. Penignkatan fungsionalitas terutama dipusatkan pada perbaikan fungsi lokomosi,

perkembangan kognitif, interaksi sosial dan kemandirian. Hasil terbaik berasal dari

penatalaksanaan yang dilaksanakan sejak dini dan memerlukan pendekatan tim yang berpusat

pada perbaikan keseluruhan pasien bukan hanya satu gejala saja, melibatkan terapi fisik,

tingkahlaku, farmakologi, bedah, dan alat bantu mekanik, serta dukungan kepada keluarga.

Dokter pelayanan primer sebaiknya menyediakan bimbingan, imunisasi dan pengawasan

perkembangan anak. 4

Strategi penatalaksanaan yang umum digunakan saat ini adalah terapi neurodevelopmental atau

metode Bobath yang bertujuan unuk mengendalikan komponen sensorimotor dari tonus otot,

refleks, pergerakan abnormal, kontrol postural, sensasi, persepsi, dan memori dengan

mempergunakan latihan khusus. Strategi penatalaksanaan lain adalah edukasi konduktif yang

menekankan pendekatan edukasi dan rehabilitasi dibandangkan aspek medis. Namun belum ada

pendekatan yang ditemukan pada penelitian menunjukkan hasil yang superior untuk CP. Latihan

fisik atau fisioterapi pada pasien CP bertujuan untuk menguatkan otot dan mencegah kelemahan

otot yang dapat menyebabkan gangguan otot. Penguatan otot bagian bawah tubuh dapat

22

Page 23: lapkas CP.docx

memperbaiki kecepatan berjalan dan fungsi motorik kasar sewaktu berdiri atau berjalan tanpa

spastisitas.4

Medikasi yang umum dipergunakan umumnya adalah terapi antispastik yang bertujuan untuk

mengurangi spastisitas yang diakibatkan peningkatan tonus otot. Tiga agen obat yang paling

sering dipakai untuk tujuan ini adalah Baclofen, Diazepam dan Dantrolene, selain itu dapat juga

dipergunakan injeksi Fenol aau Toksin botulinum langsung ke saraf atau otot.2

Baclofen yang merupakan agonis GABA diberikan dengan dosis 2,5 mg yang dapat

ditingkatkan hingga 30 mg untuk anak usia 2-7 tahun dan 60 mg untuk anak di atas 8

tahun dengan waktu kerja 2-6 jam, namun mempunyai efek samping menurunkan

ambang batas untuk kejang.

Diazepam dan Benzodiazepin lainnya merupakan GABA-mimetik yang berkerja

postsinaptik. Diberikan dengan dosis 0,12-0,8 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi.

Lama kerjanya adalah 20-80 jam. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah efek

sedasi, dependensi dan efek depresi sistem saraf pusat lainnya

Dantrolen adalah sebuah inhibitor yang mencegah pelesan ion Kalsium dari retikulum

sarkoplasma sehingga mencegah kontraksi otot. Dosisnya adalah 3 mg/kg sekali

sehari dengan lama kerja 4-15 jam. Namun efek hepatotoksitasnya membuat

penggunaan agen ini memerlukan pengawasan yang ketat.

Neurolisis mempergunakan Fenol. Fenol adalah sebuah benzil-alkohol yang

menyebabkan denaturasi protein dan keruskan jaringan nonselektif. Jika disuntikkan

pada akson neuron akan menyebabkan demielinisasi dan denervasi otot sementara.

Inhibisi otot ini bersifat reversibel karena akson neuron kemudian akan beregenerasi

kembali. Fenol umumnya dipergunakan untuk mengobati spastisitas pada otot-otot

besar di ekstremitas bawah. Dosis yang dipergunakan adalah Fenol dengan

konsentrasi 6% dengan dosis maksimal 1 mL/kgBB, dengan 1 mL untuk blok titik

motor dan 3 mL untuk blok saraf. Lama kerja neurolisi adalah 2 hingga 36 bulan.

Toksin Botulinum. Toksin in akan mencegah pelepasan asetilkolin dan

merelaksasikan otot-otot, dan umumnya dipergunakan untuk mengurangi spastisitas

pada otot-otot berukuran kecil. Dosis maksimal dalam satu kali pemberian adalah 400

U dengan maksimal 50 U untuk satu tempat penyuntikkan. Lama relaksasi yang dapat

dicapai menggunakan toksin botulinum ini adalah 3-6 bulan.

23

Page 24: lapkas CP.docx

Kejang adalah salah satu keadaan penyerta yang umum dijumpai pada CP dan dapat terjadi pada

sekitar 30% hingga 50% anak dengan CP terutama pada CP spastik hemiplegia dan CP spastik

kuadriplegia. Kejang ini terutama disebabkan oleh menurunnya ambang batas kejang pada pasien

CP akibat dari gangguan otak yang mendasari timbulnya CP. Kejang pada CP umumnya resisten

terhadap obat terutama pada CP spastik hemiplegia. Tidak semua anak dengan CP yang

mengalami kejang akan menderita epilepsi di kemudian hari.2,4

Kejang pada pasien dapat timbul akibat dari proses dasar kerusakan otak yang mendasari

penyakit CP yang mengakibatkan penderita CP mudah mengalami proses epiloptogenik yang

mengakibatkan anak lebih rentan mengalami kejang.

Kontrol oro-motor yang kurang optimal mengakibatkan anak dengan CP mengalami kesulitan

untuk dapat makan dengan baik dan oleh karena itu rentan mengalami malnutrisi terutama untuk

anak dengan CP kuadriplegik yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Pada pasien ini hingga

saat ini masih mengalami kesulitan dalam menelan dengan baik, diusia 2 tahun yang seharusnya

sudah bisa makan makanan keluarga, pasien hanya bisa makan bubur.

Beberapa faktor sangat menentukan prognosis, tipe klinis CP, derajat kelambatan yang tampak

pada saat diagnosis ditegakan, adanya refleks patologis, dan yang sangat pentig adalah derajat

defisit intelegensi, sensorik, dan emosional. Tingkat kognisi sulit ditentukan pada anak kecil

dengan gangguan motorik, tetapi masih mungkin diukur. Tingkat kognisi sangat berhubungan

dengan tingkat fungsi mental yang akan sangat menentukan kualitas hidup seseorang.

Hygroma Subdural

Dilakukan CT Scan untuk mencari etiologi GDD dan riwayat kejang yang dialami anak tersebut,

dari hasil CT scan didapatkan Subdural hygroma pada frontal sinistra, kemungkinan infantile

subdural hygroma yang disebabkan karena perdarahan yang berulang sebelumnya. Dari

anamnesis tidak didapatkan riwayat perdarahan sebelumnya, namun terdapat riwayat trauma,

24

Page 25: lapkas CP.docx

yaitu riwayat terjatuh pada usia 3 bulan. Terdapat pula gambaran kalsifikasi basal ganglia, bisa

karena hypoxia/ hipoglikemia sebelumnya / saat dilahirkan, gambaran ini sesuai dengan riwayat

pasien yang tidak menangis saat lahir, yang menangis 2 jam setelah lahir, kemungkinan

disebabkan oleh asfiksia. Saat ini tidak tampak: intraparenchym haemorrage pada

cerebrum/cerebellum, epidural/subdural hematom maupun subarachnoid hemorrhage, sehingga

diagnosis perdarahan intracranial dapat disingkirkan.

Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis (LCS) oleh kapsul

dibawah duramater.7 Sebagian literatur juga menyatakan bahwa higroma subdural adalah

hematom subdural kronis/lama yang mungkin disertai oleh penumpukan/ pengumpulan cairan

LCS di dalam ruang subdural. Kelainan ini agak jarang ditemukan dan dapat terjadi karena

robekan selaput araknoid yang menyebabkan cairan LCS keluar ke ruang subdural.8

Beberapa etiologi yang dapat menyebabkan subdural higroma yaitu:

Post-trauma kecelakaan

Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga LCS mengalir dan

terkumpul membentuk kolam. Post-traumatic subdural hygroma merupakan kasus yang umum

terjadi.7

Post-operasi (pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista)

Higroma subdural akut dan kronik merupakan komplikasi post-operasi yang umum terjadi dari

pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista. Shu-qing et al melaporkan

suatu kasus higroma subdural setelah tindakan reseksi suatu lesi desak ruang pada ventrikel

lateral yang menyebabkan deformasi brainstem dekompresif. Ia menyimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang sangat penting antara prosedur pembedahan, pencegahan kehilangan LCS dan

fluktuasi yang cepat dalam tekanan intrakranial.8

Komplikasi atau lanjutan dari Acute subdural hematoma/hematom subdural akut

Kebanyakan subdural hygromas (SDGs) atau higroma subdural terjadi sekunder akibat trauma.

Cofiar et al melaporkan kejadian perkembangan suatu higroma subdural pada pasien Acute

subdural hematoma (ASDH) atau hematom subdural akut, yang kemudian mengalami resolusi

spontan cepat dalam waktu 9 jam akibat kontribusi terhadap pembesaran higroma subdural.

Hematom subdural akut merupakan kumpulan darah segar di bawah lapisan duramater, yang

25

Page 26: lapkas CP.docx

biasanya cukup besar untuk menekan otak dan menyebabkan kematian hingga 60-80% kasus.

Resolusi spontan cepat pada kasus hematom subdural akut sangat jarang terjadi. Salah satu

mekanisme resolusi spontan yang pernah dilaporkan adalah melalui terbentuknya higroma

subdural. Resolusi hematom subdural akut dan dampaknya terhadap higroma subdural harus

dipertimbangkan selama penatalaksanaan hematom subdural akut.

Komplikasi dari tindakan anestesi

Higroma subdural merupakan kumpulan cairan subdural berupa cairan xanthochromic yang

jernih atau disertai darah. Membedakan antara higroma subdural dan hematom sulit dilakukan

dan mungkin artifisial, sebab higroma sering mengalami progresifitas menjadi hematom.

Vandenberg et al melaporkan suatu kasus higroma subdural yang terjadi setelah tindakan

anestesia spinal. Subdural hematoma dan higroma subdural merupakan komplikasi yang jarang

dari anestesia spinal. Penyebab komplikasi ini yang mungkin terpikirkan adalah kebocoran LCS

melalui fistula dural yang terbentuk akibat tindakan punksi. Kebosoran ini menyebabkan

pemisahan otak bagian kaudal (caudal displacement of the brain), dengan konsekuensi berupa

peregangan dan rembesan dari vena-vena subdural intrakranial. Berkurangnya tekanan otak

akibat atrofi serebral, pengecilan otak pada alkoholik dan pintasan ventrikuler juga merupakan

faktor yang memberikan kontribusi. Namun, pada kebanyakan kasus, mekanisme yang ada tetap

belum diketahui dengan jelas. Vandenberg menggunakan MRI dan radioisotope cisternography

untuk mengelusidasi patogenesis kasus tersebut.

Mekanisme yang terlibat dalam pembentukan hygromas subdural dikenal pula sebagai

mekanisme idiopatik, dan merupakan fenomena sekunder setelah kerusakan otak. Dalam kasus

idiopatik sel dalam jaringan granulasi dari membran arachnoid tidak berkembang secara

memadai, yang kemudian mengganggu proses penyerapan cairan serebrospinal normal. Pada

akhirnya, Higroma subdural terjadi kemudian ketika membran arachnoid luar rusak atau ketika

cap cell membran arachnoid berproliferasi. Namun demikian diketahui bahwa ketika terjadi

peningkatan cairan pada higroma subdural, saat itu pula biasanya seiring waktu cairan

cerebrospinal diserap. Di sisi lain, telah dilaporkan bahwa saat Higroma subdural berkembang

secara cepat sambil menunggu untuk resolusi spontan, dapat mempengaruhi perkembangan otak

dan juga berkembang ke hematoma subdural, yang membutuhkan intervensi bedah.

26

Page 27: lapkas CP.docx

Pada pasien perkembangan yang terlambat kemungkinan disebabkan oleh perkembangan otak

yang terhambat akibat pertumbuhan dari higroma subdural yang terjadi pada fase perkembangan

otak.9

Pada pasien ini dilakukan subdural drainage untuk mengeluarkan cairan serebrospinal yang

menumpuk di daerah subdural. Untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan operasi, terdapat

indikasi operasi. Salah satu kriteria dilakukan operasi adalah pergeseran midline shift melebihi 5

mm pada gambaran CT Scan atau volume massa melebihi 20 cc. Indikasi intervensi operasi

berdasarkan gejala yang muncul, seperti peningkatan tekanan intracranial, macrocrania,

hemiparesis, kemunduran mental, dan ketika diameter ketebalan lesi lebih dari 7mm. Untuk

subdural higroma yang simple, operasi terdiri atas aspirasi subdural atau drainase subdural

menggunakan subdural kateter atau jalur subdural peritoneal. Jika pada subdural higroma telah

diikuti subdural hematoma, drainase subdural.10 Pada pasien ini Pada pasien ini dilakukan

subdural drainage atas indikasi volume cairan ±25cc dan telah terjadi kejang dan kemunduran

mental (keterlambatan perkembangan). Dilakukan subdural drainage daan pemasangan vacum

drain. Setelah dilakukan subdural drainage pasien dipindahkan ke ruang ICU untuk dilakukan

observasi ketat. Diberikan terapi post operasi berupa : IVFD D5% :NaCl 045 % 12 tpm, injeksi

merofen 250mg/12 jam sebagai antibiotic profilaksis post operasi, injeksi ketorolac 2 mg/ 8-12

jam sebagai anti nyeri, dan injeksi phenitoin 30 mg/8 jam dalam NaCl 50 cc. Fenitoin disini

digunakan efek neuroprotektornya untuk mencegah kejang post pemasangan subdural drainage.

Vacum drain dipantau setiap hari dan pelepasan vacuum drain dilakukan pada hari ke-4 setelah

operasi. Pada hari ke-5 operasi dilakukan pelepasan subdural drainase, daerah bekas

pemasangan drainase umumnya akan menutup dalam 4-5 hari, namun pada hari ke-4 terjadi

pengeluaran cairan serebrospinal melalui luka bekas pemasangan drainase, sehingga dilakukan

cranioplasty untuk menutup daerah subdural drainase (patching) menggunakan bone wax.

Setelah 4 hari perawatan post cranioplasty dan tidak ada kebocoran dari daerah pemasangan

drainase, dan dari gejala klinis tidak ada tanda-tanda peningkatan intracranial dan infeksi, pasien

dipulangkan dan kontrol kembali ke poliklinik bedah saraf 5 hari setelah pulang.

27

Page 28: lapkas CP.docx

KESIMPULAN

Pasien anak laki-laki usia 2 tahun datang dengan keluhan keterlambatan perkembangan, dari

hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa CT Scan kepala

ditegakkan diagnosis Cerebral Palsy dan Subdural Hygroma. Higroma subdural merupakan

28

Page 29: lapkas CP.docx

pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis (LCS) oleh kapsul dibawah duramater. Higroma

subdural yang berkembang secara cepat dapat mempengaruhi perkembangan otak, sehingga

subdural higroma yang terjadi pada pasien ini dapat pula menjadi etiologi dari keterlambatan

perkembangan yang dialami. Telah dilakukan drainase subdural sebagai terapi dari subdural

higroma pada pasien ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rosenbaum P, Paneth N, Leviton A, et al. A report: the definition andclassification of

cerebral palsy. 2007. Dev Med Child Neurol Suppl 109: 8-14

2. Berker N, Yalçın S. The HELP Guide ToCerebral Palsy, Second Edition. 2010. Seattle:

Global HELP.

29

Page 30: lapkas CP.docx

3. Balakrishnan B, Elizabeth Nance E, Johnston MV, Kannan R, Kannan S. Nanomedicine in

cerebral palsy. International Journal of Nanomedicine 2013:8 4183–4195

4. Krigger KW. Cerebral Palsy: An Overview. Am Fam Physician 2006;73:91-100, 101-2.

5. Morris C. Definition and classification of cerebral palsy: a historical perspective. Dev Med

Child Neurol Suppl. 2007 Feb;109:3-7.

6. Soedarmo, Sumarno dkk. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit

IDAI. 1999 : 116

7. Cofiar M, Eser O, Aslan A, Ela Y. Rapid Resolution of Acute Subdural Hematoma and

Effects on the Size of Existent Subdural Hygroma: A Case Report. Turkish Neurosurgery

2007, Vol: 17, No: 3, 224-227

8. VandenBerg JSP, Sijbrandy SE, Meijer AH, Oostdijk AHJ. Subdural Hygroma: A Rare

Complication of Spinal Anesthesia. Anesth Analg 2002;94:1625–7

9. Shu-qing Y, Ji-sheng W, Nan J. Compressive brainstem deformation resulting from subdural

hygroma after neurosurgery: a case report. Chinese Medical Journal 2008; 121(11):1055-

1056)

10. Cho J Beom, dkk.2005. Surgical Treatment of Subdural Hygromas in Infants and Children J

Korean Neurosurg Soc 38

30