lapkas cp.docx
TRANSCRIPT
PENYAJIAN KASUS
1.1. Identitas Pasien:
Nama : An. Y
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/Usia : Seluas, 2 Juni 2013
Alamat` : Seluas, Bengkayang
Agama : Kristen
Anak : Anak ke 1 dari 2 bersaudara
Tanggal MRS : 18 Agustus 2015 (18.30WIB)
Ayah Ibu
Nama Tn. D Ny. EA
Umur 25 Tahun 25 tahun
Pendidikan Terakhir SMA SMA
Pekerjaan Swasta IRT
1.2. Keluhan Utama:
Perkembangan yang terlambat dibandingkan anak seusianya.
1.3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merupakan rujukan dari RS Vincensius, datang ke Rumah sakit Abdul Aziz dengan
keluhan keterlambatan perkembangan anak. Awalnya keterlambatan perkembangan ini disadari
oleh orangtua pasien ketika pasien berumur 7 bulan dimana pasien belum bisa tengkurap.
Hingga saat ini pasien masih belum bisa berdiri dan berbicara.
Batuk (-), pilek (-) mual (-), muntah (-), nafsu makan baik. Menegakkan kepala (+), duduk (+),
berdiri dan berjalan (-).
1.4. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Pasien pernah mengalami kejang saat usia 3 hari, 3 bulan, dan 9 bulan.
- Sejak kecil pasien mengalami demam yang hilang timbul
1
- Pasien pernah terjatuh dan kepalanya terbentur pada usia 3 bulan
- Satu minggu SMRS pasien mengalami bronkopneumonia dan dirawat di RS Vincentius.
1.5. Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluarga menyangkal adanya penyakit turunan di keluarga pihak ayah atau ibu.
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keterlambatan perkembangan pada saat anak-anak.
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kejang.
Gambar 1. Genogram
1.6. Riwayat Imunisasi:
Hb0,1,2 (+), Polio 1, 2, 3 (+), DPT 1,2 (+), BCG (-)
Pemberian vitamin K saat lahir (+)
Simpulan : Riwayat imunisasi tidak lengkap.
1.7. Riwayat Pemberian Makan dan Nutrisi:
Pasien mendapatkan ASI hingga usia 6 bulan, hingga sekarang pasien mengkonsumsi susu
formula dan bubur. Keluarga mengaku bahwa pasien tidak dapat banyak mengkonsumsi
makanan karena mempunyai gangguan untuk mengunyah dan menelan dengan baik.
Simpulan : Riwayat pemberian nutrisi kurang baik
2
2 thn 1 bulan
33 thn25 thn
23 thn
25 thn21 thn
1.8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan:
Berat badan dan tinggi badan pasien meningkat setiap bulan. Pasien mengalami keterlambatan
perkembangan yang sangat jelas. Ayah pasien pertama kali menyadari adanya keterlambatan
perkembangan saat pasien berusia 7 bulan yakni pasien belum bisa mengangkat kepala. Pada
usia lebih dari 1 tahun pasien belum dapat telungkup sendiri, duduk, berdiri, berjalan atau
berbicara sendiri.
Saat ini pasien belum bisa berdiri dan berbicara.
Pasien berinteraksi dengan anggota keluarga lain mempergunakan suara tangisan atau gumaman.
Simpulan: Riwayat pertumbuhan baik, riwayat perkembangan terlambat.
1.9. Riwayat Kehamilan
Ibu pasien memeriksakan kehamilan 3x selama hamil ke bidan, selama hamil ibu pasien
mengaku pernah demam dan pernah mengkonsumsi obat warung selama hamil untuk mengobati
demamnya. Konsumsi alkohol, rokok, jamu disangkal.
Simpulan : Riwayat kehamilan kurang baik.
1.10. Riwayat Persalinan:
Pasien lahir cukup bulan, BB lahir 3600 gr, spontan, persalinan ditolong bidan. Kepala bayi
menonjol, hilang dalam 2 hari. Saat lahir, pasien tidak langsung menangis dan menangis setelah
kurang lebih 2 jam persalinan.
Simpulan : Pasien lahir spontan, caput saecuadeum. Riwayat kelahiran kurang baik.
1.11. Riwayat Sosial dan Ekonomi:
Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara, Ibu pasien mengaku mengasuh pasien dengan
penuh kasih sayang dan tanpa keluhan juga menerima keadaan pasien.. Keluarga mengaku
harmonis dan tidak ada permasalahan yang berarti di keluarga.
Orang tua pasien tinggal di rumah milik sendiri dan memiliki kendaraan roda dua sendiri.
Pengobatan pasien mempergunakan BPJS
3
Simpulan: Keluarga pasien termasuk kelompok ekonomi menengah.
1.12. Pemeriksaan Fisik: (dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2015 WIB)
Keadaan umum: tampak sehat, compos mentis, status gizi baik
Tanda vital
GCS : E4V5M6
Nadi : 120 x/menit,
Nafas : 37 x/menit
Suhu : 36,5 oC per Axilla
Simpulan : tanda vital normal
Antropometri:
BB : 10 Kg
PB : 87 cm
LILA : 14 cm
Kesimpulan gizi berdasarkan LILA : Gizi baik
Anamnesis Sistem
- SSP : tidak ada keluhan
- KV : tidak ada keluhan
- Respirasi : tidak ada keluhan
- GI : tidak ada keluhan
- Genitourinaria : tidak ada keluhan
- Muskuloskeletal : tidak bisa berjalan
- Integumen : tidak ada keluhan
- Termoregulasi : tidak ada keluhan
Simpulan : tidak bisa berjalan
Kondisi Lokal:
Kepala : Ukuran kepala mikrosefal, Brachycephal Rambut lurus kehitaman. Kedua
ubun-ubun telah menutup. Tampak massa pada dahi bagian kiri.
4
Mata : Konjungtiva mata tidak anemis. Sklera tidak tampak ikterik. Kedua pupil
isokor. Refleks cahaya positif di kedua mata. Tidak terdapat strabismus.
Pergerakan bola mata tidak tampak terganggu. Visus mata sulit dinilai.
Tidak dilakukan pemeriksaan retina.
Telinga : Ukuran dan bentuk telinga luar normal. Tidak ada sekret keluar dari kedua
liang telinga. Telinga dalam tidak dinilai. Ketajaman pendengararan sulit
dinilai.
Hidung : Ukuran dan bentuk hidung normal. Sekret di rongga hidung (-). Rongga
hidung tidak tampak edem atau pucat. Tidak ditemukan deviasi septum.
Mulut : Gigi seri, taring dan geraham depan susu tampak lengkap. Tidak ditemukan
defek atau kelainan pada bibir, langit-langit mulut, lidah, atau gusi.
Leher : Pembesaran KGB coli (-)
Tenggorokan: Tonsil T1/T1, faring tidak tampak hiperemis, tidak ditemukan sekret
keputihan, glotis tidak dinilai.
Dada : Dada tampak simetris sewaktu diam dan bergerak.
Paru : Inspeksi: tidak ditemukan adanya retraksi dinding dada, nafas
torakoabdominal;
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Palpasi: Fremitus taktil sama kiri dan kanan
Auskultasi: Bunyi nafas dasar vesikuler di kedua lapang parru, Ronkhi (-/-) atau
Wheezing (+/+).
Jantung : Bunyi jantung S1S2 reguler, tidak ditemukan murmur atau suara jantung
tambahan.
Abdomen : Inspeksi: Abdomen tidak membesar.
Auskultasi: BU 6x/menit.
Perkusi: Timpani di sluruh lapang abdomen.
Palpasi: hepar dan lien tidak teraba. Tidak ada nyeri tekan.
Kelamin : Tidak ditemukan kelainan luar.
Ekstremitas:
5
Anggota gerak atas kanan dan kiri: siku dapat ditekukkan, bahu dapat digerakkan lebih
dari ± 45 derajat abduksi-adduksi dan 45 derajat ke depan belakang. Tangan posisi
menggenggam. Reflek genggam positif.
Anggota gerak bawah kanan dan kiri: tampak varus, lutut sukar digerakkan. Kaki dapat
digerakkan. Telapak kaki tertekuk ke arah depan. Talipes equinus.
Simpulan : Mikrosefal, brachycephal, talipes equinus.
Pemeriksaan Neurologis
Refleks Fisiologis :
Biseps (++)
Triseps (++)
Patella (++)
Achilles (++)
Refleks patologis :
Babinski (+)
Chaddock (-)
Schuffer (-)
Rangsang meningeal :
Kaku kuduk (-)
Lasek (-)
Kernig (-)
Brudzinski 1 (-)
Brudzinski 2 (-)
Klonus (+) pada kedua ekstrimitas bawah
Simpulan : reflek fisiologis baik, reflex patologis babinsky (+)
1.13. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hematologi
19 Agustus 2015
Hemoglobin 11,6 gr/dl
Leukosit 10.900 u/L
Trombosit 340.000 u/L
6
Hematokrit 35 %
Eritrosit 5,03 x 106 u/L
MCV 69,6
MCH 23,1
MCHC 33,2
BT 5’10
CT 1’50
Simpulan : pemeriksaan hematologi dalam batas normal
7
Pemeriksaan radiologi kranial: CT-Scan
8
EXPERTISE CT-SCAN
Kesimpulan :
1. Subdural hygroma pada frontal sinistra, kemungkinan infantile subdural hygroma yang
disebabkan karena perdarahan yang berulang sebelumnya.
2. Kalsifikasi basal ganglia, bisa karena hypoxia/ hipoglikemia sebelumnya / saat
dilahirkan.
3. Saat ini tidak tampak: intraparenchym haemorrage pada cerebrum/cerebellum,
epidural/subdural hematom maupun subarachnoid hemorrage.
1.14. Daftar Masalah
- Keterlambatan perkembangan
- Riwayat imunisasi tidak lengkap
- Caput succedaneum
- Riwayat kelahiran kurang baik, tidak langsung menangis
- Mikrosefal, Brachycephal, benjolan pada dahi sebelah kiri
- Talipes equanus
- CT scan : subdural hygroma, kalsifikasi ganglia basal
1.15. Diagnosis
Cerebral Palsy
Subdural Hygroma
Missed Opportunity Immunization
1.16. Diagnosis Banding
1.17. Penatalaksanaan:
Nonmedikamentosa:
Fisioterapi
Terapi bicara
Edukasi Keluarga
Medikamentosa:
9
Catch up immunization
Subdural Drainage
1.18. Prognosis:
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Malam
Ad Sanactionam: Dubia ad Malam
10
Follow up harian
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
21/8/2015 - Keluhan
tidak ada.
demam (-),
kejang (-).
HR : 157 kali per menit
RR : 26 kali per menit
T : 37,2 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Post
subdural
drainage
hari ke-1
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12 jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
jam dalam NaCl 0,9%
22/8/2015 - demam (-),
kejang (-).
HR : 120 kali per menit
RR : 20 kali per menit
T : 36,3 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Post
subdural
drainage
hari ke-2
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12 jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
jam dalam NaCl 0,9%
25/8/2015 - Demam (-)
- Kejang (-)
HR : 113 kali per menit
RR : 22 kali per menit
T : 36,5 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Post
subdural
drainage
hari ke-5
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12 jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
jam dalam NaCl 0,9%
- Evaluasi rencana aff
11
drainage
- Aff general bulb
drainage
26/8/2015 - Demam (+)
- Rewel (+)
- Kejang (-)
HR : 132 kali per menit
RR : 30 kali per menit
T : 39,2 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Post subdural
drainage hari
ke-6
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12 jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
jam dalam NaCl 0,9%
100 cc
27/8/2015 - Demam (+)
- Rewel (+)
- Kejang (-)
HR : 120 kali per menit
RR : 28 kali per menit
T : 37,6 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Phlebitis
- Post subdural
drainage hari
ke-6
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12 jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
jam dalam NaCl 0,9%
100 cc
- Aff DC
28/8/2015 - Demam (-)
- Kejang (-)
HR : 120 kali per menit
RR : 28 kali per menit
T : 37,6 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
- Post subdural
drainage hari
ke-7
- CSF leakage
à aspirasi
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12
(+/+) 12 jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
jam dalam NaCl 0,9%
100 cc
- Diet biasa
- Aff NGT
29/8/15 - Demam (-)
- Kejang (-)
HR : 120 kali per menit
RR : 28 kali per menit
T : 37,6 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Post subdural
drainage hari
ke-9
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12 jam
- Inj. Phenitoin 30 mg/ 8
jam dalam NaCl 0,9%
100 cc
- Diet biasa
31/8/15 - Demam (-)
- Kejang (-)
HR : 125 kali per menit
RR : 28 kali per menit
T : 37,2 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Post subdural
drainage hari
ke-11
- CSF leakage
- PO : Cefadroxil 2 x1
cth
- Piracetam 3x1
1/9/15
- Rewel (+)
- Hidung
tersumbat (+)
- Demam (-)
- Kejang (-)
HR : 120 kali per menit
RR : 28 kali per menit
T : 36,4 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
- Pro
craniotomy
eksplorasi
-
- Puasa (+)
- Cefadroxil 2 x 1 cth
- Piracetam 1 x 1 cth
13
(+/+)
2/9/15 - Rewel (+)
- Demam (+)
- Kejang (-)
HR : 130 kali per menit
RR : 34 kali per menit
T : 38,1 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Post
cranioplasty
H-1
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12 jam
- Inj. Ranitidine 25mg/ 12
jam
3/9/15 - Demam (-)
- Kejang (-)
HR : 128 kali per menit
RR : 28 kali per menit
T : 36,4 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Post
cranioplasty
H-2
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12 jam
- Inj. Ranitidine 25mg/ 12
jam
4/9/15 - Demam (-)
- Kejang (-)
HR : 124 kali per menit
RR : 30 kali per menit
T : 36,8 ˚C
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
- Post
cranioplasty
H-3
- IVFD D5% NaCl 0,45%
12 tpm mikro
- Inj. Merofen 250 mg/12
jam
- Infus PCT 100mg/6 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg /8-
12 jam
- Inj. Ranitidine 25mg/ 12
jam
5/9/15 - Demam (-)
- Kejang (-)
- Rewel (+)
HR : 126 kali per menit
RR : 28 kali per menit
T : 36,9 ˚C
- Post
cranioplasty
H-4
- Cefadroxil syr 3x1 cth
- Kontrol ke poliklinik
bedah saraf 5 hari lagi
14
BB : 10 kg
GCS : E4M6V5 Pupil isokor
3mm/3mm RCL (+/+) RCTL
(+/+)
untuk aff hecting.
PEMBAHASAN
Cerebral palsy menggambarkan sekelompok kelainan permanen dari perkembangan gerakan dan
postur, yang mengakibatkan terbatasnya aktivitas, yang diakibatkan oleh gangguan non-progresif
yang terjadi pada otak janin atau bayi yang sedang berkembang. Gangguan motor dari CP
seringkali disertai gangguan pada sensasi, persepsi, komunikasi, dan tingkahlaku, yang dapat
15
diakibatkan oleh epilepsi dan permasalahan muskuloskeletal sekunder.1 Sehingga CP bukanlah
sebuah penyakit tunggal melainkan sebutan yang diberikan untuk berbagai variasi luar sindrom
gangguan neuromotor yang terjadi sekunder akibat lesi pada otak anak yang sedang
berkembang.2
Kerusakan nonprogresif otak yang menyebabkan CP dapat terjadi sebelum, selama atau segera
setelah persalinan.2 Kerusakan pada otak ini bersifat permanen dan belum dapat disembuhkan
dengan teknologi kedokteran saat ini, walau terobosan dalam kedokteran nano dan sel puncah
dalam beberapa dekade ke depan diharapkan dapat menawarkan jalan alternatif untuk
mengurangi derajat gejala CP.3 Walaupun demikian sering ditemukan patologi muskuloskeletal
progresif pada sebagian besar anak.4
Lesi pada otak dapat terjadi selama periode prenatal, perinatal atau postnatal. Jejas sistem saraf
pusat nonprogresif apapun yang terjadi selama 2 tahun pertama masa kehidupan dianggap
sebagai bagian dari CP.2
CP pertama kali dideskripsikan oleh dokter berkebangsaan Inggris, Sir Francis William Little
pada tahun 1861 dan untuk jangka waktu yang lama dinamakan Penyakit Little. Pada awalnya
CP dianggap sebagai akibat dari asfiksia neonatorum namun seiring dengan perkembangan ilmu
kedokteran dan temuan-temuan lapangan, ternyata CP dapat diakibatkan oleh berbagai keadaan
yang dapat merusak perkembangan otak janin dan bayi, selama proses kehamilan, persalinan
atau tahun-tahun pertama kehidupan.5 Saat ini, diperkirakan hanya 10% saja kasus CP yang
dapat dikatakan diakibatkan oleh asfiksia neonatorum. Sebagian besar kasus terjadi akibat
gangguan selama masa prenatal, dan pada sebagian besar kasus, penyebab spesifik utama tidak
dapat diidentifikasikan.2
CP adalah penyebab disabilitas anak-anak paling umum di Dunia Barat. Insidens CP di Dunia
Barat diperkirakan 2-2,5 per 1000 kelahiran hidup. Sebagian anak-anak yang mengalami CP
tidak dapat bertahan hidup selama tahun-tahun kehidupan pertama, terutama di dunia
berkembang. Prevalensinya sendiri berkisar 1-5 per 1000 bayi hidup di berbagai negara.6
Semula, peningkatan dalam hal pelayanan kesehatan perinatal dan obstetrik dianggap dapat
menurunkan insidensi CP. Akan tetapi, insidensi tidak menurun dan bahkan prevalensi
keseluruhan CP meningkat selama tahun 1980an dan 1990an. Hal ini merupakan hasil dari
meningkatnya angka keselamatan hidup bayi prematur dan bayi berat badan lahir rendah, dan
meningkatnya jumlah kehamilan kembar. Bahkan pada pusat-pusat rumah sakit di mana terdapat
16
perlayanan perinatal optimal dan asfiksia neonatorum jarang terjadi insidensi CP pada bayi term
tidaklah berubah. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan bahwa CP juga diakibatkan oleh faktor-
faktor lain yang belum diketahui dan tidak hanya asfiksia neonatorum saja.2
Penyebab CP hanya dapat ditemukan pada 50% kasus. Bayi-bayi dengan satu atau lebih faktor
resiko dapat memiliki resiko mengalami CP yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
bayi normal. 2
Faktor resiko yang berhubungan dengan CP dapat dikelompokkan menjadi faktor prenatal,
perinatal dan postnatal yang dapat dilihat di tabel 1.2
Tabel 1. Faktor resiko untuk Palsi Serebral. (Disadur dari Berker, 2010).2
Prematuritas (usia gestasi kurang dari 36 minggu) Eklamsia dan preeklamsiaBerat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) HipertiroidismeEpilepsi maternal Penyalahgunaan obatHipotiroidisme TraumaInfeksi (TORCH)* Kehamilan kembarPerdarahan trisemester ketiga Insufisiensi plasentaInkompetensi serviks
Persalinan lama atau dengan penyulit Perdarahan vagina selama proses persalinanKetuban pecah dini BradikardiaPresentasi sungsang Hipoksia
Infeksi SSP (ensefalitis, meningitis) KoagulopatiHipoksia Hiperbilirubinemia NeonatorumKejang Trauma Kepala
Prenatal
Perinatal
Postnatal (0-2 tahun)
Bayi-bayi dengan faktor-faktor resiko ini sebaiknya diawasi secara ketat oleh neurolog-pediatrik
untuk tanda-tanda yang menunjukkan adanya keterlambatan perkembangan neuromotor.2
Pada pasien ini diperkirakan penyebab dari Cerebral Palsy ialah faktor post natal, yaitu adanya
kejang yang pada pasien ini berulang dan adanya trauma kepala.
Lesi spesifik otak yang terkait dengan CP dapat diidentifikasikan pada sebagian
besar kasus. Lesi-lesi ini terjadi pada daerah yng sensitif terhadap gangguan pasokan
darah dan dikelompokkan sebagai ensefalopati hipoksik-iskemik. Terdapat 5 tipe
ensefalopati hipoksik-iskemik yakni jejas serebral parasagital, leukomalasia
periventrikuler, nekrosis otak iskemik fokal dan multifokal, status marmoratus dan
neukrosis neuronal selektiof. Karakterikstik dari masing-masing ensefalopati hipoksik-
iskemik ini dapat dilihat pada tabel 3.2
17
Tabel 2. Tipe-tipe utama dari Ensefalopati Hipoksik-Iskemik. (Disadur dari Berker, 2010).2
Pada penderita CP dapat ditemukan riwayar keterlambatan perkembangan motor kasar selama
tahun pertama kehidupan, yang dapat ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut.:4
Tonus otot yang abnormal. Ini merupakan gejala yang paling sering tampak, dapat berupa
hipotonisitas atau yang lebih sering, hipertonisitas dengan penurunan atau peningkatan
tahanan terhadap gerakan pasif. Anak-anak dengan CP dapat pada awalnya hipotonia
sebelum menjadi hipertonia. Kombnasi dari hipotonia aksil dan hipertonia perifer,
menunjukkan adanya proses di pusat.
Pemilihan atau kecenderungan untuk menggunakan satu tangan sebelum usia 1 tahun, hal
ini dapat merupakan pertanda adanya hemiplegia.
Merangkak secara asimetris, atau merangkak dengan hanya mempergunkan satu tangan
Gangguan pertumbuhan terutama lambat untuk tumbuh (failure to thrive)
Peningatan refleks yang menandakan adanya lesi motor neuron atas, kondisi ini juga
dapat disertai refleks primitif yang menetap
Keterlambatan perkembangan atau ketidakadaan dari refleks postural atau protektif.
Keseluruhan gait pasien juga sebaiknya diperiksa dan setiap sendi di ekstremitas bawah
dan atas sebaiknya dinilai untuk mencari tanda-tanda CP misalnya pada sendi paha
mencari adanya fleksi, adduksi, dan anteversi femoral berlebihan sebagai pola motor
yang dominan; bentuk kaki yang menyilang seperti gunting umum terjadi pada CP
18
Lesi Lokasi Temuan Klinis
Jejas serebral parasagital Bilateral di korteks superior medial dan posterior
Ekstremitas atas lebih berat terkena dibandingkan dengan ekstremitas bawah
Leukomalasia periventrikuler Nekrosis alba matter dekat ventrikel lateral pada radiasi neuron descendens dari korteks motor, optik dan akustik
Diplegia dan kuadriplegia spastik, defisit visual dan kognitif
Nekrosis otak iskemik fokal dan multifokal
Infark dengan distribusi vaskuler spesifik (umumnya arteri serebri media sinistra)
Hemiplegia dan kejang
Staus Marmoratus Jejas neuronal di ganglia basal Choreoatheosis atau campuran Nekrosis neuronal selektif (umumnya terjadi bersamaan dengan keadaan lainnya)
Genikulata lateral, thalamus dan ganglia basalis
Retardasi mental, kejang
spastik; pada sendi lutut: fleksi dan ekstensi dengan stress valgus atau varus; pada sendi
kaki: Equinus atau berjinjit dan varus atau valgus umum terjadi pada CP.
Pada pasien ini didapatkan tiga dari tanda-tanda tersebut, yaitu tonus otot yang abnormal,
keterlambatab perkembangan, dan adanya kelainan gait, gait yang khas pada pasien yaitu adanya
posis talipes equines varus, yaitu bentuk kaki menyilang seperti gunting.
Diagnosis CP umumnya didasarkan gambaran klinis. Tidak ada pemeriksaan laboratorium
definitif untuk mendiagnosa keadaan ini dan pemeriksaan dilakukan untuk menyingkirkan
penyebab lain:4
Pemeriksaan fungsi tiroid: fungsi tiroid yang abnormal dapat berkaitan dengan tonus otot
yang abnormal atau refleks tendon dalam atau gangguan pergerakan.
Kadar laktat dan piruvat: abnormalitas pada nilai ini dapat menandakan adanya
abnormalitas metabolisme energi
Kadar amonia: peningkatan kadar amonia dapat menandakan disfungsi hati atau defek
siklus urea.
Asam amino dan organik: pemeriksaan nilai asam amino kuantitaif serum dan asam
organik kuantitaif urin dapat menunjukkan gangguan metabolik turunan.
Analisis kromosomal: untuk menyingkirkan sindrom genetik jika terdapat tanda-tanda
dismorfik atau gangguan multi organ.
Protein serebrospinal: dapat dipergunakan untuk menentukan asfiksia selama masa
neonatal. Kadar protein dapat meningkat sebagaimana rasio antara laktat dan piruvat.
Radiologi kepala dapat membantu mengevaluasi kerusakan otak dan mengidentifikasi pasien
yang memiliki resiko CP. Pemeriksaan yang dapat digunakan:4
Ultrasonografi kranial:dapat dilakukan selama masa neonatal awal untuk menentukan
adanya abnormalitas struktural berat dan tanda-tanda perdarahan atau lesi hipoksik-
iskemik
CT Scan otak:pada bayi dapat membantu mengidentifikasi malformasi kongenital,
perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikuler atau kraniositosis dini.
MRI otak: Ini adalah bentuk pemeriksaan yang utama karena dapat membedakan antara
struktur alba matter dan korteks dan abnormalitas tampak lebih jelas dibandingkan
19
dengan pemeriksaan lain; MRI juga dapat menentukan apakah terjadi mielinisasi yang
sesuai dengan usia anak.
Pada pasien ini telah dilakukan CT scan kepala tanpa kontras untuk membantu mengidentifikasi
penyebab kelainan pada otak anak tersebut.
Untuk menentukan seberapa berat gejala yang dialami oleh pasien dapat mempergunakan
beberapa alat bantu klinis untuk menilai kualitas hidup pasien dan beratnya gejala.4
Skala Ashworth dan Skala Ashwoth termodifikasi, dapat dipergunakan untuk semua usia;
dieprgunakan untuk menilai spastisitas otot.
Child Health Questionnaire (CHQ); untuk menilai kesejahetraan fisik, emosionaal dan
sosial dari sisi pandang orangtua atau wali
Pengukuran Kemandirian Fungsional (WeeFIM); untuk anak usia enam bulan hingga
tujuh tahun; mengukur kemampuan fungsional dalam tiga bidang: perawatan diri sendiri,
mobilitas dan kognisi
Sistem Klasifikasi Fungsi Motor Kasar unuk Palsi Serebral (Gross Motor Function
Classification System forCerebral Palsy / GMFCSfCP); untuk anak usia satu hingga 12
tahun; menilai kemampuan pergerakan mandiri (misalnya duduk atau berjalan) dan
mengkategorikan pasien berdasarkan kemampuan dan keterbatasan fungsional, berguna
untuk merencanakan intervensi dan menilai efektivitas penatalaksanaan
Tabel 3. Klasifikasi CP Berdasarkan Derajat Penyakit 6
Klasifikasi Perkembangan
Morik
Gejala Penyakit
penyerta
Minimal Normal, hanya
terganggu secara
kualitatif
* kelainan tonus
sementara
* Refleks primitif menetap
terlalu lama
* Gangguan
komunikasi
* Gangguan
belajar spesifik
20
* Kelainan postur ringan
* Gangguan gerak motorik
kasar dan halus, misalnya
clumpsy
Ringan Berjalan umur 24 bulan * Beberapa kalinan pada
pemeriksaan neurologis
* Perkembangan refleks
primitif abnormal
* respon postular
terganggu
* Gangguan motorik<
misalnya tremor
* Gangguan koordinasi
Sedang Berjalan umur 3 tahun,
kadang memerlukan
bracing
Tidak perlu alat khusus
* Berbagai kelainan
neurologis
* Refleks primmitif
menetap dan kuat
* respon postural terlambat
* Retardasi
mental
* Gangguan
belajar dan
kominikasi
* Kejang
Berat Tidak bisa berjalan,
atau berjalan dengan
alat bantu
Kadang perlu operasi
* Gejala neurologis
dominan
* Refleks primitif menetap
* Respon postural tidak
muncul
Komplikasi dan Permasalahan yang Menyertai CP
Karena CP diakibatkan oleh adanya keterlambatan atau terhambatnya perkembangan normal dari
otak maka dapat menyebabkan beberapa kondisi yang dapat memperberat kondisi pasien atau
menambah sulit pengasuhan mereka. Oleh karena itu perlu bagi pengasuh untuk mengetahui
kondisi tersebut dengan baik.2
21
Permasalahan yang dapat timbul pada penderita CP adalah:2
Kejang dan Epilepsi
Gangguan penglihatan
Gangguan pembelajaran
Keterbelakangan intelektual
Ganggua pendengaran
Gangguan komunikasi dan disartria
Disfungsi oromotor
Permasalahan gastrointestinal dan nutrisi
Permasalahan pada gigi
Permasalahan dalam berkemih dan buang air besar
Permasalahan sosial dan emosional.
Penatalaksanaan CP untuk saat ini bukanlah menyembuhkan pasien dan membuat pasien
menjadi ‘normal. Hal ini dikarenakan lesi otak pada CP walau tidak progresif namun bersifat
permanen. Penatalaksanaan bertujuan untuk meningkatkan fungionalitas dan menjaga kesehatan
anak. Penignkatan fungsionalitas terutama dipusatkan pada perbaikan fungsi lokomosi,
perkembangan kognitif, interaksi sosial dan kemandirian. Hasil terbaik berasal dari
penatalaksanaan yang dilaksanakan sejak dini dan memerlukan pendekatan tim yang berpusat
pada perbaikan keseluruhan pasien bukan hanya satu gejala saja, melibatkan terapi fisik,
tingkahlaku, farmakologi, bedah, dan alat bantu mekanik, serta dukungan kepada keluarga.
Dokter pelayanan primer sebaiknya menyediakan bimbingan, imunisasi dan pengawasan
perkembangan anak. 4
Strategi penatalaksanaan yang umum digunakan saat ini adalah terapi neurodevelopmental atau
metode Bobath yang bertujuan unuk mengendalikan komponen sensorimotor dari tonus otot,
refleks, pergerakan abnormal, kontrol postural, sensasi, persepsi, dan memori dengan
mempergunakan latihan khusus. Strategi penatalaksanaan lain adalah edukasi konduktif yang
menekankan pendekatan edukasi dan rehabilitasi dibandangkan aspek medis. Namun belum ada
pendekatan yang ditemukan pada penelitian menunjukkan hasil yang superior untuk CP. Latihan
fisik atau fisioterapi pada pasien CP bertujuan untuk menguatkan otot dan mencegah kelemahan
otot yang dapat menyebabkan gangguan otot. Penguatan otot bagian bawah tubuh dapat
22
memperbaiki kecepatan berjalan dan fungsi motorik kasar sewaktu berdiri atau berjalan tanpa
spastisitas.4
Medikasi yang umum dipergunakan umumnya adalah terapi antispastik yang bertujuan untuk
mengurangi spastisitas yang diakibatkan peningkatan tonus otot. Tiga agen obat yang paling
sering dipakai untuk tujuan ini adalah Baclofen, Diazepam dan Dantrolene, selain itu dapat juga
dipergunakan injeksi Fenol aau Toksin botulinum langsung ke saraf atau otot.2
Baclofen yang merupakan agonis GABA diberikan dengan dosis 2,5 mg yang dapat
ditingkatkan hingga 30 mg untuk anak usia 2-7 tahun dan 60 mg untuk anak di atas 8
tahun dengan waktu kerja 2-6 jam, namun mempunyai efek samping menurunkan
ambang batas untuk kejang.
Diazepam dan Benzodiazepin lainnya merupakan GABA-mimetik yang berkerja
postsinaptik. Diberikan dengan dosis 0,12-0,8 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi.
Lama kerjanya adalah 20-80 jam. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah efek
sedasi, dependensi dan efek depresi sistem saraf pusat lainnya
Dantrolen adalah sebuah inhibitor yang mencegah pelesan ion Kalsium dari retikulum
sarkoplasma sehingga mencegah kontraksi otot. Dosisnya adalah 3 mg/kg sekali
sehari dengan lama kerja 4-15 jam. Namun efek hepatotoksitasnya membuat
penggunaan agen ini memerlukan pengawasan yang ketat.
Neurolisis mempergunakan Fenol. Fenol adalah sebuah benzil-alkohol yang
menyebabkan denaturasi protein dan keruskan jaringan nonselektif. Jika disuntikkan
pada akson neuron akan menyebabkan demielinisasi dan denervasi otot sementara.
Inhibisi otot ini bersifat reversibel karena akson neuron kemudian akan beregenerasi
kembali. Fenol umumnya dipergunakan untuk mengobati spastisitas pada otot-otot
besar di ekstremitas bawah. Dosis yang dipergunakan adalah Fenol dengan
konsentrasi 6% dengan dosis maksimal 1 mL/kgBB, dengan 1 mL untuk blok titik
motor dan 3 mL untuk blok saraf. Lama kerja neurolisi adalah 2 hingga 36 bulan.
Toksin Botulinum. Toksin in akan mencegah pelepasan asetilkolin dan
merelaksasikan otot-otot, dan umumnya dipergunakan untuk mengurangi spastisitas
pada otot-otot berukuran kecil. Dosis maksimal dalam satu kali pemberian adalah 400
U dengan maksimal 50 U untuk satu tempat penyuntikkan. Lama relaksasi yang dapat
dicapai menggunakan toksin botulinum ini adalah 3-6 bulan.
23
Kejang adalah salah satu keadaan penyerta yang umum dijumpai pada CP dan dapat terjadi pada
sekitar 30% hingga 50% anak dengan CP terutama pada CP spastik hemiplegia dan CP spastik
kuadriplegia. Kejang ini terutama disebabkan oleh menurunnya ambang batas kejang pada pasien
CP akibat dari gangguan otak yang mendasari timbulnya CP. Kejang pada CP umumnya resisten
terhadap obat terutama pada CP spastik hemiplegia. Tidak semua anak dengan CP yang
mengalami kejang akan menderita epilepsi di kemudian hari.2,4
Kejang pada pasien dapat timbul akibat dari proses dasar kerusakan otak yang mendasari
penyakit CP yang mengakibatkan penderita CP mudah mengalami proses epiloptogenik yang
mengakibatkan anak lebih rentan mengalami kejang.
Kontrol oro-motor yang kurang optimal mengakibatkan anak dengan CP mengalami kesulitan
untuk dapat makan dengan baik dan oleh karena itu rentan mengalami malnutrisi terutama untuk
anak dengan CP kuadriplegik yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Pada pasien ini hingga
saat ini masih mengalami kesulitan dalam menelan dengan baik, diusia 2 tahun yang seharusnya
sudah bisa makan makanan keluarga, pasien hanya bisa makan bubur.
Beberapa faktor sangat menentukan prognosis, tipe klinis CP, derajat kelambatan yang tampak
pada saat diagnosis ditegakan, adanya refleks patologis, dan yang sangat pentig adalah derajat
defisit intelegensi, sensorik, dan emosional. Tingkat kognisi sulit ditentukan pada anak kecil
dengan gangguan motorik, tetapi masih mungkin diukur. Tingkat kognisi sangat berhubungan
dengan tingkat fungsi mental yang akan sangat menentukan kualitas hidup seseorang.
Hygroma Subdural
Dilakukan CT Scan untuk mencari etiologi GDD dan riwayat kejang yang dialami anak tersebut,
dari hasil CT scan didapatkan Subdural hygroma pada frontal sinistra, kemungkinan infantile
subdural hygroma yang disebabkan karena perdarahan yang berulang sebelumnya. Dari
anamnesis tidak didapatkan riwayat perdarahan sebelumnya, namun terdapat riwayat trauma,
24
yaitu riwayat terjatuh pada usia 3 bulan. Terdapat pula gambaran kalsifikasi basal ganglia, bisa
karena hypoxia/ hipoglikemia sebelumnya / saat dilahirkan, gambaran ini sesuai dengan riwayat
pasien yang tidak menangis saat lahir, yang menangis 2 jam setelah lahir, kemungkinan
disebabkan oleh asfiksia. Saat ini tidak tampak: intraparenchym haemorrage pada
cerebrum/cerebellum, epidural/subdural hematom maupun subarachnoid hemorrhage, sehingga
diagnosis perdarahan intracranial dapat disingkirkan.
Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis (LCS) oleh kapsul
dibawah duramater.7 Sebagian literatur juga menyatakan bahwa higroma subdural adalah
hematom subdural kronis/lama yang mungkin disertai oleh penumpukan/ pengumpulan cairan
LCS di dalam ruang subdural. Kelainan ini agak jarang ditemukan dan dapat terjadi karena
robekan selaput araknoid yang menyebabkan cairan LCS keluar ke ruang subdural.8
Beberapa etiologi yang dapat menyebabkan subdural higroma yaitu:
Post-trauma kecelakaan
Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga LCS mengalir dan
terkumpul membentuk kolam. Post-traumatic subdural hygroma merupakan kasus yang umum
terjadi.7
Post-operasi (pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista)
Higroma subdural akut dan kronik merupakan komplikasi post-operasi yang umum terjadi dari
pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista. Shu-qing et al melaporkan
suatu kasus higroma subdural setelah tindakan reseksi suatu lesi desak ruang pada ventrikel
lateral yang menyebabkan deformasi brainstem dekompresif. Ia menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang sangat penting antara prosedur pembedahan, pencegahan kehilangan LCS dan
fluktuasi yang cepat dalam tekanan intrakranial.8
Komplikasi atau lanjutan dari Acute subdural hematoma/hematom subdural akut
Kebanyakan subdural hygromas (SDGs) atau higroma subdural terjadi sekunder akibat trauma.
Cofiar et al melaporkan kejadian perkembangan suatu higroma subdural pada pasien Acute
subdural hematoma (ASDH) atau hematom subdural akut, yang kemudian mengalami resolusi
spontan cepat dalam waktu 9 jam akibat kontribusi terhadap pembesaran higroma subdural.
Hematom subdural akut merupakan kumpulan darah segar di bawah lapisan duramater, yang
25
biasanya cukup besar untuk menekan otak dan menyebabkan kematian hingga 60-80% kasus.
Resolusi spontan cepat pada kasus hematom subdural akut sangat jarang terjadi. Salah satu
mekanisme resolusi spontan yang pernah dilaporkan adalah melalui terbentuknya higroma
subdural. Resolusi hematom subdural akut dan dampaknya terhadap higroma subdural harus
dipertimbangkan selama penatalaksanaan hematom subdural akut.
Komplikasi dari tindakan anestesi
Higroma subdural merupakan kumpulan cairan subdural berupa cairan xanthochromic yang
jernih atau disertai darah. Membedakan antara higroma subdural dan hematom sulit dilakukan
dan mungkin artifisial, sebab higroma sering mengalami progresifitas menjadi hematom.
Vandenberg et al melaporkan suatu kasus higroma subdural yang terjadi setelah tindakan
anestesia spinal. Subdural hematoma dan higroma subdural merupakan komplikasi yang jarang
dari anestesia spinal. Penyebab komplikasi ini yang mungkin terpikirkan adalah kebocoran LCS
melalui fistula dural yang terbentuk akibat tindakan punksi. Kebosoran ini menyebabkan
pemisahan otak bagian kaudal (caudal displacement of the brain), dengan konsekuensi berupa
peregangan dan rembesan dari vena-vena subdural intrakranial. Berkurangnya tekanan otak
akibat atrofi serebral, pengecilan otak pada alkoholik dan pintasan ventrikuler juga merupakan
faktor yang memberikan kontribusi. Namun, pada kebanyakan kasus, mekanisme yang ada tetap
belum diketahui dengan jelas. Vandenberg menggunakan MRI dan radioisotope cisternography
untuk mengelusidasi patogenesis kasus tersebut.
Mekanisme yang terlibat dalam pembentukan hygromas subdural dikenal pula sebagai
mekanisme idiopatik, dan merupakan fenomena sekunder setelah kerusakan otak. Dalam kasus
idiopatik sel dalam jaringan granulasi dari membran arachnoid tidak berkembang secara
memadai, yang kemudian mengganggu proses penyerapan cairan serebrospinal normal. Pada
akhirnya, Higroma subdural terjadi kemudian ketika membran arachnoid luar rusak atau ketika
cap cell membran arachnoid berproliferasi. Namun demikian diketahui bahwa ketika terjadi
peningkatan cairan pada higroma subdural, saat itu pula biasanya seiring waktu cairan
cerebrospinal diserap. Di sisi lain, telah dilaporkan bahwa saat Higroma subdural berkembang
secara cepat sambil menunggu untuk resolusi spontan, dapat mempengaruhi perkembangan otak
dan juga berkembang ke hematoma subdural, yang membutuhkan intervensi bedah.
26
Pada pasien perkembangan yang terlambat kemungkinan disebabkan oleh perkembangan otak
yang terhambat akibat pertumbuhan dari higroma subdural yang terjadi pada fase perkembangan
otak.9
Pada pasien ini dilakukan subdural drainage untuk mengeluarkan cairan serebrospinal yang
menumpuk di daerah subdural. Untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan operasi, terdapat
indikasi operasi. Salah satu kriteria dilakukan operasi adalah pergeseran midline shift melebihi 5
mm pada gambaran CT Scan atau volume massa melebihi 20 cc. Indikasi intervensi operasi
berdasarkan gejala yang muncul, seperti peningkatan tekanan intracranial, macrocrania,
hemiparesis, kemunduran mental, dan ketika diameter ketebalan lesi lebih dari 7mm. Untuk
subdural higroma yang simple, operasi terdiri atas aspirasi subdural atau drainase subdural
menggunakan subdural kateter atau jalur subdural peritoneal. Jika pada subdural higroma telah
diikuti subdural hematoma, drainase subdural.10 Pada pasien ini Pada pasien ini dilakukan
subdural drainage atas indikasi volume cairan ±25cc dan telah terjadi kejang dan kemunduran
mental (keterlambatan perkembangan). Dilakukan subdural drainage daan pemasangan vacum
drain. Setelah dilakukan subdural drainage pasien dipindahkan ke ruang ICU untuk dilakukan
observasi ketat. Diberikan terapi post operasi berupa : IVFD D5% :NaCl 045 % 12 tpm, injeksi
merofen 250mg/12 jam sebagai antibiotic profilaksis post operasi, injeksi ketorolac 2 mg/ 8-12
jam sebagai anti nyeri, dan injeksi phenitoin 30 mg/8 jam dalam NaCl 50 cc. Fenitoin disini
digunakan efek neuroprotektornya untuk mencegah kejang post pemasangan subdural drainage.
Vacum drain dipantau setiap hari dan pelepasan vacuum drain dilakukan pada hari ke-4 setelah
operasi. Pada hari ke-5 operasi dilakukan pelepasan subdural drainase, daerah bekas
pemasangan drainase umumnya akan menutup dalam 4-5 hari, namun pada hari ke-4 terjadi
pengeluaran cairan serebrospinal melalui luka bekas pemasangan drainase, sehingga dilakukan
cranioplasty untuk menutup daerah subdural drainase (patching) menggunakan bone wax.
Setelah 4 hari perawatan post cranioplasty dan tidak ada kebocoran dari daerah pemasangan
drainase, dan dari gejala klinis tidak ada tanda-tanda peningkatan intracranial dan infeksi, pasien
dipulangkan dan kontrol kembali ke poliklinik bedah saraf 5 hari setelah pulang.
27
KESIMPULAN
Pasien anak laki-laki usia 2 tahun datang dengan keluhan keterlambatan perkembangan, dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa CT Scan kepala
ditegakkan diagnosis Cerebral Palsy dan Subdural Hygroma. Higroma subdural merupakan
28
pengumpulan cairan likuor cerebrospinalis (LCS) oleh kapsul dibawah duramater. Higroma
subdural yang berkembang secara cepat dapat mempengaruhi perkembangan otak, sehingga
subdural higroma yang terjadi pada pasien ini dapat pula menjadi etiologi dari keterlambatan
perkembangan yang dialami. Telah dilakukan drainase subdural sebagai terapi dari subdural
higroma pada pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rosenbaum P, Paneth N, Leviton A, et al. A report: the definition andclassification of
cerebral palsy. 2007. Dev Med Child Neurol Suppl 109: 8-14
2. Berker N, Yalçın S. The HELP Guide ToCerebral Palsy, Second Edition. 2010. Seattle:
Global HELP.
29
3. Balakrishnan B, Elizabeth Nance E, Johnston MV, Kannan R, Kannan S. Nanomedicine in
cerebral palsy. International Journal of Nanomedicine 2013:8 4183–4195
4. Krigger KW. Cerebral Palsy: An Overview. Am Fam Physician 2006;73:91-100, 101-2.
5. Morris C. Definition and classification of cerebral palsy: a historical perspective. Dev Med
Child Neurol Suppl. 2007 Feb;109:3-7.
6. Soedarmo, Sumarno dkk. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI. 1999 : 116
7. Cofiar M, Eser O, Aslan A, Ela Y. Rapid Resolution of Acute Subdural Hematoma and
Effects on the Size of Existent Subdural Hygroma: A Case Report. Turkish Neurosurgery
2007, Vol: 17, No: 3, 224-227
8. VandenBerg JSP, Sijbrandy SE, Meijer AH, Oostdijk AHJ. Subdural Hygroma: A Rare
Complication of Spinal Anesthesia. Anesth Analg 2002;94:1625–7
9. Shu-qing Y, Ji-sheng W, Nan J. Compressive brainstem deformation resulting from subdural
hygroma after neurosurgery: a case report. Chinese Medical Journal 2008; 121(11):1055-
1056)
10. Cho J Beom, dkk.2005. Surgical Treatment of Subdural Hygromas in Infants and Children J
Korean Neurosurg Soc 38
30