lapkas corpus a

Upload: mhd-fikri-awza

Post on 04-Mar-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakan operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College of Emergency Physicians states dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya.1Perbaikan pada saat pra rumah sakit dan perawatan gawat darurat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien.2 Penilaian awal pada pasien-pasien trauma dapat dibedakan menjadi penilaian primer (primary survey), penilaian sekunder (secondary survey), dan penilaian tersier (tertiary survey). Penilaian primer dilakukan dalam 2-5 menit yang memuat ABCDE: airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. 3 Pasien yang mengalami trauma berat, harus dicurigai memiliki trauma pada abdomen hingga dibuktikan sebaliknya. Sebanyak 20% pasien dengan luka intraabdomen tidak memiliki rasa sakit atau tanda-tanda iritasi peritoneal (muscle guarding, nyeri ketuk, ataupun ileus) pada pemeriksaan pertama. Trauma abdomen sering dibedakan menjadi luka tembus (luka tembak dan luka tusuk) dan tidak tembus (deselerasi, tabrakan, dan luka kompresi). Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas dalam trauma, dan menjadi penyebab utama pada luka intraabdomen.Trauma abdomen yang berhubungan dengan kendaraan menjadi penyebab utama dari trauma tumpul abdomen. Kendaraan-kendaraan dan kendaraan-pejalan kaki dilaporkan menjadi penyebab sekitar 50-75% kasus. Penyebab yang sering lainnya adalah jatuh, kecelakaan di tempat kerja, maupun kecelakaan sewaktu rekreasi. Selain itu, penyebab yang agak jarang terjadi adalah iatrogenik sewaktu resusitasi kardiopulmonal serta manuver Heimlich.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penilaian AwalPenilaian awal pada pasien-pasien trauma dapat dibedakan menjadi penilaian primer (primary survey), penilaian sekunder (secondary survey), dan penilaian tersier (tertiary survey). Penilaian primer dilakukan dalam 2-5 menit yang memuat ABCDE: airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. Apabila fungsi dari tiga sistem pertama mengalami gangguan, resusitasi harus segera dilakukan. Meskipun terdapat urutan ABCDE, tetapi penilaian ini harus dilakukan secara simultan. Kemudian, monitoring dasar perlu dilakukan, termasuk elektrokardiograf (EKG), pengukuran tekanan darah, serta saturasi O2. Setelah dilakukan penilaian primer, maka dilanjutkan penilaian sekunder, kemudian penilaian tersier.

2.1.1. Primary Survey1. AirwayStabilisasi dan mempertahankan jalan napas selalu menjadi prioritas utama. Apabila pasien dapat berbicara, maka jalan napas biasanya bebas, tetapi pada pasien yang tidak sadar, maka perlu dipastikan jalan napasnya. Tanda-tanda yang penting pada obstruksi jalan napas meliputi snoring, gurgling, stridor, dan gerakan dada yang paradoks. Adanya benda asing perlu dipikirkan pada pasien-pasien yang tidak sadar. Penanganan jalan napas lanjutan (intubasi endotrakeal, krikotiroidotomi, serta trakeostomi) diindikasikan apabila terdapat apnu, obstruksi yang persisten, luka kepala berat, trauma maksilofasial, luka tembus di leher, atau luka pada dada yang hebat.Selain jalan napas, pada airway, perlu diperhatikan tentang kemungkinan luka pada servikal. Terdapat lima kriteria yang meningkatkan kecurigaan akan adanya fraktur servikal: (1) nyeri di leher, (2) nyeri hebat di tempat lain, (3) tanda atau gejala neurologis, (4) intoksikasi, dan (5) hilangnya kesadaran di tempat kejadian. Fraktur servikal harus dicurigai apabila terdapat salah satu dari kriteria tersebut, meskipun tidak terdapat luka pada daerah di atas klavikula. Untuk manuver yang aman dilakukan adalah dengan menggunakan manuver jaw-thrust untuk mencegah hiperekstensi leher. Pasien-pasien yang tidak sadar disertai dengan trauma berat, maka harus dipikirkan risiko terjadinya aspirasi, sehingga jalan napas harus segera diamankan dengan menggunakan bantuan ETT maupun trakeostomi.Trauma pada daerah laring akan memperberat keadaan. Luka terbuka bisa berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di daerah leher, obstruksi dari hematoma maupun edema, emfisema subkutis, dan luka servikal. Trauma laring tertutup lebih tidak jelas, tetapi dapat ditandai dengan adanya krepitasi pada daerah leher, hematoma, disfagia, hemoptisis, atau kesulitan berbicara. Apabila sulit untuk dilakukan ETT, maka trakeostomi dapat dipertimbangkan.2. BreathingPenilaian tentang ventilasi akan paling baik dilakukan dengan pendekatan look, listen, and feel. Look, lihat tanda-tanda sianosis, penggunaan otot bantu pernapasan, ketinggalan bernapas, atau luka tembus di dada. Listen, dengar ada atau tidaknya suara napas. Feel, untuk emfisema subkutis, pendorongan trakea, maupun fraktur iga. Klinisi wajib memiliki kecurigaan yang besar terhadap adanya pneumotoraks tension dan hemotoraks, terutama pada pasien-pasien dengan distres nafas. Drainase pleura mungkin diperlukan sebelum rontgen dada bisa didapatkan.Sebagian besar pasien-pasien yang mengancam nyawa memerlukan bantuan (atau kontrol) nafas. Bag-valve devices akan menyediakan ventilasi yang adekuat segera setelah intubasi dan saat transportasi pasien. Penilaian tentang analisa gas darah arteri (AGDA) diperlukan untuk menilai konsentrasi oksigen yang dikirimkan ke jaringan.3. CirculationPenilaian untuk sirkulasi berdasarkan pada denyut nadi, tekanan/volume, tekanan darah, dan tanda-tanda dari perfusi jaringan. Tanda-tanda yang bisa dijumpai apabila terdapat sirkulasi yang tidak adekuat, antara lain: takikardi, pulsasi nadi yang lemah hingga tidak teraba, hipotensi, serta ekstremitas yang pucat, dingin, atau sianosis. Prioritas utama untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat adalah dengan menghentikan perdarahan; kedua adalah dengan menggantikan volume intravaskular. Henti jantung selama transportasi ke rumah sakit atau segera setelah luka tembus maupun tumpul pada toraks merupakan suatu indikasi torakotomi emergensi.Untuk kontrol perdarahan, harus diketahui asal perdarahan, kemudian lakukan tekanan di daerah luka tersebut. Luka pada daerah ekstremitas biasanya dapat dengan mudah dikontrol dengan melakukan penekanan. Pada pasien-pasien dengan trauma berat, maka perlu dipikirkan tentang syok. Syok yang sering terjadi pada pasien trauma adalah syok hipovolemik. Respon fisiologis yang dapat terjadi adalah takikardi, perfusi jaringan yang kurang, dan penurunan dari tekanan nadi, hipotensi, takipnu, serta delirium. Hematokrit dan hemoglobin bukanlah menjadi tolok ukur utama untung menggambarkan jumlah perdarahan akut. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil seperti ini, perlu dipertimbangkan monitoring tekanan darah arteri secara invasif. Pada hipovolemia berat, maka denyut nadi dapat terasa hilang saat fase inspirasi.Untuk kepentingan resusitasi dan cairan, maka diperlukan IV-kateter nomor besar (14-16 G) pada vena yang mudah didapatkan. Meskipun terbukti bahwa pemasangan jalur sentral akan memberikan informasi yang penting terkait status volume pada pasien, mereka akan sangat memakan waktu dan memiliki risiko komplikasi yang mengancam nyawa (pneumotoraks), sehingga jalur perifer menjadi pilihan utama untuk resusitasi awal.Untuk pemilihan cairan, kristaloid adalah cairan yang tersedia dengan cepat dan lebih murah. Resusitasi memerlukan jumlah yang lebih banyak, karena sebagian besar dari cairan kristaloid tidak bertahan lama di dalam kompartemen intravaskular. Koloid jauh lebih mahal dibandingkan dengan kristaloid, tetapi lebih efektif dan lebih cepat dalam mengembalikan volume intravaskular. Akan tetapi, defisit cairan interstisial terkait dengan syok hipovolemik lebih baik diberikan cairan kristaloid, atau kombinasi antara koloid dan kristaloid. Sedangkan untuk darah, akan cukup memakan waktu untuk cross-match, yakni sekitar 45-60 menit, sehingga bukan menjadi pilihan utama.4. DisabilityEvaluasi untuk disabilitas memerlukan penilaian neurologis yang cepat. Karena tidak ada waktu untuk menggunakan sistem GCS, maka sistem AVPU lebih digunakan, yaitu: Awake, Verbal response, Painful response, Unresponsive.5. ExposureBuka pakaian pasien untuk memeriksa luka yang terdapat pada tubuhnya. In-line immobilization harus digunakan jika terdapat kecurigaan adanya luka pada tulang belakang.

2.1.2. Secondary SurveyPenilaian sekunder hanya dilakukan apabila ABC sudah dalam kondisi stabil. Pada penilaian sekunder, pasien diperiksa dari ujung kepala hingga ujung kaki (head-to-toe examination) dan pemeriksaan lainnya dilakukan (radiografi, laboratorium, prosedur diagnostik lainnya). Pemeriksaan kepala meliputi luka pada kulit kepala, mata, dan telinga. Pemeriksaan neurologis meliputi GCS dan evaluasi dari fungsi motorik dan sensorik termasuk refleks-refleks. Pupil yang berdilatasi maksimal tidak selamanya menandakan kerusakan otak yang ireversibel. Pemeriksaan dada, lakukan auskultasi dan inspeksi kembali untuk melihat fraktur maupun fungsi dari pernapasannya (ketinggalan bernapas). Hilangnya suara napas dapat dicurigai adanya suatu pneumotoraks yang perlu dilakukan pemasangan chest tube. Hal yang serupa, suara jantung yang menjauh, tekanan nadi yang sempit (narrow pulse pressure), serta vena leher yang distensi dapat menunjukkan adanya tamponade jantung, yang perlu dilakukan perikardiosentesis. Pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi, auskultasi, serta palpasi. Pemeriksaan ekstremitas meliputi fraktur, dislokasi, dan pulsasi perifer. Pemasangan kateter serta NGT juga dilakukan.Analisis dasar laboratorium termasuk darah lengkap, elektrolit, gula darah, blood urea nitrogen (BUN), serta kreatinin. AGDA juga sangat membantu. Foto toraks harus segera dilakukan pada semua pasien dengan trauma hebat. Kecurigaan adanya fraktur servikal harus dievaluasi dengan memeriksakan ketujuh vertebra servikalis. Pemeriksaan lainnya berupa FAST dapat dilakukan untuk menilai adanya perdarahan intraperitoneal maupun tamponade jantung.

2.1.3. Tertiary SurveyBeberapa pusat menyarankan adanya penilaian tersier untuk mencegah adanya luka yang terlewatkan. Sekitar 2-50 % dari luka trauma dapat terlewatkan di penilaian primer dan sekunder, terutama pada trauma multipel. Hal ini dapat dilakukan dalam 24 jam pertama. Evaluasi yang lebih lama ini dapat menyebabkan pasien menjadi lebih sadar, sehingga dapat berkomunikasi dengan lebih baik, memberikan informasi yang lebih detail tentang mekanisme injuri, serta penyakit-penyakit penyerta.

2.2. Trauma AbdomenPasien yang mengalami trauma berat, harus dicurigai memiliki trauma pada abdomen hingga dibuktikan sebaliknya. Sebanyak 20% pasien dengan luka intraabdomen tidak memiliki rasa sakit atau tanda-tanda iritasi peritoneal (muscle guarding, nyeri ketuk, ataupun ileus) pada pemeriksaan pertama. Jumlah darah yang banyak (hemoperitoneum akut) dapat dijumpai di abdomen (luka di hepar maupun limpa) dengan tanda yang minimal. Trauma abdomen sering dibedakan menjadi luka tembus (luka tembak dan luka tusuk) dan tidak tembus (deselerasi, tabrakan, dan luka kompresi).Luka tembus abdomen biasanya jelas dengan luka masuk pada abdomen maupun di toraks bagian bawah. Organ yang paling sering terkena adalah hepar. Pasien dapat dikelompokkan menjadi tiga subgrup: (1) pulseless, (2) hemodinamik yang tidak stabil, serta (3) stabil. Pulseless dan hemodinamik yang tidak stabil (yang tidak dapat mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 80-90 mmHg) dengan resusitasi 1-2 Liter harus segera dilakukan laparotomi. Biasanya terdapat pembuluh darah besar atau organ padat yang terkena luka. Pasien stabil dengan tanda-tanda peritonitis atau eviserasi harus dilakukan laparotomi sesegera mungkin. Tanda yang jelas dari adanya injuri intraabdomen adalah adanya free air di bawah diafragma pada foto toraks, darah dari NGT, hematuria, serta darah dari rektum. Evaluasi lanjutan pada pasien dengan hemodinamik stabil termasuk pemeriksaan fisik serial, eksplorasi luka, diagnostic peritoneal lavage (DPL), FAST scan, CT-Scan abdomen, atau laparoskopi diagnostik. Penggunaan FAST dan CT-Scan abdomen telah menurunkan kebutuhan dari DPL.Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas dalam trauma, dan menjadi penyebab utama pada luka intraabdomen. Robekan atau ruptur pada limpa merupakan yang paling sering terjadi. Hasil FAST scan yang positif pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil merupakan suatu indikasi untuk dilakukan operasi segera.Hipotensi sering kali terjadi saat pertama kali membuka abdomen, karena efek tamponade dari darah di rongga abdomen (serta distensi usus) hilang secara tiba-tiba. Saat diperlukan, siapkan cairan dan darah untuk resusitasi dengan infus cepat. Penggunaan nitrous oxide dihindarkan untuk mencegah semakin buruknya distensi usus. NGT akan membantu mencegah dilatasi dari lambung, dan harus dimasukkan per oral apabila terdapat fraktur basis kranii. Transfusi darah yang masif harus diantisipasi, terutama bila trauma abdomen mengenai pembuluh darah besar, hepar, limpa, atau ginjal.

2.3. Trauma Tumpul Abdomen2.3.1. EtiologiTrauma abdomen yang berhubungan dengan kendaraan menjadi penyebab utama dari trauma tumpul abdomen. Kendaraan-kendaraan dan kendaraan-pejalan kaki dilaporkan menjadi penyebab sekitar 50-75% kasus. Penyebab yang sering lainnya adalah jatuh, kecelakaan di tempat kerja, maupun kecelakaan sewaktu rekreasi. Selain itu, penyebab yang agak jarang terjadi adalah iatrogenik sewaktu resusitasi kardiopulmonal serta manuver Heimlich.

2.3.2. PatofisiologiLuka intraabdomen sekunder terjadi akibat tabrakan antara pasien dan lingkungan luar serta gaya akselerasi dan deselerasi yang bekerja pada organ internal. Mekanisme trauma yang terjadi dapat dijelaskan dalam tiga mekanisme.Mekanisme pertama adalah deselerasi. Deselerasi yang terjadi secara cepat akan menyebabkan perubahan dalam struktur yang berdekatan. Sebagai akibatnya, akan terjadi gaya gesek sehingga organ berongga, organ padat, pembuluh darah bisa robek, terutama pada posisi-posisi yang relatif terfiksasi dengan kuat. Sebagai contoh, aorta distal terfiksasi ke torakalis dan akan berdeselerasi lebih cepat dibandingkan lengkung aorta yang cenderung mobile. Sebagai hasil, gaya gesek ini akan menyebabkan aorta menjadi robek.Mekanisme kedua melibatkan penekanan. Isi dalam rongga intraabdomen akan tertekan antara dinding abdomen anterior dan kolumna vertebra. Hal ini akan menyebabkan crushing effect, menyebabkan organ-organ padat (limpa, hepar, dan ginjal) menjadi lebih rentan.Mekanisme ketiga yang dapat terjadi adalah kompresi eksternal, apakah dari efek pukulan secara langsung atau dari kompresi terhadap objek-objek yang terfiksasi (sabuk pengaman, kolumna spinalis). Gaya kompresi ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen secara tiba-tiba dan akan menyebabkan ruptur dari organ berongga.

2.3.3. Manifestasi KlinisPenilaian awal dari trauma tumpul abdomen sering kali agak sulit dilakukan, dan cenderung tidak akurat. Beberapa tanda dan gejala yang harus diperhatikan adalah: nyeri, perdarahan dari saluran pencernaan, hipovolemia, serta bukti adanya iritasi peritoneal.Kemudian, pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya pola-pola trauma yang bisa memprediksikan adanya trauma intraabdomen, antara lain: tanda sabuk pengaman, tanda dari kemudi mobil, ekimosis di daerah pinggang atau umbilikus, distensi abdomen, auskultasi dari suara usus di daerah toraks (menggambarkan trauma diafragma), dan lain-lain.Harus ditanyakan tentang riwayat pada pasien, yang dapat disingkat menjadi AMPLE (Allergies, Medications, Past medical history, Last meal, Events leading to presentation). 2.3.4. DiagnosisTerdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis trauma tumpul abdomen, antara lain dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL), Focused Assesment with Sonography for Trauma (FAST), serta dengan CT-scan.DPL dapat diindikasikan pada pasien-pasien dengan: trauma pada tulang belakang, luka multipel dan syok yang tidak dapat dijelaskan, serta pasien yang dicurigai trauma abdomen.FAST merupakan USG yang cepat, portabel, tidak invasif, dan akurat untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Protokol pemeriksaan FAST terkini mencakup 4 jendela pemeriksaan (perikardiak, perihepatik, perilimpa, serta pelvik) dengan pasien dalam posisi supine. Pemeriksaan dikatakan positif apabila dijumpai adanya cairan di salah satu dari empat jendela pemeriksaan tersebut. Negatif jika tidak dijumpai adanya cairan, dan indeterminate jika salah satu dari jendela pemeriksaan tidak bisa dinilai secara adekuat.CT-scan merupakan standar yang digunakan untuk mendeteksi adanya luka pada organ padat. CT-scan juga menyediakan gambaran yang sangat baik untuk pankreas, duodenum, dan sistem genitourinari. Serta, tidak seperti DPL dan FAST, CT-scan dapat mendeteksi sumber perdarahan.

2.3.5. PrognosisSecara keseluruhan, prognosis pasien dengan trauma tumpul abdomen cukup baik. Angka mortalitas pada pasien-pasien yang dirawat sekitar 5-10%. Sedangkan pada pasien anak, National Pediatric Trauma Registry melaporkan sekitar 9% pasien anak meninggal akibat trauma tumpul abdomen. Suatu ulasan dari Australia melaporkan bahwa sekitar 85% dari pasien dengan trauma tumpul abdomen terjadi akibat kecelakaan dengan angka mortalitas sekitar 6%.BAB IIILAPORAN KASUS

Tanggal Masuk 28 Agustus 2014

Waktu16.30

NamaDF

R.M.00.61.42.82

3.1.1. Anamnesis

Identitas PribadiNama:DFJenis Kelamin:PerempuanUsia:13 tahunSuku Bangsa:BatakAgama:IslamAlamat:Desa Gedubang Lk. CendanaStatus:Belum MenikahPekerjaan:Tidak bekerjaTanggal Masuk:28 Agustus 2014

3.1.2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Jenis Kelamin, Umur, Berat Badan: Perempuan, 13 tahun, 25 kg Keadaan Umum : Nyeri pada bagian dadaTelaah :Hal ini dialami pasien sejak pasien tesedak jarum pentul 3 hari yang lalu, nyeri saat bernafas (-), sesak nafas(-), keluhan trauma pada dada(-), batuk berdarah (-)Riwayat Penyakit Terdahulu: -.Riwayat Penggunaan Obat: -.

3.2. Patient Assessment

1. Primary Survey

SignDiagnosisTreatmentHasilWaktu

AirwayClearO2 2 L/iJalan Nafas Aman16.30

Look: Obstruksi (-), debris (-)

Listen : Snoring (-), Gurgling (-), crowing (-)

Feel : gerakan udara (+)

BreathingAdekuat-Sat O2 : 99%RR : 22 x/i16.31

Look : gerakan dinding dada (+)

Listen : aus. vesikuler (+), Suara Tambahan (-)

Feel : hipersonor (-), hiposonor (-)

CiculationNormalIVFD RL 10 gtt/iSirkulasi Aman16.32

Pulsasi karotis : (+) HR : 97 x/i

(PP) Akral : Hangat/Merah/Kering

T/V : kuat/cukup , CRT : < 2 detik.

TD: 120/80 mmHg

DisabiltyCompos Mentis--16.33

Kesadaran : Compos mentisGSC E4V5M6, Pupil : isokor 3mm/3mmRc: + / +

Exposure----

-

-

2. Secondary Survey

SignDiagnoseTreatmentResultTime

BreathingClearO2 2 L/iBreathing Establish

Sat O2 : 99%RR : 20 x/i

Inspeksi : Obstruksi (-), debris (-), gerakan dinding dada (+), simetris (+). SP: vesikuler, ST: RR: 22x/i. MLP: 1 GL: bebas, alergi/asma/batuk/sesak: -/-/-/-,

Perkusi: Sonor

Palpasi : stemfremitus

Auskultasi : Vesikuler (+), suara tambahan: snoring/gargling/crowing:-/-/-

Riwayat : Asma(-) sesak(-), batuk(-) alergi (-)

Blood & CirculationNormalIVFD RL 10 gtt/iCirculation Establish

HR : 97 x/i Reguler

Akral : Hangat/Merah/Kering

T/V : kuat/cukup , CRT : < 2 detik.

TD : 120/80 mmHg

Temp : 36,5 o

BrainComposMentis--

Kesadaran : compos mentis

GCS : 15

Pupil : isokor 3mm/3mm

BladderNormal

UOP : (-)

kateter : (-)

BowelNormal--

I: distensi (-), DC (-), DS (-)P: defans (-), NT (-)P: tympaniA: peristaltik (+) MMT makan pk. 13.00 (10/8/2014), MMT: 13.00 WIB 10/08/2014

Bone & EkstremitiesNormal--

Oedem (-)

Fraktur (-)

3.3. Terapi Emergensi

Informed Consent untuk anestesi Puasa dilanjutkan Pasang IV line : abocath 18G dan threeway Medikasi Site of EntryObat

Oral-

Enteral (NGT)-

Intravenous IVFD RL 10 gtt/i Inj. Ceftriaxone 1 gr/iv Inj. Ranitidin 50 mg/ iv Inj. Ketorolac 30 mg/iv Inj. Asam traneksamat 500mg/iv Inj. Dexamethason 5mg/iv

Intramuskular-

Rektal-

3.4. Time Sequence

28/08/2014 Pasien datang ke RSUP HAM pada pukul 16.30 WIB

28/08/2014 Pasien dikonsulkan ke Depatemen Anestesi pada pukul 20.00 WIB

29/08/2014 Operasi mulai pukul 11.50 WIB Selesai pukul 13.15 WIB (1 jam)

3.5. Laboratorium & Tes Diagnostik Lain

1. Darah Lengkap (28 Agustus 2014) Hb/Ht/Leu/Tromb: 15/42.10/18.45/320.000 PT/aPTT/TT/INR: 14.5(13.7)/38.5(37.6)/13.9(17.8)/1.07 KGDs: 149 Na/K/Cl: 135/3.8/107 Ureum/ Kreatinin: 19.3/0.50

2. AGDApH/ PCO2/ PO2/ HCO3/ TCO2/ BE/ SaO2

3.6. Radiologi

Foto Thorax

Interpretasi : Position :

Diagnosis : Tindakan : PS ASA : Teknik Anestesia: GA-ETT Posisi: Supine

3.8.1. Problem ListPreoperasi: Pasien emergensi, tidak dipersiapkan seperti halnya pasien elektif, puasa tidak cukup, dianggap lambung penuh + gangguan motilitas/pasase isi usus transit time memanjang waktu pengosongan terganggu Pasien gangguan pasase isi usus dehidrasi (third space loss) Pasien dengan kondisi abdomen distensi Dengan trombositopeni resiko perdarahan

Intra operasi: Pasien dengan tindakan laparatomy Penguapan besar Hipothermia Pasien dilakukan tindakan GA dengan explorasi laparatomi kemungkinan perdarahan banyak Pasien dengan obstruksi usus Pemberian cairan durante operasi

Post operasi: Insisi tinggi nyeri akut post op Takut batuk retensi sputum pneumonia orthostatik, bisa juga atelektasis Potensial infeksi post operasi Malnutrisi pasca operasi3.8.2. Persiapan Alat-Alat dan Obat-Obat

Suction

3.8.3. Teknik Anestesi Dilakukan suction aktif NGT dicabut Preoksigenisasi O2 100 % 3-5 menit, sungkup ketat Premedikasi midazolam 2,5 mg ,fentanyl 50 mcg Sellick manuver Induksi Ketamin 100 mg eye lid refleks (-) (sleep non apnea) inj. Rocuronium 50 mg sleep apnea intubasi ETT no. 7 cuff (+) SP ka = ki Fiksasi eksternal sellick dihentikan Maintenance : Isoflurane 0.8 - 1.5 %, Air : 02 2l/i:2l/i Relaksan Rocuronium 10 mg/ 20 menit, Fentanyl 50 mcg/jam

3.8.4. Monitoring Pre-operasi

B1: airway: clear, RR: 28x/mnt, SP: ves, ST:-, snoring/gargling/crowing: -/-/-, MLP:1, GL: bebas, alergi/asma/batuk/sesak: -/-/-/-B2: akral: H/M/K, TD: 140/90 mmHg, HR: 120 x/mnt, T/V: kuat/cukup, turgor normalB3: sens: CM, pupil isokor : 3 mm/3mm RC:+/+B4: kateter urin terpasang , UOP: 0.5 cc/kgBB/jam, warna kuningB5: I: distensi (-), DC (-), DS (-) P: defans (+) P: hypertimpani A: peristaltik (-) NGT tidak dipasangB6: oedem (-), fraktur (-)3.8.5. Monitoring durante OP

Durante Operasi Lama operasi: 3 jam 30 menit TD : 90-140/60-90 mmHg HR :100-140 x/i SpO2: 99 100 % Cairan : PO = RL 1000 cc DO = RL 1500 cc Perdarahan + 100 cc Maintenance + penguapan = 500 cc/jam UOP : 75 cc/jam kuning

Gambar : Perforasi di yeyenum 54 cm dari lig .treitzDilakukan source control dengan pencucian berulang2 Dilakukan pelepasan fibrin2 dari usus

B1 : Airway clear, terintubasi dengan Tpiece 6L/I RR:24 x/i SP: vesikuler, ST (-), SpO2 99%B2 : Akral : H/M/K, TD 120/80 mmHg, HR : 105 x/i, T/V: Kuat/ cukup, regulerB3 : Sens : DPO, pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+B4 : UOP (+), volume 50 cc , warna kuning. B5 : Soepel, Luka Operasi tertutup verbanB6 : oedem pretibial (-), fraktur (-)

2.8.6. Monitoring Post-OperasiB1: Airway clear,terintubasi dengan Tpiece 6L/I RR:24 x/i SP: vesikuler,ST(-),SpO2 99%B2: Akral : H/M/K, TD 120/80 mmHg, HR : 105 x/i, T/V: Kuat/ cukup, regulerB3: Sens : DPO, pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+B4: UOP (+), volume 50 cc , warna kuning. B5: Soepel, Luka Operasi tertutup verbanB6: oedem pretibial (-), fraktur (-)

POST OPERATION

Terapi Post Operasi Bed Rest, Head Up 30o Diet TPN O2 6 L/i via T piece IVFD RL 30 tpm Inj. Ketamin 50 mg dalam 50cc NaCl 0,9% 5 cc/jam via SP Inj. Paracetamol 1 gr/8 jam/IV Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam Inj. Metronidazole 1500 mg/24 jam/IV Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam Cek darah rutin, elektrolit, KGD ad Random, Albumin, AGDA

3.9. Follow up:TglSOAPHasil Pemeriksaan Laboratorium

28 Agustus 2014Nyeri TenggorokanB1:Airway:clear, Sp:VesikulerB2:Akral:H/M/K, TD120/80mmHg, HR:97x/i,T/V: Kuat/ cukup, regulerB3:Sens:DPO,pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+B4: B5:Soepel, peristaltik(+) lemahB6:oedem pretibial (-) , fraktur (-)Corpus Alienum o/t Bronkus Dextra Tirah baring, head up 30 IVFD RL 10 gtt/i

29 Agustus 2014Nyeri TenggorokanB1:Airway:clear, Sp:VesikulerB2:Akral:H/M/K, TD120/80mmHg, HR:102x/i,T/V: Kuat/ cukup, regulerB3:Sens:DPO,pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+B4: B5:Soepel, peristaltik(+) lemahB6:oedem pretibial (-) , fraktur (-)Corpus Alienum o/t Bronkus Dextra Tirah baring, head up 30 IVFD RL 10 gtt/i Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam Inj. Dexametason 5mg/12jam Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam Inj. Ketorolac 30mg/8jam

30 Agustus 2014Tidak Ada KeluhanB1:Airway:clear, Sp:VesikulerB2:Akral:H/M/K, TD120/80mmHg, HR:99x/i,T/V: Kuat/ cukup, regulerB3:Sens:DPO,pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+B4: B5:Soepel, peristaltik(+) lemahB6:oedem pretibial (-) , fraktur (-)Corpus Alienum o/t Bronkus Dextra Tirah baring, head up 30 IVFD RL 10gtt/i Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

1 September 2014Tidak Ada KeluhanB1:Airway:clear, Sp:VesikulerB2:Akral:H/M/K, TD120/80mmHg, HR:97x/i,T/V: Kuat/ cukup, regulerB3:Sens:DPO,pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+B4: B5:Soepel, peristaltik(+) lemahB6:oedem pretibial (-) , fraktur (-)B5:Soepel, peristaltk(+) lemah,drainage(+) warna kehitamanB6:oedem pretibial (-) , fraktur (-)Corpus Alienum o/t Bronkus Dextra Tirah baring, head up 30 IVFD RL 20 gtt/i Tab Vit C 3x1 Tab Vit B Comp 3x1 Ambroxol tab 3x1

BAB 4DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Dilaporkan seorang perempuan usia 22 tahun, datang ke RSUP HAM dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut yang dialami pasien sejak 1 minggu ini akibat terbentur stang sepeda motor karena terjatuh ke dalam selokan, pasien sebelumnya dirawat di rumah sakit daerah selama 5 hari. Mual (+), muntah (-). BAK (+), BAB berdarah (-). Buang angin (-). Penurunan berat badan drastis (-), Riwayat BAB seperti kotoran kambing (-).Saat datang ke RSUP HAM, airway clear, breathing adekuat dengan laju napas 32x/i, circulation stabil dengan CRT