lapkas bedah luka bakar

Upload: yolanda-octaviana-tarigan

Post on 10-Jan-2016

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Luka Bakar

TRANSCRIPT

38

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus.

Pasien dengan penyakit Hirschprung ini pertama kali di laporkan pada tahun 1691 oleh Frederick Ruysch, tetapi Harald Hirschsprung baru mempublikasikan penyakit ini pada tahun 1886 dengan deskripsi megakolon kongenital. Awalnya, patofisiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian usus akibat defisiensi ganglion.2Pada tahun 1888, Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut yang kembung akibat kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses. Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus.3Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta.Kelainan pada penyakit ini biasanya ditemukan mulai dari bagian distal kolon yaitu di peralihan antara usus dengan anus. Panjang dari bagian segmen yang tidak mempunyai sel ganglion (aganglionik) itu biasanya berbeda-beda ; 75% pasien terbatas pada bagian rektum dan sigmoid, 8% pasien mengalami segmen aganglionik pada seluruh bagian kolon, dan jarang melibatkan usus kecil.

Setelah muncul penemuan kelainan histologik pada penyakit ini, barulah ditemukan teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini.

Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan dengan enterokolitis.1.2. Rumusan Masalah

Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan, dan komplikasi dari penyakit Hirschsprung.

1.3. Tujuan Penulisan

a. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan, dan komplikasi penyakit Hirschsprung.

b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.c. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Usus BesarUsus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Kolon terdiri atas tiga bagian yaitu, pars ascendens, pars transversus, dan pars descendens. Bagian akhir dari kolon pars descendens adalah sigmoid yang membentuk huruf S, kemudian lanjut menjadi bagian yang lurus yaitu rektum. 4

Gambar 2.1. Anatomi usus besar

Usus memiliki empat lapisan yaitu tunica mucosa, tunica submukoca, tunica muscularis,dan tunica serosa. Lapisan mukosa dilapisi oleh lamina propria dari jaringan ikat longgar yang kaya akan pembuluh darah, pembuluh limfe, dan otot polos. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat padat, pembuluh darah, dan pembuluh limf. Lapisan ini juga terdiri atas pleksus Meissner. Lapisan muskularis terdiri atas dua sub lapisan mengikuti arah sel otot. Lapisan internal yang dekat dengan lumen mengikuti pola sirkuler, dan bagian eksternal mengikuti arah longitudinal. Lapisan muskular juga terdiri dari pleksus Auerbach yang berada diantara dua lapisan sirkular dan longitudinal. Sementara lapisan serosa terdiri dari jaringan ikat longgar, pembuluh darah, pembuluh limfe, juga lapisan squamous cell.5

Gambar 2.2. Lapisan Otot

Rektum memiliki 3 buah valvula yaitu valvula superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 1/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvis dan tefiksasi, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak di rongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal. Saluran anal dikelilingi oleh sfingter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar . Sfingter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan..6Persarafan motorik sfingter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis ( N. Hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf simpatis (N.Splancnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis, sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sfingter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak memengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. Splanknikus ( parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. Pudendalis dan N.Splanknikus Pelvis (parasimpatis).7Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus:a. Pleksus Auerbach: terletak dilapisan otot sirkuler dan longitudinal

b. Pleksus Henle : terletak di sepanjang batas dalam otot sirkuler

c. Pleksus Meissner: terletak di submukosa2.2. Embriologi Kolon

Dalam perkembangan embriologi normal, sel-sel neuro enterik bermigrasi dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan kearah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima. Sel-sel saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu ke 12. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya sel-sel ini menuju kedalam pleksus Meissner. Sel-sel krista neural dalam migrasinya dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf yang berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural.24Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik, yang membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke bawah menuju saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju usus, dimulai dari membran dasar dan berakhir di lapisan muscular. 21Secara embriologi kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam perkembangan embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus pada sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.242.3. Fisiologi Refleks Defekasi Ketika makanan memasuki lambung, pergerakan massa yang dipicu di kolon disebut sebagai refleks gastrokolik yang diperantarai oleh gastrin dan persarafan autonomik. Refleks gastroenterik dan refleks gastroileal akan mentransfer material dari sekum ketika makan. Pergerakan dari sekum ke kolon transversus sangat lambat, sehingga material yang terdiri dari banyak cairan akan diubah menjadi lebih padat karena absorpsi air. Gelombang peristaltik di usus akan memindahkan isi di sepanjang usus. 8Kontraksi peristalsis yang cukup kuat akan muncul beberapa kali sehari. Kontraksi ini akan memindahkan material dari kolon transversus ke bagian usus besar selanjutnya. Stimulus berasal dari lambung dan usus, yang akan di hantarkan ke pleksus saraf. Kontraksi tersebut akan memaksa feses untuk masuk ke rektum dan menghasilkan keinginan untuk defekasi.8Rektum biasanya dalam keadaan kosong, kecuali adanya kontraksi peristalsis yang cukup kuat untuk memindahkan feses dari kolon sigmoid ke rektum. Peregangan dinding rektum akan menghasilkan refleks defekasi. Refleks ini akan menghasilkan dua umpan balik positif. Reseptor peregangan rektum akan memicu kontrol defekasi yang dapat disadari. Refleks pertama dimediasi oleh inervasi parasimpatis di pelvis. Refleks ini akan menyebabkan relaksasi sfingter anal internal. Otot polos sfingter akan mengontrol pergerakan feses ke kanal anal. Refleks kedua adalah refleks somatis yang memicu kontraksi segera dari sfingter anal eksterna. N. Pudenda akan membawa perintah motorik.8Kedua sfingter anal interna dan eksterna harus berelaksasi agar feses dapat dikeluarkan. Tetapi, kedua refleks membuka sfingter internal namun menutup sfingter eksternal. Pengeluaran feses harus dalam keadaan yang disadari untuk membuka sfingter eksternal. Aktivitas lainnya yang dapat membantu pengeluaran feses melalui peningkatan tekanan intraabdomen, seperti mengedan. Keinginan untuk mengeluarkan feses muncul ketika tekanan di rektum mencapai 15 mmHg. Jika tekanan ini melebihi 55 mmHg, sfingter anal eksternal akan relakasi secara tidak sadar sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini muncul pada bayi dan pada pasien dengan kerusakan medulla spinalis. 8

Gambar 2.3. Refleks Defekasi

2.4. Definisi Penyakit Hirschsprungs Penyakit Hirschsprungs adalah suatu penyakit kongenital yang disebabkan oleh malformasi dari sistem parasimpatis pelvik yang mengakibatkan ketiadaan sel-sel ganglion pada pleksus Auerbach dan Miessner pada bagian kolon distal.92.5. Etiologi dan Faktor RisikoPenyakit hirschprung berkaitan erat dengan genetik. Tidak adanya ganglion dapat disebabkan oleh mutasi gen yang menyebabkan kegagalan pada migrasi, diferensiasi atau kehidupan pada sel tersebut. Reseptor Tyrosine Kinase Gene (RET) merupakan gen yang biasanya mengalami mutasi. Secara signifikan mutasi gen RET juga ditemukan pada sindrom neoplasma endokrin multipel tipe IIA dan IIB dan karsinoma tiroid medullar familiar. Penyakit Hirschprungs juga sering di temukan pada anak dengan trisomi 21 (Sindrom Down). Gen yang telah bermutasi tersebut bisa mengakibatkan defek saat embriogenesis. Sebuah studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kolon yang normal memiliki banyak NCAM (Neural Cell Adhesion Molecules), akan tetapi NCAM tidak ditemukan pada bagian yang aganglionik pada penyakit Hirschprungs. NCAM ini diperkirakan berperan penting dalam pembentukan sel ganglion pada saat embriogensis. 10Adapun faktor risiko penyakit Hirschsprung adalah sebagai berikut:

a. riwayat keluarga menderita penyakit Hirschsprung,

b. menderita Sindom Down,dan

c. laki-laki.222.6. EpidemiologiPenyakit Hirschsprungs dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi terjadinya penyakit Hirschsprungs biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga dengan Hirschsprungs dan pasien yang menderita Sindrom Down. Daerah Rektosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, fleksura lienalis atau transversum pada 17 kasus.9Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya Penyakit Hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1,5-17% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki-laki dan 360 kali lebih tingi pada anak perempuan. Penyakit Hirschsprungs lebih sering diturunkan oleh ibu yang aganglionosis dibanding ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada kolon ( sindrom Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan menyebutkan 4 keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena, kebanyakan mengalami aganglionosis segmen panjang. 9,112.7. KlasifikasiHirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena. Adapun klasifikasi dari Hirschsprungs Disease adalah sebagai berikut. 231. Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari rektum.

2. Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari kolon.

3. Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar kolon.

4. Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh kolon dan rektum dan kadang sebagian usus kecil.

Gambar 2.4. Tipe penyakit Hirschsprung232.8. Patogenesis

Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan spfingter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Sehingga pada bagian abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal, sedangkan bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.6 Dasar patofisologi penyakit Hirschcprungs adalah tidak adanya gelombang propulsif dan abnormalitas atau hilangnya relakasasi dari sfingter anus internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis, atau disganglionosis pada usus yang terkena.12,13Tidak terdapatnya ganglion pada kolon menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga feses dalam lumen kolon terhambat yang menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah aganglionik sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi di bawahnya. Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut atau kronis yang tergantung panjang usus yang mengalami aganglionik. Obstruksi kronis menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang disertai iritasi feses dan menyebabkan invasi bakteri. Pada tahap selanjutnya terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon. Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan terjadi sepsis, dan kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.12,13,14 2.9. Gejala Klinis

Pada bayi yang baru lahir biasanya terjadi keterlambatan pengeluaran mekonium pertama, diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau. Pada bayi normal, mekonium akan keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada penyakit Hirschcprungs, mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normalnya berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Diare dapat menunjukkan adanya suatu enterokolitis.17,13 Pada anak yang lebih besar, dapat mengalami kesulitan makan, distensi abdomen kronis, dan adanya riwayat konstipasi. Gejala penyerta lain seperti impaksi feses, demam, dan diare menunjukkan terjadinya tanda-tanda enterokolitis, malnutrisi, dan gagal tumbuh.15,14Pada pemeriksaan colok dubur, sfingter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan disekitar umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terjadi komplikasi peritonitis.15,12,142.10. Pemeriksaan Penunjang

2.10.1. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos abdomen (BNO)

Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini. 19b. Pemeriksaan Barium Enema

Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;

2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;

3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.16

Gambar 2.5. Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi. Zona ini merupakan transisi dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi normal. 18

Gambar 2.6. Pemeriksaan barium enema pada penderita dengan penyakit Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid serta pelebaran di bagian atas dari zona transisi. 16

Gambar 2.7. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon yang terisi massa feses dibagian atas dan rektum yang relatif menyempit di bagian bawah. 20

Gambar 2.8. Rektum pada bayi baru lahir ini kelihatan lebih kecil dari sigmoid dan kolon descendens, tetapi tidak terdapat zona transisi yang jelas. 20

Gambar 2.9. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi lainnya menunjukkan segmen aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme. 20

Gambar 2.10. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid pada foto barium enema sisi lateral20Semakin lanjut usia pasien saat terdeteksi penyakit ini, maka semakin jelas perbedaan yang tampak antara usus yang normal dan abnormal19

Gambar 2.11.. Pemeriksaan barium enema pada bayi baru lahir dengan penyakit Hirschsprung. Biasanya perubahan klasik dari penyakit ini tidak begitu jelas pada periode neonatal.20

Gambar 2.12. Pemeriksaan barium enema yang dilakukan selanjutnya memperlihatkan gambaran megakolon yang tipikal, zona transisi serta bagian aganglionik yang tidak melebar.20

Gambar 2.13. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan penyakit Hirschsprung tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi kronis yang berlangsung sepanjang hidupnya. Perhatikan adanya dilatasi usus besar dan residu feses. 20

Gambar 2.14. Penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan barium enema tampak pengurangan kaliber rektum dan dilatasi loop usus besar dengan permukaan mukosa yang ireguler (diskinesia).20

Gambar 2.15. Penyakit Hirschsprung pada bayi yang berusia 6 bulan dengan riwayat konstipasi kronis. Foto barium enema sisi lateral ini menunjukkan dilatasi pada sigmoid kolon proksimal dan kolon asendens 17Pada orang dewasa yang menderita penyakit ini, biasanya lesi hanya terbatas pada bagian sigmoid kolon atau rektum. Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan yang dilakukan ke atas bayi, iaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam suatu studi, didapatkan pemeriksaan dengan CT scan juga bermanfaat untuk menentukan letak zona transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT scan yang didapatkan juga sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsi rektum. 17

Gambar 2.16. Gambaran penyakit Hirschsprung dengan segmen aganglionik di bagian atas rektum pada seorang pria muda berusia 19 tahun. AC = ascending colon, DC = descending colon. Segmen kolon yang lain dalam batas normal.17

Gambar 2.17. Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi bagian atas dari rektum dan rectosigmoid junction yang terisi massa feses (pada anak panah).17

Gambar 2.18. Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi bagian proksimal rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses. 17

Gambar 2.19. Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi dan penyempitan di bagian distal rektum.18c. Pemeriksaan lainnya Laboratorium Studi

CBC count: Tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya komplikasi seperti enterokolitis yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung. Peningkatan WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya enterokolitis.18 Anorektal manometri

Gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sfingter ani interna ketika ekttum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah bisa segera dilakukan dan pasien dapat cepat pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih serig dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada neonatus. Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan riwayat atipikal baik untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional, manometri anorektal dapat membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak dengan penyakit Hirschsprung gagal untuk menunjukkan refleks relaksasi pada spinkter ani interna dalam menanggapi inflasi balon dubur. 18Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks anorektal pada pasien yang dicurigai dengan penyakit Hischsprung. Orang yang menderita penyakit ini biasanya akan kehilangan atau berkurang refleks anorektalnya. Penurunan refleks anorektal yang dimaksudkan adalah kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah dilakukan inflasi balon di bagian rektum. Bagaimanapun, terdapat banyak perbedaan pendapat tentang penilaian pada tes diagnostik ini. 21 Biopsi rektum

Biopsi rektum merupakan tes yang paling akurat untuk mendeteksi penyakit Hirschsprung. Biopsi rektum merupakan gold standart untuk mendiagnosis penyakit Hirscprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus biopsi rektum. Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk dilihat di bawah mikroskop. Untuk pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil sampel yang normal dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena sampel yang diambil pada mukosa rektal lebih tebal. Anak-anak dengan penyakit Hirschsprung tidak memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada biopsi hisap, jaringan dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat penghisap. Karena tidak melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak diperlukan anestesi.

Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit Hirschsprung tidak terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh, biopsi full-thickness biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung. Pada biopsi full-thickness lebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Tidak adanya sel-sel ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.192.11. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Penyakit Hirschcprungs harus meliputi seluruh kelainan dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:20Obstruksi mekanikObstruksi fungsional

Meconium ileus

Simple

Complicated (with meconium cyst or peritonitis)

Meconium plug syndrome

Neonatal small left colon syndrome

Malarotation with volvulus

Incarcerated hernia

Jejunoileal atresia

Colonic atresia

Intestinal duplication

Intussusceptions

NEC Sepsis

Intracranial hemorrhage

Hypothyroidism

Maternal drug ingestion or addiction

Adrenal hemorrhage

Hypermagnesemia

Hypokalemia

2.12. Penatalaksanaan

2.12.1. Non Pembedahan

Ketika diagnosis penyakit Hirschsprung disangkakan maka pasien ditangani sebagai pasien obstruksi. Sesegera mungkin pasien dipuasakan dan dilakukan dekompresi dengan memasang selang NGT dan kateter urin. IV line dipasang untuk memastikan rehidrasi yang cukup dan antibiotik empiris sistemik diberikan, lalu dilakukan rectal washing sebanyak 10 kg/BB212.12.2. Pembedahan

Penyakit Hirschsprungs memerlukan tindakan pembedahan sebagai tatalaksana definitif pada semua kasus. Pendekatan pembedahan klasik terdiri dari prosedur yang bertingkat. Ini termasuk pembuatan kolostomi pada neonatus, diikuti dengan pembedahan definitif setelah berat anak >10 kg. Ada tiga prosedur pembedahan pull-through yang saat ini digunakan. Untuk masing masing operasi yang dilakukan, prinsip tatalaksana pada pembedahan adalah memastikan lokasi dari usus dimana transisi antara usus berganglion dengan yang tak berganglion terletak, reseksi segmen tak berganglion dari usus, dan melakukan anastomosis dari usus berganglion ke anus ataupun ke selubung rektum.21Sekarang sudah sepenuhnya diketahui bahwa operasi pull through dapat dilakukan secara aman, bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip yang sama seperti pembedahan bertingkat dan menghindarkan pasien dari pembedahan tambahan. Beberapa ahli bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop. Pendekatan ini terutama berguna pada pembedahan dengan pasien neonatus, karena memberikan visualisasi yang sangat baik pada pelvis. Pada anak dengan distensi abdomen yang signifikan, dapat dilakukan kolostomi untuk dekompresi.21Dari ketiga prosedur operasi pull through yang dilakukan pada penyakit Hirschsprungs, yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini, rektum aganglion di diseksi dari pelvis dan dikeluarkan melalui anus. Kolon berganglion kemudian disambungkan ke anus melalui pendekatan perineal. Prosedur kedua adalah prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi pada ruang retrorektal, dan kolon berganglion disambungkan secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior pada kolon berganglion dan dinding posterior dari rektum aganglion disambungkan menggunakan stapler. Meskipun kedua prosedur ini terbukti sangat efektif, prosedur ini memiliki potensi untuk terjadi kerusakan pada syaraf parasimpatik yang berada di sekitar rektum. Untuk menghindari masalah potensial ini. Prosedur ketiga adalah prosedur Soave yang dikerjakan dengan mendiseksi mukosa rektum secara keseluruhan dan kolon berganglion ditarik melewati selubung muskular ini dan disambungkan pada anus.21Pada semua kasus, sangat penting untuk memastikan lokasi usus berganglion. Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa anastomosis harus dilakukan sekurangnya 5 cm dari titik dimana usus berganglion ditemukan. Hal ini mencegah dari melakukan operasi pull through pada zona transisi, yang berkaitan dengan tingginya insidensi dari komplikasi akibat pengosongan tidak optimal pada segmen pull through.212.13. Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi pada ketiga prosedur ini termasuk enterokolitis pos operasi, konstipasi, dan striktur anastomosis. Seperti dijelaskan sebelumnya, hasil jangka panjang dari ketiga prosedur sangat baik. 21

Gambar 2.20. Prosedur Duhamel

Gambar 2.21. Prosedur Swenson

Gambar 2.22. Prosedur SoaveBAB IIILAPORAN KASUSI. IDENTITAS PASIEN Nama

: FahmiGender

: Laki-lakiUmur

: 6 hariMR

: 00.63.54.31Ruangan

: RB4-PerinatologiTanggal masuk: 4 Maret 2015II. ANAMNESISKeluhan utama: Perut membesarTelaah:

Hal ini dialami o.s sejak usia 2 hari, di mana perut o.s semakin membesar. Sulit BAB (+) dan harus dibantu dengan potongan sabun. Muntah dialami o.s saat usia 5 hari dengan frekuensi 1x, isi muntah berupa sisa susu. Saat ini o.s menangis kuat, mengisap kuat, dan gerak aktif. BAB pertama keluar lebih dari 24 jam setelah lahir. Tiga hari yang lalu o.s pernah dirawat di RSUP HAM dengan keluhan yang sama selama 2 hari, namun keluarga o.s minta pulang atas permintaan sendiri.RPT

: Tidak adaRPO

: Tidak jelasRiwayat Kehamilan : o.s anak ke-2, cukup bulan, riwayat ibu menderita hipertensi (-), DM (-) dan demam saat hamil (-). ANC ke bidan.

Riwayat Kelahiran: o.s lahir secara SC atas indikasi letak lintang, BBL 3200 gram, segera menangis, biru (-).

III. STATUS PRESENSSensorium

: Compos MentisTekanan Darah: 120/80 mmHg

Temperatur

: 36,8oCNadi

: 100x/i

Pernafasan

: 22x/iIV. PEMERIKSAAN FISIKA. Status Generalisata :

Kepala: ubun-ubun besar terbuka (+)Mata: refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior

pucat (-/-), sklera ikterus (-/-)T/H/M: dalam batas normalLeher: trakea medial, pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O ToraksInspeksi : simetris fusiformis, retraksi dada (-)Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru Auskultasi: SP: vesikuler, ST: tidak dijumpai, RR : 40 x/menit

Jantung: S1 (N), S2 (N), Murmur (-), HR: 120 x/menitAbdomenInspeksi : distensi (+), tampak kontur ususPalpasi: soepelPerkusi: timpaniAuskultasi: peristaltik usus meningkat

EkstremitasSuperior: oedem (-), tidak ada kelainan, pols 120x/menit, reg, T/V cukup, akral hangat, CRT < 3Inferior : oedem (-),tidak ada kelainan, pols 120x/menit, reg, T/V cukup, akral hangat, CRT < 3V. Pemeriksaan PenunjangHasil Laboratorium 4 Maret 2015 di RSUP H. Adam MalikWBC23.22 x 103/mm3

RBC3.78 x 106/mm3

Hb13.30 g%

Ht39.30 %

Trombosit 335 x 103/ mm3

Faal Hati

Albumin3.9 g/dl (3,5-5,3)

Metabolism Karbohidrat

Glukosa Darah (Sewaktu)118,5

Faal Ginjal

Ureum36.8 (