kusta unimus jtptunimus gdl-anikekowat-5133-3-bab2
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit kusta
1. Definisi
Penyakit kusta merupakan suatu penyakit menular menahun
yang menyerang kulit dan susunan saraf tepi,sering dapat
menimbulkan reaksi akut (ekserbasi) dan dapat menimbulkan cacat
bila tidak diobati sewaktu penyakit dalam stadium dini (FKUI, 1999).
Memahami kusta sebagai penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi
Mycobakterium lepare yang pertama menyerang saraf tepi selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas.
Sementara itu Adhi Djuanda (1999) mendefinisikan kusta sebagai
penyakit infeksi yang kronis disebabkan oleh mycobakterium leprae
yang intra seluler dan obligat (Adhi Djuanda,1999).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit
kusta adalah penyakit menular dan menahun. Penyakt kusta masih
ditakuti di kalangan masyarakat, keluarga dan petugas kesehatan. Hal
ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan atau pengertian,
kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta yang timbul.
2. Etiologi dan penularan
Mycobakterium leprae atau basil Hasen adalah kuman
penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegi
GH. Armauer Hasen pada tahun 1873-1874. Kuman ini memiliki ciri
sebagai tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron, lebar
0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang satu-satu, hidup
dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat
dikultur dalam media buatan (FKUI, 1997).
Penyakit kusta merupakan penyakit menular dimana cara
penularannya adalah melalui kulit bersentuhan secara langsung dengan
penderita kusta atau melalui saluran mukosa (Adhi Djuanda, 1999).
3. Patogenesis
Meskipun belum diketahui cara masuk mycobakterium leprae
ke dalam tubuh, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang
tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan pada mukosa nasal. Pengaruh mycobakterium leprae
terhadap kulit tergantung pada faktor kekebalan (imunitas) seseorang,
kemampuan hidup mycobakterium leprae pada suhu tubuh yang
rendah, waktu regenerasi yang lama dan sifat basal yang avirulen dan
nontokksis.
Mycobakterium leprae merupakan parasit obligat intra seluler
yang terutama terdapat pada sel makrofag disekitar pembuluh darah
superfisial pada dermis atau sel schwan di jaringan saraf. Bila basil
mycobakterium leprae masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan
bereaksi mengeluarkan makrofag yang berasal dari sel monosit, sel
mononuklear untuk memfaggositnya. Akibat aktivitas regenerasi saraf
berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (FKUI, 1997).
4. Gambaran klinis
Menurut Depkes RI (1997), Menjelaskan tipe kusta dibagi
menjadi dua yaitu tipe kering (pauksi basiler / PB ) dan basah (multi
basiler / MB ). Luka tipe kering atau tipe PB memiliki karakteristik
seperti bercak (makula) keputihan sebesar uang logam atau lebih besar,
terdapat di satu atau di beberapa tempat di badan (biasanya di pipi,
bahu, punggung, dada, ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis
atau punggung kaki). Bercak keputihan ini permukaannya kering dan
kadang- kadang agak besar. Pinggiranya bercak ini biasanya tidak jelas
tetapi lama kelamaan bertambah lebih jelas menyerupai kulit.
Perubahan bercak keputihan menjadi seperti kulit itu menunjukkan
kesembuhan, biasanya dimulai dari tenggah menuju ketepi. Bercak
keputihan ini tidak akan di tumbuhi rambut lagi, tetapi apa bila sudah
sembuh akan tumbuh rambut.
Sementara itu Luka tipe basah atau tipe MB memiliki
karakteristik seperti bercak kemerahan sebesar uang logam atau lebih,
tersebar merata diseluruh badan perasaan sedikit terganggu, kulit tidak
terlalu kasar, batasannya tidak begitu jelas (berupa makula-makula
yang tipis dan merata).penebalan kulit dengan kemerahan (infiltrat)
setempat atau dibeberapa pada bagian tubuh, kadang-kadang berupa
seperti pulau-pulau besar dan muncul disekelilingnya, infiltrat
biasanya mulai nampak dicuping telingga. Bintik –bintik kemerahan
sebesar biji kacang hijau atau biji jagung baisanya disebut nodula,
biasanya muncul diseluruh tubuh (Marwali Harahap, 1999).
5. Masalah atau dampak dari penyakit kusta
Menurut Depkes RI (1990), penyakit kusta dapat menimbulkan
berbagai masalah yaitu Masalah pada diri penderita kusta biasanya
mereka itu merasa lebih rendah diri, merasa takut karena takut akan
menggalami kecacatan selamanya, cenderung hidup sendiri dan tidak
mau berkumpul dengan masyarakat disekelilingnya, kehilangan rasa
percaya diri atau minder, kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan
yang dahulu mereka geluti sebelum terserang penyakit kusta.
Sementara itu masalah yang terkait dengan keluarga penderita adalah
umumnya mereka takut tertular sehingga tidak berperan aktif dalam
perawatan luka penderita kusta, dan tidak jarang yang mengisolasi
penderita kusta dengan tujuan yang tidak jelas. Masalah bagi negara
sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas, maka terhadap kehidupan
negara dan bangsa dalam berbagai menggalami penggaruh yang cukup
kompleks. Oleh karena masalah-masalah tersebut menggakibatkan
penderita menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan cenderung
melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat terbuka
(Depkes RI, 2002).
6. Perawatan kusta
Penderita harus diajarkan bagaimana seharusnya merawat diri
setiap hari, untuk mencegah berlanjutnya cacat tangan dan kaki ke
tingkat yang lebih berat. Perawatan kusta untuk mencagah terjadinya
cacat dapat dilakukan oleh penderita sendiri dan keluarga meliputi
perawatan terhadap mata, tangan dan kaki yang mati rasa, dan jari kaki
yang bengkok dan lunglai.
Perawatan mata yang tidak tertutup rapat bertujuan untuk
melindungi mata yang tidak tertutup rapat dari angin, debu, dan dari
sinar matahari untuk mencegah mata kemerahan dan buta. Tindakan
yang dilakukan adalah menarik kulit di sudut mata ke arah luar dengan
jari tanggan sebanyak 10 kali setiap latihan, dilakukan 3 kali sehari,
melindungi mata dari sinar matahari dengan memakai topi yang lebar,
memakai kaca mata gelap untuk melindungi mata dari matahari, angin,
dan debu, waktu tidur tutup mata dengan kain bersih supaya debu tidak
masuk (Direktorat Jendral PPM & PL Depkes RI, 2002). Sementara itu
perawatan tangan yang mati rasa bertujuan untuk melindungi tangan
yang mati rasa dari benda panas, benda kasar, benda tajam supaya
terhindar dari luka. Langkah-langkahnya adalah merendam tangan
selama 20-30 menit pagi dan sore dengan air bersih, dalam keadan
masih basah perlu diolesi minyak atau vaselin, kulit yang keras dan
tebal perlu digosok agar menjadi tipis dan halus, jari-jari yang bengkok
perlu diurut lurus agar sendi-sendi tidak menjadi kaku, menggunakan
alat bantu (seperti sarung tangan, pipa rokok, gagang alat kerja yang
telah dibalut dan sebagainya) untuk melindungi tangan dari hilang rasa
(Adhi Djuanda, 1997).
Perawatan jari kaki yang bengkok dan lunglai bertujuan untuk
menghindari jari-jari kaik dan sendi dari kekakuaan dan
mempermudah operasi untuk meluruskan jari dan sendi kaki kalau
diperlukakan. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah telapak
kaki di beri minyak kelapa yang belum dipakai, luruskan jari-jari kaki
yang bengkok selama 4 detik, 3 kali dalam sehari. Lingkarkan handuk
atau sarung ke telapak kaki yang lunglai kemudian tariklah selama
empat detik, tiga kali sehari (Depkes RI, 2000).
Perawatan kaki yang semper yaitu kaki yang dibiarkan
tergantung. Otot pergelangan kaki bagian belakang (archilles) akan
memendek sehingga kaki itu tetap tidak bisa diangkat, jari-jari kaki
akan terseret dan luka oleh karena itu saat melangkah miring akan
mudah terjadi ulkus di belakang jari kaki ke empat dan kelima.untuk
mencegahnya supaya tidak bertambah cacat maka dianjurkan selalu
pakai sepatu supaya jari-jari tidak terseret dan luka, angkat luntut lebih
tinggi waktu berjalan, pakai tali karet antara luntut dan sepatu guna
mengangkat kaki bagian depan waktu berjalan, pakai plastik atau
kertas dari betis sampai ketelapak kaki agar kaki tidak jatuh (Program
P2 kusta bagi UPK, 2005).
Perawatan luka borok (ulkus) disebabkan karena menginjak
benda tajam, panas atau kasar dan ada memar yang tidak di hiraukan
karena penderita tidak merasa sakit. Luka itu terus terinjak karena
berat badan penuh, sampai kulit dan dagingnya hancur. Perawatan
yang tepat ialah bersihkan luka dengan sabun, kemudian rendam kaki
dalam air selama 20-30 menit, gosok bagian pinggiran luka yang
menebal dengan batu apung, setelah di keluarkan dari air, beri minyak
bagian kaki yang tidak luka, balut, lalu istirahatkan bagian kaki itu
(jangan di injakkan pada waktu berjalan, berjalan dengan pincang atau
pakai tongkat). Jika pada ulkus tidak ada tanda infeksi (merah,
bengkak, panas, sakit) berarti tidak ada infeksi sekunder oleh bekteri
lain sehingga antibiotik tidak perlu diberikan (Program P2 kusta bagi
UPK, 2005).
Prinsip yang penting dalam perawatan kusta adalah penderita
mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat terjadinya
luka, penderita harus melindungi tempat resiko tersebut(misalnya
memakai kacamata, sarung tangan, sepatu dan lain-lain), penderita
mengetahui penyebab luka (panas, tekanan benda tajam dan kasar),
penderita dapat melakukan perawatan kulit(merendam, menggosok dan
melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku, penyembuhan luka dapat
dilakukan oleh penderita sendiri dengan membersihkan luka, dan
mengurangi tekanan pada luka dengan istirahat ( Direktorat Jenderal
PPM & PL Depkes RI 2002).
B. Perilaku
1. Pengertian
Perilaku menurut Notoatmodjo (2003) merupakan semua kegiatan
atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung
maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku merupakan faktor
terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi
kesehatan individu, kelompok atau masyarakat seperti yang dinyatakan
oleh Blum (1974), sebagaimana dikutip oleh Notoatmodjo (2003).
Perilaku dapat diartikan juga sebagai suatu aksi dan reaksi
organisme terhadap lingkungannya. Menurut Asmar & Eko (2005)
perilaku terjadi apabila ada rangsangan dari luar dan dari rangsangan
akan menghasilkan reaksi dan perilaku tertentu. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (1990) mendefinisikan perilaku sebagai proses
interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati
bahwa dia adalah makhluk hidup. Faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang meliputi latar belakang, kepercayaan dan sikap mental,
sarana dan faktor pencetus.
Dari beberapa definisi tentang perilaku di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa perilaku adalah aktivitas manusia baik yang dapat
diamati secara langsung maupun tidak langsung sebagai suatu reaksi
terhadap lingkungan yang berupa rangsangan.
2. Jenis – Jenis Perilaku
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku terdiri dari
persepsi (perception), respon terpimpin (guided respon), mekanisme
(mechanisme), dan adaptasi (adaptation). Persepsi diartikan sebagai
tindakan mengenal dan memilih berbagai proyek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil yang merupakan praktek tingkat pertama.
Respon terpimpin merupakan suatu tindakan untuk dapat melakukan
sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh
yang merupakan indikator praktek tingkat dua. Sementara itu
mekanisme merupakan seseorang yang telah mendapat sesuatu dengan
benar serta otomatis atau sesuatu tersebut sudah merupakan kebiasaan,
maka dapat mencapai praktek tingkat tiga dan adaptasi merupakan
suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Hal
ini diartikan sebagai modifikasi dari tindakan tersebut untuk
mengurangi kebenaran tindakan ( Notoatmodjo, 2003).
Pengukuran suatu perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung
yaitu dengan melakukan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang
telah dilakukanjuga dapat dilakukan secara langsung dengan
mengobservasi tindakan atau kegiatan seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk
dibatasi karena perilaku merupakan hasil dari resultansi dari berbagai
faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis
besarnya perilaku manusia dapat terlihat dari tiga aspek yaitu aspek
fisik, psikis, dan sosial. Akan tetapi dari aspek tersebut sulit untuk
ditarik garis yang tegas dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara
lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari
berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak,
minat, motivasi, persepsi, serta sikap (Notoatmodjo, 2003).
3. Proses pembentukan perilaku
Menurut Kusmiati dan Desmaniarti (1990), perilaku manusia
terbentuk karena adanya kebutuhan setiap individu memiliki
kebutuhan dasar, dorongan, motivasi, kebutuhan-kabutuhan dasar
manusia akan merupakan sumber kakuatan yang mendorong menuju
kearah tujuan tertentu secara disadari maupun tidak disadari, faktor
perangsang dan penguat untuk meningkatkan motivasi berperilaku
dapat dengan memberikan ganjaran atau penghargaan, menciptakan
situasi berkompetisi dan mengadakan ’’pace making’’ yaitu
menjelaskan tujuan atau sasaran dalam menciptakan tujuan serta
pengaruh sikap dan kepercayaan tingah laku manusia di pengaruhi oleh
sikap( attitude) yaitu satu tingkatan afek (perasaan) baik positif
maupun negati dalam berhubungan dengan obyek atau sikap.
4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003) mengutip dari pendapat Green
(1980), bahwa perilaku seseorang atau subyek dipengaruhi atau
dilatarbelakangi oleh tiga faktor pokok, yaitu faktor predisposisi
(predisposing factors), faktor-faktor yang mendukung (enabling
factors), dan faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing
factors). Faktor-faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang,
antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai,
tradisi. Faktor pemungkin merupakan faktor-faktor yang
memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya
faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku kesehatan. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku
seseorang adalah faktor penguat yaitu faktor-faktor yang mendorong
atau memperkuat terjadinya perilaku misalnya perilaku orang lain atau
petugas-petugas kesehatan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku berawal
dari adanya pengalaman seseorang dan adanya dukungan dari faktor
luar (lingkungan) baik fisik maupun non fisik, kemudian dipersepsikan,
diyakini, sehingga menimbulkan motivasi dan niat untuk bertindak,
yang pada akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa melakukan
perilaku atau tindakan tertentu.
Secara umum proses pembentukan perilaku seseorang dapat
digambarkan dalam Gambar .1. sebagai berikut :
Gambar 2.1. Skema Perilaku
Sumber : Lawrence Green (1980), dalam Notoatmodjo, (2003)
Eksternal a. Pengalaman b. Fasilitas c. Sosio-budaya
Internal a. Persepsi b. Pengetahuan c. Keyakinan d. Motivasi e. Niat f. Sikap
Respons Perilaku
C. Faktor – faktor yang Mempenggaruhi Perawatan Luka Kusta
Menurut Siswono (2005) faktor-faktor yang
mempenggaruhi perawatan luka kusta meliputi pengetahuan,
pendapatan, sikap, dan sosial budaya. Tingkat pendidikan turut
menetukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami suatu
pengetahuan tentang perawatan luka dengan baik sesuai dengan
mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat
diperlukan seseorang lebih tanggap dengan manfaat perawatan luka
kusta (Siswono, 2005). Pendidikan yang rendah, adat istiadat yang
ketat serta nilai dan kepercayaan akan tahayul disamping tingkat
penghasilan yang masih rendah, merupakan penghambat untuk
perawatan luka. Pendidikan rata – rata penduduk yang masih rendah,
sehingga perilaku masyarakat dalam merawat luka kusta masih rendah.
Semakin tinggi pendidikan masyarakat semakin baik pula cara
perawatan luka kusta di kalangan masyarakat (Suharjo, 2005).
Pendapatan (ekonomi) keluarga adalah sejumlah penghasilan dari
seluruh anggota keluarga baik dalam bentuk uang maupun barang yang
dinilai dengan sejumlah beras. Tingkat pendapatan juga mempengaruhi
dalam perawatan luka kusta. Diman Pendapatan yang cukup dapat
memperoleh perawatan luka yang sesuai dengan pemanfaatan
perawatan luka kusta. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pendapatan
juga berpenggaruh terhadap kesembuhan perawatan luka kusta, dimana
perawatan luka kusta juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit serta
diantara pendapatan dan perawatan luka sangat terkait (Berg, 1986).
Tingkat pengetahuan dapat membentuk suatu sikap dan
menimbulkan suatu perilaku di dalam kehidupan sehari – hari. Tingkat
pengetahuan tentang perilaku perawatan luka kusta yang tinggi dapat
membentuk sikap positif terhadap perawatan luka secara baik. karena
penderita kusta bisa merawat lukanya sendiri sedangkan sikap yang
negatif pada penderita kusta tidak bisa merawat lukanya sendiri dan
tergantung dengan petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2003),
pengetahuan mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan
meliputi tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi. Tahu
diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan
yang dipelajari/rangsangan yang telah diterima dengan cara
menyebutkan, menguraikan dan mendefinisikan. Misalnya, penderita
kusta dapat menyebutkan macam-macam makanan tambahan (Depkes
RI, 1999).
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untukmenjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
mengintrepestasikan materi tesebut secara benar dengan cara
menyimpulkan, meramalkan dan sebagianya. Aplikasi ( application )
diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari. Aplikasi dapat diartikan penggunaan hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya. Misalnya, penderita kusta dapat
menjelaskan alasan mengapa perawatan luka perlu dilakukan. Analisis
(analysis) Adalah suatu kemampuan untuk maenjabarkan materi suatu
obyek kedalam komponen-komponen tetapi masih ada kaitannya satu
sama lain. Kemampuan analisis dapat ditunjukkan dengan
menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2003).
Sintesis ( syntesis ) Adalah menunjuk kepada suatu kemampuan
untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru. Ditunjukkan dengan dapat menyusun
formulasi baru dari formulasi yang lama. Misalnya, penderita dapat
melakukan perawatan lukanya dua kali sehari yaitu pagi dan sore dan
evaluasi (evaluation ) ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakuakan penilaian terhadap suatu materi. Penilaian ini berdasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-
kriteria yang sudah ada (Notoatmodjo, 2003).
Faktor lain yang dapat mempenggaruhi perilaku perawatan luka
adalah Sikap (attitude) adalah respon tertutup seseorang terhadap
stimulus atau obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern,
sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat langsung di tafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup
sehingga sikap juga mempenggaruhi perawatan luka kusta karena
penderita kurangnya kepercayaan diri terhadap akan kesembuhan
lukanya (Notoatmodjo, 2002).
Menurut Mar’at (1995) sikap terbagi menjadi 3 komponen meliputi
komponen kognitif, komponen afektif, komponen konatif. Komponen
kognitif (komponen perceptual) berisi kepercayaan yang berhubungan
dengan hal – hal tentang bagaimana individu mempersiapkan terhadap
objek sikap dengan apa yang dilihat dan diketahui berisi tentang
pandangan, keyakinan, pikiran dan pangalaman pribadi. Komponen
afektif (komponen emosional) menunjukkan pada dimensi emosional
subjektif individu atau evaluasi terhadap objek sikap baik yang positif
maupun negatif. Sementara itu komponen konatif (komponen perilaku)
adalah komponen sikap yang berkaitan dengan predisposisi/
kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapi.
Ketiga komponen tersebut bersama–sama membentuk sikap yang
utuh. Pada penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan dan emosi, memegang peranan penting. Ketiga komponen
tersebut tidak bisa berdiri sendiri, tetapi menunjukkan manusia
sebagai suatu sistem kognitif yang berarti yang dipikirkan seseorang
tidak akan terlepas dari perasannya (Mar’at, 1995). Pekerjaan pada
penderita kusta tidak mendapat atau tidak bekerja karena dianggap
tidak bisa bekerja selayaknya orang normal atau tidak mempunyai
kecacatan fisik. Karena mereka tidak mendapat pekerjaa maka mereka
dalam keluarganya tidak dibutuhkan atau dikucilkan dalam
keluarganya.
Sosial Budaya makhluk sosial dimana saling berinteraksi antara
satu dengan lainnya. Individu yang dapat berinteraksi secara kontinyu
akan lebih besar terpapar informasi. Didaerah pedesaan kebanyakan
masyarakat bahwa masyarakat tingggal di desa tersebut, penyebabnya
adalah suatu kebiasaan (cultural) masyarakat yaitu tidak adanya
kekerabatan antara individu yang terkena penyakit kusta sehingga
penderita kusta merasa minder atau tersisihkan dari lingkungan dan
tidak mau untuk menggobatkan lukanya tersebut (Wiryo, 2002).
C. Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka teori
Sumber : Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003)
dan Siswono (2005)
Faktor predisposisi: - Pengetahuan - pendidikan - Sikap - Sosial budaya - pendapatan
Faktor pemungkin : - Faktor jarak - Sarana dan prasarana
kesehatan
Faktor penguat : - Sikap petugas kesehatan - Perilaku orang lain
Perilaku perawatan luka kusta
D. Kerangka Konsep
Gambar 2.3. Kerangka konsep
E. Variabel penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini meliputi tingkat pendidikan,
tingkat pengetahuan dan sikap.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen penelitian ini adalah perilaku perawatan luka kusta.
F. Hipotesis Penelitian
1 Ada hubungan antara tingkat pendidikan dan perilaku perawatan luka
kusta.
2 Ada hubungan anatara tingkat pengetahuan dan perilaku perawatan
luka kusta.
3 Ada hubungan anatara sikap dan perilaku perawatan luka kusta.
Variabel Independen Variabel Dependen
Karakteristik perilaku
kusta
1. Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Sikap
Perilaku perawatan
luka kusta