kurare
TRANSCRIPT
PRAKTIKUM FISIOLOGI
Pengaruh Kurare terhadap Respon Otot
Kelompok A10
Ketua Kelompok : Antony Djohary 102012031
Nama NIM Tanda Tangan
Antony Djohary 102012031
Jimmy Christeven 102012045
Livia Kurniawan 102012097
Hary Tri Atmaja 102012189
Nerissa Arviana Yang 102012229
Steven Leonardo 102012326
Meliantha Agustha Christa Hutubessy 102012472
Erly Furhana Furny Binti Saharudin 102012476
Mey Harsono 102012
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telepon : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731
Tujuan:
1. Membuat sediaan otot- syaraf sesuai dengan petunjuk umum praktikum.
2. Mengamati serta membedakan sikap, gerakan, waktu, reaksi seekor katak terhadap
berbagai rangsang sebelum dan sesudah penyuntikan kurare.
3. Untuk mengetahui besarnya rangsang yang diperlukan bagi kaki katak untuk bergerak
setelah disuntikkan larutan-larutan percobaan.
4. Mengetahui tempat kerja kurare, di saraf atau di otot.
Alat-alat:
1. Pelat kaca + papan fiksasi + beberapa jarum pentul
2. Waskom besar yang berisi air
3. 3 ekor katak + penusuk katak + benang
4. Stimulator induksi + elektroda perangsang
5. Gelas arloji
6. Semprit 2cc + jarumnya
7. Larutan Ringer
8. Larutan tubo-kurarin (dicairkan 1:1 dalam ringer)
9. Larutan atropine ( 0.01% dalam ringer)
10. Larutan prostigmin (dicairkan 1:1 dalam Ringer)
11. Larutan tubo-kurarin 1% (dari ampul)
I. Pengamatan Sikap, Gerakan dan Waktu Reaksi Seekor Katak terhadap
Berbagai Rangsang Sebelum dan Seudah Penyuntikan Kurare
a. Ambillah seekor katak dan letakkan di pelat kaca.
Perhatikan kegiatan katak tersebut (aktif/pasif)
hitunglah frekuensi pernafasannya per menit.
b. Cobalah meneletangkan katak tersebut beberapa kali dan perhatikan
reaksinya (kembali/tidak kembali ke posisi semula).
c. Masukkan katak ke dalam waskom yang berisi air dan perhatikan
reaksinya (dapat berenang/ tidak).
d. Keluarkan katak dari air dan selidikilah refleks nosiseptif dengan cara
sebagai berikut:
1. Katak dipegang sedemikian rupa sehingga kedua kaki dibelakangnya
tergantung bebas.
2. Rangsanglah dengan menjepit salah satu telapak kakinya dengan
pinset.
3. Tetapkan “waktu reaksinya”.
e. Suntikkan 0,5 cc larutan tubokurarin 1 : 1 ke dalam kantong limfe iliakal
(disebelah os coccygis, di bawah kulit). Dalam waktu 15-20 menit setelah
penyuntikkan tesebut ulanglah percobaan 1 sampai 4 di atas tadi dan
perhatikan pelbagai perbedaan sikap reaksinya.
f. Sebelum pernafasan berhenti sama sekali, suntikkanlah ke dalam kantong
limfe iliakal berturut-turut:
a. 0,5 cc larutan Atropin 0,01%
b. 1 cc larutan Prostigmin 1 : 1
g. Setelah terjadi pemulihan lakukan sekali lagi percobaan 1 s/d 4 di atas.
Oleh karena pemulihan dapat memakan waktu 2-3 jam, lanjutkan dahulu
dengan latihan bagian II dan III.
II. Pengaruh Kurare terhadapa Sesuatu Bagian Lengkung Refleks
a. Ambil katak lain dan rusaklah otaknya saja tetapi jangan merusak
medulla spinalisnya
b. Bebaskan Nervous Ischiadicus paha kanan
Ikatlah seluruh paha kanan kecuali nervous Ischiadicusnya.
c. Suntikkan 0,5 cc larutan tubo-kurarin 1 : 1 ke dalam kantog limfe depan
dengan membuka mulut katak cukup lebar dan menusukkan jarum suntik
ke dasar mulut ke arah lateral.
Periksalah pada kaki yang tidak diikat setiap 5 menit berkurangnya
refleks nosiseptif dan timbulnya kelumpuhan umum. Bila peristiwa
tersebut di atas belum terjadi, ulangi suntikan setiap 20 menit.
d. Rangsanglah ujung jari kaki kanan dengan rangsang faradik yang cukup
kuat sehingga terjadi “withdrawal refleks”. Catatlah kekuatan rangsang
yang digunakan.
e. Rangsanglah ujung jari kaki kiri dengan rangsang faradik yang cukup
kuat sehingga terjadi withdrawal refleks. Catatlah kekuatan rangsang
yang digunakan.
Bebaskan N. Ischiadicus kaki kiri dan buanglah sedikit kulit yang
menutupi M. Gastrocnemius kanan dan kiri.
f. Tentukan ambang rangsang – buka untuk masing-masing Nervous
Ischiadicus.
g. Tentukan ambang rangsang buka untuk masing-masing M.
Gastrocnemius yang dirangsang secara langsung.
III. Tempat Kerja Kurare pada Sediaan Otot-Saraf
a. Buatlah 2 sediaan otot-saraf (A dan B) dari seekor katak lain dan usahakan
agar didapatkan saraf yang sepanjang-panjangnya.
b. Masukkan otot sediaan A dan saraf sediaan B ke dalam gelas arloji yang berisi
½ cc larutan tubo-kurarin 1%.
c. Selama menunggu 20 menit basahilah saraf sediaan A dan otot sediaan B
dengan larutan Ringer.
d. Berilah rangsangan dengan arus buka pada :
1. Saraf sediaan A
2. Otot sediaan B
3. Otot sediaan A
4. Saraf sediaan B
e. Tentukan kekuatan rangsang yang digunakan baik untuk sediaan yang
memberikan jawaban maupun yang tidak memberikan jawaban.
f. Apa kesimpulan saudara mengenai tempat kerja kurare.
IV. Mematikan kodok atau katak
a. Pelajari dengan seksama letak foramen occipitale magnum pada sebuah
rangkan yang disediakan.
b. Setelah itu, kodok / katak digenggam dalam tangan kiri, sehingga bagian
antara kepala dan punggung kodok / katak terletak di antara ibu jari dan jari
telunjuk.
c. Dengan penusuk katak tusuk di garis median di antara tulang belakang dan
atlas ke dalam medulla oblongata melalui foramen occipitale magnum dengan
menembus kulit dan lapisan-lapisan jaringan lainnnya.
d. Tusuk terus sehingga masuk ke dalam ruang kepala, kemudian korek-korek
otak sampai rusak.
e. Tarik penusuk dari otak, dan tusuk ke dalam canalis vertebralis.
f. Dengan demikian otak dan sumsum tulang belakang telah dirusak. Kerusakan
susunan saraf pusat ini dapat dibuktikan dari melemasnya seluruh tubuh
binatang (pengurangan tonus-tonus otot) dan menghilangnya refleks-refleks
(jika kornea disinggung mata tidak akan berkedip lagi, dan jika kaki dicubit
kaki tidak ditarik lagi.
g. Bila no. 6 telah tercapai dengan sempurna pembuatan sediaan otot/otot saraf
dapat dimulainya.
Jenis-jenis larutan yang digunakan:
Larutan tubokurarin
Sama dengan larutan kurare.
Larutan tubo-kurarin adalah larutan atau relaksan otot. Larutan ini biasanya
digunakan untuk melemaskan otot-otot selama operasi atau untuk pasien yang berada
di mesin pernapasan (ventilator). Tubokurarin juga dapat membantu mendiagnosa
penyakit yang disebut myasthenia gravis.
Tubo-kurarin menyebabkan kelumpuhan dengan urutan tertentu. Mulai dari
otot rangka yang kecil dan bergerak cepat seperti otot ekstrinsik mata, jari kaki, dan
tangan. Kemudian disusul oleh otot yang lebih besar seperti otot-otot tangan, tungkai,
leher dan badan. Selanjutnya otot interkostal dan yang terakhir lumpuh adalah
diafragma.1
Larutan atropin
Derivat tropan ini adalah campuran raremis, yang berkhasiat anti kolinergis
kuat dan merupakan antagonis khusus dari efek muskarin Ach. Efek nikotinnya
diantagonir ringan sekali. Atropin juga memiliki daya kerja atas SSP (antara lain
sedatif) dan daya bronchodilatasi ringan berdasarkan peredaan otot polos bronchi. Zat
ini digunakan sebagai midriatikum kerja panjang (sampai beberapa hari), yang juga
melumpuhkan akomodasi (cyloplegia). Juga sebagai spasmolitikum pada kejang-
kejang di saluran lambung isis dan urogenital, sebagai premedikasi pada anastesi dan
sebagai zat penawar (antidotum) keracunan Ach (zat-zat antikolinesterase dan
kolinergika lain.
Resorpsi di usus cepat dan lengkap seperti alkaloida alamiah lainnya, begitu
pula dari mukosa. Resorpsinya melalui kulit utuh dan mata tidak mudah.
Distribusinya ke seluruh tubuh baik. Ekskresinya melalui ginjal, yang separuhnya
dalam keadaan utuh.1
Larutan prostigmin
Senyawa amonium kwartener ini adalah penghambat kolinesterase reversibel.
Prostigmin memiliki khasiat muskarin agak kuat, yang jauh memiliki khasiat
muskarin yang agak kuat, yang jauh melebihi efek nikotinnya yang sangat ringan.
Digunakan terutama pada keadaan otot lemah, yakni diagnosa dan terapi myasthenia,
atonia usus dan kandung kemih (sukar buang air besar dan kecil). Begitu pula pada
glaukoma.
Resorpsinya dari usus berlangsung buruk seperti semua zat hidrofil. Lama
kerjanya bervariasi secara individual. Plasma-t1/2-nya 15-54 menit. Dalam hati zat ini
dihidrolisa ikatan esternya oleh kolinesterase. Karena sukar melintasi membran otak,
maka efek pusatnya ringan.
Efek sampingnya atas jantung dan peredaran darah lebih ringan daripada
pilokarpin. Guna melawan efek muskarin ini dapat diberikan atropin. Pada dosis
berlebihan dapat timbul kelemahan otot, sehingga seolah-olah obat tidak efektif lagi
(pada myasthenia). Oleh karena itu, penggunaannya perlu dengan saksama dan
pengontrolan kontinu.1
Hasil Percobaan 1
I. Pengamatan Sikap, Gerakan dan Waktu Reaksi Seekor Katak terhadap
Berbagai Rangsang Sebelum dan Seudah Penyuntikan Kurare
Sebelum penyuntikan kurare
1. Katak aktif bernapas dan frekuensi pernapasannya 2 kali per sekon atau
120 kali per 1 menit.
2. Katak bisa mengembalikan diri ke posisi semula ketika ia dalam keadaan
terlentang.
3. Katak bisa berenang dalam air.
4. Katak bereaksi secara spontan ketika diberi rangsangan dengan pinset. Dan
waktu yang diperlukan hanya 1 per detik atau 60 per menit.
Sesudah penyuntikan larutan tubo-kurarin
1. Katak pasif bernapas dan frekuensi pernapasannya pun berkurang menjadi
1 kali per detik atau 60 kali per menit.
2. Katak masih bisa mengembalikan posisinya lagi dari keadaan terlentang.
3. Katak tidak lagi berenang.
4. Katak masih spontan ketika diberi rangsangan dengan pinset. Tetapi waktu
menanggapi rangsangan 2 per detik atau 30 per menit.
Sesudah penyuntikan larutan Atropin dan Prostigmn
1. Katak kembali aktif bernapas dan frekuensi pernapasan meningkat lebih
dari keadaan semula yakni 3 per detik atau 180 per menit.
2. Katak dapat mengembalikan dirinya ke posisi semula dari posisi
terlentang.
3. Katak kembali aktif berenang.
Katak spontan bereaksi ketika diberi rangsangan dengan pinset dengan waktu
3 per detik atau 120 menit.
Pembahasan
Refleks Nosiseptif pada Hewan Percobaan
Pada saat kaki katak dijepit dengan keras menggunakan pinset, terjadi gerakan
memberontak dari katak tersebut. Hal ini juga terjadi saat katak dijepit dengan keras
pada bagian tubuh lainnya.
Secara sederhana disebut juga sebagai reflex nyeri. Pada binatang spinal atau
binatang deserebrasi, hampir setiap macam stimulus sensorik kulit pada anggota
tubuh tampaknya dapat menyebabkan otot-otot anggota tubuh berkontraksi, sehingga
akan menarik anggota tubuh menjauhi objek yang menstimulasi. Hal ini disebut reflex
fleksor. Dalam bentuk klasiknya, reflex flexor dapat dicetuskan paling kuat dengan
cara merangsang ujung-ujung serat nyeri, misalnya dengan jepitan pada ujung kaki.1
Jadi, nyeri atau refleks nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan
oleh suatu rangsangan pada nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf
bebas yang berakhir pada kulit untuk mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga
terdapat pada tendon dan sendi, untuk mendeteksi nyeri somatik dan pada organ tubuh
untuk mendeteksi nyeri visceral. Reseptor nyeri ini sangat banyak pada kulit,
sehingga suatu stimulus yang menyebabkan nyeri sangat mudah dideteksi dan
dilokalisasi tempat rangsangan tersebut terjadi pada kulit. Input noksius
ditransmisikan ke korda spinalis dari berbagai ujung saraf bebas pada kulit, otot,
sendi, dura, dan viscera.2,3
Hasil Percobaan 2
II. Pengaruh Kurare terhadapa Sesuatu Bagian Lengkung Refleks
Otot yang diikat (nervous ischiadicus dibebaskan)
Biasa / Single Faradik / Multi
0,1 1 0,1 1 2tp 50 td td 40
Otot yang tidak diikat
Single Faradik0,1 1 0,1 1 2TD 20 TD TD 20
Saraf yang diikat
Single Faradik
TD TD TD TD
TD TD TD TD
Ketetangan: TD (tidak ada)
Pembahasan
Withdrawal reflex theory:
Bila beberapa bagian tubuh selain salah satu anggota gerak dirangsang dengan rangsangan
yang sangat menyakitan, maka bagian ini, dengan pola yang serupa, akan menarik diri dari
stimulus tersebut namun meskipun pada dasarnya merupakan refleks yang sama, refleks ini
mungkin tak hanya terbatas pada fleksor otot saja. Oleh karena itu, kebanyakan pola refleks
tipe ini diberbagai daerah tubuh yang berbeda disebut refleks menarik diri/withdrawal.4
Pola menarik diri:
Pola menarik diri yang timbul sewaktu refleks fleksor bergantung pada saraf sensorik mana
yang distimulasi. Jadi, stimulus yang sangat nyeri yang dibebankan di bagian dalam paha
tidak hanya menimbulkan refleks fleksor di paha tetapi juga akan menimbulkan konstraksi
otot-otot abductor untuk menarik menjauh. Dengan kata lain pusat integrasi dalam medulla
menyebabkan otot-otot berkonstraksi sehingga secara efektif dapat memindahkan bagian
tubuh yang nyeri dari suatu objek yang menimbulkan nyeri tersebut.4
Ambang rangsang adalah rangsang minimal pada nervous inschiadicus yang dapat
menimbulkan konstraksi otot gastronemius. Rangsang secara langsung pula adalah rangsang
yang diberikan langsung pada otot katak tanpa melalui saraf.4
Dalam percobaan ini, penghambatan penyebaran kurare yang diinjeksi ke dalam tubuh katak
tersebut dilakukan dengan cara mengikat salah satu kakinya. N. ischiadicus yang diangkat
dan tidak diikat bersama dengan otot adalah untuk memisahkan saraf tersebut dari otot pada
saat rangsangan diberikan. Hasil yang negatif atau tidak terjadinya withdrawal reflex m.
gastrocnemius pada kaki yang tidak diikat saat rangsangan diberikan pada n. ischiadicus. Hal
ini karena telah mengalirnya kurare pada seluruh tubuh maka menghambat saraf impuls yang
dapat menghasilkan gerak reflex. Sedangkan pada kaki yang diikat, rangsang yang diberikan
pada n. ischiadicus menghasilkan withdrawal reflex karena pengikatan pada kaki sudah
menghambat penyebaran kurare pada otot di bagian tungkak bawah tersebut. Pada bagian
otot yang diikat memerlukan rangsangan yang tinggi karena larutan turbo kurare yang
disuntikan menyebabkan motor end plate pada membran potensial di duduki cairan kurare,
yang seharusnya diduduki oleh asetilkolin. Ia dihasilkan dari neurotransmitter yang di bawa
oleh saraf dengan adanya potensial aksi, sehingga otot menanggapi rangsang dengan lambat.
Hasil percobaan 3
III. Tempat Kerja Kurare pada Sediaan Otot-Saraf
1. Pertama-tama kami membedah ekstremitas seekor katak yang berbeda dari
percobaan pertama dan kedua kemudian kami mangambil otot gastrocnemiusnya
beserta sarafnya.
2. Kemudian, otot sediaan A kami letakkan di larutan ringer pada gelas arloji 1,
dan ujung saraf pada otot tersebut diletakkan di gelas arloji ke 2 yang berisi
larutan kurare.
3. Sedangkan untuk otot sediaan B kami letakkan pada gelas arloji ke 3 yang
berisi larutan kurare, tapi ujung sarafnya kali ini diletakkan pada gelas arloji ke 4
yang berisi larutan ringer.
4. Setelah itu kami berikan rangsangan dengan arus-buka pada:
a. Saraf sediaan A
b. Otot sediaan B
c. Otot sediaan A
d. Saraf sediaan B
5. Menentukan hasil rangsang digunakan baik untuk sediaan yang memberikan
jawaban maupun yang tidak memberikan jawaban.
6. Hasil pengamatan
Sediaan Volts
Kurare RingerOtot A Saraf B Otot B Saraf A
10 Gerak Tidak Gerak Gerak Gerak20 Gerak Tidak Gerak Gerak Gerak30 Gerak kuat Gerak Gerak kuat Gerak kuat
Keterangan:
A= kaki kanan
B=kaki kiri
Pembahasan
Saraf B yang direndam dalam larutan kurare tidak gerak karena kurare mengikat reseptor
sehingga asetilkolin tidak bisa melekat pada reseptor maka tidak terjadi kontraksi otot.
Namun, jika otot direndam pada kurare lalu dirangsang tetap terjadi kontraksi karena
langsung merangsang otot berkontraksi. Saraf dan otot yang direndam dalam larutan ringer
masih dapat berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, tempat kerja tubo-kurarin adalah pada
neuromuscular junction.
Kesimpulan
Katak sebelum diberikan penyuntikan kurare besikap sangat aktif dengan gerakan-
gerakan aktif misalnya bisa berenang, mengembalikan tubuhnya ke posisi semula,dll serta
dapat bernapas dengan normal. Namun, setelah diberi suntukan tubo-kurarin/kurare
menyebabkan kelumpuhan, sehingga pergerakannya menjadi pasif dan pernapasannya mulai
lambat.
Dengan kata lain, kurare adalah zat kimia yang dapat melumpuhkan saraf pada
binatang percobaan (katak) sehingga pada saat diberikan kembali rangsangan, katak
menanggapinya dengan lambat.
Daftar Pustaka
1. Tjay TH, Rahardja K. Obat-obat penting : khasiat, penggunaan dan efek-efek
sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007.
2. Heong, ST. Pain and Nociception. 2004 [cited 2010 November 15], dikutip dari:
www.answers.com/topic/pain-and-nociception.
3. Richeimer,S.Understanding nociceptive and neuropathic pain. 2006 [cited 2010
November 15] : Dikutip dari : www.helpforpain.com/arch2000dec.htm.
4. Guyton, Hall. Buku saku fisiologi kedokteran. Ed. 11. Jakarta: EGC; 2007.