kualitatif revisi 13 des

74
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Universitas Indonesia (UI) sebagai salah satu universitas ternama dan terkemuka di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi salah satu universitas yang memiliki reputasi international (standar international). Sebagai universitas terkemuka, UI telah memiliki sejumlah syarat yang memungkinkannya go international. Syarat itu antara lain kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang sangat memadai. Tentu saja syarat itu belum cukup, dan masih dibutuhkan sejumlah syarat lainnya. UI harus didukung dengan ketersediaan kurikulum yang bertaraf international, laboratorium yang standar, perpustakaan yang representatif dan fasilitas pendidikan lainnya (www.lib.ui.ac.id). Menurut versi Times Higher Education Supplement (THES) World University Rankings of 2009, UI menempati posisi 201 untuk peringkat dunianya. Adapun indikator yang dijadikan rujukan THES dalam membuat ranking di antaranya adalah Pertama, performa riset dan publikasi. Kedua, Performa dalam pengajaran seperti selektivitas, efisiensi internal, prestasi mahasiswa, dan sebagainya. Ketiga, internasionalisasi. Keempat, performa lulusan dalam kaitan dengan penyerapannya oleh pasar tenaga 1

Upload: annisa-aziza

Post on 01-Jul-2015

6.095 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: KUALITATIF REVISI 13 DES

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Permasalahan

Universitas Indonesia (UI) sebagai salah satu universitas ternama dan

terkemuka di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi salah

satu universitas yang memiliki reputasi international (standar international).

Sebagai universitas terkemuka, UI telah memiliki sejumlah syarat yang

memungkinkannya go international. Syarat itu antara lain kualitas dan kuantitas

sumber daya manusia yang sangat memadai. Tentu saja syarat itu belum cukup,

dan masih dibutuhkan sejumlah syarat lainnya. UI harus didukung dengan

ketersediaan kurikulum yang bertaraf international, laboratorium yang standar,

perpustakaan yang representatif dan fasilitas pendidikan lainnya

(www.lib.ui.ac.id).

Menurut versi  Times Higher Education Supplement (THES) World

University Rankings of 2009, UI menempati posisi 201 untuk peringkat dunianya.

Adapun indikator yang dijadikan rujukan THES dalam membuat ranking di

antaranya adalah Pertama, performa riset dan publikasi. Kedua, Performa dalam

pengajaran seperti selektivitas, efisiensi internal, prestasi mahasiswa, dan

sebagainya. Ketiga, internasionalisasi. Keempat, performa lulusan dalam kaitan

dengan penyerapannya oleh pasar tenaga kerja. Kelima, governance

(www.inilah.com). Pembangunan perpustakaan berbasis teknologi (digital

library) merupakan salah satu upaya UI menuju World Class University dan

masuk ranking 100 besar perguruan tinggi terbaik di dunia pada tahun berikutnya.

Bila hal ini terwujud, maka reputasi internasional pun akan mudah diraih. Sebab,

pengelolaan universitas, termasuk perpustakaan yang berbasis teknologi akan

menjadi salah satu daya tarik UI bagi calon mahasiswa dari dalam dan luar negeri.

Artinya, UI akan membuka peluang untuk memiliki international student atau

paling tidak memiliki kelas jarak jauh (distance education) yang mahasiswanya

tidak hanya dari seluruh Indonesia, tapi juga dari berbagai tempat di seluruh

dunia. Keberadaan mahasiswa internasional di Universitas Indonesia menjadi

pertanda bahwa UI telah memiliki reputasi internasional. Tentu saja itu hanya

1

Page 2: KUALITATIF REVISI 13 DES

dimungkinkan bila UI didukung pula oleh adanya ‘world class university library’

(www.lib.ui.ac.id).

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa diketahui bahwa pendidikan memang

merupakan sesuatu yang dinilai sangat penting bagi semua kalangan. Maka,

tidaklah mengherankan bila setiap institusi pendidikan khususnya pada jenjang

yang lebih tinggi (universitas) berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas

universitas mereka. Pada umumnya, orang tua akan berusaha menyekolahkan

anaknya sampai pada jenjang yang setinggi-tingginya. Hal itu dikarenakan

pendidikan, khususnya pendidikan formal, dipercaya mampu untuk

mengembangkan potensi anak sehingga anak mampu memiliki daya saing. Untuk

itulah tidak jarang, agar mampu meningkatkan peluang kesuksesan anaknya di

masa depan, orang tua akan memilih institusi pendidikan dengan kualitas yang

paling baik. Lebih jauh lagi, institusi pendidikan yang berada di luar negeri pun

menjadi alernatif bagi mereka yang menginginkan pendidikan dengan kualitas

terbaik, khususnya jika telah memasuki jenjang perguruan tinggi.

Menurut Papalia (2008), pada masa transisi dari remaja menuju ke dewasa,

seorang anak memiliki keinginan untuk mencoba hal baru. Sebagai contoh,

seorang anak mulai terbuka terhadap pendidikan atau lingkungan kerja baru yang

terkadang jauh dari rumahnya. Selain menawarkan peluang untuk mengasah

kemampuannya, remaja yang menuju tahap dewasa ini juga akan

mempertanyakan asumsi yang sudah dipegang sejak lama, dan mencoba cara baru

memandang dunia. Ketika seseorang melanjutkan studi di luar negeri secara

otomatis orang tersebut akan menjadi mahasiswa asing yang jumlahnya minoritas

dibandingkan mahasiwa lokal. Menurut Santrock (2003) mahasiswa adalah

sekumpulan individu yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti kegiatan belajar

di perguruan tinggi, sedangkan menurut Peraturan Menteri Nomor 25 tahun 2007

mahasiswa asing adalah warga negara asing yang mengikuti pendidikan pada

perguruan tinggi di Indonesia (Peraturan Menteri, 2007).

Namun, keputusan untuk melanjutkan studi di luar negeri tidak akan

secara langsung menjamin kesuksesan seseorang. Hal ini dikarenakan mahasiswa

tersebut harus beradapatasi dengan lingkungannya yang baru. Menurut Berry

(2006, dalam Hapsari, 2008), interaksi dengan budaya lain merupakan situasi

2

Page 3: KUALITATIF REVISI 13 DES

yang harus dialami oleh mahasiswa yang tinggal di luar negeri untuk melanjutkan

kuliahnya. Dalam sebuah studi lain juga disebutkan bahwa pelajar yang

melanjutkan studi di luar negeri sering menghadapi masalah dalam hal

penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya yang baru (Al-Sharideh dan Goe,

1998). Permasalahan tersebut apabila tidak dapat diatasi dengan baik dapat

menjadi hambatan dalam mencapai kesuksesan akademik dan penyesuaian sosial.

Permasalahan yang sering dihadapi pelajar asing sangat beragam seperti

diskriminasi (Wan, 1999), kemampaun finanasial (Nicholson, 2001), juga

perbedaan bahasa, performa akademis, dan penyesuaian sosial (Sun, 2005).

Pengalaman mereka tinggal di negara lain ada yang menyenangkan dan

produktif, ada juga yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan. Terdapat

pengalaman negatif seperti diskriminasi, homesickness, sampai tekanan akademis

yang berasal dari kampus yang dapat menjadi hambatan dalam proses belajar

(Hapsari, 2008). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya permasalahan tersebut

timbul karena mahasiswa tersebut harus beradaptasi dengan lingkungan sosialnya

yang baru. Dalam prosesnya, mahasiswa tersebut dapat saja mengalami culture

shock yakni ketika individu memasuki budaya yang baru, tetapi ia masih

memegang kepercayaan dan nilai dari budaya sebelumnya sehingga menimbulkan

kebingungan dan rasa kehilangan identitas kulturalnya (Ward, Bochner &

Furnham, 2001)

Untuk itu kemampuan untuk menyesuaikan diri dari setiap individu,

dirasakan sangat penting dalam menghadapi lingkungan sosial yang baru,

termasuk mahasiswa dengan lingkungan barunya. Apabila ia mampu untuk

melakukan penyesuaian diri dengan baik, ia akan mampu untuk optimal dalam

belajar sehingga dapat mencapai prestasi yang memuaskan. Sebaliknya, apabila

individu tersebut tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya yang

baru, ia akan menghadapi hambatan, yang bila dibiarkan dapat mempengaruhi

kesuksesannya dalam hal akademis. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa

tertarik untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri pada mahasiswa, khususnya

mahasiswa asing yang melanjutkan studinya di Universitas Indonesia.

I.2. Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

3

Page 4: KUALITATIF REVISI 13 DES

P erumusan M asalah

Masalah penelitian ini adalah "Bagaimanakah gambaran penyesuaian diri

mahasiswa asing yang baru belajar di Universitas Indonesia?"

Dari pertanyaan inti di atas, peneliti membuat beberapa pertanyaan

turunan, yaitu:

- Bagaimana karakteristik penyesuaian diri yang baik pada mahasiswa asing

yang baru belajar di Universitas Indonesia?

- Faktor apa saja yang dapat menghambat penyesuaian diri pada mahasiswa

asing?

T ujuan P enelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka penulis

merumuskan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui gambaran penyesuaian

diri mahasiswa asing yang baru belajar di Universitas Indonesia.

I.3. Signifikansi (Manfaat Penelitian)

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur khususnya tentang

penyesuaian diri di kalangan mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Selain

itu, informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk membantu mahasiswa asing

yang akan menempuh pendidikan tingginya di Universitas Indonesia dalam

menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan mengantisipasi berbagai kesulitan

yang mungkin dihadapi selama masa transisi tinggal di Indonesia. Pihak

penyelenggara pendidikan juga dapat memakai informasi dari penelitian ini dapat

digunakan sebagai data sekunder dalam menyusun kebijakan UI berkaitan dengan

mahasiswa asing ke depannya.

I.4. Isu Etis

Dalam penelitian ini topik yang dipilih peneliti bukan merupakan

fenomena yang bersifat sensitif. Sehingga relatif tidak terdapat isu etis dalam

penelitian ini yang menyebabkan kerugian pada subjek penelitian.

I.5. Cakupan Penelitian

4

Page 5: KUALITATIF REVISI 13 DES

Mengingat topik penelitian ini cukup luas, maka hasil yang akan diperoleh

dari penelitian ini hanya sebatas gambaran penyesuaian diri mahasiswa asing dari

subek yang berasal dari beberapa negara. Selain itu, mungkin terdapat perbedaan

penyesuaian antara mahasiswa asing yang belajar di Universitas Indonesia dengan

mahasiswa asing yang belajar di universitas lain di Indonesia.

I.6. Identitas dan Keterampilan Peneliti

Peneliti belum memiliki pengalaman dalam melakukan penelitian

kualitatif. Namun, peneliti sudah mengetahui dasar-dasar dari penelitian kualitatif

seperti metode yang dapat digunakan dalam pengambilan data pada penelitian

kualitatif yaitu wawancara dan observasi yang telah diperoleh dari kuliah-kuliah

sebelumnya.

5

Page 6: KUALITATIF REVISI 13 DES

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Mahasiswa

II.1.2. Pengertian Mahasiswa Asing

Menurut Santrock (2003), mahasiswa adalah sekumpulan individu yang

secara resmi terdaftar untuk mengikuti kegiatan belajar di perguruan tinggi.

Mahasiswa didefinisikan sebagai individu yang telah menyelesaikan Sekolah

Menengah Atas dan memasuki perguruan tinggi. Mahasiswa asing didefinisikan

sebagai warga negara asing yang mengikuti pendidikan pada perguruan tinggi di

Indonesia (Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 25 tahun 2007).

Mahasiswa asing biasanya dikategorikan ke dalam istilah “sojourner” yang

dijelaskan sebagai berikut oleh Ward, Bochner dan Furnham (2001):

A "sojourner" is defined as a foreign language student on an extended

study visa in a new country. The term sojourner, who travels from one

culture to another for educational purposes (Ward, Bochner & Furnham,

2001), was used instead of the term international student because

international student is a term used by the academic or government

institutions to describe student fee structure and/or student visa status.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa "sojourner" sebagai

mahasiswa bahasa asing yang memperpanjang visa belajar di negara yang baru.

Istilah orang asing disini adalah mereka yang bepergian dari satu budaya ke

budaya yang lain untuk tujuan pendidikan, istilah ini tidak bisa disamakan dengan

istilah mahasiswa internasional karena mahasiswa internasional adalah istilah

yang digunakan oleh lembaga-lembaga akademis atau pemerintah untuk

menggambarkan struktur biaya siswa dan / atau status visa pelajar.

Pelajar yang menempuh pendidikan di luar negeri menghadapi berbagai

masalah, beberapa di antaranya adalah prestasi akademik, bahasa, tempat tinggal,

masalah ekonomi, dan ketidakmampuan mereka untuk diterima secara sosial,

kesehatan dan rekreasi, dan prasangka ras (Hammer, 1992).

6

Page 7: KUALITATIF REVISI 13 DES

II.2. Budaya

II.2.1. Pengertian Budaya

Trenholm dan Jensen (dalam Mulyana, 2005) mendefinisikan budaya

sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, norma, dan adat istiadat, aturan dan kode,

yang secara sosial menjadi ciri khas sekelompok orang, mengikat mereka satu

sama lain dan memberikan kesadaran kolektif. Budaya sangat berperan penting

dalam kehidupan individu mengenai apa yang dibicarakan, bagaimana

membicarakannya, apa yang individu lihat dan perhatikan, serta apa yang

dipikirkan individu sangat dipengaruhi oleh budaya.

Mulyana (2005) menyatakan bahwa aspek budaya terbagi menjadi dua,

yakni aspek budaya terlihat dan tersembunyi. Aspek budaya terlihat adalah

pakaian, makanan, musik, kesenian, dan arsitektur. Adapun aspek budaya

tersembunyi adalah etika, nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria-wanita,

konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, dan sebagainya.

II.2.2. Budaya Indonesia

Keanekaragaman suku bangsa dengan latar belakang kebudayaan berbeda

menjadi ciri khas bangsa Indonesia dan merupakan manifestasi unsur

ke-“bhinneka”-an. Pada kenyataannya penduduk Indonesia terdiri dari berbagai

suku-bangsa, besar (mayoritas) maupun kecil (minoritas), yang membaur dengan

bangsa-bangsa asing lainnya. Bangsa-bangsa asing yang pernah datang dan berada

di Indonesia inilah yang membawa pengaruh tersendiri dalam kebudayaan

Indonesia.

Dipandang dari sudut sosio-budaya Indonesia adalah “bhinneka tunggal

ika”. Bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan nusantara terdiri atas

bermacam-macam suku bangsa dan ras yang berbeda-beda asal-usul dan

keturunannya. Kebhinnekaan suku bangsa dan keanekaragaman sifat geografis

nusantara mengakibatkan adanya beraneka ragam seni budaya, bahasa, adat

istiadat, tata cara, kebiasaan, status sosial, serta agama yang tumbuh dan

berkembang di bumi nusantara ini.

Meskipun penduduk Indonesia bersifat “bhinneka”, namun dalam

kehidupan sehari-hari mencerminkan ke-“ika”-an berupa satu kesatuan yang

7

Page 8: KUALITATIF REVISI 13 DES

tunggal. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” menggambarkan keadaan masyarakat

Indonesia yang mempunyai banyak perbedaan dalam kebudayaan karena adanya

berbagai suku bangsa dan golongan etnik. Secara keseluruhan corak kebudayaan

di Indonesia dibedakan atas tiga bentuk kebudayaan yang didasarkan pada

perbedaan latar belakang kebudayaan, adat istiadat, ras, serta bahasa, yaitu: 1)

Kebudayaan Melayu, 2) Kebudayaan Jawa, dan 3) Kebudayaan non-Melayu dan

non-Jawa (http://www.indonesiamedia.com).

II.3. Penyesuaian Diri

Individu memerlukan interaksi dengan lingkungan sosialnya karena dalam

lingkungan sosial individu dapat berkembang dan menyesuaikan diri. Bagi remaja

yang baru memasuki lingkungan perkuliahan, lingkungan kampusnya merupakan

lingkungan sosial yang utama dalam mengadakan penyesuaian diri, terutama pada

remaja / mahasiswa asing yang berasal dari negara yang berbeda dengan tempat ia

menempuh pendidikan tinggi. Apabila ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, ia akan memiliki sikap negatif dan tidak bahagia yang dapat

mempengaruhi kelangsungan pendidikan dan kehidupannya di negara tuan rumah.

II.3.1. Pengertian Penyesuaian Diri

Davidoff (1991) mengatakan bahwa penyesuaian diri (adjustment) itu

merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan

tuntutan lingkungan. Penyesuaian diri dengan diri sendiri adalah bagaimana

individu mempersepsi dirinya sendiri, potensi-potensi yang dimiliki dan tingkat

kepuasan akan hasil atau pengalaman yang diperoleh. Penyesuaian diri dengan

lingkungan adalah bagaimana individu mempersepsi dan bersikap terhadap

realitas yang ada. Individu yang mempunyai penyesuaian diri yang baik dapat

mengendalikan perasaan cemas, khawatir dan marah apabila mendapat suatu

tekanan dari lingkungan. Hal ini disebabkan oleh adanya dorongan untuk

mengatasi hambatan-hambatan dalam mengaktualisasikan diri di lingkungan.

Menurut Calhoun dan Acocella (1995), penyesuaian diri dapat

didefinisikan sebagai interaksi individu yang kontinyu dengan diri individu

sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia individu. Definisi penyesuaian diri

8

Page 9: KUALITATIF REVISI 13 DES

tersebut menunjukkan bahwa penyesuaian diri dapat digambarkan sebagai usaha

individu untuk saling mempengaruhi antara dirinya sendiri, dengan orang lain dan

dunia luar atau lingkungannya.

II.3.2. Jenis-jenis Penyesuaian

Menurut Ramsay dkk. (1999), penyesuaian bisa digambarkan sebagai

kesesuaian antara siswa dan lingkungan akademiknya. Penyesuaian dibagi

menjadi domain psikologis (emosional, mengacu pada kesejahteraan, depresi,

kecemasan, kelelahan) dan sosial budaya (perilaku, mengacu pada kemampuan

untuk menyesuaikan diri) (Brown dan Holloway, 2008).

a. Penyesuaian Psikologis

Penyesuaian psikologis dapat dipahami dalam bentuk kerangka stres dan

coping, diprediksi dan dijelaskan oleh variabel kepribadian dan dukungan

sosial. Permasalahan pada penyesuaian psikologis ditemukan oleh Cross.

Cross (1995) menemukan bahwa mahasiswa Asia Timur cenderung saling

tergantung dan menggunakan strategi coping tidak langsung. Namun,

ketika mereka belajar di budaya individualistik yang menghargai strategi

penanganan langsung, strategi penanganan yang tidak langsung yang

mereka gunakan menjadi tidak efektif. Akibatnya, mereka mengalami stres

dengan tingkat yang lebih tinggi. Umumnya penyesuaian berbicara, sosial

budaya dan psikologis saling berhubungan (Ward & Kennedy, 1994).

b. Penyesuaian Sosial Budaya

Penyesuaian social budaya dapat dilihat dari perspektif pembelajaran

sosial, diprediksi oleh variabel yang berhubungan dengan faktor kognitif

dan akuisisi keterampilan sosial (Ward dan Kennedy, 1999). Zimmermann

(1995) menganggap komunikasi sebagai kunci utama proses adaptasi, tapi

ia juga menyadari bahwa siswa internasional sering kali kekurangan

kesempatan untuk berkomunikasi dengan siswa lokal, akademisi, atau

bahkan siswa internasional lain dari berbagai negara dan budaya. Karena

kemampuan bahasa yang buruk, sedikitnya waktu dihabiskan untuk

kegiatan sosial, dan jarak besar antara budaya asli dan tuan rumah.

9

Page 10: KUALITATIF REVISI 13 DES

II.3.3. Karakteristik Penyesuaian Diri

Menurut Hariyadi, dkk (2003), terdapat beberapa karakteristik

penyesuaian diri yang positif, diantaranya :

a. Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya.

Karakteristik ini mengandung pengertian bahwa orang yang mempunyai

penyesuaian diri yang positif adalah orang yang sanggup menerima

kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan di samping kelebihan-

kelebihannya. Individu tersebut mampu menghayati kepuasan terhadap

keadaan dirinya sendiri, dan membenci apalagi merusak keadaan dirinya

betapapun kurang memuaskan menurut penilaiannya. Hal ini bukan berarti

bersikap pasif menerima keadaan yang demikian, melainkan ada usaha

aktif disertai kesanggupan mengembangkan segenap bakat, potensi, serta

kemampuannya secara maksimal.

b. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya

secara objektif, sesuai dengan perkembangan rasional dan perasaan.

Orang yang memiliki penyesuaian diri positif memiliki ketajaman dalam

memandang realita, dan mampu memperlakukan realitas atau kenyataan

secara wajar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ia dalam

berperilaku selalu bersikap mau belajar dari orang lain, sehingga secara

terbuka pula ia mau menerima feedback dari orang lain.

c. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi, kemampuan yang ada pada

dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya.

Karakteristik ini ditandai oleh kecenderungan seseorang untuk tidak

menyia-nyiakan kekuatan yang ada pada dirinya dan akan melakukan hal-

hal yang jauh di luar jangkauan kemampuannya. Hal ini terjadi

perimbangan yang rasional antara energi yang dikeluarkan dengan hasil

yang diperolehnya, sehingga timbul kepercayaan terhadap diri sendiri

maupun terhadap lingkungannya.

d. Memiliki perasaan yang aman dan memadai

Individu yang tidak lagi dihantui oleh rasa cemas ataupun ketakutan dalam

hidupnya serta tidak mudah dikecewakan oleh keadaan sekitarnya.

Perasaan aman mengandung arti pula bahwa orang tersebut mempunyai

10

Page 11: KUALITATIF REVISI 13 DES

harga diri yang mantap, tidak lagi merasa terancam dirinya oleh

lingkungan dimana ia berada, dapat menaruh kepercayaan terhadap

lingkungan dan dapat menerima kenyataan terhadap keterbatasan maupun

kekurangan-kekurangan dan lingkungannya.

e. Rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran

Karakteristik ini ditandai oleh adanya pengertian dan penerimaan keadaan

di luar dirinya walaupun sebenarnya kurang sesuai dengan harapan atau

keinginannya.

f. Terbuka dan sanggup menerima umpan balik

Karakteristik ini ditandai oleh kemampuan bersikap dan berbicara atas

dasar kenyataan sebenarnya, ada kemauan belajar dari keadaan sekitarnya,

khususnya belajar mengenai reaksi orang lain terhadap perilakunya.

g. Memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi

Hal ini tercermin dalam memelihara tata hubungan dengan orang lain,

yakni tata hubungan yang hangat penuh perasaan, mempunyai pengertian

yang dalam, dan sikap yang wajar.

h. Mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, serta selaras dengan

hak dan kewajibannya.

Individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yang berlaku tanpa

adanya paksaan dalam setiap perilakunya. Sikap dan perilakunya selalu

didasarkan atas kesadaran akan kebutuhan norma, dan atas keinsyafan

sendiri.

Heber dan Runyon (1984) menyebutkan beberapa ciri khas penyesuaian

diri yang sehat, yaitu :

1) Persepsi terhadap realitas

Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan

menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang

realistik sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali

konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun pada perilaku yang

sesuai.

2) Kemampuan mengatasi stres dan keecemasan

11

Page 12: KUALITATIF REVISI 13 DES

Mempunyai kemampuan mengatasi stres dan kecemasan berarti individu

mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup dan mampu

menerima kegagalan yang dialami. Individu yang memiliki penyesuaian

diri yang baik akan belajar untuk menceritakan stres dan kecemasan yang

dirasakannya pada orang lain. Dukungan dari orang di sekitar dapat

membantu individu dalam menghadapi masalahnya.

3) Gambaran diri yang positif

Gambaran diri yang positif berkaitan dengan penilaian individu tentang

dirinya sendiri. Individu mempunyai gambaran diri yang positif baik

melalui penilaian pribadi maupun melalui penilaian orang lain, sehingga

individu dapat merasakan kenyamanan psikologis.

4) Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik

Emosi yang ditampilkan individu realistis dan secara umum berada di

bawah kontrol individu. Ketika seseorang marah, dia mampu

mengekspresikan dengan cara yang tidak merugikan orang lain, baik

secara psikologis maupun fisik. Individu yang memiliki kematangan

emosional mampu untuk membina dan memelihara hubungan

interpersonal dengan baik.

5) Memiliki hubungan interpersonal yang baik

Memiliki hubungan interpersonal yang baik berkaitan dengan hakekat

individu sebagai makhluk sosial, yang sejak lahir tergantung pada orang

lain. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu

membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat.

Menurut Sunarto dan Hartono (1995), dalam melakukan penyesuaian diri

secara positif, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain :

1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung.

Individu secara langsung menghadapi masalah dengan segala

akibatnya. Misalnya seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan

tugas karena sakit, maka ia menghadapinya secara langsung, ia

mengemukakan segala masalahnya kepada guru.

2) Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan).

12

Page 13: KUALITATIF REVISI 13 DES

Individu mencari bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan

memecahkan masalahnya. Misal seorang siswa yang merasa kurang

mampu dalam mengerjakan tugas, ia akan mencari bahan dalam upaya

menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi,

diskusi, dan sebagainya.

3) Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba.

Individu melakukan suatu tindakan coba-coba, jika menguntungkan

diteruskan dan jika gagal tidak diteruskan.

4) Penyesuaian dengan substitusi atau mencari pengganti.

Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat

memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya

gagal nonton film di gedung bioskop, dia pindah nonton TV.

5) Penyesuaian dengan menggali kemampuan pribadi.

Individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam

dirinya, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu

penyesuaian diri. Misal seorang siswa yang mempunyai kesulitan

dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dalam

menulis (mengarang), dari usaha mengarang ia dapat membantu

mengatasi kesulitan dalam keuangan.

6) Penyesuaian dengan belajar.

Individu melalui belajar akan banyak memperoleh pengetahuan dan

keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misal seorang

guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar

tentang berbagai pengetahuan keguruan.

7) Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.

Individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan

tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut

inhibisi. Selain itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya

dalam melakukan tindakannya.

8) Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat.

Individu mengambil keputusan dengan pertimbangan yang cermat dari

berbagai segi, antara lain segi untung dan ruginya.

13

Page 14: KUALITATIF REVISI 13 DES

Berdasarkan uraian dari beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa

karakteristik penyesuaian diri yang baik, diantaranya adalah :

a. Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya.

b. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar

dirinya termasuk orang lain secara objektif.

c. Memiliki perasaan yang aman dan memadai.

d. Kemampuan bertindak sesuai potensi dan norma yang berlaku.

e. Kemampuan berinteraksi dan memelihara tata hubungan dengan orang

lain.

II.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Sawrey dan Telford (1968) mengemukakan bahwa penyesuaian bervariasi

sifatnya, apakah sesuai atau tidak dengan keinginan sosial, sesuai atau tidak

dengan keinginan personal, menunjukkan konformitas sosial atau tidak, dan atau

kombinasi dari beberapa sifat di atas. Sawrey dan Telford lebih jauh lagi

mengemukakan bahwa penyesuaian yang dilakukan tergantung pada sejumlah

faktor yaitu pengalaman terdahulu, sumber frustrasi, kekuatan motivasi, dan

kemampuan individu untuk menanggulangi masalah.

Menurut Schneiders (1964), faktor-faktor yang mempengaruhi

penyesuaian diri adalah:

a. Keadaan fisik

Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi

penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik

merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya

cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya

hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.

b. Perkembangan dan kematangan

Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap

perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu

meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal

tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena

individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi

14

Page 15: KUALITATIF REVISI 13 DES

intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana

individu melakukan penyesuaian diri.

c. Keadaan psikologis

Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya

penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya

frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi

adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik

akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras

dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel

yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah

pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.

d. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh

penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan

kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan

memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu

tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman,

maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan

proses penyesuaian diri.

Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan

keluarga. Sekolah bukan hanya memberikan pendidikan bagi individu

dalam segi intelektual, tetapi juga dalam aspek sosial dan moral yang

diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah juga berpengaruh

dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang

menjadi dasar penyesuaian diri yang baik (Schneiders, 1964).

Keadaan keluarga memegang peranan penting pada individu dalam

melakukan penyesuaian diri. Susunan individu dalam keluarga,

banyaknya anggota keluarga, peran sosial individu serta pola hubungan

orang tua dan anak dapat mempengaruhi individu dalam melakukan

penyesuaian diri. Keluarga dengan jumlah anggota yang banyak

mengharuskan anggota untuk menyesuaikan perilakunya dengan

harapan dan hak anggota keluarga yang lain. Situasi tersebut dapat

15

Page 16: KUALITATIF REVISI 13 DES

mempermudah penyesuaian diri, proses belajar, dan sosialisasi atau

justru memunculkan persaingan, kecemburuan, dan agresi.

e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan

Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis

yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan

ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan

sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang

diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi

dalam hidupnya (Schneiders, 1964). Kebudayaan pada suatu

masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan

tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru

membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik, perkembangan dan

kematangan, psikologis, lingkungan, serta religiusitas dan kebudayaan.

Yusoff dan Chelliah (2010) di dalam penelitiannya juga menemukan

faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang, khususnya

mahasiswa asing, yaitu:

1. Faktor Demografi

Umur

Sumeria et al., (2008) menyatakan bahwa siswa yang lebih tua

dilaporkan memliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Lebih lanjut,

Sumeria menjelaskan bahwa siswa yang lebih tua mungkin lebih

tradisional, lebih tahan terhadap perubahan, dan memiliki kesulitan

dalam menerima norma-norma budaya dan nilai suatu negara. Oleh

karena itu, mereka akan mengalami tingkat kecemasan yang lebih

tinggi selama periode penyesuaian mereka. Semakin muda usia siswa

internasional, semakin mudah dan cepat proses penyesuaian mereka

dalam negara asing (Tomich et al., 2003).

Status Pernikahan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Poyrazli dan Kavanaugh (2006),

ditemukan bahwa siswa internasional yang sudah menikah mengalami

16

Page 17: KUALITATIF REVISI 13 DES

tingkat ketegangan (strain) yang lebih rendah terhadap penyesuaian

sosial daripada yang masih single. Hal ini disebabkan karena siswa

yang sudah menikah, merasa tidak perlu untuk mengeksplorasi

kemungkinan bentuk hubungan lain, dan memenuhi kebutuhan akan

dukungan sosial di rumah melalui pasangan mereka atau keluarga.

Oleh karena itu, dalam kasus siswa internasional yang sudah menikah,

hubungan pernikahan dapat berfungsi sebagai buffer (penyemangat).

Gender

Fong dan Peskin (1969) adalah orang yang pertama kali melakukan

penelitian terhadap perbedaan gender dalam adaptasi. Mereka

menyatakan bahwa siswa perempuan mengalami ketegangan lebih dari

rekan-rekan pria mereka. Penelitian lain yang juga meneliti siswa

internasional menunjukkan bahwa siswa perempuan memiliki reaksi

emosi, fisiologis, dan perilaku yang lebih tinggi terhadap stres (Misra

et al 2003.) dan juga lebih mungkin untuk merasa rindu dan kesepian

daripada siswa laki-laki (Rajapaksa dan Dundes 2002). Namun,

Sumeria et al. (2008) tidak menemukan hubungan antara perbedaan

gender siswa internasional terhadap depresi dan tingkat kecemasan.

Dengan demikian, perlu dicermati lebih lanjut mengenai perbedaan

gender ketika mengevaluasi penyesuaian mahasiswa internasional.

Length of residence

Semakin lama individu bertempat tinggal di negara asing, semakin

baik proses penyesuaian mereka terhadap lingkungan baru (Ward dan

Kennedy 1992). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Wilton dan Constantine (2003), yang menemukan bahwa lebih lama

tinggal di AS dikaitkan dengan rendahnya tingkat distres psikologis

antara mahasiswa internasional Asia dan Amerika Latin. Dalam sebuah

penelitian yang lebih baru yang melihat hubungan antara attachment

styles orang dewasa dan penyesuaian psikologis dan sosial budaya di

Polandia, Rusia, dan imigran Hungaria kepada masyarakat Belanda

(Polek et al., 2008), terbukti bahwa dengan menetap lebih lama di

17

Page 18: KUALITATIF REVISI 13 DES

suatu negara asing, tampaknya berkaitan positif dengan identifikasi

dan kontak dengan budaya penduduk asli.

2. Kemampuan Berbahasa Inggris

Kemampuan berbahasa Inggris dan penyesuaian tampaknya berkaitan

positif. Sebagai contoh, beberapa peneliti telah menyelidiki bagaimana

kemampuan bahasa siswa dalam bahasa Inggris mempengaruhi

penyesuaian mereka (Poyrazli et al, 2002; Swami et al, 2009). Poyrazli et

al. (2002) yang mengukur penyesuaian umum dalam studi mereka dengan

melibatkan kemampuan untuk menceritakan masalah yang berkaitan

dengan pendidikan, penyesuaian budaya, dan pembangunan hubungan

sosial dengan orang Amerika. Keberhasilan dalam hal-hal tersebut

tergantung pada kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa

Inggris. Demikian pula, Swami et al., (2009) menemukan bahwa

mahasiswa Malaysia dengan kemampuan bahasa Inggris yang tinggi akan

beradaptasi lebih baik di Inggris.

3. Dukungan Sosial

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan penyesuaian adalah dukungan

sosial, yang dapat memberikan kesempatan bagi siswa internasional untuk

mengembangkan pemahaman tentang budaya baru. Sumeria et al., (2008)

mempelajari prediktor depresi dan kecemasan di kalangan siswa

internasional dan menemukan bahwa dukungan sosial memiliki kontribusi

yang signifikan terhadap model dalam memprediksi depresi. Secara

khusus, siswa dengan tingkat dukungan sosial yang lebih rendah

melaporkan tingkat depresi yang lebih tinggi. Selain depresi, mereka juga

menemukan bahwa dukungan sosial juga memberikan kontribusi yang

signifikan terhadap varians kecemasan, khususnya siswa dengan dukungan

sosial yang lebih rendah lebih mungkin untuk memiliki tingkat kecemasan

yang lebih tinggi.

4. Kepribadian

Selain variabel latar belakang yang telah dibahas di atas, variabel

kepribadian juga memainkan peran penting dalam penyesuaian. Bahkan,

Wang (2008) menekankan bahwa variabel kepribadian yang telah diteliti

18

Page 19: KUALITATIF REVISI 13 DES

secara individu maupun dalam kelompok kecil terhadap penyesuaian tanpa

memiliki kerangka kerja yang menyeluruh. Demikian pula, Polek et al.,

(2008) juga menyebutkan bahwa sedikitnya perhatian yang diberikan pada

faktor-faktor kepribadian dalam penelitian tentang penyesuaian. Perbedaan

kepribadian dalam menghadapi perubahan, berkontribusi untuk memahami

pengalaman penyesuaian yang berbeda di antara siswa internasional. Ward

et al., (2004) menemukan bahwa neurotisisme dan extraversion terkait

dengan adaptasi psikologis dan sosial budaya. Agreeableness and

conscientiousness juga terkait dengan kesejahteraan psikologis.

Pada penelitian ini, faktor-faktor penyesuaian diri yang digunakan adalah

yang diusulkan oleh Yusoff dan Chelliah (2010) karena lebih sesuai dengan

karakteristik subyek penelitian, yaitu mahasiswa asing.

II.4. Culture Shock

II.4.1. Pengertian Culture Shock

Istilah culture shock pertama kali dikenalkan oleh Oberg. Pada awalnya

definisi Culture shock menekankan pada komunikasi. Oberg mendefiniskan

culture shock sebagai kecemasan yang timbul akibat hilangnya sign dan simbol

hubungan sosial yang familiar. Oberg (Pyvis & Anne, 2005) menyatakan ada 6

karakteristik dari culture shock yaitu :

a. Ketegangan dalam penyesuaian psikologis

Orang-orang telah mengembangkan budaya adalah orang-orang

yang telah hidup bersama dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Keseluruhan cara hidup tersebut termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar

estetika, ekspresi linguistik, pola berpikir, norma perilaku, dan gaya

komunikasi. Di sisi lain, semuanya adalah cara yang dapat menjamin

kelangsungan hidup masyarakat dalam lingkungan fisik dan lingkungan

manusia tertentu (Pusch, 1979, dikutip oleh Wan, 1999). Akibatnya,

orang-orang akan terbiasa dengan budaya mereka sendiri, namun orang-

orang akan butuh waktu untuk terbiasa dengan budaya yang baru atau

budaya lain (Young, 2004).

19

Page 20: KUALITATIF REVISI 13 DES

Memasuki budaya yang berbeda membuat individu menjadi orang

asing di budaya tersebut saat individu dihadapkan dengan situasi ketika

kebiasaan-kebiasaannya diragukan. Hal ini dapat menimbulkan

keterkejutan dan stress. Keterkejutan dapat menyebabkan terguncangnya

konsep diri dan identitas cultural individu dan mengakibatkan kecemasan.

Kondisi ini menyebabkan sebagian besar individu mengalami gangguan

mental dan fisik, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Reaksi terhadap

situasi tersebut oleh Oberg disebut dengan istilah culture shock

(Gudykunst dan Kim, 2003).

Gejala culture shock dapat berupa rasa kehilangan, kebingungan,

kecemasan, depresi, perasaan stres, dan seterusnya (Furnham & Bochner,

1986; Huntley, 1993). Culture shock adalah bentuk keterasingan karena

kurangnya pengetahuan, pengalaman sebelumnya terbatas, dan kekakuan

pribadi (Redden, 1979, dikutip oleh Sun & Chen, 1997,). Bagi siswa

lintas-budaya, culture shock mengarah ke keterkejutan bahasa, peran, dan

pendidikan (Cushner & Karim, 2004). Namun, menurut orang yang

berbeda dan situasi yang berbeda, culture shock dapat bervariasi secara

dramatis (Hodge, 2000). Selain itu, orang menghadapi culture shock di

berbagai tahap adaptasi mereka (Ting-Toomey & Chung, 2005). Sun dan

Chen (1997) menganggap culture shock sebagai aspek negatif dari

penyesuaian budaya karena menyebabkan emosi, perilaku, dan

kebingungan kognitif dan disorientasi. Namun, culture shock telah

dianggap sebagai reaksi yang normal, sebagai bagian dari proses rutin

adaptasi terhadap stres budaya (Furnham & Bochner, 1986).

Young (2004) mendefinisikan adaptasi lintas-budaya sebagai

keseluruhan fenomena individu yang direlokasi ke lingkungan sosial

budaya asing, berusaha untuk membangun dan memelihara hubungan

yang relatif stabil, timbal balik, dan fungsional dengan lingkungan itu.

Namun, pengalaman dan lama tinggal di luar negeri tidak dapat menjamin

meningkatkan pemahaman budaya lain (Hodge, 2000). Sebuah adaptasi

antar-budaya yang sukses memerlukan kepekaan terhadap perbedaan

budaya, keterbukaan, dan sikap positif, selain dari ketergantungan yang

20

Page 21: KUALITATIF REVISI 13 DES

berlebihan pada sistem pendukung etnis (Young, 2004). Wagner dan

Magistrale (1997) menegaskan bahwa pengalaman orang-orang trial and

error akan menjadi cara yang paling efektif untuk menyesuaikan diri

dengan budaya baru.

21

Page 22: KUALITATIF REVISI 13 DES

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk untuk melihat adanya hubungan strategi

coping terhadap derajat work family conflict dan juga untuk melihat jenis strategi

coping yang paling berpengaruh terhadap derajat work-family conflict pada

karyawan atau karyawati yang sudah berkeluarga. Metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Di dalam bab ini

akan diuraikan juga mengenai pengertian pendekatan kuntitatif itu sendiri. Selain

itu, juga akan dibahas tentang subyek penelitian, metode pengumpulan data yang

digunakan, prosedur penelitian, dan prosedur analisis data.

III. 1. Pendekatan kualitatif

Pendekatan kuantitif dianggap tepat untuk diigunakan dalam penelitian ini

karena pendekatan yang dipilih memang sesuai dengan masalah penelitian, dan

memang merupakan pendekatan terbaik untuk menjawab permasalahan yang ada.

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, informasi dapat digali sebanyak

mungkin dari suatu fenomena dengan lebih mendalam dan terperinci (Flick,

1998).

III.1.1. Studi Kasus dalam Penelitian Kualitatif

Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakan studi kasus sebagai

tipe penelitian dalam pendekatan kualitatif. Studi kasus adalah penelitian pada

suatu fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded

context), meskipun batas-batas antara fenomena dan konteks tidak jelas

sepenuhnya. Dengan menggunakan studi kasus, peneliti bisa mendapatkan

pemahaman yang utuh dan terintegrasi tentang hubungan antar berbagai macam

fakta dan dimensi dari kasus yang ada (Poerwandari, 2001)

III. 2. Subyek penelitian

III.2.1.Karakteristik Subyek Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diajukan dan tujuan penelitian

penelitian ini, maka karakteristik subyek penelitian adalah mahasiswa asing

22

Page 23: KUALITATIF REVISI 13 DES

yang berasal dari negara di luar Indonesia dan sedang berkuliah di Universitas

Indonesia.

III.2.2.Teknik Pemilihan Subyek

Teknik pemilihan subyek yang digunakan adalah teknik non-probability

sampling. Teknik non-probability sampling memiliki beberapa tipe, dan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah tipe snowball sampling (Kumar, 1999).

Snowball sampling adalah proses pemilihan sampel dengan menggunakan

jaringan (network). Beberapa indinvidu dalam sebuah kelompok dipilih dan

informasi yang dibutuhkan diperoleh dari mereka. Kemudian beberapa individu

tersebut akan diminta untuk mengidentifikasi atau merekomendasikan individu

lain dari sebuah kelompok dan memilih individu tersebut menjadi bagian dari

sampel. Pengambilan data dilakukan pada mereka, selanjutnya mereka akan

diminta kembali untuk mengidentifikasi dan merekomendasikan orang lain atau

teman mereka yang kira-kira dapat menjadi bagian dari sampel. Proses ini

berlanjut terus hingga data yang terkumpul sesuai dengan jumlah yang diinginkan

peneliti.

III. 2.3.Jumlah Subyek

Dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif, tidak ada batas yang pasti

dalam hal jumlah subyek. Dalam pendekatan kualitatif yang penting adalah

seberapa mampunya seorang subyek memberikan informasi yang berguna dalam

penelitian (Taylor dan Bogdan, 1998). Namun, penelitian ini sebelumnya telah

dibatasi dalam hal jumlah subyek yang mana jumlah subyek disesuaikan dengan

jumlah anggota peneliti.

III.3. Metode Pengumpulan Data

Menurut Patton (1990, dalam Poerwandari, 2001), ada tiga cara yang bisa

digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif, yaitu (1)

wawancara mendalam dan terbuka, (2) observasi langsung, dan (3) penelitian

dokumen-dokumen tertulis. Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah

wawancara mendalam.

23

Page 24: KUALITATIF REVISI 13 DES

Patton (1990, dalam Poerwandari, 2001), mengajukan tiga macam

pendekatan dasar dalam metode wawancara, yaitu:

1. Wawancara informal. Wawancara informal secara keseluruhan

berdasarkan perkembangan pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam

interaksi alamiahh antara subyek dengan peneliti.

2. Wawancara dengan pedoman umum. Peneliti dilengkapi dengan pedoman

wawancara yang sangat umum, dengan mencantumkan topik yang ingin

diteliti. Pedoman wawancara ini memeudahkan peneliti untuk

mengingatkan aspek-aspek apa saja yang harus ditanyakan, juga bisa

digunakan sebagai check list untuk memeriksa kembali apakah pertanyaan

tersebut relevan atau tidak dan tidak ada yang terlewati.

3. Wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Pedoman waancara

ditulis dengan rinci dan lengkap, disertai dengan sejumlah pertanyaan dan

penjabarannya dalam kalimat. Dalam metode ini peneliti menanyakan hal

yang sama pada subyek yang berbeda, dimana keluwesan dalam

mendalami jawaban menjadi terbatas.

Pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah wawancara dengan

pedoman terstandar yang terbuka. Dalam proses wawancara ini, peneliti akan

dilengkapi dengan pedoman wawancara. Pedoman wawancara berisi sejumlah

pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat dengan rinci dan lengkap.

III.3.1.Alat Bantu Penelitian

Beberapa alat bantu juga digunakan untuk memudahkan pengumpulan

data dalam penelitian kualitatif, selain peneliti sebagai instrumen utama dari

penelitian. Dalam penelitian ini, alat bantu yang digunakan adalah pedoman

wawancara dan alat perekam (tape recorder).

Pedoman wawancara berisi daftar pertanyaan berdasarkan topik penelitian

yang diajukan selama wawancara, yaitu tentang cara penyesuaian diri subyek,

keterampilan berkomunikasi subyek, dan masalah-masalah atau kesulitan apa saja

yang dialami subyek. Pedoman wawancara tersebut disusun berdasarkan teori-

teori yang sudah dijabarkan pada bab dua.

24

Page 25: KUALITATIF REVISI 13 DES

Alat perekam (tape recorder) digunakan agar peneliti dapat membuat

transkrip wawancara dari hasil wawancara. Poerwandari (2001) juga mengatakan

bahwa wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata

per kata) agar dapat memudahkan peneliti dalam melakukan analisis dan

interpretasi data. Selain itu, dengan menggunakan alat perekam, peneliti bisa

mendapatkan informasi yang lebih banyak dibandingkan hanya mengandalkan

memori dan catatan tulisan tangan. Sebelum menggunakan alat perekam, peneliti

harus memberitahu dan meminta izin subyek yang bersangkutan.

III. 4. Prosedur Penelitian

III.4.1.Tahap Persiapan

Peneliti memulai dengan menyiapkan pedoman wawancara yang akan

digunakan saat pengumpulan data. Pertanyaan-pertanyaan yang dibuat didasarkan

pada teori yang sudah dibahas dalam bab dua yaitu teori mengenai penyesuaian

diri. Pada saat pembuatan pedoman wawancara, peneliti meminta bantuan dari

dosen yang mengajar untuk menilai dan mengevaluasi pertanyaan yang telah

dibuat peneliti yang akan digunakan saat wawancara nanti. Setelah menyusun

pedoman wawancara, peneliti akan melakukan uji coba (pilot study) pada dua

orang mahasiswa asing. Uji coba dilakukan untuk menguji kesesuaian maksud

pertanyaan yang diajukan dengan maksud yang ditangkap oleh subyek. Selain itu

juga, untuk melihat apakah subyek sudah cukup mengerti dan memahami maksud

setiap pertanyaan. Dari dua orang subyek uji coba, peneliti akan meminta

rekomendasi beberapa orang yang bersedia menjadi calon subyek yang nantinya

akan diwawancara.

III.4.2.Tahap Pelaksanaan

Saat mencari subyek, peneliti cukup kesulitan menemukan calon subyek

yang bersedia dan memiliki waktu yang sesuai dengan waktu yang dimiliki oleh

peneliti. Peneliti mencoba untuk meminta bantuan pada teman-teman peneliti

yang berkuliah di fakultas ilmu budaya (FIB) Universitas Indonesia. Karena

peneliti tahu bahwa mahasiswa asing yang berkuliah di UI sebagian besar

mengambil kuliah di beberapa jurusan atau program studi di FIB, khususnya

25

Page 26: KUALITATIF REVISI 13 DES

jurusan sastra. Selain itu, beberapa calon subyek juga diperoleh dari rekomendasi

subyek uji coba.

Setelah menghubungi para calon subyek dan meminta ketersediaanya

untuk diwawancarai, peneliti kemudian membuat janji untuk melakukan

wawancara. Peneliti menyerahkan sepenuhnya pada subyek untuk menentukan

waktu dan tempat melakukan wawancara. Sebelum melakukan wawancara

dimulai, peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada subyek tentang

maksud dan tujuan dari wawancara yang akan dilakukan. Peneliti juga meminta

keediaan setiap subyek untuk merekam wawancara dengan alat perekam (tape

recorder). Selama wawancara, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

ada dalam pedoman wawancara kepada setiap subyek. Setelah semua pertanyaan

selesai, peneliti mengucapkan terima kasih dan menyerahkan bingkisan terima

kasih (reward) kepada subyek.

Berikut ini keterangan mengenai wawancara yang dilakukan dengan

masing-masing subyek:

1. Wawancara pertama dilakukan dengan subyek S pada tanggal 29

November 2010 di margonda residence, tempat tinggal subyek saat ini.

Wawancara dilakukan pada malam hari yang dimulai pukul 19.30 WIB.

2. Wawancara kedua dilakukan dengan subyek A pada tanggal 30 November

2010 di kos-kosan subyek. Wawancara dilakukan pada malam hari yang

dimulai pukul 19.00 WIB.

3. Wawancara ketiga dilakukan dengan subyek M pada tanggal 2 Desember

2010 di kos-kosan salah seorang teman subyek (subyek S). Wawancara

dilakukan pada sore hari yang dimulai pukul 15.30 WIB.

4. Wawancara keempat dilaksanakan pada tanggal 2 Desember 2010 dengan

subyek Y di kos-kosan salah seorang teman subyek (subyek S).

Wawancara dilakukan pada sore hari yang dimulai pukul 16.30 WIB.

5. Wawancara kelima dilaksanakan pada tanggal 7 Desember 2010 dengan

subyek JS di taman FIB UI. Wawancara dilakukan pada siang hari yang

dimulai pukul 12.15 WIB.

6. Wawancara keenam dilakukan dengan subyek MK di kos-kosan salah

seorang teman subyek (subyek S) pada tanggal 13 desember 2010.

26

Page 27: KUALITATIF REVISI 13 DES

Wawancara dilakukan pada malam hari yang dimulai pukul 19.00 WIB

sepulangnya subyek dari kegiatana UKM-nya.

Secara umum, wawancara dengan masing-masing subyek berlangsung

dengan lancar dan hanya bermasalah sedikit dengan ketersediaan dan

kesesuaian waktu subyek dengan peneliti. Semua subyek juga cukup ramah

dan terbuka kepada peneliti. Suasana dan tempat dilakukannya wawancara

juga cukup nyaman. Kemudian, setelah peneliti melakukan wawancara, hasil

wawancara dipindahkan dari bentuk rekaman suara menjadi bentuk verbatim

tertulis. Setelah itu peneliti melakukan koding pada hasil verbatim tetrulis,

guna memudahkan penelitit dalam melakukan analisa dan interpretasi data,

baik itu analisis intra maupun analisis inter, sesuai dengan proosedur

penelitian.

III.5. Prosedur Analisis Data

Bentuk data penelitian kualitatif tidak berupa angka, tetapi lebih banyak

berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis (gambar atau foto), ataupun

bentuk-bentuk bukan angka lainnya (Poerwandari, 2001). Pada penelitian ini, data

yang diperoleh adalah data berupa deskripsi yang diperoleh dari hasil wawancara.

Penelitian kualtitaif tidak memiliki aturan baku mengenai analisis, tidak seperti

penelitian kuantitatif yang memiliki teknik analisis yang jelas dan baku. Jorgensen

(dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa dalam analisis data kualitatif,

peneliti memecah atau membagi-bagi data-data ke dalam bagian-bagian yang

nantinya diorganisir agar dapat menemukan pola-pola di antaranya.

III.5.1.Jenis-jenis Analisis

Huberman dan Miles (1994, dalam Hapsari, 2005) mengatakan bahwa ada

dua jenis analisis yang bisa dilakukan dalam penelitian kualitatif, yaitu analisis

intra kasus (withhin case) dan analisis antar kasus (cross case). Dalam analisis

intra kasus, peneliti ingin melihat bagaimana subyek memberikan makna pada

kasus yang dialaminya. Dalam analisis intra kasus, peneliti akan menganalisis apa

yang terjadi, mengapa hal tersebut terjadi, dan bagaimana hal tersebut terjadi.

27

Page 28: KUALITATIF REVISI 13 DES

Tidak hanya analisis intra kasus, tetapi analisis antar kasus juga dilakukan agar

peneliti bisa mengetahui proses umum yang terjadi dalam setiap kasus.

III.5.2.Langkah-langkah Analisis

Dari hasil wawancara akan diperoleh data-data yang berbeda dari setiap

subyek. Data-data ini harus dianalisis agar fenomena yang diteliti dapat

memberikan pemahaman dan informasi yang lebih dalam lagi. Langkah-langkah

analisis yang dapat dilakukan adalah:

1. Organisasi data

Sesungguhnya pengolahan dan analisis data dimulai dengan

mengorganisasikan data. Data berupa hasil wawancara yang telah

diperoleh oleh peneliti harus disusun secara sistematis dan rapi, agar tidak

ada data yang hilang dan untuk memudahkan proses analisis. Highlen dan

Finley (1996, dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa organisasi

data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh

kualitas data yang baik; (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan.

Serta (c) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian

penelitian.

2. Koding

Melakukan koding bertujuan supaya peneliti dapat mengorganisasikan dan

membuat data yang sistematis secara lengkap dan detail sehingga dapat

memunculkan fenomena yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif

menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun tidak

dipungkiri bahwa peneliti yang satu dengan peneliti lain memberikan

usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Beberapa langkah yang

dapat dilakukan peneliti ketika melakukan koding adalah : (a) peneliti

menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) wawancara sedemikian

rupa, agar lebih mudah memberi kode atau catatan tertentu, (b) secara urut

dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip, serta (c)

peneliti memebrikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode

tertentu (Poerwandari, 2001).

28

Page 29: KUALITATIF REVISI 13 DES

III.5.3.Interpretasi

Setelah melakukan analisis, selanjutnya peneliti melakukan interpretasi

data. Kvale (1996, dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa interpretasi

mengacu pada usaha memahami data secara lebih ekstensif dan mendalam.

Peneliti memiliki perpesktif mengenai apa yang sedang diteliti dan

menginterpretasi data melalui perspektifnya tersebut. Peneliti beranjak melampaui

apa yang sudah dikatakan langsung oleh subyek. Hal ini diperlukan untuk

mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang bermakna, yang

tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah dan transkripsi wawancara).

Dalam proses interpretasi juga diperlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari

data melalui langkah metodis dan teoritis yang jelas, serta memasukkan data ke

dalam konteks konseptual yang khusus.

29

Page 30: KUALITATIF REVISI 13 DES

BAB IV

ANALISIS DAN INTERPRETASI

IV.1. Gambaran Umum

1. Gambaran Umum Subyek 1

KS merupakan warga negara Korea yang kuliah di fakultas Ilmu Budaya

dengan jurusan sastra Inggris. Tinggal di Indonesia sejak subjek berumur dua

puluh tahun yang tinggal di Indonesia selama delapan tahun di Indonesia.

Sekarang S sudah berumur sekitar 28 tahun dan bekerja sebagai Manager di

sebuah perusahaan Korea. Pengalaman tinggal di Indonesia adalah

pengalaman pertama S berpisah jauh dari keluarga. S pindah ke Indonesia

setelah ia gagal melanjutkan kegiatan perkuliahannnya di jurusan ekonomi

Universitas Seoul. Dan Shane datang ke Indonesia setelah ia melaksanakan

wajib militer di negaranya. Namun, Shane mengaku alasan pertama kali ia ke

Indonesia hanya sekedar untuk bermain-main saja dan memilih Indonesia

karena merasa sayang sekali telah belajar bahasa Indonesia sebelumnya

namun tidak tinggal di negaranya.

2. Gambaran Umum Subjek 2

AT adalah seorang mahasiswa asing dari Jepang yang sudah menetap

selama sepuluh bulan di Indonesia. Datang ke Indonesia ketika AT berumur

20 tahun. AT menjadi mahasiswa BIPA selama lima bulan kemudian

melanjutkan kuliah di jurusan sastra Indonesia. Ketika pertama kali di

Indonesia, Ai memilih untuk tinggal di tempat kos-kosan anak-anak Indonesia

yang berkuliah di Universitas Indonesia. Hal ini dilakukannya agar dia bisa

belajar bahasa Indonesia dengan baik.

3. Gambaran Umum Subjek 3

4. Gambaran Umum Subjek 4Subyek wawancara berinisial Y, perempuan berusia dua puluh dua tahun

dan berkebangsaan Jepang. Hingga saat ini subyek sudah tujuh bulan berada

di Indonesia. Saat ini subyek tinggal di sebuah kos-kosan di dekat Detos

30

Page 31: KUALITATIF REVISI 13 DES

(Depok Town Square). Subyek sedang kuliah di Universitas Indonesia

mengambil jurusan sastra Indonesia yang sebelumnya subyek kuliah terlebih

dahulu pada program BIPA. Sebelumnya subyek juga mengambil jurusan

bahasa Indonesia di Jepang selama tiga tahun.

5. Gambaran Umum Subjek 5

Pada saat wawancara diketahui bahwa subjek berasal dari Korea Selatan

dan telah tinggal di Indonesia selama hampir 1, 5 tahun lebih. Alasan

kepindahannya dari Korea adalah karena ayahnya pindah kerja ke Jakarta. Hal

itu lah yang mendorong ia dan keluarganya pindah ke Jakarta sehingga ia dan

kakak-adiknya melanjutkan pendidiknanya di Indonesia. Pada saat di Korea,

subjek telah menempuh pendidikan formal hingga tingkat SMA sehingga

subjek saat tinggal di Indonesia langsung melanjutkan ke jenjang perguruan

tinggi. Namun, sebelum melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi subjek

mengambil program BIPA (Bahasa Indonesia Pengantar Asing) selama satu

tahun. Program BIPA adalah suatu program yang dikhususkan untuk orang

asing yang ingin mempelajari bahasa Indonesia. Setelah mengikuti program

BIPA selama satu tahun subjek meneruskan kuliah ke jurusan sastra Inggris di

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB).

6. Gambaran Umum Subjek 6

MK adalah mahasiswi jurusan HI di universitas Khyusu, Jepang. MK

berumur 20 tahun dan sudah kuliah tingkat tiga di Jepang. Saat ini, subjek

sudah tinggal dan studi selama 8 bulan di Indonesia dan dalam waktu dekat

akan kembali ke Jepang untuk melanjutkan studi di Universitas Khyusu.

Subjek datang ke Indonesia dalam rangka pertukaran pelajar di Indonesia. Di

Indonesia MK tinggal di kos-kosan kober bersama temannya yang berasal dari

Jepang juga.

IV.2. Analisis Intra Subyek

IV.3. Analisis Antar Subyek

31

Page 32: KUALITATIF REVISI 13 DES

Berdasarkan hasil wawancara, Subyek 1, 2, 6 sudah dapat dikatakan lancar

dalam berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, sedangkan subyek 3, 4, 5 masih

memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Tiga dari enam

subyek merasa kesulitan dalam masalah bahasa diantaranya kesulitan dalam

bahasa percakapan sehari-hari, bahasa gaul maupun masalah tata bahasa. Menurut

Hammer (1992) masalah kesulitan bahasa ini biasa terjadi pada mahasiswa asing

yaitu pelajar yang menempuh pendidikan di luar negeri menghadapi berbagai

masalah, beberapa di antaranya adalah prestasi akademik, bahasa, tempat tinggal,

masalah ekonomi, dan ketidakmampuan mereka untuk diterima secara sosial,

kesehatan dan rekreasi, dan prasangka ras. Adapun beberapa subyek yang tidak

mengalami kesulitan dalam berkomunikasi hal ini disebabkan latar belakang dari

mereka yang sudah mendapat pelajaran bahasa Indonesia di negara asalnya.

Menurut Zimmermann (1995) permasalahan penyesuaian sosial dan

budaya disebabkan oleh faktor komunikasi. Seseorang yang memiliki

keterampilan berkomunikasi yang cukup baik akan mengalami penyesuaian sosial

dan budaya yang baik, sedangkan seseorang yang memiliki keterampilan

berkomunikasi yang buruk maka akan mengalami permasalahan pada penyesuaian

sosial dan budaya. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyak atau sedikitnya

informasi yang diperoleh seseorang ketika mereka berkomunikasi mengenai suatu

budaya sehingga mempengaruhi proses penyesuaian dirinya terhadap budaya

tersebut. Jika dilihat dari hasil wawancara dari beberapa subyek, terdapat tiga

subyek yang mengalami kesulitan berbahasa dan berkomunikasi tetapi mereka

sudah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial dan budaya di Indonesia.

Hal ini membuktikan bahwa komunikasi bukan satu-satunya faktor yang

mempengaruhi penyesuaian seseorang terhadap sosial dan budaya. Menurut

Zimmermann (1995) komunikasi sebagai kunci utama proses adaptasi, tapi ia juga

menyadari bahwa siswa internasional sering kali kekurangan kesempatan untuk

berkomunikasi dengan siswa lokal, akademisi, atau bahkan siswa internasional

lain dari berbagai negara dan budaya dan juga besar atau tidaknya jarak antara

budaya asli dan tuan rumah.

Berdasarkan hal diatas, maka yang terjadi dari ketiga subyek (subyek

3,4,5) adalah walaupun mereka memiliki keterampilan berkomunikasi yang

32

Page 33: KUALITATIF REVISI 13 DES

kurang lancar namun mereka mempunyai banyak kesempatan untuk

berkomunikasi dengan siswa lokal. Hal ini terbukti dari subyek 3,4 dan 5

memiliki banyak teman yang dimiliki oleh yang berasal dari Indonesia sehingga

hal ini mempermudah proses penyesuaian diri subyek terhadap budaya di

Indonesia. Tidak hanya itu pandangan mengenai sedikitnya jarak perbedaaan

antara budaya asli dan budaya tuan rumah juga mempengaruhi proses penyesuaian

diri terhadap budaya baru. Hal ini dialami oleh subyek subyek 2 dan 3 yang

menganggap budaya Jepang memiliki kesamaan dengan budaya Indonesia.

Dengan kata lain, jarak perbedaan antar budaya tidak begitu jauh sehingga

mempermudah proses penyesuaian diri subyek terhadap budaya. Hal baru yang

ditemukan di dalam wawancara adalah bahwa keinginan yang berasal dari diri

untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan budaya baru juga mempengaruhi

penyesuaian diri mereka. Hal ini terbukti dari keenam subyek, semuanya merasa

perlu merubah diri mereka dengan lingkungan baru sehingga hal ini

mempermudah proses penyesuaian diri.

Sementara itu, jika hal ini dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Yusoff

dan Chelliah (2010) di dalam penelitiannya dimana dia menemukan faktor-faktor

yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang, khususnya mahasiswa asing,

yaitu faktor umur, status pernikahan, gender, Length of residence, kemampuan

berbahasa Inggris, dukungan sosial, dan kepribadian.

Dari beberapa faktor di atas, yang muncul dari hasil wawancara kelompok

adalah faktor umur, length of residence, dukungan sosial dan faktor kepribadian.

Berikut penjelasannya :

1. Faktor Umur

Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata subyek berumur 19-20 ketika

pertama datang ke Indonesia. Menurut Tomich (2003) Semakin muda

usia siswa internasional, semakin mudah dan cepat proses penyesuaian

mereka dalam negara

2. Faktor length of residence

Berdasarkan hasil wawancara, subyek 2, 3, 4 tinggal di Indonesia

kurang dari 1 tahun, sedangkan subyek 1,5 dan 6 tinggal di Indonesia

lebih dari 1 tahun. Subyek Semakin lama individu bertempat tinggal di

33

Page 34: KUALITATIF REVISI 13 DES

negara asing, semakin baik kemampuan penyesuaian mereka terhadap

lingkungan baru (Ward dan Kennedy 1992).

3. Faktor dukungan sosial

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan penyesuaian adalah

dukungan sosial, yang dapat memberikan kesempatan bagi siswa

internasional untuk mengembangkan pemahaman tentang budaya

baru. Dukungan sosial dapat berupa penerimaan yang positif dan

komunikasi yang intens dengan teman-teman di lingkungan baru. Hal

ini terlihat dari kebanyakan subyek memiliki banyak teman-teman

dari Indonesia. Bentuk dukungan sosial ini bisa terlihat dari hasil

wawancara yaitu adanya persepsi positif subyek terhadap karakter

orang-orang Indonesia. Dari ke enam subyek dapat disimpulkan

bahwa orang Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut orang

Indonesia mudah akrab, baik, ramah, orang Indonesia mau berbicara

dengan orang lain yang tidak dikenal. Menurut Schneiders (1964),

salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah

keadaan lingkungan dimana keadaan lingkungan yang baik, damai,

tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu

memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan

lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri.

Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram,

tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami

gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri.

4. Faktor kepribadian

Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa subyek memiliki

kepribadian yang beragam. Dimana subyek 1 dan 2 adalah orang yang

mandiri dan suka menciptakan suasana baik dan mudah akrab dengan

orang lain. Subyek 2 adalah orang yang pemalu dan manja,subyek 3

adalah orang yang lucu, ramah dan mudah bergaul. Subyek 4 adalah

orang yang berjiwa pemimpin dan bisa diandalkan, sedangkan subyek

5 lebih introvert. Meskipun mereka semua memiliki kepribadian yang

beragam, namun mereka sudah dapat berbaur dengan lingkungan

34

Page 35: KUALITATIF REVISI 13 DES

sekitarnya. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa faktor

kepribadian tidak begitu berpengaruh dalam proses penyesuaian diri.

Hal ini dikarenakan faktor yang lebih berperan dalam proses

penyesuaian diri adalah yang berasal dari luar diri individu yaitu dari

lingkungan sosial.

Menurut Cushner dan Karim (2004), pada siswa lintas-budaya, culture

shock mengarah keketerkejutan bahasa, peran, dan pendidikan. Subyek 6 yang

kini sudah dapat dikatakan lancar berkomunikasi dalam bahasa Indonesia

mengaku sempat dikagetkan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang cukup

berbeda dengan apa yang dirinya pelajari selama 2 tahun di Jepang. Subyek 2

yang sudah melalui studi bahasa Indonesia selama 3 tahu di Jepang, juga

merasakan kesulitan penggunaan bahasa Indonesia untuk keperluan kesehari-

harian. Bahasa Indonesia yang diajarkan di kampus hanya sebatas bahasa formal

saja. Subyek 1 kami pada awalnya merasa iri pada orang Indonesia karena sudah

bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, sedangkan dirinya belum bisa. Lalu

karena tekadnya untuk menjadi orang Indonesia, Shane terus berusaha belajar.

Untuk subyek 3,4, dan 5 hingga kini mereka masih merasakan kesulitan dalam

penggunaan bahasa Indonesia. Keterkejutan lainnya adalah keterkejutan peran,

dimana mereka berstatus menjadi warga negara asing di negara Indonesia. Jenis

interaksi sosial pada masyarakat Indonesia membuat subyek 6 bingung, misalnya

saja sikap kebanyakan orang Indonesia yang ramah terhadap warga asing

membuat subyek sulit membedakan antara orang yang berniat baik atau berniat

buruk kepadanya. Selanjutnya, perbedaan sistem pendidikan pada tatanan tata

tertib kelas juga sempat membuat ketidaknyamanan pada subyek kami yang

berasal dari Jepang. Ketidaktepatan waktu datang dosen, waktu pulang kuliah

yang dipercepat, kebiasaan mahasiswa dan bahkan dosen makan dan minum di

kelas, juga aturan larangan penggunaan bahasa asing di dalam kelas, membuat

para subyek asal Jepang merasa melakukan usaha keras untuk terbiasa dengan

hal-hal tersebut. Sedangkan subyek 1, yang berasal dari Korea lebih

menitikberatkan ketidaknyamanannya pada sistem akademik di FIB UI yang

dinilai kurang rapih.

35

Page 36: KUALITATIF REVISI 13 DES

Hal lain yang baru yang ditemukan dari hasil wawancara yang dilakukan

kepada 4 mahasiswa asal Jepang dan 2 mahasiswa asal Korea, dapat terlihat

secara umum mahasiswa Jepang dan Korea memiliki pola adaptasi yang unik dan

berbeda. Mahasiswa Jepang dapat dikatakan lebih membaurkan dirinya terhadap

lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan kebanyakan masyarakat

Indonesia. Seperti pilihan tempat tinggal dan pilihan transportasi yang dipakai.

Mahasiswa Korea yang kuliah di UI kebanyakan tinggal di apartemen, sedangkan

mahasiswa Jepang lebih banyak yang tinggal di kos-kosan. Subyek yang berasal

dari Jepang mengungkapkan bahwa dengan tinggal di kos-kosan, mereka akan

lebih cepat mempelajari dan memahami budaya dan bahasa Indonesia. Sedangkan

kebanyakan mahasiswa Korea memanggil guru private untuk mengajari mereka

bahasa dan budaya Indonesia lebih mendalam. Selanjutnya, banyak mahasiswa

Korea yang pergi dan pulang kuliah menggunakan taxi, bukan angkot. Menurut

subyek yang berasal dari Jepang, mahasiswa dari negara maju seperti Korea dan

Jepang akan menganggap angkot sebagai alat transportasi yang terlalu kotor.

Walaupun begitu, semua subyek kami yang berasal dari Jepang mencoba untuk

terbiasa dengan hal tersebut.

Fumham dan Bochner (1986) dan Huntley (1993) menjelaskan bahwa

gejala culture shock dapat berupa rasa kehilangan, kebingungan, kecemasan,

depresi, perasaan stres, dan seterusnya. Pada keenam subyek yang kami

wawancarai,, mereka mengaku bahwa tidak merasakan kerinduan dan kehilangan

yang mendalam terhadap negara asal mereka. Hal ini terjadi karena faktor

komunikasi yang masih terjaga dengan keluarga dan teman-teman di negara asal

baik itu menggunakan telepon maupun internet. Namun ditemukan juga pada

situasi-situasi tertentu seperti pada saat sakit, pada saat makan di restoring

Jepang, dan pada saat teman-teman Asing yang lain pulang ke negara asal

membuat subyek 1, 2 dan 4 merindukan negara dan keluarganya. Namun, culture

shock telah dianggap sebagai reaksi yang normal, sebagai bagian dari proses rutin

adaptasi terhadap stres budaya (Furnham & Bochner, 1986).

36

Page 37: KUALITATIF REVISI 13 DES

37

Page 38: KUALITATIF REVISI 13 DES

BAB V

KESIMPULAN, DISKUISI, SARAN

V.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis intersubyek pada permasalahan ini, maka dapat

diperoleh beberapa hal-hal penting yaitu:

1. Masalah kesulitan bahasa ini biasa terjadi pada mahasiswa asing.

Berdasarkan hasil wawancara, beberapa subyek masih kesulitan dalam

melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yaitu

subyek 3, 4, dan 5. Sementara itu, subyek 1, 2, dan 6 sudah dapat

dikatakan lancar dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa

Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh Subyek 3,4,5 sudah memiliki

sedikit kemampuan dasar berbahasa Indonesia sebelum subyek tinggal di

Indonesia. Namun, hal ini dialami berbeda oleh subyek 4 dimana subyek

sudah mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia di Jepang selama 3 tetapi

masih mengalami kesulitan dalam melakukan percakapan sehari-hari. Hal

ini terjadi karena di Jepang subyek 4 hanya mendapatkan pelajaran bahasa

Indonesia secara teori.

2. Permasalahan penyesuaian sosial dan budaya tidak hanya disebabkan oleh

faktor komunikasi saja melainkan banyak faktor yang mempengaruhi

diantaranya adalah adanya kesempatan untuk berkomunikasi dengan siswa

lokal dan besar atau kecilnya jarak antara budaya asli dan tuan rumah. Hal

ini terlihat dari keenam subyek pada penelitian ini dapat melakukan

penyesuaian sosial budaya dengan baik.

3. Merujuk pada hasil penelitian Yusoff dan Chelliah (2010) dan hasil

wawancara kelompok, ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi

penyesuaian diri seseorang, khususnya mahasiswa asing yaitu:

a. Faktor umur,

b. Faktor length of residence

c. Faktor dukungan sosial

d. Faktor kepribadian.

38

Page 39: KUALITATIF REVISI 13 DES

V. 2. Diskusi

Peneliti menemukan beberapa persamaan dan perbedaan data dari masing-

masing subyek, setelah melakukan wawancara, kemudian dilanjutkan dengan

analisis dan interpretasi data. Perbedaan yang terjadi mungkin dikarenakan

perbedaan keterampilan masing-masing peneliti dalam melakukan wawancara,

sehingga terdapat data yang memiliki informasi yang cukup banyak dan data yang

memiliki informasi yang kurang tergali. Kekurangan dalam penelitian ini tidak

luput dari kesalahan peneliti. Peneliti merasa kurang dalam melakukan probing,

sehingga beberapa data tidak tergali lebih dalam. Dalam melakukan wawancara

dengan subyek, peneliti merasa kurang persiapan dalam peralatan. Dari enam

subyek yang diwawancara, rekaman dua orang subyek mengalami kesalahan

teknis. Hal ini disebabkan karena kelalaian subyek yang tidak mengecek kembali

alat perekam yang digunakan, sehingga membuat peneliti kehilangan sebagian

data rekaman. Akan tetapi masalah ini dapat diatasi karena setiap mewawancara

subyek masing-masing peneliti ditemani oleh satu atau dua orang rekan peneliti

lainnya, sehingga catatan masing-masing rekan peneliti dapat melengkapi bagian

rekaman yang hilang.

Selain itu, juga peneliti mengalami kesulitan dalam mendapatkan subyek.

Peneliti sulit untuk menyesuaikan waktu dengan subyek karena kesibukan peneliti

dengan mata kuliah lainnya dan kesibukan para subyek. Para subyek yang

berstatus mahasiswa asing juga tidak dapat diganggu atau tidak bersedia

melakukan wawancara di hari libur, sehingga menyulitkan peneliti dalam

mengatur waktu di hari kuliah. Akibatnya, keterlambatan peneliti dalam

melengkapi jumlah subyek menghambat kerja peneliti untuk melakukan analisis.

Di samping masalah teknis dan waktu, peneliti juga merasa kekurangan

dalam menyiapkan panduan wawancara. Hampir seluruh subyek sulit memahami

atau mengerti maksud pertanyaan peneliti. Hal ini mungkin disebabkan karena

keterbatasan kosakata bahasa Indonesia yang dimiliki subyek atau perbendaharaan

katanya yang tidak familiar dengan subyek. Bahkan salah seorang subyek terpaksa

menggunakan kamus bahasa Indonesia-Korea untuk memahami maksud

pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Karena subyek cukup kesulitan untuk

memahami maksud dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, peneliti terpaksa

39

Page 40: KUALITATIF REVISI 13 DES

memberikan pertanyaan yang mengarahkan (leading) agar subyek dapat mengerti.

Masalah ini tentunya juga disebabkan oleh kekurangan peneliti dalam memilih

perbendaharaan kata dalam setiap kalimat pertanyaan. Seharusnya peneliti

meninjau terlebih dahulu kosakata yang familiar atau yang biasa digunakan oleh

mahasiswa asing pada umumnya agar pertanyaan yang diajukan dapat dipahami

dengan baik oleh subyek.

Dari hasil wawancara dengan masing-masing subyek, peneliti merasa data

atau informasi yang diperoleh belum cukup banyak. Hal ini mungkin dikarenakan

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan belum dapat menggali informasi lebih

dalam dari subyek, ditambah subyek yang tidak mengerti maksud dari pertanyaan-

pertanyaan tersebut. Peneliti merasa perlu untuk mengevaluasi kembali

pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam pedoman wawancara.

Secara keseluruhan penelitian yang telah dilakukan oleh penelitian

memiliki kesesuian dengan beberapa teori yang dikemukakan dalam makalah ini.

Namun, beberapa hal baru yang ditemukan dari hasil wawancara antara subyek

Jepang dan subyek Korea. Jepang dan Korea memiliki pola adaptasi yang unik

dan berbeda. Mahasiswa Jepang dapat dikatakan lebih membaurkan dirinya

terhadap lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan kebanyakan

masyarakat Indonesia. Seperti pilihan tempat tinggal dan pilihan transportasi yang

dipakai. Mahasiswa Korea yang kuliah di UI kebanyakan tinggal di apartemen,

sedangkan mahasiswa Jepang lebih banyak yang tinggal di kos-kosan. Subyek

yang berasal dari Jepang mengungkapkan bahwa dengan tinggal di kos-kosan,

mereka akan lebih cepat mempelajari dan memahami budaya dan bahasa

Indonesia. Sedangkan kebanyakan mahasiswa Korea memanggil guru private

untuk mengajari mereka bahasa dan budaya Indonesia lebih mendalam.

Selanjutnya, banyak mahasiswa Korea yang pergi dan pulang kuliah

menggunakan taxi, bukan angkot. Menurut subyek yang berasal dari Jepang,

mahasiswa dari negara maju seperti Korea dan Jepang akan menganggap angkot

sebagai alat transportasi yang terlalu kotor. Walaupun begitu, semua subyek kami

yang berasal dari Jepang mencoba untuk terbiasa dengan hal tersebut.

40

Page 41: KUALITATIF REVISI 13 DES

Selain itu, terdapat beberapa kasus unik yang muncul pada subyek 3 dan 5.

Pada subyek 3 kemampuan beradaptasi dari subyek sudah cukup baik padahal jika

dilihat dari kemampuan bahasa dari subyek dapat dikatakan subyek 3 belum

lancar dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi

subyek 3 tidak memiliki kemampuan dasar berbahasa Indonesia sebelumnya dan

subyek kuliah di Jepang dengan menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa

pengantar. Jika dilihat dari hal ini, seharusnya subyek mengalami penyesuaian diri

yang buruk karena menurut Zimmermann (1995) komunikasi sebagai kunci utama

proses adaptasi. Tetapi, karena keinginan diri yang kuat, persepsi diri yang positif

terhadap perubahan serta penerimaan dari lingkungan sosial yang positif sehingga

subyek 3 tidak mengalami kesulitan dalam hal beradaptasi di lingkungan baru.

Hal ini juga terjadi pada subyek 5 dimana subyek tidak memiliki kemampuan

dasar berbahasa Indonesia dan pengetahuan awal mengenai budaya Indonesia

karena tidak pernah mengetahui dan belajar sebelumnya. Ditambah lagi

kenyataaan bahwa subyek merupakan orang yang introvert yang tidak terlalu

memiliki banyak teman. Namun, ternyata dengan kondisi ini, subyek tetap mampu

beradaptasi dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan orientasi hidup

dari subyek 5 yang mungkin saja tidak terlalu mementingkan perbedaan dalam

lingkungan sosial. Dari sini kami menemukan adanya perbedaan antara subyek 3

dengan subyek 5. Meskipun mereka berdua sama-sama tidak memiliki latar

belakang penguasaan Bahasa Indonesia atau informasi mengenai Indonesia

selama di negara asalnya, namun cara mereka dalam menyesuaikan diri terlihat

berbeda. Pada subyek ke 3 meskipun kemampuan komunikasinya kurang, dia

tetap merasa senang. Dia mengakui kelemahan yang dia miliki namun masih

berusaha bergaul dengan lingkungannya guna mengurangi kelemahannya dalam

bahasa Indonesia. Pada subyek 5 dirasakan individu tidak menyadari tentang

kekurangannya dan lebih menarik diri dari lingkungan sosial dengan lebih

berfokus pada kuliahnya. Hal inilah yang mungkin menyebabkan subyek 5 lebih

merasakan kerinduan dengan teman-temannya di negara asal, karena di

lingkungan barunya subyek tidak memiliki banyak teman.

41

Page 42: KUALITATIF REVISI 13 DES

V.3. Saran

V.3.1 Saran Untuk Subyek

- Subyek

V.3.2 Saran untuk Peneliti

- Peneliti harus mempersiapkan dan mengecek kembali peralatan yang

diperlukan sebelum melakukan wawancara dengan subyek.

- Peneliti perlu mencobakan alat perekam apakah sudah dapat merekam

suara dengan jelas dan mengecek kembali alat perekam yang

digunakan apakah sudah terekam dengan baik atau belum.

- Ketika membuat janji dengan subyek, hendaknya peneliti

menghubungi subyek jauh-jauh hari dan terus melakukan konfirmasi

dengan subyek mengenai waktu dan tempat akan dilakukan

wawancara.

- Untuk penelitian selanjutnya, peneliti perlu meminta saran dari subyek

uji coba dalam mengevaluasi kosakata atau pembendaharaan kata yang

familiar dan mudah dimengerti oleh mahasiswa asing. Hal ini

dilakukan agar jawaban dari setiap subyek sesuai dengan pertanyaan

yang diajukan dan agar peneliti tidak melakukan leading question

kepada subyek.

- Untuk penelitian selanjutnya, peneliti perlu membuat dan menyusun

pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dengan lengkap, jelas, dan

sebaik mungkin agar dapat menggali informasi yang lebih banyak dan

lebih dalam.

42

Page 43: KUALITATIF REVISI 13 DES

DAFTAR PUSTAKA

Al-Sharideh, K. A., & Goe, W. R. (1998). Ethnic communities within the

university: An Examination of Factors Influencing the Personal adjustment

of international students. Research in Higher Education, 39(6), 699-725.

In A Literature Study of Cross-cultural Adaptation in North America:

Chinese Students’Difficulties and Strategies.

Calhoun, J.F. dan J. R. Acocella. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian dan

Hubungan Kemanusiaan. Alih Bahasa : Satmoko. Edisi Ketiga. Cetakan

Pertama. Semarang: IKIP Semarang Press.

Chen, N. (1996). Public relations in China: the introduction and development of

an occupational field. In H. M. Culbertson & N. Chen (Eds.), International

public relations: a comparative analysis (pp. 121-153). In A Literature

Study of Cross-cultural Adaptation in North America: Chinese

Students’Difficulties and Strategies. New Jersey: Lawrence Erlbaum

Associates, Inc.

Cross, S.E.(1995). Self-construals, coping, and stress in cross-cultural adaptation,

Journal of Cross-cultural psychology, 26(6), 673-697. In A Literature

Study of Cross-cultural Adaptation in North America: Chinese

Students’Difficulties and Strategies.

Cushner, K. & Karim A. U. (2004). Study abroad at the university level. In D.

Landis, J. M. Bennett, & M. J. Bennett (Eds.), Handbook of intercultural

training (pp289-308). In A Literature Study of Cross-cultural Adaptation

in North America: Chinese Students’Difficulties and Strategies. Caliornia:

Sage Publications.

Davidoff. (1991). Psikologi Suatu Pengantar. Jilid 2. Alih Bahasa : Mari Jumiati.

Jakarta: Erlangga

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006.

Bandung:Remaja Rosdakarya.hal.25

Flick, U. (1998). Adjustment: An Introduction to Qualitative Research. London:

SAGE publications.

43

Page 44: KUALITATIF REVISI 13 DES

Furnham, A.& Bochner, S. (1986). Culture shock: psychological reactions to

unfamiliar environments. In A Literature Study of Cross-cultural

Adaptation in North America: Chinese Students’Difficulties and

Strategies. New York: Methuen.

Hapsari, Mudi. (2008). Pengaruh Coping dan Dukungan Sosial terhadap

Acculturative Stress pada Mahasiswa Indonesia yang Kuliah di Luar

Negeri. Skripsi.

Hariyadi, Sugeng., Soeparwoto., Rulita Hendriyani., dan Liftiah. 2003. Psikologi

Perkembangan. Cetakan Pertama. Semarang: UPT MKDK Universitas

Negeri Semarang.

Hodge, S. (2000). Global smarts: the art of communicating and deal making

anywhere. In the world. In A Literature Study of Cross-cultural Adaptation

in North America: Chinese Students’Difficulties and Strategies. New

York: Wiley.

Kumar, R. (1999). Research Metodology. London: SAGE Publications.

Nicholson, M. W. (2001). Adaptation of Asian students to American culture. In In

the world. In A Literature Study of Cross-cultural Adaptation in North

America: Chinese Students’Difficulties and Strategies. New York: Wiley.

Papalia, Diane E., et.al. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan)

(9th Ed). Jakarta: Erlangga.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 25 Tahun

2007 tentang Persyaratan dan Prosedur bagi Warga Negara Asing untuk

Menjadi Mahasiswa pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Jakarta.

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.

Depok: LPSP3 fakultas psikologi universitas indonesia.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja (6th Ed). Jakarta:

Erlangga.

Sunarto dan Hartono. 1995. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Taylor, S.J. & Bogdan, R. (1998). Introduction to Qualitative Research Methods:

A Guidebook and Resource (3rd ed.) Canada: John Wily and Sons, Inc.

44

Page 45: KUALITATIF REVISI 13 DES

Ting-Toomey, S., & Chung, L. C. (2005). Understanding intercultural

communication. In A Literature Study of Cross-cultural Adaptation in

North America: Chinese Students’Difficulties and Strategies. California:

Roxbury Publication Corporation.

Ward, C., Bochner, S., & Furnham, A. (2001). The Psychology of Culture Shock

(2nd Ed). London : Routledge.

Ward, C. & Kennedy, A. (1994). Acculturation strategies, psychological

adjustment, and sociocultural competence during cross-cultural transitions.

International Journal of Intercultural Relations, 18(3), 329-343. In A

Literature Study of Cross-cultural Adaptation in North America: Chinese

Students’Difficulties and Strategies.

Young, Y. K. (2004). Long-term cross-cultural adaptation. In D. Landis, J. M.

Bennett, & M. J. Bennett (Eds.), Handbook of intercultural training

(pp337-362). In A Literature Study of Cross-cultural Adaptation in North

America: Chinese Students’Difficulties and Strategies. California: Sage

Publications.

Zimmerman, S. (1995). Perceptions of intercultural communication competence

and international student adaptation to an American campus.

Communication Education, 44(4), 321-335. In A Literature Study of

Cross-cultural Adaptation in North America: Chinese Students’Difficulties

and Strategies.

(http://www.jakarta.go.id/jakartaku/pariwisata_budaya.htm) diakses pada tanggal

5 Novermber 2010, pukul 22.00 WIB

(http://www.eastasianculture.com/) diakses pada tanggal 5 November 2010, pukul

22.00 WIB

(http://www.indonesiamedia.com/2004/05/early/budaya/budaya-0504-

bhinneka.htm) diakses pada tanggal 5 November 2010, pukul 23.00 WIB.

45

Page 46: KUALITATIF REVISI 13 DES

Panduan Wawancara

1. Pertanyaan inti

Bagaimana gambaran karakteristik penyesuaian diri yang baik pada

mahasiswa asing yang baru belajar di Universitas Indonesia?

2. Pertanyaan turunan

Keterampilan berkomunikasi

1. Bagaimana hubungan kamu dengan teman-teman baru yang

berbeda budaya dikampus?

2. Apakah kamu memiliki teman dekat?

Pengalaman sebelumnya

1. Apakah kamu pernah tinggal di luar negeri dalam waktu yang lama

sebelumnya?

Trait personal (mandiri atau toleransi)

1. Ceritakan kepada saya gambaran kepribadian kamu secara umum?

Kamu orangnya kayak apa?

2. Untuk menyesuaikan diri, apakah kamu berfikir untuk merubah diri

kamu sesuai dengan karakteristik lingkungan baru?

Variasi kebudayaan :

1. Pada awalnya, apakah kamu merasa kesulitan berkomunikasi

dengan menggunakan bahasa Indonesia?

2. Bagaimana pendapatmu mengenai karakter orang-orang Indonesia?

3. Kesulitan apa yang kamu temui dalam menyesuaikan diri dengan

gaya hidup di Indonesia?

Akademik

1. Bagaimana cara kamu menyesuaikan diri dengan sistem

perkuliahan di UI?

2. Menurut kamu, apa perbedaan sistem perkuliahan di Indonesia

dengan sistem perkuliahan di negara asalmu?

3. Kesulitan apa saja yang kamu hadapi di perkuliahan?

4. Bahasa pengantar apa yang dipakai pada perkuliahan?

46

Page 47: KUALITATIF REVISI 13 DES

Homesickness

1. Apakah kamu pernah merasa rindu pada keluarga?

2. Pada situasi apa saja yang membuat kamu merindukan keluarga

ataupun negara kamu?

3. Pernahkah kamu merasa kesepian di kampus?

4. Jika iya, apa yang kamu lakukan ketika kamu sedang merasa

kesepian?

Tahap adaptasi

1. Bagaimana cara kamu agar kamu diterima di lingkungan sosial di

kampus?

2. Apa hal pertama yang kamu lakukan ketika pertama kali kuliah di

UI?

3. Apa saja hambatan yang kamu rasakan untuk beradaptasi di

Indonesia?

4. Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk dapat berbaur

dengan lingkungan baru?

5. Apa yang kamu lakukan ketika kamu menghadapi masalah dengan

lingkungan baru?

47