kti susu formula bab i
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemberian air susu ibu (ASI) sangat penting bagi tumbuh kembang yang
optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi. Oleh karena itu, pemberian
ASI perlu mendapat perhatian para ibu dan tenaga kesehatan agar proses menyusui
dapat terlaksana dengan benar (Afifah, 2007). Selain itu, pemberian ASI dapat
menurunkan risiko kematian bayi. Kita ketahui bahwa Angka Kematian Bayi (AKB)
merupakan salah satu indikator kesehatan di suatu negara. Data SDKI tahun 2007
menunjukkan AKB di Indonesia cukup tinggi yaitu 34/1000.
Di negara berkembang, lebih dari 10 juta bayi meninggal dunia per tahun, 2/3
dari kematian tersebut terkait dengan masalah gizi yang sebenarnya dapat
dihindarkan. Penelitian di 42 negara berkembang menunjukkan bahwa pemberian
ASI secara eksklusif selama 6 bulan merupakan intervensi kesehatan masyarakat
yang mempunyai dampak positif terbesar untuk menurunkan angka kematian balita,
yaitu sekitar 13% (Sentra Laktasi Indonesia, 2007).
Masih menurut Sentra Laktasi Indonesia (2007), pemberian makanan
pendamping ASI yang benar dapat menurunkan angka kematian balita sebesar 6%.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perilaku memberikan ASI secara eksklusif pada
bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan dapat menurunkan angka kematian 30.000 bayi di
Indonesia tiap tahunnya (Sentra Laktasi Indonesia, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Walaupun bayi umur 0-6 bulan mengalami pertumbuhan yang pesat, namun
sebelum mencapai usia 6 bulan, sistem pencernaan bayi belum mampu berfungsi
dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI. ASI
merupakan gizi bayi terbaik, sumber makanan utama dan paling sempurna bagi bayi
usia 0-6 bulan. ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan seorang bayi yaitu
energi, laktosa, lemak, protein, mineral, immunoglobulin, lisosin dan laktoferin.WHO
merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif selama 4-6 bulan.Namun pada
tahun 2001, setelah melakukan telah artikel penelitian secara sistemik dan
berkonsultasi dengan para pakar, WHO merevisi rekomendasi ASI eksklusif tersebut
dari 4-6 bulan menjadi 6 bulan (Fikawati dan Syafiq, 2010).
ASI terbukti melindungi anak terhadap berbagai penyakit infeksi seperti diare,
ISPA, dan lain-lain. Meningkatnya pemberian ASI di seluruh dunia diperkirakan
dapat menurunkan angka kematian akibat ISPA sebanyak 40% sampai 50% pada
anak berusia <18 bulan (Oddy,dkk, 2002). Di Amerika, 400 bayi meninggal per tahun
akibat muntah mencret. Sebanyak 300 bayi diantaranya adalah bayi yang tidak
disusui. Kematian meningkat 23,5 kali pada bayi susu formula. Menurut Vic yang
dikutip Roesli (2008), kemungkinan bayi akan mengalami mencret 17 kali lebih
banyak pada bayi yang menggunakan susu formula.
Menurut Hop yang di kutip Novianda (2011), hasil penelitian di Vietnam
terlihat bahwa lamanya ASI eksklusif berhubungan dengan prevalensi diare dan
ISPA.Pada anak dengan ASI eksklusif kurang dari 3 bulan, diare muncul lebih awal
dan prevalensinya lebih besar dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI
Universitas Sumatera Utara
eksklusif lebih dari 3 bulan.Pada anak yang mendapat ASI eksklusif, diare muncul
lebih jarang dan bila terjadi diare mempunyai dampak negatif yang lebih sedikit pada
status gizi si anak untuk kehilangan berat badan dan terganggu pertumbuhan
linearnya lebih kecil. Penelitian Wijayanti (2010) di Puskesmas Gilingan, Bajarsari
Surakarta menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI
eksklusif dengan penurunan kejadian diare pada bayi. Penelitian Ariefudin,dkk
(2010) menunjukkan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif lebih banyak yang
mengalami ISPA dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif.
Berdasarkan pengamatan peneliti di lingkungan peneliti tinggal dan melalui
berita-berita di surat kabar dan televisi, kesadaran akan pentingnya ASI eksklusif bagi
bayi semakin banyak disadari oleh para wanita. Namun data di kelurahan Helvetia
Timur menunjukkan semakin sedikit ibu yang memberikan ASI eksklusif pada
bayinya dan menggantinya dengan susu formula.
Penggunaan susu formula berisiko tercemar berbagai virus, tetapi
kebalikannya ASI mengandung antibodi terhadap berbagai jenis virus, antara lain
poliovorus, coxsakievirus, echovirus, influenza virus, reovirus, respiratory syncytial
virus (RSV), rotavirus dan rhinovirus. Telah terbukti bahwa ASI menghambat
pertumbuhan virus-virus tersebut, misalnya kolostrum yang terdapat dalam ASI
mempunyai aktivitas menetralisasi terhadap RSV. Virus ini mengancam jiwa dan
sering sebagai penyebab bayi dirawat di beberapa negara berkembang. Bayi yang
dirawat karena menderita infeksi RSV jauh lebih sedikit pada kelompok yang
Universitas Sumatera Utara
mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula (7% vs 28%) (Tumbelaka
dan Karyanti, 2012).
Di Inggris, berdasarkan data yang didapat pada tahun 2000, sebanyak 30%
ibu-ibu di Inggris sama sekali tidak memberikan ASI kepada bayinya dan sebanyak
58% menukar secara penuh dengan susu formula pada saat bayi usia 4-10 minggu
(Novianda, 2011). Menurut data SDKI 1997-2007, di Indonesia hampir semua anak
pernah memperoleh ASI (96%), namun persentase pemberian ASI semakin menurun
dengan bertambahnya umur (Fikawati dan Syafiq, 2010).
Target pencapaian ASI eksklusif menurut Indonesia Sehat adalah 80%
(Fikawati dan Syafiq, 2010). Program-program atau kebijakan-kebijakan telah
dilakukan pemerintah untuk mencapai target ini seperti Kebijakan ASI Eksklusif dan
Inisiasi Menyusui Dini. Angka ini terlihat terlalu tinggi karena trend ASI eksklusif
justru menurun. Data SDKI 1997-2007 memperlihatkan terjadinya penurunan
prevalensi ASI eksklusif dari 40,2% pada tahun 1997 menjadi 39,5% dan 32% pada
tahun 2003. Perbandingan target yang ditetapkan dengan hasil yang dicapai
menunjukkan seakan-akan apa yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan
prevalensi ASI eksklusif tidak atau kurang berhasil, yaitu prevalensi pemberian ASI
eksklusif justru menurun.
Salah satu prakondisi yang menyebabkan pemberian ASI eksklusif menurun
adalah masih kurangnya pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan. Khususnya
ibu-ibu yang mempunyai bayi dan tidak menyusui bayi secara eksklusif. Kurangnya
pengetahuan masyarakat yang berpengaruh terhadap rendahnya prevalensi pemberian
Universitas Sumatera Utara
ASI eksklusif dibuktikan oleh banyak penelitian, seperti penelitian The American
Academy of Pediatrics (2005) dan Ozelci, dkk (2006) dalam Rachmadewi (2009)
yang menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menjadi kendala yang dihadapi
dalam praktek ASI eksklusif adalah kurangnya pengetahuan ibu.
Berdasarkan data dari DepKes RI tahun 2008 dalam Profil Kesehatan
Indonesia 2007 bahwa wilayah Sumatera Utara tergolong memiliki persentase
terendah (30,31%) untuk perkotaan dan 30,01% untuk pedesaan setelah propinsi
Maluku (25,22%) di daerah perkotaan dan 19,35% di daerah pedesaan. Berdasarkan
DepKes RI angka tersebut masih di bawah angka indikator Indonesia Sehat 2010.
Di Propinsi Sumatera Utara angka cakupan ASI eksklusif pada tahun 2007
sebesar 33% dan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka cakupan
tahun 2006 sebesar 36% (Dinkes Prop.Sumut, 2007). Kota Medan dengan wilayah
kerja 39 puskesmas dan 40 pustu yang tersebar di 21 kecamatan mempunyai angka
cakupan ASI eksklusif pada tahun 2006 sebesar 4,8%, tahun 2007 sebesar 1,8% dan
pada tahun 2008 cakupan ASI eksklusif sebesar 3,04% (DinKes Kota Medan, 2009).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Kota Medan
Tahun 2010, kecamatan yang cakupan ASI eksklusifnya terendah adalah Kecamatan
Helvetia (0,00%). Padahal target angka cakupan ASI eksklusif di kecamatan Helvetia
yang telah ditetapkan begitu tinggi. Target angka cakupan ASI eksklusif untuk tahun
2010 (65%).
Rendahnya cakupan ASI eksklusif ini diiringi dengan peningkatan pemberian
susu formula. Data Susenas 2007-2008 menyebutkan bahwa cakupan pemberian susu
Universitas Sumatera Utara
formula meningkat dari 16,7% dari tahun 2002 menjadi 27,9 % pada tahun 2003.
Menurut WHO yang dikutip dalam Roesli (2008), susu formula adalah susu yang
sesuai dan bisa diterima sistem tubuh bayi. Susu formula yang baik tidak
menimbulkan gangguan saluran cerna seperti diare, muntah atau kesulitan buang air
besar. Gangguan lainnya seperti batuk, sesak, dan gangguan kulit.Penelitian yang
dilakukan oleh Kerkhof (2003) yang dikutip dalam Roesli (2008) pada 76 anak di
Belanda dengan penyakit alergi kulit dan 228 anak tanpa penyakit alergi kulit
menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif hanya 3 bulan pertama terbukti
memiliki efek perlindungan terhadap penyakit kulit.
Baik tenaga kesehatan maupun masyarakat luas masih banyak yang berpikir
bahwa susu formula memiliki kualitas gizi yang sama baiknya atau bahkan lebih baik
dari ASI, sehingga sering kita dengar, sebagian masyarakat mengatakan dengan
bangga bahwa buah hatinya minum susu dengan merk tertentu dimana semakin mahal
harga sebuah produk susu formula maka semakin tinggi derajat orangtua di mata
masyarakat. Faktanya ternyata susu formula memiliki risiko tinggi terhadap masa
depan kesehatan anak manusia. Bukan sekedar risiko jangka pendek dan menengah,
namun yang perlu diperhatikan adalah risiko jangka panjang dari penggunaan susu
formula. Kontroversi susu formula berbakteri mencuat sejak Institut Pertanian Bogor
(IPB) melakukan penelitian tentang bakteri E.sakazakii pada tahun 2006 dan
menemukan kontaminasi pada beberapa susu formula.
Selain faktor pengetahuan ibu, atau kurangnya informasi yang ibu dapat
setelah melahirkan, pengaruh kemajuan teknologi dalam perubahan sosial budaya
Universitas Sumatera Utara
juga menyebabkan ibu-ibu di perkotaan umumnya, memberikan susu formula, karena
susu formula merupakan alternatif tercepat yang mereka pilih untuk mengatasi
kebutuhan bayi selama mereka bekerja, hal ini menjadi kendala tersendiri bagi
kelangsungan pemberian ASI eksklusif (Depkes RI, 2002). Konsumsi susu formula
juga tampaknya sangat erat berhubungan dengan tempat melahirkan. Diantara ibu-ibu
yang melahirkan di rumah, tidak lebih dari 9% menerima/membeli sampel susu
formula atau menerima informasi mengenai susu formula. Sedangkan ibu-ibu yang
melahirkan anaknya di rumah bidan, klinik bersalin atau rumah sakit di perkotaan
(78%) hampir sepertiganya menerima sampel gratis susu formula, seperempat
membeli sampel dan 6-8% hanya menerima informasi. Di pedesaan, 35% ibu-ibu
yang melahirkan pada fasilitas-fasilitas seperti diatas dan hanya 10% menerima
sampel gratis, 25% membeli sampel dan 10% menerima informasi mengenai susu
formula. Sedangkan untuk ibu-ibu yang melahirkan di puskesmas (11% di perkotaan
dan 4% di pedesaan) proporsinya sedikit lebih rendah (Novianda, 2011).
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan pada
penelitian ini adalah apakah ada faktor-faktor yang berhubungan (umur, pengetahuan,
pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga, jumlah tanggungan, lingkungan, tempat
bersalin, media informasi) dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan
di kelurahan Helvetia Timur.
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian susu
formula pada bayi usia 0-6 bulan di kelurahan Helvetia Timur.
1.4. Hipotesa
Faktor umur, pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga,
jumlah tanggungan, lingkungan, tempat bersalin, media informasi berhubungan
dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan di kelurahan Helvetia
Timur.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Untuk Institusi Pendidikan
Sebagai bahan kepustakaan dan masukan yang berarti dan bermanfaat bagi
mahasiswa FKM USU.
1.5.2. Untuk Dinas Kesehatan Kota Medan
Sebagai informasi terbaru bagi Dinas Kesehatan Kota Medan untuk
penyusunan program kesehatan berikutnya.
1.5.3. Untuk Peneliti Selanjutnya
Sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya tentang pemakaian susu
formula pada bayi dengan disain penelitian yang berbeda dan variabel-
variabel penelitian yang lebih lengkap.
Universitas Sumatera Utara