kritik kecil uu2607-guritno soerjodibroto

14
Beberapa Hal Mendasar setelah UU 26 / 07 disyahkan Oleh : Guritno Soerjodibroto 1 [email protected] 0811890978 - 087782009727 1 Perencana Pembangunan dan CSR expert

Upload: apriadi-budi-raharja

Post on 28-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

Beberapa Hal Mendasar setelah UU 26 / 07 disyahkan

Oleh : Guritno Soerjodibroto1 [email protected]

0811890978 - 087782009727

1 Perencana Pembangunan dan CSR expert

Page 2: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 2

Pendahuluan Keberadaan undang undang baru yang menggantikan UU 24-92 tentang Tata Ruang, seperti halnya berbagai undnag-undang yang ada, dapat dipastikan akan ada kebutuhan untuk menindak lanjuti dalam langkah-langkah yang operasional, bagaimana melaksanakan perintah yang ada di tiap pasal sesuai dengan batas kewenenangan tiap tingkat pemerintahan yang ada. Dari pengamatan selintas, sebelum melangkah sampai kepada hal-hal operasional, terdapat beberapa hal yang nampaknya perlu di berikan penjelasan terlebih dahulu untuk mendorong terselenggaranya satu tata ruang yang lebih berdaya guna. Beberapa hal tersebut terkait dengan :

- Kejelasan tujuan dari penataan ruang - Struktur dan kelembagaan penataan ruang kawasan strategis - Pelaksanaan revisi Rencana Tata Ruang - Program pemanfaatan ruang (psl 32, 34) - Pengendalian pemanfaatan ruang ( psl 35) penetapan peraturan zonasi,

perijinan, insentif dan disintensif dan pengenaan sanksi Berikut, adalah upaya untuk menelaah butir-butir diatas untuk dijadikan tambahan pemikiran kedepan dalam rangka penerapan pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Untuk memudahkan pemahaman bersama, upaya penelaahan disini meliputi : (a) pembahasan fakta yang tertuang dalam Undang-Undang, (b) Persoalan yang diperkirakan akan ada, dan (c) Pemikiran alternative yang dapat dikembangkan Kejelasan Tujuan dari Penataan Ruang : a. Fakta yang ada dalam Undang-Undang

Didasarkan pada beberapa informasi dari materi UU 26/07 yang ada, dalam kaitanya dengan ‘tujuan’ disini terdapat beberapa pernyataan yang satu sama lain dapat dimanfaatkan untuk menganalisa, sebagai berikut : - Bahwa pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan

ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang2

Melalui pemahaman bahwa bab Ketentuan Umum dalam satu peraturan perundangan merupakan satu pembatas atau pengertian dasar, dapat diartikan bahwa tujuan satu penataan ruang sudah dipastikan ada dan jelas. Akan tetapi faktanya, penjelasan terhadap tujuan penataan ruang ini tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan lebih rinci. Yang ada hanya tujuan secara umum yang terdapat pada pasal 3

- Pasal 3, “ Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan :

2 Bab I Ketentuan Umum, butir 11

Page 3: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 3

Rencana tata ruang yang tidak mempunyai kejelasan tujuan, tidak mungkin dapat diukur pencapainya.Apalagi

bila diharapkan sebagai instrument untuk penyelamatan

lingkungan

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber

daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.”

b. Persoalan yang diperkirakan akan ada. Dari pasal 3 diatas, belum dapat dikenali secara spesifik apa tujuan dari penataan ruang, apakah aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan sebagai ultimate goal, atau harmonisasi antara lingkungan alam dan buatan, keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, perlindungan fungsi dan pencegahan dampak negative ? Dalam bab Penjelasan Pasal UU terkait, khusus pada pasal 3 diatas, parameter yang dijelaskan adalah aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Apakah hal ini mengindikasikan bahwa, yang dimaksud dengan tujuan penataan ruang adalah menciptakan kondisi / lingkungan yang aman , nyaman, produktif dan berkelanjutan ? Apabila demikian halnya, maka langkah penting selanjutnya adalah menguraikan masing-masing parameter diatas menjadi satu keadaan yang terukur dan berlaku sesuai keadaan (local). Bagaimana mengukurnya dan selanjutnya mekanisme kesepakatan terhadap ukuran tersebut akan menjadi persoalan yang harus juga diantisipasi selanjutnya. Dengan adanya pernyataan tambahan mengenai cara mencapai tujuan tata ruang (lihat kembali pasal 3), adalah dengan :

- mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan

- mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memeperhatikan sumber daya manusia, dan

- mewujudkan pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negativ terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Dapat disimpulkan bahwa, apabila keharmonisan dan keterpaduan diatas dicapai, dapat dipastikan kondisi aman, nyaman dan berkelanjutan diatas akan dapat dicapai. Untuk itu, diperlukan upaya tambahan untuk mendefiniskan atau menterjemahkan pernyataan tambahan dalam pasal 3 diatas. Persoalan mendasar disini adalah mengartikan : (a) Apa yang dimaksud dengan keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan

dan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan ? (b) Apa indikator yang dapat diterapkan untuk mengukur terwujudnya keharmonisan

dan keterpaduan ? (c) Apa yang dimaksud dengan perlindungan fungsi ruang.

Page 4: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 4

c. Pemikiran alternativ yang dapat dikembangkan

Secara konsepsual, setiap upaya perumusan kebijakan publik dapat dipastikan mempunyai tujuan yang jelas. Dalam konteks penataan ruang, seperti diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk pencapaian tujuan disini langkah operasional yang mendasar adalah menjawab pertanyaan yang diajukan pada butir diatas. - Keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan

Penerapan ukuran ini di lapangan jelas akan berbeda satu sama lain tergantung pada kondisi lingkungan yang terjadi di lokasi/lapangan. Akan tetapi setidaknya ada hal-hal yang dapat diberlakukan sama, khususnya mengenai ukuran harmonis. Kata harmoni secara harafiah dapat diartikan sebagai suatu keselarasan, kerukunan, kesesuaian atau kecocokan. Keselarasan antara lingkungan alam dan buatan selanjutnya dapat diartikan bahwa diantara keduanya tidak saling merugikan, tidak saling mengurangi nilai-nilai ekonomi yang ada, atau bahkan saling memberikan nilai tambah. Contoh (saling) merugikan :

- Adanya satu bangunan yang tidak membutuhkan air permukaan (pabrik), berlokasi berdekatan dengan penggunaan tanah yang membutuhkan air (sawah). Kondisi diatas akan banyak merugikan areal persawahan yang ada karena terhambatnya (berkurangnya) air yang dibutuhkan

- Adanya bangunan bertingkat yang berdekatan dengan bangunan lain dan menyebabkan hilangnya privacy bagi mereka yg tinggal disebelahnya atau hilangnya kesempatan untuk menikmati matahari pagi, dlsb.

- Keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan

Keterpaduan penggunaan disini dapat diartikan bahwa cara atau teknologi yang dipergunakan untuk mengeksplorasi sumber daya alam tidak menyebabkan habisnya (tidak lestarinya) sumber daya alam tersebut. Contoh :

- Keberadaan sumber air (tanah) yang terbatas bagi konsumsi domestic, akan menjadi terganggu manakala diijinkan untuk dimanfaatkan oleh satu kegiatan yang membutuhkan air (tanah) dalam debit yang besar (mis : industri dan sejenisnya)

- Perlindungan fungsi ruang

Secara prinsip jenis fungsi ruang yang perlu perlindungan sudah ditetapkan secara garis besar dalam Undang-Undang, seperti : kawasan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup, kawasan yang diakui sebagai warisan dunia (TN Komodo, dll), juga kawasan konservasi warisan budaya (kawasan Candi Borobudur). Akan tetapi untuk kawasan lain diluar yang sudah ditetapkan diatas, proses untuk menetapkan ruang dan fungsinya yang harus dilindungi, memerlukan satu kriteria yang harus disepakati berbagai pihak yang berkompeten terlebih dahulu di tingkat lokal, terkait dengan keberadaan berebagai kearifan lokal yang masih layak untuk dipertahankan.

Page 5: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 5

Dari tujuan yang sifatnya sangat umum

pada Pasal 3, diperlukan adanya

upaya elaborasi lebih lanjut agar jelas

penerapanya untuk tiap tingkat jenis rencana

yang ada.

Dari gambaran uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa berbagai kriteria diatas masih perlu untuk disesuaikan dengan keadaan yang terjadi di daerah, sehingga dengan demikian ukuran dan sasaran yang akan dicapai, juga menjadi berbeda antara satu daerah dengan lainya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan terkait dengan keberadaan tujuan disini, adalah bahwa didasarkan pada pengalaman masa lalu bahwa perencanaan tata ruang sering disusun tanpa adanya kejelasan tujuan. Akibat dari kondisi ini adalah bahwa setiap dokumen Rencana Tata Ruang tidak dapat diukur atau dinilai salah atau benar. Apapun jenis peruntukkan tanah (rencana tata ruang) yang dirumuskan, tidak pernah diketahui secara jelas rationalitas di belakangnya. Setidaknya dari keadaan diatas, tujuan dan kuantifikasi dari tujuan tersebut adalah menjadi satu keharusan. Sebagai satu tawaran pemikiran kedepan, sehubungan dengan adanya perbedaan makna fungsi dari rencana tata ruang menurut jenisnya (RTRW Popinsi, kabupaten, Kota, Strategis), diperlukan adanya perbedaan interpretasi tujuan untuk masing-masing jenis rencana diatas. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa : - Peran dan fungsi pemerintah Propinsi relatif tidak sama dengan pemerintah

kabupaten dan kota, hal ini selayaknya memberikan implikasi adanya perbedaan fungsi dan tujuan dari keberadaan rencana tata ruang nya.

- Cakupan dan karakteristik kegiatan serta dominasi penggunaan tanah yang ada di kawasan juridiksi pemerintah kabupaten berbeda dengan perkotaan.

- Masing-masing jenis penggunaan tanah (baca: kegiatan) pada dasarnya mempunyai karakteristik yang spesifik dan tidak sama satu sama lainnya bila dikaitkan dengan kriteria harmonisasi dan keterpaduan diatas.

Atas dasar hal tersebut diatas, diperkirakan bahwa akan ada satu kebutuhan yang lebih rinci mengenai bagaimana penerapan kriteria atau mengintepretasi tujuan rencana tata ruang diatas dalam obyek yang berbeda (daerah dengan dominasi fungsi yg ada, dan daerah sebagai satu kesatuan penyelenggaran pemerintahan). Contoh3

a. Sebagai misal , bila kriteria tujuan rencana tata ruang yang berupa “harmonisasi antara lingungan alam dan buatan” harus di terapkan di satu daerah dengan dominasi fungsi sebagai kawasan pertanian, maka ukuran pencapaian (indikator) tujuan yang ada dapat berupa : terjaganya fungsi-fungsi penunjang produksi pertanian, misalnya. Dan hal ini jelas akan berbeda dengan penerapan di kawasan yang di dominasi fungsi Industri.

:

b. Demikian juga penerapan kriteria “keterpaduan antara lingkungan alam dan buatan” untuk kawasan pertanian, ukuran pencapaian tujuan yang ada akan dapat berupa : terjaganya produktivitas pertanian.

c. Menjadi berbeda ketika tujuan rencana tata ruang ini dikaitkan fungsi dan peran masing-masing tingkat pemerintah daerah yang ada .

3 Upaya mengelaborasi tujuan kedalam indikator yang di contohkan disini masih bersifat satu tawaran dan rangsangan agar dalam upaya menyusun peraturan perundangan sebagai turunan dari UU Tata Ruang ini selalu mempertimbangkan perlunya keberadaan indicator tujuan yang berbeda untuk jenis rencana tata ruang yang berbeda juga.

Page 6: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 6

- Penerapan kriteria harmonisasi lingkungan alam dan buatan untuk skala Propinsi dapat diorientasikan untuk terciptanya harmonisasi dalam pengelolaan sumber daya alam di perbatasan, sebagai wujud dari fungsi koordinasi diantara pemerintah kabupaten yang ada.

- Sedangkan untuk kawasan kota, yang sepenuhnya diorientasikan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan / kehidupan perkotaan, maka penerapan kriteria ini dapat diorientasikan agar setiap kegiatan pembangunan tidak merusak sumber daya yang ada dengan ukuran tidak melebihi ambang batas.

d. Terhadap kriteria lainya, seyogyanya juga dilakukan pendefinisian yang jelas sehingga dapat dikembangkan satu ukuran yang lebih rasional untuk diterapkan sebagai tujuan satu rencana tata ruang.

Sebagai satu ilustrasi mengenai pemikiran diatas, dapat terlihat pada gambar di bawah : Struktur dan kelembagaan pengelolaan kawasan Strategis a. Fakta yang ada dalam Undang-Undang

Penjelasan kawasan strategis didalam Undang-Undang ini yang diwakili pada pasal 5 ayat 5, dapat dikatakan bahwa secara substanstial pengertian kawasan ini tidak menjadi persoalan. Sudah ada klasifikasi dan selanjutnya pengelompokkan tiap jenis kawasan yang dimaksud strategis disini4

4 Baca penjelasan pasal demi pasal, pada pasal 5 ayat 5, halaman 12 UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

. Beberapa kawasan yang dinilai strategis telah disebutkan secara rinci di dalam Undang-Undang, seperti misalnya kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya.

Sumber : Guritno Soerjodibroto “ bahan presentasi seminar di UNDIP, Mei 2007”

Page 7: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 7

Kawasan strategis secara geografis dpt dipastikan menjadi

bagian dari satu pemerintah daerah, untuk itu, bila harus mempunyai rencana tata ruang tersendiri,

maka akan timbul masalah kelembagaan

Bila ditelaah lebih lanjut, maka batas kawasan strategis disini dapat tidak terkait dengan batas administrasi pemerintahan daerah. Dan hal ini memberi konsekwensi pada perlunya koordinasi dan kerjasama antar dua atau lebih pemerintah daerah. Dalam kemungkinan lain dapat terjadi bahwa kawasan strategi yang ada sepenuhnya berada dalam juridiksi satu pemerintah daerah. Dan menurut Undang Undang yang ada, tiap tiap kawasan ini juga harus dilakukan penataan ruangnya.

b. Persoalan yang diperkirakan akan ada. Persoalan yang masih tertinggal disini adalah masalah kelembagaan pengelolaan, khususnya dalam hal ini penataan tata ruang kawasan. Kelembagaan yang dimaksud disini adalah lembaga penyelenggara penataan ruang kawasan strategis, dan ini berarti bahwa lembaga tersebut adalah pemerintah daerah yang bersangkutan. Persoalan yang muncul terkait dengan kelembagaan disini adalah, karena setiap produk rencana tata ruang juga menjadi tanggung jawab pihak pemerintah daerah untuk mewujudkanya, dapat diperkirakan akan menimbulkan masalah khususnya dalam proses penyusunan dan pengajuan program – program yang dibutuhkan melalui satuan unit kerja (skpd) yang ada, karena pada saat yang bersamaan tiap skpd tersebut juga mempunyai program untuk merealisasikan rencana tata ruang pemerintah daerahnya.

c. Pemikiran alternativ yang dapat dikembangkan Rationalitas yang ada : - Kawasan strategis, menilik pengertian yang ada bukanlah satu kawasan yang

dibatasi oleh satu batas adminitrasi pemerintahan, meskipun untuk kepentingan praktis hal ini dapat dilakukan.

- Locus atau keberadaan satu kawasan strategis adalah berada di dalam wilayah satu (atau lebih) pemerintah daerah, sehingga menjadi in-effisen apabila pengelolaan satu kawasan strategis dikelola secara terpisah oleh kelembagaan lain diluar pemerintah daerah yang bersangkutan, kecuali diberikan otorita tersendiri karena kekhususanya (seperti Pelabuhan Bebas, atau Otorita Batam)

- Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Negara yang dapat memberikan kewenangan kepada pemerintah dan pemerintah daerah, dengan demikian untuk kawasan strategis selanjutnya juga akan diselenggarakan oleh pemerintah daerah terkait.

- Setiap penyelenggara penataan ruang mempunyai kuajiban untuk merealisasikan rencana tersebut melalui mekanisme yang salah satunya menggunakan anggaran daerah (apbd) melalui program dan kegiatan tiap-tiap skpd / dinas yang ada.

Dari keadaan diatas terlihat bahwa, untuk tujuan efektivitas dan efisiensi, penyelenggaran rencana tata ruang kawasan strategis tidak seyogyanya berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari Rencana tata ruang pemerintah daerah terkait. Dengan demikian menjadi tidak diperlukan adanya dokumen yang terpisah yang hanya akan membahas mengenai rencana tata ruang kawasan strategis saja, tetapi menjadi bagian substansi dari rencana tata ruang pemerintah Propinsi/Kabupaten atau Kota tertentu.

Page 8: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 8

Pelaksanaan revisi Rencana Tata Ruang a. Fakta yang ada dalam Undang-Undang

Peninjauan kembali rencana tata ruang dapat menghasilkan rekomendasi berupa5

a. Rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya

:

b. Rencana tata ruang yang ada perlu di revisi Peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang disini, dengan mengikuti penjelasan dari pasal 266

b. Persoalan yang diperkirakan akan ada.

ayat 5 dinyatakan bahwa peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah kabupaten dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang, tetapi lebih untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan. Dari ketentuan diatas, terdapat dua hal yang masih diperlukan untuk diurai secara lebih rinci dan berikutnya dijadikan satu diskursus untuk dimanfaatkan sebagai masukan bagi perumusan langkah operasionalisasinya.

Dua hal tersebut diatas adalah (a) Peninjauan kembali, dan (b) Revisi Tata Ruang. Kegiatan peninjauan kembali sesuai ketentuan dalam pasal terkait diatas, dapat diartikan sebagai satu prasyarat untuk melaksanakan satu kegiatan revisi rencana tata ruang. . Persoalan yang terjadi atau diperkirakan dapat terjadi dalam kaitanya dengan kedua kegiatan diatas dapat diuraikan sebagai berikut :

Peninjauan kembali dan kegiatan revisi dalam pelaksanaanya membutuhkan kejelasan kelembagaan serta legitimasi hasil review untuk memberikan rekomendasi. Dalam konteks kelembagaan, pertanyaan yang terkait berupa : lembaga apakah yang berhak dan berkapasitas untuk melakukan peninjauan kembali ?

Apabila digunakan asumsi bahwa pemerintah yang mempunyai kewenangan penataan ruang, maka menjadi kuajiban pihak pemerintah untuk selalu memberikan layanan dengan kualitas tinggi kepada warganya termasuk didalamnya kebijakan publik yang memberi manfaat bagi warganya. Persoalan lebih lanjut adalah kapan dan metode apakah yang dipergunakan untuk menghasilkan satu rekomendasi yang legitimate ? Demikian juga dengan pelaksanaan revisi rencana tata ruang, pertanyaan mengenai metodologi dan berlanjut pada hasil updating rencana tata ruang yang seperti apa dapat dinilai sebagai hasil yang benar ?

5 Pasal 16 ayat 2, UU 26-07 6 Pasal 26 ayat 5 “ Rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

Page 9: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 9

Penilaian penyimpangan tata

ruang yang hanya di dasarkan atas letak geografisnya ,tanpa

kejelasan apakah menimbulkan gangguan lingkungan atau tidak, cenderung tdk objective

c. Pemikiran alternativ yang dapat dikembangkan

Dalam upaya mengembangkan diskursus ini, selanjutnya dibawah ini dicoba untuk diurai satu persatu pertanyaan diatas.

Saat atau waktu yang tepat untuk melakukan peninjauan kembali : Secara konsepsi dan tertuang dalam pasal UU 26-07, ada satu keharusan untuk meninjau kembali produk Rencana tata ruang yang ada, minimal sekali dalam 5 (lima) tahun. Dapat diperkirakan bahwa, saat yang tepat untuk dilakukan adalah apabila sudah terjadi banyak ketidak sesuaian antara pelaksanaan pembangunan yang ada di bandingkan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Rencana tata Ruang yang ada. Sekali lagi, ukuran banyak penyimpangan disini masih perlu dikuantifikasi sehingga tidak menimbulkan persoalan yang lain.

Metode penilaian penyimpangan tata ruang Pelaksanaan penilaian penyimpangan satu rencana tata ruang dalam konteks ini dapat dipergunakan untuk kedua kegiatan baik peninjauan kembali maupun revisi, meskipun masih dapat diperdebatkan mengenai tingkat kedalamannya. Akan tetapi ada hal mendasar yang dapat dirampatkan (di generalisir) diantara keduanya. Rationalitas yang ada adalah : Perbedaan antara pelaksanaan pembangunan yang terjadi

dilapangan, di bandingkan (overlay kan) dengan peta peruntukkan tanah yang ditentukan dalam rencana tata ruang, akan mengindikasikan adanya penyimpangan. Seberapapun penyimpangan yang terjadi, sebenarnya hal ini hanyalah indikasi penampakkan luar dan bukan hal yang essential

Pengaturan penggunaan tanah pada dasarnya melibatkan banyak variabel , yang meliputi pertimbangan, setidaknya :

b. hubungan interaksi fungsional antar kegiatan yang ada c. kesesuaian antara teknologi yang mungkin digunakan dengan

kemampuan tanah d. ketersediaan tanah, status maupun pemanfaatanya e. kesesuaian dengan morphologi (ketinggian dan kemiringan tanah) dan status rawan bencana

Apabila pengaturan rencana penggunaan tanah dalam rencana tata ruang ditetetapkan tanpa mempertimbangkan variable dan gabunganya, dapat dikatakan bahwa penetapan rencana peruntukkan tanah tersebut kurang objective, atau dengan kata lain kejelasan alasan penetapan rencana kurang dapat dimengerti oleh banyak pihak.

Didasarkan atas pemahaman dan rationalitas diatas, maka kritik yang dapat disampaikan untuk kegiatan peninjauan kembali dan terutama revisi rencana tata ruang adalah : perlu ada kesepakatan yang objective mengenai kriteria dan atau alat analisis yang digunakan untuk melakukan penilaian penyimpangan tersebut diatas.

Alternativ pemikiran yang dapat disampaikan terkait dengan persoalan peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang disini adalah :

a. ukuran penyimpangan seyogyanya bukan penyimpangan terhadap peta tata ruang yang ada, tetapi lebih kepada sesuai atau tidaknya kegiatan

Page 10: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 10

Pelaku pelaku yang berkuajibana untuk

mewujudkan rencana tata ruang bukan hanya masyarakat tetapi juga pemerintah (daerah)

melalui kegiatan pembangunan yg

didanai lewat apbn/apbd

pembangunan yang ada dengan kriteria lingkungan yang harus diterapkan di lingkungan terkait

b. Untuk itu, jelas metode dalam penyusunan rencana tata ruang sejak dini sudah harus mengakomodasi atau mempertimbangkan adanya penetapan kriteria lingkungan7

Program Pemanfaatan Ruang Pengalaman masa lalu keberadaan Rencana Tata Ruang lebih dimaknakan sebagai alat untuk memberi koridor bagi pelaksanaan pembangunan yang akan dilaksanakan oleh masyarakat. Pemahaman akan diatas adalah bahwa instrumen Tata Ruang akan dijadikan alat kendali dalam proses perijinan permohonan setiap rencana pelaksanaan kegiatan pembangunan oleh masyrakat. Dengan demikian, penekanan upaya pemaanfaatan rencana tata ruang menjadi bermakna sebagai alat yang akan digunakan bila ada permohonan perijinan, yang selanjutnya dapat disebut sebagai bersifat reaktif. Dalam peraturan baru (UU yang ada), terlihat bahwa upaya merealisasikan rencana tata ruang tidak lagi hanya bergantung pada permohonan yang akan diajukan oleh masyarakat, tetapi juga lebih proaktif, yakni berlaku juga pada proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang menggunakan anggaran public (apbn, apbd).

di tiap unit perencanaan yang ada.

Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 32 (ayat1) yang menyebutkan : Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaanya, dan diperkuat juga dengan Pasal 34 (ayat1) : yang menyebutkan Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten / kota dilakukan : (a) Permusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana kawasan strategis (b) Perwujudan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis, dan (c) Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis.

Setidaknya, pengertian dari pasal-pasal diatas dapat disimpulkan bahwa, melalui Undang Undang baru ini, sudah selayaknya rencana tata ruang yang disepakati akan menjadi tanggung jawab pihak pemerintah, termasuk juga dalam mewujudkanya. Keseluruhan SKPD yang ada di satu daerah perlu menjadikan dokumen rencana tata ruang yang ada menjadi pedoman untuk penyusunan berbagai dokumen perencanaan pembangunan yang berlaku di daerah (RPJPD, RPJMD yang selanjutnya berujung pada Renja SKPD)8

7 Penerapan criteria lingkungan dalam rencana tata ruang disni , saat ini belum diatur dalam UU 26 -07, tetapi merupakan satu tawaran untuk lebih merasionalkan keberadaan produk rencana tata ruang. Setidaknya, terkait dengan upaya untuk mehgamankan lingkungan, upaya analisis tata ruang haruslah mengenali karakteristik tiap lingkungan dan selanjutnya menetapkan ukuran lingkungan yang akan dicapai di masa depan untuk menciptakan lingkungan yang lestari (sustainable environment) 8 UU-26-07, Pasal 20 ayat 2, Pasal 19 ayat 2, dan intepretasinya.

Page 11: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 11

Peraturan zonasi selayaknya difungsikan

sebagai penjabaran lebih rinci dari rtrw yang mengkaitkan persyaratan untuk

penyelematan lingkungan dengan satu perijinan pembangunan

Pengendalian pemanfaatan ruang Sebagai satu instrument kendali, satu rencana tata ruang yang akan dipergunakan sebagai pedoman dalam setiap pemberian perijinan pembangunan khususnya yang diajukan pihak masyarakat (termasuk swasta), akan menghadapi persoalan yang sama dan terulang kembali seperti masa lalu, apabila instrument ini hanya mengandalkan peta zonasi yang sebagai dasar perijinan. Dalam Undang-undang yang baru, upaya untuk menghindari ketidak efektivan seperti masa lalu telah disediakan adanya tambahan instrumen yang berupa (a) penetapan peraturan zonasi, (b) perijinan, (c) insentif dan disintensif dan (d) pengenaan sanksi Peraturan Zonasi Apabila didasarkan hanya pada apa tertuang dalam pasal – pasal yang ada dalam Undang-Undang ini, maka yang dimaksud dengan peraturan zonasi tidak lebih adalah satu peta rencana tata ruang detil / rinci (lihat penjelasan pasal 36) Secara mendasar, hal diatas dirasakan masih jauh dari memadai. Artinya, selayaknya dalam mengartikan peraturan zonasi disini mempunyai ukuran yang lebih objectiv . Yakni satu ukuran yang dapat dipahami kebenaran dan kemanfaatanya oleh semua pihak, termasuk masyarakat yang mau mengajukan permohonan ijin pembangunan. Hal ini penting karena, selama ini yang diartikan sebagai zonasi adalah satu rencana peruntukkan tanah yang sudah di disain secara lebih akurat dengan ukuran geometrik dan kepastian peruntukkan yang lebih pasti. Kondisi ini jelas masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan bagi masyarakat, manakala terjadi penolakan atas permohonanya oleh pemerintah. Apabila rencana penggunaan tanah yang ditetapkan dalam rencana tata ruang disini tidak dilandasi oleh suatu tujuan yang jelas dikaitkan dengan kondisi lingkungan yang diharapkan, maka wujud penolakan yang terjadi diatas adalah wujud penolakan yang sangat rawan terhadap putusan yang sifatnya spekulatif, kurang dapat diterima dengan akal sehat / rational. Atas dasar gambaran diatas, dengan tujuan agar instrument rencana tata ruang yang dihasilkan dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai instrumen kendali (pengelolaan) ruang, memerlukan beberapa penambahan untuk pemberdayaanya. Untuk kepentingan ini, beberapa hal yang perlu ditambahkan dalam kaitanya dengan peraturan zonasi disini setidaknya : - Setiap perumusan rencana tata ruang harus didasari atas satu tujuan yang jelas dan

terukur. Untuk merumuskan tujuan diatas, pedoman dasar yang harus di gunakan adalah rumusan pada pasal 3 , yakni o keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan o keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan

dengan memperhatikan sumber daya manusia o perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative terhadap

lingkungan akibat pemanfaatan ruang.”

Page 12: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 12

Gambar : Ilustrasi Peran Tata Ruang dalam pengelolaan kualitas lingkungan Perumusan rencana tata ruang diatas selanjutnya di refleksikan dalam bentuk kriteria lingkungan yang harus dijadikan prasyarat dasar bagi setiap perijinan yang akan ada di kawasan terkait. Dengan demikian, setiap perijinan permohonan pembangunan yang diberikan akan mengandung daftar persyaratan yang harus dilaksanakan dalam mewujudkan permohonan yang diajukan. Wujud persyaratan diatas dapat berupa (misalnya) : • Untuk menghindari berkurangnya pasokan air tanah untuk kepentingan

domestic, tidak diijinkan untuk memanfaatkan air tanah untuk kepentingan operasional sehari-hari dengan kapasitas yg besar dari kegiatan usaha yang diajukan. • Untuk menjaga kualitas udara, tidak diijinkan untuk mengurangi ruang terbuka yang ada saat ini dan diwajibkan untuk mendirikan bangunan maksimal 60 % dari luas tanah keseluruhan. • Dan lainnya, tergantung karakteristik lingkungan yang ingin dipertahankan, dan diperbaiki terkait dengan tujuan akhir penyelamatan lingkungan.

Pemberian insentif dan disinsentif Sesuai dengan penjelasan yang ada, pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah daerah. Wujud dari insentif disini dapat berupa keringanan pajak, pengadaan prasarana dan sarana, pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perijinan hingga pemberian penghargaan. Kesemua diatas dilakukan dengan tujuan agar pemanfaatan ruang yang ada dapat dijaga untuk tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang ada. Identik dengan beberapa persoalan sebelumnya, maka ukuran sesuai dengan rencana tata ruang disini perlu ada klarifikasi lebih lanjut. Apakah suatu Rencana tata ruang Provinsi atau Kabupaten dapat dipergunakan untuk mengukur kesesuaian disini ?

Page 13: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 13

Pemberian insentif dan diinsentif yang di

fokuskan pada kegiatan yang sudah terjadi,

memerlukan satu upaya yang besar pada pelaksanaan law

enforcement

Formula insentif dirumuskan sebelum

kejadian permohonan, atau

setelah terjadi penyimpangan

rencana, mempunyai implikasi yang

Apabila terjadi ketidak sesuaian, dimanakah titik berat analisisnya ? Apakah melihat pada dokumen permohonannya, atau melihat kembali pada validitas dan atau ketepatan metode yang digunakan ? Ragam pertanyaan diatas, pada dasarnya adalah pertanyaan yang sangat mendasar bagi seluruh pihak, sehingga dengan demikian , pengadaan insentiv juga akan memberi manfaat nyata bagi masyarakat banyak. (tidak hanya kepada si pemohon , tetapi masyarakat banyak juga mendapatkan keuntungan dengan tidak rusaknya lingkungan). Pertanyaanya....bisakah hal ini terjadi ? Persoalan lain, adalah bahwa untuk melaksanakan semangat insentif dan disinsentif ini, hanya bertumpu pada dokumen Rencana Tata Ruang saja, jelas tidak mungkin. Hal ini dikarenakan karena berbagai bentuk insentif diatas tidak dengan sendirinya dapat diberikan maupun dijanjikan dengan mudah. Pemberian insentif yang berupa keringanan pajak misalnya, dalam operasionalnya apakah kebijakan keringanan pajak disini sudah dirumuskan terlebih dahulu sebelum permohonan perijinan pembangunan dilakukan atau sebaliknya ? Melalui logika dasar, apabila pola insentif ini akan diberlakukan, maka target groupnya bersifat tertentu dan bukan kolektiv. Arti lebih lanjut adalah bahwa perlakukan pola insentif dan atau disinsentif disini berlaku kasus demi kasus. Persoalan yang ada adalah mungkinkah hal tersebut dilaksanakan ? Satu kebijakan bidang pajak dimunculkan hanya untuk kepentingan satu atau dua kasus saja ? Disisi lain, apabila pemberian insentif dan disinsentif disini dilakukan pada perijinan yang sudah diberikan atau penggunaan tanah yang sudah terjadi, jelas menjadi lebih tidak rational. Secara umum, apabila instrument kebijakan ini diterapkan dapat dikatakan tidak cukup efektiv untuk menghindari terjadinya penyimpangan rencana tata ruang, tetapi lebih sebagai instrument untuk membangun kesadaran masyarakat akan manfaat dan konsekwensi yang akan diterima bila melakukan kegiatan pembangunan yang menyimpang dari rencana tata ruang. Dan operasionalisasinya menjadi pertanyaan besar . Pemberian sanksi Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan ijin maupun yang tidak memiliki ijin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara dan atau sanksi pidana denda9

9 Penjelasan pasal demi pasal untuk pasal Umum butir 7.

. Pada masa lalu, melalui pelaksanaan UU 24/92 beserta Perda yang mengikutinya juga selalu ada sanksi, khususnya kepada pihak manapun yang melanggar ketentuan Perda (peraturan daerah) sebagai satu produk kebijakan publik. Pada saat satu produk renncana tata ruang di Perda-kan, maka keseluruhan kebijakan (ruang) yang ada dalam rencana tata ruang nya akan mengikat semua pihak. Dan faktanya, clausul sanksi disini menjadi tidak efektiv. Pada saat opsi ini dijadikan salah satu instrumen pengendalian rencana tata ruang, persoalan yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana mengefektivkanya ?

Page 14: Kritik Kecil UU2607-Guritno Soerjodibroto

file : guritno.s / tata ruang / 06/07 14

Apabila melihat pada pengertian seperti diuraikan diatas, maka sanksi akan dikenakan pada pihak-pihak yang telah memanfaatkan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam rencana tata ruang. Terhadap hal ini dapat ditelaah sebagai berikut :

a. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang faktanya adalah satu kegiatan yang sudah ada / sudah terjadi.

b. Satu kegiatan yang sudah terjadi adalah kegiatan yang sudah mendapatkan ijin dari pemerintah, kecuali liar.

c. Sanksi yang akan dikenakan disini adalah bukan kepada pihak pengguna atau yang memanfaatkan ruang, tetapi kepada pemberi ijin yaitu pemerintah, kecuali pemanfaatan ruang yang ada tidak mempunyai ijin.

Atas dasar keadaan diatas, maka relatif identik dengan pembahasan insentif dan disinsentif diatas, bahwa instrumen sanksi juga bukan instrumen yang akan menjadi instrumen yang effektif dalam menghindari terjadinya penyimpangan rencana tata ruang. Penutup

Pembahasan mengenai dokumen rencana tata ruang selayaknya sejak awal sudah diketahui tujuannya, dimana tujuan tersebut mempunyai tingkat kedalaman yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatan rencana tata ruang yang ada.

Tanpa ada kejelasan tujuan, maka tidak akan pernah ada ukuran objective mengenai benar atau tidaknya satu kebijakan / rencana tata ruang. Dan bila hal ini terjadi maka keseluruhan upaya untuk pengaturan ruang disini relativ akan menjadi hal yang tidak efektiv, termasuk didalamnya penerapan sanksi, penerapan disinsentif/insentif dan sejenisnya.

Hal diatas juga akan berlaku pada pelaksanaan peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang; Sepanjang ukuran penyimpangan satu rencana tata ruang tidak diketahui parameternya, dapat dipastikan bahwa tindak lanjut dari rekomendasi yang dihasilkan tidak akan membawa hasil yang efektiv.

Kebutuhan akan adanya kelembagaan penyelenggara berbagai opsi instrumen yang ditawarkan dalam undang-undang baru perlu diantisipasi apakah dibebankan sebagai peran dan tangung jawab tambahan kepada BKPRD (badan koordinasi penataan ruang daerah) atau dikembangkan satu lembaga baru yang merupakan gabungan dari penyelenggara yang terkait dengan perijinan pembangunan.

Perlu dikembangkan lebih lanjut mengenai kejelasan tujuan tata ruang seperti tertuang dalam Undang-Undang baru hingga sampai pada indikator teknisnya, sehingga akan dapat dibedakan dengan masa lalu dimana satu dokumen tata ruang tidak pernah ada ukuran salah atau tidaknya, karena ketiadaan indikator tujuan diatas.

Instrumen pengendalian baru yang dikenalkan dalam Undang-Undang ini masih menuntut adanya penelitian lebih lanjut sebelum terbangun satu opini yang sangat yakin terhadap keampuhannya.