27178109 muhammad arkoun kritik terhadap kritik nalar islam arkoun

24
1 Kritik Terhadap ‘Kritik Nalar Islam’ Arkoun Oleh: Irwan Malik Marpaung Prolog Epistemologi 1 menempati posisi penting dalam dunia pemikiran, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lainnya. Epistemologi adalah produk langsung dari worldview 2 yang dimilikinya. Dalam hal ini E.G Guba dan Y.S. Lincoln menyatakan bahwa: “the basic belief system or worldview guides not only in choices of method but in ontologically and epistemologically fundamental ways.” Pernyataan ini sebenarnya mengungkap rahasia mengapa ilmu itu value laden atau tidak bebas nilai. 3 Dalam Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen 1 Epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu yang berbicara tentang metode untuk memperoleh dan menyusun struktur bangunan ilmu, atau struktur nalar yang membentuk ilmu. 2 Secara awam worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview masing-masing. Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka spektrum maknanya dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 10-20., Prof. Alparslan mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup. (the foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Alparslan Acikgence, "The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6). Dari definisi di atas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah identitas untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Dan dapat kita mengerti bahwa worldview melibatkan aktifitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam aktifitas penalaran manusia. 3 Al-Attas, Risalah Kaum Muslimin, International Institute of Islamic Thought and Civilization, 2000, hal. 49-50.

Upload: doddie-yulianto

Post on 21-Jan-2016

273 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

telaah pemikiran arkoun

TRANSCRIPT

Page 1: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

1

Kritik Terhadap ‘Kritik Nalar Islam’ Arkoun

Oleh: Irwan Malik Marpaung

Prolog

Epistemologi1 menempati posisi penting dalam dunia pemikiran, sebab ia

menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya.

Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lainnya.

Epistemologi adalah produk langsung dari worldview2 yang dimilikinya. Dalam

hal ini E.G Guba dan Y.S. Lincoln menyatakan bahwa: “the basic belief system or

worldview guides not only in choices of method but in ontologically and

epistemologically fundamental ways.” Pernyataan ini sebenarnya mengungkap

rahasia mengapa ilmu itu value laden atau tidak bebas nilai.3 Dalam Islam,

epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah

terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi. Ini

berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh)

terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen

1 Epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu yang berbicara tentang metode untuk memperoleh dan menyusun struktur bangunan ilmu, atau struktur nalar yang membentuk ilmu.

2 Secara awam worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview masing-masing. Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka spektrum maknanya dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 10-20., Prof. Alparslan mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup. (the foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Alparslan Acikgence, "The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6). Dari definisi di atas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah identitas untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Dan dapat kita mengerti bahwa worldview melibatkan aktifitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam aktifitas penalaran manusia.

3 Al-Attas, Risalah Kaum Muslimin, International Institute of Islamic Thought and Civilization, 2000, hal. 49-50.

Page 2: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

2

(thawabit), dinamis (mutaghoyyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar

(mutasyabih), yang asasi (ushul) dan yang tidak (furu’).4

Sehubungan dengan masalah ini, berikut ini akan dibahas epistemologi

yang digagas oleh Muhammad Arkoun, seorang cendikiawan Muslim asal

Aljazair yang kini banyak dirujuk oleh cendikiawan Muslim Indonesia. Ia dikenal

karena kritiknya atas bangunan epistemologi yang telah terbangun dalam tradisi

intelektual Islam. Menurutnya masyarakat Muslim dewasa ini telah dikuasai oleh

nalar Islami yang memiliki karakter logosentrism5 dengan ruang perkembangan

yang sangat sempit, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena

itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi ummat Muslim kontemporer.

Dari kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya

yang bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada

intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri). Pertama, melakukan klarifikasi

historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara

benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai sistem

semiologis yang merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah manusia, di

samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi

tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi

dan heterodoksi dan sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat,

memperjuangkan suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada

gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid.

4 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 9. Dengan kata lain, dalam epistemologi Islam, wahyu menempati hirarki tertinggi dalam sumber kebenaran, sedangkan dalam epistemologi Barat wahyu tidak memiliki tempat sebagai sumber kebenaran.

5 Mohammed Arkoun, “Logocentrisme et verite religieuse dans la pensee Islamique” dalam Studia Islamica XXXV, Paris, 1972, hlm. 12-15, yang dikutip dalam Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 38.

Page 3: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

3

Muhammad Arkoun dan Gerakannya

Muhammad Arkoun adalah seorang pemikir terkenal di hadapan

intelektual yang concern dengan pemikiran dan kajian tradisi di dunia Arab.6

Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 19287 dikeluarga biasa di

perkampungan Berber yang berada di sebuah desa di kaki-gunung Taorirt-

Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarganya berada pada strata

fisik dan sosial yang rendah (ibunya buta huruf)8 dengan bahasa Kabilia Berber

sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair.9 Pendidikan

dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah

menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat,

yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra

Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah

Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota

Aljazair.10

Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun

melanjutkan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne,

Paris.11 Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan

Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah

Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra

Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai

dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia

menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut.

Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis

6 Ali Harb, Naqd al-Nash, al-Markaj al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, cet. IV 2005, hal. 88 7 Fedwa Malti Douglas, “Arkoun, Mohammed” dalam John L. Esposito (editor), The

Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, vol. 2 (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 139.

8 Robert D. Lee, “Foreword” dalam Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answers (Ouvertures sur l’Islam), Robert D. Lee (editor dan translator) (Oxford: Westview Press, 1994), hlm. viii.

9 Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 14 dan 16.

10 Ibid., hlm. 15. 11 Ibid., dan Douglas, “Arkoun… ”, dalam Esposito (editor), The Oxford… , hlm. 139.

Page 4: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

4

Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad 10 M yang

menekuni kedokteran dan filsafat.12 Semenjak menjadi dosen di Universitas

Sorbonne tersebut, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya

yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu

bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan

Perancis.13

Karya-karya Muhammad Arkoun

Sebagai ilmuwan yang produktif, Arkoun telah menulis banyak buku dan

artikel di sejumlah jurnal terkemuka seperti Arabica (Leiden/Paris), Studia

Islamica (Paris), Islamo-Christiana (Vatican), Diogene (Paris), Maghreb-Machreq

(Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta), di beberapa buku dan ensiklopedi. Arkoun juga

menerbitkan beberapa kumpulan makalah dan karya bersama yang dilakukan

dengan cendekiawan lain. Beberapa karya Arkoun yang penting adalah, Traite

d’ethique (tradution francaise avec introduction et notes du Tahdhib al-Akhlaq)

(sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari Tahdzib al-Akhlaq

Miskawaih), Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siecle:

Miskawayh philosophe et historien (sumbangan terhadap pembahasan humanisme

Arab abad IV H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La pensee

arabe (pemikiran Arab), dan Ouvertures sur l’islam (catatan-catatan pengantar

untuk memahami Islam). Buku-buku Arkoun yang merupakan kumpulan

artikelnya di beberapa jurnal antara lain adalah Essais sur la pensee islamique

(Esai-esai tentang pemikiran Islam), Lectures du Coran (Pembacaan-pembacaan

Alqur’an), dan Pour une critique de la raison islamique (Demi kritik nalar

islami). Buku-bukunya yang lain adalah Aspects de la pensee musulmane

12 Disertasinya diterbitkan dengan judul Traite d’ethique (tradution francaise avec introduction et notes du Tahdib al-Akhlaq de Miskawayh) (Damas: Institut francais de Damas, 1969) dan Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siecle: Miskawayh philosophe et hostorien (Paris: Vrin, 1982), lihat Johan Hendrik Meuleman, “Semiotika dan Batas Semiotika Dalam Ilmu Agama: Studi Kasus Tentang Pemikiran Mohammed Arkoun”, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, cet. II (Yogyakarta: LkiS, 1996), hlm. 40.

13 Meuleman, “Semiotika… ” dalam Meuleman, Tradisi… , hlm. 40.

Page 5: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

5

calssique (Aspek-aspek pemikiran Islam klasik), Deux Epitres de Miskawayh

(Dua surat Miskawaih), Discours coranique et pensee scientifique (Wacana-

wacana al-Qur’an dan pemikiran ilmiah), L’islam, hier, demain (Islam, kemarin

dan esok, karya bersama Louis Gardet), dan L’islam, religion et societe (Islam,

agama dan masyarakat). Selain itu, masih banyak lagi beberapa karya lainnya

yang belum diterbitkan, di samping beberapa artikel penting, seperti pada

Encyclopaedia Universalis dalam entri “Islam, les expression de l’islam”,

“Rethinking Islam Today” dalam buku Liberal Islam: A Source Book, “History as

an Ideology of Legitimation: A Comparative Approach in Islamic and Eurepan

Contexts” dalam buku Islam, Modernism and the West dan sebagainya.

Karya-karya Arkoun tersebut, kalau dicermati ternyata banyak diilhami

oleh ilmuwan-ilmuwan Perancis seperti Paul Ricoeur, Michel Fouchault, Jack

Derrida, Roland Barthes, dan Piere Bourdieu. Di samping itu, juga oleh ahli

bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure, antropolog Inggris, Jack Goody, ahli sastra

Kanada, Northtrop Frye, dan sebagainya. Pengaruh pengaruh tersebut tampak

misalnya pada anggitan tentang myth14 dan imaginaire social15 dari Ricoeur,

episteme, discours dan archeology dari Foucault16, signifiant dan signifie dari de

Saussure17, deconstruction, unthought (l’impense), unthinkable (l’impensable) dan

thinkable (le pense) dari Derrida18 dan sebagainya. Arkoun terus mencoba

pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum Muslim dengan

14 Myth adalah sejenis simbol yang diungkapkan dalam kisah, simbol adalah sejenis tanda yang mempunyai rujukan ganda (salah satunya kepada dirinya), dan tanda (sign) adalah segala sesuatu yang menunjuk di luar dirinya sendiri, lihat St. Sunardi, “Membaca Qur’an Bersama Mohammed Arkoun” dalam Meuleman, Tradisi… , hlm. 81.

15 Imaginaire Social adalah kumpulan dari gambaran-gambaran moral dan esensial yang menimbulkan kekuatan dari dalam yang dimiliki oleh setiap komunitas, lihat Mohammed Arkoun, al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, Hasyim Shalih (penterjemah), (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1987), hlm. 21.

16 Episteme adalah sistem pemikiran yang digunakan oleh manusia sebagai cara unrtuk menangkap (memandang dan memahami) kenyataan, Discours adalah cara manusia membicarakan kenyataan, dan archeology adalah usaha untuk menggali berbagai kaidah episteme yang menentukan suatu periode tertentu, lihat Putro, Mohammed Arkoun… , hlm. 22.

17 Signifiant (penanda) adalah sesuatu yang merujuk atau yang menandai, signifie (petanda) adalah sesuatu yang dirujuk atau ditandai, lihat Ibid., hlm. 22-23.

18 Deconstruction adalah pembongkaran, yaitu suatu upaya kritik dari dalam untuk mengungkap aneka ragam aturan yang sebelumnya tidak tampak dan tidak dikatakan dalam teks, l’impense adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan, l’impensable adalah sesuatu yang tidak mungkin terpikirkan, dan le pense adalah sesuatu yang dapat dipikirkan, lihat Ibid., hlm. 23.

Page 6: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

6

menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat modern.

Dengan begitu, Arkoun berharap akan muncul suatu pemikiran yang bisa

memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim

akhir-akhir ini dan dapat membebaskannya dari belenggu yang mereka buat

sendiri.19

Metodologi dan Landasan Epitemologi Gagasan Arkoun

Sebagaimana banyak intelektual, baik Muslim dan nonmuslim yang

belajar di Prancis, Arkoun memiliki kecenderungan berpikir yang terbilang rumit.

Perpaduan dari berbagai jenis perkembangan wacana ilmu yang digandrungi di

sana, seperti Derrida (Dekonstruksi-grammatologi), Lacan (psikologi), Barthes

(semiologi), Foucault (epistemologi), Poststrukturalisme ala Saussure (linguistik),

Levi Strauss (antropologi), Politik (Voltaire), Eksistensialisme (Nietzche dan

Sartre), Rasionalisme (Descartes), juga ilmu-ilmu arkeologi-sosial-sejarah

Mazhab Analle20 Prancis. Arkoun tidak sendirian dalam hal ini. Salah seorangnya

ada juga ideolog Mesir kenamaan, Hassan Hanafi, yang menggoncang gairah

pemikiran Islam dengan teori Islam Kirinya. Arkoun banyak meminjam konsep-

konsep kaum poststrukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah

kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi,

mitos, logosentrisme, yang tak terpikir dan dipikirkan, parole21, aktant dan lain-

19 Arkoun, “Introduction” dalam Arkoun, Pour une critique de la raison islamique, hlm. 38, yang dikutip dalam Ibid., hlm. 23-24.

20 Mazhab Analle adalah Pengkajian sejarah yang tidak hanya menitik beratkan pada sejarah politik dan sejarah orang-orang besar/terkenal saja. “sejarah yang lebih luas dan lebih manusiawi”, suatu sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan kurang berminat kepada penceritaan kejadian dibanding kepada analisis struktur (Burke, 2001: 22). Itulah madzab Annales yang telah meletakkan tonggak baru pengkajian sejarah jenis baru. Misalnya, para sejarawan Perancis mulai akrab dengan penggunaan konsep-konsep ilmu sosial lain di luar sejarah, termasuk psikologi, demografi, sosiologi, dan geologi. Kadang-kadang cara kerja sejarawan diandaikan seperti seorang geolog yang sedang menggali lapisan bumi, dimulai dari lapisan atas untuk menemukan isi paling dalam lapisan bumi itu (dalam kasus penelitian sejarah kebudayaan berarti ingin menemukan fakta mental). Karya Braudel tentang dunia Laut Tengah atau karya Dennys Lombard tentang Silang Budaya yang terjadi di Nusa Jawa dapat dijadikan contoh mengenai model pengkajian dan penulisan sejarah yang dikembangkan oleh madzab Analles itu.

21 Istilah parole dan langue dipinjam dari Bapak perintis semiotika dari Swis (1857-1713). Dalam seluruh gejala kebahasaan—ia menyebutnya langage—perlu dibedakan dua segi: sistem

Page 7: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

7

lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah

pergulatannya dengan post-strukturalisme.

Pembacaan Arkoun yang paling menonjol dalam mendekati turats Islam

sebagai berikut: historis dan antropologis (humainora), linguistis, semiotika dan

sastra, tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir ideologi-teologis keimanan serta

segenap perangkat metodologi anyar.22 Dalam menerapkannya ia tidak pernah

setia pada satu metodologi tertentu melainkan dengan aproach secara inter

disipliner (tadakhûl mutaadidah al-ikhtishasât). Atinya ia menggunakan prinsip

eklektik ketimbang selektif pada suatu mazhab/metodologis. Dengan metode asal

comot ini, praktis ia tidak mempedulikan perang kritik antar satu metode dengan

metode lainnya atau mazhab strukturalis dengan post-strukturalis. Kalangan

strukturalis, umpamanya, sangat kritis terhadap empirisme dan positivisme,

bahkan, dengan “keimanannya” terhadap realitas semata, akan melabrak entitas

metafisik yang didaku oleh mazhab post-strukturalis. Begitu juga kritik balik post-

strukturalis terhadap strukturalis yang terlalu mendewakan akal dan realita. Sebab

bagi mazhab strukturalis hakikat tidak tersimpan di balik kenyataan. Kenyataanlah

hakikat sebenarnya, jadinya yang ada pada alam semesta merupakan fenomena

dan bukan nomena: suatu yang tersimpan di balik prase “fe”; realita-realita

gugusan penampakan. Arkoun tampak tidak peduli dengan perdebatan dikotomik

ini. Baginya, selagi masih didamaikan dan dimanfaatkan, maka tidak ada masalah.

Ia tampak terbuai oleh aliran strukturalis yang menekankan kesejarahan makna

kebenaran serta kognitas suatu pemikiran pada komunitas sosial atau budaya

kebahasaan yang disebutnya sebagai langue dan pemakaian bahasa dalam ungkapan-ungkapan nyata yang disebutnya sebagai parole. Dengan kata lain, parole adalah penggunaan bahasa secara individual.Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur dari “kamus” umum (langue) tersebut. Menurut St. sunardi, secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi, tetapi sekaligus juga saling tergantung. Itu berarti bahwa tidak ada yang lebih utama. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, dan di lain pihak pemahaman parole serta pengungkapannya hanya mungkin lewat dan dalam langue sebagai sistem. Lihat St. Sunardi, Op. Cit., h. 65., dan Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup…”, Op. Cit, h. 14

22 Muhamad Arkoun, op.cit, hal. 39. lihat juga, beberapa kitabnya yang membahas khusus tentang urgensitas ilmu humainora: Naj’ah al-Ansanah fi Fikr al-Arabi, Dar al-Saqi, cet. II. 2006, hal. 24, al-Fikr al-Islami: Qira`ah ‘Ilmiyyah, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet, III, 1996, hal. 87, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalah al-Ta`shil: Nahwa Tarikh Akhar li al-Fikr al-Islami, Dar al-Saqi, cet. II, 2007, hal. 295

Page 8: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

8

tertentu. Karenanya ia menganut humanisme strukturalis Levi Staruss, di mana

menekankan pentingnya perilaku serta tindak tanduk individual dan sosial sebagai

landasan bagi terbukanya akses makna kebenaran dan moralitas religius yang

dianut dan dicita-citakannya: kebebasan nalar intelektual.

Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu

sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis. Ia

menekankan pentingnya metode historisisme tidak lain untuk membangun suatu

penyejarahan baru yang tidak sesuai dengan model sejarah dominan saat ini: sarat

aura dogmatis dan ortodoks. Karenanya ia mulai membangun dengan

memanfaatkan segala perangkat metodologi Barat sebagai upaya menerjemahkan

Islam secara fundamental. Baik dalam sejarah pemikiran Islam maupun dalam

pembacaan ulang al-Qur’an. Ia mengandaikan pembaharuan secara totalitas:

teologi ketuhanan, teologi pewahyuan, teologi sejarah pemikiran, teologi etika dan

filsafat. Ia ingin membuang bentuk-bentuk pranata keagamaan yang menurutnya

tidak lain merupakan tahayul masyarakat semata (mikhyâl al-mujtama’) yang

kemudian diyakini menjadi bagian dari praktik keagamaan dan disakralkan

terkemudian. Menurutnya, agama telah terkontaminasi oleh budaya-budaya yang

sebetulnya itu bukan dari ajaran murni agama sendiri. Sebab ia membedakan

Islam Asli (Islam al-Asîl) dan Islam Lokal (Islam al-Mujtama’) di mana agama

telah berakulturasi dan menjelma menjadi Islam Lokal. Sehingga pada tahap

tertentu, bukan lagi sebagai representasi agama murni –akibat terkontaminasi oleh

budaya cetakan lokal yang penuh muatan mitos dan mistis.23

Arkoun menginginkan ada upaya purifikasi serta pembersihan secara

besar-besaran dengan mendekonstruksi nalar dogmatis masa lampau yang

menghegemonik hingga kini. Langkahnya tidak main-main. Untuk merealisasikan

ia menggagas Islam Aplikatif (Islamologie Appliquee) guna membangun proyek

Kritik nalar Islam (Critique de la Raison Islamique) terhadap turast Islam sebagai

obyek kajian terbesarnya. Dalam persepsinya turats tidak hanya khazanah masa

lalu hasil dari produksi para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an dan Hadits

23 Muhamad Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikri al-Arabiy al-Islâmiy, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. II, 1996, hal. 31

Page 9: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

9

dalam berbagai disiplin ilmu. Melainkan juga al-Qur’an sendiri. Arkoun membagi

turats menjadi dua kategori. Pertama, teks primer, yaitu al-Qur’an. Kedua, teks

sekunder, yaitu seluruh teks yang mengabdi pada al-Qur’an. Tak heran jika

garapannya yang paling ditekankan adalah pembacaan ulang al-Qur’an sebab ia

merupakan piranti dalam yang paling mendasar atas segalanya; dari sanalah mulai

lahir turats Islam secara umum, sehingga, untuk menggarap ulang, harus dari sana

pula memulainya agar kran akal Islam yang tertutup bisa terbuka kembali. Salah

satunya adalah kampanye membuka workshop studi-studi al-Qur’an.24

Dalam kajian antropologi, Arkoun begitu terpengeruh oleh pemikir Levi

Strauss yang memiliki spesifikasi dalam menyingkap mitologi yang dibentuk

oleh budaya masyarakat tertentu. Dimana segala bentukan budaya sebetulya tidak

akan lepas dari tarik-ulur masa lalu.25 Ia mendeteksi bahwa bahasa merupakan

jalan menuju cakrawala pembacaan baru dan sebagai acuan analisa antropologi

suatu masyarakat dan (bahkan) segala bentuk pengetahuan ciptaan masyarakat.

Strauss agaknya terpengaruh oleh Lacan26, seorang psikologi-strukturalis penerus

Frued, dimana keduanya memiliki kesamaan dalam dua konstruksi pinggiran:

pertama, mitologi masa lalu. Kedua, sejarah pemikiran.27 Kecenderungan wacana

pinggiran biasanya akan tetap survive, tidak berada di bawah payung kekuasaan-

politik. Artinya tidak ada sokongan dari luar melainkan dari watak diri

pengetahuan tersebut.28 Ini artinya pengetahuan atau mitos tidak selalu

memerlukan kekuasaan politik, sebab pada dasarnya, kekuasaan politik hanyalah

faktor penyambung atau alat hegemonik pengetahuan. Tentunya hipotesa ini

sesuai dengan adagium: pengetahuan adalah kekuasaan (knowlodge is power)

sebab ia akan mengeluarkan semacam energi kuasa bagi dirinya sendiri yang

suatu saat bisa berpotensi di(muncul)kan –sekalipun disumbat oleh rezim

24 Muhamad Arkoun, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Nafhamu al-Islam al-Yawm?, Dar al-Thali’ah, cet. III, hal. 58

25 Ideas Cresol, Ushr al-Binyawiyah, Dar al-Sa’ad al-Shabah, cet. I, 1993, hal. 36 26 Jaques Lacan adalah seorang pemikir Prancis yang mempelajari psikologi Sigmund

Frued. Ia bisa mengembangkan lebih jauh pemikiran Frued, sebab mampu mengkomparisakan psikologi dengan analisa kebahasaan, dan, karenanya, menganggap bahwa psiko-analisis sebanding lurus dengan strukturalis. Dan ini yang mengantarkan namanyaa mencuat di Prancis yang semula alergi terhadap pemikiran Freud. Lihat: Ideas Cresol, op.cit., hal. 208

27 Lihat: Ideas Cresol, op.cit., hal. 48 28 Ibid., hal. 56

Page 10: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

10

penguasa masanya. Tentunya dengan dua pemikir ini, Arkoun merasa mendapat

asupan kekuatan guna melengkapi perangkat metodologinya.

Karenanya tak heran jika banyak suara yang menyatakan bahwa ia berhasil

menerapkan dalam sejarah pemikiran Islam. Salah satu “kelinci percobaan” hasil

uji metodologinya adalah Naz’ah Ansanah fi Fikr al-Araby: Jayl Miskawih wa al-

Tauhidi. Bisa dikatakan sekalipun Arkoun “terlalu sibuk” mempromosikan Kritik

nalar Islamnya, kitab ini merupakan bukti kongkrit bahwa ia berhasil menerapkan

Islam aplikatifnya dan salah satu dari representasi nalar Islam ideal. Ia menilai

bahwa pemikiran Miskawih dan al-Tauhidi patut diangkat dan ditarik dari

pengasingannya yang sekian abad akibat terpinggirkan dan nyaris tenggelam pada

abad skolastik: masa-masa dimana kejumudan dan konservatisme merajalela.

Sebab kedua pemikir ini, lanjut Arkoun, merupakan bukti nyata bahwa dalam

Islam terdapat filsafat humanisme. Yang dalam waktu bersamaan, sebetulnya

Arkoun berambisi ingin membuktikan pada publik Barat di saat seru-serunya

meneriakan filsafat: suara kematian Tuhan ala Nietzsche dan kematian manusia

ala Foucualt.29 Tampaknya Arkoun berhasrat memposisikan diri sebagai seorang

defensif dan langkahnya tampak sebagai kebijakan apologetik di mana akan

selalu memberontak dengan suara mayoritas Barat dan pada saat yang sama ia

sendiri jatuh hati dan tergila-gila dengan perangkat metodologi Barat sekaligus

sejarah pencerahan Barat. Paling tidak, alasan paling logisnya adalah bahwa

proyek humanisme Islam yang dibangun kembali oleh Arkoun ini ingin

mengukuhkan “kepentingannya” dalam mengunggulkan kecenderungan

rasionalitas (naz’ah ‘aqlaniyah) dibanding kecenderungan-kecenderungan

lainnya.

29 Muhamad Arkoun, Naz’ah al-Ansanah fi Fikr al-Araby, op.cit., hal. 24

Page 11: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

11

Kritik-kritiknya

Sebagai seorang pemikir post-modern30, Arkoun adalah pengkritik tradisi

kemapanan, tradisi objektivisme dan positivisme yang menurutnya tidak hanya

merasuki ilmu pengetahuan Islam, namun juga Barat dan orientalis Barat. Arkoun

berargumen bahwa paradigma orientalis benar-benar menyokong konsepsi

ortodoks tentang “nalar Islam”31 dengan menggunakan kategori-kategori yang

sama, simbol-simbol yang sama dan signifikansi yang sama.32 Dan demi

menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah

jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an

tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).33 Mengikuti analisis

semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di tengah-tengah kita adalah

hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata lain, teks ini berasal dari

bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam bentuk teks. Tidak terkecuali

30 Howard M Federspiel menyetarakan kedudukannya dengan Fazlurrahman dan Faruqi. Lihat makalahnya “Post-modernist Muslim Thought: Fazlurrahman, Faruqi and Arkoun” yang didiskusikan di beberapa kampus di Indonesia, Oktober 1994.

31 Menyoal Istilah antara Kritik Nalar Arab-nya Abed al-Jabiri dan Kritik Nalar Islam-nya Arkoun, tentunya mempunyai siginifikansi dan konsekuensi sendiri-sendiri. Alasan Arkoun lebih memilih “Nalar Islam” –dibanding “Nalar Arab”– sebab ingin menuju terhadap jantung langsung: Akidah Islam, di mana, dengan demikian, terma tersebut mempunyai cakupan melampaui perikehidupan muslim secara utuh-menyeluruh, tidak hanya terjebak dengan letak geografis Arab dan bahasanya. Dan secara praktis ketika al-Jabiri lebih banyak mengandalkan dominasi perangkat metodologinya pada wilayah Arab, maka Arkoun mengunggulinya terhadap wilayah akidah Islam secara universal. Lihat: Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, Dar al-Thali’ah, hal.72

32 Dalam hal ini ada dua nama orientalis yang disebut-sebut Arkoun sebagai orientalis yang gemilang. Pertama, Joseph Van Ess, dalam buku Theology Und Gesellschaft in 2 und 3 Jahrhundert Hidschra: Eine Geschichte des Religgios Denkens in Fruhen Islam, terbitan Berlin dan Newyork tahun 1991-1997 dalam enam jilid. Sebagai orang yang berdarah Jerman, Van Ess tampak menguasai serta mewarisi dengan baik metode filologi yang muncul dari tanah kelahirannya. Disamping mewarisi metode dari leluhurnnya, ia juga mampu menerapkan metode metode sosiologi-sejarah dalam menjelaskan keterkaitan hubungan antar sejarah teologi dengan kelompok masyarakat, dan sistem politik-budaya yang multikultural pada abad-abad pertama hijriah. Ia, dengan demikian, telah berhasil melampaui loncatan epistemiologis dibanding para pendahulunya. Lihat: Muhamad Arkoun, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Nafhamu al-Islam al-Yawm? op.cit., hal. 47-49. Kedua Jacquiline Chabbi dalam karya, Le Seigneur de Tribus – l’Islam de Mohamet, terbit di Paris 1997. Buku ini merupakan usaha keras historisasi wacana teks al-Qur’an dengan cara menghubungkannya dengan lingkungan geografis, naturalitas, dan kemanusiaan, yang ada pada semenanjung arab pada abad VII M. Lihat: Muhamada Arkoun, al-Qur’an: Min al-Tafsîr al-mauruts ila tahlil khitab al-diniy, op.cit., hal. 21

33

Dikutip dari Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 69.

Page 12: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

12

teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang

diterima dan disampaikan nabi Muhammad saw kepada umat manusia selama

tidak kurang dari dua dasawarsa.

Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini kemudian dibukukan

setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah nabi

Muhammad saw. wafat. Jauh sebelum Arkoun, karya ulama yang menjelaskan

sejarah transmisi dan kodifikasi Al-Quran sebenarnya telah banyak memberikan

informasi mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi mushaf Utsmani

ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa informasi-informasi tersebut belum

dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna Al-Qur’an.34 Baginya,

lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan

ushul kepada standar tertentu serta pembakuan al-Qur’an kepada sebuah mushaf

resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman) menjadi awal ummat Islam

didominasi oleh logosentrisme, dimana fuqaha dan ulama percaya bahwa mereka

mampu menggenggam dan menguasai kebenaran wahyu dengan sarana analisis

naskah secara gramatikal dan leksikal, dengan asumsi bahwa bahasa pada

dasarnya merupakan refleksi dari dunia. Arkoun menganggap Islam sebagai fakta

fenomena yang berkembang secara historis, terlepas dari upaya para alim-ulama

baik qudama (klasik) maupun modern untuk memahami dan menetapkan makna

kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.35

Menurutnya kesalahan para fuqaha dan ulama terletak pada keyakinan

mereka bahwa pengetahuan bahasa membuat mereka mampu memahami naskah,

sedangkan mereka sendiri mengabaikan kebenaran yang lebih hakiki mengenai

kesejarahan dari bahasa itu sendiri. Menurutnya, nalar Islam yang dibangun oleh

para alim ulama adalah atas interpretasi doktriner dan kebutuhan politis untuk

mengontrol penafsiran atas wahyu dan maknanya.36 Hal inilah yang menurutnya

menyebabkan kemunduran filsafat Islam dan terbangunnya cloture logocentrique

34

Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup dan Latar Belakang Mohammed Arkoun”, dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami …, op.cit. , h. 26.

35 Mohammed Arkoun, La Pensee arabe, ed. Ke-3 Paris: PUF, 1979, Bab 1, “Le fait coranique,” hal.5 dst.

36 Leonard Binder, Islam Liberal, Kritik terhadap Idiologi-ideologi Pembangunan, alih bahasa Imam Muttaqin, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2001, hal.239

Page 13: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

13

yang dengannya pemahaman alternatif selain dari wahyu menjadi kemustahilan.37

Arkoun menegaskan bahwa semua yang memiliki otoritas keilmuan sebagai

penentu sifat utama kebenaran, pemikiran atau kebajikan semestinya dikenai

kritik intelektual, berdasarkan asumsi strukturalis tentunya.38 Dengan begitu, ia

akan leluasa melontarkan kritik strukturalis multidisipliner terhadap dominasi

serta kemapanan otoritas alim ulama disetiap institusi-institusi maupun

pemerintahan Muslim, baik yang klasik maupun modern.

Berangkat dari asumsi di atas, Arkoun memandang bahwa nalar bersifat

inklusif dan tidak tunggal –dan yang dimaksud bukanlah nalar aktif-potensial atau

bakat intelektual (al-Mukawwin/la raison constituante), melainkan nalar bentukan

dan didikan yang berisi doktrin-doktrin pengetahuan (al-Mukawwan/la raison

constituee), jika meminjam teori A Lalande39. Ia (nalar Islam), yang terbingkai

frame sejarah, akan mengayun dan melandaskan diri ke mana hendak dibawa

sehingga menjadi suatu entitas yang membentuk dan meng-ada. Karenanya ia

bersifat historik, multi kultural dan (bahkan) sejarah itu sendiri.40 Nalar Islam tak

lain merupakan piranti yang menghasilkan produk-produk pengetahuan Islam

dalam bentangan panjang sejarah. Ia diartikan sebagai diskursus atau wacana nalar

Islam yang darinya, menghasilkan ragam disiplin keilmuan Islam.41

Maka, dikenalah nalar Taswauf, nalar Sunni, nalar Muktazilah, nalar

Syi’ah, nalar Hasan Bashri, nalar Ibn Khaldun, nalar Muhamad Abduh dan

seterusnya hingga kini. Itulah nalar-nalar Islam, dengan segenap identitas dan ciri

khasnya masing-masing, karena pada dasarnya merujuk pada pokok dan otoritas

yang sama: al-Qur’an dan Hadits. Namun, yang perlu dijadikan entry point, nalar

tersebut mempunyai titik tolak dalam sejumlah kognitas dasar dan kepentingan-

37 Mohammed Arkoun, Essais, hal. 189 dan catatan lain yang menyinggung tentang penggunaan istilah itu oleh Derrida dalam karyanya, De la grammatologie.

38 Leonard Binder, ibid, hal.238 39 (1867-1963) Andre Lalande adalah seorang penulis besar dari francis, salah satu buku

fenomenalnya adalah Dictionnaire des philosophes yang kemudian diterjemahkan kebahasa Arab oleh Kholil Ahmad Kholil Mausu’atu Lalande al-Falsafiyah.

40 Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal. 68. Ini berarti, secara tegas, Arkoun membedakan posisi akal historical-nya dan akal ala neo platonic/helenestik yang menyatakan akal sebagai lajur transedental dan metafisik secara konteks. Sebab ia sendiri setuju dengan pemaknaan akal transendental (akal ilahi) sebagi salah satu struktur bangunan akal Islam elementer.

41 Mukhtar al-Fajjari, Ibid, hal. 70

Page 14: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

14

kepentingan tertentu yang membentuknya. Secara historik, nalar-nalar tersebut

kerap bersaing, berseteru, dan bahkan bermusuhan yang berujung pada

kematian/kehancuran. Hal yang paling mendasar, bahwa dalam kemajemukan

nalar tersebut, sesungguhnya memiliki titik konvergensi dan persenyawaan yang

oleh Arkoun, disederhanakan sebagai terma nalar Islam. Singkatnya, ia sengaja

membredel nalar di atas menuju “ruang kematian” dengan cara

mendekonstruksinya menjadi nalar Tunggal (Binyah al-Muwahadah), yakni: nalar

Islam. “Kematian” di sini tentunya diartikulasikan dengan pembacaan kini,

dengan pemaknaan ala Derrida, yakni suatu pengalihan posisi tawar dari alam

klasik menuju alam kontemporer.42

Demi menuju ke arah kesadaran ini, Arkoun melakukan analisa kritik

historis atau klarifikasi historitas dengan membagi sejarah nalar Islam menjadi

empat periodesasi.43 1. Era fundamentalitas Islam, yaitu periode kenabian ini

ditandai dengan terbukanya wacana-wacana pembakuan keagamaan yang baru

lahir dan sedang mencari jati dirinya, baik dalam ranah sosial maupun politik.

Ditandainya dengan terbukanya kebebasan serta penghormatan tinggi terhadap

cita kemaslahatan dan humanisme. Di samping gerak perubahan sejarah yang

dinamis, progresif, dan gradual. 2. Era jati diri nalar Islam klasik, Yang ditandai

pembasisan, pembakuan, dan pembukuan disiplin ilmu pengetahuan, terutama lini

syariah dan teologi. Era nalar Islam klasik ini dimulai sejak pertengahan abad

pertama sampai penghujung abad keempat. Pada era ini kecenderungan dialektik

antara agama dan nalar masih menguat dibanding kecenderungan ortodoksi. Yang

paling mengesankan bagi Arkoun pribadi, periode ini melahirkan filsafat

humanisme di tangan Miskawyh dan Abu Hayan al-Tawhidi. Keduanya berhasil

membangun filsafat humanisme dalam perwujudan nalar etika Islam yang

mengenyahakan nalar ortodoksi serta mengawinkannya dengan filsafat.

Miskawyh dalam karya Tadzhib al-Akhlâq-nya membangun etika berdasarkan

ontologi rasional Igrik, sementara Abu Hayan al-Tawhidi membangun humanisme

murni dalam sejumlah karya-karyanya. 3. Era skolastik. Era ini dimulai sejak

42 Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal. 70-71 43 Ibid., hal. 141-146

Page 15: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

15

abad ke lima Hijriyyah. Yang ditandai dengan kemunduran nalar Islam dan

menyeruaknya bentuk-bentuk ortodoksi agama, dengan menguatnya nalar

pragmatis pembebekan dibanding nalar ilmiah. Era ini merupakan babak-babak

era keterpenjaraan akal Islam. Jika pun ada dan bertahan, nalar ilmiah ini mesti

ditopang oleh dukungan penguasa setempat. 4. Era modern. Era ini tidak jauh

berbeda dengan era sebelumnya sebagai era kejumudan dan pembebekan serta

hegemoni ortodoksi. Ini dipandang dari persepsi, bahwa era ini masih mewarisi

era skolastik secara dominan –sekalipun mulai ada rinai-rinai pembaharuan yang

dibawa Muhamad Abduh yang getol mengkampanyekan gerakan kembali ke

salaf: masa di mana belum timbul perselisihan umat.44

Dengan membagi sejarah nalar sedemikian rupa di atas, Arkoun

bermaksud untuk menjelaskan terma “yang terpikirkan” (le pensable/thinkable),

“yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthinkable) dan “yang belum terpikirkan”

(l’impensable/not yet thought), untuk kemudian diterapkan dalam rangka

membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam. Tentunya terma ini amat kental

terpengaruh metodisasi ‘diskontinuitas’ ala Michel Foucault atas penggalan-

penggalan, mutasi-mutasi, dan retakan-retakan epistemik dan geologi sejarah

nalar Islam. Terma “yang terpikirkan” adalah hal-hal yang mungkin umat Islam

memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Karena keterjangkauannya

yang diperbantukan oleh bahasa, pikiran, dan kondisi masyarakat.45 Sementara

“yang tak terpikirkan” adalah hal-hal “tabu” akibat kemampuan akal sejarah yang

belum sampai ke sana atau karena tersumbatnya pemikiran yang ada oleh sebab

tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan yang berlaku

44 Dalam era terakhir inilah sosok Arkoun menampilkan diri dengan mencoba mendobrak kemapanan diskursus ortodoksi. Ia meneriakan purifikasi modernitas ala Islam. Modernitas, dalam konteks arkounis, adalah milik setiap bangsa. Adalah salah kaprah juga jika terma modernitas hanya didaku Barat –sebagaimana asumsi para orientalis. Sebab menurutnya, modernitas tidak hanya milik Barat dan muncul di Barat saja. Setiap manusia, di mana pun berada, memiliki karakter modernitas sesuai takaran ruang bahasa, ras budaya, dan geografis. Barangkali dalam pemaknaan Barat, modernitas bercirikan dengan jargon “the death of God” atau “the death of human”. Realitanya, humanisme –sebagai ejawantah ruh modernitas– ternyata tidak hanya muncul di Eropa, melainkan di dalam peradaban Islam juga. Penokohan ikon-ikon modernitas Islam seperti Miskawyh, Tawhidi, dan al-Jahidh, jauh-jauh hari sudah ada sebelum muncul ledakan modernitas di Barat. Lihat: Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal. 159

45 Muhamad Arkoun, al-fikri al-ushuli wa istihalah al-ta’sil, op.cit, hal. 10

Page 16: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

16

saat itu. Atau ketertindasan pemikiran tersebut oleh faktor agamawan maupun

penguasa politik.46 Dan, karenanya, Arkoun pun ingin membuka lebar-lebar

wilayah tak terpikirkan ini yang menurutnya sudah saatnya melebar di era

kontemporer.

Arkoun menekankan pentingnya bercermin terhadap masa lampau bukan

berarti harus mengikuti arus balik serta mereproduksi tanpa produktivitas

pemikirannya, melainkan agar bisa “bertamasya” serta menganalisa ulang

terhadap diskursus yang terjadi pada masa lalu itu. Bertujuan demi menemukan

problem solving dengan konteks kekinian -atau bisa juga sebaliknya: maju-

mundur, karena besar kemungkinan akan menemukan solusinya dengan menelisik

akar genealoginya. Tak heran pula jika sering terserak dalam kitab-kitabnya terma

la raison emergente: yang berarti hasrat melampaui segala apa yang pernah

dicapai oleh muslimin, di satu sisi, dan hasrat mengatasi akal modern dan post

modern sekaligus, di sisi lain.47 Untuk mencapai tujuan itu, ia mendapuk segala

perangkat-perangkat metodologi post-strukturalis guna dimodifikasi dan dijadikan

metode nalar postulat interdisipliner yang lebih dikenal sebagai Islamologi

Aplikatif: satuan piranti yang “diislamkan” atau disesuaikan dengan fragment

keislaman. Secara holistik ia mencabarkannya sebagai suatu metode kajian yang

concern terhadap segala objek yang berhubungan dengan kehidupan manusia

46 Ibid.,op.cit, hal. 11, Namun menurut Ali Hab, Arkoun kerap menyepelekan hal-hal teknis seperti mendefinisikan secara detail suatu diskursus serta kebanyakan menggunakan “terma-terma membingungkan” pembaca; karenanya Ali Aarb memplesetkan “wilayah tak terpikirkan Arkoun” (l’impinse/unthinkable/alla mufakar fîh) menjadi wilayah terlarang (al-mumtani’ ‘an al-tafkîr). Lihat: Ali Harb, “al-Mamnu’ wa al-Mumtani’”, al-Markaj al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, cet. IV 2005, hal.123

47 Ini yang kemudian agak membingungkan para pengkaji Arkoun dalam membedakan terma Kritik nalar Islam dan Islam Aplikatif: antara mana subjek metodologi dan objek kajian. Sebab keduanya memiliki hampir kemiripan dan kesamaan atau jangan-jangan memang hanya beda terma tapi satu substantif. Wajar jika para pemerhati pemikiran Arkoun berbeda pandangan dalam memposisikan ‘Islamologi Aplikatif’ dan ‘Kritik nalar Islam’. Mukhtar Fajjari menafsiri terma Islamologi Aplikatif secara teoritis, sementara Kritik nalar Islam diartikulasikan secara praksis: yakni sebagai terapan objek kajian Arkoun. Dalam satu kesempatan, ia memahami bahwa keduanya merupakan terma yang berkelindan dan mata rantai yang sulit dipisahkan serupa mata uang. Namun dalam persepsi Fauzi Badawi lain lagi, yang memaknai Islamologi Aplikatif sebagai metode sekaligus proyek dan objek kajian Arkoun. Sebab dalam prakteknya, sebagaimana termaktub dalam pembacaan baru surat al-Fatihah, Arkoun tampak tidak memilah secara tegas antara objek kajian dan metodologi. Tentu hal ini dilatarbelakangi akibat relasi antara Islamologi Aplikatif dan Kritik nalar Islam Arkoun yang terkesan integral sebagai suatu kesatuan (talazum-tadûkhul) dan, Arkoun sendiri tidak menjelaskan secara kompleks, terbiar mengalir begitu saja dalam setiap karya-karya. Suatu ritme anual dan membosankan bagi pembaca, barangkali.

Page 17: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

17

secara umum. Di mana manusia, sebagai makhluk berakal, tidak akan lepas dari

jejaring entitas yang demikian kompleks: mulai bahasa, sosial, individual, politik,

ekonomi, sejarah, psikis, rasional, imaginatif, religius, dan sebagainya.48

Tak bisa disangkal, gugus tujuan kritik Arkoun tidak bersifat historis

melainkan epistemologis. Historitas dan antropologi tampaknya hanya menjadi

kendaraan untuk mencapai tujuannya: menuju kritik sistematika nalar Islam. Di

mana analisa sistematik ini diawali dengan penyejajaran nalar Islam dengan

imajinasi sosial kaum muslimin. Nalar Islam diidentikan dengan kekakuan

penafsiran, kekuatan politik, dan imajinasi sosial. Yang dalam pada itu pula

tersimpan diam-diam ruh-ruh kebebasan, modernitas, perubahan dan perbedaan.

Dialektika antara keduanya menjadi tema sentralnya. Imaginaire telah tersingkir

dan ditebus dengan analisa kritis interdisipliner baru tentang nalar Islam versinya.

Tentunya, dengan mengaplikasikan perangkat-perangkat (post) strukturalis, yang,

darinya, (berharap-harap) akan mampu membebaskan nalar ummat Muslim.

Belajar (mencoba-coba) untuk berpikir terhadap segala hal yang dianggap tak

terpikirkan oleh ulama kolot. Sejatinya kritik nalar Islam ini tidak hanya

mendekonstruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.

Sebab jika Arkoun berhasil melakukan kritik-kritiknya niscaya ia telah membuat

catatan sejarah yang belum pernah terjadi dalam bentangan sejarah Islam. Ia akan

dikenal sebagai revolusioner pengetahuan Islam.

Kritik Atas Epistemologi Muhammad Arkoun

Secara historis, pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan telah

terjadi di Eropa. Pertarungan keduanya semakin gencar dan “blak-blakan seiring

dengan penemuan-penemuan ilmiah yang dihasilkan ilmu pengetahuan modern

yang dimulai sejak revolusi politik di Prancis dan revolusi industri di Inggris.

Sejak masa itu, dominasi kaum Clergy (rahib, atau kalangan gerejawi)—sebagai

kelompok elit kecil—yang sejak ribuan tahun mendominasi dan menghegemoni

kekuasaan dalam bidang sosial-kemasyarakatan sebagai penentu kebijakan

48 Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal.178

Page 18: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

18

(decision maker) runtuh hancur-lebur tatkala teologi yang selama ini menjadi

legitimasi mereka harus berhadapan dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan.

Isu-isu sosial yang pada awalnya berkenaan dengan sosial, ekonomi dan politik

berkembang menjadi isu-isu yang menggugat dimensi transendental, yakni agama.

Dialog inipun kemudian berujung pada pemisahan dua kebenaran yang tidak bisa

disatukan satu sama lain. Kebenaran agama pada satu sisi, dan kebenaran ilmu

pengetahuan pada sisi lain. Karena itu, muncullah istilah yang saat ini disebut

“sekularisme”.

Namun, dalam sejarah Islam event pertarungan antara kaum intelektual

dengan fuqoha tidaklah terjadi, Islam menghargai pengetahuan sebagaimana Islam

menghargai keyakinannya pada Rasulullah. Al-Quran sebagai kitab suci yang

tiada satupun keterangan di dalamnya yang tidak dapat diuraikan untuk penelitian

ilmiah, baik yang berhubungan dengan realitas-realitas alam, genetika, atau

kajian-kajian tentang kedalaman laut. Bahkan, sungguh Al-Qur'an telah

membuktikan kebenarannya lewat keterangan yang mendetail tentang

pertumbuhan janin, seperti yang kita kenal sekarang yang tidak mungkin

dibuktikan, kecuali dengan menggunakan alat pendeteksi dalam rahim. Sekalipun

demikian, al-Quran adalah hakikat-hakikat yang berhubungan dengan ushuluddin,

bukan hakikat-hakikat ilmiah, dan bukan dengan elaborasi penyingkapan ilmiah,

kebenaran wahyu hakiki akan tergapai, karena Al-Qur'an bukanlah ringkasan

ilmu-ilmu fisika, biologi, atau kimia. Sekalipun demikian, sejarah telah mencatat

keberhasilan ulama-ulama terdahulu yang telah melahirkan disiplin-disiplin

pengetahuan dari pendalaman mereka terhadap al-Quran, sesuai dengan

afiliasinya masing-masing.

Sepertinya Arkoun dengan proyek kritik nalar Islamnya hendak

menggiring sejarah Islam pada fase pertarungan antara agama dan ilmu

pengetahuan. Menempatkan agama sebagai pengetahuan yang bersifat mitos dan

ia berada di pihak pengetahuan yang bersifat rasional. Dengan menggunakan

disiplin ilmu humaniora, antropologi, arkeologi pemikiran dll, ia ingin

menunjukkan pada umat Islam bahwa al-Quran tidak lepas dari historisitas, dan

bahkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang lahir dari padanya didakwakan

Page 19: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

19

sebagai penyebab kejumudan nalar Islam. Arkon tidak memperhitungkan seluruh

informasi yang menyatakan ke-otentikan transmisi dan kompilasi al-Quran.

Sekalipun seluruh informasi itu bisa diuji dan dibuktikan keilmiyahannya.

Perlu kita ketahui, sosiologi sebagai disipilin ilmu humaniora, demikian

juga antropologi sebagai anak cabangnya, bukan merupakan disiplin ilmu

normatif melainkan suatu disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi

pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang seharusnya

terjadi. Sebagai suatu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap “penilaian

ideologis” atau subjektivitas tertentu. Artinya tidak menetapkan ke arah mana

sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang

menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan maupun keagamaan dari proses

lawatan sejarahnya. Pandangan-pandangan sosiologis tidak dapat menilai apa

yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah serta segala

seuatu yang bersangkut terhadap nilai kemanusian.

Dengan demikian, sosiologi hanya merupakan ilmu pengetahuan murni

(pure science) dan sama sekali bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau

terpakai (applied science).49 Dari sudut penerapannya ilmu pengetahuan menjadi

dua bagian. Ilmu pengetahuan murni adalah ilmu yang bertujuan membentuk dan

mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak hanya untuk mempertinggi

mutunya, tanpa menggunakan dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan terapan

adalah ilmu yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu tersebut

dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat maupun

keagamaan. Dalam hal ini, sosiologi bukanlah pengetahuan ilmu terapan, sebab

hanya bertujuan mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat

dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan.50

Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah dengan pendekatan

sosiologi-antropologi terjebak atau terbagi dalam dua hal. Pertama, pendekatan

biografis, yakni penguraian bahwa sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga

tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol

49 Soerjono Soekanto, Sosiologi; Ssuatu Pengantar, Rajawali Press, cet. XXVI, 1990, hal.21

50 Ibid., 21-22

Page 20: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

20

daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Sebab, bagaimanapun,

pemikiran tak bisa dilepaskan dari jejaring para pemikir yang menghasilkan

pemikiran tersebut. Dengan menjelaskan biografi dan perjalanan sejarah pemikir;

diskursus pemikiran dengan sendirinya praktis tereksplorasi. Kedua, pendekatan

taksonomis. Sebuah penguraian sejarah pemikiran berdasarkan kecenderungan-

kecenderungan tertentu. Fenomena pemikiran ini didekati lewat hasil klasifikasi-

klasifikasi berdasarkan mazhab pemikiran (school of thought). Misalnya,

membagi mazhab pemikiran tersebut pada Syiah, Suni, Muktazilah dan

sebagainya. Dan kebanyakan, ekses menampilkan pendekatan ini, penulis kadang

tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada salah satu arus

pemikiran tertentu. Selalu ada bias-bias dari penulis untuk menampilkan ide

pemikiran tertentu dan, demi ideologi kepentingannya, kadang mengaburkan

pandangan lainnya. Padahal ini merupakan kecacatan etika pengetahuan –dalam

konteks keilmuan sosialisme– karena tidak boleh ada keberpihakan atau pra

asumsi penilaian.

Dan Arkoun tampaknya mengikut pada pendekatan kedua. Bahkan,

disadari atau tidak, ikut hanyut untuk menjadi bagian pemain di dalamnya.

Menampilkan mazhab yang terpinggirkan menjadi aktor utama dalam proyek

Kritik nalar Islamnya –seperti pembelaan kental terhadap rasionalitas Muktazilah

atau filsafat Ibn Rusyd. Ia, dengan demikian, melanggar rambu-rambu etika

sosiologi-antropologis, dengan inkonsistensinya terhadap aturan pengetahuan

tersebut. Dari sini, setidaknya sudah menyiratkan kepentingan tertentu. Ada bias-

bias ideologis yang bersemayam dalam buncahan pemikiran Arkoun. Bahkan

ditengarai, gara-gara “kepanasan” dengan sejarah pencerahan Eropa. Sebab Eropa,

dalam dongeng sejarahnya, terbagi menjadi atas fase modern dan post modern.

Pada masa modern, munculnya kejayaan science, Revolution of Science

abad XVII, telah memberi keyakinan bahwa manusia dapat mencapai kejayaan

tanpa harus patuh pada otoritas agama. Agama dianggap sebagai penghambat

kemajuan dan bertentangan dengan filsafat pencerahan. Agama Katolik hanya

identik dengan zaman pertengahan yang statis dan tidak progresif. Nalar menjadi

dewa dan agama (iman) tersungkur dipecundangi. Namun demikian, pandangan

Page 21: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

21

pemikir-pemikir zaman pencerahan di abad XVIII banyak berubah.

Mengembalikan enlightenment dan kemodernan Eropa terhadap induk agama

seperti pemikir Locke, Thomas Aquinas, dan Kant. Namun penerimaan mereka

bukanlah berdasarkan kepercayaan atau penerimaan otoritas Gereja semata,

melainkan lebih didasarkan pada pemikiran dan argumentasi rasional terhadap

agama. Problemnya adalah bahwa terma modernitas terlanjur identik dengan

kemewahan akal dan mempecundangi agama. Artinya secara esensial sudah ada

kontradiksi dengan ruh modernitas sendiri, sehingga inilah yang kemudian

melahirkan era post modernisme di mana akal seiring seirama dengan agama.51

Pada zaman pencerahan juga terlihat adanya perkembangan epistemologi

dan filsafat. Para ahli epistemologi mulai mencoba mengupas persoalan mendasar

sifat ilmu, serta peranan yang dimainkan oleh akal-budi manusia dalam

menghasilkan ilmu. Tujuannya ialah untuk memahami bentuk ilmu yang

dihasilkan oleh manusia, dan sejauh mana ia bisa dipercayai serta mewujudkan

suatu landasan rasional bagi penerimaan ilmu, yang kini asas penerimaannya tidak

lagi didasarkan pada otoritas agama. Akal digunakan untuk mendirikan landasan

kebenaran sendiri bagi filsafat keilmuan. Pendekatan “foundationalisme” ini

merupakan satu ciri zaman pencerahan yang sangat menggantungkan pada

kemampuan akal manusia serta rasionalitas. Di sinilah Arkoun tampak tergila-

tergila dengan babak-babak perubahan sosial dan institusional agama yang

kemudian mengantarkan Eropa pada era modern: filsafat pencerahan serta

serentetan kronologi sejarah “rationalization” –meminjam bahasa Max Weber.

Rationalization nampak terlihat terhadap adanya upaya reinterpretasi agama

Katolik, Rasionalisasi agama. Kemudian Arkoun mencoba mempraktekannya

terhadap ranah keislaman dengan harapan akan datangnya pencerahan model

Islam. Namun, menurut Muhammad almzogy, Arkoun tidaklah mendatangkan

pencerahan, bahkan justru mendatangkan keragu-raguan pada kemampuan Akal.

Dalam Kritik Nalar Arabnya, Abed al-Jabiri menyatakan retakan

epistemologi antara Andalusia-Maghrib dan Masyriq: di mana Barat tidak hanya

51 Hasyim Sholeh, Madkhâl ila al-Tanwîr al-Uruba, Dar al-Ahaliah, cet. I, 2005, hal. 241-246

Page 22: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

22

dibedakan secara geografis melainkan juga epistemologis: antara representasi

rasionalisme empirik Barat dan representasi illuminatif dan kecenderungan

irrasional Timur, maka pemaknaan retakan epistemologi bagi Arkoun pun

memiliki kecenderungan tipologi sendiri, bahkan lebih luas tidak hanya sekedar

lokalitas Arab namun Islam secara umum. Sebagaimana telah maklum, ide ini

pertama kali dimunculkan oleh Gaston Bachelard pada kisar tahun tiga puluhan di

abad XIX, kemudian diadopsi oleh Luis al-Tuser dan Michel Foucault. Dalam

perjalanannya, ide ini terus berkembang dan menjadi trend keilmuan yang mampu

diaplikasikan dalam filsafat humaniora dan cabang ilmu lainnya.52 Tak terkecuali

agama. Di tangan Arkoun-lah terma diskontinuitas diterapkan dalam melacak

lapisan dasar nalar pemikiran Islam silam.

Sejatinya, jika menelusuri pemikiran menggunakan pisau analisa retakan

epistemologi sangat berbahaya dan terlalu mengambil resiko tinggi. Sebab,

efeknya akan menimbulkan pembelahan dikotomik dan menyerang terhadap

pengetahuan itu sendiri. Di samping resiko dihadapkan pada satu pilihan. Ide ini

cenderung mengakibatkan wilayah hitam dan putih pengetahuan: antara pilihan

benar dan salah; ilmiah dan khurafat; rasional dan irrasional. Ini juga yang dialami

pemikir Maroko Abed al-Jabiri, dengan mengunggulkan nalar Barat atas nalar

Timur. Menjadikan terkotak-kotaknya pengetahuan secara geografis. Sementara

Arkoun, dalam persepsi Ali Harb, menjadikan nalar pengetahuan Islam tercerai

berai secara ideologis.53

Dalam pembacaan Ron Haleber, seorang islamolog kontemporer asal

Belanda, Arkoun menyatakan bahwa retakan epistemologi dalam agama (Islam

dan Kristen di Barat) ada tiga bagian. (1) Transformasi budaya oral menuju

budaya tulis serta ruang jeda masa transisi keduanya. (2) Transformasi dari nalar

murni ilmu, agama, dan politik menuju lampauan ideologis terhadap ketiganya.

(3) Transformasi dari diskursus ortodoksi dan mitologi menuju diskursus modern

dan rasionalitas serta jeda masa transisi keduanya. Dalam hal ini Michel Foucalt

52 Ibid., hal. 129-130 53 Ali harb, al-Mamnu’ wa al-Mumtani’, op.cit. hal. 124

Page 23: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

23

memainkan peranannya sebagai pendobrak kemapanan yang ada dan menjadi

inspirator bagi lainnya.54

Tampaknya Arkoun, aku Ron Haleber, tidak begitu memahami secara

menyeluruh parade-parade persitiwa pencerahan di Eropa atau filsafat pencerahan

Barat. Sebab jika benar ia paham tentunya tidak akan menganalogikan persis

dengan pemaknaan yang serupa, antara epistema Barat dan Islam. Bagi Ron

Haleber kesimpulan Arkoun ini terlalu ceroboh dan mereduksi sejarah pencerahan

Barat sendiri. Bahkan semena-mena dalam menerapkan metode karena menyalahi

logika metodologi itu sendiri. Betapa, Arkoun mencampur aduk antara

metodologi mazhab strukturalis dan metodologi mazhab post strukturalis. Padahal

kedua mazhab ini bertentangan. Sebab munculnya kaum post strukturalis

merupakan reaksi protes dari kaum strukturalis. Namun Arkoun tampaknya tidak

menyadari itu. Terkesan cuek bebek mana kala mencomot sana-sini demi

kepentingannya tanpa memperhatikan dari prosedural bakunya sehingga berakibat

menghasilkan konklusi yang kerap tidak sesuai dengan tujuan metodologi itu

sendiri.55 Wajarlah jika ia tak mau disebut pengikut aliran strukturalis maupun

post strukturalis, akibat oportunismenya.56 Sehingga wajar jika Ron Haleber

tampak geram dan seakan, dengan bukunya, ingin menghabisi (metodologi)

Arkoun, bahwa metodologi Arkoun mengalami kecacatan dan ketimpangan akut –

jika dihadapkan langsung di depan altar pencerahan Barat. Ia dianggap telah

memutus urat nadi pengetahuan (fishom al-ma’rifiyah). Semata-mata demi

mendahulukan ideologi ilmiah rasionalitas-nya dibanding “aturan main” serta

syarat-syarat ontologi pengetahuan.57 Semata-semata berambisi menampilkan di

mata Islam kontemperer (lebih-lebih Barat) adanya eksistensialisme Islam,

humanisme Islam, dan rasionalisme Islam.

Dalam konteks yang demikian, mestinya Arkoun memilah dan harus lebih

berhati-hati dalam melakukan percobaan menjadikan pengalaman Eropa sebagai

54 Ron Haleber, al-Aql al-Islam amam Turats Ushru al-Anwr fi al-Gharb; al-Juhud al-Falsafiyah inda Arkoun, cet. I, Syria, Al-Ahali, 2001, hal. 198

55 Ibid., hal. 303 56 Ibid., hal. 159 57 Ali Harb, al-Mamnu’ wa al-Mumtani’, op.cit. hal. 121

Page 24: 27178109 Muhammad Arkoun Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

24

acuan bagi gerakan revolusi keagamaan. Tidak terperosok terhadap yang hampir-

hampir menyerupai 'taqlid buta'. Dan jika 'taqlid buta' yang terjadi, maka ijtihad

Arkoun telah terperangkap ke dalam kubangannya sendiri: dogmatisme baru.

Epilog

Tradisi mengkaji al-Quran dikalangan orientalis telah berjalan cukup lama.

Tapi kajian mereka tentu tidak sama dengan kajian para ulama. Ketika para

orientalis mengkaji al-Quran, mereka memang merujuk kepada sumber-sumber

Islam. Namun sikap mereka yang selektif terhadap fakta-fakta sejarah al-Quran

menunjukkkan adanya suatu kepentingan tertentu. Upaya untuk meruntuhkan

otentisitas Mushaf Uthmani tampak lebih menonjol dibanding tujuan lainnya.

Syubhat ini kemudian dilanjutkan oleh intelektual Islam sebagaimana yang telah

dilakukan oleh Arkoun. Bahkan, di atas syubhat tersebut ia membangun mega

proyeknya yaitu ‘kritik nalar Islam’. Proyek inipun langsung menyentuh sisi

paling sensitif dalam bangunan epistemologi Islam. dengan kajian ini, ia berharap

bisa membebaskan umat Islam dari belenggu doktrinitas yang telah berlaku sejak

meninggalnya rasulullah Muhammad saw. Ia berusaha memutus jalur ilmu

pengetahun Islam. Namun, sebagaimana mereka orientalis dan para penyeru

nihilisme, Arkoun tidak menyuguhkan solusi bagi kebangkrutan nalar yang sudah

ia bongkar. Ia hanya mengkaji, mendekonstruksi dan disaat yang sama ia

membiarkan ideiologi Islam tercerai berai.