kritik matan
TRANSCRIPT
KRITIK MATAN HADIS
MAKALAH
Ditulis Dalam Rangka Memenuhi Sebagian Tugas
Mata Kuliah Studi Al-Qur’an:Metodologi dan Tematik
Oleh :
NAMA :SRI TATIK HANDAYANI
NPM : 1000491
Dosen Pembimbing : Prof.DR.Hj ENIZAR,M.Ag
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMPROGRAM PASCA SARJANA (S2)
STAIN JURAI SIWO METRO2010 / 2011
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis (sunah) bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah Al-Qur’an,
disamping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan
keharusan mentaati Rasulullah saw, juga karena fungsi sebagai penjelas
(bayan) bagi ungkapan-ungkapan Al-Qur’an yang mujmal, Muthlaq, ‘amm,
dan sebagainya. Kebutuhan umat Islam terhadap hadis (sunah) sebagai sumber
ajaran agama terpusat pada subtansi doktrinal yang tersusun secara verbal
dalam komposisi teks (redaksi) matan hadis. Target akhir pengkajian ilmu
hadis sesungguhnya terarah pada matan hadis, sedangkan yang lain ( sanad,
lambang perekat riwayat, kitab yang mengkoleksi ) berkedudukan sebagai
perangkat bagi proses pengutipan, pemeliharaan teks, dan kritiknya.1 Dalam
studi hadis persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur yang penting
yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis. Kedua unsur itu begitu
penting artinya, dan antara yang satu dengan yang lainya saling berkaitan erat,
sehingga kekosongan salah satunya akan berpegaruh, dan bahkan merusak
eksistensi dan kualitas suatu hadis. Karenaya suatu berita yang tidak memilki
sanad tidak dapat disebut sebagai hadis; demikian sebaliknya matan, yang
sangat memerlukan keberadaan sanad.2
1 M. Thahir al-jawabi, Juhul al-Muhaddisin fi naqdi matni al-hadis al-nabawi al-syarif , Tunisia; muasasah ‘abd karim 1986, hal 6
2 Al-Sanusi, Syarh Shahih Muslim, vol. 4. Bairut: Dar al-Kutub, 1994.
3
Matan hadis dalam tradisi penyajiannya mencerminkan narasi verbal tentang
sesuatu yang datang dari atau disandarkan kepada Rasulullah (hadis marfu’)
atau kepada narasumber sahabat (hadis) atau yang bersumber kepada Tabiin
(hadis maqtu’), berkomposisi dengan pengantar matan berupa kisah (sabab
wurudul hadis) dan rangkaian sanad, peran strategi sanad seperti penegasan
Muhammad Ibn Sirrin (W. 110 H) dan Abdullah bin Al-mubarak. (W. 181 H)
sebagai pemberi legitimasi atas keberadaan matan hadis selaku bagaian
integral dari ajaran Islam.3
Melihat hasil evaluasi ulama muhadisin terhadap kritik matan hadis befokus
pada data dugaan syadz atau temuan ilat (sebab). Praktisi hukum Islam
(fuqaha) justru menerapkan paradigma qath’i zhanni yang pola dikotominya
beroriantasi pada strata khabar mutawatir masyhur untuk kategori qath’i dan
khabar ahad untuk kategori zhanni. Parameter kritik matan hadis semakin
mengundang hasil yang kontrofersial bila memperhadapkan substansi ajaran
hadis dengan instrument aqli, seperti qiyas, perilaku perawi, praktek
keagamaan penduduk madinah, asas-asas syariat dan lain-lain.
B. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk menghimpun kaidah-kaidah
kritik internal hadis yang terfokus pada metode kritik matan hadis, metodologi
kritik hadis di kalangan orientalis dan contoh dari kritik hadis ilmuan muslim
kontemporer.
3 Muslim bin al-Hajjaj, muqadimah al-jami’ al-shahih jilid I, mesir 1955, hal 14-15
4
II. KRITIK MATAN HADIS
A. Pengertian Matan dan Kritik Matan Hadis
Menurut bahasa Matan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya panggung
Jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras4. Matan menurut hadis adalah
pengunjung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad SAW, yang disebut sesudah
habis disebutkan sanad.5 Matan hadits ialah pembicaraan (kalam) atau materi
berita yang diover oleh beberapa sanad, baik pembicaraan itu berasal dari
sabda Rasulullah saw., sahabat, ataupun tabi'in; baik isi pembicaraan itu
tentang perbuatan Nabi maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh
Nabi.6 Dalam literatur Arab kata “an-naqd” dipakai untuk arti “kritik” atau
“memisahkan yang baik dari yang buruk.7 Kata “kritik” berasal dari bahasa
Yunani krites yang artinya “seorang hakim, krinein berarti “menghakimi”,
kriterion berarti “dasar penghakiman”.8 Dalam konteks tulisan ini kata “kritik”
dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi hadis.9
Dari arti kebahasaan tersebut, kata "Kritik" bisa diartikan upaya membedakan
antara yang benar (asli) dan yang salah (palsu) .Kata “an-naqd” ini telah
digunakan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua Hijriah, hanya
saja istilah ini belum populer di kalangan mereka. Berdasarkan pada
4 Ibn Mnzur. Lizan Al – Arab Juz III. Hlm 434 - 435 5 Muhammad tahrir Al – Jawabai, Juhud Al Muhaddisin fi Naqd Matn Al – hadist Al –
Nabawi al – Syarif ( Tunis : Muassat A, al – KarimIbn Abdullah [t.th]), hal 88 - 896 http://kafilahcinta.roomforum.com/al-hadist-f3/arti-sanad-dan-matan-hadis-t9.htm 7 Kata "kritik" berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam
penganalisaan, ada uraian baik buruk terhadap suatu karya. ( Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka) hlm. 466
8 Atar Semi, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987) hlm.7.9 http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
5
perumusan definisi kritik hadits di atas hakikatnya kritik hadits bukan
digunakan untuk menilai salah atau membuktikan ketidak benaran sabda
Rasulullah Saw, karena otoritas nubuwwah dan penerimaan mandat risalah
dijamin terhindar dari salah berkata atau melanggar norma.10
Sedangkan sebagai disiplin Ilmu Kritik hadits adalah:
معلمه دالئل دات خاصة بألفاظ وتعديال تجريحا الرواة على الحكم
او لتصحيحها سندها صح التى االحادث متنون والنظر اهله عند
التعارض ودفع صحيحها من مشكل بدا عما االشكال ولرفع تضيفها
مقاييسدقيقه بتطبيق بينها
Penetapan status cacat atau adil pada perawi hadits dengan mengunakan
idiom khusus berdasarkan bukti-bukti yang mudah diketahui oleh ahlinya, dan
mencermati matam-matan hadits sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan
mengakui validitas atau menilai lemah dan upayta menyingkap kemuskilan
pada matan hadits yang shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar
matan dengan mengaplikasikan tolok ukur yang detail.11
Dari beberapa definisi diatas, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha untuk
menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan
hadis yang sahih atau yang lebih kuat dan yang tidak.
10 Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm. 1011 Al-Jawabi, juhud al-Muhaditsin, hlm 94
6
B. Kaidah dalam Kritik Matan
Syarat-syarat untuk menerima hadits-hadits Nabi yang shahih (baik) yang
berhubungan dengan matan:
Mengenai matan hadits itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz, yaitu salah
seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lain
yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya.
Hadits tersebut tidaklah berilah qadinah, yaitu cacat yang diketahui oleh
para ahli hadits sehingga mereka menolaknya.
Menurut ulama hadis, suatu hadis dikatakan berkualitas shahih (dalam hal ini
shahih li zatih) apabila sanad dan matannya sama-sama berkualitas shahih.
Adapun kaidah-kaidah yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas
shahih adalah sebagai berikut :
Terhindar dari syudzudz (kejanggalan), dan
Terhindar dari Illat (cacat)
Menururt Shalah al Din al Adlabi ada 4 tolak ukur penelitian keshohihan matan
hadits:
Tidak bertentangan dengan petunjuk Al Qur’an.
Tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih baik.
Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Susunan pernyataanmya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.12
12 Salah Al – Din bin Ahmad Al – Adabi, op. Cit., hlm. 238
7
Menurut ulama jumhur 4 unsur tolak ukur di atas adalah tolak ukur unsur untuk
meneliti kepalsuan suatu hadits, tanda-tanda matan hadits yang palsu (maudlu)
adalah:
Susunannya bahasa rancu.
Isinya bertentangan dengan akal sehat dan sangat sulit diinterpretasikan
secara rasional.
Isinya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam.
Isinya bertentangan dengan hukum dan sunnatullah.
Isinya bertentangan dengan sejarah pasti.
Isinya bertentangan dengan petunjuk Al Qur’an ataupun hadits mutawatir
yang telah menjadi suatu petunjuk secara pasti.
Isinya barada diluar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.13
Meskipun tolak ukur tersebut tampak menyeluruh tetapi tingkat ukurannya
ditentukan oleh ketetapan metodologis dalam penerapannya, oleh karena
itu kecerdasan pengetahuan dan kecermatan dalam penelitian. Al Khatib al
Baghdadi menjelaskan bahwa hadits yang yang maqbul haruslah:
Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Tidak bertentangan dengan hukum al qur’an yang telah muhkam.
Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir.
Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama
masa lalu (ulama salaf).
13 Salahud-Din bin Ahmad Al-Adabi, Manhaj Naql matn, (Beirut : Dar – al Afaq al – Jadidah, 1403 H/ 1983 M), h 237 – 238 dalam M syuhudi Isma’il, Metodelogi PenelitianHadis Nabi, Op. Cit, H 128.
8
Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshohihan lebih
kuat.14
C. Persyaratan Dasar Kritikus
Salah satu persyaratan hadis shahih yang harus dipenuhi oleh seorang
reriwayat hadis adalah dhabit. Pengertian dhabit adalah seorang periwayat
memahami apa yang didengar dan menghafalnya ketika dibacakan. Dia juga
harus menjaga hafalannya semenjak dia mendengar hadis tersebut dari
gurunya (tahammul) sampai dia membacakan kembali pada orang lain (al-
Ada'). Seorang periwayat hadis disebut hafiz dan 'alim, apabila dia
meriwayatkan hadis dari hafalannya yang didengar. Seorang periwayat
dikatakan fahim apabila meriwayatkan hadis dari pengertian dan pemahannya
(ma'nawi). Seorang periwayat juga harus dapat memelihara catatan hadisnya
dari perubahan, baik mengurangi, menambah, mengganti atau menukar dari
aslinya.15 Seorang kritikus pasti mengetahui hal tersebut dan hal itu dapat
dijadikan dasar persyaratan seorang kritikus matan hadis.
D. Upaya Mengatasi Hadis yang Kontradiktif
14 Salah Al – Din bin Ahmad Al – Adabi, Manhaj Naqd al Matn (Beirut : Dara al – Afaq al – Jadidah, 1403 H/1983 M), hlm. 126
15 Muhammad 'Ajjaj al-Khatib,Ushul al-Hadis, (Beirut; Dar el-Fikr, 1998), h. 305
9
Menurut Hamzah Abu al-Fath, pada dasarnya tidak ada sabda-sabda Rasulullah
saw. yang saling bertentangan. Adapun pertentangan-pertentangan yang
nampak tersebut dipicu oleh hal-hal berikut:
1. Kesalahan dalam menukil
2. Adanya riwayat bi al-ma'na yang berkonskuensi pada adanya riwayat yang
maknanya jauh dari apa yang disabdakan Nabi saw.
3. Adanya upaya perawi untuk merafa'kan hadits hingga sampai pada Nabi
dari apa yang sebenarnya merupakan perkataan sahabat. dll.16
Dalam konteks yang lebih luas, tidak sekadar memahami hadis-hadis yang
kontradiktif satu dengan yang lainnya, ada beberapa petunjuk yang mesti
menjadi pegangan dalam memahami hadis-hadis Nabi seperti yang ditulis oleh
Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Bagaimana Memahami Hadits Nabi, yakni :
pertama, memahami hadis hendaknya harus sesuai dengan petunjuk Alquran.
Kedua, menghimpun hadis yang terjalin dalam tema yang sama. Ketiga,
penggabungan atau pen-tarjih-an antara hadis yang tampak bertentangan.
Keempat, memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya
situasi, dan kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya. Kelima,
membedakan antara sarana yang berubah dan sasaran yang tetap. Keenam,
membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat
majaz. Ketujuh, membedakan antara alam gaib dan alam kasat mata.
Kedelapan, memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.17
16 Al-Sijastani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as. Sunan Abi Dawud. Juz I. Dikoreksi dan diberi nomor oleh Sidqi Muhammad Jamil. Semarang: Toha Putra, t.th.
17 Azami, Muhammad Musthafa. Metodologi Kritik Hadis. Terj. A. Yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
10
Memahami hadis dengan memerhatikan delapan hal itu dengan catatan bahwa
sumber-sumbernya sudah dipastikan keshahihannya, meski tidak shahih
seratus persen, setidaknya sudah taraf shahih, minimal hasan. Tidak hanya
shahih sanadnya, namun shahih matannya, dan dalam konteks hadis-hadis
shahih inilah pemahaman terhadap hadis dilakukan.
E. Metodologi Kritik Hadis di Kalangan Orientalis
M. Syuhudi Ismail mengungkapkan langkah – langkah dalam kegiatan
penelitian matan hadis, antara lain sebagai berikut :
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
2. Meneliti susunan, matan lafal yang semakna.
3. Meneliti kandungan matan.18
Dalam menyikapi perbedaan lafal dapat diteliti dengan metode perbandingan
(muqarranah)/comparison, dan pertanyaan silang atau rujuk silang dan
tambahan (Ziyadah)/cross question and cross referense.19 Yang dimaksud
kritik matan pada masa Nabi SAW. adalah sikap kritis para sahabat terhadap
segala sesuatu yang dinilai janggal pada pemahaman mereka.20
Metode perbandingan (muqarranah)/comparrison dan pertanyaan silang dan
rujuk silang atau tambahan (Ziyadah)/cross question and cross referense dapat
dilakukan dengan cara :
18 H. M Syuhudi Ismail, Metodelogi Peneiitia Hadis Nabi, Op.cit hal 12119 Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature,( Indiana:
Islamic Teaching Center Indianapolis, 1977), h. 5220 Ahmad Fudhaili., Loc. Cit.
11
1. Perbandingan antara hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an
2. Perbandingan antara beberapa riwayat (jalur sanad) yang mempunyai tema
yang sama.
3. Perbandingan antara satu hadis dengan hadis yang lain yang terkesan
kontradiktif.21
Sedangkan menurut Muhammad Musthafa Azami metode ini diterapkan
dengan empat cara:
1. Perbandingan antara hadis-hadis dari berbagai murid seorang guru (syeikh)
2. Perbandingan antara pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang
dikeluarkan pada waktu yang berlainan.
3. Perbandingan antara tradisi lisan dengan dokumen tertulis.
4. Perbandingan antara hadis dengan ayat al-Qur'an yang berkaitan.22
Metode perbandingan (muqarranah)/comparrison, dan pertanyaan silang dan
rujuk silang atau tambahan (Ziyadah)/cross question and cross referense
adalah metode kritik matan hadis yang telah dibakukan oleh ulama-ulama ahli
hadis.
F. Kritik Hadis Ilmuan Muslim Kontemporer (Muhammad Al – Ghazali dan
Nashiruddin Al - Bani)
Keterhindaran dari sydz dan illat, menurut Muhammad Al – Ghazali
merupakan persyaratan kesahihan matan. Selain itu Muhammad Al – Ghazali
21 Musfir 'Azamullah al-Dumainy, Maqayis Naqd Matn al-Sunnah,(Riyadh: tt, 1984), Cet. Ke-I, h. 62-161
22 Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literatur, Op. Cit. H. 52
12
tidak mensyaratkan kesambungan sanad sebagai salah satu syarat kesahihan
sanad hadis. Demikian pula tentang keterhindaran sanad dari syaz dan illat
sebagai salah satu syarat kesahihan sanad hadis sudah merupakan kesepakatan
Muhadditsin. Namun, dalam hal ini muhaddisi terbagi dua, ada yang ketat
dalam menvonis suatu sanad hadis, ada juga yang agak longgar.
Hadis yang terdapat dalam Sahih Al Bukhari, terdapat dalam kitab janaiz, bab
al mayyit yu’ azzab bibuka’i ahlih :
عن : مسهر بن علي حدثنا حجر بن علي حدثنى البخارى قالصهيب جعل عمر أصيب لم!ا قال أبيه عن بردة أبى عن ني! الشيبا
الله رسول أن! علمت اما صهيب يا عمر له فقال واأخاه يقولببكاءالحي!. ليعذب !ت المي ان! قال م ص
“Orang yang meninggal diazab karna di tangisi yang hidup (keluarganya)”
Hadis diatas telah memenuhi kriteria kesahihan sanad, baik dilihat dari
kebersambungan sanad maupun dari kapasitas dan kwalitas parawi, dan sanad
hadis tersbut mmiliki musyahid dan muttabi’ . Dngan adanya jalur pendukung
baik pada tingkat sahabat (musyahid) maupun pada tingkat (mutabi’) sampai
pada tingkat musanif , maka sanad hadis tersebut semakin baik dan kuat. Dari
37 jalur sanad hadis yang di teliti terlihat bahwa redaksi matan hadis tersbut
memiliki perbdaan satu dengan lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa hadis
itu diriwayatkan secara makna.
Sementara menurut Muhammad Al Ghazali, dari 37 jalur sanad hadis diatas
hanya dua jalur yang dapat diterima, yaitu jalur kelima dan ketujuh yang
terdapat dalam sahih muslim . riwayat dari Aisyah, dan yang lainnya harus
ditolak. Argumen Muhammad Al Ghazali ini didasari oleh pendapat Aisyah
13
yang mengkritik sahabat yang meriwayatkan hadis diatas.Menurut Aisyah
riwayat mereka bertentangan dengan pesan Alquran surat Al An’am : 164
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia
adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa
melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah
kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan". (QS Al – An’am : 164)
Dalam riwayat aisyah disebutkan bahwa mayit yang disiksa dalam kubur
adalah orang yahudi, bukan orang mukmin. Karena itu Muhammad Al-
ghazali, metode yang ditempuh oleh aisyah dapat dijadikan dasar untuk
menguji kesahihan disebuah hadis, yaitu menghadapkannya dnganh nas-nas
Alquran. Demikianlah aisyah dengan tegas dan berani menolak periwayatan
suatu hadis yang bertentang dengan Alquran. Metode yang ditempuh aisyah
dalam menentukan kualitas hadis kemudian oleh ulama’ hadis
dikembangkannya menjadi metode kritik matan hadis. Pada masa sahabat,
kegiatan kritik matan hadis berupa perbandingan atau mencocokkan matan
hadis yang diketahui oleh seorang sahabat dengan sahabat yang lainnya, atau
membandingkannya dengan Alquran. Apabila hadis yang diperbandingkan itu
14
sama redaksinya, maka dikumpulkan bahwa hadis itu diriwayatkan bi al-lafaz.
Sebaliknya apabila redaksi matan hadis itu memiliki perbedaan dan perbedaan
itu tidak menyebabkan perubahan makna itulah kemudian yang dikenal
dengan hadis riwayat bi al-ma’na.
Menurut Muhammmad Al-ghazali, muhadditsin klasik justru meletakkan
hadis sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungkin salah dan tidak mungkin
dibatalakan oleh Alquran. Sebagai pelapor pendapat tersebut, menurut Al-
Ghazali adalah imam al-syafi’i. Al syafi’i dengan ikhtilaf al hadis-nya,
berusaha menta’wil hadis-hadis yang kelihatan bertentangan, baik terhadap
sesama hadis maupun dengan Alquran, kemudian menyimpulkan bahwa tidak
ada hadis yang bertentangan. Muhammad Al-Ghazali berusaha meluruskan
pendapat yang mengutamakan hadis dari pada Alquran. Didalam karya-
karyanya kelihatan betul bahwa ia ingin membawa hadis kembali kebawah
pengayoman prinsip-prinsip Alquran.
Sedangkan menurut Nashiruddin Al – Bani, penilaiannya terhadap hadis dapat
dicontohkan melalui hadis berikut,
Berikut ini adalah contoh hadis :
ة< م? ح@ ر? مBتيCأ Cال?فFت إFخ@
15
"Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat".
Syekh Nashiruddin al-Albani (1986: 80) menilai bahwa hadis ini tidak ada
dasar dan sumbernya ( ل?ه ل? ص@أ? ال? ). Sebuah hadis harus terdiri dari unsur sanad
dan matan. Hadis yang dibicarakan ini belum pernah ditemukan sanadnya,
sebab memang bukan sabda Nabi SAW. Hadis yang ada sanadnya adalah
hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
FهFك ت?ر@ فFي@ Iد ح?أل? عCذ@ر? ال? FهFب Cال@ع?م?ل ف? Fالله Fت?ابFك مFن@ تFي@تCم@ و@
Cأ ا م? ه@ م?
نBة< Cس ت?كCن@ ل?م@ إFن@ ف? ي?ة< Fاض م? نOي@ Fم نBة< Cف?س Fالله Fت?ابFك فFي@ ي?كCن@ ل?م@ إFن@ ف?
Fاء م? Bالس فFي Fو@م CجSالن Fل?ةFن@ز بFم? ابFي@ ح? ص@أ? Bإن ابFي@ ح? ص@
أ? Cال?ه ق? ا م? ف? نOي@ Fم
ت?د?ي@تCم@ اه@ FهFب ذ@تCم@ خ?أ? ا يSم?
أ? ابFي@ ف? ح? ص@أ? Cال?فFت ة< و?اخ@ م? ح@ ر? ل?كCم@
“Selagi kamu telah diberi kitab Allah, maka ia harus diamalkan. Tidak ada
alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya. Apabila tidak ada
keterangan dalam kitab Allah, maka (kamu harus memakai) Sunnah
daripadaku yang berjalan. Apabila tidak ada keterangan dalam Sunnah,
maka (kamu harus memakai) pendapat para sahabatku. Sesungguhnya para
sahabatku itu ibarat bintang-bintang di langit. Mana yang kamu ambil
pendapatnya, kamu akan mendapatkan petunjuk. Dan perbedaan (pendapat)
para sahabatku itu merupakan rahmat bagi kamu”.
Hadis ini diriwayatkan Baihaqi (458 H/1067 M) dalam kitabnya al-Madkhal
ilâ as-Sunan al-Kubrâ, al-Khathib al-Baghdadî (463 H/1072 M) dalam
kitabnya al-Kifâyah fî `Ilm ar-Riwâyah. Di antara periwayat dalam sanadnya
bernama Juwaibir dan adh-Dhahhak. Ibn Hajar al-`Asqalânî (852 H/1449
16
M) dalam Tahdzîb at-Tahdzîb (1404 H/1984 M, II: 123) dan adz-Dzahabî
(748 H/1347 M) dalam Mîzân al-I`tidâl fî Naqd ar-Rijâl (1382 H/1963 M, I:
427) menyebutkan bahwa Juwaibir dinilai sebagai munkar, matrûk, dan
dzâhib al-hadîts (pemalsu hadis). Adh-Dhahhâk diklaim menerima hadis
tersebut dari Ibn Abbas, padahal ia tidak pernah bertemu dengan Ibn Abbas.
Dengan demikian, hadis tersebut kualitasnya sangat daif, yakni matrûk
(tertolak). Bahkan al-Albani menilainya sebagai hadis palsu.
Dilihat dari segi kandungannya, bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat.
Hal ini belum tentu, sebab boleh jadi perbedaan pendapat justru menjadi
laknat. Bukankah perbedaan pendapat itu biasanya merupakan pemicu awal
terjadinya pertentangan. Pertentangan membuka peluang terjadinya
perpecahan. sehingga tidak mau bekerja sama apalagi bersatu. Perbedaan
pendapat dalam masalah aqidah dan tauhid, khususnya mengenai kesaan
Allah adalah tidak boleh. Sedang perbedaan pendapat dalam masalah fiqh
yang bersifat furu`iyah (bukan prinsip) adalah boleh saja. Dalam ilmu fiqh
ada lembaga ijtihad sebagai bentuk pengakuan adanya perbedaan pendapat
itu.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari isi diatas dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu :
17
1. Matan hadits ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover
oleh beberapa sanad, baik pembicaraan itu berasal dari sabda Rasulullah
saw., sahabat, ataupun tabi'in; baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan
Nabi maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi. Dalam
literatur Arab kata “an-naqd” dipakai untuk arti “kritik” atau
“memisahkan yang baik dari yang buruk.
2. Para ulama’ hadits menetapkan beberapa syarat untuk menyeleksi antara
hadis-hadis yang sahih dan yang maudhu‘ para pakar hadis menetapkan
ciri-ciri hadis shahih sebagai tolok ukurnya.
3. Dalam meriwayatkan matan hadis argumen Muhammad Al Ghazali
didasari oleh pendapat Aisyah yang mengkritik sahabat yang
meriwayatkan hadis dengan menggunakan perbandingan Alquran.
Sedangkan Syekh Nashiruddin al-Albani menilai sebuah hadis harus
terdiri dari unsur sanad dan matan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci; Kritik atas hadis-hadis shaheh, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), Cet. Ke- I
18
Al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi. Sahih Muslim. Juz I. Diberi nomor oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi. Beirut: dar all-Fikr, 1992.
Al-Sijastani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as. Sunan Abi Dawud. Juz I. Dikoreksi dan diberi nomor oleh Sidqi Muhammad Jamil. Semarang: Toha Putra
Azami, Muhammad Musthafa. Metodologi Kritik Hadis. Terj. A. Yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
http://kafilahcinta.roomforum.com/al-hadist-f3/arti-sanad-dan-matan-hadis-t9.htm
Ibn Mnzur. Lizan Al – Arab Juz III.
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka) hlm. 466
M. Thahir al-jawabi, Juhul al-Muhaddisin fi naqdi matni al-hadis al-nabawi al-syarif , Tunisia; muasasah ‘abd karim 1986
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib,Ushul al-Hadis, (Beirut; Dar el-Fikr, 1998).
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature,( Indiana: Islamic Teaching Center Indianapolis, 1977).
Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literatur.
Muhammad tahrir Al – Jawabai, Juhud Al Muhaddisin fi Naqd Matn Al – hadist Al – Nabawi al – Syarif ( Tunis : Muassat A, al – KarimIbn Abdullah [t.th]).
Musfir 'Azamullah al-Dumainy, Maqayis Naqd Matn al-Sunnah,(Riyadh: tt, 1984), Cet. Ke-I
Muslim bin al-Hajjaj, muqadimah al-jami’ al-shahih jilid I, mesir 1955
Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya. Gema Insani Press. Jakarta : 1995.
Salah Al – Din bin Ahmad Al – Adabi, Manhaj Naqd al Matn (Beirut : Dara al – Afaq al – Jadidah, 1403 H/1983 M).
Subhi Shalih, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, (Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin, 1997). Hlm.145; Lihat juga dalam Mahmud Tahhan, 1985, Taysir Musthalah Al-Hadits, (Surabaya: al-Hidayah), cet.VIII
19
Syaikh Muhammad Al Ghazali, Studi Kritik Atas Hadits Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Penj. Muhammad Al Baqir, (Bandung: Mizan, 1993).