koordinasi strategis asistensi percepatan...
TRANSCRIPT
2015
LAPORAN AKHIR KOORDINASI STRATEGIS ASISTENSI
PERCEPATAN PEMBANGUNAN
PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT
Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 2
KATA PENGANTAR
Laporan Akhir Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat Tahun 2015 disusun dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban atas pelaksanaan
Program/Kegiatan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2015, sesuai
dengan Peraturan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 04/M.PPN/2009 tentang Pedoman
Pengelolaan Kegiatan dan Anggaran di Lingkungan Kantor Kementerian PPN/Bappenas, sekaligus
diharapkan dapat menjadi lesson learned untuk penyempurnaan kebijakan selanjutnya.
Maksud dan tujuan dilaksanakannya Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2015 ini adalah untuk mengkoordinasikan
dan mensinkronisasikan hasil-hasil yang telah dicapai dalam penerapan proses perencanaan,
koordinasi dan pelaksanaan program percepatan pembangunan khususnya di Wilayah Papua.
Kemudian permasalahan dan kendala yang dihadapi akan diidentifikasi dan dianalisis untuk
diupayakan pemberian saran dan alternatif pemecahan untuk perbaikan proses perencanaan dan
pelaksanaan program/kegiatan pada tahun yang akan datang.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat Tahun 2015 ini masih belum mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritiknya sebagai penyempurnaan dalam pelaksanaan koordinasi
percepatan pembangunan di Wilayah Papua pada tahun berikutnya.
Jakarta, Desember 2015
Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 3
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................................................................................... 5
1.2. Maksud dan Tujuan ............................................................................................................................................. 9
1.3. Sasaran ................................................................................................................................................................... 10
1.4. Metode Pelaksanaan ......................................................................................................................................... 11
BAB 2 IDENTIFIKASI KEGIATAN KOORDINASI STRATEGIS ASISTENSI PERCEPATAN
PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT ..................................................................................... 13
2.1. Lingkup Kegiatan................................................................................................................................................ 13
2.2. Keluaran Kegiatan .............................................................................................................................................. 14
2.3. Penerima Manfaat dan Satuan Ukur (Indikator) .................................................................................. 15
BAB 3 ANALISIS PELAKSANAAN KOORDINASI STRATEGIS ASISTENSI PERCEPATAN
PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT ..................................................................................... 17
3.1. Koordinasi dalam Rangka Sosialisasi Arah Kebijakan Pembangunan Wilayah Papua dalam
RPJMN 2015-2019 ............................................................................................................................................................ 20
3.1.1. Arah Kebijakan Pembangunan Wilayah Papua 2015-2019 .................................................... 20
3.1.2. Sosialisasi Kebijakan Pembangunan Wilayah Papua dalam Temu Kawasan Adat ....... 24
3.2. Koordinasi Program Pembangunan Dalam Rangka Otonomi Khusus Di Provinsi Papua dan
Papua Barat ......................................................................................................................................................................... 26
3.2.1. Pelaksanaan Program Pendidikan dan Kesehatan ..................................................................... 26
3.2.2. Upaya Mensistemkan Layanan Pendidikan dan Kesehatan yang Kontekstual Papua . 33
3.2.3. Koordinasi Pemanfaatan Alokasi Dana Tambahan Infrastruktur dalam Rangka
Otonomi Khusus ........................................................................................................................................................... 40
3.3. Koordinasi Program Pengembangan Ekonomi Lokal bagi Masyarakat Asli Papua ................ 44
3.1.1. Identifikasi Permasalahan .................................................................................................................... 45
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 4
3.1.2. Prinsip-Prinsip Pengembangan Ekonomi Lokal .......................................................................... 48
3.1.3. Analisis Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal ........................................................................ 51
3.4. Koordinasi Rencana Pembangunan Kawasan Strategis Di Provinsi Papua dan Papua
Barat… ................................................................................................................................................................................... 56
3.4.1. Rencana Pembangunan KEK di Merauke........................................................................................ 58
3.4.2. Rencana Pembangunan KEK di Sorong ........................................................................................... 61
BAB 4 PENUTUP ..................................................................................................................................................................... 63
4.1. Kesimpulan ........................................................................................................................................................... 63
4.2. Rekomendasi ........................................................................................................................................................ 64
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 5
Gb. 1 Pembangunan KPE Berbasis Wilayah Adat
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Percepatan Pembangunan Wilayah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) saat
ini dilaksanakan dengan mengedepankan Pendekatan Sosial Budaya, untuk mengoptimalkan
kinerja pembangunan yang telah dilakukan sebelumnya. Kearifan lokal dan keunikan karakteristik
sosial budaya yang berkembang di Wilayah Papua menjadi modal sosial, modal kultural dan modal
spiritual dalam pembangunan. Realitas ini diakomodir dalam RPJMN 2015-2019 sebagai bentuk
hasil dari koordinasi antara pemerintah c.q Kementerian PPN/Bappenas dengan pemerintah
daerah, khususnya pada Buku III Bab II Arah Pengembangan Wilayah Papua. Sebagai konsekuensi
dari penggunaan pendekatan sosial budaya, maka salah satu tujuan pembangunan Wilayah Papua
yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019 yaitu Pengembangan kemandirian ekonomi berkelanjutan
berbasis wilayah adat, melalui pengembangan 5 kawasan adat dengan fokus pada hilirisasi
komoditas unggulan lokal.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 6
Adapun pembagian 5 (lima) Kawasan Pengembangan Ekonomi berbasis wilayah adat tersebut
yaitu: (1) KPE Saereri, meliputi Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Kepulauan Yapen, dan Waropen;
(2) KPE Mamta, meliputi Kabupaten Mamberamo Raya, Jayapura, Keerom, Sarmi, dan Kota
Jayapura; (3) KPE Me Pago, meliputi Kabupaten Nabire, Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, dan
Mimika; (4) KPE La Pago, meliputi Kabupaten Mamberamo Tengah, Jayawijaya, Lanny Jaya, Nduga,
Pegunungan Bintang, Tolikara, Yalimo, Yahukimo, Puncak, dan Puncak Jaya; serta (5) KPE Ha Anim,
meliputi Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi, dan Boven Digoel.
Berdasarkan beberapa indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah, capaian
pembangunan mengalami perkembangan yang cukup signifikan, dengan peningkatan angka IPM
dan penurunan persentase angka kemiskinan antara periode sebelum dan sesudah otonomi
khusus. Walaupun apabila dibandingkan dengan wilayah lain, ataupun capaian nasional, angka
tersebut masih sangat rendah. Capaian di bidang ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi wilayah papua dengan migas selama kurun waktu 2009 –2013 sebesar 9,6 persen (dengan
migas) atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,9 persen. Namun, perlu
ditelaah kembali bahwa kontribusi lapangan usaha terbesar yaitu dari sektor pertambangan,
dimana sektor usaha tersebut kurang mampu mendayagunakan masyarakat asli Papua secara
optima, sehingga perlu dorongan pada sektor lain yang dapat menggerakkan aktivitas
perekonomian masyarakat secara langsung, misalnya sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Capaian pembangunan Wilayah Papua yang lebih rendah daripada wilayah lain di Indonesia perlu
dipahami juga dari aspek historis, bahwa pembangunan Wilayah Papua baru dimulai secara
kondusif pada tahun 1970-an (bergabungnya Irian Barat ke Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963),
sedangkan provinsi lain di Indonesia elah memulai pembangunannya terlebih dahulu.
Kondisi eksisting di Wilayah Pulau Papua tersebut membutuhkan upaya khusus untuk
melakukan percepatan pembangunan. Sesuai dengan visi misi Presiden, khususnya pada Nawa Cita
ke-3 (membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah – daerah dan desa dalam
kerangka Negara kesatuan), Nawa Cita ke-5 (meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia), dan
Nawa Cita ke-6 (meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional), maka
percepatan pembangunan di Wilayah Pulau Papua akan difokuskan pada: (1) pemberdayaan
ekonomi masyarakat lokal, (2) peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan terutama di
wilayah terisolir, (3) pembangunan infrastruktur transportasi untuk membuka keterisolasian, (4)
pemihakan terhadap Orang Asli Papua, (5) penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah,
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 7
(6) pembangunan sentra logistik untuk mengatasi kemahalan, (7) pengembangan energi baru dan
terbarukan terutama di wilayah terisolir, dan (8) penguatan kelembagaan percepatan
pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Provinsi Papua memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, yaitu
kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan daerahnya,
dengan dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang
direvisi dengan UU No. 35 Tahun 2008. UU No. 21 Tahun 2001 merupakan nyata atas keberpihakan
kebijakan Pemerintah terhadap rakyat Papua. Pasal 1 angka (1) UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menyatakan bahwa Otonomi Khusus adalah kewenangan
khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Di
samping itu, keberpihakan pemerintah juga ditunjukkan melalui afirmasi pendanaan yang
diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat, melalui dana otsus (2% dari DAU), dana
tambahan infrastruktur, dan persentase pembagian DBH.
Pada pelaksanaannya, otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat yang
dilatarbelakangi untuk memberikan kesejahteraan dan pengakuan terhadap hak-hak dasar
masyarakat asli Papua, belum dapat berjalan secara optimal. Kesenjangan dalam mengakses
Gb. 2 Skema Kebijakan Pembangunan Wilayah Papua
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 8
fasilitas pelayanan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan antara wilayah Papua dengan wilayah lain
masih sangat tinggi. Kemudian, untuk menjawab permasalahan tersebut, Presiden mengeluarkan
Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat yang berlaku
hingga tahun 2010 dengan lima kebijakan baru pembangunan Papua, yaitu: (1) Pemantapan
ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan; (2) Peningkatan kualitas penyelenggaraan
pendidikan; (3) Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; (4) Peningkatan infrastruktur dasar
guna meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman, dan perbatasan Negara; dan (5)
Perlakuan khusus (affirmative action) bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia putra-
putri asli Papua. Kemudian, sebagai kelanjutannya, Presiden mengeluarkan Perpres No. 65 Tahun
2011 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B) dan Perpres No. 66 Tahun
2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang berakhir pada
tahun 2014, dengan prioritas program, yaitu: (1) pengembangan ekonomi masyarakat asli Papua;
(2) peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang menjangkau di kampung terisolir; (3)
membuka akses infrastruktur di Pegunungan Tengah dan wilayah terisolir Papua dan Papua Barat
lainnya; (4) pemihakan putra-putri asli Papua dalam pendidikan kedinasan dan pendidikan
menengah (affirmative action); dan (5) meningkatkan kemampuan kelembagaan pemerintahan
Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua dan Papua Barat. Kegiatan koordinasi ini juga didukung
donor UNDP melalui Program Pembangunan yang Berpusat Pada Rakyat (People-Centered
Development Programme), dengan grant agreement Nomor 70733301 antara Pemerintah Indonesia
cq Kementerian PPN/Bappenas dengan UNDP, sejak sejak 1 Februari 2011 hingga 31 Desember
2014, dan akan diperpanjang hingga Juni 2015, dengan spesifik program livelihood yaitu
pengembangan ekonomi lokal masyarakat yang berbasis hilirisasi komoditas unggulan lokal,
dengan tujuan menciptakan pendapatan tetap bagi masyarakat asli Papua.
Keberpihakan kebijakan percepatan pembangunan Wilayah Papua membutuhkan dukungan
kerangka regulasi dan kelembagaan yang kuat. Untuk itu, kegiatan Koordinasi Strategis Asistensi
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat dalam hal ini dimaksudkan dapat
menjadi salah satu strategi untuk mengkoordinasi upaya-upaya pemerintah bagi percepatan
pembangunan Wilayah Papua, di samping juga menjadi strategi untuk memfasilitasi dan
mendampingi pemerintah daerah dalam merencanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan
pembangunan supaya berjalan lebih efisien dan optimal. Kegiatan koordinasi ini sekaligus menjadi
strategi dalam mensinkronkan program/kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah daerah,
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 9
mengingat beberapa program/kegiatan bersifat kurang efektif dan efisien, overlapping, bahkan
bersifat kontraproduktif.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan kegiatan koordinasi percepatan pembangunan Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat adalah untuk mendukung tercapainya hasil dan dampak yang diharapkan dari
pelaksanaan percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Kegiatan koordinasi yang
dilakukan dalam bentuk memberikan dukungan kepada kedua provinsi dalam melakukan
koordinasi dengan stakeholder dan memfasilitasi penyusunan Rencana Induk dan Rencana Aksi
percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat dengan tujuan memecahkan permasalahan
utama yang dihadapi Provinsi Papua dan Papua Barat, serta mengoptimalkan pelaksanaan otonomi
khusus.
Kegiatan koordinasi yang dilakukan oleh Tim Asistensi Percepatan Pembangunan Papua dan
Papua Barat bertujuan untuk menjamin kelancaran proses koordinasi perencanaan, pendampingan,
fasilitasi, dan pelaksanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, serta terkait
dengan proses koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan, Monitoring, Evaluasi pelaksanaan
pembangunan secara menyeluruh dan berkelanjutan baik di tingkat pusat maupun sinkronisasi dan
fasilitasi dengan pemerintah daerah.
Koordinasi perencanaan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat, merupakan rangkaian proses koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan, Monitoring, Evaluasi
secara menyeluruh dan berkelanjutan baik di tingkat pusat maupun daerah. Rincian tugas dari Tim
Koordinasi Teknis adalah sebagai berikut.
a. Melakukan fasilitasi dan bantuan teknis kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat dalam Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat, serta koordinasi pelaksanaannya;
b. Melakukan fasilitasi dan supervisi kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
dalam koordinasi pelaksanaan Rencana Aksi; Menghimpun semua rencana kerja dan laporan
pelaksanaan yang disampaikan oleh masing-masing Kementerian Koordinator,
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 10
Kementerian/Lembaga, dan instansi terkait lain yang dipandang perlu dengan kebijakan
afirmasi untuk pembangunan Papua;
c. Melakukan sinkronisasi rencana kerja yang disampaikan masing-masing Kementerian
Koordinator, Kementerian/Lembaga, dan konsultasi dengan Pemerintah Provinsi Papua,
Provinsi Papua Barat;
d. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana aksi oleh Kementerian
Koordinator, Kementerian/Lembaga terkait, Pemerintah Daerah; dan
e. Melaksanakan tugas lainnya yang terkait sesuai arahan-arahan dari Menteri PPN/Kepala
BAPPENAS.
Berdasarkan kegiatan koordinasi strategis asistensi percepatan pembangunan Provinsi Papua
dan Papua Barat, terdapat beberapa manfaat yang diperoleh, antara lain sebagai berikut.
1) Meningkatnya kualitas koordinasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan percepatan
pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;
2) Meningkatnya kualitas proses monitoring, evaluasi, dan pelaporan percepatan pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sehingga terdapat indikator output dan outcome yang
jelas dan terukur;
3) Meningkatnya kapasitas aparatur pemerintah daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;
Dampak yang didapat dari koordinasi percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat adalah meningkatnya kualitas dan kapasitas aparatur pemerintah daerah, serta
meningkatnya aksesibilitas dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat.
1.3. Sasaran
Sasaran dari kegiatan Koordinasi Strategis Tim Teknis Tim Asistensi Percepatan
Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah:
a. Peningkatan kualitas SDM aparatur pemerintah daerah dalam penyusunan perencanaan
program/kegiatan dalam percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat;
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 11
b. Peningkatan kualitas dan kuantitas hasil-hasil pelaksanaan program/kegiatan pembangunan
sektor maupun daerah;
c. Peningkatan efektivitas dan efisiensi perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan
percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat;
d. Peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana dasar ekonomi dan sosial di Provinsi Papua
dan Papua Barat;
e. Penyelesaian dokumen laporan akhir sebagai hasil dari kegiatan koordinasi strategis
percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
1.4. Metode Pelaksanaan
Pelaksanaan koordinasi strategis Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat dilaksanakan dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan top-
down dan bottom-up. Pendekatan top-down dipergunakan dalam penetapan prioritas pembangunan
nasional dan anggaran dari pusat. Sedangkan pendekatan bottom-up lebih dipergunakan pada saat
menyusun kegiatan berdasarkan usulan dari daerah dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi.
Pendekatan tersebut dilakukan dalam bentuk-bentuk kegiatan berikut:
a. Diskusi Panel, Focus Group Discussion (FGD), dan rapat koordinasi dengan
Kementerian/Lembaga terkait serta pemerintah daerah. Di tingkat pusat, koordinasi dilakukan
melalui Rapat Koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dalam rangka koordinasi dan
sinkronisasi program percepatan pembangunan program untuk Provinsi Papua dan Papua
Barat, untuk mensinergiskan antara prioritas nasional, kegiatan pembangunan dan
ketersediaan anggaran. Di tingkat daerah, juga dilakukan diskusi dan rapat koordinasi untuk
memperdalam isu/hambatan dalam pelaksanaan percepatan pembangunan, serta identifikasi
potensi/peluang yang dapat dioptimalkan untuk pembangunan Papua.
b. Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) untuk mengkoordinasikan dan
mensinkronkan antara prioritas pembangunan nasional dengan usulan daerah. Musrenbang ini
melibatkan tiga pihak yaitu pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota,
kementerian/lembaga dan Bappenas.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 12
c. Di samping itu, dilakukan juga rapat internal secara intensif dalam rangka membahas
program/kegiatan terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan infratsruktur transportasi
dengan K/L terkait dan daerah dalam upaya percepatan pembangunan, mengingat periode
pelaksanaan otonomi khusus akan berakhir dalam 6 tahun ke depan.
d. Monitoring dan evaluasi program-program Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat
yang dilakukan dalam bentuk kunjungan lapangan pada beberapa lokasi di wilayah Papua,
antara lain:
1) Bappeda Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dalam rangka memantau dan
mengevaluasi pelaksanaan Percepatan Pembangunan di kedua provinsi tersebut, termasuk
pengintegrasian dan sinkronisasi dokumen-dokumen perencanaan, serta pencapaian
perkembangan dari upaya percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat.
2) Kabupaten Merauke dan Sorong dalam rangka koordinasi rencana pengusulan
pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kabupaten Sorong (Papua Barat) dan
Kabupaten Merauke (Papua).
3) Kabupaten Biak dalam rangka sosialisasi kebijakan dan strategi pembangungan Wilayah
Papua yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 13
BAB 2 IDENTIFIKASI KEGIATAN KOORDINASI STRATEGIS ASISTENSI PERCEPATAN
PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT
2.1. Lingkup Kegiatan
Pelaksanaan koordinasi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, yang
dilakukan oleh Tim Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat, Kementerian PPN/Bappenas (TA Bappenas), meliputi 3 kegiatan utama:
1. Koordinasi rangkaian proses perencanaan agenda Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Papua Barat dalam mengawal pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019, melalui koordinasi pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) 2015 dan koordinasi penyusunan RKP 2016;
2. Pemantauan dan Pengendalian program Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat Bidang Pengembangan Ekonomi, Pelayanan Pendidikan, Kesehatan, dan
Pembangunan Infrastruktur;
3. Penugasan khusus yang berkaitan dengan koordinasi perencanaan dan penganggaran
program/kegiatan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Tabel 2.1
Ringkasan Kegiatan Tim Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Kementerian PPN/Bappenas Tahun 2015
No Kegiatan Waktu
1. Koordinasi intensif dengan pemerintah daerah terkait finalisasi draf akhir Bab Arah pembangunan Wilayah Papua dalam RPJMN 2015-2019
Januari 2015
2. Sosialisasi kebijakan pembangunan Wilayah Papua dalam RPJMN 2015-2019 khususnya pada Buku III Bab II Arah pembangunan Wilayah Papua
Februari 2015
3. Kunjungan Lapangan Identifikasi Kesiapan Pengusulan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Wilayah Papua, yaitu ke Kabupaten Merauke, Jayapura, dan Sorong
Maret 2015
4. Kegiatan Temu Kawasan Adat Wilayah Saereri dan Monitoring Kawasan Strategi di Kabupaten Biak Numfor
Maret 2015
5. Rapat Koordinasi Sinkronisasi Pembangunan Wilayah Papua dalam RPJMN dengan Renstra K/L
Maret 2015
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 14
6. Workshop Penyusunan Rencana Aksi Nasional Pasca Project PCDP
April 2015
7.
Koordinasi pelaksanaan rangkaian kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2016, khususnya mengawal prioritas program bagi pembangunan Wilayah Papua
April 2015
8. Koordinasi rencana pelaksanaan Rapat Koordinasi Khusus (rakorsus) percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai rangkaian dari kegiatan Musrenbangnas (Ket: kegiatan rakorsus gagal dilaksanakan)
April 2015
9. Rapat Koordinasi Perencanaan dan Evaluasi Pelaksanaan Otsus Infrastruktur Tahun 2010-2015
Mei 2015
10. Seminar Knowledge Sharing Pengembangan Ekonomi Lokal Provinsi Papua dan Papua Barat
Juni 2015
11. Identifikasi progress report capaian pembangunan dan koordinasi strategi pembangunan wilayah Papua dengan Kantor Staf Presiden
Juli 2015
12. Koordinasi Rencana Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Wilayah Papua
Agustus 2015
13. Koordinasi pelaksanaan Peraturan Perundangan terkait Tanah Ulayat, sehubungan dengan disahkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu
September 2015
14. Konsultasi Publik Penyiapan Kawasan Sentra Produksi Pertanian (KSPP) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Merauke yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Oktober 2015
15. Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Khusus pada Penyelenggaraan Program Pendidikan dan Kesehatan di Provinsi Papua dan Papua Barat sampai dengan tahun 2015
Oktober 2015
16. Koordinasi Pelaksanaan RKP 2016 dan Penyusunan Rancangan Awal RKP 2017 dalam Mendukung Pengembangan Ekonomi Papua
November 2015
17. Sosialisasi Road Map Kebijakan Bidang Pendidikan dan Kesehatan Provinsi Papua Tahun 2013-2018
Desember 2015
2.2. Keluaran Kegiatan
Adapun keluaran dari kegiatan koordinasi Tim Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat yaitu:
1. Laporan Bulanan terkait koordinasi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 15
2. Laporan dan analisis hasil Evaluasi Kebijakan Perencanaan dan Pelaksanaan Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
3. Profil pembangunan Wilayah Papua, khususnya terkait identifikasi potensi, strategi, dan
kebutuhan Pembangunan Wilayah Papua berbasis wilayah adat.
4. Laporan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Rencana Induk Dan Rencana Aksi Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
5. Laporan akhir hasil evaluasi perencanaan dan rekomendasi perbaikan berdasarkan hasil
Pelaksanaan.
2.3. Penerima Manfaat dan Satuan Ukur (Indikator)
Output dari kegiatan koordinasi Tim Asistensi Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua
dan Papua Barat ditujukan kepada:
1. Kementerian Koordinator, Kementerian/Lembaga, dan instansi lain yang terkait dengan
percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat;
2. Bappeda Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;
3. SKPD Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;
4. Masyarakat umum di Provinsi Papua dan Papua Barat;
5. Pihak swasta dan NGO (Non-Governmental Organization) sebagai mitra dalam pelaksanaan
pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Indikator untuk pengukuran kuantitas dan kualitas keluaran kegiatan Koordinasi Tim Asistensi
Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah:
1. Meningkatnya kualitas SDM aparatur pemerintah daerah dalam penyusunan perencanaan
program/kegiatan dalam percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat;
2. Meningkatnya kualitas dan kuantitas hasil-hasil pelaksanaan program/kegiatan pembangunan
sektor maupun daerah;
3. Meningkatnya efektivitas dan efisiensi perencanaan dan pelaksanaan program/kegiatan
percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat;
4. Meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana dasar ekonomi dan sosial di Provinsi Papua
dan Papua Barat;
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 16
5. Tersusunnya laporan akhir sebagai hasil dari kegiatan koordinasi strategis percepatan
pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 17
BAB 3 ANALISIS PELAKSANAAN KOORDINASI STRATEGIS ASISTENSI PERCEPATAN
PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT
Berdasarkan analisis demografis dan geografis terkait proporsi penduduknya, persentase
terbesar penduduk miskin Papua adalah orang asli Papua (OAP) yaitu berada di wilayah
Pegunungan Tengah. Pegunungan Tengah sebelumnya terdiri dari satu kabupaten (Kabupaten
Jayawijaya) dan setelah era reformasi baru dimekarkan menjadi lebih 10 kabupaten baru, meliputi:
Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Yalimo, Yahukimo, Nduga, Pegunungan Bintang, Puncak, Puncak
Jaya, Intan Jaya, Tolikara, Paniai, Deiyai, dan Dogiyai. Konsentrasi penduduk asli Papua di wilayah
Pegunungan Tengah sebanyak sekitar 1,6 juta Orang Asli Papua (OAP), atau sekitar (51 %) total
penduduk Provinsi Papua yang sebesar 3.091.047 orang, terdiri dari 1,632,276 orang laki-laki
(52,5 %) dan 1,458,771 orang perempuan (47,5 %). Sedangkan penduduk Provinsi Papua Barat
sebesar 816.280 orang, terdiri dari 431,957 orang laki-laki (52,5 %) dan 384,323 orang perempuan
(47,5 %). Terdapat 1.460.846 suku bangsa asli Papua menurut sensus penduduk tahun 2000, yang
memiliki bahasa, budaya, dan adat istiadat yang berbeda. Persebaran OAP di Pegunungan Tengah
sangat menyebar dengan bermacam macam suku dengan karakteristik adat budaya pada wilayah
yang sangat luas dengan topografi yang bergunung-gunung dan hutan rimba, dengan ketinggian
lokasi wilayah diantara 1.200-5.000 m dpl. Ketersediaan sarana prasarana yang sangat terbatas
dan aksesibilitas yang rendah mengindikasikan keterisolasian yang sangat tinggi. Untuk itu,
intervensi pembangunan dan penyediaan layanan dasar publik perlu diprioritaskan pada wilayah
pegunungan tengah, terutama dalam mengatasi masalah keterisolasian.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 18
Tabel 1.2 Grafik Persentase Angka Kemiskinan Papua Barat
Tabel 1.1 Grafik Persentase Angka Kemiskinan Papua
Berdasarkan beberapa indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah, capaian
pembangunan di Wilayah Pulau Papua dapat digambarkan sebagai berikut: (1) penurunan
presentase angka kemiskinan Provinsi Papua
menjadi 27,8 persen tahun 2014 dan Provinsi
Papua Barat menjadi 27,14 persen; namun
persentase penduduk miskin di Provinsi
Papua (30,05 persen) dan Provinsi Papua
Barat (27,13 persen) masih berada jauh di
atas persentase penduduk miskin nasional
sebesar 11,25 persen (Maret 2014); (2) nilai
IPM di Provinsi Papua (66,25) dan Provinsi
Papua Barat (70,62) masih berada di bawah
rata-rata IPM nasional sebesar 73,81 (2013);
dan (3) nilai kesenjangan pendapatan antar
golongan (Rasio Gini) menjadi 0,442 (Provinsi
Papua) dan 0,431 (Provinsi Papua Barat)
mengalami peningkatan setiap tahun namun
masih berada di atas rata-rata rasio gini
nasional 0,413 (2013). Apabila dibandingkan
dengan wilayah lain dalam lingkup nasional,
capaian pembangunan Wilayah Papua masih berada di bawah rata-rata nasional. Namun, dilihat
berdasarkan data series per tahun, dapat dilihat capaian yang cukup signifikan, mengingat wilayah
Papua baru aktif membangun pada periode tahun 80-an setelah melampaui berbagai perjuangan
integrasi. Terkait dengan persentase angka kemiskinan dari tahun 1999-2014, terjadi penurunan
angka kemiskinan yang cukup signifikan, yaitu dari angka 54,75% menjadi 27,8%. Di samping itu,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua tahun 1999-2013 menunjukkan peningkatan
yang cukup baik, mulai dari 58,8 menjadi 66,3.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 19
Tabel 1.5. PDRB Provinsi Papua 2005-2012 Tabel 1.6. PDRB Provinsi Papua Barat 2005-2013
Tabel 1.4. IPM Papua Barat 2004-2013 Tabel 1.3. Perkembangan IPM Papua 2004-2013
Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Papua dengan migas selama kurun waktu 2009 –2013
sebesar 9,6 persen (dengan migas) atau diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar
5,9 persen. Namun, perlu ditelaah kembali bahwa kontribusi lapangan usaha terbesar yaitu dari
sektor pertambangan, dimana sektor usaha tersebut tidak mampu mendayagunakan masyarakat
Papua secara optimal, hanya beberapa orang yang dapat memenuhi kualifikasi untuk dapat bekerja
pada sektor usaha tersebut. Sehingga perlu dorongan pada sektor lain yang dapat menggerakkan
aktivitas perekonomian masyarakat secara langsung, misalnya sektor pertanian, perkebunan, dan
perikanan.
Di bawah ini merupakan uraian kegiatan koordinasi strategis asistensi percepatan
pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat yang dikelompokkan dalam 4 kegiatan utama, yaitu:
(1) Koordinasi dalam Rangka Sosialisasi Arah Kebijakan Pembangunan Wilayah Papua dalam
RPJMN 2015-2019; (2) Koordinasi Program Pembangunan Dalam Rangka Otonomi Khusus Di
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 20
Provinsi Papua dan Papua Barat, khususnya pelaksanaan kebijakan layanan dasar publik di bidang
pendidikan, kesehatan, dan transportasi; (3) Koordinasi Program Pengembangan Ekonomi Lokal
Masyarakat Asli Papua; dan (4) Koordinasi Rencana Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di
Provinsi Papua (Merauke) dan Papua Barat (Sorong).
3.1. Koordinasi dalam Rangka Sosialisasi Arah Kebijakan Pembangunan Wilayah Papua
dalam RPJMN 2015-2019
3.1.1. Arah Kebijakan Pembangunan Wilayah Papua 2015-2019
Tema pembangunan Wilayah Papua dirumuskan sebagai berikut: (1) percepatan
pengembangan industri berbasis komoditas lokal di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, dan
kehutanan; (2) percepatan pengembangan ekonomi kemaritiman melalui pengembangan industri
perikanan dan pariwisata bahari; (3) percepatan pengembangan pariwisata budaya dan alam
melalui pengembangan potensi sosial budaya dan keanekaragaman hayati; (4) percepatan
pengembangan hilirisasi industri pertambangan, minyak, gas bumi, emas, perak, dan tembaga; (5)
peningkatan kawasan konservasi dan daya dukung lingkungan untuk pembangunan rendah
karbon; (6) penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah dan masyarakat; serta (7)
pengembangan kawasan ekonomi inklusif dan berkelanjutan berbasis wilayah kampung
masyarakat adat.
Tema tersebut dirumuskan untuk mendorong pencapaian tujuan pembangunan Wilayah
Papua tahun 2015-2019 yaitu mendorong percepatan dan perluasan pembangunan Wilayah Papua
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui percepatan dan perluasan pembangunan
Wilayah Papua dengan menekankan keunggulan dan potensi daerah yang berbasis kesatuan adat,
melalui: (a) pemenuhan kebutuhan dasar dan ketahanan hidup yang berkelanjutan, serta
pemerataan pelayanan pendidikan, kesehatan, perumahan rakyat yang terjangkau, berkualitas, dan
layak; (b) pengembangan kemandirian ekonomi berkelanjutan; (c) penyediaan infrastruktur yang
berorientasi pelayanan dasar masyarakat maupun peningkatan infrastruktur yang berorientasi
pengembangan investasi dan pengembangan komoditas; serta (d) peningkatan SDM dan IPTEK
secara terus-menerus.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 21
Adapun sasaran pengembangan Wilayah Papua pada tahun 2015-2019 berdasarkan
Lampiran Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 adalah sebagai berikut:
1. Dalam rangka percepatan dan perluasan pengembangan ekonomi Wilayah Papua, akan
dikembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan potensi dan
keunggulan daerah, termasuk diantaranya adalah pengembangan 2 kawasan ekonomi khusus,
1 kawasan industri, pengembangan 5 kawasan adat dan pusat-pusat pertumbuhan penggerak
ekonomi daerah pinggiran lainnya.
2. Sementara itu, untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah di Wilayah Pulau Papua, maka
akan dilakukan pembangunan daerah tertinggal dengan sasaran sebanyak 9 Kabupaten
tertinggal dapat terentaskan dengan sasaran outcome: (a) meningkatkan rata-rata
pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal menjadi 9,5 persen di tahun 2019; (b) menurunnya
persentase penduduk miskin di daerah tertinggal menjadi rata-rata 22,63 persen di tahun
2019; (c) meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah tertinggal sebesar
rata-rata 61,40 pada tahun 2019.
3. Untuk mendorong pertumbuhan pembangunan kawasan perkotaan di Papua, maka akan
dilakukan optimalisasi peran 2 kota otonom berukuran sedang sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi, pusat pelayanan primer, dan hub untuk Pulau Papua dan Maluku dalam bentuk Pusat
Kegiatan Nasional (PKN) sekaligus sebagai pendukung pengembangan kawasan perbatasan
negara.
4. Sesuai dengan amanat UU 6/2014 tentang Desa, maka akan dilakukan pembangunan
perdesaan dengan sasaran berkurangnya jumlah desa tertinggal sedikitnya 340 desa atau
meningkatnya jumlah desa mandiri sedikitnya 140 desa.
5. Meningkatkan keterkaitan desa-kota, dengan memperkuat 4 pusat-pusat pertumbuhan sebagai
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) atau Pusat Kegiatan Lokal (PKL).
6. Dalam rangka mewujudkan kawasan perbatasan sebagai halaman depan negara yang
berdaulat, berdaya saing, dan aman, maka akan dikembangkan 3 Pusat Kegiatan Strategis
Nasional (PKSN) sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan negara yang dapat
mendorong pengembangan kawasan sekitarnya.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 22
7. Untuk meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah di Wilayah Papua ditunjukkan dengan: (1)
Meningkatnya proporsi penerimaan pajak dan retribusi daerah sebesar 10 persen untuk
propinsi dan 7 persen untuk kabupaten/kota; (2) Meningkatnya proporsi belanja modal dalam
APBD propinsi sebesar 35 persen dan untuk Kabupaten/Kota sebesar 35 persen pada tahun
2019 serta sumber pembiayaan lainnya dalam APBD; (3) Meningkatnya jumlah daerah yang
mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) sebanyak 2 provinsi dan 20
kabupaten/kota di wilayah Papua; (4) Meningkatnya kualitas dan proporsi tingkat pendidikan
aparatur daerah untuk jenjang S1 sebesar 50 persen dan S2-S3 sebesar 5 persen; (5)
Terlaksananya diklat kepemimpinan daerah serta diklat manajemen pembangunan,
kependudukan, dan keuangan daerah di seluruh wilayah Papua sebesar 30 angkatan; (6)
Terlaksananya evaluasi otsus dan pembenahan terhadap kelembagaan, aparatur, dan
pendanaan pelaksanaan otsus; (7) Terlaksananya sinergi perencanaan dan penganggaran di
wilayah Papua (dengan proyek awal Provinsi Papua); (8) Meningkatnya implementasi
pelaksanaan SPM di daerah, khususnya pada pendidikan, kesehatan dan infrastruktur; (9)
Meningkatnya persentase jumlah PTSP sebesar 40 persen; (10) Terlaksananya koordinasi
pusat dan daerah melalui peningkatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah; (11)
terlaksananya sistem monitoring dan evaluasi dana transfer secara on-line di wilayah Papua;
(12) Terlaksananya penguatan kelembagaan Badan Percepatan Pembangunan Kawasan Papua
dan Papua Barat.
8. Sasaran penanggulangan bencana di Wilayah Papua adalah mengurangi Indeks Risiko Bencana
pada 10 kabupaten/kota sasaran (Kota Jayapura, Kota Sorong, Kota Manokwari, Kabupaten
Merauke, Sarmi, Yapen, Nabire, Raja Ampat, Teluk Bintuni dan Biak Numfor) yang memiliki
indeks risiko bencana tinggi, baik yang berfungsi sebagai PKN, PKW, Kawasan Industri maupun
pusat pertumbuhan lainnya.
Sehubungan dengan sasaran tersebut, diharapkan pada akhir tahun 2019, pembangunan Wilayah
Papua semakin meningkat. Hal ini dicerminkan dengan makin meningkatnya kontribusi PDRB
Wilayah Papua terhadap PDB Nasional, yaitu dari sekitar 1,9 persen (2013) menjadi 2,6 persen
(2019). Dengan demikian, kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di Wilayah Papua. Secara rinci target pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan
pengangguran dalam kurun waktu 2015-2019 di Wilayah Papua dapat dilihat pada Tabel 3.1
sampai dengan Tabel 3.3 sebagai berikut.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 23
TABEL 3.1 SASARAN PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH PAPUA PER PROVINSI TAHUN 2015-2019
Wilayah Pertumbuhan Ekonomi (Persen)
2015 2016 2017 2018 2019
Papua Barat 7.9 10.3 14.7 16.4 16.6
Papua 14.1 15.0 16.7 17.6 17.7
Sumber: Lampiran Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
TABEL 3.2 SASARAN TINGKAT KEMISKINAN WILAYAH PAPUA PER PROVINSI TAHUN 2015-2019
Wilayah Tingkat Kemiskinan (Persen)
2015 2016 2017 2018 2019
Papua Barat 25.6 23.5 21.4 19.4 17.4
Papua 30.9 28.5 26.1 23.8 21.5
Sumber: Lampiran Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
TABEL 3.3 SASARAN TINGKAT PENGANGGURAN WILAYAH PAPUA PER PROVINSI TAHUN 2015-2019
Wilayah Tingkat Pengangguran (Persen)
2015 2016 2017 2018 2019
Papua Barat 5.1 4.8 4.6 4.3 4.1
Papua 3.4 3.2 3.1 3.0 2.8
Sumber: Lampiran Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
Kebijakan Pembangunan Wilayah Papua dilakukan melalui percepatan pembangunan yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik wilayah papua. Strategi percepatan pembangunan
Wilayah Papua difokuskan pada: (1) penyediaan layanan dasar publik di bidang pendidikan dan
kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi Wilayah Papua; (2) pembangunan
infrastruktur transportasi terutama untuk membuka keterisolasian di wilayah pegunungan tengah;
(3) pengembangan ekonomi lokal melalui hilirisasi komoditas unggulan berbasis pasar; dan (4)
pemihakan terhadap putra-putri asli Papua. Fokus pembangunan pada bidang kesehatan dan
pendidikan merupakan amanat dari UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,
dengan ketentuan pemihakan anggaran dari dana otsus untuk bidang tersebut yaitu 30% untuk
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 24
bidang pendidikan dan 15% untuk bidang kesehatan. Tujuan utama dari prioritas pembangunan
pada kedua bidang tersebut yaitu untuk membangunan manusia Papua, dalam arti meningkatkan
kapasitas dan kualitasnya untuk dapat mengotimalkan dan mengelola potensi wilayahnya.
Pembangunan Wilayah Papua juga dilakukan berdasarkan pendekatan kewilayahan, sehingga
memiliki arah kebijakan yang berbeda-beda pada kawasan strategis, kawasan perkotaan dan
perdesaan, daerah tertinggal, kawasan perbatasan, serta kawasan rawan bencana.
3.1.2. Sosialisasi Kebijakan Pembangunan Wilayah Papua dalam Temu Kawasan Adat
Kegiatan Temu Kawasan Adat dilaksanakan di seluruh 5 wilayah adat (di salah satu
kabupaten) Provinsi Papua, yaitu di Wilayah Adat Saireri (Biak), Mamta (Sarmi), Me Pago (Mimika),
La Pago (Wamena), dan Anim Ha (Merauke) selama tanggal 10-25 Maret 2015. Kegiatan tersebut
bertujuan untuk mensinergiskan program/kegiatan pembangunan baik yang tertuang dalam
RPJMN 2015-2019 dengan RPJMD Provinsi Papua 2013-2018 serta RPJMD Kabupaten/Kota di
Provinsi Papua, dan merumuskan langkah-langkah konkrit dalam mendorong percepatan
pembangunan di Provinsi Papua berbasis kawasan adat. Pembangunan berbasis kawasan adat
dilakukan untuk mengurangi ego sektoral daerah dalam satu wilayah, sehingga masing-masing
kabupaten/kota yang memiliki kedekatan adat, budaya, dan kesamaan kondisi geografis dapat
saling bersinergi, terutama yaitu dengan melibatkan masyarakat adat.
Dalam pengembangan kegiatan ekonomi, terdapat beberapa fokus komoditas pada sambutan
Gubernur Provinsi Papua yang menjadi prioritas dalam mengembangkan kegiatan ekonomi
masyarakat, yaitu sebagai berikut.
1. Di Wilayah Adat Mamta fokus pada pengembangan coklat dan kelapa dalam, pengambangan
Danau Sentani dan Kawasan Industri Bongrang, serta pengembangan Pelabuhan Depapre untuk
mendistribusikan hasil-hasil produksi sekaligus mengurangi beban Pelabuhan Jayapura.
2. Di Wilayah Saireri kita aktifkan kembali Bandar Udara Frans Kaisiepo sebagai Bandara
Internasional sekaligus pintu indonesia bagian timur di wilayah pasifik, sehingga dapat
meningkatkan potensi pariswisata di Teluk Cenderawaih. Di samping itu juga pengembangan
sektor perikanan dan kelautan. Dikembangkan juga Kawasan Industri Urfu yang telah dirintis
oleh Kapet Biak, sebagai tempat pabrik dan terminal barang dan jasa di wilayah Teluk
Cenderawasih.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 25
3. Di Wilayah La Pago, kita jadikan gunung susu sebagai sentral kawasan industri. selain itu di
wilayah ini telah dipilih dan ditetapkan buah merah sebagai komoditas unggulan. Tanaman ini
tergolong tumbuhan endemik dan menyatu dengan masyarakat, sehingga tidak terlalu sulit
untuk dioptimalkan pengembangannya.
4. Di Wilayah Me pago fokus pada pengembangan kopi sebagai komoditas unggulan.
5. Di Wilayah Ha-Anim, fokus pada pengembangan komoditas kelapa sawit, industri pangan,
perikanan, dan peternakan.
Khusus pada wilayah adat Saereri, berdasarkan hasil observasi lapangan dapat disampaikan
beberapa hal sebagai berikut.
1. Potensi Wisata Bahari Pulau Padaido belum dikembangkan secara optimal. Belum ada
pengembangan infrastruktur sebagai sarana prasarana pendukung obyek wisata, apalagi
atraksi wisata yang dapat menarik wisatawan.
2. Pabrik pengalengan ikan yang ada di Kabupaten Biak Numfor, tidak beroperasional kembali
karena permasalahan manajemen dan perijinan. Padahal pabrik tersebut memiliki
perkembangan yang cukup baik untuk mendukung perekonomian daerah.
3. Secara umum, akses infrastruktur/konektivitas di wilayah Saireri sudah terhubung dengan
baik, sehingga untuk ke depannya yang perlu diperhatikan adalah peningkatan kegiatan
ekonominya, tidak lagi peningkatan infrastruktur.
4. Terdapat pabrik kopi di Kabupaten Biak Numfor yang telah beroperasi sejak tahun 1973,
namun bahan baku kopi tidak disuplai dari wilayah Papua, melainkan dari Surabaya dan
beberapa wilayah lain di luar Papua. Seharusnya, melihat peluang tersebut, perkebunan-
perkebunan kopi di wilayah setempat dapat menjadi hulu bagi pengembangan komoditas kopi.
Untuk mengembangkan , beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu:
1. Pengembangan Paket Wisata di wisata bahari Pulau Padaido, sehingga dapat menciptakan
nilai tambah sebagai sebuah obyek pariwisata.
2. Hilirisasi Industri Perikanan dan Industri Pariwisata di Kawasan Centra industri di
Kabupaten Biak.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 26
3. Kabupaten lain mendukung Hilirisasi dan menciptakan paket wisata berbeda sesuai potensi
daerah, sehingga dapat mengintegrasikan beberapa obyek wisata di wilayah Saireri, untuk
mendukung meningkatkan PAD dari sektor pariwisata.
4. Pengembangan kegiatan perikanan tangkap dengan penyediaan infrastruktur serta
pengembangan manajemen bagi nelayan untuk mendukung pembangunan industri
perikanan yang berorientasi ekspor .
Dalam pengembangan Wilayah Adat Saireri secara komprehensif berdasarkan aspek
kelembagaan, regulasi, dan pendananaan, perlu dilakukan beberapa strategi sebagai berikut:
1. Penguatan kelembagaan adat, yaitu dengan pelibatan lembaga adat pada proses
pembangunan mulai dari perencanaan, implementasi, hingga evaluasi.
2. Pemetaan, sertifikasi, dan pengaturan (regulasi) terkait pemanfaatan Tanah Ulayat, karena
permasalahan yang seringkali terjadi dalam pembangunan infrastruktur atau sarana publik
lainnya yaitu terkait penggunaan tanah ulayat. Solusi yang ditawarkan dalam forum yaitu
pemanfaatan tanah ulayat dilakukan dengan skema sewa, sehingga masyarakat juga
mendapatkan manfaat secara langsung.
3. Penerapan pelayanan terpadu satu pintu dan penggunaan Sistem Pelayanan Informasi dan
Perijinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) dan pemberian insentif fiskal untuk
meningkatkan iklim investasi di wilayah Saireri.
3.2. Koordinasi Program Pembangunan Dalam Rangka Otonomi Khusus Di Provinsi Papua
dan Papua Barat
3.2.1. Pelaksanaan Program Pendidikan dan Kesehatan
1) Kebijakan Otonomi Khusus pada Bidang Pendidikan dan Kesehatan
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 27
Gb 1. Peserta Workshop Evaluasi Otsus
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat pada dasarnya adalah pemberian
kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah
daerah dan masyarakat Papua untuk
mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kewenangan yang lebih luas
berarti pula tanggung jawab yang lebih besar
untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
mengatur pemanfaatan kekayaan alam di
wilayah Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari
rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula
kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat
Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para
wakil adat, kelompok agama, dan kelompok perempuan.
Kebijakan otonomi khusus ini merupakan langkah strategis mengingat sumber daya
manusia dan ekonomi masyarakat asli Papua memerlukan akselerasi penanganan yang serius,
sistematik, dan berkelanjutan. Adapun fokus pembangunan dalam rangka otonomi khusus yaitu
pada bidang: (1) Pendidikan dan kesehatan yang secara spesifik dijelaskan pada pasal 34 ayat 3
butir (e); (2) Infrastruktur Transportasi yang secara spesifik dijelaskan dalam pasal 34 ayat 3
dan butir (f) pada bagian penjelasan; serta (3) pemberdayaan ekonomi masyarakat yang secara
spesifik dijelaskan pada pasal 38 dan 42. Esensi otonomi khusus di wilayah papua adalah
pemihakan kepada masyarakat papua yang dilakukan melalui koordinasi antara
Kementerian/Lembaga, SKPD Provinsi Papua dan Papua Barat, dan SDPD kabupaten/kota di
wilayah Papua untuk menyelenggarakan program/kegiatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas SDM, membuka keterisolasian, meningkatkan kegiatan perekonomian
demi terciptanya masyarakat Papua yang sejahtera. Pelaksanaan program/kegiatan tersebut
tentunya perlu untuk mempertimbangkan kebutuhan masyarakat Papua dengan menggunakan
metodologi tertentu/khusus yang sesuai dengan karakteristik wilayah Papua.
Namun, hingga pelaksanaannya yang telah berjalan selama 15 tahun (sejak 2001), strategi
dan metodologi pembangunan di wilayah Papua masih dilakukan secara as usual, sehingga
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 28
Gb 2. Narasumber Workshop Evaluasi Otsus dari Kemendagri dan Bappeda Provinsi
belum dapat memberikan dampak yang signifikan, yaitu masih terjadinya permasalahan 5 K
(keterisolasian, kemiskinan, kualitas pendidikan rendah, kesehatan rendah, konflik), terutama
di wilayah pegunungan tengah. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa data-data indikator
pembangunan seperti IPM, AMH, dan AHH, dimana sebagian besar angka terendah berada di
wilayah pegunungan tengah dan wilayah-wilayah terisolir. Untuk itu, beberapa hal urgen yang
perlu dibenahi yaitu memperbaiki strategi dan manajemen pada sistem pelayanan pendidikan
dan kesehatan yang mampu melayani anak-anak usia sekolah di kampung terisolir.
Dalam pelaksanaan Otsus yang akan berakhir pada 6 tahun ke depan, masih terdapat
stigma umum bahkan masyarakat Papua sendiri bahwa otsus tidak memberikan dampak positif
bagi masyarakat Papua dan hanya dinikmati oleh kalangan elit Papua. Namun, berdasarkan
data series penurunan persentase angka kemiskinan dari tahun 1999-2014, terjadi penurunan
angka kemiskinan yang cukup signifikan, yaitu dari angka 54,75% menjadi 27,8%. Di samping
itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua tahun 1999-2013 menunjukkan
peningkatan yang cukup baik, mulai dari 58,8 menjadi 66,3. Tentu saja data tersebut dapat
merepresentasikan dampak otsus terhadap peningkatan kualitas pembangunan di Papua, yang
selalu mengalami perbaikan setiap tahun, walaupun jika dibandingkan dengan provinsi lain
masih cukup jauh. Untuk mengukur capaian pembangunan di Papua memang tidak bisa
menggunakan indikator-indikator nasional dengan pembanding provinsi-provinsi yang sudah
maju, karena pada dasarnya pembangunan di Papua baru dimulai pada tahun 1980-an.
Sehingga dibutuhkan indikator capaian tersendiri untuk menilai perkembangan pembangunan
di Papua, karena apabila tetap menggunakan indikator nasional maka selamanya akan tetap
tertinggal.
Keberpihakan, Pemberdayaan dan
penghormatan Orang Asli Papua.
Implementasi seluruh sektor pembangunan
yang menjadi urusan Otsus secepatnya
dituangkan dalam Perdasi dan Perdasus yang
memerlukan adanya peningkatan sistem
pengawasan dan akuntabilitas
pelaksanaannya. Semua urusan wajib dan
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 29
pilihan yang menjadi urusan Otsus memerlukan adanya paradigma baru melalui penyempurnaan
regulasi sektoral. Pengelolaan langsung dana Otsus di Provinsi Papua Barat mulai Tahun 2009 (UU
nomor 35 Tahun 2008). Pagu dana otsus tahun 2009-2015 yaitu sebesar Rp. 11,30 trilyun, dengan
realisasi sebesar Rp. 5,17 trilyun. Mulai tahun 2009-2012, persentase belanja tidak langsung lebih
besar (di atas 50%) daripada belanja langsung, namun tahun 2013-2015 persentase belanja
langsung lebih besar (di atas 80%) daripada belanja tidak langsung. Belanja langsung membiayai
418 program dan 1498 kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi papua barat,
sedangkan belanja tidak langsung merupakan transfer dari provinsi ke kabupaten/ kota dengan
proporsi skenario pembagian yang telah ditetapkan.
Capaian pembangunan di Provinsi Papua Barat menunjukkan perkembangan yang cukup
signifikan, namun masih cukup rendah apabila dibandingkan dengan provinsi lain di luar wilayah
Papua. Peningkatan IPM Provinsi Papua Barat yang signifikan menempatkan Provinsi Papua Barat
pada urutan ke 29 dari 33 Provinsi. Untuk meningkatkan IPM diperlukan upaya peningkatan daya
beli dan menekan angka inflasi yang tinggi. Struktur ekonomi Provinsi Papua Barat dengan migas
didominasi oleh sektor industri pengolahan (54,28%) terutama berasal dari produksi LNG
Tangguh, yang hingga saat ini belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan pemerintah
daerah. Terkait dengan sektor perekonomian, kontribusi sektor pertanian (13,76%). Pendapatan
per kapita dgn Migas tahun 2013 sebesar Rp. 68,59 juta/tahun. Laju pertumbuhan ekonomi Papua
Barat dengan migas menunjukkan tren perlambatan dari 27,42% tahun 2010 menjadi 27,01%
pada tahun 2011, kemudian mengalami perlambatan pada tahun 2012 yakni sebesar 15,9%,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini berasal dari adanya produksi LNG Tangguh, peningkatan ini
tidak berkorelasi positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2013 LPE
mengalami penurunan menjadi 9,30%, dan menjadi 5,38% pada tahun 2014. Jumlah penduduk
tahun 2014 sebesar 849.800 jiwa. Terjadi penurunan persentase penduduk miskin di Provinsi
Papua Barat dari 35,12 % pada tahun 2008, menjadi 27,14% pada tahun 2013, namun demikian
Papua Barat masih menempati urutan ke 2 propinsi termiskin. Persebaran penduduk miskin
terbanyak di perdesaan 36,89% yang notabene merupakan penduduk asli papua sedangkan di
perkotaan 4,89%. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Papua Barat mengalami
penurunan dari 8,28% pada tahun 2011 menjadi 4,62% pada tahun 2013, penurunan TPT ini
bukan disebabkan oleh bertambahnya lapangan kerja disektor formal tetapi disebabkan oleh
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 30
Gb 3. Sesi Diskusi pada Workshop Evaluasi Otsus
semakin banyaknya penduduk yang bekerja pada sektor informal. TPT sebesar 4,62% ini
didominasi oleh pengangguran terdidik dan pengangguran usia muda.
Wilayah Papua merpakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, namun sumber
kekayaan alam di Papua tidak merata, “hanya” terdapat di beberapa wilayah tertentu. Untuk itu,
perlu mempertimbangkan untuk menghentikan provokasi “buaian angin surga” yang memanjakan
masyarakat, misalnya jargon-jargon yang menyebutkan bahwa “Papua adalah tanah yang kaya
raya” dan sebagainya. Hal terpenting yang perlu dilakukan adalah semua stakeholders terus
berkampanye mengajak masyarakat untuk bekerja keras jika ingin maju dan kaya. Untuk
mendukung hal tersebut, dibutuhkan SDM Papua yang handal untuk mengelola dan memajukan
Papua. Dalam hal ini, pendidikan dan kesehatan memainkan peran penting untuk mewujudkan
SDM papua yang berdaya saing, yang mampu mengoptimalkan potensi SDA wilayah Papua. Salah
satu pendekatan yang cukup relevan untuk
digunakan adalah Human Security Approach, yaitu
sebuah pendekatan yang mengutamakan
pemenuhan kebutuhan dasar manusia sebagai
alternatif utama dalam menyelesaikan masalah di
Papua dan Papua Barat. Penggunaan pendekatan
tersebut dilatar belakangi oleh munculnya berbagai
persoalan (politik dan keamanan, HAM, pelayanan
publik, sosial budaya, infrastruktur, dan birokrasi
pemerintahan) yang lebih banyak bersumber dari
diabaikannya kebutuhan dasar warga Papua.
Kementerian Dalam Negeri telah melakukan evaluasi pelaksanaan Otsus sebanyak 3 kali,
yaitu: (1) Evaluasi Efektifitas implementasi kebijakan otsus dlm meningkatkan kualitas kehidupan
Orang Asli Papua, meliputi kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pengembangan masyarakat
sipil yang dilakukan pada Tahun 2008; (2) Evaluasi otsus Papua dan Papua Barat tahun 2012
(refleksi 11 tahun pelaksanaan Undang-undang Nomor 21 tahun 2001) yang dilaksanakan pada
tahun 2012; dan (3) Evaluasi kinerja otonomi khusus Papua dan Papua Barat tahun 2013 (sebuah
hasil evaluasi sistemik, terpadu-komprehensif, dan partisipatif atas kinerja otonomi khusus di
Provinsi Papua dan Papua Barat) yang dilaksanakan pada tahun 2013.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 31
Hasil evaluasi otsus di Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2013 pada sektor
pendidikan yaitu belum merata dan masih terbatasnya tenaga medis dan Fasilitas pelayanan
kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas dan Pustu (Puskesmas Pembantu). Pelayanan di sektor
ini menunjukkan tren peningkatan perbaikan dari tahun ke tahun. Analisis dampak kebijakan pada
sektor ini, yang diukur dari kualitas kesehatan penduduk juga masih rendah. Sedangkan pada
sektor pendidikan dan kebudayaan yaitu ketersediaan fasilitas pendidikan dan tenaga pendidikan
menunjukkan belum optimal. Ada tren peningkatan Angka Partisipasi Murni Sekolah (APMS) dan
bertambahnya jumlah fasilitas dan tenaga pendidikan di Prov Papua. Demikian juga halnya di
Provinsi Papua Barat, APMS menunjukkan tren meningkat, namun ada tren sedikit menurun dari
aspek jumlah fasilitas dan tenaga pendidikan. Analisis dampak kebijakan pada sektor ini yang
diukur dari kualitas pendidikan penduduk Papua dan Papua Barat makin meningkat, tapi belum
memuaskan. Tren capaian di sektor pendidikan terus meningkat karena mendapatkan dukungan
alokasi anggaran paling besar di antara sektor prioritas otsus lainnya.
Berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan program pendidikan dan kesehatan dalam
rangka otonomi khusus, dapat dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut.
a. Kesimpulan
1. Pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat telah memberikan dampak
yang cukup signifikan dilihat dari beberapa indikator pembangunan (data series) yang telah
dibandingkan antara sebelum pelaksanaan otsus dengan setelah pelaksanaan. Terjadi
penurunan angka kemiskinan, peningkatan IPM, dan penurunan Tingkat Pengangguran
Terbuka, walaupun capaian tersebut masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan
provinsi-provinsi lain di luar wilayah Papua. Untuk menilai atau mengevaluasi capaian
pembangunan di wilayah Papua memang tidak serta merta dapat dilakukan menggunakan
indikator dan diperbandingkan dengan wilayah lain dalam lingkup nasional, karena wilayah
Papua memiliki karakteristik budaya, historis, dan geografis yang sangat berbeda dengan
wilayah lain. Untuk itu, diperlukan strategi dan metodologi khusus dalam melakukan
evaluasi capaian kinerja otonomi khusus di wilayah Papua.
2. Pemerintah Daerah telah melakukan strategi pelayanan di bidang pendidikan dan
kesehatan yang telah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat, misalnya
program tuntas wajib belajar pendidikan dasar di wilayah pinggiran dan terpencil melalui
pengembangan SD Kecil/Guru Kunjung, SD Terintegrasi, Sekolah Kampung dengan
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 32
penggunaan bahasa Ibu sebagai pengantar. Sedangkan di bidang kesehatan telah dilakukan
program pelayanan yang menjangkau kampung terisolir, yaitu program 1000 hari
kehidupan dan program kaki telanjang. Namun, program yang dilakukan oleh pemerintah
daerah (SKPD) seringkali kurang mendapatkan dukungan dari kementerian/lembaga.
Kementerian/lembaga cenderung membuat program baru dengan menggunakan perspektif
pemerintah pusat, sehingga belum dapat menjawab persoalan mendasar di Papua, misalnya
terkait penetapan kualifikasi tenaga pendidik dan tenaga medis yang dinilai memberatkan.
Di samping itu, program Nusantara Sehat yang saat ini sedang digaungkan dinilai belum
mampu menjangkau wilayah terisolir, dan hanya dilakukan di lokus-lokus yang mudah
3. Pelayanan dasar bidang pendidikan dan kesehatan menjadi faktor penting untuk
menyiapkan SDM yang mampu mengelola sumber daya alam wilayah Papua untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Penyiapan SDM menjadi investasi jangka
panjang yang harus dilakukan melalui program-program afirmatif dengan sinkronisasi dan
koordinasi yang baik antara pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Beberapa
program telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun masih
berjalan secara parsial, sehingga perlu dicermati kembali atau bahkan menghapus program-
program yang dinilai kurang relevan.
b. Rekomendasi
1. Evaluasi capaian pembangunan di Wilayah Papua dalam rangka otonomi khusus sebaiknya
dilakukan dengan perbandingan periode (sebelum dan setelah otsus) atau dengan dengan
mengedepankan aspek dan nilai kekhususan sehingga dapat diidentifikasi permasalahan
secara spesifik dan dapat dirumuskan rekomendasi yang konkrit dan strategis.
2. Program-program afirmasi yang bersifat lintas sektor perlu untuk dikoordinasikan antara
K/L terkait dengan pemerintah daerah terkait kesiapan dan keberlanjutan program,
misalnya program afirmasi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
3. Pendampingan menjadi kebutuhan yang paling mendasar untuk mendukung keberhasilan
program, baik itu pendampingan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga terhadap
Pemerintah Daerah dan SKPD maupun pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah terhadap masyarakat (kader pendamping lokal).
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 33
4. Tata kelola yang perlu diperbaiki adalah sinkronisasi metodologi pelayanan pendidikan dan
kesehatan antara SKPD (konsep) dengan K/L (dukungan pendanaan). Perlu duduk bersama
untuk merumuskan 6 tahun ke-depan (masa berakhirnya otsus) terutama penyamaan
persepsi memahami masalah dan solusi yang terintegrasi. Hal-hal yang telah dirumuskan
oleh pemerintah daerah Papua memang sudah kebutuhan masyarakat sesuai kondisi sosial
budaya dan geografinya, K/L perlu untuk menindaklanjuti melalui dukungan anggaran.
5. Perlu ada forum (desk) khusus untuk merumuskan indikator yang spesifik dalam
pelaksanaan pelayanan pendidikan dan kesehatan di Wilayah Papua. Besarnya dana otsus
jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang dilayani, belum mampu mengcover
kondisi geografis dan penduduk yang tersebar di wilayah-wilayah terisolir.
6. Perlu harmonisasi kelembagaan otsus, terutama untuk mendukung disahkannya perdasi
dan perdasus oleh Pemerintah Daerah, sebagai acuan operasional pelaksanaan Otsus yang
tinggal 6 tahun ke depan, perlu terobosan dan komunikasi politik yang baik.
3.2.2. Upaya Mensistemkan Layanan Pendidikan dan Kesehatan yang Kontekstual Papua
1) Isu Pendidikan Di Papua
Salah satu unsur penting yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Papua (IPM) yaitu
pelayanan di bidang pendidikan. Kondisi pendidikan di Papua memiliki karakteristik yang berbeda
dengan wilayah lainnya, sehingga intervensi kebijakan pun tidak bisa digeneralisir menggunakan
skema dan strategi kebijakan secara nasional. Berdasarkan hasil analisis kondisi pelayanan bidang
pendidikan di Wilayah Papua, dapat diidentifikasi beberapa isu strategis sebagai berikut: (1)
Kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar inpres/negeri lebih sering kosong/ terhenti ketika guru
tidak betah tinggal di kampung-kampung terisolir; (2) Lemahnya manajemen guru di wilayah
pegunungan tengah dan wilayah terpencil lainnya yang mengakibatkan kurangnya ketersediaan
guru; (3) Tuntutan pemenuhan hidup guru dan longgarnya regulasi mengakibatkan banyak guru
pindah ke profesi struktural; (4) Minimnya pengetahuan orang tua terhadap pentingnya
pendidikan bagi anak; (5) Anak-anak tidak percaya diri, malas belajar, malas sekolah; (6)
Manajemen pelayanan, regulasi Pemda yang lemah menjaga sistem (kabupaten berjalan masing-
masing tanpa kendali standar).
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 34
Berdasarkan Perdasus Provinsi Papua No. 3 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Pendidikan
Bagi Komunitas Adat Terpecil dan Perda Provinsi Papua No. 2 Tahun 2013 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan, pemerintah daerah menyelenggarakan program/kegiatan di bidang
pendidikan dengan strategi yang sesuai dengan karakteristik Wilayah Papua. Di samping itu,
terdapat beberapa LSM dan lembaga keagamaan yang berperan besar dalam penyelenggaraan
layanan bidang pendidikan di Papua. Berikut beberapa potret penyelenggaraan pelayanan publik
bidang pendidikan saat ini di Papua, yaitu: (1) Penyelenggaraan sekolah kecil dan sekolah besar
berasrama terpadu terbatas, pendidikan kontekstual Papua sukses dikembangkan oleh beberapa
Yayasan/NGO di wilayah terpencil namun terbatas cakupan wilayahnya, karena terbatas anggaran;
(2) Sekolah berasrama belum mampu secara efektif menarik minat anak-anak untu sekolah keluar
dari kampungnya; (3) Penyelenggaraan sekolah kampung/kampung cerdas sebagai jembatan
memasuki sekolah; (4) Penyelengaraan sekolah paralel oleh Yasumat di Kab Yahokimo, justru
mampu mengisi kelangkaan, namun kemampuan terbatas; dan (5) Penyelenggaraan sekolah
dengan metode BPKP oleh YKW.
Berdasarkan hasil analisis situasi pendidikan di Wilayah Papua, tenaga kependidikan di
daerah pegunungan mempunyai angka guru mangkir hampir 50% (ACDP, Teacher Absenteeism,
2012:10), sedangkan di dapatkan data bahwa di daerah pegunungan Papua, 7 dari 10 kepala
sekolah tidak hadir di sekolah (UNICEF/SMERU, Teacher Absenteeism, 2012:14). Badan Pengelola
di Kawasan Teluk Bintuni telah melakukan studi yang menunjukkan bahwa 46 % responden dari
studi tidak dapat membaca daftar kata sederhana dalam Bahasa Indonesia; tak seorang pun
memenuhi standar UNESCO untuk keaksaraan fungsional (YABN/SIL International, 2012). Siswa
masuk Sekolah Dasar tanpa melalui PAUD dan TK, sehingga kesulitan mengejar ketertinggalan.
Perbandingan fasilitas pendidikan dan kesehatan dengan jumlah penduduk secara statistik
sebenarnya menunjukkan ketercukupan dengan jumlah penduduk, permasalahannya ada pada
utilisasi dan konsistensi menjalankan kebijakan dan mengoptimalkan utilisasi fasilitas pendidikan
dan kesehatan yang ada. Best practice layanan dasa yang dilakukan misi dan yayasan/NGO sangat
banyak, tetapi tidak bisa diadopsi dan diakomodasi dalam kebijakan dan sistem administrasi yang
ada. Terkait dengan kondisi geografi, bentangan topografi dari belantara rawa-rawa luas yang
dihuni oleh suku-suku pengumpul pemburu hingga ke kampung-kampung di pegunungan ratusan
kilometer dari pos pemerintah terdekat.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 35
2) Isu Kesehatan Di Papua
Pelayanan publik di bidang kesehatan menjadi salah satu langkah penting dalam
mendukung peningkatan kualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Penyediaan layanan publik
bidang kesehatan di Wilayah Papua tidak dapat disamakan dengan wilayah pulau lain di Indonesia.
Berikut isu strategis pada pelayanan di bidang kesehatan yang telah diidentifikasi untuk menjadi
prioritas perhatian dalam merumuskan strategi program/kegiatan, yaitu sebagai berikut: (1)
Pelayanan kesehatan sebagai hal yang langka bagi masyarakat yang tinggal di kampung-kampung
terisolir; (2) Minim sarana dan prasarana kesehatan; Tingginya kematian ibu melahirkan; Terbiasa
dengan penyakit HIV, kolera, dan busung lapar; (3) Provinsi Papua mengalami kondisi yang lebih
parah dengan lebih luas wilayah yang tidak tersentuh pelayanan kesehatan dibandingkan dengan
Provinsi Papua Barat; (4) Kebijakan otonomi di kabupaten, menyebabkan provinsi tidak punya
kewenangan mengendalikan mutu pelayanan, akibatnya kabupaten jalan dengan arah sendiri,
kreatifitas Kab Mimika yang Pemdanya me-rolling nakes kampung dan kota; (5) Belum adanya trust
antara pemerintah pusat (K/L) dengan Pemerintah Daerah saat ini.
Berdasarkan hasil analisis situasi pada pelayanan bidang kesehatan di Wilayah Papua,
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, dijabarkan sebagai berikut: (1) Nilai Budaya, yaitu
pemahaman adat terhadap kesehatan yang masih belum sesuai dengan logika pengobatan modern,
dan pengetahuan lokal yang masih dipercaya dalam penanganan kesehatan; (2) Sistem, yaitu
belum adanya keterpaduan kebijakan dan operasional pelayanan antara pemerintah pusat dan
daerah dalam pembangunan sistem pelayanan kesehatan, kualitas lembaga pelayanan kesehatan
yang belum sesuai dengan masalah dan tuntutan kesehatan di wilayah terisolir, walaupun ada
masih terbatas pada wilayah tertentu, Pegunungan tengah menjadi wilayah yang kabupaten-
kabupatennya sulit kondisi geografisnya untuk dilayani kesehatan dengan cara standar pelayanan
kesehatan.; (3) Kondisi Geografis, yaitu Wilayah Pegunungan Tengah yang berada ditengah-
tengah/jantung provinsi Papua, mengalami kesulitan akses, sarana dan prasarana pelayanan
kesehatan, sehingga lambat dalam mengantisipasi dampak-dampak kesehatan dan penyakit; (4)
Ketersediaan SDM Tenaga kesehatan, yaitu tenaga kesehatan lokal masih minim, secara
keseluruhan wilayah tenaga kesehatan lebih terpusat di kota provinsi dan kota kabupaten, masih
minim tenaga kesehatan spesialis, potensi putera daerah, serta ketersedaian dokter yang sangat
minim; (5) Sinkronisiasi Kebijakan, yaitu adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam pelayanan kesehatan (Kartu Indonesia Sehat – Kartu Papua
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 36
Sehat), belum ada affirmative policy untuk penguatan kelembagaan kesehatan di Papua dan Papua
Barat (Pelayanan Kesehatan Kaki Telanjang masih terbatas), keterbatasan provinsi dalam
pengendalian mutu pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten, serta lemahnya peran kabupaten
dalam manajemen pelayanan kesehatan di wilayah terisolir; (6) Aksestabilitas, yaitu pelayanan
kesehatan yang masih jauh terutama daerah pegunungan tengah (lebih fokus ke pesisir atau
perkotaan), Puskesmas sebagian besar kosong, tidak ada dokter, bidan dan tenaga kesehatan
maupun perlengkapan alat kesehatan dan perbekalan obat, serta Rendahnya mobilisasi dokter dan
para medik di wilayah pegunungan tengah dan wilayah terisolir lainnya; (7) SDM Masyarakat,
yaitu tingginya kematian ibu melahirkan, terbiasa dengan penyakit malaria, HIV/Aids, kolera, dan
busung lapar, serta rendahnya kesadaran masyarakat akan hidup sehat, dan rendahnya
pengetahuan masyarakat akan bahaya HIV dan penularannya.
3) Rancangan Indikator Kemajuan SDM Di Wilayah Papua
Substansi utama dari pembangunan sebuah wilayah, di samping adanya peningkatan
infrastruktur dan sarana prasarana fisik, terdapat hal yang juga menjadi prioritas yaitu
peningkatan kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut. Layanan bidang pendidikan dan
kesehatan dapat menjadi strategi utama dalam mendorong peningkatan kualitas SDM. Namun,
untuk mengukur kualitas layanan pendidikan dan kesehatan itu sendiri, diperlukan indikator
kemajuan/keberhasilan sebagai instrumen untuk melakukan evaluasi. Berikut rancangan indikator
kemajuan SDM di wilayah Papua pada bidang pendidikan dan kesehatan.
A. Bidang Pendidikan:
1) Bisa baca dan tulis, hitung (sebagai SPM di kampung terisolir di pegunungan tengah dan
wilayah terosolir lainnya)
2) Transformasi pola pikir masyarakat dalam memandang sekolah: merubah pola pikir malas
belajar, malas sekolah, sekolah tidak penting
3) Daya saing SDM di tingkat daerah, nasional dan internasional (menduduki posisi strategis
kantor pemerintah/swasta/yayasan; bisnis; usaha UMKM)
B. Bidang Kesehatan:
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 37
1) Kelancaran pelayanan kesehatan di kampung-kampung terisolir di pegunungan tengah,
2) Ketersediaan obat dan alkes sesuai waktu dan jenis penyakit
3) Kesiapan tenaga kesehatan sesuai kebutuhan
4) Perilaku hidup sehat dan lingkungan yg sehat
5) Jaminan Kesehatan Nasional yang sesuai untuk Papua, yaitu dengan mensinkronkan
program Jaminan Kesehatan Nasional dengan program Jaminan Kesehatan Papua
6) Transformasi pola pikir masyarakat dalam memandang hidup sehat
4) Rekomendasi Kebijakan untuk Layanan Pendidikan dan Kesehatan
Regulasi Kebijakan untuk mengatur sistem pelayanan yang terintegrasi antara program
K/L, Provinsi, dan Kabupaten dengan aksi yang dikawal manajemen yang kuat dalam
penyelenggaraan pendidikan, kesehatan yang kontekstual Papua:
A. Pendidikan: Sistem pendidikan yang kontekstual di wilayah Pegunungan Tengah dan daerah
terisolir lainnya
1) Perlu Kebijakan pemerintah setingkat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU), untuk menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan kontekstual Papua
secara masif diseluruh wilayah Papua khususnya di wilayah terisolir ke tingkat nasional,
dan dilaksanakan koordinasinya oleh Pemerintah Provinsi.
2) PERPU perlu mengatur penerapan secara khusus dari UU Nasional (UU 20 tahun 20013
dan UU 14 tahun 2005) di wilayah terpencil dan terisolir, khususnya kawasan pegunungan
tengah dengan memberi kelonggaran waktu yang mencukupi untuk tercapainya kondisi
yang memungkinkan penerapan standar nasional.
3) Pengembangan dan memasifkan pengembangan PAUD dan TK dipadukan dengan gerakan
transformasi kampung cerdas melalui “sekolah kampung” di kabupaten-kabupaten
Pegunungan Tengah sebagai penyiapan anak sebelum masuk SD.
4) Penyediaan dan peningkatan kapasitas guru PAUD dan TK agar mampu mengajar dengan
pendidikan Kontekstual Papua.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 38
5) Penyempurnaan implementasi di seluruh wilayah (i) sekolah kecil (SD kelas 1-3) dipadukan
dengan gerakan transformasi kampung cerdas di setiap kampung dengan perhatian
terutama di kabupaten-kabupaten Pegunungan Tengah, (ii) sekolah besar terpadu (SD kelas
4-6, SMP, SMA) berasrama di kota distrik
6) Kebijakan 5 SD Kecil untuk setiap 1 SD-SMP Berasrama di setiap kota distrik; 2 kelas Untuk
setiap angkatan siswa baru; Setiap Kelas untuk 30-35 Siswa, setiap asrama ada
penanggungjawab/pengelola asrama.
7) Penerapan BPKP (Buku Paket Kontektual Papua) di sekolah kampung di seluruh Papua
khususnya kawasan yang terisolir dan terpencil
8) Reformasi/penyempurnaan Kolese Pendidikan Guru (KPG)
9) Memastikan kegiatan belajar mengajar berlangsung tiap hari, ditambah dengan
pengendalian kinerja guru di kampung-kampung terisolir dengan reward and punishment.
10) Kebijakan rolling guru dan kepala sekolah di pedalaman dan perkotaan setiap semester
11) Pemberian beasiswa pendidikan guru dengan ikatan dinas untuk bertugas di daerah
pedalaman yang te(tidak ada fasilitas komunikasi, listrik, transportasi, air bersih dan lain
lain)risolir dan terpencil
12) Pemberian sertifikasi uji kompetensi bagi guru yang bertugas selama 3 (tiga) tahun di
daerah pedalaman yang terisolir dan terpencil.
13) Penerapan kebijakan mahasiswa ilmu pendidikan dan keguruan untuk praktek kerja
lapangan di daerah pedalaman terisolir dan memberikan beasiswa mengirimkan guru yang
bertugas di daerah pedalaman terisolir untuk melanjutkan pendidikan/upgrading/refresing
pendidikan di perguruan tinggi di pulau Jawa
14) Pendampingan manajemen pendidikan kepada Dinas Kabupaten dan Dinas Provinsi
(perumusan kebijakan, perencanaan, penganggaran, dan pengendalian pelaksanaan)
15) Program/kegiatan reguler Kemendikbud secara khusus diorientasikan untuk mendukung
secara sinergi pengembangan pelayanan pendidikan yang kontekstual Papua
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 39
B. Kesehatan: Sistem pelayanan kesehatan yang mampu melayani di kampung-kampun terisolir di
Pegunungan Tengah dan daerah terisolir lainnya
1) Perlu Kebijakan pemerintah setingkat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU), untuk mengatur menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara masif diseluruh
wilayah Papua secara nasional, dan koordinasinya dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi.
2) Regulasi tersebut memasifkan pelayanan kesehatan secara sistematik dan terpadu mulai
dari inti kota, pinggiran kota, dan wilayah pedalaman terisolir, dengan fokus aksi :
3) Pengadaan Rumah Sakit tipe A di masing-masing Provinsi Papua dan Papua Barat, serta
Pengembangan Rumah Sakit Rujukan Regional
4) Pengadaan rumah sakit setiap ibukota kabupaten (Setidaknya Rumah sakit tipe D/Pratama.
5) Pelayanan Kesehatan sesuai dengan Kondisi Geografi Papua melalui sinergitas/kolaborasi
“Program Nusantara Sehat” dan “Pelayanan Kesehatan Kaki Telanjang” di wilayah terisolir
Pegunungan Tengah
6) Dukungan pusat secara konkrit dalam penyelenggaraan sistem Yankes Kijang dan
pelayanan kesehatan secara menyeluruh,
7) Rujukan dan evakuasi Pasien menggunakan pesawat kecil dengan bekerjasama dengan
Maskapai Penerbangan Keagamaan (AMA, MAF, Yajasi, Advent, dan lain lain), untuk pasien
yang ada di kampung-kampung yang terisolir dan terpencil.
8) Diperlukan langkah-langkah dalam mengintegrasikan Kartu Papua Sehat dengan Kartu
Jaminan Kesehatan Nasional/Kartu Indonesia Sehat (KIS & KPS).
9) Pendampingan Dinas Kesehatan Prov & Kab dalam perumusan kebijakan dan program
pembangunan kesehatan
10) Peningkatan kualitas pemukiman, air layak minum di kampung yang berstandar kesehatan
11) Rotasi tenaga kesehatan daerah pedalaman dan perkotaan dengan Insentif khusus bagi
bagi tenaga kesehatan di wilayah terisolir
12) Eradikasi malaria dan HIV/AIDs secara terpadu dan intensif
13) Sistem informasi dan sosialisasi kesehatan masyarakat secara terus-menerus
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 40
14) Penyiapan 500 tenaga kesehatan (medis) guna mendukung Program Pelayanan Kesehatan
Terbang, pelayanan kesehatan Terapung dan pelayanan kesehatan Kaki Telanjang.
15) Utilisasi/Fungsionalisasi Puskesmas sesuai standar Nasional
16) Peningkatan Pendidikan Khusus Tenaga Kesehatan Puskesmas melalui Layanan Pendidikan
Dosen Terbang ke Puskesmas
17) Pembangunan Pabrik dan Pusat Penelitian Obat Tradisional Papua.
18) Pendampingan/penguatan kapasitas manajemen pelayanan kesehatan bagi Aparatur Dinas
Kabupaten dan Dinas Provinsi
19) Pemberian beasiswa pendidikan dokter,bidan dan tenaga kesehatan dengan ikatan dinas
untuk bertugas di daerah pedalaman
20) Mempermudah dan memprioritaskan Pemberian sertifikasi uji kompetensi dan STR (surat
tanda registrasi) bagi dokter, bidan dan tenaga kesehatan yang bertugas selama 3 (tiga)
tahun di daerah pedalaman yang terisolir dan terpencil.
3.2.3. Koordinasi Pemanfaatan Alokasi Dana Tambahan Infrastruktur dalam Rangka Otonomi
Khusus
Pelaksanaan Otonomi Khusus sejak tahun 2002 masih belum mampu memecahkan
berbagai persoalan mendasar di Wilayah Papua dalam berbagai bidang, terutama dalam mengatasi
keterisolasian. Untuk itu, mulai tahun 2006 dialokasikan Dana Tambahan Otsus Infrastruktur,
dengan tujuan mempercepatan pembangunan infratsruktur. Berdasarkan amanat UU No. 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana diubah dengan UU No. 35 tahun
2008, pasal 34 ayat (3), disebutkan bahwa Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi
Khusus yang besarnya ditetapkan Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan Provinsi setiap tahun
anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan Infrastruktur. Terkait target
pembangunan infrastruktur dimaksud dijelaskan pada penjelasan pasal 34 ayat (3) butir (f) yaitu
bahwa sekurang-kurangnya dalam 25 tahun seluruh kota di Papua, kabupaten/ kota, distrik atau
pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut, dan udara yang
berkualitas, sehingga dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik dan menguntungkan
sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 41
Berdasarkan ketentuan UU 21/2001,untuk menjamin dalam 25 tahun seluruh wilayah
Papua dan Papua Barat terhubungkan oleh transportasi, dengan menggunakan kriteria penentuan
sebagai berikut:
a) administrasi wilayah: melingkupi luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kabupaten/kota,
jumlah distrik (kecamatan), jumlah kampung, dan kondisi geografis (terpencil dan isolasi
wilayah);
b) kondisi dan kebutuhan infrastruktur transportasi darat melingkupi jumlah ruas jalan,
panjang jalan, jumlah jembatan, jumlah terminal, pemeliharaan jalan, sarana dan prasarana
kebinamargaan, drainase, serta perencanaan dan pengawasan jalan dan jembatan.
c) kondisi dan kebutuhan infrastruktur transportasi laut/sungai melingkupi jumlah pelabuhan
laut, jumlah dermaga, jumlah pengamanan pantai, jumlah sungai, dan studi transportasi,
kondisi dan kebutuhan infrastruktur transportasi udara melingkupi jumlah Bandar udara
dan jumlah pesawat sekelas twin otter.
Pada pelaksanaan koordinasi rencana alokasi dan pemanfaatan Dana Tambahan
Infrastruktur dalam rangka otonomi khusus, Pemerintah Provinsi Papua mengusulkan supaya Dana
Tambahan Otsus Infrastruktur dapat dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur di luar
transportasi, yaitu untuk pembangunan sarana prasarana air bersih, kelistrikan, dan
telekomunikasi. Sebagai tindak lanjutnya, perluasan penggunaan Dana Tambahan Otsus
Infrastruktur pada bidang infrastruktur non-transportasi akan dikaji oleh pemerintah pusat, terkait
dengan kemungkinannya dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Apabila
dimungkinkan, maka perlu perumusan persentase alokasinya berdasarkan pertimbangan
pencapaian target konektivitas seluruh kabupaten/kota dan distrik di seluruh wilayah Papua
sebagaimana penjelasan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Provinsi Papua Pasal 34 Ayat 3 huruf
(f).
Prioritas pemanfataan Dana Tambahan Infrastruktur tahun 2016 diharapkan difokuskan
untuk pembangunan jalan dengan tujuan membuka keterisolasian di wilayah Pegunungan Tengah,
sehingga diharapkan dapat mengatasi permasalahan tingginya biaya logistik. Untuk itu, Ruas Jalan
Jayapura-Wamena yang telah dibangun supaya difungsikan kembali, sehingga transportasi menuju
ke Pegunungan Tengah tidak hanya mengandalkan transportasi udara. Dalam hal ini, APBN akan
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 42
diprioritaskan untuk penyelesaian ruas jalan nasional dan Jalan P4B sesuai amanat Perpres
40/2013 tentang Pembangunan Jalan dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat. Sedangkan APBD digunakan untuk menangani jalan provinsi dan kabupaten/kota.
Hingga saat ini, status jalan provinsi sudah 20% mantap.
Pembangunan infrastruktur transportasi perlu memperhatikan pendekatan pembangunan
berbasis wilayah adat, sehingga setiap wilayah tidak diperlakukan sama. Ada pertukaran
komoditas, sehingga pengembangan budaya di setiap wilayah adat dapat menjadi obyek wisata.
Pemerintah pusat harus membantu pemerintah daerah untuk menkonsentrasikan wilayah-wilayah
adat dengan potensi yang berbeda, sehingga perlu ada pemilahan daerah-daerah prioritas. Dalam
hal ini, pelaksanaan pembangunan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus, perlu
mempertimbangkan keunggulan kompetitif Kawasan Mee Pago (pusatnya di Nabire) dan Kawasan
Mamta (pusatnya di Jayapura) sebagai pengungkit untuk mengurai pegunungan tengah, agar dapat
dilakukan pembangunan hub tol laut di Nabire, untuk semakin mengurai kemahalan pegunungan
tengah. Untuk itu, meskipun pendulum utama tol laut hanya berhenti di Sorong (Provinsi Papua
Barat), akan dilanjutkan ke Provinsi Papua melalui pelabuhan hub Timika, Nabire, Depapre, Biak
dan Merauke. Pembagian konsentrasi daerah berdasarkan potensi-potensi tertentu diharapkan
dapat mengisi kekosongan kapal-kapal yang kembali dari Papua.
Tahun Provinsi Papua (Rp) Provinsi Papua Barat (Rp)
2007 1,000,000,000,000 -
2008 330,000,000,000 680,000,000,000
2009 880,000,000,000 600,000,000,000
2010 800,000,000,000 600,000,000,000
2011 800,000,000,000 600,000,000,000
2012 571,428,572,000 428,571,429,000
2013 571,428,572,000 428,571,429,000
2014 2,000,000,000,000 500,000,000,000
2015 2,250,000,000,000 750,000,000,000
Total 9,202,857,144,000 4,587,142,856,000
Tabel 4. Perkembangan Alokasi Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat Th. 2011-2016
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 43
Alokasi Dana Tambahan Infrastruktur bagi Provinsi Papua dan Papua Barat mengalami
peningkatan setiap tahun, terutama peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2014. Namun,
perlu dilakukan monitoring dan evaluasi, mengingat target 25 tahun Wilayah Papua dapat memiliki
konektivitas yang berkualitas, sedangkan hingga saat ini masih banyak daerah terisolir terutama di
wilayah pegunungan tengah. Untuk itu, dalam rangka mengoptimalkan capaian pelaksanaan
pembangunan infrastruktur di Wilayah Papua, perlu dilakukan upaya perbaikan pada
mekanismenya. Selama ini, belum ada monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara sistematis
dan berkelanjutanBerikut rancangan mekanisme Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka
otonomi khusus.
1) Mekanisme Penetapan Dana Tambahan Infrastruktur, yaitu:
a. Pemda melalui Gubernur mengusulan dana tambahan Otsus Infrastruktur,
b. Pemerintah melakukan penelaahan awal
c. Pemerintah melakukan pembahasan bersama Pemda Provinsi
d. Pemerintah melakukan pembahasan bersama DPR
e. Penetapan Dana Otsus Infrastruktur dalam rapat di DPR
f. Kementerian Keuangan menetapkan DIPA, dan PMK penggunaan dana Otsus dan Tambahan
Otusus Infratsruktur
2) Mekanisme Pencairan Dana Tambahan Infrastruktur, yaitu:
a. Kementerian Dalam Negeri Cq. BAKD dan Ditjen Otda menetapkan Juknis penggunaan dana
Otsus tambahan Infrastruktur dan tata cara pencairan dana
b. Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan rekomendasi kepada Kementerian Keuangan
setiap kali termin pencairan dana
c. Kementerian Dalam Negeri menetapkan indikator penilaian laporan keuangan sebagai
pertimbangan pencairan dana berikutnya.
3) Mekanisme Pengendalian Dana Tambahan Infrastruktur, yaitu:
a. Pemda Papua dan Papua Barat menetapkan rencana pembangunan transportasi darat, laut,
dan udara untuk menghubungkan seluruh kabupaten/ kota, distrik atau pusat penduduk
lainnya dengan jaringan transportasi terpadu di Papua dalam 25 tahun
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 44
Gb. 4. Skema Mekanisme Pengusulan Dana Tambahan Otsus Infrastruktur
b. Berdasarkan rencana tersebut Pemerintah menyusun indikator monitoring pelaksanaan
tahun berjalan dan evaluasi T+1
c. Monitoring dilaksanakan 2-3 kali setahun bersama antara Kemenkeu, Kemendagri,
Bappenas
3.3. Koordinasi Program Pengembangan Ekonomi Lokal bagi Masyarakat Asli Papua
Dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat asli Papua, permasalahan tersebut menjadi
isu prioritas yang perlu dipecahkan secara lintas sektor. Namun, berdasarkan pengalaman
terdahulu dalam mengimplementasikan kebijakan pengembangan ekonomi lokal secara teknis di
lapangan, terdapat beberapa permasalahan spesifik yang dijelaskan sebagai berikut.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 45
3.1.1. Identifikasi Permasalahan
1) Keterbatasan Keterampilan, Penyediaan Bahan Baku, dan Alat Produksi
Keterbatasan dalam berbagai faktor pendukung kegiatan produksi menjadi tantangan
dalam mengembangkan ekonomi lokal di Wilayah Papua. Mulai dari soal keterbatasan
keterampilan, persoalan infrastruktur hingga aspek budaya seperti pola pikir dan cara pandang.
Semua permasalahan tersebut saling terkait, yang menjadi faktor penghambat atau setidaknya
memperlambat proses pembangunan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Wilayah Papua.
Suatu kegiatan produksi memerlukan setidaknya tiga hal, yaitu (i) keterampilan para pekerjanya,
(ii) tersedianya bahan baku secara rutin, dan (iii) alat-alat produksi yang memadai. Ketiga hal
tersebut masih sangat terbatas ketersediaannya di Wilayah Papua.
Sebagian besar masyarakat Papua mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang serba
terbatas. Hal ini menjadi hambatan serius bagi mereka untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi yang
lebih produktif. Berdasarkan data Papua Barat dalam Angka tahun 2014 (BPS, 2015) ditunjukkan
bahwa lapangan pekerjaan utama masyarakatnya paling banyak di bidang pertanian, kehutanan,
perburuan dan perikanan yaitu sebesar 48,71% di tahun 2013 dengan tingkat pendidikan setara
SD/MI dan di bawahnya sebesar 48,88%. Namun para petani di Papua Barat tidak mempunyai
keahlian dan pengetahuan bercocok-tanam. Para petani tersebut menggantungkan hidupnya dari
segala sesuatu yang sudah tersedia di alam, yang dikenal sebagai praktek meramu. Kebanyakan
petani tidak paham cara bertani yang benar dengan sistem pengolahan lahan yang tetap (petani
menetap). Di samping itu juga mereka tidak mempunyai lahan pertanian yang tetap. Cara bertani
seperti ini jelas tidak memberikan keuntungan yang stabil dan berkelanjutan. Potensi alam dan
kesuburan tanah juga tidak dapat dikelola dengan optimal.
Tantangan lain adalah ketersediaan bahan baku. Selama ini ketersediaan bahan baku masih
tergantung pada musim, sehingga kegiatan produksi tidak dapat dilakukan secara rutin. Untuk
pembuatan jus dan sari buah pala misalnya, masih sangat tergantung pada musim panen besar
yang hanya terjadi dua kali dalam setahun. Di luar musim panen ini, jumlah buah pala yang tersedia
terbatas. Demikian pula untuk pembuatan abon dan kerupuk ikan di Manokwari yang sangat
tergantung pada hasil tangkapan nelayan pada hari tersebut.
Permasalahan lain yaitu terkait ketersediaan bahan-bahan pengemasan dan peralatan
produksi serta jasa pemiliharaan dan perbaikan peralatan. Selama ini sebagian besar sarana
produksi masih didatangkan dari luar Wilayah Papua. Terbatasnya alat produksi serta minimnya
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 46
keterampilan menyebabkan masyarakat Papua kesulitan dalam mengolah komoditas unggulan
yang tersedia di lingkungan mereka. Akibatnya, masyarakat Papua hanya bisa menjual barang
dalam bentuk mentah (raw material), baik itu ikan mentah, kelapa mentah, maupun buah/biji pala
mentah. Penduduk di Kabupaten Sarmi yang terkenal dengan hasil kelapanya hanya bisa menjual
kelapa mentah kepada para pedagang yang datang dari luar Sarmi. Hasil penjualan tersebut tentu
tidak seberapa. Padahal, kelapa masih bisa diolah menjadi minyak goreng, virgin coconut oil
maupun sabun dengan nilai jual yang lebih tinggi.
Demikian juga dengan kehidupan para nelayan di Kabupaten Manokwari, salah satu daerah
penghasil ikan di Papua. Para nelayan hanya bisa menunggu pembeli ikan segar datang karena
tidak mampu mengolah menjadi produk olahan seperti abon, kerupuk, dan bentuk lainnya.
Persoalan serupa terjadi di Kabupaten Fakfak, yang terkenal dengan buah palanya, namun yang
masih baru dapat dimanfaatkan hanya bijinya, sedangkan daging pala dibuang begitu saja. Padahal
jika diolah masih banyak manfaatnya seperti jus dan sari buah pala.
Selain keterampilan, bahan baku dan alat
produksi, kegiatan ekonomi juga butuh sistem kerja
dan pengaturan yang baik. Untuk itu perlu ada
lembaga yang bisa mengurusi proses produksi dan
penjualan. Ibarat kata, kemampuan ekonomi akan
terlihat bila masyarakat bergerak bersama-sama,
dan bukannya berjalan sendiri-sendiri. Dari awal
PcDP menyadari hal ini sehingga membantu warga
penerima program membentuk kelompok-kelompok
kerja, membangun pabrik dengan sistem kerja yang profesional, serta menjalin kerja sama dengan
berbagai pihak untuk membantu memperluas pemasaran hasil produksi. Di bidang ini, upaya
pemberdayaan ekonomi lokal Papua juga menghadapi tantangan. Tak banyak orang yang punya
kemampuan organisasi, apalagi yang mengurusi bisnis. Tak mudah mendapatkan sosok yang
menguasai secara baik proses bisnis dan mampu mengurus lembaga bisnis dengan benar. Tenaga
terampil dan ahli, baik dari masyarakat maupun pemerintah, juga terbatas. Untuk memberi
pelatihan keterampilan kepada masyarakat, tenaga ahli masih harus didatangkan dari luar Papua.
2) Tingginya Tingkat Kemahalan Barang
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 47
Masalah infrastruktur transportasi sebagai isu prioritas pembangunan di Wilayah Papua
memberikan implikasi yang cukup signifikan pada tingkat kemahalan harga barang-barang di
Papua. Wisatawan lokal maupun pegawai dari wilayah Jawa yang sedang dinas ke Papua akan
terkejut ketika akan membayar harga makanan di warung pinggir jalan. Di Jayapura, harga ikan
mujahir goreng ukuran sedang (sekitar 150 gram) sekitar Rp 80.000, bahkan dapat melebihi harga
tersebut. Apabila dibandingkan dengan harga makanan di warung pinggir jalan di Jakarta hampir
mencapai separuhnya, bahkan seperempatnya. Di Wamena, harga air mineral ukuran 500 ml
sekitar Rp 15.000, sementara daerah lain di Indonesia umumnya hanya dijual Rp 5.000. Contoh
tersebut masih dalam kategori bahan makanan yang kemungkinan dapat dicari barang
substitusinya. Bahan-bahan kebutuhan lainnya seperti bahan bangunan dan bahan bakar motor,
juga memiliki tingkat kemahalan hampir 3 x lipat, terutama di wilayah pegunungan tengah.
Tingginya tingkat kemahalan harga barang-barang di Papua menjadi tantangan bagi
pengembangan ekonomi lokal. Masyarakat Papua tidak memiliki banyak pilihan, baik sebagai
ketika dalam posisi sebagai pembeli maupun sebagai produsen. Indeks kemahalan yang tinggi
membuat daya serap pasar menjadi terbatas, barang yang dijual dan dibeli tak banyak. Akibatnya,
hanya mereka yang punya modal besar yang bisa jadi pemain di pasaran. Padahal di sisi lain,
sebagian besar warga Papua berada di kelompok dengan pendapatan yang rendah, masih jauh
dibawah Angka Kebutuhan Hidup Layak (AKHL). UMR Provinsi Papua Barat sebesar Rp 1.870.000
dan di Provinsi Papua sebesar Rp 1.900.000 untuk tahun 2014, menjadi nilai yang tidak sebanding
dengan nilai yang akan dikeluarkan untuk membeli harga barang-barang di Wilayah Papua.
Kondisi demikian menyebabkan masyarakat asli Papua hanya sebagai penonton dari para
pelaku ekonomi besar. Padahal seharusnya masyarakat Papua menjadi pelaku utama kegiatan
perekonomian. Masyarakat Papua seharusnya dapat mengoptimalkan potensi wilayahnya untuk
sebesar-besarnya kemanfaatan bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya.
3) Pola Berfikir Konsumen
Papua sampai saat ini hanya jadi tujuan pasar bagi barang-barang hasil produksi dari luar
Papua. Hal ini menjadi salah satu permasalahan sekaligus tantangan dalam pengembangan
ekonomi Papua. Selama ini, Papua lebih banyak mengimpor barang jadi dengan mendatangkan
barang-barang kebutuhan sehari-hari dari daerah di luar Wilayah Papua. Produk-produk barang
jadi yang diproduksi di Papua hampir tidak ada. Karena barang datang dari luar, maka masyarakat
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 48
melalukan konsumsi sehingga uang pun ikut mengalir ke luar (capital flight). Dari tahun 2010
hingga tahun 2014, nilai impor barang dari daerah lain ke Papua lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai ekspor barang dari Papua ke daerah lain. Dari tahun 2010 hingga tahun 2014, struktur net
ekspor antar daerah Provinsi Papua menunjukkan nilai minus yaitu antara -3.6 hingga -17.98, yang
artinya nilai impor barang dari daerah lain masih lebih tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari nilai
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Pengeluaran 2010 – 2014 (BPS Provinsi
Papua, 2015). Sedangkan dari sisi konsumsi, berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto
Provinsi Papua dan Papua Barat Menurut Pengeluaran 2010 – 2014 (BPS Provinsi Papua dan Papua
Barat, 2015) Rata-rata total penggunaan konsumsi akhir Provinsi Papua tahun 2010 – 2014
terhadap PDRB adalah 66.54% dan sisanya untuk ekspor, sedangkan di Provinsi Papua Barat rata-
rata sebesar 45%. Berdasarkan analisis data tersebut, sangat menunjukkan bahwa masyarakat
Papua masih menjadi konsumen dibanding sebagai produsen.
3.1.2. Prinsip-Prinsip Pengembangan Ekonomi Lokal
Dalam pelaksanaan pengembangan ekonomi lokal di Wilayah Papua yang telah
dilaksanakan sebelumnya, terdapat pembelajaran penting (lesson learned) yang dapat diadopsi
dalam perumusan sebuah kebijakan yang terkait dengan pengembangan ekonomi lokal masyarakat
asli Papua, untuk penyempurnaan capaian sasaran, hasil, dan dampak kebijakan pada
program/kegiatan selanjutnya. Adapun prinsip-prinsip pengembangan ekonomi lokal yang penting
untuk diperhatikan yaitu sebagai berikut.
1) Aspek Produksi
Di bidang ini, langkah pertama yang dilakukan yaitu mengadakan pelatihan produksi
pengolahan produk yang sebelumnya telah
disepakati antara pemerintah dan pemerintah
daerah, terutama antara K/L teknis terkait dengan
SKPD. Pelatihan diberikan kepada para penerima
manfaat yaitu Orang Asli Papua yang berdiam di
lokasi dekat dengan bahan dasar produksi. Langkah
berikutnya adalah memilih formula produk yang
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 49
tepat, dengan pertimbangan utama produk tersebut dapat diterima oleh pasar. Dukungan terkait
produksi juga dilakukan melalui pemberian bantuan kelengkapan alat produksi kepada para
penerima manfaat. Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dalam menghasilkan produk yang
berkualitas.
a. Barang yang dihasilkan harus jelas dengan kualitas yang jelas. Jenis dan kualitas barang yang
dihasilkan sudah ditentukan dari awal, kemudian mencari calon konsumen yang sesuai. Atau
bisa juga sebaliknya, menentukan calon konsumen dan kemudian memproduksi barangnya.
Banyak usaha kecil yang bangkrut karena tidak mempertimbangkan ini.
b. Tenaga kerja yang kompeten, memiliki keterampilan teknis yang baik, sikap dan budaya kerja
yang profesional, dan mampu beradaptasi dengan perubahan kebutuhan permintaan pasar.
Banyak usaha kecil yang tidak mampu memproduksi jumlah barang yang lebih besar ketika
permintaan meningkat. Akibatnya relasi dengan mitra sulit dipertahankan.
c. Memiliki peralatan kerja yang baik dan sedapat mungkin menggunakan teknologi sederhana.
Kelengkapan dan kualitas peralatan kerja sangat penting. Kesadaran masyarakat atau pembeli
tentang kesehatan, misalnya, semakin tinggi. Calon konsumen akan selalu mempertanyakan
proses dan kehigienisan produk-produk makanan dan minuman. Sekali mereka tidak percaya,
akan sulit membangun pasar. Penggunaan teknologi juga sangat penting untuk alasan efisiensi.
Namun sangat penting memperhatikan kesederhanaan teknologi yang digunakan karena terkait
dengan perawatan dan pemiliharaan (maintenance). Semakin tinggi teknologinya, semakin sulit
perawatannya terutama kalau lokasi kerjanya di kampung-kampung.
d. Memiliki sistem kerja yang jelas. Sistem kerja mengatur berbagai hal termasuk pengaturan jam
masuk dan libur, hari kerja, jam kerja, pembagian tugas, dll. Sistem kerja akan membantu ibu-
ibu, misalnya, dalam membagi waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan melakukan
aktivitas ekonomi. Semakin sederhana sistemnya, semakin baik hasilnya karena sistem yang
ruwet akan sulit diikuti oleh masyarakat di kampung. Sistem yang baik juga perlu
memperhatikan kearifan lokal dan menghargai budaya lokal tanpa menghilangkan standar-
standar profesional yang sudah ditetapkan.
2) Aspek Kelembagaan
Dalam hal ini perlu didorong penguatan lembaga yang sudah ada maupun pembentukan
lembaga baru. Lembaga ini diharapkan menjadi wadah bagi para penerima program dalam
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 50
melakukan produksi bersama, mengembangkan pasar,
serta menjalin kemitraan dengan pihak lain. Untuk
memastikan kemampuan bersaing di pasar, masyarakat
harus punya lembaga yang profesional yang mewakili
mereka melakukan komunikasi dan kerjasama usaha
dengan pihak ketiga. Tanpa lembaga yang profesional,
mustahil usaha masyarakat akan bertahan dalam
kompetisi yang ketat seperti sekarang. Seperti pengusaha membangun perusahaan yang
profesional, seperti itulah kiranya perusahaan masyarakat dibangun. Struktur organisasi yang jelas,
tanggungjawab masing-masing fungsi yang jelas, pembagian kerja yang jelas, target usaha yang
jelas, serta rencana kerja yang jelas.
3) Aspek Pemasaran
Aspek ini menjadi salah satu titik kelemahan dalam pengembangan ekonomi lokal.
Produk yang tak sampai ke pasar jelas tak akan memperbaiki kehidupan ekonomi orang Papua.
Masyarakat perlu diarahkan menghasilkan produk yang bisa menjangkau pasar yang lebih luas.
Mereka diberi pembekalan soal cara mencari pasar dan mendapatkan jaringan untuk memasarkan
produk-produk olahannya. Pemasaran haruslah efektif,
efisien, menjangkau konsumen sedekat mungkin, dan
produk harus dikenal dan diakui oleh konsumen. Menjual
langsung akan memakan tenaga dan biaya. Bekerjasama
dengan perusahaan yang mempunyai jaringan distribusi
yang luas sudah menyelesaikan setengah dari
permasalahan pemasaran. Seperti swasta membangun
pasar, demikian juga yang harus dilakukan oleh
perusahaan masyarakat. Produk-produk perlu dipromosikan dengan cara yang tepat agar dikenal
oleh calon konsumen. Dengan memiliki produk yang sudah dikenal dan mempunyai pangsa pasar
yang jelas, membangun kemitraan dengan swasta juga akan lebih mudah.
4) Aspek kemitraan (partnership)
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 51
Kemitraan disini adalah antara
penerima manfaat baik perorangan maupun
kelompok ataupun diwakili oleh lembaga
dengan pihak ketiga seperti pemerintah,
distributor, supplier maupun mitra
pembangunan lainnya. Disamping kemitraan
dengan swasta, kemitraan dengan pemerintah
juga sangat penting untuk mendapatkan
bantuan dalam bentuk regulasi-regulasi yang
terkait. Membangun perusahaan masyarakat bukanlah hal mudah dan tentunya butuh waktu dan
dana. Dukungan pemerintah sangat diperlukan di tahap ini, sampai usaha masyarakat itu bisa
mandiri. Dalam proses untuk mandiri ini, dana dan tenaga untuk pendampingan sangat dibutuhkan.
Sampai usaha masyarakat itu sudah mandiri, pendampingan harus tetap ada. Tanpa dukungan
pemerintah, akan sangat sulit bagi masyarakat asli Papua atau masyarakat di kampung untuk
memandirikan sendiri usahanya.
3.1.3. Analisis Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal
1) Hilirisasi industri berbasis komoditas unggulan lokal
Salah satu hal terpenting yang menjadi tujuan dari kebijakan pemberdayaan masyarakat
asli Papua melalui pengembangan ekonomi lokal yaitu meningkatknya kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat memiliki pendapatan atau penghasilan tetap sebagai biaya memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Sebelumnya, masyarakat Papua menggunakan strategi meramu dan peladangan
berpindah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, hasil yang tidak menentu
menyebabkan masyarakat semakin jauh dari kehidupan yang layak. Untuk itu, strategi hilirisasi
komoditas unggulan dapat menjadi sebuah alternatif menjawab tantangan pembangunan di Papua.
Sektor agraris memang sudah dikembangkan di Papua, namun selama tidak ada proses hilirisasi
yang dapat memberikan nilai tambah secara signifikan, masyarakat hanya menjual dalam bentuk
bahan mentah.
Untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, perlu dilakukan penyiapan masyarakat,
terutama dalam peralihan antara pola berfikir subsisten menjadi pola sistem produksi berbasis
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 52
pasar. Bukan menjadi hal yang mudah untuk mengarahkan masyarakat dari pendekatan
konvensional menjadi pendekatan lebih modern, dengan memadukan perkembangan teknologi
untuk mengolah sumber daya alam yang tersedia. Peralihan menuju sistem produksi berbasis pasar
pada dasarnya bertujuan untuk memberikan nilai tambah bagi produk yang dihasilkan. Namun,
lebih jauh dari itu, kegiatan produksi yang dilakukan oleh masyarakat asli Papua dapat
menciptakan lapangan kerja sehingga masyarakat memiliki penghasilan tetap. Masyarakat menjadi
aktor utama dalam pengembangan ekonomi di wilayahnya sendiri, dan dapat mengoptimalkan
pengelolaan komoditas unggulan di daerah untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kegiatan produksi yang dilakukan oleh masyarakat dapat dikatakan berhasil apabila
diterima oleh pasar. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan pasar dalam arti produk seperti apa yang
dapat diterima oleh pasar, siapa konsumennya, dan bagaimana konsumen bisa mendapatkan
produk tersebut dengan mudah. Di samping itu, sasaran lokus pasar juga perlu diidentifikasi
dengan baik. Untuk pasar domestik, bisa bekerja sama dengan distributor lokal, sehingga ada
kejelasan target permintaan dalam rentang waktu tertentu. Sedangkan untuk pasar luar negeri, bisa
menjangkau konsumen di negara tetangga misalnya PNG dan negara-negara lain di kawasan
pasifik.
Pada beberapa kegiatan pengembangan lokal yang telah dilakukan sebelumnya, terbukti
bahwa pola hilirisasi memberikan dampak yang cukup signifikan bagi peningkatan pendapatan
masyarakat. Dengan catatan, kegiatan dilakukan dengan komitmen penuh dari pemerintah melalui
dukungan kebijakan dan pendanaan, serta pendampingan yang intensif.
2) Pemanfaatan Pengetahuan Lokal Masyarakat dalam Mengelola Sumber Daya Alam
Menghargai pengetahuan lokal menjadi sebuah substansi yang penting dilakukan oleh
pemerintah pusat, daerah, maupun stakeholders pembangunan lainnya. Masyarakat Papua
memiliki pemahaman tentang wilayahnya, tentang kebutuhan, peluang dan hambatan yang bersifat
spesifik tetapi memiliki pengaruh yang besar bagi pelaksanaan pembangunan. Masyarakat lokallah
yang memiliki pengetahuan, kearifan lokal dan keahlian, yang harus dipelajari dan diterapkan
dalam penyelesaian masalah sosial yang terjadi. Saat ini, seringkali upaya pemberdayaan
masyarakat di Wilayah Papua hanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara top down,
cenderung menggurui dan mengabaikan aspirasi masyarakat.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 53
Pemerintah perlu menghargai dan yakin bahwa kapasitas lokal yang dimiliki masyarakat
menjadi potensi tersendiri untuk mengoptimalkan sumber daya alam yang dimilikinya, di samping
berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Namun, tentunya perlu dilanjutkan dengan pengembangan
ke tingkat kegiatan ekonomi yang lebih kompleks dengan dukungan pemerintah. Keterbatasan SDM
memang merupakan salah satu masalah utama di Papua. Akan tetapi, kurang tepat apabila
keterbatasan SDM dianggap sebagai penghambat pembangunan atau setidaknya penyebab sulitnya
melakukan pembangunan. Karena tugas pemerintah pada dasarnya yaitu mampu mengelola
sumber daya yang memiliki berbagai keterbatasan, untuk mendatangkan sebesar mungkin
kemanfaatan bagi masyarakatnya.
Operasionalisasi dari kebijakan ini salah satunya yaitu pada pengembangan obat-obatan
tradisional. Namun, pemanfaatan pengetahuan lokal masyarakat juga perlu dilakukan secara
selektif. Triangulasi dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa besar validitas data yang
bersumber dari masyarakat tersebut. Perlu dilakukan cross check, sehingga terhindar dari
subjektifitas kelompok atau etnis tertentu yang dikhawatirkan menyebabkan kerugian pada
kelompok lain.
3) Pendampingan masyarakat melalui kaderisasi tenaga pendamping lokal
Pendampingan menjadi sebuah prasyarat penting bagi keberhasilan upaya pemberdayaan
masyarakat, terutama terkait bidang ekonomi. Pendampingan terutama dilakukan untuk mengawal
pengelolaan/manajemen administrasi dan keuangan. Karena salah satu kelemahan yang dimiliki
masyarakat asli Papua yaitu minimnya keahlian untuk mengelola keuangan dan tertib administrasi,
sehingga jaminan untuk keberlanjutan program juga cukup minim. Belajar dari pengalaman
pengembangan ekonomi lokal yang telah dilakukan, usaha masyarakat terhenti karena mereka
tidak mampu menyediakan bahan baku, sedangkan modal sudah habis. Dalam hal ini lah peran
pendamping sangat dibutuhkan.
Di samping itu, pendampingan dilakukan untuk memberikan solusi-solusi teknis ketika
masyarakat kurang memahami, memberi motivasi ketika terjadi kegagalan, dan saling berbagi
pengetahuan yang dimiliki untuk memecahkan persoalan yang terjadi di lapangan. Dalam
pelaksanaan sebuah program pemberdayaan, seringkali pendamping berasal dari luar daerah yang
notabene lebih maju, kemudian tinggal di daerah tersebut dalam kurun waktu yang ditetapkan,
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 54
kemudian kembali ke tempat asal. Pada posisi inilah program pemberdayaan seringkali mengalami
ketidakstabilan. Untuk itu, perlu dilakukan kaderisasi tenaga pendamping lokal yang berasal dari
masyarakat setempat. Sehingga, walaupun secra administratif program pemberdayaan tersebut
berakhir, namun kegiatan pengembangan ekonomi lokal masih berkelanjutan. Hal ini menjadi
sebuah outcome yang paling konkrit, karena terbentuk masyarakat yang mandiri dan mampu
mengembangkan perekonomiannya secara berkelanjutan.
Dalam operasionalisasinya, sosok pendamping juga memiliki pengaruh yang cukup
signifikan, terutama kemampuannya dalam melakukan komunikasi publik, komunikasi politik,
bahkan terkait latar belakang sukunya (untuk beberapa kelompok masyarakat yang fanatik
kesukuannya tinggi). Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa seorang
pendamping pemberdayaan masyarakat di Wilayah Papua perlu menerapkan konsep perubahan
dari bawah, yaitu dengan menghargai pengetahuan lokal, kebudayaan lokal, sumber daya lokal,
keterampilan lokal, dan proses-proses lokal.
4) Pengembangan kelembagaan melalui pembangunan mini pabrik/ home industry/ koperasi, dan
menjalin kemitraan dengan sektor swasta
Pembentukan sebuah kelembagaan untuk menaungi kegiatan pengembangan ekonomi
lokal masyarakat sangat dibutuhkan untuk strategi pengembangan usaha. Keberadaan lembaga
formal dan memiliki kekuatan hukum menjadi sarana untuk mempermudah dalam mengakses
lembaga ekonomi/perbankan. Di samping itu, dengan adanya kelembagaan yang jelas, maka
kegiatan manajemen dan administrasi akan dapat dilakukan dengan lebih tertib dan teratur.
Masyarakat juga dapat belajar untuk melakukan kegiatan investasi, di samping hanya melakukan
konsumsi dan produksi.
Dalam pelaksanaannya, faktor modal sosial memiliki peran penting dalam pembentukan
lembaga pengembangan ekonomi lokal. Unsur-unsur modal sosial seperti rasa saling percaya, kerja
sama, dan saling berbagi kebaikan dapat menjadi trigger yang kuat untuk membentuk masyarakat
yang lebih berdaya. Walaupun bersifat intangible, modal sosial menjadi aset yang sangat berharga
untuk mendukung eksistensi dari sebuah lembaga.
Dengan terbentuknya kelembagaan, maka kegiatan akan lebih terkonsolidasi
dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan secara perorangan atau per-kelompok. Untuk
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 55
memperluas jaringan distribusi dapat dilakukan kemitraan dengan pihak swasta yang ada di
daerah tersebut, misalnya dengan distributor, toko, dan swalayan. Selain itu, dapat dilakukan
kerjasama dengan pihak-pihak penyedia jasa wisata dan hotel untuk mempromosikan produk,
dengan segmen para wisatawan baik domestik maupun luar negeri.
5) Pembangunan sarpras infrastruktur transportasi untuk membuka keterisolasian dan
menyediakan akses menuju pusat-pusat perekonomian
Sarana prasarana infrastruktur transportasi menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat,
baik untuk mengakses pelayanan pendidikan dan kesehatan, maupun untuk mengembangkan
kegiatan perekonomian. Untuk mendukung pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat,
penyediaan transportasi yang memadai diharapkan dapat mengurangi biaya logistik dalam
mendistribusikan hasil produksi. Kendala saat ini, disamping biaya produksi yang mahal karena
sebagian besar sarana produksi didatangkan dari wilayah luar Papua, juga mengalami kesulitan
dalam memasarkan produk ke wilayah luar Papua.
Operasionalisasi pembangunan infrastruktur di Wilayah Papua perlu diintegrasikan
antara infrastruktur di wilayah kampung untuk memberikan akses ke pelayanan publik dasar
dengan infrastruktur dari wilayah kampung menuju pusat-pusat kegiatan perekonomian. Moda
transportasi yang disediakan harus disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah.
6) Dukungan regulasi dan pendanaan dari pemerintah daerah untuk mengembangkan ekonomi
lokal
Kebijakan pengembangan ekonomi lokal di Wilayah Papua telah sejalan dengan program
pemerintah daerah terutama di Provinsi Papua yaitu program Gerbangmas Hasrat Papua (Gerakan
Bangkit, Mandiri dan Sejahtera Harapan Masyarakat Papua). Pengembangan ekonomi di kampung-
kampung menjadi salah satu prioritas programnya dengan tujuan memperkuat ekonomi berbasis
kampung berdasarkan pada keunggulan wilayah. Papua Barat juga mempunyai program terkait
pengembangan ekonomi lokal. Dalam operasionalisasinya, pemerintah daerah dapat memberikan
dukungan kebijakan yang bersifat afirmatif untuk barang-barang produksi masyarakat lokal,
misalnya dengan mengeluarkan peraturan bupati yang mewajibkan masyarakatnya menggunakan
barang-barang produksi masyarakat lokal.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 56
Di samping dukungan melalui kebijakan, dukungan pemerintah daerah melalui alokasi
anggaran untuk program pengembangan ekonomi lokal juga menjadi sebuah langkah yang
strategis. Namun, pola penyaluran anggaran ke masyarakat perlu dilakukan melalui strategi yang
tepat, dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi, serta pendampingan
dalam penggunaan anggaran. Permasalahan yang seringkali terjadi pada program pemberdayaan
masyarakat yang berbasis pengembangan ekonomi lokal yaitu kurangnya manajemen dalam
penggunaan anggaran.
3.4. Koordinasi Rencana Pembangunan Kawasan Strategis Di Provinsi Papua dan Papua
Barat
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) menjadi salah satu konsep pengembangan Kawasan Strategis
Nasional bidang Ekonomi (KSN) yang diharapkan dapat mendukung percepatan pembangunan
perekonomian masyarakat di daerah, sebagaimana yang tertuang dalam visi misi Presiden/Wapres
(Nawa Cita) ke-6 yaitu meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
sehingga bangsa indonesia maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Visi-misi
tersebut dituangkan dalam RPJMN 2015-2019 dengan arah kebijakan pengembangan KEK yaitu
untuk mempercepat pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah, terutama di Luar
Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua) dengan memaksimalkan keuntungan
aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah dan peningkatan efisiensi dalam penyediaan
infrastruktur.
Hingga tahun 2014, terdapat 7 (tujuh) KEK yang ditetapkan, yaitu: (1) KEK Tanjung Lesung;
(2) KEK Sei Mangkei; (3) KEK Palu; (4) KEK Bitung; (5) KEK Morotai; (6) KEK Tanjung Api-Api; dan
(7) KEK Mandalika. Pada tahun 2015 ini, komitmen Pemerintah untuk membangun Kawasan Timur
Indonesia ditunjukkan dengan mendukung rencana pengembangan KEK di Wilayah Papua, yaitu
KEK Merauke (Provinsi Papua) dan KEK Sorong (Provinsi Papua Barat), sesuai dengan komoditas
unggulan yang potensial untuk dikembangkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kabupaten Merauke saat ini telah mengajukan dokumen
pengusulan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di Merauke di sektor pangan, yang
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 57
salanjutnya disebut sebagai KEK Pangan Merauke, dengan misi menjadikan Indonesia sebagai
negara swasembada beras dan negara eksportir beras. Pemerintah Kabupaten Merauke telah
mencanangkan lahan seluas 1,2 juta hektar lahan sebagai sentra pangan nasional (namun akan
dibatasi seluas 250 ribu hektar mengingat keterbatasan infrastruktur dan kompleksitas lahan).
Dalam rencana tersebut, sawah pertanian akan dikelola dengan pendekatan mekanisasi dimana
setiap hektar lahan sawah berpotensi memiliki tingkat produktifitas gabah sebesar 8 ton per hektar
atau sekitar 5 ton padi per hektar.
Untuk mewujudkan misi swasembada tersebut, berbagai industri pengolahan produk pangan
dan industri pendukungnya akan dibangun dalam kawasan industri ini. Beberapa industri
pengolahan pangan yang akan dibangun di dalam KEK Merauke, antara lain: (a) Rice husking; (b)
Industri pengolahan beras lanjutan (kristalisasi beras); (c) Industri pengolahan pangan dari produk
sampingan beras; dan (d) Industri pengolahan daging. Selain menghasilkan beras baik kualitas
sedang maupun kualitas tinggi, industri gabah memiliki beberapa produk sampingan lain yang
memiliki nilai jual cukup tinggi. Untuk lebih meningkatkan nilai jual tersebut, perlu adanya
dukungan dalam bentuk pengembangan industri pengolahan produk sampingan dari beras yang
bersifat non pangan. Pabrik pengolahan produk sampingan beras non pangan lainnya, yaitu: (a)
Industri pengolahan pakan ternak berbasis jerami dan kawul; (b) Industri pengolahan pakan ternak
berbasis bekatul; dan (c) Industri pengolahan minyak bekatul. Sedangkan industri pendukung
khususnya terkait penyediaan sarana produksi yang akan dibangun di dalam KEK Merauke ini
antara lain: (a) Industri peralatan pertanian (bengkel dan retailer); (b) Industri pengemasan; (c)
Industri pupuk; serta (d) Industri logistik.
Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat yaitu Kabupaten Sorong akan direncanakan
pembangunan KEK Sorong. Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus berawal dari pembangunan
Kawasan Industri Arar Sorong dan sejalan dengan Program Pemerintah Pusat terkait Tol Laut.
Pembangunan infrastruktur pabrik beserta fasilitas penunjang berupa pelabuhan menjadi faktor
penarik (pull factor) kalangan industri membangun industri di kawasan ini. Kabupaten Sorong
memiliki potensi potensi minyak dan gas bumi yang cukup besar. Hingga saat ini, beberapa
kegiatan investasi telah berjalan di Kabupaten Sorong, yaitu pada sektor Migas, Kehutanan,
Perkebunan, Perindustrian, dan Kelautan. Lahan yang akan disiapkan bagi pembangunan KEK
Sorong yaitu seluas ± 7000 Ha, dengan luas lahan pada kawasan ini yang telah dibebaskan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong yaitu seluas ± 1000 Ha. Perkembangan pembangunan KEK
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 58
Gb. 3.1 Peta Rencana Pembangunan KEK Merauke
saat ini yaitu masih berada pada tahap penyusunan Dokumen Pengusulan KEK Sorong oleh
Pemerintah Daerah dengan fokus kegiatan usaha pada industri minyak dan gas, serta industri
semen.
3.4.1. Rencana Pembangunan KEK di Merauke
Kegiatan koordinasi dalam
rangka rencana pembangunan
KEK di Merauke telah dilakukan,
baik dengan pemerintah pemda
dan pemerintah pusat, terutama
oleh Menko Bidang
perekonomian. Pada tanggal 15 -
17 Oktober 2015 telah
dilaksanakan tugas dinas untuk
menghadiri Undangan Konsultasi
Publik Penyiapan Kawasan Sentra
Produksi Pertanian (KSPP) dan
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kegiatan ini dilaksanakan oleh Asisten Deputi Bidang Penataan
Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam
rangka menindaklanjuti Surat Sekretaris Kabinet No. B-289/Seskab/VI/2015 tanggal 16 Juni 2015
perihal arahan Presiden RI mengenai Lahan 1 juta Hektar dan rencana penetapan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) di Kabupaten Merauke sebagaimana diamanatkan pada RPJMN (Perpres
No. 2 Tahun 2015). Latar belakang penyusunan kawasan sentra produksi pangan nasional antara
lain: (i) Swasembada pangan nasional merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional; (ii)
Peningkatan ketersediaan pangan sudah masuk dalam RPJMN 2015-2019; (iii) Merauke memiliki
kesesuaian lahan potensial 1,2 juta hektar yang sesuai tanaman padi; (iv) Presiden Jokowi telah
menetapkan Merauke sebagai Lumbung Padi Nasional 10 Mei 2015; dan (v) Pemda Merauke ingin
mewujudkan Kawasan Sentra Produksi Pangan Nasional (KSPPN) di wilayah Timur Indonesia.
Belajar dari kegagalan Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) dan Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE), kami melakukan Pra Studi Kelayakan yang meliputi kegiatan kajian (i)
P2EB UGM - Pembukaan Lahan Pertanian Satu Juta Hektar di Kabupaten Merauke; (ii) PUSTRAL
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 59
Gb. 3.2. Pelabuhan Umum Merauke
UGM - Kajian Biaya Logistik Distribusi Komoditas Pertanian dari Merauke ke Kawasan Timur
Indonesia; (iii) LD UI - Studi Tenaga Kerja dan Sosial Ekonomi Pengembangan Pertanian di
Merauke; (iv) P2EB UGM – Penyusunan Dokumen Kawasan Ekonomi Khusus; (v) P2EB UGM –
Usulan Master Plan Kawasan Produksi Pangan Nasional di Kabupaten Merauke; (vi) SATDAR-
OTDA UGM – Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden Tentang Kawasan Sentra Produksi
Pertanian Merauke. Rencana pengembangan kawasan sentra produksi pangan nasional Kabupaten
Merauke ditunjukkan dalam peta (gambar 3.1).
Pembangunan Infrastruktur untuk kawasan sentra produksi pangan yang sangat
dibutuhkan antara lain: Prasarana jalan dan jembatan, prasarana pengairan dan irigasi pertanian,
prasarana listrik dan jaringan distribusi serta penambagan pelabuhan dan transportasi kelautan.
Hal yang perlu diperhatikan sebagai kunci keberhasilan dalam pengembangan kerjasama kawasan
sentra produksi pangan yaitu:
a. Model Pengusahaan yang terdiri dari: masyarakat pemilik lahan, investor pemiliki modal dan
pengusaha serta pemerintah sebagai regulator.
b. Pengembangan infrastruktur seperti irigasi, jaringan jalan, jaringan listrik, pergudangan dan
pelabuhan.
c. Pengembangan kelembagaan yaitu badan pengelola kawasan pangan, koperasi petani,
sponsor/investor dan manajemen.
Berdasarkan hasil kajian dari Pusat
Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Kabupaten
Merauke mempunyai kesesuaian lahan yang cocok
untuk tanaman padi. Untuk membuktikan hal
tersebut, telah dilakukan pra studi kelayanan P2EB
dilakukan pada awal Januari Tahun 2015 terkait
pembukaan lahan pertanian satu juta hektar di
kabupaten Merauke. Kajian dilakukan untuk menilai studi kelayakan tenaga kerja dan peraturan
pemerintahan terkait pelaksanaan transmigrasi. Dalam hal ini, tim kajian UGM telah menyusun
dokumen untuk menyiapkan KEK Merauke dan akan dilakukan studi AMDAL. Namun demikian,
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 60
Gb. 3.3. Lokasi Rencana Kawasan Industri Pengolahan Pangan
terlebih dahulu harus diidentifikasi kawasan hinterland dari KEK Merauke untuk pengembangan
sentra produksi pangan di Kabupaten Merauke. Pembangunan KEK Merauke perlu didukung
dengan pengembangan distrik kurik, semangga. Pengembangan kawasan dilakukan menggunakan
konsep klaster dan masing-masing harus punya plasma sebanyak 5000 untuk inti, dan 2000 untuk
plasma.
Terdapat beberapa kebutuhan pembangunan infrastruktur unuk mendukung
pengembangan kawasan ini, yaitu peningkatan jalan strategis Merauke-Sota-Ubung-Muting-
Kalikin-Nakias-Wanan, distrik kawasan pertama harus segera dibangun untuk mendukung
pengembangan KEK. Kebutuhan listrik di Merauke cukup besar, namun memerlukan tambahan 3
MW dan sambungan telepon. Peningkatan pembangunan irigasi. Pemetaan Hak Ulayat sangat
penting untuk pengembangan 250.000 Ha. Pengembangan energi baru terbarukan.
Dibutuhkan beberapa regulasi tambahan untuk
menyusun tata kerja mekanisme pelaksanaan program.
Identifikasi ijin usaha perusahaan yang bekerja di
kawasan. Pola pengembangan kerjasama KSPP: Private
partnership dengan penduduk setempat, pemerintah,
dan partnership. Pengembangan Kelembagaan: Badan
Pengelola Kawasan Pangan, koperasi petani,
sponsor/investor/perusahaan, manajemen terbuka
(transaksi punya rekening di Bank). Perlunya pembentukan Dewan Otoritas Kawasan Sentra
Produksi Pangan. Kontrak dengan pemilik lahan konsepnya sewa (10-20 tahun), tidak ada jual beli.
Bank akan mengakui pada saat panen dapat mengucurkan kredit tanpa jaminan (tanpa kolateral:
Vietnam, Thailand, kamboja). Proses kerjasama akan mendorong mekanisasi perkembangan sentra
pangan. Pengembangan kawasan diorientasikan untuk ekspor dan mendapat bantuan kapal dari
pemerintah provinsi. Tahun depan akan membangun ricemill yang baik. Calon investor yang akan
mengembangkan KEK Merauke yaitu: (1) Kementan (65.000 Ha); (2) PT Pangan Indonesia (10.000
Ha); (3) PT Bulog (10.000 Ha); 70 %; (4) pengembangan oleh swasta PT. Pangan Parama Papua
(15.000 Ha). Pengembangan oleh BUMD (5.000 Ha) dan oleh Koperasi kawan tani sejati (10.000
Ha) 30 %(Ha).
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 61
Gb. 3.4. Gudang Bulog di Kabupaten Merauke
Berdasarkan pemantauan dan pembahasan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke
beserta SKPD terkait, perkembangan rencana pembangunan KEK di Merauke dapat diidentifikasi
sebagai berikut.
a. Komoditas unggulan di Kabupaten Merauke adalah
pertanian tanaman pangan (padi sawah, ubi, sagu)
tidak menutup kemungkinan untuk di kembangkan
tebu dan sawit. Sumber irigasi masih mengandalkan
rawa-rawa dan air hujan.
b. Luas lahan yang diusulkan untuk menjadi KEK adalah
luasan MIFEE (1,2 juta Ha), namun Tim
Pengembangan KEK menghendaki luasan KEK tidak
terlalu besar (50 Ha) sehingga dapat menjadi pusat
pertumbuhan dan industri. Kawasan MIFEE lainnya
dapat dijadikan sebagai penunjang kawasan (penghasil bahan baku).
c. Tanah ulayat masih menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan kawasan, sehingga
dibutuhkan regulasi pengelolaan tanah ulayat sistem bagi hasil atau sewa. Pemerintah
Kabupaten Merauke akan mencari lokasi alternatif lainnya yang sudah memiliki sertifikat tanah
sehingga kedepan dapat lebih mudah dalam pengelolaan sebagai contoh kawasan terpadu
mandiri (KTM) Selor. KTM selor telah memiliki masterplan pengembangan kawasan yang
dapat dijadikan alternatif lokasi pengembangan kawasan.
d. Infrastruktur yang telah tersedia adalah (i) Pelabuhan Merauke sebagai pelabuhan umum dan
kontainer dengan kedalaman sekitar 8 m; (ii) Gudang Bulog dengan kapasitas 12.000 ton beras;
(iii) infrastruktur pengelolaan rawa.
3.4.2. Rencana Pembangunan KEK di Sorong
Berdasarkan pemantauan dan pembahasan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong
beserta SKPD terkait, perkembangan rencana pembangunan KEK di Sorong dapat diidentifikasi
sebagai berikut.
a. Lokasi usulan KEK berada di kawasan Industri Arar dengan luasan 6.927 Ha dengan zona inti
seluas 400 Ha.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 62
Gb. 3.5. Pelabuhan di Kawasan Industri Arar Gb. 3.6. Sumber Listrik dari PLTMG Waymon
b. Infrastruktur yang telah terbangun di dalam kawasan adalah (i) Pelabuhan kontainer dengan
kedalaman 14 m; (ii) Jalan menuju kawasan industri; (iii) ketersediaan listrik melalui PLTMG
Waymon dengan daya 30 Mw.
c. Sudah terdapat beberapa investor yang ada di kawasan industri Arar yaitu PT Petrochina yang
bergerak dalam bidang pengolahan CPO, PT Semen Gresik Tbk yang bergerak di bidang
pengepakan semen.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 63
BAB 4 PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis, berikut rumusan kesimpulan dari kegiatan
koordinasi asistensi percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, yaitu:
1. Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat mulai tahun 2015 dilakukan dengan
menggunakan pendekatan berbasis wilayah adat, sebagaimana yang diuraikan secara rinci
dalam Buku III Bab II Arah Pengembangan Wilayah Papua RPJMN 2015-2019. Pendekatan
pembangunan berbasis wilayah adat digunakan untuk memudahkan intervensi pembangunan,
dengan mengelompokkan wilayah Papua berdasarkan kedekatan kondisi geografis, adat, dan
budaya. Sebagai bentuk implementasinya, kebutuhan program/kegiatan pembangunan
infrastruktur, peningkatan ekonomi masyarakat, dan penyediaan layanan dasar publik
(pendidikan dan kesehatan) telah dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing
wilayah adat menyesuaikan dengan karakteristik kondisi sosial budaya, serta dengan
melibatkan unsur-unsur adat. Diharapkan penggunaan pendekatan ini dapat mengoptimalkan
pelaksanaan pembangunan, sehingga memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat.
2. Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat terutama ditujukan untuk
melakukan percepatan pembangunan manusia melalui penyelenggaraan layanan bidang
pendidikan dan kesehatan. Apabila dibandingkan antara sebelum dan setelah otonomi khusus,
capaian pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan mengalami perkembangan yang
signifikan dari tahun ke tahun, walaupun apabila dibandingkan dengan capaian di wilayah lain,
angka tersebut masih tergolong rendah. Di samping kesenjangan dengan wilayah lain, terjadi
kesenjangan di dalam Wilayah Papua yaitu antara wilayah pesisir dengan wilayah pegunungan.
Sebagian besar kabupaten/kota yang berada di wilayah pegunungan tengah masih terisolir
dengan akses layanan pendidikan dan kesehatan yang rendah, sehingga menyebabkan kualitas
SDM di wilayah pegunungan masih jauh dari rata-rata.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 64
3. Pembangunan ekonomi lokal bagi masyarakat asli Papua menjadi salah satu strategi untuk
mengurangi kesenjangan perekonomian antar masyarakat, diketauhi bahwa sumber PDRB
tertinggi berasal dari sektor pertambangan dimana pada sektor tersebut sangat sedikit
menyerap tenaga kerja orang asli Papua. Untuk itu, strategi hilirisasi komoditas unggulan lokal
per wilayah adat yang berbasis pasar menjadi alternatif yang tepat untuk menciptakan
pendapatan tetap bagi masyarakat asli Papua. Dalam hal ini, pendampingan intensif menjadi
faktor kunci keberhasilan program, mengingat terdapat tantangan untuk mengarahkan pola
berfikir masyarakat dari sub sisten menjadi pola perekonomian modern.
4.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, berikut rekomendasi yang dihasilkan dari kegiatan
koordinasi asistensi percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, yaitu:
1. Perlunya penetapan indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan
Papua Barat yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden, terutama
indikator kemajuan di bidang kualitas Sumber Daya Manusia (pendidikan dan kesehatan),
peningkatan aksesibilitas infrastruktur, dan peningkatan perekonomian lokal masyarakat.
2. Perlunya aturan/regulasi (Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau peraturan
perundangan-undangan lainnya) yang mewajibkan kementerian/lembaga untuk
menyelenggarakan program/kegiatan secara kontekstual sesuai dengan karakteristik Wilayah
Papua.
3. Diperlukan pembentukan lembaga khusus/task force di Kementerian PPN/Bappenas yang
mengkoordinasikan program kementerian/lembaga yang spesifik untuk Wilayah Papua dalam
mendukung percepatan pembangunan Wilayah Papua.
4. Dana Otonomi Khusus akan berakhir pada 6 (enam) tahun ke depan, untuk itu diperlukan exit
strategy penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan yang kontekstual Papua, khususnya
pada wilayah terisolir di pegunungan tengah.
Laporan Koordinasi Strategis Asistensi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, 2015 65