konservasi ex situ tumbuhan obat di kebun raya bogor

12
3. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Tumbuhan obat adalah salah satu kekayaan koleksi KRB dan merupakan kekayaan alam yang dibutuhkan oleh masyarakat dari masa ke masa. Pemenuhan kebutuhan tumbuhan obat yang hanya bersandarkan keberadaannya di alam tanpa budidaya akan semakin sulit dan alam pun akan kehabisan stoknya. Hal ini terjadi di beberapa kawasan hutan seperti di Taman Nasional Ujung Kulon untuk kasus pule dan di Taman Nasional Meru Betiri untuk kasus kedawung (Hidayat 2006). Kekayaan dan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang dimiliki bangsa Indonesia ini ternyata belum memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakatnya (Waluyo 2009). Penanganan secara pasif (in situ) tumbuhan obat yang hidup di kawasan konservasi relatif memadai, akan tetapi bagi spesies tumbuhan obat liar yang hidup di luar wilayah sistem cagar alam secara teknis tidak terjamin keamanannya (Djumidi et al. 1999). Dalam hal ini Suhirman (1999) telah mengingatkan bahwa manusia tidak menyadari betapa pentingnya tumbuhan tidak hanya untuk kesejahteraan tetapi juga untuk kelangsungan hidup kita, mereka tidak peduli akan kepunahan spesies. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam mengkaji dan mengembangkan kebijakan, hukum, dan strategi akan mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tumbuhan obat (WHO-IUCN-WWF 2010). Dalam rangka menuju pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang tumbuhan obat, maka diperlukan suatu strategi pengembangannya. Pengembangan tumbuhan obat di Indonesia perlu adanya dukungan penuh kebijakan pemerintah terutama adanya jaminan terselenggaranya penelitian yang berkelanjutan. Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain: inventarisasi dan karakterisasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat, kerjasama antar lembaga penelitian, LSM, dan perusahaan farmasi serta lembaga penelitian independen lainnya, serta penentuan skala prioritas arah penelitian tumbuhan obat (Purwanto 2002). Dalam hal ini penentuan prioritas konservasi tumbuhan obat merupakan salah satu prioritas penelitian yang dinyatakan dalam draft Guidelines on The Conservation of Medicinal Plants.

Upload: duongngoc

Post on 31-Dec-2016

230 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

19

3. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Tumbuhan obat adalah salah satu kekayaan koleksi KRB dan merupakan

kekayaan alam yang dibutuhkan oleh masyarakat dari masa ke masa. Pemenuhan

kebutuhan tumbuhan obat yang hanya bersandarkan keberadaannya di alam tanpa

budidaya akan semakin sulit dan alam pun akan kehabisan stoknya. Hal ini terjadi

di beberapa kawasan hutan seperti di Taman Nasional Ujung Kulon untuk kasus

pule dan di Taman Nasional Meru Betiri untuk kasus kedawung (Hidayat 2006).

Kekayaan dan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang dimiliki bangsa

Indonesia ini ternyata belum memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan

masyarakatnya (Waluyo 2009). Penanganan secara pasif (in situ) tumbuhan obat

yang hidup di kawasan konservasi relatif memadai, akan tetapi bagi spesies

tumbuhan obat liar yang hidup di luar wilayah sistem cagar alam secara teknis

tidak terjamin keamanannya (Djumidi et al. 1999). Dalam hal ini Suhirman

(1999) telah mengingatkan bahwa manusia tidak menyadari betapa pentingnya

tumbuhan tidak hanya untuk kesejahteraan tetapi juga untuk kelangsungan hidup

kita, mereka tidak peduli akan kepunahan spesies. Pelibatan berbagai pemangku

kepentingan dalam mengkaji dan mengembangkan kebijakan, hukum, dan strategi

akan mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tumbuhan obat

(WHO-IUCN-WWF 2010).

Dalam rangka menuju pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di

bidang tumbuhan obat, maka diperlukan suatu strategi pengembangannya.

Pengembangan tumbuhan obat di Indonesia perlu adanya dukungan penuh

kebijakan pemerintah terutama adanya jaminan terselenggaranya penelitian yang

berkelanjutan. Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain: inventarisasi

dan karakterisasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat, kerjasama antar

lembaga penelitian, LSM, dan perusahaan farmasi serta lembaga penelitian

independen lainnya, serta penentuan skala prioritas arah penelitian tumbuhan obat

(Purwanto 2002). Dalam hal ini penentuan prioritas konservasi tumbuhan obat

merupakan salah satu prioritas penelitian yang dinyatakan dalam draft Guidelines

on The Conservation of Medicinal Plants.

Page 2: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

20

Penyusunan strategi pengelolaan konservasi tumbuhan didorong oleh

adanya masalah-masalah terkait dengan lingkungan hidup. Untuk dapat mengatasi

masalah-masalah tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang mampu

mengelola sumberdaya alam secara bijaksana (Rideng 1999). Sumberdaya

manusia secara mikro mencakup dua aspek yaitu aspek fisik (postur tubuh,

kesehatan, daya tahan, dan sebagainya) dan aspek non fisik (kognitif, afektif dan

psikomotor). Kedua aspek tersebut saling melengkapi sehingga merupakan

kesatuan yang utuh. Kualitas kedua aspek tersebut perlu terus ditingkatkan

melalui pendidikan.

Salah satu bentuk pengelolaan tumbuhan adalah koleksi secara ex situ.

Koleksi ex situ menurut Lascurain et al. (2008) menyediakan bahan untuk

penelitian, reintroduksi, pendidikan, dan peningkatan kepedulian masyarakat.

Pelestarian ex situ tumbuhan obat sebenarnya secara langsung dapat bermanfaat

bagi kehidupan manusia (Diwyanto 2002) dan dapat dilakukan dengan berbagai

cara, antara lain:

1. Penyimpanan dalam kamar-kamar bersuhu dingin.

2. Kebun koleksi.

3. Kebun plasma nutfah.

4. Kebun botani/kebun raya.

KRB sudah lama memiliki koleksi tumbuhan obat baik secara khusus

maupun yang tersebar di pelosok kebun. Saat ini tumbuhan obat koleksi KRB

baru berperan sebagai penghias dan pelengkap taman. Beberapa koleksi

mengalami kematian dan kehilangan baik akibat alami, ulah manusia, maupun

bencana alam (Hidayat et al. 2007). Sesuai kaidah konservasi terutama mengenai

pemanfaatan yang berkelanjutan seharusnya koleksi tumbuhan obat KRB dapat

dirasakan keberadaan dan manfaatnya oleh masyarakat umum. Di sisi lain sebagai

lembaga konservasi flora ex situ skala nasional dan internasional, KRB sangat

diharapkan kiprahnya untuk memenuhi Target 8 dan 9 GSPC (CBD 2002) dimana

60% spesies terancam dapat dikoleksi secara ex situ dan 70% dari keragaman

tumbuhan pangan dan bernilai ekonomi dapat dikonservasi serta yang

berhubungan dengan pengetahuan lokal dapat dipertahankan.

Page 3: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

21

Secara historis tumbuhan obat adalah bagian penting dari kebun raya (Shan-

an and Zhong-ming 1991), Kebun raya memerankan secara penuh dalam berbagai

kegiatan mulai dari seleksi, analisis, pendugaan, budidaya, konservasi, dan

perlindungan tumbuhan obat (Akerele 1991). Keberadaan kebun raya sebagai

lembaga konservasi ex situ berperan sangat penting dalam perlindungan,

pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tumbuhan obat.

Suhirman (2001) menyatakan ada empat strategi yang perlu dikerjakan

dalam bidang konservasi keanekaragaman tumbuhan:

1. Penggemblengan ahli konservasi menjadi kader konservasi.

2. Penentuan prioritas taksa yang akan dikonservasi.

3. Pendidikan konservasi bagi seluruh lapisan masyarakat.

4. Penegakan hukum.

Selain itu Suhirman (2001) juga menyatakan pentingnya penentuan

ancaman terhadap tumbuhan tertentu, karena tanpa pengetahuan yang benar

tentang faktor-faktor yang mengancam suatu spesies maka tidak mungkin kita

dapat melaksanakan konservasinya secara seksama.

Pada dasarnya konservasi berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat.

Konservasi sering dianggap hanya merupakan beban saja karena menghabiskan

pikiran, dana yang besar, tenaga yang melelahkan dan berkepanjangan.

Pandangan tersebut diduga bahwa upaya konservasi dilihat sebagai suatu

kewajiban dimana tidak tampak adanya kegiatan yang diiringi oleh proses

pemanfaatannya (Diwyanto 2002). Masyarakat di sekitar kebun botani melihat

kebun dari kepentingan masing-masing, sehingga kalau kebun botani tidak

memberi manfaat apapun kepada dirinya mereka tidak akan termotivasi untuk

tidak merusak apalagi memeliharanya. (Ruslan & Sastrapradja 2008).

Di Indonesia pemanfaatan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat terus dikembangkan, namun rendahnya pengetahuan dasar

pemanfaatan sumberdaya genetika dari tumbuhan menyebabkan ketidakpedulian

masyarakat dalam kegiatan konservasi tumbuhan (Basuki et al. 1999). Penyebab

lain yang lebih mendasar adalah kurangnya informasi tentang konservasi

tumbuhan kepada masyarakat. Tingkat mengetahui, memahami, dan mampu

mengelola sesuai dengan etika konservasi hanya akan terlaksana melalui proses

Page 4: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

22

pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal atau

penyuluhan (Bari dan Supriatna 1999).

Menurut Bari dan Supriatna (1999) upaya pelestarian sumberdaya hayati

tumbuhan harus ditingkatkan melalui pendidikan. Pendidikan konservasi

seharusnya tidak hanya untuk masyarakat umum tetapi juga untuk para politikus

dan pembuat kebijakan (Suhirman 1999). Etika pemanfaatan tumbuhan harus

menjadi kesadaran dan langkah utama umat manusia dalam mengelola

sumberdaya alam hayati. Konservasi adalah salah satu etika pilihan yang disadari

dan akan menjamin kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain. (Bari dan

Supriatna 1999).

Hal yang penting menurut Amzu (2007) untuk dapat terwujudnya

konservasi seperti apa yang diharapkan adalah prasyarat adanya kerelaan

berkorban untuk konservasi. Kerelaan berkorban sebenarnya adalah suatu sikap

yang timbul dikarenakan adanya nilai obyek yang memenuhi harapan. Nilai dapat

memotivasi individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Sumitomo 2004).

Azwar (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai proses

terbentuknya sikap individu dan kelompok akan sangat bermanfaat dalam

penanganan masalah-masalah sosial. Penanganan itu antara lain dalam bentuk

pemberian stimulus-stimulus tertentu untuk memperoleh efek perilaku yang

diinginkan. Dalam kaitan konservasi tumbuhan obat Amzu (2007) mengajukan

konsep tri-stimulus amar konservasi sebagai alat untuk mengimplementasikan

pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 1). Sukarnya tujuan konservasi

terwujud memuaskan tidak lain penyebabnya adalah terjadi bias pemahaman dan

pengalaman dalam masyarakat antar konteks nilai-nilai alamiah (Bio-ekologi dan

kelangkaan) nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai rela-religius (agama,

keikhlasan, moral dan sosial budidaya).

Nilai alamiah adalah nilai-nilai kebenaran di alam. Tumbuhan obat KRB

memiliki catatan di Bagian Registrasi sehingga nilai kebenaran secara ilmiah dan

historis adalah stimulus utama dalam pelestariannya. Sebagai tumbuhan yang

ditanam di luar habitatnya tumbuhan obat koleksi KRB banyak mengalami

kematian dan gangguan dalam pertumbuhannya. Beberapa spesies langka menjadi

koleksi yang kritis bagi KRB sehingga memerlukan perhatian khusus.

Page 5: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

23

Gambar 1 Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi (Amzu 2007).

Nilai manfaat berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang

bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan

kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai baik pada tingkat individu, kelompok

maupun masyarakat (Amzu 2007). Beragam bakteri, kapang, serta makhluk mikro

lainya telah diketahui sebagai kekayaan tersembunyi di antara spesies koleksi

tumbuhan obat. Beragam penyakit dapat diatasi tumbuhan obat mulai dari

gangguan kulit hingga gangguan organ dalam manusia, ini merupakan nilai yang

belum termanfaatkan dari koleksi tumbuhan obat KRB (Hidayat et al. 2006).

Nilai rela, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang berkaitan dengan

konservasi tumbuhan sebagai kearifan berbagai suku dan agama yang dianut

bangsa Indonesia dapat disampaikan, yang secara umum ditekankan kepada sikap

harmonis dengan Tuhan, terhadap sesama makhluk dan terhadap alam lingkungan

(Bari dan Supriatna 1999). Kecintaan terhadap alam dan tumbuhan, kesenangan

akan keindahan taman/tumbuhan, kesejukan, ketenangan, kenyamanan dan

keamanan adalah beberapa contoh nilai yang dapat mendorong kerelaan

masyarakat untuk konservasi. Menurut Amzu (2007) stimulus rela-religius sangat

berpengaruh dan efektif mendorong terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi

konservasi.

Tri-Stimulus Amar Konservasi • Stimulus Alamiah Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya • Stimulus Manfaat Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis/ekologis dan lainnya • Stimulus Rela Nilai-nilai kebaikan, terutama ganjaran dari Sang Pencipta Alam, nilai spritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya/ tradisional, kepuasan batin dan lainnya

Sikap Konservasi Cognitive persepi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, keyakinan Affective emosi, senang- benci, dendam, sayang, cinta dll Overt actions kecenderungan bertindak

Perilaku Aksi Konservasi

Konservasi

Page 6: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

24

Selanjutnya berdasarkan pada modifikasi konsep tri stimulus amar

konservasi, skema solusi konservasi tumbuhan obat yang dapat memenuhi

harapan masyarakat dan sesuai fungsi KRB adalah sebagai berikut:

Tri Stimulus amar konservasi

KRBMasya-rakat

Tumbuhan obat

Tupoksi: Konservasi Penelitian Pendidikan Rekreasi

Harapan

Solusi Konservasi : Pemanfaatan TO berkelanjutan, berkeadilan, beradab dan berdaulat

3.2. Metode

3.2.1. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan September – Desember 2010, baik data

primer maupun data sekunder.

3.2.2. Alat dan bahan

Katalog koleksi KRB dan buku-buku tentang tumbuhan obat sebagai alat

utama dalam inventarisasi dan identifikasi koleksi tumbuhan obat. Sebagai bahan

kajian adalah semua koleksi tumbuhan yang terdapat di kebun koleksi dan data-

Gambar 2 Konsep skematik solusi konservasi tumbuhan obat berdasarkan harapan masyarakat dan tupoksi KRB.

Page 7: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

25

data koleksi yang terdapat di Bagian Registrasi Koleksi KRB. Berbagai laporan

dan berkas/dokumen koleksi tumbuhan obat di KRB menjadi bahan pendukung.

Seperangkat alat kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas

tiga macam kuisioner:

1. Kuisioner berupa pernyataan-pernyataan yang disusun dalam lembaran tes

yang memuat informasi dan harapan masyarakat terhadap KRB dan koleksi

tumbuhan obat.

Pernyataan-pernyataan dalam kuisioner ini diperoleh dengan melakukan

wawancara pendahuluan terhadap 100 orang pengunjung dan 50 orang pegawai

KRB untuk memperoleh gambaran pendapat dan harapan tentang keberadaan

tumbuhan obat di KRB. Selanjutnya hasil wawancara ini disusun menjadi

beberapa pernyataan dan ditanya ulang kepada 100 orang pengunjung lainnya

untuk mendapatkan respon setuju atau tidak setuju. Dua puluh pernyataan yang

mendapatkan respon setuju paling banyak dipilih sebagai pernyataan pada

kuisioner akhir dengan skala Likert.

2. Kuisioner untuk menentukan spesies prioritas konservasi di kebun, terutama

ditujukan kepada orang atau badan tertentu yang bergerak di bidang tumbuhan

obat. Kuisioner ini berupa lembar uji penentuan spesies prioritas (Lampiran 4).

3. Kuisioner yang ditujukan kepada pengamat/pengawas KRB untuk menentukan

spesies mendesak ditindaklanjuti berupa matriks uji pembandingan

berpasangan (Lampiran 14).

3.2.3. Metode pengumpulan data

Untuk mendapatkan sejumlah data yang pasti dan akurat sesuai tujuan

penelitian maka telah dilakukan tahapan kegiatan sebagai berikut:

1. Dalam rangka mengkaji data terkini koleksi tumbuhan obat di KRB maka

dilakukan:

a. Inventarisasi koleksi baik secara desk study maupun observasi di kebun.

Desk study dengan mengacu kepada katalog koleksi KRB menandai

semua spesies tumbuhan yang diduga bermanfaat sebagai bahan obat

berdasarkan pustaka-pustaka yang telah disiapkan di meja kerja.

Page 8: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

26

Observasi dilakukan dengan cara mengecek ke kebun mengenai spesies

yang telah ditandai pada katalog untuk memastikan keberadaannya.

b. Observasi potensi dan kegunaan koleksi dilakukan dengan penggalian

informasi melalui buku kebun dan hasil-hasil penelitian serta pustaka

tumbuhan obat.

c. Kategori kelangkaan dan spesies prioritas dicek berdasarkan dokumen-

dokumen berikut: IUCN red list 2010, WCMC 1997, IBSAP 2003, BGCI

priority 2008 dan CITES 2010.

d. Wawancara terstruktur untuk mendapatkan spesies prioritas dan spesies

yang mendesak ditindaklanjuti. Spesies prioritas dengan menggunakan

lembar uji penentuan spesies prioritas ditujukan kepada para peneliti dan

praktisi tumbuhan obat yang berkaitan di bidangnya. Taksa yang diuji

adalah spesies yang telah dilakukan pengecekan status dan kategori

kelangkaannya. Sejumlah 30 peneliti/praktisi terlibat dalam pengisian

lembar uji ini. Sementara itu lembar uji berupa matriks pembandingan

berpasangan digunakan untuk menentukan spesies prioritas yang perlu

segera ditindaklanjuti aksi konservasinya. Responden untuk matriks ini

dipilih para pengamat/pengawas koleksi KRB yang sehari-hari bekerja di

kebun koleksi.

2. Penggalian harapan masyarakat dilakukan melalui wawancara dan

kuisioner. Wawancara dilakukan baik kepada pengunjung (mewakili masyarakat

umum), praktisi kesehatan/pengobat tradisional, industri obat tradisional dan

peneliti untuk mendapatkan sejumlah informasi mengenai harapan masyarakat

terhadap peran KRB dalam pengelolaan koleksi tumbuhan obat dan aspek-aspek

konservasi lainnya.

Penentuan responden dilakukan sebagai berikut:

Responden masyarakat umum

Responden dipilih dengan metode random sampling. Penentuan jumlah responden

didasarkan pada data pengunjung pada bulan Oktober 2010. Jumlah responden

diambil dengan menggunakan rumus Slovin (Riduwan dan Akdon 2009), yaitu:

Page 9: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

27

n= dengan presisi 5% (tingkat kepercayaan 95%), dimana:

n = jumlah sample (responden)

N= jumlah populasi sample, dalam hal ini diambil jumlah rata-rata

pengunjung dalam seminggu setelah dikurangi wisatawan mancanegara dan

dikurangi wisatawan anak-anak, sehingga diperoleh N = 4551 dan n = 368

Selanjutnya pengambilan sampling per hari dilakukan dengan proportionate

random sampling dengan rumus ni = x n, dimana:

ni = jumlah sample menurut hari

Ni = jumlah sample seluruhnya (368)

n = jumlah pengunjung rata-rata dalam hari bersangkutan

N = jumlah pengunjung dalam seminggu (4551)

Dengan demikian diperoleh sample (ni) untuk hari Senin hingga hari Minggu

sebagai berikut:

Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Total

29 27 35 28 21 92 136 368

Responden praktisi/pengobat, industri dan peneliti dipilih secara acak dari

berbagai lembaga terkait seperti berikut:

a. Mewakili praktisi/pengobat adalah 2 pengobat dari Taman Sringanis, 2

praktisi dari Karyasari, 1 orang dari Wana Tani dan 7 orang perawat/bidan.

b. Mewakili industri obat tradisional adalah 1 orang dari Liza Herbal, 2 orang

dari Kampoeng Djamoe, 1 orang dari Parang Husada dan 1 dari Aneka Sari.

c. Mewakili peneliti adalah 16 orang dari LIPI, 2 orang dari Balitro, 2 orang dari

Litbang Kehutanan, 2 orang dari BPTO, 2 orang dari IPB dan 1 orang LSM.

3. Untuk mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah

sesuai dengan harapan masyarakat maka dilakukan pengecekan aktivitas KRB

yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan obat melalui laporan tahunan KRB

tahun 2000 hingga tahun 2009.

Page 10: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

28

3.2.4. Pengolahan data

Hasil inventarisasi dan observasi koleksi ditabulasikan dalam suatu daftar

kegunaan tumbuhan obat sedangkan hasil pengecekan kategori kelangkaan

ditabulasikan dalam daftar koleksi tumbuhan obat yang perlu perhatian lebih.

Daftar koleksi tumbuhan obat yang perlu perhatian lebih dijadikan dasar

dalam pembuatan kuisioner untuk mendapatkan spesies prioritas konservasi.

Spesies prioritas diperoleh dengan total skor yang dihasilkan dari lembar uji

penentuan spesies prioritas untuk setiap taksa yang dinilai. Skor total diperoleh

dengan menjumlahkan skor setiap unsur penilaian, sehingga diperoleh rentang

skor dengan tiga kategori (Risna et al. 2010) yaitu kategori A (memerlukan aksi

konservasi segera) dengan nilai total > 50, kategori B (aksi konservasi bisa

ditunda) dengan nilai total 42-50 dan kategori C ( belum/tidak memerlukan aksi

konservasi secara aktif) dengan nilai total < 42.

Agar pelaksanaan konservasi di KRB lebih efisien dan efektif sesuai dengan

kondisi koleksi terkini maka perlu diadakan uji pembandingan kepentingan antar

spesies koleksi bersangkutan. Pembandingan antar spesies tidak dimaksudkan

untuk menghilangkan spesies dari daftar prioritas konservasi. Pembandingan

lebih menekankan kepada alternatif prioritas berdasarkan kriteria-kriteria yang

dianggap penting pada situasi dan kondisi spesies di kebun saat ini. Kriteria yang

diperbandingkan ditentukan berdasarkan kesepakatan responden terkait yang

dianggap mengetahui kondisi spesies di kebun. Jika dalam penentuan spesies

prioritas tahap pertama menggunakan 17 kriteria yang berlaku secara umum

(Lampiran 4), maka dalam uji pembandingan spesies ini hanya menggunakan tiga

kriteria yang dianggap berhubungan langsung dengan kepentingan

keberlangsungan spesies tersebut di kebun. Tiga kriteria tersebut yaitu (1) status

dan kelangkaan spesies, (2) ancaman keberadaan spesies di kebun dan (3) manfaat

spesies secara langsung bagi masyarakat.

Untuk menentukan koleksi tumbuhan obat yang mana harus segera

ditindaklanjuti aksi konservasinya, maka diambil spesies dengan skor tertinggi

(kategori A) untuk dianalisis lebih lanjut. Dalam hal ini digunakan analisis AHP

(analytic hierarchy process) dengan menggunakan software expert choice. Matrik

pembandingan berpasangan adalah dasar dari analisis ini. Nilai yang ditetapkan

Page 11: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

29

setiap sel matriks berada di antara satu sampai dengan sembilan (Dermawan

2009).

Untuk menguji apakah pembandingan yang dilakukan oleh responden sudah

konsisten, maka diuji dengan uji konsistensi. Pembandingan dianggap konsisten

bila nilai inconsistency ratio lebih kecil dari 0,1. Uji konsistensi dilakukan baik

saat pelaksanaan pembandingan kepentingan antar kriteria maupun pembandingan

kepentingan antar spesies. Hirarkinya adalah seperti disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hirarki pembandingan berpasangan untuk spesies prioritas

(5) Sangat Setuju

Hasil wawancara dengan masyarakat mengenai harapan konservasi

tumbuhan obat di KRB diolah dengan skala Likert (Metode Likert’s Of

Summated Rating) melalui program excel. Nilai skala Likert sebagai berikut:

(4) Setuju

(3) Netral (tidak pasti)

(2) Tidak setuju

(1) Sangat Tidak Setuju

spesies prioritas alternatif

status kelangkaan

spesies pilihan

ancaman keberadaannya

di kebun

spesies pilihan

manfaat langsung

spesies pilihan

Tingkat 1 Tujuan Tingkat 2 Kriteria Tingkat 3 Pilihan

Page 12: Konservasi Ex situ Tumbuhan Obat di Kebun Raya Bogor

30

Selanjutnya penilaian dilakukan untuk masing-masing komponen

konservasi dengan menggunakan rumus standard skala Likert t-test. Rumusnya

adalah (Azwar 2010):

dimana:

X = Skor responden pada skala Likert yang hendak diubah menjadi skor T

= Mean skor kelompok

s = Standar deviasi kelompok

Responden dengan nilai T di atas 50 dianggap favorable (sesuai atau

menguntungkan) dan persentase favorable diinterpretasikan sebagai berikut

(Riduwan dan Akdon 2009):

0% - 20% sangat lemah

21% - 40% lemah

41% - 60% cukup

61% - 80% kuat

81% - 100% sangat kuat

Harapan masyarakat yang diperoleh dari kuisioner ditabulasikan dalam

suatu tabel harapan. Selanjutnya untuk menyusun aksi konservasi maka dilakukan

pengecekan silang antara harapan masyarakat dengan aktivitas KRB dalam

sepuluh tahun terakhir. Diagram Venn digunakan untuk menggambarkan irisan

antara harapan masing-masing tipologi masyarakat dengan aktivitas KRB.

Harapan masyarakat yang belum terarsir dengan aktivitas KRB dijadikan dasar

dalam menyusun aksi konservasi tumbuhan obat pada masa yang akan datang.