19
3. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Tumbuhan obat adalah salah satu kekayaan koleksi KRB dan merupakan
kekayaan alam yang dibutuhkan oleh masyarakat dari masa ke masa. Pemenuhan
kebutuhan tumbuhan obat yang hanya bersandarkan keberadaannya di alam tanpa
budidaya akan semakin sulit dan alam pun akan kehabisan stoknya. Hal ini terjadi
di beberapa kawasan hutan seperti di Taman Nasional Ujung Kulon untuk kasus
pule dan di Taman Nasional Meru Betiri untuk kasus kedawung (Hidayat 2006).
Kekayaan dan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang dimiliki bangsa
Indonesia ini ternyata belum memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan
masyarakatnya (Waluyo 2009). Penanganan secara pasif (in situ) tumbuhan obat
yang hidup di kawasan konservasi relatif memadai, akan tetapi bagi spesies
tumbuhan obat liar yang hidup di luar wilayah sistem cagar alam secara teknis
tidak terjamin keamanannya (Djumidi et al. 1999). Dalam hal ini Suhirman
(1999) telah mengingatkan bahwa manusia tidak menyadari betapa pentingnya
tumbuhan tidak hanya untuk kesejahteraan tetapi juga untuk kelangsungan hidup
kita, mereka tidak peduli akan kepunahan spesies. Pelibatan berbagai pemangku
kepentingan dalam mengkaji dan mengembangkan kebijakan, hukum, dan strategi
akan mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tumbuhan obat
(WHO-IUCN-WWF 2010).
Dalam rangka menuju pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang tumbuhan obat, maka diperlukan suatu strategi pengembangannya.
Pengembangan tumbuhan obat di Indonesia perlu adanya dukungan penuh
kebijakan pemerintah terutama adanya jaminan terselenggaranya penelitian yang
berkelanjutan. Langkah-langkah yang harus ditempuh antara lain: inventarisasi
dan karakterisasi keanekaragaman spesies tumbuhan obat, kerjasama antar
lembaga penelitian, LSM, dan perusahaan farmasi serta lembaga penelitian
independen lainnya, serta penentuan skala prioritas arah penelitian tumbuhan obat
(Purwanto 2002). Dalam hal ini penentuan prioritas konservasi tumbuhan obat
merupakan salah satu prioritas penelitian yang dinyatakan dalam draft Guidelines
on The Conservation of Medicinal Plants.
20
Penyusunan strategi pengelolaan konservasi tumbuhan didorong oleh
adanya masalah-masalah terkait dengan lingkungan hidup. Untuk dapat mengatasi
masalah-masalah tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang mampu
mengelola sumberdaya alam secara bijaksana (Rideng 1999). Sumberdaya
manusia secara mikro mencakup dua aspek yaitu aspek fisik (postur tubuh,
kesehatan, daya tahan, dan sebagainya) dan aspek non fisik (kognitif, afektif dan
psikomotor). Kedua aspek tersebut saling melengkapi sehingga merupakan
kesatuan yang utuh. Kualitas kedua aspek tersebut perlu terus ditingkatkan
melalui pendidikan.
Salah satu bentuk pengelolaan tumbuhan adalah koleksi secara ex situ.
Koleksi ex situ menurut Lascurain et al. (2008) menyediakan bahan untuk
penelitian, reintroduksi, pendidikan, dan peningkatan kepedulian masyarakat.
Pelestarian ex situ tumbuhan obat sebenarnya secara langsung dapat bermanfaat
bagi kehidupan manusia (Diwyanto 2002) dan dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain:
1. Penyimpanan dalam kamar-kamar bersuhu dingin.
2. Kebun koleksi.
3. Kebun plasma nutfah.
4. Kebun botani/kebun raya.
KRB sudah lama memiliki koleksi tumbuhan obat baik secara khusus
maupun yang tersebar di pelosok kebun. Saat ini tumbuhan obat koleksi KRB
baru berperan sebagai penghias dan pelengkap taman. Beberapa koleksi
mengalami kematian dan kehilangan baik akibat alami, ulah manusia, maupun
bencana alam (Hidayat et al. 2007). Sesuai kaidah konservasi terutama mengenai
pemanfaatan yang berkelanjutan seharusnya koleksi tumbuhan obat KRB dapat
dirasakan keberadaan dan manfaatnya oleh masyarakat umum. Di sisi lain sebagai
lembaga konservasi flora ex situ skala nasional dan internasional, KRB sangat
diharapkan kiprahnya untuk memenuhi Target 8 dan 9 GSPC (CBD 2002) dimana
60% spesies terancam dapat dikoleksi secara ex situ dan 70% dari keragaman
tumbuhan pangan dan bernilai ekonomi dapat dikonservasi serta yang
berhubungan dengan pengetahuan lokal dapat dipertahankan.
21
Secara historis tumbuhan obat adalah bagian penting dari kebun raya (Shan-
an and Zhong-ming 1991), Kebun raya memerankan secara penuh dalam berbagai
kegiatan mulai dari seleksi, analisis, pendugaan, budidaya, konservasi, dan
perlindungan tumbuhan obat (Akerele 1991). Keberadaan kebun raya sebagai
lembaga konservasi ex situ berperan sangat penting dalam perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tumbuhan obat.
Suhirman (2001) menyatakan ada empat strategi yang perlu dikerjakan
dalam bidang konservasi keanekaragaman tumbuhan:
1. Penggemblengan ahli konservasi menjadi kader konservasi.
2. Penentuan prioritas taksa yang akan dikonservasi.
3. Pendidikan konservasi bagi seluruh lapisan masyarakat.
4. Penegakan hukum.
Selain itu Suhirman (2001) juga menyatakan pentingnya penentuan
ancaman terhadap tumbuhan tertentu, karena tanpa pengetahuan yang benar
tentang faktor-faktor yang mengancam suatu spesies maka tidak mungkin kita
dapat melaksanakan konservasinya secara seksama.
Pada dasarnya konservasi berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat.
Konservasi sering dianggap hanya merupakan beban saja karena menghabiskan
pikiran, dana yang besar, tenaga yang melelahkan dan berkepanjangan.
Pandangan tersebut diduga bahwa upaya konservasi dilihat sebagai suatu
kewajiban dimana tidak tampak adanya kegiatan yang diiringi oleh proses
pemanfaatannya (Diwyanto 2002). Masyarakat di sekitar kebun botani melihat
kebun dari kepentingan masing-masing, sehingga kalau kebun botani tidak
memberi manfaat apapun kepada dirinya mereka tidak akan termotivasi untuk
tidak merusak apalagi memeliharanya. (Ruslan & Sastrapradja 2008).
Di Indonesia pemanfaatan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat terus dikembangkan, namun rendahnya pengetahuan dasar
pemanfaatan sumberdaya genetika dari tumbuhan menyebabkan ketidakpedulian
masyarakat dalam kegiatan konservasi tumbuhan (Basuki et al. 1999). Penyebab
lain yang lebih mendasar adalah kurangnya informasi tentang konservasi
tumbuhan kepada masyarakat. Tingkat mengetahui, memahami, dan mampu
mengelola sesuai dengan etika konservasi hanya akan terlaksana melalui proses
22
pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal atau
penyuluhan (Bari dan Supriatna 1999).
Menurut Bari dan Supriatna (1999) upaya pelestarian sumberdaya hayati
tumbuhan harus ditingkatkan melalui pendidikan. Pendidikan konservasi
seharusnya tidak hanya untuk masyarakat umum tetapi juga untuk para politikus
dan pembuat kebijakan (Suhirman 1999). Etika pemanfaatan tumbuhan harus
menjadi kesadaran dan langkah utama umat manusia dalam mengelola
sumberdaya alam hayati. Konservasi adalah salah satu etika pilihan yang disadari
dan akan menjamin kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain. (Bari dan
Supriatna 1999).
Hal yang penting menurut Amzu (2007) untuk dapat terwujudnya
konservasi seperti apa yang diharapkan adalah prasyarat adanya kerelaan
berkorban untuk konservasi. Kerelaan berkorban sebenarnya adalah suatu sikap
yang timbul dikarenakan adanya nilai obyek yang memenuhi harapan. Nilai dapat
memotivasi individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Sumitomo 2004).
Azwar (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai proses
terbentuknya sikap individu dan kelompok akan sangat bermanfaat dalam
penanganan masalah-masalah sosial. Penanganan itu antara lain dalam bentuk
pemberian stimulus-stimulus tertentu untuk memperoleh efek perilaku yang
diinginkan. Dalam kaitan konservasi tumbuhan obat Amzu (2007) mengajukan
konsep tri-stimulus amar konservasi sebagai alat untuk mengimplementasikan
pengelolaan kawasan konservasi (Gambar 1). Sukarnya tujuan konservasi
terwujud memuaskan tidak lain penyebabnya adalah terjadi bias pemahaman dan
pengalaman dalam masyarakat antar konteks nilai-nilai alamiah (Bio-ekologi dan
kelangkaan) nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai rela-religius (agama,
keikhlasan, moral dan sosial budidaya).
Nilai alamiah adalah nilai-nilai kebenaran di alam. Tumbuhan obat KRB
memiliki catatan di Bagian Registrasi sehingga nilai kebenaran secara ilmiah dan
historis adalah stimulus utama dalam pelestariannya. Sebagai tumbuhan yang
ditanam di luar habitatnya tumbuhan obat koleksi KRB banyak mengalami
kematian dan gangguan dalam pertumbuhannya. Beberapa spesies langka menjadi
koleksi yang kritis bagi KRB sehingga memerlukan perhatian khusus.
23
Gambar 1 Diagram alir “tri-stimulus amar konservasi”: stimulus, sikap dan perilaku aksi konservasi (Amzu 2007).
Nilai manfaat berkaitan erat dengan pandangan praktis atau pragmatis, yang
bahkan menjadi pegangan banyak orang, terutama apabila dikaitkan dengan
kenyataan dan tujuan yang ingin dicapai baik pada tingkat individu, kelompok
maupun masyarakat (Amzu 2007). Beragam bakteri, kapang, serta makhluk mikro
lainya telah diketahui sebagai kekayaan tersembunyi di antara spesies koleksi
tumbuhan obat. Beragam penyakit dapat diatasi tumbuhan obat mulai dari
gangguan kulit hingga gangguan organ dalam manusia, ini merupakan nilai yang
belum termanfaatkan dari koleksi tumbuhan obat KRB (Hidayat et al. 2006).
Nilai rela, moral dan spiritual bangsa Indonesia yang berkaitan dengan
konservasi tumbuhan sebagai kearifan berbagai suku dan agama yang dianut
bangsa Indonesia dapat disampaikan, yang secara umum ditekankan kepada sikap
harmonis dengan Tuhan, terhadap sesama makhluk dan terhadap alam lingkungan
(Bari dan Supriatna 1999). Kecintaan terhadap alam dan tumbuhan, kesenangan
akan keindahan taman/tumbuhan, kesejukan, ketenangan, kenyamanan dan
keamanan adalah beberapa contoh nilai yang dapat mendorong kerelaan
masyarakat untuk konservasi. Menurut Amzu (2007) stimulus rela-religius sangat
berpengaruh dan efektif mendorong terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi
konservasi.
Tri-Stimulus Amar Konservasi • Stimulus Alamiah Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumberdaya alam hayati sesuai dengan karakter bioekologinya • Stimulus Manfaat Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat obat, manfaat biologis/ekologis dan lainnya • Stimulus Rela Nilai-nilai kebaikan, terutama ganjaran dari Sang Pencipta Alam, nilai spritual, nilai agama yang universal, pahala, kebahagiaan, kearifan budaya/ tradisional, kepuasan batin dan lainnya
Sikap Konservasi Cognitive persepi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, keyakinan Affective emosi, senang- benci, dendam, sayang, cinta dll Overt actions kecenderungan bertindak
Perilaku Aksi Konservasi
Konservasi
24
Selanjutnya berdasarkan pada modifikasi konsep tri stimulus amar
konservasi, skema solusi konservasi tumbuhan obat yang dapat memenuhi
harapan masyarakat dan sesuai fungsi KRB adalah sebagai berikut:
Tri Stimulus amar konservasi
KRBMasya-rakat
Tumbuhan obat
Tupoksi: Konservasi Penelitian Pendidikan Rekreasi
Harapan
Solusi Konservasi : Pemanfaatan TO berkelanjutan, berkeadilan, beradab dan berdaulat
3.2. Metode
3.2.1. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan September – Desember 2010, baik data
primer maupun data sekunder.
3.2.2. Alat dan bahan
Katalog koleksi KRB dan buku-buku tentang tumbuhan obat sebagai alat
utama dalam inventarisasi dan identifikasi koleksi tumbuhan obat. Sebagai bahan
kajian adalah semua koleksi tumbuhan yang terdapat di kebun koleksi dan data-
Gambar 2 Konsep skematik solusi konservasi tumbuhan obat berdasarkan harapan masyarakat dan tupoksi KRB.
25
data koleksi yang terdapat di Bagian Registrasi Koleksi KRB. Berbagai laporan
dan berkas/dokumen koleksi tumbuhan obat di KRB menjadi bahan pendukung.
Seperangkat alat kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
tiga macam kuisioner:
1. Kuisioner berupa pernyataan-pernyataan yang disusun dalam lembaran tes
yang memuat informasi dan harapan masyarakat terhadap KRB dan koleksi
tumbuhan obat.
Pernyataan-pernyataan dalam kuisioner ini diperoleh dengan melakukan
wawancara pendahuluan terhadap 100 orang pengunjung dan 50 orang pegawai
KRB untuk memperoleh gambaran pendapat dan harapan tentang keberadaan
tumbuhan obat di KRB. Selanjutnya hasil wawancara ini disusun menjadi
beberapa pernyataan dan ditanya ulang kepada 100 orang pengunjung lainnya
untuk mendapatkan respon setuju atau tidak setuju. Dua puluh pernyataan yang
mendapatkan respon setuju paling banyak dipilih sebagai pernyataan pada
kuisioner akhir dengan skala Likert.
2. Kuisioner untuk menentukan spesies prioritas konservasi di kebun, terutama
ditujukan kepada orang atau badan tertentu yang bergerak di bidang tumbuhan
obat. Kuisioner ini berupa lembar uji penentuan spesies prioritas (Lampiran 4).
3. Kuisioner yang ditujukan kepada pengamat/pengawas KRB untuk menentukan
spesies mendesak ditindaklanjuti berupa matriks uji pembandingan
berpasangan (Lampiran 14).
3.2.3. Metode pengumpulan data
Untuk mendapatkan sejumlah data yang pasti dan akurat sesuai tujuan
penelitian maka telah dilakukan tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Dalam rangka mengkaji data terkini koleksi tumbuhan obat di KRB maka
dilakukan:
a. Inventarisasi koleksi baik secara desk study maupun observasi di kebun.
Desk study dengan mengacu kepada katalog koleksi KRB menandai
semua spesies tumbuhan yang diduga bermanfaat sebagai bahan obat
berdasarkan pustaka-pustaka yang telah disiapkan di meja kerja.
26
Observasi dilakukan dengan cara mengecek ke kebun mengenai spesies
yang telah ditandai pada katalog untuk memastikan keberadaannya.
b. Observasi potensi dan kegunaan koleksi dilakukan dengan penggalian
informasi melalui buku kebun dan hasil-hasil penelitian serta pustaka
tumbuhan obat.
c. Kategori kelangkaan dan spesies prioritas dicek berdasarkan dokumen-
dokumen berikut: IUCN red list 2010, WCMC 1997, IBSAP 2003, BGCI
priority 2008 dan CITES 2010.
d. Wawancara terstruktur untuk mendapatkan spesies prioritas dan spesies
yang mendesak ditindaklanjuti. Spesies prioritas dengan menggunakan
lembar uji penentuan spesies prioritas ditujukan kepada para peneliti dan
praktisi tumbuhan obat yang berkaitan di bidangnya. Taksa yang diuji
adalah spesies yang telah dilakukan pengecekan status dan kategori
kelangkaannya. Sejumlah 30 peneliti/praktisi terlibat dalam pengisian
lembar uji ini. Sementara itu lembar uji berupa matriks pembandingan
berpasangan digunakan untuk menentukan spesies prioritas yang perlu
segera ditindaklanjuti aksi konservasinya. Responden untuk matriks ini
dipilih para pengamat/pengawas koleksi KRB yang sehari-hari bekerja di
kebun koleksi.
2. Penggalian harapan masyarakat dilakukan melalui wawancara dan
kuisioner. Wawancara dilakukan baik kepada pengunjung (mewakili masyarakat
umum), praktisi kesehatan/pengobat tradisional, industri obat tradisional dan
peneliti untuk mendapatkan sejumlah informasi mengenai harapan masyarakat
terhadap peran KRB dalam pengelolaan koleksi tumbuhan obat dan aspek-aspek
konservasi lainnya.
Penentuan responden dilakukan sebagai berikut:
Responden masyarakat umum
Responden dipilih dengan metode random sampling. Penentuan jumlah responden
didasarkan pada data pengunjung pada bulan Oktober 2010. Jumlah responden
diambil dengan menggunakan rumus Slovin (Riduwan dan Akdon 2009), yaitu:
27
n= dengan presisi 5% (tingkat kepercayaan 95%), dimana:
n = jumlah sample (responden)
N= jumlah populasi sample, dalam hal ini diambil jumlah rata-rata
pengunjung dalam seminggu setelah dikurangi wisatawan mancanegara dan
dikurangi wisatawan anak-anak, sehingga diperoleh N = 4551 dan n = 368
Selanjutnya pengambilan sampling per hari dilakukan dengan proportionate
random sampling dengan rumus ni = x n, dimana:
ni = jumlah sample menurut hari
Ni = jumlah sample seluruhnya (368)
n = jumlah pengunjung rata-rata dalam hari bersangkutan
N = jumlah pengunjung dalam seminggu (4551)
Dengan demikian diperoleh sample (ni) untuk hari Senin hingga hari Minggu
sebagai berikut:
Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Total
29 27 35 28 21 92 136 368
Responden praktisi/pengobat, industri dan peneliti dipilih secara acak dari
berbagai lembaga terkait seperti berikut:
a. Mewakili praktisi/pengobat adalah 2 pengobat dari Taman Sringanis, 2
praktisi dari Karyasari, 1 orang dari Wana Tani dan 7 orang perawat/bidan.
b. Mewakili industri obat tradisional adalah 1 orang dari Liza Herbal, 2 orang
dari Kampoeng Djamoe, 1 orang dari Parang Husada dan 1 dari Aneka Sari.
c. Mewakili peneliti adalah 16 orang dari LIPI, 2 orang dari Balitro, 2 orang dari
Litbang Kehutanan, 2 orang dari BPTO, 2 orang dari IPB dan 1 orang LSM.
3. Untuk mengkaji apakah program konservasi tumbuhan obat di KRB sudah
sesuai dengan harapan masyarakat maka dilakukan pengecekan aktivitas KRB
yang berkaitan dengan konservasi tumbuhan obat melalui laporan tahunan KRB
tahun 2000 hingga tahun 2009.
28
3.2.4. Pengolahan data
Hasil inventarisasi dan observasi koleksi ditabulasikan dalam suatu daftar
kegunaan tumbuhan obat sedangkan hasil pengecekan kategori kelangkaan
ditabulasikan dalam daftar koleksi tumbuhan obat yang perlu perhatian lebih.
Daftar koleksi tumbuhan obat yang perlu perhatian lebih dijadikan dasar
dalam pembuatan kuisioner untuk mendapatkan spesies prioritas konservasi.
Spesies prioritas diperoleh dengan total skor yang dihasilkan dari lembar uji
penentuan spesies prioritas untuk setiap taksa yang dinilai. Skor total diperoleh
dengan menjumlahkan skor setiap unsur penilaian, sehingga diperoleh rentang
skor dengan tiga kategori (Risna et al. 2010) yaitu kategori A (memerlukan aksi
konservasi segera) dengan nilai total > 50, kategori B (aksi konservasi bisa
ditunda) dengan nilai total 42-50 dan kategori C ( belum/tidak memerlukan aksi
konservasi secara aktif) dengan nilai total < 42.
Agar pelaksanaan konservasi di KRB lebih efisien dan efektif sesuai dengan
kondisi koleksi terkini maka perlu diadakan uji pembandingan kepentingan antar
spesies koleksi bersangkutan. Pembandingan antar spesies tidak dimaksudkan
untuk menghilangkan spesies dari daftar prioritas konservasi. Pembandingan
lebih menekankan kepada alternatif prioritas berdasarkan kriteria-kriteria yang
dianggap penting pada situasi dan kondisi spesies di kebun saat ini. Kriteria yang
diperbandingkan ditentukan berdasarkan kesepakatan responden terkait yang
dianggap mengetahui kondisi spesies di kebun. Jika dalam penentuan spesies
prioritas tahap pertama menggunakan 17 kriteria yang berlaku secara umum
(Lampiran 4), maka dalam uji pembandingan spesies ini hanya menggunakan tiga
kriteria yang dianggap berhubungan langsung dengan kepentingan
keberlangsungan spesies tersebut di kebun. Tiga kriteria tersebut yaitu (1) status
dan kelangkaan spesies, (2) ancaman keberadaan spesies di kebun dan (3) manfaat
spesies secara langsung bagi masyarakat.
Untuk menentukan koleksi tumbuhan obat yang mana harus segera
ditindaklanjuti aksi konservasinya, maka diambil spesies dengan skor tertinggi
(kategori A) untuk dianalisis lebih lanjut. Dalam hal ini digunakan analisis AHP
(analytic hierarchy process) dengan menggunakan software expert choice. Matrik
pembandingan berpasangan adalah dasar dari analisis ini. Nilai yang ditetapkan
29
setiap sel matriks berada di antara satu sampai dengan sembilan (Dermawan
2009).
Untuk menguji apakah pembandingan yang dilakukan oleh responden sudah
konsisten, maka diuji dengan uji konsistensi. Pembandingan dianggap konsisten
bila nilai inconsistency ratio lebih kecil dari 0,1. Uji konsistensi dilakukan baik
saat pelaksanaan pembandingan kepentingan antar kriteria maupun pembandingan
kepentingan antar spesies. Hirarkinya adalah seperti disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Hirarki pembandingan berpasangan untuk spesies prioritas
(5) Sangat Setuju
Hasil wawancara dengan masyarakat mengenai harapan konservasi
tumbuhan obat di KRB diolah dengan skala Likert (Metode Likert’s Of
Summated Rating) melalui program excel. Nilai skala Likert sebagai berikut:
(4) Setuju
(3) Netral (tidak pasti)
(2) Tidak setuju
(1) Sangat Tidak Setuju
spesies prioritas alternatif
status kelangkaan
spesies pilihan
ancaman keberadaannya
di kebun
spesies pilihan
manfaat langsung
spesies pilihan
Tingkat 1 Tujuan Tingkat 2 Kriteria Tingkat 3 Pilihan
30
Selanjutnya penilaian dilakukan untuk masing-masing komponen
konservasi dengan menggunakan rumus standard skala Likert t-test. Rumusnya
adalah (Azwar 2010):
dimana:
X = Skor responden pada skala Likert yang hendak diubah menjadi skor T
= Mean skor kelompok
s = Standar deviasi kelompok
Responden dengan nilai T di atas 50 dianggap favorable (sesuai atau
menguntungkan) dan persentase favorable diinterpretasikan sebagai berikut
(Riduwan dan Akdon 2009):
0% - 20% sangat lemah
21% - 40% lemah
41% - 60% cukup
61% - 80% kuat
81% - 100% sangat kuat
Harapan masyarakat yang diperoleh dari kuisioner ditabulasikan dalam
suatu tabel harapan. Selanjutnya untuk menyusun aksi konservasi maka dilakukan
pengecekan silang antara harapan masyarakat dengan aktivitas KRB dalam
sepuluh tahun terakhir. Diagram Venn digunakan untuk menggambarkan irisan
antara harapan masing-masing tipologi masyarakat dengan aktivitas KRB.
Harapan masyarakat yang belum terarsir dengan aktivitas KRB dijadikan dasar
dalam menyusun aksi konservasi tumbuhan obat pada masa yang akan datang.